Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Serbuk gergaji merupakan limbah hasil proses pengolahan dan
penggergajian kayu. Jumlah ketersedian serbuk gergaji sangat besar seperti
terlihat pada Tabel 1.1. Namun tidak semua serbuk gergaji yang ada telah
termanfaatkan, sehingga bila tidak ditangani dengan baik maka dapat menjadi
masalah lingkungan yang serius.
Tabel 1.1 Produksi kayu gergajian dan perkiraan jumlah limbah
Serbuk Potongan
Produksi kayu Produksi Sebetan/
Gergajian/ Ujung/
Tahun Gergajian Limbah/50% 25%
15% 10%
(m3) (m3) 3 (m3)
(m ) (m3)
2002 623.495 311.747,5 46.762,125 77.936,875 31.174,75
2003 762.604 381.302 57.195,3 95.352,5 38.130,2
2004 432.967 216.483,5 32.472,525 54.120,875 21.648,35
2005 1.471.614 735.807 11.0381,05 18.395,175 73.580,7
2006 679.247 339.623,5 50.943,525 84.905,875 33.962,35
Sumber: Departemen Kehutanan (2006)
Besarnya jumlah limbah akibat pengolahan hasil hutan menimbulkan
masalah penanganannya yang selama ini dibiarkan membusuk, ditumpuk, dan
dibakar yang kesemuanya berdampak negatif terhadap lingkungan sehingga
penanggulangannya perlu dipikirkan. Salah satunya ialah dengan mengedepankan
peran inovasi teknologi yang lebih berpihak kepada masyarakat khususnya
industri kecil, meningkatkan efesiensi pengolahan hasil hutan serta
memaksimalkan pemanfaatan kayu dan limbah biomassa yang menaruh kepada
zero waste (Pari, 2002).
Selama ini serbuk gergaji telah dimanfaatkan untuk berbagai keperluan
seperti arang aktif, briket arang, arang kompos, dan dapat dipergunakan secara
langsung sebagai soil conditioner. Namun secara umum produk-produk ini nilai
jualnya masih relatif rendah. Pengolahan lebih lanjut seperti pirolisis
menghasilkan produk yang berguna sebagai bahan pengawet, insektisida, dan
obat-obatan. Produk-produk ini memiliki nilai jual yang relatif lebih baik.
2

Salah satu alternatif pemanfaatan serbuk gergaji menjadi produk dengan


nilai jual yang tinggi adalah menjadikannya sebagai bahan baku pembuatan
sodium lignosulfonat (SLS). SLS merupakan gugus lignin atau degradasinya yang
mengalami sulfonasi dan penyisipan sodium. SLS banyak dimanfaatkan untuk
berbagai keperluan seperti bahan dispersan dan “water reducing admixture”
(WRA) pada beton. SLS komersil dapat diperoleh dari produk sampingan pabrik
pulp sulfit (Fengel, 1995). Pabrik jenis ini jumlahnya terbatas sehingga harga SLS
relatif mahal.
Penelitian ini mencoba mensintesa SLS dari serbuk gergaji kayu kulim,
menggunakan sodium bisulfit dan kemudian menggunakannya sebagai bahan
aditif water reducting admixture (WRA) untuk meningkatkan kualitas dan
kekuatan beton.

1.2 Rumusan Masalah


Umumnya beton dibuat dengan kandungan air sekitar 0,6 dari berat semen.
Kandungan air ini sebenarnya berlebih dari jumlah air teoritis yang dibutuhkan,
dan akan tertinggal pada beton sebagai kandungan air bebas. Pada saat panas,
maka kandungan air bebas tersebut akan menguap dan akan meninggalkan rongga
(pori-pori) pada beton yang akan mempermudahkan retak dan pecah apabila
terkena beban. Tetapi apabila jumlah air pada campuran tersebut dikurangi, maka
proses pencetakan beton akan sulit dilakukan (workability rendah).
Untuk itu diperlukan suatu aditif water reducing admixture (WRA) yang
berfungsi mengurangi jumlah pemakaian air namun tetap mejaga workability yang
baik. Salah satu water reducing admixture (WRA) adalah Sodium lignosulfonat
(SLS).
Penelitian ini mencoba mensintesa SLS dari serbuk gergaji menggunakan
sodium bisulfit dan kemudian menggunakannya sebagai aditif water reducing
admixture (WRA) untuk meningkatkan kualitas dan kekuatan beton. Variabel
yang ditinjau adalah pengaruh pengurangan jumlah air dan jumlah penggunaan
SLS terhadap tingkat kekuatan beton.
3

1.3 Tujuan Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh persentase
penambahan sodium lignosulfonat (SLS) dalam campuran beton untuk
mendapatkan kualitas beton yang baik.

1.4 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 7 Mei 2009 sampai dengan 13
November 2009 di Laboratorium Dasar Teknik Kimia. Untuk pencetakan beton
dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Bahan Jurusan Teknik Sipil, begitu juga
untuk pengujian kuat tekan beton.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Serbuk Gergaji


Kebutuhan manusia akan kayu sebagai bahan bangunan baik untuk
keperluan konstruksi, dekorasi, maupun furniture, terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di
Indonesia diperkirakan sebesar 70 juta m3 per tahun, dengan kenaikan rata-rata
sebesar 14,2 % per tahun, sedangkan produksi kayu bulat diperkirakan hanya
sebesar 25 juta m3 per tahun dengan demikian terjadi defisit sebesar 45 juta m3.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah tidak dapat
memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya konversi hutan
alam menjadi lahan pertanian, perladangan berpindah, terjadinya kebakaran hutan,
praktek pemanenan yang tidak efesien dan pengembangan infrastruktur yang
diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara
efesien dan bijaksana, antara lain melalui konsep the whole tree utilization
disamping meningkatkan penggunaan bahan lignoselulosa non kayu, dan
pengembangan produk-produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu.
Patut disayangkan, sampai saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan
kayu di Indonesia masing menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Komposisi
limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu adalah sebagai
berikut:
1. Pada pemanenan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai
66,16 %.
2. Pada industri penggergajian limbah kayu meliputi serbut gergaji 10,6 %,
Sebetan 25,9 % dan potongan 14,3 %, dengan total limbah sebesar 50,8 % dari
jumlah bahan baku yang digunakan.
3. Limbah pada industri kayu lapis meliputi limbah potongan 5,6 %. Serbuk
gergaji 0,7 % sampah vinir basah 24,8 %, sampai vinir kering 12,6 % sisa
kupasan 11,0 % dan potongan tepi kayu lapis 6,3 %. Total limbah kayu lapis
ini sebesar 61,0 % dari jumlah bahan baku yang digunakan.
5

Data Departemen Kehutanan dan Perkebunan Tahun 2006 menunjukkan


bahwa produksi kayu lapis Indonesia mencapai 3,8 juta m3 per tahun, sedangkan
kayu gergajian mencapai 680.000 m3. Dengan asumsi limbah yang dihasilkan
mencapai 61 % maka diperkirakan limbah kayu yang dihasilkan mencapai sekitar
2,7 juta m3 per tahun.
Yang menimbulkan masalah adalah limbah penggergajian yang
kenyataannya di lapangan masih ada yang ditumpuk sebagian dibuang kealiran
sungai (pencemaran air), atau dibakar secara langsung (ikut menambah emisi
karbon di atmosfir). Produksi total kayu gergajian Indonesia mencapai 2,6 juta m3
per tahun (Anonim, 1997). Dengan asumsi bahwa jumlah limbah yang terbentuk
54,24 % dari produksi total (Martawijaya dan Sutigno, 1990), maka dihasilkan
limbah penggergajian sebanyak 1,4 juta m3 per tahun. Angka ini cukup besar
karena mencapai sekitar separuh dari produksi kayu gergajian.
Limbah kayu berupa potongan log maupun sebetan telah dimanfaatkan
sebagai inti papan blok dan bahan baku papan partikel. Adapun limbah berupa
serbuk gergaji pemenfaatannya masih belum optimal. Untuk industri besar dan
terpadu, limbah serbuk kayu gergajian sudah dimanfaatkan menjadi bentuk briket
arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri
penggergajian kayu skala industri kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan
tersebar di pedesaan, limbah ini belum termanfaatkan secara optimal. Sebagai
contoh pada industri penggergajian di Jambi yang jumahnya 150 buah yang
kesemuanya terletak ditepi sungai Batanghari, limbah kayu gergaji yang
dihasilkan dibuang ke tepi sungai tersebut sehingga terjadi proses pendangkalan
dan pengecilan ruas sungai (Pari, 2002).
Pada industri pengolahan kayu sebagian limbah serbuk kayu biasanya
digunakan sebagai bahan bakar tungku, atau dibakar begitu saja tanpa penggunaan
yang berarti, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Dalam rangka
efesiensi penggunaan kayu perlu diupayakan pemanfaatan serbuk kayu menjadi
produk yang lebih bermanfaat.
Salah satu jenis kayu olahan adalah kayu kulim. Kayu kulim adalah jenis
kayu balak (kayu log) yang banyak digunakan dalam industri pembuatan perahu
6

dan boat/pompon. Tinggi pokok kayu kulim bisa mencapai ketinggian 125 kaki.
Seluruh bagian pokok ini termasuk bunga, buah, kulit, batang dan akarnya
mempunyai bau seperti bawang putih, karena kandungan asam amino yang
terdapat didalamnya.
Sistematika tanaman kayu kulim adalah sebagai berikut:
Nama Tempatan : Kulim (kayu serat)
Nama Saintifik : Scorodocarpus Borneensis
Nama Lain : Bawang hutan, woodland onion, wood garlic,
pokok bawang putih, jungle garlic.
Famili : Olacacae
Lokasi di jumpai : Hutan Sumatra (Khususnya Riau dan Jambi)

2.2 Lignosulfonat
Lignosulfonat merupakan senyawa turunan lignin yang mengalami
sulfonasi. Selain selulosa dan hemiselulosa, lignin merupakan senyawa polimer
organik yang melimpah dan penting dalam dunia tumbuh-tumbuhan, fungsinya
sebagai bahan pengikat antar serat. De Candolle memperkenalkan pertama kali
istilah ini yang diambil dari bahasa latin untuk kayu, lignin. Struktur dalam lignin
sangat kompleks dan rumus yang tepat bagi lignin tidak jelas, akan tetapi struktur
dasarnya adalah phenil propana yang bersambung dalam tiga dimensi. Hingga saat
ini struktur lengkap lignin masih merupakan model (Fengel, 1995).
Proses pulping sulfit sodium merupakan salah satu cara untuk memecah
dan melepaskan lignin alam (delignifikasi) dari serat menjadi molekul-molekul
yang lebih kecil. Pada dasarnya tipe reaksi yang berperan dalam delignifikasi pada
proses tersebut adalah reaksi hidrolisis oleh H+ dan sulfonasi oleh HSO3-
(Gambar 1). Reaksi hidrolisis memecah ikatan-ikatan eter antara unit-unit fenil
propana menghasilkan gugus-gugus hidroksil fenol bebas, sedangkan reaksi
sulfonasi menghasilkan gugus-gugus asam sulfonat hidrofil dalam polimer lignin
hidrofob. Kedua reaksi ini menaikkan hidrofilitas lignin sehingga lebih mudah
larut.
7

Gambar 2.1. Reaksi antara lignin dengan cairan pensulfonat yang


mengandung bahan pereaksi aktif H+ (hidrolisa) dan HSO3-
(sulfonasi).

Bahan perekasi aktif HSO3- dan H+ berada dalam kesetimbangan dengan


H2SO3, HSO32- dan SO2 terlarut. Bahan-bahan tersebut diperoleh dari proses
penyiapan larutan pemasak yang diawali dengan pembakaran belerang menjadi
gas SO2 dan menyerapnya dengan air dan basa pada kolom absorbsi gas-cair ber-
packing. Sejumlah basa dalam bentuk NaOH dibutuhkan untuk menetralkan dan
mengikat asam-asam lignosulfonat dan produk-produk degradasi asam dan
senyawa lain yang terbentuk dalam reaksi-reaksi samping. Pengikatan ini
dimaksudkan juga untuk menghambat reaksi kondensasi yang dapat menyebabkan
lignin kembali bergabung dengan struktur selulosa. Pengikatan asam-asam
lignosulfonat oleh basa NaOH menghasilkan senyawa sodium lignosulfonat yang
memiliki karakter polidispersi akibat terdapatnya gugus hidrofilik dan lipofilik
dalam satu molekul yang sama. Jumlahnya sekitar 60-70% berat kering lindi hasil
(Fengel, 1995).
Pemanasan pada proses sulfit dilakukan dan dikontrol dengan injeksi uap
langsung atau dengan pemanasan tak langsung menggunakan penukar panas
hingga mencapai suhu pemasakan maksimal antara 150-170 oC. Kenaikan suhu
selama waktu pemanasan untuk mencapai suhu akhir harus perlahan-lahan agar
reaksi delignifikasi sempurna dan kondensasi awal tidak terjadi. Waktu yang
8

diperlukan untuk mencapai suhu maksimum sekitar 3 jam. Waktu pemasakan


dipengaruhi oleh suhu maupun komposisi lindi pemasak, maka biasanya waktu
pemasakan pada suhu maksimum lebih cepat dari waktu proses yang lain, karena
perpanjangan waktu lebih lama akan menurunkan rendemen dan sifat-sifat
kekuatan pulp (Fengel, 1995).
Impregnasi serpih-serpih biomassa dipengaruhi oleh faktor penetrasi dan
difusi lindi pemasak. Penetrasi terutama dipengaruhi oleh tekanan dan ukuran
serpih yang digunakan. Tekanan pemasakan bervariasi antara 5 sampai 7 bar dan
ukuran lebar serpih sekitar 8 mm. Sedangkan laju difusi ditentukan oleh
konsentrasi bahan pemasak dan ukuran pori biomassa. Konsentrasi bahan
pemasak yang dipakai menyebabkan pH antara 3 sampai 5. Nisbah larutan
pemasak terhadap biomassa selama tahap impregnasi biasanya 5:1. Untuk
memastikan agihan lindi pemasak yang seragam maka dilakukan pemutaran
dengan pengaduk maupun dengan pompa sirkulasi larutan pemasak. Sebelum
suhu pemasakan akhir dicapai maka sebagian lindi dipindahkan (pembebasan
samping), diikuti dengan pembebasan gas SO2 dari bagian atas bejana pemasak
(pembebasan atas).

2.3 Beton
Beton adalah material utama yang digunakan dalam pembuatan bangunan
yang merupakan bahan campuran dari semen, pasir, dan air. Disana fungsi
daripada semen adalah untuk bahan pengikat. Diberi air agar encer dan mudah
tercampur. Kemudian bahan tersebut mengeras dan membentuk bahan sekeras
bebatuan. Beton dianggap sebagai sejenis batu tiruan karena beton memiliki sifat
yang hampir sama dengan bebatuan dan batu bata. Beton mempunyai beberapa
kelebihan dibandingkan batu. Salah satunya beton dapat dibentuk sesuai
keinginan kita, karena beton tersedia dalam bentuk semi cair yang mudah
dibentuk dengan menambahkan tulangan atau cetakannya saja.
Proses pencetakan memberikan sambungan antar elemen yang sangat
efektif dan menghasilkan struktur yang menerus (rantai panjang). Keuntungan
lainnya, bahan beton juga dapat dicampur dengan bahan-bahan lain agar dapat
9

menambah sifat yang dimilikinya. Contohnya diberi batangan baja, strimin besi,
ceramic ball, streofoam ataupun bahan-bahan lainnya. Campuran daripada beton
adalah semen : pasir : air adalah 1 : 4 : 0,6. Tetapi jika diperlukan dapat
ditambahkan bahan tambahan untuk maksud tertentu. Agar mendapatkan
campuran yang baik dalam setiap bahan campuran beton harus dalam komposisi
yang tepat. Berikut diskripsi tentang bahan campuran beton:
1) Semen
Semen merupakan bahan perekat dalam campuran beton.
Macam-macam semen :
• Semen PC, Portland Cement.
• Semen PPC, Pozzland Porland Cement.
• Semen tahan sulfat, biasanya digunakan pada bangunan tepian air seperti
pelabuhan atau dermaga. Semen tersebut membuat agar beton yang sudah
jadi, menjadi tidak mudah terkikis.
• Semen tahan panas tinggi, biasanya digunakan untuk wadah mengolah biji
besi panas.
• Semen daya kering cepat, biasanya digunakan untuk membuat pondasi
jembatan.
Bahan dasar semen adalah :
• 3CaO.SiO2 (Tricalcium Silicate) disingkat C3S
• 2CaO.SiO2 (Dicalcium Silicate) disingkat C2S
• 3CaO.Al2O2 (Tricalcium Aluminate) disingkat C3A
• 4CaO.Al3O2Fe3O3 (Tetracalcium Aluminaferrit) disingkat C3S
C3S dan C2S merupakan senyawa yang membuat sifat-sifat perekat, C3Al
adalah senyawa yang paling reaktif, sedangkan C2AF berfungsi sebagai katalisator
yang menurunkan temperature pembakaran dalam pembentukan Calcium Silicate.
Yang paling sering digunakan dalam pembuatan beton adalah Portland
Cemen (PC), yang merupakan semen hidraulis tipe 1. Keunggulan dari semen
Portland ini adalah dapat meningkatkan kekuatan dan mengeras melalui suatu
reaksi kimia dengan air yang disebut hidrasi. Pada reaksi hidrasi ini akan
menghasilkan panas dan terjadi pengikatan pada permukuaan butir. Tricalcium
10

Aluminate, sehingga terjadi rekatan yang kuat antara material dalam campuran
beton. Secara lengkap reaksi hidrasi yang terjadi adalah sebagai berikut:
2(3CaO.Si2) + 6H2O 3CaO.SiO2.3H2O + 3Ca(OH)2
2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2.2H2O + Ca(OH)2
3CaO.Al2O3 + 12H2O + Ca(OH)2 3CaO.Al2O3.Ca(OH)2.I2H2O
3CaO.Al2O3 + 10H2O + CaSO4.2H2O 3CaO.Al2O3.CaSO4.I2H2O
4CaO.Al2O3.Fe2O3 + 10H2O + 2CO(OH)2 6CaO.Al2O3.Fe2O3.I2H2O
C3S dan C2S akan terhidrasi menjadi Calcium Silicate Hidrate (C-S-H)
dan Calcium Hydroxide (C-H). C-S-H inilah yang memberikan kekuatan pada
Hydrate dengan mengeluarkan panas yang banyak sehingga terjadi pengerasan
(hardening) (Nugraha, 1989).

2) Pasir
Pasir pada campuran semen berfungsi sebagai pengeras sehingga beton
dapat menjadi sekeras batu.
Ciri-ciri pasir yang baik:
1. Berwarna abu-abu kalau dalam keadaan kering, berwarna hitam kalau dalam
keadaan basah.
2. Tidak bercampur tanah, karena jika tercampur dengan tanah akan
mengganggu kerekatan.

3) Air
Air pada beton mempunyai fungsi sebagai pengencer. Agar cairan beton
dapat padat dan mengisi ruang-ruang sehingga membentuk cetakan.
Ciri-ciri air yang baik:
1. Tidak bewarna.
2. Tidak berbau.
3. Tidak berasa.
11

4) Bahan Tambahan Pada Beton


Di Indonesia bahan tambahan telah banyak digunakan. Manfaat-manfaat
dari bahan tambahan tersebut perlu dibuktikan dengan menggunakan bahan
agregat dan jenis semen yang sama dengan bahan yang akan dipakai di lapangan.
Untuk bahan tambahan yang merupakan bahan kimia harus memenuhi syarat yang
diberikan dalam ASTM (American Society for Testing Materials). Bahan
tambahan yang digunakan memodifikasi sifat dan karekteristik dari beton
misalnya untuk dapat dengan mudah dikerjakan, penghematan, atau untuk tujuan
lain yaitu untuk penghematan energi.
Bahan tambahan adalah berupa bubukan atau cairan yang dibubuhkan ke
dalam campuran beton selama pengadukan dalam jumlah tertentu untuk merubah
beberapa sifatnya. Bahan tambahan terdiri dari tipe A dan G yang digunakan
untuk mengurangi jumlah air campuran, memperlambat waktu pengikatan,
mempercepat waktu pengikatan dan menambah kekuatan awal beton yang diuji
dengan beton pembanding dengan proporsi yang sama tanpa bahan tambahan
(SNI 03-2495-1991).
12

Tabel 2.1 Persyaratan fisis bahan tambahan untuk campuran beton


NO Macam Tipe
Pengujian A B C D E F G
1 Kadar air,
maksimal
terhadap 95 95 95 88 88
pembanding
(%)
2 Waktu pengikatan penyimpanan pangan yang diperbolehkan terhadap pembandingan, menit
a. Waktu
pengikatan
awal
- Minimum - 60 lebih 60 menit 60 menit 60 - 60 menit
lambat lebih lebih menit lambat
cepat lambat lebih
cepat
- Maksimum 60 menit 210 lebih 210 120 menit 60 60 menit 210
lebih lambat lebih lebih menit lebih menit
cepat dan lambat lambat lebih cepat dan lebih
juga 90 cepat 90 menit lambat
menit lebih
lebih lambat
lambat
b. waktu
pengikatan
akhir
- Minimum - - - - - - -
- Maksimum 60 menit 210 lebih 60 menit 210 lebih 60 60 menit 210 lebih
lebih lambat lebih lambat menit lebih lambat
cepat dan cepat lebih cepat dan
juga 90 cepat juga 90
menit menit
lebih lebih
lambat lambat
1
3 Kuat tekan minimum, minimum terhadap pembanding( %): )
1 hari - - - - - 140 125
3 hari 110 90 125 110 125 125 125
7 hari 110 90 100 110 110 115 115
28 hari 110 90 100 110 110 110 110
6 bulan 100 90 90 100 100 100 100
1 tahun 100 90 90 100 100 100 100
1
4 Kuat lentur, minimum terhadap pembanding (%): )
3 hari 100 90 110 100 110 110 110
7 hari 100 90 100 100 100 100 100
28 hari 100 90 90 100 100 100 100
5 Perubahan panjang maksimal penyusutan:2)
a. Penambahan
diatas 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35 0,35
pembanding
b. Penambahan
dibawah 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01 0,01
pembanding
Sumber: SNI 03-2495-1991

Adapun jenis-jenis bahan tambahan aditif pada beton adalah sebagai


berikut :
13

2.4 Bahan Tambahan Kimia


1) Tipe A “Water Reducing Admixture” (WRA).
Water Reducing Admixture adalah bahan tambahan yang mengurangi air
pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan beton dengan konsistensi
tertentu. Water Reducing Admixture digunakan antara lain untuk memproduksi
beton dengan nilai perbandingan atau rasio faktor air semen yang rendah.
Bahan Water Reducing Admixture dapat berasal dari bahan organic
ataupun campuran inorganik yang diklasifikasikan secara umum menjadi 5 kelas :
a. Asam lignosulfonik dan kandungan garam-garam.
b. Modifikasi dan turunan asam lignosulfonik dan kandungan garam-garam.
c. Hydroxylated carboxylic acid dan kandungan garamnya.
d. Modifikasi hydroxylated carboxylic acid dan kandungan garamnya.
e. Material lainnya, seperti:
- Material inorganik, seperti: seng, garam-garam, barak, fosfat, klorida.
- Asam amino dan turunannya.
- Karbohidrat, polisakarin, dan gula asam.
2) Tipe B “Retarding Admixture”
Retarding admixture adalah bahan tambahan yang berfungsi untuk
menghambat waktu pengikatan beton. Dengan demikian waktu pengerasan
menjadi lebih panjang untuk maksud dan tujuan tertentu, seperti pengangkutan
adonan dalam jarak jauh.
3) Tipe C “Accelerating Admixture”
Accelerating admixture adalah bahan tambahan yang berfungsi untuk
mempercepat pengikatan dan pengembangan kekuatan awal beton. Bahan ini
digunakan untuk mengurangi lamanya waktu pengeringan dan mempercepat
pencapaian kekuatan pada beton. Accelerating admixture yang paling terkenal
adalah kalsium klorida.
4) Tipe D “Water Reducing and Retarding Admixture”
Water Reducing and Retarding Admixture adalah bahan tambahan yang
berfungsi ganda yaitu mengurangi jumlah air pencampuran yang dipergunakan
untuk menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu dengan menghambat
14

pengikatan awal. Bahan ini juga akan mengurangi kandungan semen yang
sebanding dengan pengurangan kandungan air.
5) Tipe E “Water Reducing and Accelerating Admixture”
Water Reducing and Accelerating Admixture adalah bahan tambahan yang
berfungsi ganda yaitu mengurangi jumlah air pencampur yang dipergunakan
untuk menghasilkan beton yang konsistensinya tertentu dan mempercepat
pengikatan awal. Bahan ini juga akan mengurangi kandungan semen yang
sebanding dengan pengurangan kandungan air.
6) Tipe F “Water Reducing, High Range Admixture”
Water Reducing, High Range Admixture adalah bahan yang digunakan
untuk mengurangi jumlah air pencampuran yang diperlukan untuk menghasilkan
beton dengan konsistensi tertentu, sebanyak 12 % atau lebih. Kadar pengurangan
air dalam bahan ini lebih tinggi, sehingga kekuatan beton yang dihasilkan lebih
tinggi dengan air yang sedikit, tetapi tingkat kemudahan pekerjaan juga lebih
tinggi.
7) Tipe G “Water Reducing, High Range Retarding”
Water Reducing, High Range Retarding adalah bahan tambahan yang
berfungsi untuk mengurangi jumlah air pencampur yang dipergunakan untuk
menghasilkan beton dengan konsistensi tertentu, dan juga untuk menghambat
pengikatan beton. Jenis bahan ini merupakan bahan gabungan superplasticizer
dengan menunda waktu pengikatan beton.
15

BAB III
PELAKSANAAN PENELITIAN

3.1 Bahan dan Alat


3.1.1 Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas bahan untuk
pemasakan SLS dan bahan campuran pada saat pencetakan beton. Bahan yang
digunakan pada saat pemasakan SLS terdiri dari : serbuk gergaji, Sodium Bisulfit
(NaHSO3), aquades, etil asetat, dan NaOH. Sedangkan bahan yang dipakai untuk
campuran beton yaitu : semen, pasir, air dan SLS hasil pemasakan dalam bentuk
serbuk.

3.1.2 Alat-alat
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas peralatan
pemasakan SLS, peralatan pencetakan beton dan peralatan pengujian kuat tekan
beton. Peralatan yang digunakan untuk pemasakan SLS yaitu : Reaktor Batch, Oil
Batch, Beaker glass 3000 ml, Beaker glass 1000 ml, corong pisah 500 ml, pompa
vakum dan kelengkapannya, corong, klem, dan statip serta kertas saring. Peralatan
yang digunakan untuk pencetakan beton yaitu : wadah, sendok semen, dan
cetakan. Sedangkan alat untuk melakukan pengujian beton yaitu alat uji tekan
(Universal Testing Machine).

3.2 Prosedur Penelitian


3.2.1 Persiapan SLS
Bahan Sodium Lignosulfonat diperoleh dengan cara hidrolisis dan
sulfonasi serbuk gergaji kayu kulim dalam reaktor bertekanan dengan pelarut
Sodium bisulfit (NaHSO3).
Pembuatan larutan Sodium Bisulfit (NaHSO3) pH : 4,3.
1. Semua alat dan bahan dipersiapkan,
2. Aquades dituangkan sebanyak 2500 ml ke dalam beaker glass 3000 ml,
3. Sodium bisulfit (NaHSO3) ditambahkan secara perlahan-lahan
16

4. Larutan diaduk hingga larut dan ukur pH-nya.


5. Sodium bisulfit (NaHSO3) ditambahkan terus sampai mencapai pH 4,3.
Kondisi pemasakan dilakukan pada suhu 1600C, pH 4,3 dan rasio berat
padat-cair 1 : 15. Pemasakan dilakukan selama total waktu 5 jam, dimana selama
tiga jam pertama suhu pemanasan dinaikan secara perlahan sampai mencapai suhu
1600C dan pemanasan suhu konstan selama 2 jam, kemudian pemanasan
dihentikan.(Fengel, 1995).
Cairan SLS kemudian diperas dan disaring dua kali, masing-masing
menggunakan kertas saring biasa, dan kertas saring Whatman 42 untuk
memisahkan serat selulosa yang masih terikut. Cairan SLS yang diperoleh masih
mengandung hemiselulosa dan sodium bisulfit sisa reaksi, kemudian diukur pH
dan disimpan di dalam oven dengan suhu 600C. Hal ini dilakukan untuk
menghindari tumbuhnya jamur akibat masih tersisanya senyawa hemiselulosa.
Setelah cairan tersebut diperoleh, kemudian dicampurkan dengan etil
asetat dengan perbandingan 1 : 1 lalu dimasukan ke dalam corong dan dikocok
agar homogen. Setelah dibiarkan selama satu hari, maka akan terpisah menjadi
dua lapisan yang lapisan atasnya berwarna bening sedangkan bagian bawahnya
hitam pekat. Lapisan bawah tersebut diambil dan dikeringkan dioven pada suhu
1000C selama lebih kurang 3 jam atau sampai membentuk padatan. Setelah
kering, tambahkan larutan NaOH 0,1 % (% berat) sampai membasahi seluruh
permukaan padatan tersebut dan keringkan kembali hingga membentuk padatan.
Padatan inilah yang nantinya akan menjadi campuran pada adukan beton.

3.2.2 Pencetakan Beton


Pencetakan beton dilakukan dengan menggunakan bahan campuran
semen, pasir, air, dan bahan aditif SLS. Pencetakan dilakukan dengan
menggunakan cetakan yang terbuat dari kayu yang dirangkai membentuk kotak-
kotak dengan perbandingan komposisi antara semen : 1 bagian, pasir : 4 bagian,
dan air : 0,6 bagian semen. Perhitungannya adalah sebagai berikut :
Berat volume padat agregat halus (A) = 1,832 gr/cm3
Volume mould (B) =5x5x5 = 125 cm3
17

Berat pasir =AxB


= 1,832 gr/cm3 x 125 cm3
= 229 gr.
Semen = ¼ x 229 = 57,25 gr.
Air 0,6 fraksi berat dari semen = 0,6 x 57,25 = 34,35 gr.
(Sesuai variasi penambahan)
SLS 0,1 % (sesuai variasi) = 0,1 % x 34,35 = 0,0343 gr.

Prosedur kerja :
1. Timbang semua bahan sesuai dengan variasi sampel yang akan dibuat
(semen : 57,25 gr; pasir : 229 gr; air : 34,3157 gr dan SLS : 0,0343 gr.)
2. Masukkan pasir dan semen kedalam wadah pengadukan dan adukan
sehingga rata.
3. Siapkan air yang telah ditimbang (34,3157 gr) di dalam beaker glass lalu
masukan bubuk SLS sebanyak 0,0343 gr dan aduk hingga larut.
4. Masukan larutan tersebut kedalam wadah pengadukan pasir dan semen dan
aduk hingga semua pasir dan semen tersebut bercampur.
5. Masukan ke cetakan yang telah di sediakan dan tekan hingga rata dan
padat, lalu biarkan selama satu hari.
6. Setelah satu hari, buka cetakan dan rendam sampel tersebut selama 5 hari.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar pengerasan antara bagian luar dan
bagian dalamnya seragam (kompleks) serta mencegah panas hidrasi yang
berlebihan.(Nutong. C, 2001).
7. Setelah 5 hari, angkat dari tepat perendaman dan biarkan diudara terbuka
selama 2 hari.
8. Beton siap untuk diuji.
9. Ulangi langkah diatas untuk variasi air 0,5% dan 0,4% serta variasi SLS
0,3%, 0,5%, dan 0,7% dari jumlah air yang digunakan.
18

3.2.3 Pengujian Beton


Setelah melalui beberapa tahapan dan diperoleh beton siap uji. Alat yang
digunakan yaitu alat uji kekerasan yaitu “Universal Testing machine” type
TN20MO di Laboratorium Pengujian Bahan Jurusan Teknik Sipil Universitas
Riau. Pengujian dilakukan dengan memberikan tekanan pada permukaan beton
sampai beton tersebut pecah, sehingga diperoleh angka kuat tekan masing-masing
sampel.
19

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil
Setelah dilakukan pengujian kuat tekan terhadap sampel beton tersebut,
maka diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Penambahan SLS 0,7 % dari berat air yang digunakan.
Fraksi berat Kuat Tekan (kN/cm2)
No. air terhadap
Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata
berat semen
1. 0,6 35,00 40,00 37,50
2. 0,5 45,00 40,00 42,50
3. 0,4 40,00 35,00 37,50

2. Penambahan SLS 0,5 % dari berat air yang digunakan.


Fraksi berat Kuat Tekan (kN/cm2)
No. air terhadap
Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata
berat semen
1. 0,6 40,00 30,00 35,00
2. 0,5 40,00 35,00 37,50
3. 0,4 35,00 40,00 37,50

3. Penambahan SLS 0,3 % dari berat air yang digunakan.


Fraksi berat Kuat Tekan (kN/cm2)
No. air terhadap
Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata
berat semen
1. 0,6 25,00 30,00 27,50
2. 0,5 40,00 30,00 35,00
3. 0,4 30,00 35,00 32,50

4. Penambahan SLS 0,1 % dari berat air yang digunakan.


Fraksi berat Kuat Tekan (kN/cm2)
No. air terhadap
Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata
berat semen
1. 0,6 30,00 35,00 32,50
2. 0,5 40,00 30,00 35,00
3. 0,4 30,00 35,00 32,50
20

5. Tanpa penambahan SLS.


Fraksi berat Kuat Tekan (kN/cm2)
No. air terhadap
Sampel 1 Sampel 2 Rata-rata
berat semen
1. 0,6 25,00 30,00 27,50
2. 0,5 35,00 30,00 32,50
3. 0,4 25,00 25,00 25,00

Dari data diatas, maka didapatkan grafik 4.1 sebagai berikut:

45.00
Kuat tekan rata-rata (kN/cm2)

40.00

35.00

30.00

25.00 SLS 0.7 %


SLS 0.5 %
20.00
SLS 0.3 %
15.00
SLS 0.1 %
10.00
Tanpa SLS
5.00

0.00
0.6 0.5 0.4

Fraksi berat air yang dipakai terhadap berat Semen

Gambar 4.1 Grafik perbandingan kuat tekan beton (mortar) tiap


penambahan SLS.

4.2 Pembahasan
Dari gambar 4.1 di atas terlihat bahwa secara umum beton dengan
penambahan SLS memiliki kekuatan tekan lebih baik dari beton tanpa
penambahan SLS. Namun untuk data pada penggunaan air 0,6 tanpa penambahan
SLS kuat tekannya sama dengan kuat tekan sampel dengan pemakaian air sama
dan penambahan SLS 0,3%. Penyebab terjadinya hal tersebut tidak dapat
diketahui secara pasti. Untuk menentukannya perlu dilakukan penelitian yang
lebih mendalam dan mendetail. Selain itu, secara umum proses pencampuran
(workability) dengan menggunakan SLS tampak lebih mudah dibandingkan
21

campuran tanpa SLS. Tekstur campuran menggunakan SLS tampak lebih liat dan
basah, sehingga mempermudah proses pengadukan dan pencetakan sampel.
Dari gambar tersebut juga terlihat bahwa semakin besar kandungan SLS
dalam campuran beton, maka kuat tekannya relatif semakin meningkat. Adapun
nilai kuat tekan maksimal yang diperoleh pada penelitian ini yaitu kuat tekan
beton sebesar 42,50 kN/cm2 pada pemakaian SLS 0,7 % dari volume air yang
digunakan (0,2004 gr) dan air 0,5 bagian dari berat semen (28,425 gr). Angka kuat
tekan tersebut jauh lebih diatas kuat tekan campuran beton tanpa penambahan
SLS. Kondisi ini dinyatakan sebagai kondisi optimal karena disamping
penggunaan air dan SLS yang relatif sedikit, juga karena kuat tekan yang
dihasilkan cukup signifikan dari kuat tekan campuran beton tanpa penambahan
SLS (kenaikan 30, 77%).
Jika dibandingkan dengan hasil penilitian yang telah dilakukan oleh
Izlansyah, diperoleh nilai kuat tekan maksimal beton sebesar 31,480 kN/cm2 pada
pemakaian SLS 0,5% dari volume air yang digunakan (0,1430 gr) dan air 0,5
bagian dari semen (28,625 gr). Dari hasil ini, terlihat bahwa pada pemakaian SLS
0,7% nilai kuat tekan beton (mortar) lebih besar jika dibandingkan dengan
pemakaian SLS 0,5% yaitu 42,50 kN/cm2 (SLS 0,7 %) dan 31,480 kN/cm2 (SLS
0,5%). Dapat disimpulkan, bahwa penggunaan SLS dengan konsentrasi yang lebih
besar akan meningkatkan nilai kuat tekan pada beton.
Terjadinya peningkatan kekuatan beton akibat penambahan SLS
diperkirakan lebih disebabkan oleh keberadaan air sisa (unreacted water) dalam
struktur beton yang berkurang, sehingga jumlah pori lebih sedikit. Disamping itu
karena SLS bersifat sebagai dispersant yang merupakan “jembatan” antara
komponen-komponen senyawa yang tidak dapat saling bersatu. Hal ini membuat
struktur beton lebih kompak secara mikro.
22

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut:
1. Serbuk gergaji dapat dimanfaatkan menjadi bahan baku Sodium
Lignosulfonat (SLS) untuk meningkatkan kekuatan beton.
2. Kondisi optimal hasil penelitian yaitu kuat tekan beton sebesar
42,50 kN /cm2 pada pemakaian SLS 0,7 % dari volume air yang digunakan
dan air 0,5 (fraksi berat) dari berat semen yang jauh diatas kuat tekan
beton tanpa penambahan SLS (kenaikan 30,77 %).

5.2 Saran
Ada beberapa saran terkait dengan hasil penelitian yang telah dilaksanakan
sehingga penelitian tersebut benar-benar dapat diaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari, antara lain:
1. Perlu dilakukan penelitian untuk pemurnian Sodium Lignosulfonat (SLS)
agar unjuk kerja SLS dalam beton lebih baik lagi.
2. Sodium Lignosulfonat (SLS) berasal dari limbah yang mempunyai nilai
ekonomis yang rendah, maka perlu dikembangkan dan dipublikasikan agar
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
23

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2006. Sambutan Mentri Kehutanan dan Perkebunan pada seminar


nasional kehutanan masa depan Industri hasil hutan (kayu) di Indonesia.
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta.

Anonim. 1997. Forestry statistic of Indonesia. Secretary General of Forestry.


Ministry of Forestry and Estate Crops, Bureau of Planning, Jakarta.

Fengel, D. & Wegner, G. 1995. Kayu: Kimia, ultra struktur dan reaksi-reaksi.
Terjemahan oleh Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Izlansyah. 2008. Pembuatan Sodium Lignosulfonat (SLS) Dari Limbah Serbuk


Gergaji sebagai Bahan Aditif Untuk Meningkatkan Kekuatan Beton.
Laporan Tugas Akhir. Fakultas Teknik Universitas Riau (tidak
diterbitkan).

Martawijaya, A. and P.Sutigno. 1990. Increasing the efficiency and productivity


of wood processing through the minimization and utilization of wood
residues. Seminar on Wood Technology, Indonesia-Jakarta.

Nugraha, P. 1989. Teknologi Beton Dengan Antisipasi Terhadap Pedoman Beton,


U.K Petra Press, Surabaya.

Nutong. C. 2001. Properties of Portland Cement Mixed Whit Ricw Husk Ash and
Quickline, Electronic Journal of Civil Engineering Education. King
Mongkurat`s Institute of Technology Nort Bangkok. Available at URL:
http//www.ejge.com.

Pari, G. 2002. Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan


Kayu. Program Pasca Sarjana/S3 Institut Pertanian Bogor.

SNI 03-2495-1991, Spesifikasi Bahan Tambahan Untuk Beton.


24

LAMPIRAN A

Perhitungan campuran pemasakan SLS :


Volume reaktor = 2.500 ml
Rasio Padat Cair = 1 : 15

Maka jumlah serbut gergaji yang digunakan adalah :


= 2.500/15
= 166,67 gr
25

LAMPIRAN B

Perhitungan campuran adukan beton berdasarkan SNI T-15-1990-03 :


Mix Design Campuran Serat Sintetis Mortar :
Berat volume padat agregat halus (A) = 1,832 gr/cm3
Volum mould (B) =5x5x5
= 125 cm3
Berat pasir =AxB
= 1,832 gr/cm3 x 125 cm3
= 229 gr
Mix Design campuran mortar dengan perbandingan 1 : 4 : 0,6
Semen = ¼ x 229 = 57,25 gr
Pasir = 229 gr = 229 gr
Air (penambahan air di variasikan masing-masing 0,4; 0,5 dan 0,6 fraksi
berat terhadap semen). Maka hasil perhitungannya adalah:
- Air 0,4 = 0,4 x 57,25 = 22,90 gr
- Air 0,5 = 0,5 x 57,25 = 28,625 gr
- Air 0,6 = 0,6 x 57,25 = 34,35 gr
Sodium Lignosulfonat ditambahkan dengan variasi masing-masing 0,1 %;
0,3 %; 0,5% dan 0,7 % terhadap penggunaan air. Maka jumlah SLS yang
digunakan tiap masing-masing penambahan air adalah:
Pada penggunaan air 0,4
SLS 0,1 % = 0,1 % x 22,90 gr = 0,0230 gr
SLS 0,3 % = 0,3 % x 22,90 gr = 0,0687 gr
SLS 0,5 % = 0,5 % x 22,90 gr = 0,1145 gr
SLS 0,7 % = 0,7 % x 22,90 gr = 0,1603 gr
Pada penggunaan air 0,5
SLS 0,1 % = 0,1 % x 28,625 gr = 0,0286 gr
SLS 0,3 % = 0,3 % x 28,625 gr = 0,0859 gr
SLS 0,5 % = 0,5 % x 28,625 gr = 0,1431 gr
SLS 0,7 % = 0,7 % x 28,625 gr = 0,2004 gr
26

Pada penggunaan air 0,6


SLS 0,1 % = 0,1 % x 34,35 gr = 0,0343 gr
SLS 0,3 % = 0,3 % x 34,35 gr = 0,1030 gr
SLS 0,5 % = 0,5 % x 34,35 gr = 0,1717 gr
SLS 0,7 % = 0,7 % x 34,35 gr = 0,2404 gr

Anda mungkin juga menyukai