Anda di halaman 1dari 5

TUGAS KULIAH PENGGANTI HHNK (11 April 2022)

Nama : Arifah Nur Afifi


NIM : 20/459079/KT/09244
Kelas : HHNK – A

HASIL HUTAN BUKAN KAYU: PEREKAT ALAMI DAN SUTERA

Hasil hutan bukan kayu merupakan salah satu potensi tinggi yang semestinya dapat
dikembangkan lebih baik di Indonesia. Banyak di antara pemanfaatannya yang masih kurang
optimal sehingga hasil hutan bukan kayu dapat dikatakan masih belum terkenal dan masih
kalah popular dibandingkan dengan hasil hutan kayu. Padahal pemanfaatan hasil hutan bukan
kayu dapat menjadi salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam rangka mengurangi
pemanfaatan kayu sebagai komoditas utama sebab kawasan hutan yang semakin lama
semakin berkurang. Hal ini berkaitan juga dengan kelangsungan lingkungan hidup khususnya
dalam pelestarian hutan sebagai pencegahan pemanasan global sebagai akibat dari adanya
penebangan hutan yang dilakukan terus-menerus tanpa diikuti adanya kegiatan penanaman
atau restorasi hutan. Pengenalan hasil hutan bukan kayu pada khalayak umum perlu
ditingkatkan selain untuk mengurangi penggunaan dari kayu juga dari segi ekonomi dapat
menguntungkan. Tentu pemanfaatan HHBK tidak sepenuhnya akan menggantikan produksi
kayu, namun setidaknya dengan adanya perhatian dan pemanfaatan terhadap komoditas hasil
hutan bukan kayu HHBK yang optimal, diharapkan kelestarian hutan dapat terjaga sekaligus
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya pengusaha lokal yang tinggal di
sekitar kawasan hutan. Hasil hutan bukan kayu terdiri atas beberapa jenis dengan bentuk yang
berbeda-beda seperti adanya hasil hutan bukan kayu berupa produk fisik dan produk jasa.
HHBK berupa jasa meliputi pariwisata alam, kawasan konservasi, suaka margasatwa, hutan
lindung, dan masih banyak lagi. Sementara HHBK berupa produk riil yakni meliputi
kelompok tumbuhan berkekuatan, produk ekstraktif, produk hasil budidaya, dan produk
HHBK lainnya. Masing-masing kelompok memiliki ciri atau karakteristik dan tujuan
pemanfaatannya masing-masing. Dalam artikel ini, akan lebih banyak dibahas terkait perekat
alami yang termasuk dalam kelompok produk ekstraktif dan sutera alam sebagai hasil dari
budidaya.
Perekat yang dimaksud dalam bidang kehutanan berkaitan dengan penggunaan zat
perekat itu sendiri di dalam beberapa produk pengolahan kayu, seperti pada kayu laminasi,
papan partikel, gluelam, dan beberapa produk lain yang dalam pembuatannya diberi
tambahan atau campuran bahan perekat. Perekat yang kerap dikenal, contohnya pada
pembuatan papan partikel yakni penggunaan zat seperti zat fenol-formaldehida (PF),
resorsinol-formaldehida (RF), fenol-resorsinol-formaldehida (PRF) untuk pengunaan
eksterior. Zat-zat tersebut dikenal sebagai perekat sintesis dan cukup sering digunakan dalam
pembuatan papan partikel, papan sambung, bare core, papan blok, dan lain -lain. Perekat
digunakan pada produk-produk tersebut untuk melekatkan bahan yang digunakan seperti
contohnya pada papan partikel, penggunaan perekat dimaksudkan untuk merekatkan partikel-
partikel kayu yang akan dibuat papan. Penggunaan perekat pada gluelam atau glued
laminated timber dapat dipilih yang memiliki sifat thermosetting atau yang hanya
memerlukan kempa dingin. Sementara itu, tujuan dari produksi gluelam yang memanfaatkan
perekat ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kayu dengan ukuran yang lebih besar dengan
ketahanan tinggi terhadap organisme perusak kayu. Produksi gluelam dimaksudkan agar
pemanfaatan dari hasil pemanenan kayu hutan tanaman dapat optimal dan terhindar dari
kerusakan akibat organisme perusak kayu serta berukuran lebih besar dengan
mengombinasikan beberapa jenis kayu. Dalam mengombinasikan beberapa jenis kayu ini
dapat dilakukan pada jenis-jenis kayu dengan perbedaan kelas kuat dan variasi spesies kayu.
Perbedaan dari jenis-jenis kayu yang digunakan dalam glulam tersebut akan membentuk dan
mempengaruhi karakteristik struktur balok gluelam, hal tersebut tidak menjadi masalah
selama perekat yang digunakan sesuai sebab penggunaan perekat dapat memberikan
perubahan sifat pada gluelam contohnya pada kekuatan dan kekakuan dari produk gluelam itu
sendiri. (Hadi dan Lestari, 2022). Penggunaan zat-zat perekat sintetis di atas juga diterapkan
untuk memodifikasi kayu. Modifikasi kayu yang dimaksud di sini bertujuan untuk
memperbaiki dimensi, sifat fisik, serta mekanis kayu melalui pemadatan kayu. Hal ini
dilakukan sehingga dapat meningkatkan nilai guna dan nilai ekonomis dari kayu tersebut.
Perbaikan dimensi serta kekuatan kayu dapat dilaksanakan dengan melalui proses
kompregnasi kayu yakni dari proses impregnasi senyawa kimia yang digabungkan den gan
proses pengempaan dengan suhu dan tekanan tertentu. Penggunaan perekat pada impregnasi
dapat berupa senyawa kimia formaldehida. Akan tetapi, penggunaan senyawa tersebut
memiliki resiko potensi kesehatan sehingga perlu dikurangi. Penggunaan perekat-perekat
sintesis tersebut memang cukup populer, akan tetapi perekat sintesis justru memiliki beberapa
kelemahan. Resiko kesehatan yang dihasilkan dari adanya pemakaian menjadi salah satu
kelemahan dari penggunaan perekat sintesis tersebut, selain itu perekat sintesis juga bersifat
tidak terbaharukan sehingga tidak ramah lingkungan, juga perekat sintesis jenis urea atau
fenol formaldehida ternyata tidak tahan terhadap cuaca dan air. (Rachmawati, et al. 2018).
Dari adanya hal tersebut, maka sebaiknya perlu untuk beralih pada cara alternatif agar
permasalahan-permasalahan di atas dapat teratasi. Upaya yang dapat dilakukan yakni dengan
mulai lebih banyak menggunakan perekat alami sebagai pengganti perekat sintesis. Perekat
alami yang digunakan akan memiliki kandungan kimia yang serupa dengan yang dimiliki
perekat sintesis, bersifat lebih ramah lingkungan, serta tentu saja emisi yang dihasilkan akan
jauh lebih sedikit. Terdapat beberapa perekat alami yang dapat digunakan seperti contohnya
tanin yang dihasilkan dari limbah kayu. Tanin merupakan perekat alami yang terbarukan.
Berdasarkan hasil penelitian, tanin dapat digunakan untuk menggantikan senyawa fenol pada
produksi resin fenol-formaldehida (PF), resorsinol-formaldehida (RF), dan fenol-resorsinol-
formaldehida (PRF), selain itu juga dapat digunakan dalam pembuatan tanin-formaldehida.
Dari adanya penggunaan tanin, akan dapat mengurangi reduksi dari pemakaian resorsinol
serta penggunaan perekat impor. Tanin sebagai perekat alami juga lebih murah serta ramah
lingkungan. Perekat lain yang potensial yakni sukrosa. Sukrosa merupakan glukosa dan
fruktosa yang diikat oleh ikatan eter pada atom C1 unit glukosa dan atom C2 pada unit
fruktosa membentuk disakarida yang dikenal sebagai sukrosa. Penggunaan sukrosa dapat
membentuk ikatan hydrogen dengan molekul selulosa dan hemiselulosa pada bahan
lignoselulosa dari adanya gugur hidroksil yang tinggi. Sukrosa juga memiliki sifat kelarutan
tinggi. Akan tetapi sifat ini juga menjadi salah satu kelemahan yang membuat sukrosa
memiliki stabilitas dimensi serta kekuatan rekat yang cenderung rendah. Permasalahan
tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan zat tambahan berupa asam sitrat. Hal ini
terbukti meningkatkan kerekatan pada papan partikel dari limbah kayu lunak dengan
komposisi asam sitrat 30%, dan dapat meningkatkan sifat rekat pada limbah kayu keras
dengan komposisi asam sitrat 50%. Perekat alami lain yang berasal dari non-kayu namun
juga sangat potensial yakni pelepah nipah. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan,
pelepah nipah dapat menjadi bahan baku komposit berkualitas cukup baik. Hal ini dibuktikan
pada penelitian pembuatan papan partikel pelepah nipah yang mayoritas dapat memenuhi
standar papan partikel JIS A 5908:2003. (Santoso, et al. 2016). Jenis perekat alami lain juga
terbukti dapat digunakan sebagai alternatif dari perekat sintesis yakni perekat yang dihasilkan
dari ekstrak kayu pohon Merbau. Perekat yang dihasilkan dari kayu merbau ini terbukti
mampu menjadi bahan perekat untuk produk lamina bambu (homogen) yaitu bambu andong,
bitung, dan bambu mayan. Perekat dari ekstrak Merbau ini juga dapat digunakan pada produk
lamina yang tersusun dari kombinasi bambu-kayu jabon dan sengon (heterogen). Kualitas
rekat yang dihasilkan juga telah memenuhi persyaratan tipe eksterior standar Jepang.
(Santoso, et al. 2016).
Salah satu hasil hutan bukan kayu yang juga cukup menjanjikan yakni berupa produk
sutera alam dari hasil budidaya ulat sutera. Sutera alam menjadi komoditas di beberapa
tempat di Indonesia yang telah dikembangkan sejak lama. Di Kecamatan Donri-Donri,
Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan contohnya, kegiatan produksi sutera alam telah
dimulai sejak tahun 1960-an. Pengembangan sentra sutera alam di kabupaten tersebut juga
masih dilakukan hingga saat ini sebagai warisa turun-temurun. Sutera alam merupakan
gabungan dari kegiatan budidaya sekaligus pengolahan. Budidaya yang dimaksud yakni
berupa proses budidaya tumbuhan murbei dan ulat sutera. Pemrosesan sutera alam dilakukan
mulai dari penanaman dan pemeliharaan tumbuhan murbei, pengembangbiakan ulat sutera,
pemintalan kokon menjadi benang hingga pengolahan benang menjadi kain. Pengembangan
produksi sutera alam di kalangan masyarakat umumnya dilakukan oleh petani berdasarkan
keterampilan dan sumberdaya yang dimiliki. (Muin dan Isnan, 2018). Produksi sutera alam
bagi sektor ekonomi dikatakan menjanjikan dan strategis karena selain pengembangan sentra
ini melibatkan masyarakat khususnya petani beserta keluarga sebagai tenaga kerja, adanya
pengembangan sentra sutera alam juga akan membuka lebih banyak lapangan pekerjaan serta
dapat mengembangkan ekonomi kerakyatan dari mulai pendapatan petani, devisa, serta
meningkatkan peluang bisnis di bidang jasa. Sutera alam dihasilkan dari spesies ulat sutera
Bombyx mori L. Spesies tersebut dapat menghasilkan serat benang sutera yang diproduksi
pada akhir fase larva instar lima biasa atau ulat besar. Pada fase tersebut ular besar akan
membutuhkan banyak pakan dengan total pakan daun murbei termasuk ranting sebanyak
sekitar 1,8 ton per boks ulat atau sebanyak 90% dari total kebutuhan pakan selama fase ulat.
Hasil produksi kokon berdasarkan produktivitas kokon dan kondisi ulat yang dipengaruhi
oleh pakan yang dikonsumsi. (Rosdiana, 2019). Oleh karena itu, dalam kegiatan budidaya
untuk memproduksi sutera alam perlu untuk memperhatikan ketersediaan pakan agar kondisi
ulat dapat tetap terjaga dengan baik sehingga produktivitas kokon dari ulat sutera tetap stabil.
DAFTAR PUSTAKA
Hadi, Yusuf Sudo dan Andi Sri Rahayu Diza Lestari. 2022. Suatu Tinjauan Pemanfaatan
Kayu Hutan Tanaman Untuk Glulam. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 40(1): 31-36.
Muin, Nurhaedah dan Wahyudi Isnan. 2018. Kelembagaan Petani Sutera di Kabupaten
Soppeng. Info Teknis EBONI. 15(1): 41-52.
Rachmawati, Okti, Purwantiningsih Sugita, dan Adi Santoso. 2018. Sintesis Perekat Tanin
Resorsinol Formaldehida dari Ekstrak Kulit Pohon Mangium Untuk Peningkatan
Kualitas Batang Sawit. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 36(1): 33-46.
Rosdiana. 2019. Pengaruh Pakan Buatan Kedelai (Glycine max L) dan Kacang Merah
(Phaseolus vulgaris L.) terhadap Pertumbuhan Larva dan Produksi Kokon Ulat
Sutera (Bombyx mori L). Jurnal Hutan dan Masyarakat. 11(2): 79-91.
Santoso, Adi, I.M. Sulastiningsih, Gustan Pari, dan Jasni. 2016. Pemanfaatan Ekstrak Kayu
Merbau untuk Perekat Produk Laminasi Bambu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 34(2):
89-100.
Santoso, Mahdi, Ragil Widyorini, Tibertius Agus Prayitno, dan Joko Sulistyo. 2016. Kualitas
Papan Partikel dari Pelepah Nipah dengan Perekat Asam Sitrat dan Sukrosa. Jurnal
Ilmu Kehutanan. 10(2): 129-136.

Anda mungkin juga menyukai