Anda di halaman 1dari 34

KAYU SEBAGAI PENYEDIA BAHAN KIMIA ALAMI

RAMAH LINGKUNGAN: DULU, SEKARANG, DAN


MASA MENDATANG DI INDONESIA

Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar


dalam bidang Teknologi Hasil Hutan
pada Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Disampaikan di depan Rapat Terbuka


Dewan Guru Besar
Universitas Gadjah Mada
Pada tanggal 30 Maret 2021

Oleh:

Prof. Dr. Ganis Lukmandaru, M.Agr., S.Hut.


1

Bismillahirrahmaanirrahiim,
Yang kami hormati

Ketua, Sekretaris, dan anggota Majelis Wali Amanat,


Ketua, Sekretaris, dan anggota Dewan Guru Besar,
Ketua, Sekretaris, dan anggota Senat Akademik,
Rektor, Wakil Rektor, dan segenap pejabat struktural
Para Guru Besar, Ketua Senat Fakultas, Dekan Fakultas, dosen,
mahasiswa, tenaga kependidikan, dan segenap sivitas akademika
UGM
Para tamu undangan dan kolega yang kami hormati dan keluarga yang
saya cintai,

Assalamu’alaikum wr. wb.

Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah


SWT atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya
sehingga kita dapat hadir dalam acara yang terhormat ini di ruang
yang sangat bersejarah ini: Balai Senat Universitas Gadjah Mada.
Selanjutnya, perkenankan kami menyampaikan pidato ini dalam
rangka pengukuhan guru besar dalam bidang Teknologi Hasil Hutan
pada Fakultas Kehutanan UGM di hadapan para hadirin yang
terhormat. Pidato ini kami beri judul: “Kayu sebagai Penyedia Bahan
Kimia Alami Ramah Lingkungan: Dulu, Sekarang, dan Masa
Mendatang di Indonesia”. Tema tersebut dilatarbelakangi dari bidang
yang selama ini saya tekuni yaitu kimia kayu dengan fokus di
kontribusi dan pemanfaatannya. Mengingat sangat banyaknya produk
kayu dari konversi termokimia, maka dalam kesempatan ini hanya
dibatasi untuk yang telah diproduksi secara komersial di Indonesia
beserta potensi ke depannya untuk beberapa produk-produk yang
kuantitasnya masih minor.

1. Kayu sebagai Bahan Baku


Hadirin yang kami muliakan,
Pemanfaatan kayu oleh manusia mempunyai sejarah yang
panjang. Fosil berusia 400.000 tahun yang lalu ditemukan di
2

Schoningen, Jerman, menunjukkan adanya enam buah tombak dari


kayu dengan ujung tombak berbahan kayu dan tidak diamati adanya
bahan dari batu (Hubbe, 2012). Terlihat bahwa pemburu di zaman
dahulu telah memanfaatkannya untuk membunuh hewan-hewan besar
saat itu seperti mammoth. Penggunaan arang untuk pewarna di dinding
gua diperkirakan telah ditemukan pada 30.000 tahun SM. Hal tersebut
menegaskan kayu dengan keunggulan sifatnya menjadi salah satu
bahan baku utama dalam kehidupan manusia. Ada delapan
karakteristik kayu sebagai bahan baku, yaitu: berstruktur seluler;
bersifat anisotropis atau menunjukkan sifat berbeda pada tiga arah
utamanya; higroskopis atau bisa menyerap dan melepaskan uap air;
bisa dibiodegradasikan; mudah terbakar; lembam terhadap zat kimia;
sangat tahan terhadap organisme perusak kayu dalam kondisi tertentu;
dan bersifat isolator panas (Panshin dan de Zeew, 1981). Pemanfaatan
kayu bisa dengan cara sederhana atau minimal dalam perlakuan
pemotongan kayu bulat yang digunakan untuk tiang listrik dan lantai
jembatan. Di lain pihak, melalui proses konversi panas dan kimia
yang cukup kompleks maka produk yang sangat bervariasi bisa
diwujudkan dari arang sampai produk berbasis nanoselulosa.
Kayu merupakan bahan organik yang dihasilkan dari proses
fotosintesis. Melalui metabolisme primer maupun sekunder, terjadi
proses pembentukan sel-sel kayu. Secara kimiawi sel-sel kayu bisa
dibedakan antara komponen primer kayu yaitu penyusun dinding sel
kayu dan komponen sekunder yaitu zat yang bukan penyusun dinding
sel kayu. Komponen primer penyusun kayu terdiri dari fraksi gula
berupa selulosa dan hemiselulosa dan fraksi aromatik berupa lignin.
Ketiga komponen ini membentuk matriks atau saling berikatan secara
kimia sehingga tidak terlihat bentuk asli komponen tersebut, serta
membentuk kayu yang seperti kita lihat dalam keseharian (Fengel dan
Wegener, 1984). Komponen sekunder terdiri dari zat ekstraktif dan zat
anorganik. Pemanfaatan komponen selulosa akan dibahas lebih
mendalam di sini karena nilai produksinya yang tinggi di Indonesia
demikian sebaliknya untuk pemanfaatan zat anorganik.
3

2. Pemanfaatan Komponen Primer


Hadirin yang berbahagia,
2.1. Selulosa
Selulosa merupakan bahan organik yang paling melimpah di
dunia dan ditemukan di tumbuhan tingkat rendah seperti jamur atau
bagian pohon bukan kayu seperti daun dan bahkan ditemukan di
beberapa spesies hewan. Selulosa yang merupakan polimer dari
monosakarida glukosa ini ditemukan dalam kondisi yang terisolasi
seperti di biji kapas atau dalam bentuk terikat seperti di dalam kayu
(Rowell et al., 2005). Kadar selulosa di dalam kayu berkisar antara
40–50% dan bervariasi menurut spesiesnya. Karena merupakan
polimer yang panjang dan lurus, maka selulosa berperan besar
memberi kekuatan pada kayu.
2.1.1. Pulp dan Kertas
Di Indonesia, pemanfaatan selulosa secara masif adalah dalam
bentuk pulp dan kertas. Kayu dari spesies cepat tumbuh seperti Acacia
spp. dan Eucalyptus spp. telah dikembangkan di Indonesia melalui
Hutan Tanaman Industri (HTI) untuk memasok bahan baku pulp dan
kertas serat pendek. Pemenuhan kebutuhan pulp serat panjang
sayangnya masih harus diimpor. Kapasitas nasional terpasang tahun
2020, industri pulp 11,72 juta ton/tahun (posisi terbesar nomor 8 di
dunia) dan industri kertas 17,76 juta ton/tahun (posisi terbesar nomor
6 di dunia) (Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan, 2020).
Sebagai perbandingan kapasitas terpasang industri kertas di 2014
adalah 15,3 juta ton/tahun atau ada kenaikan sekitar 2,5 juta ton/tahun
selama 6 tahun. Hampir semua jenis kertas sudah dapat diproduksi di
dalam negeri (termasuk kertas uang). Kontribusi industri pulp dan
kertas dalam sektor perekonomian nasional adalah total ekspor senilai
US$7,15 miliar (5,7% terhadap ekspor nonmigas) atau menyumbang
3,95% PDB industri pengolahan (nonmigas) di tahun 2019. Produksi
kertas diperkirakan masih akan meningkat mengingat konsumsi kertas
di Indonesia relatif rendah bahkan dalam lingkup ASEAN.
Dalam sejarahnya, bahan baku pulp dan kertas didominasi oleh
bahan baku bukan kayu. Setelah ditemukan proses batu gerinda
(stone-ground wood) di 1840 di Jerman, maka kayu menjadi bahan
baku utama sampai sekarang (Fengel dan Wegener, 1984). Di tahun
4

1879, ditemukan proses kraft atau sulfat dengan bahan kimia sodium
hidroksida (NaOH) dan sodium sulfida (Na2S) yang merupakan
penguraian serat secara kimiawi dengan hasil kertas yang lebih kuat.
Sampai saat ini pulp sulfat masih mendominasi atau sekitar 2/3
produksi pulp kimia di dunia termasuk di Indonesia. Sebelumnya,
pengolahan kertas dimulai dari Padalarang dengan bahan baku merang
berkapasitas 8 ton/hari pada tahun 1922. Selanjutnya didirikan Pabrik
Kertas Leces di Probolinggo di 1939 (Haroen, 2016).
Pulp juga menjadi bahan dasar pembuatan papan serat,
khususnya pulp dari proses semi-mekanis (Shmulsky dan Jones,
2011). Papan serat telah menjadi komoditas penting dari papan
komposit sebagai pengganti kayu solid yang pasokannya semakin
berkurang sehingga produk akhirnya menjadi lebih mahal. Di tahun
1945, dikembangkan proses kering dalam pembentukan cetakannya
dengan produk salah satunya adalah medium density fiberboard
(MDF). Pemakaian MDF (kerapatan antara 0,6–0,8) cukup bervariasi
baik untuk interior atau eksterior dan utamanya dipakai sebagai inti
atau bagian tengah furnitur (Berglund dan Rowell, 2005). Produksi
papan serat di Indonesia mencapai 501.359,57 m3 di tahun 2019 (BPS,
2020) atau meningkat sekitar 4,4 kali lipat apabila dibandingkan
produksi di tahun 2016 yaitu 113.697,43 m3 (BPS, 2017).
Selain produk pulp dan kertas, selulosa bisa diolah menjadi
derivat-derivatnya dengan substitusi gugus hidroksil dengan proses
esterifikasi maupun eterifikasi (Fengel dan Wegener, 1984). Proses
derivatisasi ini bertujuan mengubah sifat selulosa secara drastis
sehingga dapat digunakan untuk produk pakaian, bahan peledak,
makanan, sampai aplikasi teknologi tinggi atau nano-selulosa
(Gellerstedt, 2009).
2.1.2. Rayon Viskosa
Produk derivat selulosa yang cukup luas penggunaanya adalah
rayon viskosa atau benang rayon untuk bahan tekstil. Sebelumnya,
bahan baku pakaian kebanyakan berasal dari serat ulat sutra atau wol
yang relatif mahal. Secara teknis, rayon viskosa berasal dari pulp
pelarutan. Proses yang umum dipakai untuk penghilangan
hemiselulosa ini adalah pre-hydrolysis kraft (PHK) (Gellerstedt,
2009). Pulp tersebut kemudian direndam dalam alkali dan karbon
5

disulfida untuk dilarutkan dan terbentuk kembali (regenerated


cellulose) dalam bentuk yang bisa dipintal. Rayon memiliki
karakteristik yang spesifik, yakni nyaman, enak dipakai dibandingkan
tekstil dari serat polyester. Di Indonesia, setelah bertahun-tahun
mengimpor, mulai 2019 sudah dapat diproduksi pulp pelarutan untuk
keperluan pembuatan rayon/tekstil di dalam negeri dengan kapasitas
990.000 ton untuk pulp pelarutan dan 856.000 ton untuk rayon
viskosa. Sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar, maka
keperluan sandang harus dicukupi karena merupakan kebutuhan
primer rakyat Indonesia.
2.1.3. Bioetanol
Di luar selulosa menjadi produk kertas atau rayon viskosa,
potensi di masa depan adalah pengembangan menjadi produk
bioetanol. Produksi bioetanol menjadi penting sebagai pengganti
bahan bakar fosil yang diperkirakan semakin menipis di Indonesia. Di
beberapa negara lain sudah dikembangkan secara massal. Secara
umum bahan kayu yang merupakan bahan baku generasi kedua ini
kurang menguntungkan dari segi proses dibandingkan dengan bahan
baku generasi pertama yang berpati (misalnya jagung dan kentang)
atau bergula (misalnya tebu). Penggunaan bahan baku generasi
pertama untuk bioetanol yang berkompetisi dengan kebutuhan pangan
ini juga mengundang kontroversi sehingga FAO menyatakan
moratorium biofuel dari bahan makanan di tahun 2007.
Secara teknis, bahan baku kayu memerlukan tambahan proses
dibanding bahan generasi pertama karena sifat matriks kayu yang
mengandung lignin. Tambahan proses itu adalah praperlakuan
(pretreatment) yang bertujuan untuk penghilangan lignin,
pengurangan derajat kristalinitas selulosa, dan peningkatan luas
permukaan selulosa yang dapat dijangkau oleh materi penghidrolisis.
Beberapa jenis praperlakuan adalah secara fisika, biologi, kimia, dan
kombinasi (Williamson, 2006). Para ilmuwan masih bekerja keras
untuk mendapatkan enzim yang murah dan teknologi rekombinasi
yang baru yang lebih efisien (Lucia, 2008). Di samping itu, turunnya
harga minyak di dunia juga memperlambat pengembangan di sektor
ini.
6

2.1.4. Nanoselulosa
Produk yang sedang dikembangkan di Indonesia lainnya dari
selulosa berupa derivat nanoselulosa. Sejak keberhasilan isolasi
nanofibril dari pulp kayu pada level komponen tunggal di 2006 maka
penelitian nanoselulosa menjadi booming. Nanoselulosa didefinisikan
bahan nano selulosa alam yang mencakup selulosa nanofibrilasi
(nanofibrillated cellulose/NFC) dan nanokristal selulosa (cellulose
nanocrystal/CNC) (Uetani dan Kitaoka, 2021). Banyak bahan
komposit yang telah dikembangkan karena sifat fisiknya yang
mengagumkan seperti kekuatan yang tinggi dan koefisien ekspansi
termalnya yang rendah. Lembaran nanoselulosa yang tipis dan
transparan juga telah dikembangkan yang dikenal kertas nano
(nanopaper). Meski demikian, penggunaan nanoselulosa ini
menghadapi kompetisi secara terus-menerus dari bahan berbasis
plastik.
2.2. Hemiselulosa
Bapak ibu sekalian,
Komponen gula selain selulosa yang menyusun sel kayu
adalah hemiselulosa atau poliosa. Perbedaan utama dengan selulosa
adalah hemiselulosa merupakan polimer rantai pendek dan bercabang
dengan penyusun monosakarida yang berbeda-beda, yaitu glukosa,
galaktosa, manosa, xylosa, dan arabinosa (Sjostorm, 1993). Sama
halnya dengan selulosa, peran hemiselulosa dalam kayu adalah untuk
memberi kekuatan serta sifat higroskopis karena sifat hemiselulosa
yang amorf. Kadar hemiselulosa berkisar antara 15–35%, di mana
kayu daun lebar mempunyai nilai yang lebih besar dibandingkan kayu
daun jarum.
Pemanfaatan hemiselulosa masih terbatas di Indonesia. Secara
teknis, pemanfaatan hemiselulosa adalah dalam bentuk polimer yaitu
menjadi zat aditif pembuatan kertas dan dalam bentuk monosakarida
setelah mengalami proses hidrolisis. Dari fraksi xylosa, melalui
perlakuan asam maka diperoleh produk furfural yang merupakan
produk antara untuk menghasilkan zat kimia berguna lainnya, seperti
furan, furfuril alkohol, asam karbonat furan, resin furan, asam maleat,
dan lain-lain (Fengel dan Wegener, 1984). Tantangan mendatang bagi
7

Indonesia adalah pengembangan furan dengan bahan baku kayu


melalui proses yang efektif dan efisien.
2.3. Lignin
Lignin adalah polimer tiga dimensi yang tersusun dari
monomer berupa fenilpropana dan dibentuk melalui jalur asam
sikimat (Sjostrom, 1993). Lignin merupakan komponen organik kedua
di alam yang paling banyak setelah selulosa. Berbeda dengan polimer
gula, lignin bersifat hidrofob, mudah teroksidasi dengan struktur yang
paling kompleks dibandingkan polimer alam lainnya. Kadar lignin
berkisar 18–35% di mana persentasenya lebih tinggi di kayu daun
jarum dibandingkan kayu daun lebar. Peran lignin dalam kayu adalah
memberi kekakuan, pengikatan antarsel, memberi sifat kedap air, dan
sebagai penghalang serangan mikroorganisme (Henriksson, 2005).
Pemanfaatan lignin dapat digolongkan menjadi empat
kelompok, yaitu (Fengel dan Wegener, 1984):
1. Komponen sisa dari proses pulping
2. Bahan bakar
3. Produk polimer
4. Bahan-bahan kimia berat molekul rendah
Di Indonesia, dengan banyaknya pabrik pulp sulfat skala besar,
lignin hasil pelarutan secara kimia di lindi hitam setelah melalui
evaporasi dan kondensasi dapat dimanfaatkan sebagai penghasil panas
dan listrik untuk proses pemasakan chip kayu dalam digester. Secara
teknis, lignin memiliki nilai kalor yang relatif tinggi (23,4 MJ/kg)
dibandingkan komponen gula di sel kayu (Shmulsky dan Jones, 2011).
Kontribusi lignin dalam lindi hitam sebesar 65% sebagai energi
sedangkan sisanya berasal dari pembakaran kulit, listrik, dan bahan
bakar fosil (Brannvall, 2009).
Sebagai bahan bakar di luar komponen sisa proses pulping dan
melalui proses pirolisis atau pembakaran dengan oksigen terbatas,
lignin kayu akan terkonversi menjadi arang disertai produk tambahan
lainnya yaitu asap cair, ter, dan gas-gas (Williamson, 2006). Arang
masih menjadi bahan bakar yang populer di Indonesia di samping
bahan bakar minyak bumi, kayu bakar, dan biomassa lainnya. Secara
tradisional, arang diproduksi dengan metode tungku lubang tanah
selama 3–5 hari dengan bahan baku berupa limbah tebangan. Nilai
8

tambah lebih tinggi telah dilakukan dengan pembuatan arang aktif


atau karbon aktif melalui proses aktivasi secara kimia maupun fisik
pada arang.
Produk pirolisis lainnya berupa asap cair atau asam pirolignis
atau cuka kayu yang mengandung asam cuka dan metanol, sedangkan
sisanya adalah air (80–90%) (Komarayati et al., 2018). Kegunaan asap
cair antara lain sebagai pengharum makanan, penghilangan racun,
penyembuhan sakit ringan, dan medium sterilisasi. Produk penyerta
lainnya adalah ter kayu merupakan cairan hitam kental dihasilkan dari
proses pirolisis kayu. Ter kayu mengandung banyak hidrokarbon
siklis dengan bermacam-macam berat molekul. Dalam
pemanfaatannya, ter kayu digunakan untuk mengawetkan kayu dari
pembusukan jamur terutama pada industri perkapalan.
3. Pemanfaatan Ekstraktif
Hadirin sekalian yang kami hormati,
Ekstraktif sebagai komponen sekunder kayu didefinisikan
sebagai zat diekstraksi dengan pelarut organik netral (polar dan
nonpolar). Ekstraktif merupakan produk metabolit sekunder dengan
komponen berat molekul rendah yang sangat bervariasi antarbagian
pohon. Ekstraktif kayu dapat mencapai 20% dari berat kering kayu
dan jumlahnya dipengaruhi letak dan bagian di pohon serta faktor
eksternal lainnya seperti spesies dan lingkungan (Sjostrom, 1993).
Berdasarkan struktur kimianya, komponen ekstraktif bisa digolongkan
dalam kelompok terpena, fenolat, gula, lemak-lilin dan komponen
lainnya (Fengel dan Wegener, 1984). Meskipun dalam jumlah yang
relatif kecil, ekstraktif kayu berpengaruh terhadap fisik kayu seperti
warna, kerapatan, kembang susut, nilai kalor, higroskopisitas,
keawetan alami, kekuatan kayu, dan lain-lain. Selain itu, ekstraktif
juga berpengaruh terhadap proses pengeringan, pengawetan,
perekatan, finishing, dan lain-lain. Pemanfaatan ekstraktif kayu bisa
dikelompokkan dalam minyak atsiri, getah, dan ekstrak lainnya.
Beberapa ekstrak kayu digolongkan sebagai HHBK seperti dari
kelompok getah, minyak atsiri, dan ekstrak lainnya.
3.1. Getah
Pemanfaatan komersial dari eksudat pohon berupa getah yang
secara teknis digolongkan menjadi tiga, yaitu resin, gom, dan lateks.
9

Klasifikasi tersebut didasarkan komponen kimia, kelarutan dalam air,


dan sel penghasilnya (Langenheim, 2003).
3.1.1. Getah Pinus dan Kopal
Dari getah Pinus merkusii, diperoleh produk gondorukem dan
minyak terpentin melalui proses distilasi uap. Indonesia, melalui
Perhutani mempunyai kapasitas produksi gondorukem dan terpentin
dengan produksi sekitar 90.000 ton per tahun dan luas area 877.330
ha. Penjualan di tahun 2018 adalah 62.903 ton gondorukem dan
10.040 ton untuk minyak terpentin (Perhutani, 2019). Terpentin
bahkan telah diekspor sebelum zaman kemerdekaan Republik
Indonesia (Soepardi, 1956). Indonesia merupakan penghasil
gondorukem ketiga terbesar di dunia setelah Tiongkok dan Brazil.
Gondorukem yang didominasi senyawa diterpena banyak digunakan
campuran sabun, pengisi kertas, tinta, perekat, vernis, dan lain-lain.
Keunggulan gondorukem dari Indonesia adalah lebih lengket, tahan
panas, dan beraroma. Proses derivatisasi gondorukem dilakukan untuk
menghasilkan produk yang bervariasi. Proses tersebut antara lain
proses hidrogenasi (perekat, makanan, farmasi), polimerisasi (tinta
tulis, pelapis kabel), disproporsionasi (karet) dan maleasi (zat pengisi
kertas). Minyak terpentin masuk dalam klasifikasi minyak atsiri
didominasi oleh monoterpena, khususnya alfa-pinena yang derivatnya
banyak digunakan untuk pelarut, pengharum, resin politerpena, dan
lain-lain.
Getah kopal manila dihasilkan dari pohon damar khususnya
genus agathis. Kopal banyak digunakan untuk bahan campuran cat,
arpus, politur, kosmetik, dan kemenyan. Indonesia sebagai negara
produsen kopal mengekspor hingga mencapai 80% lebih dari total
produksi kopal dunia. Getah kopal telah diekspor sejak masa kolonial
yaitu sebesar 28.475 ton di 1939 (Soepardi, 1956). Produksi kopal
rata-rata 2.964 ton per tahun dalam kurun waktu 2014–2018 (BPS,
2019) dari tegakan Perhutani. Komponen utama dari kopal adalah
senyawa diterpena tipe labdana yaitu asam komunat yang
berpolimerisasi menjadi asam polikomunat (Langenheim, 2003).
Selain diterpena, derivat monoterpena alkohol dan seskuiterpena juga
terdeteksi di kopal Agathis borneensis (Lukmandaru, 2017).
10

3.1.2. Getah Damar dan Kemenyan


Untuk kayu daun lebar, getah resin yang cukup komersial adalah
getah kemenyan dari pohon kemenyan (Styrax spp.) yang banyak
tumbuh di Sumatera Utara. Getah kemenyan dicirikan dengan bentuk
lunak seperti salep dan adanya aroma balsamat dengan warna resin
putih sampai kuning kecoklatan (Jayusman, 2014). Komponen
kimianya didominasi senyawa aromatis yaitu asam benzoat dan asam
sinamat. Pemanfaatan kemenyan tradisional dilakukan sejak zaman
dahulu yaitu sebagai dupa untuk ritual keagamaan dan upacara religi,
sedangkan pemanfaatan kemenyan secara modern digunakan sebagai
bahan baku dan bahan tambahan untuk kosmetik, parfum, obat-
obatan, makanan, dan minuman. Jumlah produksi kemenyan pada
tahun 2018 untuk wilayah Sumatera Utara 8.332,78 ton dengan luas
tanaman 23.068,9 ha (BPS, 2019).
Getah damar merupakan getah resin yang dihasilkan pohon
dari genus Shorea. Berbeda dengan getah resin Pinus merkusii yang
fraksi padatnya didominasi fraksi asam diterpena, getah damar
komponennya lebih didominasi kelompok triterpena (Langenheim,
2003). Secara komersial, Shorea javanica K. Et V. merupakan
penghasil getah damar mata kucing, yang mana Indonesia telah
mengekspor sekitar 75% dari total produksi damar mata kucing ke
berbagai negara. Perdagangan damar mata kucing ini bisa ditarik
mundur ketika ekspor ke Eropa pada tahun 1929 dan ke Amerika pada
tahun 1933. Provinsi Lampung, Kabupaten Pesisir Barat tepatnya di
Krui yang merupakan salah satu daerah penghasil getah ini (80%
secara nasional), memiliki hutan damar seluas 17.160 ha dengan
produksi getah berkisar 6.720 ton/tahun (BAPPEDA Lampung, 2016).
Selain itu, Shorea javanica juga tumbuh baik di Kalimantan,
Sulawesi, dan Maluku. Produk dari getah damar mata kucing antara
lain sebagai bahan baku beberapa macam industri, seperti campuran
karet, plastik, lak, pernis, cat, lilin, korek api, bahan isolator listrik,
kotak radio, bahan percetakan, dan obat-obatan (Zulnely et al., 1994).
3.1.3. Getah Karet dan Gom
Getah lateks dalam skala komersial di Indonesia disadap dari
pohon karet (Hevea braziliensis) dan pohon genus Apocynaceae yaitu
Alstonia scholaris dan Dyera costulata (jelutung). Getah jelutung
11

telah dimasukkan dalam kelompok produk Hasil Hutan Bukan Kayu


(HHBK) yang termasuk dalam kelompok tanin, bahan pewarna dan
getah (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.35/Menhut-II/2007).
Pemanfaatan getah karet sangat luas dari ban kendaraan sampai ke
permen karet. Meskipun sudah banyak digantikan dengan karet
sintetis yang merupakan derivat minyak bumi, karet alam tetap
dibutuhkan untuk berbagai produk selain lebih ramah lingkungan juga
karena keunggulannya, antara lain daya elastis atau daya lenting
sempurna, plastisitas baik sehingga pengolahannya mudah, daya aus
tinggi, tidak mudah panas, dan daya tahan tinggi terhadap keretakan
(Shah et al., 2013).
Getah lateks secara teknis ini merupakan emulsi yang
mengandung berbagai macam komponen, sedangkan bagian yang
memberikan sifat elastis adalah senyawa polisoprena (Langenheim,
2003). Penelitian intensif teknologi karet dimulai di Eropa pada tahun
1700-an sehingga diperoleh teknologi mastikasi dan vulkanisasi karet.
Penanaman pohon karet di Jawa dan Sumatra dilakukan antara 1902–
1906 oleh pemerintah kolonial Belanda. Sampai saat ini, Indonesia
merupakan negara pengekspor getah karet kedua di dunia dengan
produksi 31,2–53,2 ribu ton per tahun dan luas perkebunan mencapai
3,1 juta ha (BPS, 2014–2018).
Kelompok ketiga adalah getah gom, yang mana banyak spesies
penghasil khususnya dari famili leguminosae. Berbeda dengan getah
resin, getah gom ini banyak mengandung polisakarida yang terlarut air
(Langenheim, 2003). Pemanfaatannya gom masih terbatas untuk hal-
hal yang sifatnya tradisional. Hal ini sangat disayangkan mengingat di
negara lain getah gom telah dijadikan komoditas andalan untuk
pemanfaatan di banyak sektor makanan dan bukan makanan. Gom
arab atau arabic gum dari pohon Acacia senegal masih banyak
diimpor demikian juga gom karaya dan gom ghatti. Pohon flamboyan,
mimba, mangga, jambu mete, Acacia decurrens, dan lain-lain. yang
tumbuh di Indonesia perlu dieksplorasi sifat getahnya untuk dijadikan
sumber gom komersial di masa depan.
3.2. Minyak atsiri dan ekstrak lainnya
Di Indonesia, minyak atsiri secara umum lebih banyak
dihasilkan dari bagian daun atau bunga seperti minyak kayu putih dan
12

minyak kenanga. Ekstrak kayu berupa minyak atsiri secara komersial


yang paling terkenal adalah dari kayu cendana karena bau harumnya.
Aroma harum ini bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama. Di
abad ke-16, kayu cendana telah menjadi barang dagangan
internasional di zaman kerajaan dan kesultanan. Nusa Tenggara Timur
merupakan penghasil utama cendana. Karena harganya yang sangat
mahal maka kayu cendana disebut “emas hijau” sehingga eksploitasi
secara besar-besaran tidak terhindarkan dan sebagai akibatnya spesies
ini terancam langka. Produksi cendana di tahun 2016 tercatat sebesar
1.558,85 ton (BPS, 2017). Ekstraktif dalam kayu teras cendana dapat
diekstrak melalui proses distilasi uap dengan rendemen minyak atsiri
2–3% (Dahlian dan Hartoyo, 1998). Berbeda dengan minyak atsiri
Pinus merkusii yang didominasi oleh kelompok monoterpena,
kelompok sesquiterpena adalah fraksi terbesar dalam minyak cendana,
khususnya komponen santalol. Minyak cendana sebagian besar
dimanfaatkan untuk produk parfum, kosmetik, dan farmasi.
Berbeda dengan cendana, ekstrak kayu yang termasuk HHBK
dengan aroma harum lainnya secara komersial adalah gaharu. Kayu
gaharu adalah bagian kayu teras yang mengandung gumpalan getah
sebagai akibat pelukaan atau gangguan fisis pada jaringan kayu yang
diikuti dengan infeksi oleh mikroba pada jenis pohon tertentu
terutama dari genus Aquilaria dan Gyrinops (famili Thymeleaceae)
(Ismail et al., 2017; Santosa, 2009). Seperti halnya cendana, kayu ini
merupakan kayu termahal di dunia karena harganya bisa mencapai
lebih dari Rp1,5 miliar per kilogram. Di lain pihak, harga minyak
atsirinya mencapai Rp1,2 miliar per liter (CNN Indonesia, 2020).
Produksi gaharu pada tahun 2011 tercatat 964 kilogram (Kementrian
Kehutanan, 2012) sedangkan tahun 2016 sebesar 2.963,41 ton (BPS,
2017). Dalam praktiknya, serupa dengan cendana, bahan baku gaharu
yang telah dimanfaatkan, adalah dalam bentuk kayu bulat, cacahan,
bubuk, dan minyak hasil distilasi (Ismail et al., 2017). Kayu gaharu
yang dibakar juga menghasilkan bau yang harum. Pemanfaatan gaharu
bervariasi sebagai bahan baku industri parfum, obat-obatan, kosmetik,
dupa, pengawet serta untuk keperluan kegiatan agama. Bau yang
harum ini berasal dari senyawa seskuiterpena dan fenolat kromon
(Pasaribu et al., 2015).
13

Pemanfaatan ekstraktif lainnya untuk farmasi secara komersial


adalah senyawa alkaloid dari ekstrak kulit pohon kina (Chincona spp.)
sebagai obat malaria (Achan et al., 2011). Indonesia menjadi
penghasil kina terbesar di dunia mulai 1930-an sampai sekarang
karena penanaman masif di zaman penjajahan Belanda. Produksi per
tahun mencapai 500 ton atau 90 persen kebutuhan dunia yang
umumnya berasal dari pohon kina yang tumbuh di Lembang, Jawa
Barat. Dengan adanya pandemi Covid-19, ekstrak kina dalam bentuk
kloroquin fosfat telah menjadi alternatif obat. Selain ekstrak kina,
potensi bahan baku farmasi lainnya adalah ekstrak dari semua bagian
pohon spesies Taxus sumatrana yang banyak tumbuh di Sumatera
Utara. Genus taxus yang berasal dari kelompok dari pohon daun jarum
ini sudah dimanfaatkan secara komersial sebagai bahan obat anti
kanker di negara lain. Komponen yang dimaksud adalah paclitaxel
dalam merk dagang Taxol (Kwon et al., 1998). Potensi lainnya adalah
dari spesies-spesies kelompok bajakah yang tumbuh di pedalaman
hutan alam Kalimantan. Ekstrak fenolat dari kayu bajakah diduga
memberikan efek antikanker sehingga membutuhkan eksplorasi lebih
lanjut. Ekstrak bajakah adalah hanya sedikit dari banyak ekstrak yang
telah dimanfaatkan secara tradisional tetapi belum mendapat rekognisi
karena terbatasnya data-data penelitian dan penghiliran produk.
4. Kayu sebagai Bahan Masa Depan
Hadirin yang berbahagia,
4.1. Kayu sebagai Pengganti Bahan Fosil
Sejarah mencatat bahwa terdapat dua perubahan besar
berdasarkan kondisi praktis dan pertimbangan ekonomis. Tercatat 200
tahun yang lalu, batubara menggantikan biomassa terbarukan sebagai
bahan baku energi. Lalu, 60 tahun yang lalu minyak bumi menjadi
bahan baku utama menggantikan batu bara. Perubahan tersebut
memainkan peran penting dalam perkembangan pesat industri bahan
kimia dan energi selama 200 tahun. Dalam bidang penelitian, sampai
tahun 1920-an ilmu kimia kayu berkembang pesat dan menjadi fokus
utama para ilmuwan yang kemudian tergantikan oleh teknologi
pengolahan minyak bumi yang muncul setelahnya.
Studi arkeologi dan sejarah membuktikan bahwa keberhasilan
atau kegagalan jangka panjang suatu peradaban di zaman dahulu
14

bergantung pada kemampuan masyarakat dalam mengelola sumber


dayanya. Industri bahan kimia yang menghasilkan bermacam bahan
kimia industri merupakan pusat dari ekonomi modern dan sangat
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kita. Industri ini sangat pesat
berkembang dari tahun 1950-an sampai dengan saat ini. Bahan kimia
konvensional bergantung pada sumber daya fosil yang tak terbarukan
dan sekarang menghadapi tantangan yang berat terutama dalam
permasalahan lingkungan. Secara umum industri ini mengandalkan
pada ketersediaan sumber daya fosil, seperti gas alam, minyak bumi,
dan batu bara yang tak terbarukan yang lebih stabil dan murah (Cheng
dan Zhu, 2008).
Masyarakat kita belum sepenuhnya berhak dikatakan sebagai
pendukung “ramah lingkungan” apabila dalam kehidupan sehari-hari
masih sangat bergantung pada bahan yang tidak terbarukan seperti
minyak bumi, gas alam, batu bara (Hubbe, 2006). Minyak selalu lebih
murah daripada komoditas lainnya sehingga memperlambat
implementasi ekonomi berbasis hayati yang telah diramalkan Henry
Ford di awal abad ke-19 dan merupakan pilihan logis di suatu
peradaban mana pun. Mempertahankan kebergantungan global
terhadap bahan fosil ini menjadi tidak masuk akal khususnya karena
permasalahan lingkungan, geopolitik, dan ekonomi lokal. Untuk
mempertahankan keberadaan industri bahan kimia, pilihan yang tepat
adalah beralih ke sumberdaya terbarukan seperti bahan lignoselulosa
dalam kayu. Perubahan dari fosil ke biomassa bergantung pada
perkembangan teknologi dan beberapa pertimbangan lain untuk
menuju ke arah pelestarian. Salah satu pertimbangannya adalah bahan
pangan tidak boleh dijadikan bahan baku utama karena jumlah
penduduk dunia yang semakin meningkat (Cheng dan Zhu, 2009).
Bahan lignoselulosa seperti kayu yang melimpah menjadi pilihan
sebagai bahan utama untuk industri energi dan bahan kimia di masa
mendatang.
Biomassa kayu saja tidak cukup untuk menyelamatkan bumi
dari perubahan iklim. Tentunya tidak bijak apabila kita menebang
pohon secara besar-besaran dengan maksud menggantikan minyak
bumi. Pengalaman masa lalu, automobil berbahan kayu telah
diciptakan tetapi belum jelas perannya di masa depan (Hubbe, 2012).
15

Demikian juga asap dari pembakaran kayu mengotori dan


menghasilkan cerobong asap pada zaman sebelum digantikan
batubara, minyak, dan gas alam menjadi bahan utama untuk keperluan
rumah tangga. Sebagai peneliti, kita perlu bertanya apakah penelitian
yang dikerjakan sudah ke produk yang tahan lama, atau paling tidak
bisa didaur ulang, digunakan lagi, dikomposkan, dan dibakar secara
aman sehingga memperoleh nilai energinya kembali? Apakah hasil
penelitian sudah menuju ke arah teknologi yang tidak mengandalkan
zat kimia beracun? Berdasarkan siklus karbon, apakah teknologinya
dekat dengan netral karbon? dan banyak lagi pertanyaan sejenis.
4.2. Teknologi Pemurnian Hayati dan “Green Chemicals”
Perkembangan teknologi kimia dan bioteknologi telah
memungkinkan bahan kayu dimanfaatkan secara menyeluruh.
Biorefining (pemurnian hayati) adalah konsep berasal dari pemurnian
minyak bumi yang didefinisikan sebagai produksi bahan bakar atau
bahan hayati dari biomassa berbasis bioteknologi (Yang et al., 2015;
Ibrahim et al., 2018). Biorefining ini merupakan titik utama teknologi
dari industri yang ramah lingkungan dan lestari (Yoo dan Kim, 2021).
Biorefining bahan kayu analog dengan refining minyak mentah di
mana dengan fasilitas dan peralatan yang terintegrasi maka
menghasilkan bahan bakar, energi, dan bahan kimia. Dengan
menghasilkan produk yang bermacam-macam secara teknis bisa
dicapai keuntungan pada produk bervolume rendah dengan harga
mahal atau volume besar tetapi harga rendah untuk bahan bakar alat
transportasi dan listrik. Konsep biorefining atau biorefinery juga
mencakup pengubahan biomassa ke bahan bakar hayati (bioetanol,
biodiesel, dan biogas) dan produk sampingannya seperti bahan kimia
hayati dan energi hayati (panas dan energi) (Gavrilescu, 2014). Selain
biorefining, pemanfaatan dan eksplorasi ekstraktif dari kayu
memerlukan keahlian dalam ekstraksi, isolasi, dan derivatisasi yang
memadai untuk mendapatkan senyawa maupun produk-produk alami
baru.
Derivat-derivat baru dari bahan lignoselulosa hampir tiap hari
dipublikasikan di media ilmiah dan jumlahnya akan terus bertambah.
Minyak terpentin yang berasal distilasi getah pinus menghasilkan
derivat produk bermanfaat sebagai pelarut dan larutan berion kiral
16

yang dapat menggantikan pelarut dari derivat minyak bumi (Lucia,


2008). Perkembangan teknologi kimia dan bioteknologi industri telah
memungkinkan mengubah bahan lignoselulosa menjadi etanol; 1,4-
asam dua suksinat; fumarat, maleat; 2,5 furan asam dikarboksilat;
asam 3-hidroksipropionat; asam aspartat; asam glukarat; asam
glutamat; asam itakonat; asam levulinat; 3-hidroksibutiralakton;
gliserol; sorbitol; xylitol; dan asam laktat pada skala komersial dalam
waktu yang tidak lama ke depannya (Cheng dan Zhu, 2009). Di
samping itu, ekstrak tanin merupakan pengganti yang baik untuk krom
sebagai bahan penyamak kulit hewan (tanning) guna pencegahan
polusi serta pengganti fenol dan resorsinol dalam untuk pembuatan
perekat berbasis formaldehida (Shirmohammadli et al., 2018).
Sejalan dengan tren “green chemicals”, lignin secara teknis
bisa dieksploitasi menjadi berbagai produk seperti pewarna, pengikat,
pengemulsi, lantai sintetis, zat pendispersi, cat, bahan-bahan kimia
seperti monomer aromatis (benzena, toluena, fenol, xylena, dan
vanilin), dan bahan bakar (Spiridon, 2018). Pengembangan teknologi
pencairan (liquefaction) mencakup pencairan hidrotermal dan katalis
asam moderat bahan berlignoselulosa telah menghasilkan bio-oil yang
mengandung alkohol polihidrat dan fenol untuk produksi perekat
(Jiang et al., 2018) demikian juga bio-char melalui pirolisis
gelombang mikro (Li et al., 2016). Oleh karena itu dapat
diproyeksikan sistem industri kimia modern baru yang lebih ramah
lingkungan menggantikan industri kimia konvensional. Meski banyak
terdapat hambatan dalam pengubahan ekonomi industri kimia berbasis
hidrokarbon menjadi ekonomi berbasis lignoselulosa, tantangan besar
ke depan adalah menukar bahan baku dari yang tidak terbarukan
menjadi terbarukan khususnya kayu untuk menjaga kelestarian
lingkungan.
4.3. Polusi Plastik dan Lingkungan
Polusi plastik telah menjadi masalah yang tidak kalah peliknya
di tanah air ini. Masih segar dalam ingatan kita seekor paus muda mati
di Wakatobi, Sulawesi Tenggara pada November 2018, yang mana di
perutnya ditemukan plastik seberat 6 kilogram. Sebagai masalah
lingkungan global, plastik telah menarik banyak perhatian semua
kalangan. Sampah plastik tidak hanya mengganggu ekosistem dan
17

biodiversitas, tetapi juga mengancam kehidupan dan kesehatan


manusia. Banyak peraturan yang dibuat di berbagai negara untuk
membatasi pemakaian plastik. Dengan adanya pembatasan plastik,
maka permintaan pembungkus kertas, kotak, tas kertas untuk makanan
menjadi meningkat apalagi di saat pandemi Covid-19 (Liu et al.,
2020). Menjadi suatu tekad yang kuat untuk menggantikan plastik
dengan bahan yang ramah lingkungan seperti kertas, bioplastik, dan
plastik daur ulang.
Plastik yang umumnya polimer polietilena dan polipropilena
merupakan derivat minyak bumi. Beberapa kelemahan kertas sebagai
pengganti plastik adalah seperti tidak tembus cahaya, berpori, dan
tidak baik sebagai penghalang uap air atau oksigen. Beberapa metode
telah diciptakan untuk menutup kelemahan tersebut seperti pelapisan
dengan polimer atau lembaran logam dan penambahan bahan aditif
edibel tetapi tetap menjadi bermasalah di daur ulangnya atau masalah
kesehatan untuk standar makanan. Alternatif lainnya adalah produk
tas belanja kertas yang dimodifikasi (Fan et al., 2017) dan pulp
bentukan (molded pulp products/MPP) yang terbuat dari serat kayu
atau nonkayu (Liu et al., 2020). Permasalahannya adalah daya serap
air karena sifat higroskopis dari selulosa. Perkembangan terakhir
adalah produk kertas nanoselulosa atau cellulose nanopaper (CNP)
karena sifatnya yang unik (Du et al., 2019). CNP dibentuk dari
suspensi nanoselulosa telah banyak diteliti karena kekuatan, sifat
optis, stabilitas termal, koefisien ekspansi termal, penghalangan
oksigen, dan biodegrabilitas yang baik (Miao et al., 2020) sehingga
CNP diharapkan mampu mengganti peran plastik tradisional. Tidak
hanya itu, CNP berpotensi dijadikan sebagai pembungkus elektronik
fleksibel, alat biomedis dan perlakuan air (Zhao et al., 2020). Plat
struktural ruah (bulk structural plate) telah diproses dari serat
nanoselulosa memiliki sifat ringan, kuat, dan kestabilan dimensi
termal yang tinggi (Guan et al., 2020).
5. Penutup
Para hadirin yang terhormat,
Komponen primer dan sekunder kayu dengan perlakuan panas
dan kimiawi menghasilkan produk kimia yang sangat bervariasi dan
bermanfaat untuk kehidupan sehari-hari kita. Di zaman dahulu, kita
18

mengenal adanya zaman batu, zaman besi, zaman perunggu dan lain
sebagainya. Sesuai slogan “kayu untuk kehidupan (wood for life)”,
pada saatnya nanti kita akan menyambut adanya zaman kayu (the
wood age) atau zaman yang banyak mengandalkan teknologi berbahan
baku kayu melalui konversi fisik atau kimia setelah era bahan fosil
berlalu. Fenomena ini bukanlah merupakan hal yang baru mengingat
puluhan ribu tahun lalu nenek moyang kita juga telah banyak
bergantung pada hutan dan produk hasil hutan untuk memenuhi
kehidupan sehari-hari tentunya dalam konteks yang berbeda.
Perlakuan pada kayu utuh untuk menghasilkan produksi bahan
kimia secara langsung adalah sulit karena kompleksitas sifat transfer
massa dan panasnya. Sebagai pendidik tentunya kita perlu
menyiapkan SDM yang handal dalam konversi termokimia dan reaksi
enzimatis kayu untuk memperbaiki proses dan nilai tambah sehingga
kayu sanggup berkompetisi dengan bahan berbasis fosil. Selain itu,
masih banyak spesies tumbuhan berkayu yang belum banyak
diketahui dan dimanfaatkan. Ke depan, eksplorasi bahan baku kayu
masih relevan sehingga menghasilkan sumber-sumber baru produk
kimia organik yang ramah lingkungan. Bidang ilmu kimia kayu tidak
berdiri sendirian tetapi saling berkaitan dengan disiplin ilmu lainnya,
baik dalam rumpun ilmu kayu, ilmu kehutanan, dan disiplin ilmu di
luar bidang tersebut. Sebagai contoh, di bagian hulu, penentuan bahan
baku kayu yang sesuai sifat produk akhir akan memerlukan intervensi
seleksi genetik dan perlakuan silvikultur untuk menghasilkan tegakan
yang baik demikian juga disiplin ilmu bioteknologi dan teknologi
kimia di bagian hilirnya. Kolaborasi multidisiplin keilmuan serta
fasilitas laboratorium yang memadai adalah keniscayaan sehingga
Indonesia dapat menjadi pemain penting di kancah global dalam
penelitian dan pengembangan teknologi bahan kimia alami yang
ramah lingkungan.

Hadirin yang kami muliakan,


Jabatan guru besar ini telah melalui jalan panjang yang
melibatkan begitu banyak personel dan kerja tim. Kepada mereka,
ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan.
19

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Presiden


Republik Indonesia, Menteri Pendidikan, Rektor UGM, Senat
Akademik, Dewan Guru Besar, Senat Fakultas, Dekan Fakultas
Kehutanan UGM, dan para wakil dekan, terima kasih atas segenap
dukungannya atas pengajuan jabatan guru besar saya. Kepada ketua,
staf pendidik serta staf kependidikan Departemen THH, terima kasih
atas kemudahan dan kenyamanan dalam bekerja untuk berbakti
sekaligus mengembangkan diri. Saya juga mengucapkan terima kasih
kepada para senior yang telah purna tugas di Departemen THH atas
contoh baik yang diberikan dengan menunjukkan dedikasi tinggi.
Terima kasih saya haturkan pada para senior guru besar dan kolega
pendidik di lingkungan Fakultas Kehutanan UGM, serta staf
kependidikan yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu. Saya juga
berterima kasih kepada tim penelaah naskah orasi Prof. T.A. Prayitno
dan Prof. Suryo Hardiwinoto.
Terima kasih tak terhingga kepada guru-guru saya, Prof. Dr.
Sri Nuroho Marsoem sebagai pembimbing skripsi di Fakultas
Kehutanan UGM dan para guru di SDN Tumpang 1 Malang, SMPN 3
Malang, dan SMA N 3 Malang yang telah mendidik dan membekali
dasar-dasar ilmu pengetahuan bagi saya. Selanjutnya saya
mengucapkan penghargaan setinggi-tingginya kepada pihak
MONBUKAGAKUSHO Jepang yang telah memberikan kesempatan
untuk melanjutkan program master dan doktor di Yamagata
University dengan bimbingan Prof. Dr. Koichi Ogiyama dan Prof. Dr.
Koetsu Takahashi sehingga ilmu yang telah saya dapatkan selanjutnya
menjadi bidang kepakaran saya.
Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan seluruh teman
angkatan 1993 yang tidak henti-hentinya memberikan dukungan
selama masa kuliah atau saat sudah bekerja. Terima kasih khusus
kepada para mahasiswa dan asisten laboratorium di Lab Konversi
Kimia Biomaterial yang selalu membantu untuk menghasilkan
capaian berupa karya tulis ilmiah, dan kerja sama penelitian dengan
berbagai pihak. Saya mengucapkan terima kasih banyak untuk kolega
di Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia yang kebersamaannya selalu
dirindukan saat seminar tahunan.
20

Doa selalu saya panjatkan bagi Ayahanda Almarhum yang


telah membesarkan dan membuat saya mandiri. Semoga Allah SWT
selalu mengasihi beliau seperti beliau mengasihi ketika saya masih
kecil. Terima kasih saya sampaikan pula kepada ibunda, adik dan
kakak saya serta bapak dan ibu mertua di Malang. Terima kasih yang
tak terhingga kepada istri dan anak saya yang setia mendampingi,
memberikan pengertian, mendorong semangat, serta selalu
mendoakan yang terbaik untuk saya.
Kepada semua kerabat, kolega, teman, dan siapa pun yang
telah bekerjasama, membantu, dan berjasa kepada saya namun tidak
disebut satu per satu, diucapkan terima kasih sekaligus mohon maaf
karena tidak menyebut nama-namanya.
Terakhir, kepada para hadirin yang telah sudi meluangkan
waktu dan bersabar mengikuti acara ini kami mengucapkan terima
kasih banyak. Kepada Ketua dan Sekretaris Majelis Guru Besar
beserta seluruh staf kantor MGB, Humas UGM, dan seluruh pihak
yang membantu penyelenggaraan acara ini kami mengucapkan terima
kasih. Apabila ada kekurangan dan kesalahan mohon kiranya dapat
dimaafkan.

Billahitaufik wal hidayah, wassalamu’alaikum wr. wb.

DAFTAR PUSTAKA

Achan J, Talisuna AO, Erhart A, Yeka A, Tibenderana JK, Baliraine


FN, Rosenthal PJ, DAlessandro U. 2011. “Quinine, an old
anti-malarial drug in a modern world: Role in the treatment
of malaria”. Malaria Journal 10:144.
Badan Pusat Statistik. 2009. Statistik kehutanan 2008. Badan Pusat
Statistik
Badan Pusat Statistik. 2017. Statistik produksi kehutanan 2016. Badan
Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik. 2019. Ketersediaan Data Hasil Hutan Bukan
Kayu. Badan Pusat Statistik.
Badan Pusat Statistik. 2020. Statistik Produksi Kehutanan 2011.
Badan Pusat Statistik.
21

Berglund L, Rowell RM. 2005. “Wood composites”. Dalam: Rowell


R, editor. Handbook of Wood Chemistry and Wood
Composites. CRC Press. Boca Raton-London-New York-
Washington D.C.
CNN Indonesia. 2020. “Gaharu, Kayu Dewa Termahal di Dunia
Rp1,5 M per Kilo”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-
hidup/20200902183913-284-542110/gaharu-kayu-dewa-
termahal-di-dunia-rp15-m-per-kilo. Diakses 7 Februari 2021.
Chapman KM. 2006. “Wood-based panels: particleboard, fibreboards
and oriented strand board”. Dalam: Walker JCF (editor).
Primary wood processing principles and practice. 2nd
edition. Springer, Dordrecht, The Netherlands.
Cheng S, Zhu S. 2008. “Use of lignocellulosic materials for a
sustainable chemical industry”. BioResources 3(3):666-667.
Cheng S, Zhu S. 2009. “Lignocellulosic feedstock biorefinery - The
future of the chemical and energy industry”. BioResources
4(2):456-457.
Dahlian E, Hartoyo. 1998. “Pembuatan minyak cendana dengan cara
penyulingan uap langsung”. Buletin Penelitian Hasil Hutan
15(6):385-394
Direktorat Industri Hasil Hutan dan Perkebunan. 2020. Kebijakan
Pengembangan Industri Hasil Hutan Berbasis Serat Alam.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia.
Du H, Liu W, Zhang M, Si C, Zhang X, Li B. 2019. “Cellulose
nanocrystals and cellulose nanofibrils based hydrogels for
biomedical applications”. Carbohydrate Polymers 209: 130-
144.
Fan J, Li T, Ren Y, Qian X, Wang Q, Shen J, Ni Y. 2017. “Interaction
between two oppositely charged starches in an aqueous
medium containing suspended mineral particles as a basis for
the generation of cellulose-compatible composites”.
Industrial Crops and Products 97:417-424.
Fengel D, Wegener G. 1984. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-
reaksi. Gadjah Mada University Press (terjemahan).
Yogyakarta.
22

Gavrilescu M. 2014. “Biomass potential for sustainable environment,


biorefinery products and energy”. Dalam: Sustainable Energy
in the Built Environment-Steps Towards nZEB. Springer, pp.
169–194.
Gellerstedt G. 2009. “Cellulose products and chemicals from wood”.
Dalam: Ek M; G. Gellerstedt; G. Henriksson (eds.) Pulp and
Paper Chemistry and Technology. Volume 1 Wood Chemistry
and Wood Biotechnology. Walter de Gryuter.
Guan QF, Yang HB, Han ZM, Zhu YB, Ling ZC, Jiang HB, Wang PF,
Ma T, Wu HA, Yu SH. 2020. “Lightweight, tough, and
sustainable cellulose nanofiber-derived bulk structural
materials with low thermal expansion coefficient”. Science
Advances 6(18).
Haroen WK. 2016. Teknologi serat bahan baku pulp kertas. CV
Agung Ilmu, Bandung
Henriksson G. 2009. “Lignin”. Dalam: Ek M; G. Gellerstedt; G.
Henriksson (eds.) Pulp and Paper Chemistry and
Technology. Volume 1 Wood Chemistry and Wood
Biotechnology. Walter de Gryuter, Berlin. pp. 124.
Hubbe MA. 2006. “From here to sustainability”. BioResources
1(2):172-173.
Hubbe MA. 2012. “The wood age - Part of our past, but should we
wish for it as our future?”. BioResources 7(4):4499-4500.
Ibrahim MF, Kim SW, Abd-Aziz S. 2018. Advanced bioprocessing
strategies for biobutanol production from biomass.
Renewable and Sustainable Energy Reviews 91:1192-1204
Ismail SN, Maulidiani M, Akhtar MT, Abas F, Ismail IS, Khatib A,
Ali NAM, Shaari K. 2017. “Discriminative analysis of
different grades of gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) via
1
H-NMR-Based Metabolomics Using PLS-DA and Random
Forests Classification Models”. Molecules 22:1612.
Jablonsky M, Homola J, Masaryk M, Slavikova M, Homolova M,
Brazinova A, Katuscak S. 2021. “Cellulose fibers (dominant
protecting means/tool) against COVID-19. Facemasks pros,
cons, and challenges”. BioResources 16(2):2200-2203.
23

Jayusman. 2014. Mengenal Pohon Kemenyan (Styrax spp.) Jenis


dengan Spektrum Pemanfaatan Luas yang Belum
Dioptimalkan. IPB Press. Bogor
Jiang W, Kumar A, Adamopoulos S. 2018. “Liquefaction of
lignocellulosic materials and its applications in wood
adhesives—A review”. Industrial Crops & Products
124:325–342.
Kementerian Kehutanan. 2012. Statistik Kehutanan 2011.
Kementerian Kehutanan RI.
Komarayati S, Gusmailina, Efyanti L. 2018. “Karakteristik dan
potensi pemanfaatan asap cair kayu trema, nani, merbau,
matoa, dan kayu malas”. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 36
(3): 219-238.
Kwon IC, Yoo YJ, Lee JH, Hyun JO. 1998. “Enhancement of taxol
production by in situ recovery of product”. Process
Biochemistry 33(7):701–707.
Langenheim JH. 2003. Plant resins: Chemistry, Evolution, Ecology,
and Ethnobotany. Timber Press, Portland - Cambridge.
Li J, Dai J, Liu G, Zhang H, Gao Z, Fu J, He Y, Huang Y. 2016.
“Biochar from microwave pyrolysis of biomass: A review”.
Biomass and Bioenergy 94:228-244
Liu W, Liu, H, Liu K, Du H, Liu Y, Si C. 2020. “Paper-based
products as promising substitutes for plastics in the context of
bans on non-biodegradables”. BioResources 15(4):7309-
7312.
Lucia LA. 2008. “Lignocellulosic biomass: A potential feedstock to
replace petroleum”. BioResources 3(4):981-982.
Lukmandaru G. 2017. “Komponen kimia dan sifat antioksidan kopal”.
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis, 15(1):38-47.
Miao C, Du H, Parit M, Jiang Z, Tippur HV, Zhang X, Liu Z, Li J,
Wang R. 2017. Superior crack initiation and growth
characteristics of cellulose nanopapers. Cellulose 27:3181-
3195.
Panshin AJ, de Zeeuw C. 1980. Textbook of Wood Technology. 4th
Ed. Structure, Identification, Properties, and Uses of the
24

Commercial Woods of the United States and Canada.


McGraw-Hill Book Company, New York.
Pasaribu G, Waluyo TK, Pari G. 2015. “Keragaman komponen kimia
gaharu pada kelas super dan kemedangan”. Jurnal Penelitian
Hasil Hutan 33 (3) : 247-252.
Peleteiro S, Rivas S, Alonso JL, Santos V, Parajó JC. 2016. “Furfural
production using ionic liquids: A review”. Bioresource
Technology 202:181–191.
Perhutani. 2019. Laporan Tahunan 2018. Perhutani, Jakarta,
Indonesia.
Rowell R, Pettersen R, Han JS, Rowell JS, Tshabalala MS. 2005.
“Cell wall chemistry”. Dalam: Rowell R, editor. Handbook of
Wood Chemistry and Wood Composites. CRC Press. Boca
Raton-London-New York-Washington D.C.
Santosa H. 2009. Konservasi dan pemanfaatan gaharu. Seminar
Nasional 1 Gaharu. 12 November 2009. Bogor.
Singh T, Singh AP. 2012. “A review on natural products as wood
protectant”. Wood Science & Technology 46:851–870
Shah AA, Hasan F, Shah Z, Kanwal N, Zeb S. 2013. “Biodegradation
of natural and synthetic rubbers: A review”. International
Biodeterioration & Biodegradation 83:145-157
Shirmohammadli Y, Efhamisisi D, Pizzi A. 2018. “Tannins as a
sustainable raw material for green chemistry: A review”.
Industrial Crops & Products 126:316–332
Shmulsky R, Jones PD. 2011. Forest Products and Wood Science: An
Introduction, Sixth Edition. John Wiley & Sons, Inc.
Sjostrom E. 1993. Kimia kayu: Dasar-dasar Penggunaan. Edisi
Kedua. Gadjah Mada University Press (terjemahan).
Yogyakarta.
Soepardi R. 1956. Hutan sebagai Sumber Ekonomi: Perusahaan
Hutan Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta.
Spiridon I. 2018. “Biological and pharmaceutical applications of
lignin and its derivatives: A mini-review”. Cellulose
Chemistry and Technology 52 (7-8):543-550.
Brannvall. 2009. “Wood handling”. Dalam: Ek M, Gellerstedt G,
Henriksson G (ed). Pulp and Paper Chemistry and
25

Technology Volume 2: Pulping Chemistry and Technology.


Walter de Gruyter GmbH & Co. Berlin.
Uetani K, Kitaoka T. 2021. “Nanocellulose: Beyond the ordinary”.
BioResources 16(1):1-4.
Williamson C. 2006. “The energy sector: a hidden goliath”. Dalam:
Walker JCF (editor). Primary Wood Processing Principles
and Practice. 2nd edition. Springer, Dordrecht, The
Netherlands.
Yang X, Choi HS, Chulhwan P, Kim, SW. 2015. “Current states and
prospects of organic waste utilization for
biorefineries”. Renewable and Sustainable Energy Reviews
49(C):335-349.
Yoo HY, Kim SW. 2021. “The next-generation biomass for
biorefining”. BioResources 16(2):2188-2191.
Zhao D. Zhu Y, Cheng W, Chen W, Eu W, Wu Y, Yu H. 2020.
“Cellulose-based flexible functional materials for emerging
intelligent electronics”. Advanced Material 2000169
Zulnely, Hakim A, Nurma W. 1994. “Karakteristik damar dan
pemanfaatannya”. Makalah Penunjang pada Diskusi Hasil
Penelitian Hasil Hutan. Bogor.
26

BIODATA

1. Nama lengkap : Ganis Lukmandaru


2. Tempat dan tanggal lahir : Malang, 2 Maret 1974
3. NIP/NIDN:19740302.200003.1.001/ 0002037401
4. Alamat kantor : Fakultas Kehutanan UGM Jl.
Agro No.1, Bulaksumur, Sleman
Telepon : (0274) 512102
Fax : (0274) 550541
E-mail : glukmandaru@ugm.ac.id

5. Alamat rumah : Perum Tiara B-11, Plemburan, Sleman


6. Keluarga : Ika Maya Pratikawati (istri) dan Magalendra Ahmad
Abhyoso (anak)

RIWAYAT PENDIDIKAN
TK Bhayangkari Tumpang - Malang
SDN Tumpang 1 - Malang
SMPN 3 Malang
SMAN 3 Malang
S1 – Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (1999 - Teknologi Hasil
Hutan, S.Hut.)
S2 –Yamagata University (2006 – Bioenvironment chemistry, M.Agr.)
S3 - UGAS Iwate University (2009 – Bioresources chemistry, Dr.)

RIWAYAT JABATAN
Magang – 1 Oktober 1999
CPNS – 1 Maret 2000
PNS – 1 Juni 2001
Asisten Ahli – 1 September 2002
Lektor – 1 Oktober 2010
Lektor Kepala – 1 September 2014
Guru Besar – 1 November 2019
27

KARYA ILMIAH

A. Artikel di Jurnal (sebagai penulis pertama/first author):

1. Lukmandaru G, Takahashi K. 2008. Variation in the natural


termite resistance of teak (Tectona grandis L.f.) as a function
of tree age. Annals of Forest Science 65 (7): 708 p1 - p8
2. Lukmandaru G, Takahashi K. 2009. Radial distribution of
quinones in plantation teak (Tectona grandis L.f.). Annals of
Forest Science 66 (6): 605 p1 – p9
3. Lukmandaru G, Ashitani T, Takahashi K. 2009. Color and
chemical characterization of partially black-streaked
heartwood in teak (Tectona grandis L.f.). Journal of Forestry
Research, 20 : 377-380.
4. Lukmandaru G. 2009. Sifat kimia dan warna kayu teras jati
pada tiga umur berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu
Tropis 7 (1) : 1-7
5. Lukmandaru G. 2009. Pengukuran kadar ekstraktif dan sifat
warna pada kayu teras jati doreng (Tectona grandis). Jurnal
Ilmu Kehutanan, 3 (2) : 67-73
6. Lukmandaru G. 2009. Perubahan warna pada kayu teras jati
(Tectona grandis) doreng melalui ekstraksi berturutan. Jurnal
Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, 2 (1) : 15-20.
7. Lukmandaru G. 2010. Sifat kimia kayu jati (Tectona grandis)
pada laju pertumbuhan berbeda. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kayu Tropis 8(2) : 188-196.
8. Lukmandaru G. 2011. Komponen kimia kayu jati dengan
pertumbuhan eksentris. Jurnal Ilmu Kehutanan 5(1) : 21-29
9. Lukmandaru G. 2011. Variability in the natural termite
resistance of plantation teak wood and its relations with wood
extractive content and color properties. Journal of Forestry
Research 8 (1):17-31.
10. Lukmandaru G. 2012. Chemotaxonomic study in the
heartwood in the heartwood of Javanese teak – analysis of
quinones and other related components. Wood Research
Journal 3 (1) : 30-35
28

11. Lukmandaru G, Vembrianto K, Gazidy AA. 2012. Aktivitas


antioksidan ekstrak metanol kayu Mangifera indica L.,
Mangifera foetida Lour, dan Mangifera odorata Griff. Jurnal
Ilmu Kehutanan, 6 (1) : 18-29
12. Lukmandaru G. 2012. Komposisi ekstraktif pada kayu
mangium (Acacia mangium). Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu
Tropis 10(2) : 150-158
13. Lukmandaru G. 2013. Antifungal activities of certain
components of teak wood extractives. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis 11(1) : 11-18
14. Lukmandaru G. 2013. The natural termite resistance of teak
wood grown in community forest. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kayu Tropis 11(2) : 131-139.
15. Lukmandaru G. 2015. Chemical characteristics of teak wood
attacked by Neotermes tectonae. BioResources 10(2):2094-
2102.
16. Lukmandaru G, Fatimah S, Fernandes A. 2015. Sifat kimia
dan warna kayu keruing, mersawa, dan kapur. Jurnal
Penelitian Ekosistem Dipterokarpa 1 (2) : 69 – 80.
17. Lukmandaru G. 2015. Kadar kinon dalam kayu teras jati yang
diisolasi dengan ekstraksi rendaman dingin. Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kayu Tropis 13 (1) : 28-38.
18. Lukmandaru G. 2015. Quinones distribution of teak wood
grown in community forest. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu
Tropis 13 (2) : 193-204.
19. Lukmandaru G, Zumaini UF, Soeprijadi D, Nugroho WD,
Susanto M. 2016. Chemical properties and fiber dimension of
Eucalyptus pellita from the 2nd generation of progeny tests in
Pelaihari, South Borneo, Indonesia. Journal of The Korean
Wood Science and Technology 44(4):571-588.
20. Lukmandaru G. 2016. Hubungan kadar ekstraktif dan sifat
warna pada kayu teras jati. Jurnal Penelitian Hasil Hutan
34(3): 207-216.
21. Lukmandaru G, Anisa A Gazidy. 2016. Bioaktivitas dan
aktivitas antioksidan ekstrak batang mahkota dewa [Phaleria
29

macrocarpa (Scheff) Boerl.]. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu


Tropis 14(2):114-126.
22. Lukmandaru G, Mohammad AR, Wargono P, Prasetyo VE.
2016. Studi mutu kayu jati di hutan rakyat Gunungkidul. V.
Sifat kimia kayu. Jurnal Ilmu Kehutanan 10 (2) : 108-118
23. Lukmandaru G, Hidayah RN. 2017. Studi mutu kayu jati di
hutan rakyat Gunungkidul. VI. Kadar zat anorganik dan
keasaman. Jurnal Ilmu Kehutanan 11 (1) : 63-75.
24. Lukmandaru G. 2017. Komponen kimia dan sifat antioksidan
kopal. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis 15(1):38-47.
25. Lukmandaru G, Hasanah M, Retnaningrum NI. 2017.
Ketahanan terhadap rayap, sifat kimia, dan warna kayu jati
dari hutan rakyat di Kulon Progo. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kayu Tropis 15(2):118-132.
26. Lukmandaru G, Wargono P, Mohammad AR, Prasetyo VE.
2018. Studi mutu kayu jati di hutan rakyat Gunungkidul. VII.
Ketahanan terhadap rayap tanah. Jurnal Ilmu Kehutanan 12(1)
: 22-39.
27. Lukmandaru G, Susanti D, Widyorini R. 2018. Sifat kimia
kayu mahoni yang dimodifikasi dengan perlakuan panas.
Jurnal Penelitian Kehutanan Wallaceae 7(1):37-46.
28. Lukmandaru G. 2018. Chemical characteristics of Eucalyptus
pellita with heart rot. Wood Research 63(2): 193-202.
29. Lukmandaru G, Sunarta S, Listyanto T, Kasmudjo, Pujiarti R,
Widyorini R. 2018. Evaluasi terhadap stimulan Ethephon
dalam penyadapan Pinus merkusii. Jurnal Ilmu dan Teknologi
Kayu Tropis 16(2):194-206
30. Lukmandaru G, Hidayah RN. 2018. Measurements of
inorganic materials and acidity in plantation teakwood. Wood
Research Journal 9 (2):35-44
31. Lukmandaru G. 2018. Properties of included phloem in
teakwood. Wood Research Journal 9(2):45-51
32. Lukmandaru G, Setiaji F, Siagian RM. 2019. Effects of mixing
ratio of heavily beaten Pinus merkusii pulp on physical
properties of kraft Acacia nilotica pulp sheets. Wood Research
Journal 10(2):53-60
30

33. Lukmandaru G. 2020. Reduction in toxicity of tectoquinone


against Reticulitermes speratus Kolbe termites. Wood
Research Journal 9(2):58-64.
34. Lukmandaru G, Amri S, Sunarta S, Listyanto T, Pujiarti R,
Widyorini R. 2021. The effect of stimulants and environmental
factors on resin yield of Pinus merkusii tapping. BioResources
16(1):163-175.

B. Artikel di Proceedings ((sebagai penulis pertama/first author):

1. Lukmandaru G, Siagian RM, Marsoem SN. 2002 Kualitas


kayu nilotika (Acacia nilotica) sebagai bahan baku pulp.
Prosiding Seminar Nasional MAPEKI V. Puslitbang Bogor,
hal. 397-402.
2. Lukmandaru G, Irawati D, Marsoem SN. 2002. Pengaruh lama
penyimpan terhadap rendemen dan kualitas minyak atsiri daun
leda (Eucalyptus deglupta). Prosiding Seminar Nasional
MAPEKI V. Puslitbang Bogor, hal. 421-425.
3. Lukmandaru G, Listyanto T, Fernandes A, Setyawan A. 2004.
Studi pendahuluan pulping kayu Pinus (Pinus merkusii Jungh.
Et de Vriese) dengan proses alkalin etanol. Prosiding Seminar
Nasional MAPEKI VII, Makassar, hal. B157-B161.
4. Lukmandaru G, Ogiyama K. 2005. Bioactive compounds from
ethyl acetate extract of teakwood (Tectona grandis L.f.).
Proceedings of the 6th International Wood Science Symposium
LIPI-JSPS Core, Bali. Hal. 346-350.
5. Lukmandaru G, Prasetyo VE, Sulistyo J, Marsoem SN. 2010.
Sifat pertumbuhan kayu jati dari hutan rakyat Gunungkidul.
Prosiding Seminar “Hutan Kerakyatan Mengatasi Perubahan
Iklim”, Jogja, hal. 79-86
6. Lukmandaru G. 2010. Variasi kadar abu dalam teras luar kayu
jati. Prosiding Seminar “Hutan Kerakyatan Mengatasi
Perubahan Iklim”, Jogja, hal. 93-97
7. Lukmandaru G, Gustomo LS, Sayudha IGND, Prasetyo, VE.
2011. Studi keasaman dan kapasitas penyangga pada kayu
31

mangium. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI XIII, Bali,


hal. 388-396.
8. Lukmandaru G, Sayudha IGND, Gustomo LS, Prasetyo VE.
2011. Pengukuran kadar ekstraktif dan sifat warna kayu
Acacia mangium dari lima provenans. Prosiding Seminar
Nasional MAPEKI XIII, Bali, hal. 372-380.
9. Lukmandaru G. 2012. Sifat kelarutan dalam air, keasaman dan
kapasitas penyangga pada kayu jati. Prosiding Seminar
Nasional MAPEKI XIV, Yogyakarta, hal . 875-882.
10. Lukmandaru G, Sayudha IGND. 2012. Komposisi ekstraktif
pada kayu jati juvenil. Prosiding Seminar Nasional MAPEKI
XIV, Yogyakarta, hal . 361-366.
11. Lukmandaru G. 2012. Bioactive extracts from neutrals of
teakwood (Tectona grandis L.f.). Proceedings of the 3rd
International Symposium of Indonesian Wood Research
Society. Yogyakarta, p. 328-332.
12. Lukmandaru G. 2015. Fraksinasi kopal dengan berbagai
pelarut organik. Prosiding Seminar Nasional “ Peranan dan
Strategi Kebijakan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu
(HHBK) dalam Meningkatkan Daya Guna Kawasan (Hutan).
Jogjakarta. p. 382-386.
13. Lukmandaru G. 2015. Antitermitic activity of the bark extracts
of teak. Proceedings of the 5th International Symposium of
Indonesian Wood Research Society. Balikpapan. p. 112-117.
14. Lukmandaru G. 2018. Pengaruh penambahan antrakinon
terhadap sifat pulp dan lindi hitam proses sulfat pada kayu
karet. Proseding seminar Nasional Masyarakat Peneliti Kayu
Indonesia XX. Denpasar, 25 September 2017. Hlm. 256-263.
15. Lukmandaru G, Sayudha IGN. 2019. Colour properties and
extractive content in young teak woods. Proceeding of the 9th
International Symposium of Indonesian Wood Research
Society. Denpasar. 26-27 September 2017, p. 164-174.
16. Lukmandaru G, Amri S, Sunarta S, Listyanto T, Pujiarti R,
Widyorini R. 2020. Oleoresin yield of Pinus merkusii trees
from East Banyumas IOP Conf. Series: Earth and
Environmental Science 449 012024.
32

C. Artikel di Jurnal (sebagai penulis utama/corresponding author):

1. Sumaryanto A, Hadikusumo SA, Lukmandaru G. 2013,


Pengawetan kayu gubal jati secara rendaman dingin dengan
pengawet boron untuk mencegah serangan rayap kayu kering
(Cryptotermes cynocephalus Light.). Jurnal Ilmu Kehutanan
7(2): 93-107.
2. Fatimah S, Susanto M, Lukmandaru G. 2013. Studi komponen
kimia kayu Eucalyptus pellita F. Muell dari pohon plus hasil
uji keturunan generasi kedua di Wonogiri, Jawa Tengah. Jurnal
Ilmu Kehutanan 7(1): 57-69.
3. Yunanta RRK, Fernandes A, Lukmandaru G. 2014. Sifat kimia
dari
kayu Shorea retusa, Shorea macroptera, dan Shorea
macrophylla. Jurnal Penelitian Dipterokarpa 8(1):15-24.
4. Masendra, Ashitani T, Takahashi K, Lukmandaru G. 2018.
Lipophilic extractives of the inner and outer barks from six
different Pinus species grown in Indonesia. Journal of Forestry
Research 29(5):1329-1336.
5. Masendra, Ashitani T, Takahashi K, Lukmandaru G. 2018.
Triterpenoids and steroids from the bark of Pinus merkusii
(Pinaceae). BioResources 13(3):6160-6170.
6. Masendra, Ashitani T, Takahashi K, Susanto M, Lukmandaru
G. 2019. Hydrophilic extracts of the bark from six pinus
species. Journal of The Korean Wood Science and Technology
47(1): 80~89.
7. Arisandi R, Marsoem SN, Ashitani T, Takahashi K,
Lukmandaru G. 2019. The contents of phenolics and cell wall
component of Eucalyptus pellita F. Muell stemwood and bark.
Wood Research 63 (3). 411
8. Arisandi R, Marsoem SN, Ashitani T, Takahashi K,
Lukmandaru G. 2020. Lipophilic extractives of the wood and
bark from Eucalyptus pellita F. Muell grown in Merauke,
Indonesia. Journal of Wood Chemistry and Technology 40 (2):
146–154.
33

9. Masendra, Irawati D, Ridlo AS, Lukmandaru G. 2020. Phenol


Contents and antioxidant activity of sonokeling (Dalbergia
latifolia Roxb)Wood. Wood Research Journal 11(1): 27-34.
10. Masendra, Rizki Arisandi, Purba BAV, Sumantri F, Ihda FV,
Wati FZ, Lukmandaru G. 2020. Extractives contributing to the
color of Swietenia macrophylla’s Bark. Wood Research
Journal 11(1): 20-26.
11. Zulkahfi, Irawati D, Listyanto T, Rodiana D, Lukmandaru G.
2020. Kadar ekstraktif dan sifat warna kayu Jati Plus Perhutani
umur 11 tahun dari KPH Ngawi. Jurnal Ilmu Kehutanan
19(2):213-227.
12. Masendra, Purba BAV, Lukmandaru G. 2020. Antifungal
activity of triterpenoids and steroids isolated from Pinus
merkusii bark against Phanerochaete chrysosporium. Wood
Research Journal 11(2): 65-71.
13. Masendra, Purba BAV, Lukmandaru G. 2020. An evaluation
of the antifungal and antioxidant activity of Pinus merkusii
bark ethyl acetate extract. Jurnal Ilmu Kehutanan 15(1): 102-
110.
14. Purba BAV, Sunarti S, Lukmandaru G. 2021. Phenolics
content and antioxidant activity of wood extractives from three
clones of acacia hybrid (Acacia mangium × Acacia
auriculiformis). Maderas-Ciencia y Tecnologia 23:1-19.
15. Masendra, Brandon Aristo Verick Purba, G Lukmandaru.
2021. Antioxidant activity of Swietenia macrophylla king bark
extracts. Wood Research 66(1): 57-70.

Anda mungkin juga menyukai