Anda di halaman 1dari 49

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Karakteristik Kayu

Kayu adalah sumber bahan baku yang paling banyak digunakan dan tersedia cukup

melimpah di alam. Kayu merupakan sumber serat utama untuk pembuatan pulp dan

kertas, disamping non kayu. Hampir 93% kebutuhan serat virgin dunia diperoleh

dari kayu tersebut. Dalam ilmu botani, kayu digolongkan menjadi dua bagian besar,

gymnosperma yang biasa disebut kayu daun jarum (softwood) dan angiosperma

yang disebut kayu daun lebar (hardwood) (Smook,1992). Perbedaan yang paling

penting dari kedua jenis kayu tersebut terletak pada panjang seratnya, dimana kayu

jarum memiliki panjang serat 1-1,5 mm dan diameter 22μm, sedangkan kayu jarum

memiliki panjang serat rata-rata 3-5mm dengan diameter serat 4,0μm. Softwood

mempunyai ciri berdaun tidak sempurna dengan daun menyerupai bentuk jarum,

tidak bertangkai, tidak memiliki helai dan urat daun, contohnya : Pinus, Aghatis

dan Cemara. Hardwood memiliki daun yang sempurna dengan bentuk daun bulat

sampai lonjong, mempunyai tangkai, helai dan urat daun, contohnya : Acacia,

Eucalyptus dan Albizia.


Para ahli pembuat kertas umumya menjadikan pulp kayu untuk menyempurnakan

formasi dari kertas yang akan dibuat. Kayu daun memiliki kelebihan yaitu serat

yang pendek yang akan memberikan formasi kertas yang lebih baik daripada pulp

kayu jarum. Kayu tersusun atas sel-sel yang memanjang, kebanyakan diantaranya

berorientasi dalam arah longitudional batang. Mereka dihubungkan satu dengan

lainnya melalui pintu-pintu yang dinyatakan sebagai noktah. Sel-sel ini bentuknya

bervariasi tergantung pada fungsinya, memberikan kekuatan mekanik yang

diperlukan oleh pohon, dan juga melakukan fungsi pengangkut cairan maupun

penyimpan persediaan cadangan makanan.

Selama periode prasejarah dan sesudahnya kayu tidak hanya digunakan untuk

bahan bangunan tetapi semakin penting sebagai bahan mentah kimia untuk

pembuatan arang, ter, dan getah, serta kalium. Produk paling penting dari

pengolahan kayu secara kimia adalah pulp. Dalam tahun 1980 pulp yang dihasilkan

seluruh dunia mencapai 123 ton. Dalam periode yang sama konsumsi total kertas

dan karton adalah 170 ton dan dari jumlah tersebut lebih dari 25% dihasilkan dari

kertas bekas, hal ini menunjukkan bahwa daur ulang merupakan faktor yang sangat

penting dalam penggunaan bahan mentah secara ekonomis. Persoalan ekonomi dan

lingkungan merupakan sebab adanya perubahan proses pembuatan pulp dan

pengelantangannya.

Kimia kayu dan komponen-komponennya tidak dapat dipisahkan dari strukturnya.

Kayu tidak hanya merupakan senyawa kimia, jaringan anatominya atau bahan tetapi

merupakan gabungan ketiganya. Sepanjang menyangkut komponen kimia kayu,


maka perlu dibedakan antara komponen-komponen makromolekul utama dinding

sel selulosa, poliosa ( hemiselulosa) dan lignin yang terdapat pada semua kayu dan

komponen-komponen minor dengan berat molekul kecil ( ekstraktif dan zat-zat

mineral) yang biasanya berkaitan dengan jenis kayu tertentu dalam jenis dan

jumlahnya. Perbandingan dan komposisi kimia lignin dan poliosa pada kayu lunak

dan kayu keras, sedangkan selulosa merupakan komponen yang seragam pada

semua kayu.

2.2. Jenis – jenis Kayu

Tabel 2.1 Komposisi Typical Chemical antara Hardwood dan Softwood

Komponen Softwood Hardwood

Selulosa 42 ± 2% 42 ± 2%

Hemiselulosa 27 ± 2% 30 ± 5%

Lignin 27 ± 2% 20 ± 4%

Ekstraktif 3 ± 2% 5 ± 3%

Jenis kayu yang banyak digunakan dalam pembuatan pulp adalah :

1. Kayu Lunak

Kayu Lunak (softwood) adalah kayu dari tumbuhan konifer contohnya pohon

pinus. Secara khasnya kayu lunak tersusun atas serat-serat yang panjang, maka

kayu lunak merupakan bahan baku kelas prima pada pembuatan kertas yang

kuat. (Sjostrom E,1995).


2. Kayu Keras

Kayu keras (hardwood), adalah kayu dari tumbuhan yang menggugurkan

daunnya setiap tahun. Kayu yang dibentuk oleh jenis pohon kayu keras sangat

berbeda dengan yang dibentuk oleh jenis-jenis kayu lunak. Kayu keras tersusun

atau jenis-jenis sel yang sangat berbeda dengan variasi proporsi yang luas dan

karenanya sering menjadi unik dan bahkan memiliki gambaran kayu yang

sangat indah. Karena gambaran unik yang banyak dimiliki oleh spesis-spesis

kayu keras tersebut banyak digunakan untuk perabot rumah tangga, panil, dan

tujuan-tujuan dekoratid yang lain. ( Haygreen,J.G)

PT. RAPP sendiri menggunakan kayu pepohonan yang bersumber baik dari

lahan milik pemerintah yang dikelola perusahaan ataupun lahan milik PT.

RAPP sendiri yang dikelola oleh perusahaan (Riau Fiber). Pada proses

pembuatan pulp PT. RAPP menggunakan kayu Acacia ( Acacia Mangium dan

Acacia Crassicarpa ).

Gambar 2.2 Acacia Mangium dan Acacia Crasiscarpa Tampak

Samping
Gambar 2.3 Penampang Melintang Acacia Mangium (Kiri) dan Acacia

Crassicarpa (Kanan)

2.3.Komponen Kimia Kayu

Pengetahuan tentang komponen kimia didalam kayu mempunyai arti penting

karena dapat menentukan sifat dan kegunaan sesuatu jenis kayu. Dari sifat kimia

dapat diduga ketahanan kayu terhadap serangan makhluk perusak kayu. Selain itu

dengan menyimak komponen kimia dan serat kayu, dapat direncanakan tindakan-

tindakan teknologi dalam rangka memperbaiki sifat-sifat dan kualitas produk, dapat

pula menentukan sifat pengerjaan dan pengolahan kayu, sehingga didapat hasil

maksimal. Komponen kimia kayu sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh faktor

tempat tumbuh, iklim dan letaknya didalam batang atau cabang (Dumanauw, 2001).

Komponen kimia kayu dibedakan antara komponen-komponen makromolekul

sebagai penyusun sel selulosa, poliosa (hemiselolusa), lignin dan komponen-

komponen minor dengan berat molekul rendah (ekstraktif dan zat-zat mineral) yang

terletak pada rongga sel. Perbandingan dan komposisi kimia lignin dan

hemiselulosa berbeda antara softwood dan hardwood. Pada proses pembuatan pulp
diinginkan sebanyak mungkin selulosa dan hemiselulosa yang tertinggal,

sebaliknya lignin dan bahan ekstraktif lainnya sebisa mungkin dipisahkan dari serat

pulp yang dihasilkan.

2.3.1. Selulosa

Selulosa adalah polimer lurus tanpa cabang dari β-glukopiranosa yang

berikatan secara 1,4 β-glukosidik yang merupakan homopolisakarida. Sering

kali derajat polimerisasi dari selulosa sangat tinggi berkisar 10.000-15.000, ini

membuat selulosa menjadi polisakarida yang terpanjang (Ek. Monica, 2009).

Secara fisik selulosa berupa padatan putih yang terdapat dalam bentuk kristalin

dan amorf. Daerah yang kristalin akan lebih tahan terhadap serangan kimia,

pada proses pulping, daerah amorf merupakan daerah yang penting (Biermann,

1996). Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman.

Kandungan selulosa pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50%

dari berat kering tanaman (Saha, 2004)

Selulosa mengandung gugus hidroksil (OH-) disepanjang rantainya yang

menyebabkan secara keseluruhan selulosa bermuatan negatif. Ditinjau dari

sturkturnya, selulosan mmpunyai kelarutan yang besar dalam air karena

banyaknya kandungan gugus hidroksil yang dapat membentuk ikatan hidrogen

dengan air. Akan tetapi kenyataanya tidak demikian, dan selulosa bukan hanya

tidak larut dalam air tetapi juga dalam pelarut lain. Penyebabnya ialah kekuatan

rantai dan tingginya gaya antar rantai akibat ikatan hidrogen antara gugus

hidroksil pada rantai yang berdekatan. Faktor ini dipandang menjadi penyebab
kekristalan yang tinggi dari serat selulosa (Daulay, 2009;) Ikatan hidrogen ini

menyebabkan selulosa bisa terdapat dalam ukuran besar dan memiliki sifat

kekuatan tarik yang tinggi (Azhary dan Dodi, 2010)

Polisakarida yang berantai panjang yang tersusun dari unit glukosa dalam

bentuk piranosa yang berhubungan satu sama lainnya melalui ikatan 1,4-β-

glukosidik disebut selulosa. Selulosa merupakan komponen kimia kayu

terpenting sebagai bahan baku pulp dan kertas, dan pentosan kira-kira 40-50%

dari total komponen kimia kayu secara keseluruhan (Rydholm, 1967;

Purnawan, 2014).

Berat molekul selulosa berkisar antara 250.000-1.000.000 atau lebih dan pada

umumnya tiap molekul terdiri dari 1.500 satuan glukosa. Rantai selulosa terdiri

dari gugus OH pada tiap rantainya sehingga secara keseluruhan selulosa

bermuatan negatif. Pembentukan ikatan hidrogen dapat terjadi dikarenakan OH

dapat mengikat air (H-OH) atau gugus O lain pada rantai selulosa. Ikatan

hidrogen merupakan ikatan yang banyak memegang peranan penting dalam

pembuatan kertas (Whistler dan Teng, 1970; Tiberg, dkk., 2001)

Selama proses pemasakan selulosa akan terdegradasi oleh larutan alkali. Dua

aksi utama yang terjadi selama proses pemasakan yaitu reaksi peeling yang

terjadi pada suhu di atas 70°C dan reaksi stopping yang terjadi pada suhu di

atas 150°C (M. Donald dan Franklin, 1969) reaksi peeling merupakan reaksi

pengelupasan rantai selulosa (peeling of) sehingga kualitas serat selulosa

menurun dan rendemen yang dihasilkan semakin rendah (Kartikawati, 2013).


Penggunaan terbesar selulosa yang berupa serat kayu dalam industri kertas dan

produk turunan kertas lainnya. Selulosa merupakan polimer yang ditemukan di

dalam dinding sel tumbuhan seperti kayu, dahan, dan daun yang menyebabkan

struktur-struktur tersebut menjadi kuat. Selulosa merupakan komponen penting

dari kayu yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan kertas. Sifat-sifat

bahan yang mengandung selulosa berhubungan dengan derajat polimerisasi

molekul selulosa. Berkurangnya berat molekul dibawah tingkat tertentu akan

menyebabkan berkurangnya ketangguhan. Serat selulosa menunjukkan

sejumlah sifat yang memenuhi kebutuhan pembuatan kertas. Kesetimbangan

terbaik sifat-sifat pembuatan kertas terjadi ketika kebanyakan lignin tersisih

dari serat. Ketangguhan serat terutama ditentukan oleh bahan mentah dan

proses yang digunakan dalam pembuatan pulp.

Gambar 2.4. Struktur selulosa

2.3.2. Hemiselulosa

Hemiselulosa adalah heteropolisakarida yang berantai lurus dan bercabang dan

memiliki derajat polimerisasi antara 100-200 (Ek. Monica, 2009).

Hemiselulosa adalah kelas dari polimer gula yang termasuk diantaranya gugus

gula 6 atom seperti manosa, galaktosa, glukosa, dan 4-O-metil-asam D-

glukuronik dan 5 karbon xylosa dan arabinosa. Rantai hemiselulosa lebih


pendek dibandingkan rantai selulosa. Molekul hemiselulosa mudah menyerap

air, bersifat plastis dan mempunyai permukaan kontak antar molekul yang lebih

luas. Hemiselulosa merupakan senyawa jenis polisakarida yang terdapat pada

semua jenis serat, mudah larut dalam alkali, dan mudah terhidrolisi oleh asam

mineral menjadi gula dan senyawa lain (Purnawan, 2014).

Selama proses pemasakan sejumlah tempat dan struktur dari bermacam-macam

hemiselulosa berubah. Hemiselulosa bersifat higroskopis dan larut dalam

larutan alkali encer sehingga mudah dipisahkan dari selulosa. Hidrolisa

hemiselulosa dalam asam menjadi komponen-komponen monomernya lebih

mudah dibandingkan dengan selulosa (Sjostrom, 1995; Purnawan, 2014).

Menurut Gandini dan Pasquni (2012) kandungan hemiselulosa dapat

meningkatkan kekuatan lembaran melalui peningkatan jumlah gugus karboksil

dan retensi air. Oedijono (1991) dalam Daditama (2003) menegaskan bahwa

hemiselulosa mempunyai sifat mudah membengkak kalau terkena air karena

sifat hidrofil dan keadaan yang membantu proses penggilingan. Oleh karena

itu, dalam batas-batas tertentu adanya hemiselulosa justru dikehendaki di

dalam pulp untuk kertas sehingga pembentuk lembaran yang meudah larut

dalam pelarut alkil dan lebih mudah dihidrolisis dengan asam.

Ada berbagai jenis hemiselulosa spesies kayu yang berbeda memiliki

hemiselulosa dengan komposisi yang berbeda. Hardwood lebih banyak


memiliki xylan, softwood lebih banyak memiliki glukosa. Tipe selulosa juga

bervariasi tergantung letak hemiselulosa dan struktur kayu.

Rantai hemiselulosa lebih pendek dari rantai selulosa. Hemiselulosa memliki

DP lebih kecil yaitu 300. Hemiselulosa adalah polimer bercabang, atau tidak

linear. Selama pembuatan pulp, hemiselulosa bereaksi lebih cepat

dibandingkan selulosa. Hemiselulosa (bersama selulosa yang terdegradasi)

berdasarkan DP dapat dibedakan:

a. Beta selulosa: DP antara 15 – 90

b. Gamma selulosa: DP < 15

Gambar 2.5. Monosakarida dari Hemiselulosa


2.3.3. Lignin

Lignin merupakan polimer kompleks yang terdiri dari unit-unit fenilpropana

dan berbentuk amorf (tidak beraturan) serta berstruktur tiga dimensi. Ada 3

monomer penyusun lignin yaitu coniferyl alcohol, sinopyl alcohol, p-coumaryl

alcohol. Kayu daun mengandung coniferyl alcohol (50-75%) dan sinapyl

alcohol (25-50%). Sedangkan di kayu jarum hanya mengandung coniferyl

alcohol. Kandungan lignin terbesar terdapat pada bagian middle lamella.

(Biermann, 1996; J. Fromm, 2003; M. Christiernin, 2006). Sehingga kayu daun

memiliki kandungan lignin yang lebih bervariasi dari pada kayu jarum (Sixta,

2006).

Rumus molekul lignin belum dapat diketahui secara pasti, dari hasil analisa

ternyata unsur lignin dalam kayu daun terdiri dari karbon sekitar 59-60% dan

hidrogen 33-34%. Monomer dari jenis kayu jarum dan kayu daun sangatlah

berbeda dimana lignin dari kayu jarum hanya terdiri dari unit guaiacyl

sedangkan kayu daun terdiri dari campuran satuan syringil dan guaiacyl.

Lignin atau lignen adalah kompleks senyawa kimia yang paling sering berasal

dari kayu, dan merupakan bagian integral dari sekunder dinding sel dari

tanaman dan beberapa alga. Istilah ini diperkenalkan tahun 1819 oleh de

Candolle dan berasal dari bahasa latin kata “Lignum”, yang berarti kayu. Ini

adalah salah satu yang paling berlimpah polimer organik di bumi, melebihi

hanya dengan selulosa, menggunakan 30% dari non-fosil karbon organik dan

merupakan dari seperempat hingga sepertiga dari berat kering kayu.


Lignin merupakan bagian terbesar dari selulosa dan merupakan senyawa

aromatik. Penyerapan sinar (warna) oleh pulp terutama berkaitan dengan

komponen ligninnya. Untuk mencapai derajat keputihan yang tinggi, lignin

tersisa harus dihilangkan dari pulp, dibebaskan dari gugus yang menyerap sinar

kuat sesempurna mungkin. Lignin akan mengikat serat selulosa yang kecil

menjadi serat-serat panjang. Lignin tidak akan larut dalam larutan asam tetapi

mudah larut dalam alkali encer dan mudah diserang oleh zat-zat oksida lainnya.

Lignin atau zat kayu adalah salah satu zat komponen penyusun tumbuhan.

Komposisi bahan penyusun ini berbeda-beda bergantung jenisnya. Lignin

terutama terakumulasi pada batang tumbuhan berbentuk pohon dan semak.

Pada batang, lignin berfungsi sebagai bahan pengikat komponen penyusun

lainnya, sehingga suatu pohon biasa berdiri tegak (seperti semen pada sebuah

batang beton). Berbeda dengan selulosa yang terbentuk dari gugus karbohidrat,

struktur kimia lignin sangat kompleks dan tidak berpola sama. Gugus aromatik

ditemukan pada lignin, yang saling dihubungkan dengan rantai alifatik, yang

terdiri dari 2-3 karbon. Proses pirolisis lignin menghasilkan senyawa kimia

aromatis berupa fenol, terutama kresol. Lignin terdapat diantara sel-sel agar

tetap bersama. Keberadaan lignin dalam dinding sel sangat erat hubungannya

dengan selulosa yang berfungsi untuk memberikan ketegaran pada sel,

berpengaruh dalam memperkecil perubahan dimensi sehubungan dengan

perubahan air kayu dan mengurangi degradasi terhadap selulosa.


Pulp akan mempunyai sifat fisik yang baik apabila kandungan lignin sedikit

mungkin karena sifat lignin yang kaku, rapuh, dan hidrofobik. Lignin dapat

mengurangi aktifitas selulosa atau hemiselulosa dalam pembentukan ikatan

antar serat dan dapat menurunkan derajat putih pada pulp. Sebenarnya sifat

lignin sendiri tidak berwarna. Namun, pada proses pemasakan lignin bereaksi

dengan senyawa kimia lain membentuk ikatan kromofor sehingga

menghasilkan warna.

Gambar 2.6. Struktur Lignin

Sifat fisik dan kekuatan dari pulp dan kertas akan lebih baik apabila kandungan

lignin didalamnya sedikit. Hal ini disebabkan karena lignin bersifat menolak

air (hidrophobik) dan kaku sehingga mempersulit dalam proses penggilingan.


Banyaknya kandungan lignin juga berpengaruh pada konsumsi bahan kimia

dalam pemasakan dan pemutihan. Kappa number merupakan salah satu

indikator untuk mengetahui banyaknya lignin yang masih tersisa dalam pulp.

Selain itu, akan menyebabkan lembaran bersifat kaku dan dapat mengurangi

aktivitas selulosa dan hemiselulosa dalam pembentukan ikatan antar serat

sehingga menghasilkan ikatan antar serat yang rendah, memperlambat

penggilingan, kerapatan dan kekuatan yang rendah serta menyebabkan pulp

berwarna lebih gelap (Panshin dan Zeuw, 1980, A.H. Muhammad, 2015). Pulp

akan mempunyai sifat fisik atau kekuatan yang baik apabila mengandung

sedikit lignin (Surest, 2010).

2.3.4. Ekstraktif

Ekstraktif adalah senyawa kimia dengan berat molekul rendah yang dapat larut

dalam air dan pelarut organik. Ekstraktif merupakan zat pengisi rongga sel dan

merupakan kumpulan banyak zat seperti gula, pectin, zat warna kayu, asam-

asam, minyak-minya, lemak dan sebagainya (Kasmudjo, 2010; Mody

Lempang, 2017). Ekstraktif dapat larut dalam methanol, toluena, benzena, dan

larutan netral lainnya. Ekstraktif yang terkandung dalam kayu kira-kira 1-5%

terhadap berat kering kayu. Sebagian ekstraktif dihilangkan pada proses

pemasakan, sedangkan sisanya dalam pulp sering dianggap sebagai pitch atau

resin (Kocurek, 1989; Sixta, 2006).

Kandungan ekstraktif dari beberapa jenis kayu daun lebih banyak di

bandingkan dengan jenis kayu jarum. Adanya ekstraktif dalam pulp maka akan
menimbulkan kesulitan penetrasi larutan pemasak kedalam serpih dan

mempengaruhi pemakaian alkali aktif serta dapat mempengaruhi rendemen

pulp (Rydolm, 1967; A. Mursito, 2012). Ekstraktif juga berpengaruh dalam

proses pulping, dimana semakin tijnggi kandungan ekstraktif akan semakin

tinggi pula konsumsi bahan kimia yang diperlukan dalam proses pulping serta

dapat menyebabkan pitch-problem yaitu bintik-bintik pada lembaran pulp yang

dihaslikan (Syafii & Siregar, 2006; Mody Lempang, 2017). Ekstraktif juga

dapat menyebabkan yellowing pada pulp serta mempengaruhi kekuatan pulp

(Sixta, 2006)

Gambar 2.7. Contoh fatty acid dengan 18 Atom Karbon dalam Kayu

Kayu mengandung ekstraktif dalam jumlah yang sedikit, rata-rata untuk kayud

aun 5 ± 3%, dan untuk kayu jarum 3 ± 2%. Ekstraktif terdiri dari beberapa

komponen utama, seperti asam lemak, asam resin, wax, terpentin dan senyawa-

senyawa fenolik. Ekstraktif sangat mengganggu pada proses pemasakan karena

banyakbahan kimia yang digunakan untuk melarutkan ekstraktif terlebih

dahulu sehingga penggunaan bahan kimia dapat berlebih. Ekstraktif adalah

komponen-komponen yang dapat larut dalam air atau pelarut organik, seperti

di dalam etanol-benzen, eter, aseton, DCM, dan sebagainya (Smook, 2002).


Ekstraktif dapat menyebabkan masalah pitch pada pembuatan pulp atau kertas.

Pitch adalah kumpulan dari bahan-bahan ekstraktif yang tidak terlarutkan oleh

bahan kimia, sehingga menyebabkan ekstraktif tersebut mengendap dalam

peralatan (screen dan wire), dan juga dapat menimbulkan noda-noda pada

kertas. selain itu juga dapat mempengaruhi proses selanjutnya bila masih ada

kandungan ekstraktif seperti timbulnya busa (foam).

2.3.5. Mineral

Mineral terdiri atas ion-ion logam berupa natrium (Na), kalium (K), dan

kalsium (Ca) yang mengikat anion berupa karbonat (CO3), phosfat (PO4),

silikat, sulfat (SO4), dan khlorida (Cl). Kayu hanya mengandung jumlah yang

rendah dari komponen-komponen anorganik, diukur sebagai abu setelah

pembakaran sempurna kayu yang jarang melebihi 1% dari berat kering kayu

(Biermann, 1996; Sixta, 2006).

Mineral (senyawa anorganik) dalam kayu biasanya mempunyai kadar kurang

dari 1% dan dalam pulp kadang-kadang senyawa ini masih terkandung, tidak

hanya berasal dari bahan bakunya melainkan juga diperoleh dari bahan kimia,

air dan peralatan yang digunakan. Untuk mengetahui kadar mineral dalam kayu

dilakukan pengabuan, sebagian besar abu terdiri dari garam-garam karbonat,

fosfat, oksalat, sulfat, dan sisanya merupakan senyawa logam seperti kalsium,

tembaga, silika, dan mangan. Kadar abu yang tinggi dalam kayu khususnya

bahan baku kayu dan tidak larut dalam HCL 6M biasanya banyak mengandung
silika. Adanya abu dalam pulp akan mengganggu pada hasil dan kualitas kertas,

sedangkan adanya silika atau silikat yang tinggi akan mengakibatkan korosi

atau pengerakan di dalam digester, menyumbat alat pipa recovery, dan juga

dapat menumpulkan alat-alat pisau (Susi Sugesty, 1991; A. Mursito 2012).

Kayu dengan kadar abu yang tinggi akan meninggalkan kandungan abu yang

tinggi juga pada produk pulp (Roliadi, 2010).

2.4.Pulp

Pulp adalah hasil pemisahan serat dari bahan baku berserat (kayu maupun non-

kayu) melalui berbagai proses pembuatannya (mekanis, semikimia, kimia).

Pulp adalah bahan berupa serat berwarna putih yang diperoleh melalui proses

penyisihan lignin dari biomassa (delignifikasi). Pulp digunakan sebagai bahan baku

untuk pembuatan kertas dan dapat juga dikonversi menjadi senyawa turunan

selulosa termasuk selulosa asetat. Penyisihan lignin dari biomassa dapat dilakukan

dengan berbagai proses yaitu mekanis, semikimia dan kimia (Johanson, 1987;

Smook, 2002).

Pulp diproduksi dari bahan baku yang mengandung selulosa. Proses pembuatan

pulp pada umumnya menggunakan proses kimia, yaitu proses soda, sulfat (kraft),

sulfit, dan organosolv. Hasil penelitian mengenai pembuatan pulp secara kimia

menimbulkan pencemaran yang cukup serius karena hasil samping yang

diproduksi. Polutan atau limbah utama yang dihasilkan adalah komponen gas yang
mengandung senyawa sulfur dan klor yang dihasilkan dari proses kraft atau sulfit

dengan larutan pemasak (Simanjuntak, 1994; Yahya dkk, 2016).

Selulosa dari bahan kayu atau non-kayu masih tercampur dengan bahan lainnya

seperti lignin dan selulosa. Tujuan dari pembuatan pulp adalah mengambil

sebanyak-banyaknya serat selulosa (fiber) yang ada dalam kayu dan menghilangkan

kandungan lignin dan ekstraktif. Pulp dibedakan menjadi 2 macam yaitu pulp

berserat pendek dan pulp berserat panjang. Pulp berserat pendek umumnya

dihasilkan dari jenis rumput-rumputan dan sisa hasil pertanian, sedangkan pulp

berserat panjang dihasilkan dari tumbuhan kayu.

Menurut Bahri (2015) bahan baku dasar pembuatan pulp adalah selulosa dalam

bentuk serat dan hamper semua tumbuhan yang mengandung serat dapat dipakai

sebagai bahan baku pembuatan pulp. Pulp merupakan hasil pemisahan serat kayu

atau bahkan berserat lain yang mengandung lignoselulosa (Casey, 1980; A. Morlina

2016). Pembuatan pulp didefinisikan sebagai proses mengubah bahan baku

berselulosa menjadi berserat. Pulp atau yang disebut dengan bubur kertas

merupakan bahan pembuatan kertas. Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang

dihasilkan dengan kompresi serat yang berasal dari pulp, yang mengandung

selulosa dan hemiselulosa. Secara umum, prinsip pembuatan pulp merupakan

pemisahan selulosa terhadap impurities bahan-bahan dari senyawa yang dikandung

oleh kayu di antaranya lignin. Adapun karakteristik bahan baku yang digunakan

dalam pembuatan pulp, yakni:


 Berserat

 Kadar alpa selulosa lebih dari 40%

 Kadar lignin kurang dari 25%

 Kadar air maksimal 10%

 Memiliki kadar abu yang kecil

(Harsini dan Susilowati, 2010)

2.5.Proses Pembuatan Pulp

Proses pembuatan pulp terdiri dari proses pemasakan kayu dan pemutihan pulp.

Proses pembuatan pulp pada dasarya adalah proses pemisahan serat dari bahan baku

yang mengandung serat dengan cara mekanis, kimia atau gabungan dari keduanya.

Dalam proses kimia, bahan baku dimasak dalam bejana pemasak (digester) dan

ditambahkan dengan bahan kimia untuk melarutkan komponen dalam bahan baku

yang tidak diinginkan sehingga diperoleh pulp dengan kandungan selulosa yang

tinggi.

Tujuan utama dari pembuatan pulp adalah memisahkan selulosa (serat-serat) dari

bahan-bahan lainnya. Pulp secara kimia bertujuan memisahkan serat selulosa dari

bahan baku melalui delignifikasi tanpa terdegradasi karbohidrat.

Ada beberapa metode untuk pembuatan pulp yang merupakan proses pemisahan

selulosa dari senyawa pengikatnya, terutama lignin yaitu secara mekanis,

semikimia dan kimia. Pada proses secara kimia ada beberapa cara tergantung dari

larutan pemasak yang digunakan, yaitu proses sulfit, sulfat (kraft), dan lain-lain.
2.5.1. Proses Pulp Mekanik

Proses pemasakan (cooking) terdiri dari:

2.5.1.1.Proses Mekanik

Proses ini dikembangkan oleh E.G. Kellen (Jerman). Pada proses ini,

kayu dihancurkan menjadi lumpur didalam rotary grind mill stone

dengan menambahkan air, kemudian ditarik-tarik sambil berjalan

didalam rotary scruber sehingga secara fisik serat menjadi rusak. Hal

ini menyebabkan pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan yang

rendah (mudah sobek). Pada tahun 1970-an, grind stone dimodifikasi

sehingga dapat berputar dengan kecepatan dan tekanan tinggi, tidak

merusak serat, sehingga pulp yang dihasilkan mempunyai kekuatan

yang lebih baik.

2.5.1.2.Proses Thermomekanik

Merupakan perbaikan dari proses mekanik dimana sebelum dilakukan

penggilingan kayu terlebih dahulu dimasak/dikukus pada temperatur

dan tekanan tinggi. Pulp yang dihasilkan telah mempunyai kekuatan

yang lebih baik tapi membutuhkan energi yang lebih banyak.

2.5.1.3.Proses Semikimia

Proses ini merupakan perbaikan dari proses sebelumnya dimana setelah

dihancurkan dengan penggiling, potongan-potongan serat proes pada


tahap impregnasi (penyerapan) dengan larutan encer (sulfit, natrium

sulfat, soda abu) terlebih dahulu. Pulp yang dihasilkan disaring. Salah

satu proses semi kimia yang dipakai adalah memasak

serpihan/potongan kayu dengan larutan encer, sebelum di-defibrasi

secara mekanik didalam penggiling.

2.5.1.4.Proses Kimia

Pada proses ini lignin dihilangkan sama sekali sehingga serat-serat kayu

mudah dihilangkan oleh larutan pemasak. Proses ini dibagi menjadi

beberapa jenis yaitu:

1. Proses soda

Proses ini dikenalkan oleh C. Watt dan H. Burges pada tahun 1850.

Pada proses ini system pemasakan menggunakan senyawa alkali yaitu

natrium hidroksida (NaOH) sebagai larutan pemasak di kolom

bertekanan, dengan perbandingan 4:1 dari jumlah kayu yang

digunakan. kemudian larutan pemasak bekas dipekatkan dengan proses

penguapan (evaporasi).

2. Proses sulfit

Proses ini ditemukan oleh Benyamin Tilghman pada tahun 1866,

dimana pembuatan pulp dilakukan di dalam kolom bertekanan

menggunakan larutan kalsium sulfat dan belerang dioksida. Pada tahun


1950-an, penggunaan kalsium diganti dengan magnesium/natrium dan

ammonium sulfat yang lebih banyak keuntungannya.

3. Proses sulfat

Proses ini disebut juga proses pulp kraft. Pada umumnya di Indonesia

menggunakan proses kraft (sulfat) dalam pembuatan pulp. Pada proses

ini digunakan larutan NaOH ditambah bubuk Na2SO4 yang direduksi di

dalam tungku pemutih menjadi Na2S, yang diperlukan untuk

delignifikasi. Pada proses ini juga digunakan bahan penggumpal seperti

klorida sehingga pulp kraft mempunyai derajat cerah (brightness) yang

berkualitas. Pada tahun 1884, proses kraft ditemukan oleh C.F. Dahl

ketika ia menambahkan natrium sulfat (saltcake) untuk menggantikan

natrium karbonat yang mahal kedalam recovery furnace. Penambahan

natrium sulfat ke dalam recovery furnace sebagai pengganti bahan

kimia yang hilang selama proses soda. Adanya reaksi kimia dalam

recovery furnace menyebabkan senyawa sulfat tereduksi menjadi

senyawa sulfida yang kemudian digunakan sebagai bahan kimia

pemasakan (Smook, 2002).

Proses kraft merupakan penyempurnaan dari proses soda. Pada proses

kraft digunakan NaOH dan Na2S sebagai bahan pemasak. Penambahan

Na2S pada proses kraft sebagai tambahan dari proses soda, Na2S

berperan sangat baik dalam proses pemasakan yaitu mempercepat

reaksi delignifikasi dan memperkuat pulp serta mengurangi degradasi


karbohidrat dalam pemasakan (Biermann, 1996; A. Aziz, 2012).

Selama reaksi berlangsung Na2S berfungsi untuk mempercepat laju

delignifikasi dengan menekan degradasi terhadap karbohidrat kayu

yaitu selulosa dan hemiselulosa. Penambahan Na2S sangat

menguntungkan dalam reaksi hidrolisa yang terjadi dengan

menghasilkan NaSH- dan NaOH.

Reaksi yang terjadi selama proses kraft sangat kompleks. Dasarnya,

lignin di dalam chip diputus-putuskan menjadi fragmen-fragmen oleh

ion hidroksil (OH-) dan hidrosulfida (SH-) yang ada dalam cairan

pemasakan. Fragmen lignin kemudian dilarutkan sebagai phenolate

atau ion karboksilat. Karbohidrat terutama selulosa dan hemiselulosa

beberapa, juga diserang oleh bahan kimia dan terlarut sampai batas

tertentu (Smook, 2002)

Proses kraft adalah proses pembuatan pulp secara kimia yang

menggunakan natrium hidroksida dan natrium sulifada pada pH diatas

12, pada temperatur yang tinggi sekitar 160-180°C (320-356°F) dan

waktu pemasakan selama 0,5-3 jam untuk melarutkan lignin sebanyak

mungkin dari serat kayu. Waktu retensi pemasakan tergantung dari

bahan baku (Biermann, 1996; Engida, 2017).

Proses ini bertujuan untuk memisahkan serat-serat dalam kayu secara

kimia dan melarutkan sebanyak mungkin lignin pada dinding serat.


Selain itu, pemilihan proses kraft mempunyai banyak keuntungan bila

dibandingkan dengan proses lain.

Keuntungannya antara lain:

a. Dapat digunakan untuk berbagai jenis kayu,

b. Dapat meningkatkan kekuatan pulp,

c. Waktu pemasakan cukup pendek,

d. Pulp yang dihasilkan dapat diputihkan dengan brightness yang lebih

tinggi.

Lignin lebih mudah larut dalam proses kraft, karena adanya ion-ion

hidroksil dan hydrogen sulfide. Seperti yang dikemukakan oleh

Sjostrom (1995; R. Apriandini, 2014), adanya ion hydrogen sulfide

sangat membantu delignifikasi karena nukleofilitas mereka yang berat

jika dibandingkan dengan ion-ion hidroksil dan hydrogen sulfide, juga

akan menghasilkan kenaikan hidrofilisitas lignin karena pelepasan

gugus-gugus hidroksi fenol. Lignin yang terdegradasi larut dalam black

liquor sebagai natrium fenolat.

Tabel 2.1. Variabel-variabel yang Mempengaruhi Proses Kraft

Spesies

Kualitas chip secara umum (distribusi ukuran, bebas dari


Chip Kayu
kontaminan)

Kandungan air

Cairan pemasak Sulfiditas


Pengaplikasian bahan kimia (AA atau EA pada kayu OD)

Kontrol Rasio liquor to wood

pemasakan Temperatur dan waktu

Faktor H

Parameter Derajat delignifikasi (diindikasikan sebagai bilangan kappa)

pengendali Residual alkali

Sumber: (Smook, 2002)

Parameter kondisi pemasakan proses Kraft adalah:

a. Alkali Aktif

Alkali aktif menyatakan jumlah dari larutan NaOH dan Na2S yang

ditambahkan sebagai larutan pemasak (white liquor) dan dinyatakan dalam

persen beratnya terhadap berat kering bahan kimia pemasak

(Biermann,1996; Haiyul Fadhli, 2015). Di setiap situasi, sangatlah

bermanfaat untuk memberikan bahan kimia yang cukup untuk membawa

reaksi pemasakan ke tahap selesai. Pada kenyataannya, sedikit kelebihan

bahan kimia diberikan untuk menjaga driving force dan mencegah

redeposisi lignin kembali ke serat (Smook, 2002)

Alkali Aktif = NaOH + Na2S (as Na2O)

b. Efektif Alkali

Efektif alkali sekitar 12-18% pada kayu untuk produksi unbleached kraft

dan 18-24% untuk kayu produksi bleached grades, dengan hardwood yang
digunakan memiliki kandungan lignin yang rendah. Diatas 55 g/L efektif

alkali, selulosa dekomposisi dan penghilangan lignin meningkat secara

drastis dengan konsekuensi penggunaan rasio liquor to wood diatas 3:1

(Biermann, 1996; Nur Wahidun K., 2013). Konsentrasi EA ekuivalen

dengan konsentrasi ion hidroksida karena ion sulfida terdisosiasi

sepenuhnya menjasi ion hidrogen sulfida dan ion hidroksida (Sixta, 2006).

Efektif alkali = NaOH + ½ Na2S

c. Sulfiditas

Sulfiditas adalah perbandingan Na2S terhadap alkali aktif yang dinyatakan

dalam persen. Pada umumnya sulfiditas yang digunakan sekitar 30-35%,

tergantung pada jenis kayu yang akan di pulping. Sulfiditas meningkatkan

laju delignifikasi yang terjadi dari aksi ion hydrosulfide (HS-). Sulfiditas

bisa melindungi degradasi karbohidrat secara langsung. Jika sulfiditas

terlalu rendah, kandungan lignin dalam pulp akan tinggi dan degradasi

karbohidrat akan meningkat, sehingga menghasilkan pulp dengan kekuatan

rendah. Jika sulfiditas terlalu tinggi, emisi sulfur akan meningkat dan korosi

pada proses recovery meningkat (Biermann,1996; H. Sipon Muladi, 2013).

Perubahan penambahan alkali akan menyebabkan perubahan penambahan

sulfide (Ek, 2009)

Sulfiditas = (Na2S / Alkali Aktif) x 100%


Gambar 2.8. Reaksi Sulfiditas

d. Rasio liquor to wood

Merupakan perbandingan antara berat total cairan pemasak terhadap berat

bahan baku kering. Untuk penetrasi yang cukup, volume cairan yang

memadai diperlukan untuk memastikan bahwa semua permukaan chip

terbasahi. Pada pemasakan batch digester normalnya sekitar 75% diisi oleh

cairan pada awal pemasakan. Setelah pemasakan terjadi, air dalam chip dan

lignin memasuki fasa cairan ketika massa chip berkurang, level cairan lalu

naik dalam hubungan dengan level chip. White liquor yang cukup disuplai

untuk mendapatkan alkali charge yang diinginkan. Keseimbangan antara

kebutuhan cairan diatur dengan black liquor (Smook, 2002).

e. H-Faktor

Temperatur maksimum yang dinginkan untuk pemasakan yaitu 165-170°C.

Untuk efek terhadap laju reaksi, pemilihan untuk temperatur maksimum

sampai 180°C tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil pemasakan. Diatas


180°C, penurunan kekuatan dan rendemen menjadi signifikan akibat

degradasi selulosa (Smook, 2002).

Metode yang telah dikembangkan untuk menjadikan temperatur dan waktu

pemasakan didalam proses kraft sebagai variabel tunggal. Dimana, waktu dan

temperatur dari cooking cycle lain bisa dinyatakan dengan nilai angka

tunggal, yang disebut faktor-H

4. Proses organosolv

Proses organosolv adalah proses pemisahan serat dengan menggunakan

bahan kimia organic seperti misalnya methanol, etanol, asam asetat, dan

lain-lain. Proses ini telah terbukti memberikan dampak yang baik bagi

lingkungan dan sangat efisien dalam pemanfaatan sumber daya hutan.

Dengan menggunakan proses organosolv diharapkan permasalahan

lingkungan yang dihadapi oleh indistri pulp dan kertas akan dapat diatasi.

Hal ini karena proses organosolv memberikan beberapa keuntungan, antara

lain yaitu rendemen pulp yang dihasilkan tinggi, daur ulang lindi hitam

dapat dilakukan dengan mudah, tidak menggunakan unsur sulfur sehingga

lebih aman terhadap lingkungan dapat menghasilkan by-products (hasil

samping) berupa lignin dan hemiselulosa dengan tingkat kemurnian tinggi.


Tabel 2.2. Perbandingan Proses Pembuatan Pulp

Mekanik Semikimia Kimia

Pulping dengan energi Pulping dengan Pulping dengan bahan

mekanik (sedikit tanpa perlakuan kombinasi kimia (Sedikit atau

perlakuan awal kimia dan mekanik tidak ada energi

dengan bahan kimia mekanik)

atau panas)

Rendemen tinggi Rendemen sedang Rendemen rendah

(90-95%) (55-90%) (40-55%)

Serat pendek, tidak Sifat pulp sedang Serat pulp utuh,

utuh, tidak murni, dan (intermediate) panjang, kuat, dan

tidak stabil stabil

Kualitas cetak baik, Kualitas cetak sedang Kualitas cetak kurang

tapi sulit diputihkan (intermediate) baik, tapi mudah

diputihkan

(Sumber: Dumanauw, 2001)

2.5.2. Pembersihan Pulp

2.5.2.1.Deknotting

Pulp yang telah melalui proses pemasakan, akan menghasilkan pulp yang

individu dan ada yang masih membentuk gumpalan-gumpalan serat. Maka

pulp tersebut akan dikirim ke proses selanjutnya yaitu pemisahan knot. Knot

adalah bundelan serat yang tidak matang biasanya berasal dari mata kayu

yang sulit untuk diuraikan pada proses pemasakan karena sulitnya bahan
kimia pemasak melakukan penetrasi terhadap mata kayu tersebut, dan

terkadang chip yang masuk ke proses pemasakan terlalu tebal sehingga

timbul yang namanya knot. Oleh karena itu, knot tersebut harus disaring

dengan istilah deknotting agar tidak mengganggu proses selanjutnya.

Setelah knot dipisahkan dengan pulp, knot tersebut disaring kembali dengan

knotter lainnya sampai didapat knot yang nantinya akan dikirim kembali ke

digester untuk dilakukan pemasakan kembali.

Proses deknotting sama halnya dengan proses screening, namun yang

membedakannya adalah ukuran untuk menyaring knot dari serat. Pada

umumnya yang digunakan untuk deknotting seperti berbentuk hole.

2.5.2.2.Pencucian (Washing)

Tujuan dari pencucian pulp adalah untuk mendapatkan pulp yang bebas dari

kandungan yang tidak diinginkan. Pada banyak kasus dasar, pencucian

dapat dilakukan dengan penggantian dari cairan kontaminan dengan serat

pulp oleh air bersih. Pada pabrik pulp modern, operasi pencucian termasuk

juga displacement dari satu jenis cairan dengan cairan lainnya (Biermann,

1996; F. Potucek, 2012). Industri sering mengkombinasikan metode

pencucian berbeda dalam satu proses yang sama untuk mencapai target

efisiensi yang diinginkan (Smook, 2002)

Beberapa keuntungan dari pencucian pulp yaitu meminimalisir chemical

loss dari sirkulasi cairan pemasak, memaksimalkan pemulihan dari bahan


organik untuk proses lebih lanjut atau pembakaran, mengurangi dampak

lingkungan dari proses di fiberline, membatasi carry over diantara setiap

tahapan proses, memaksimalkan penggunaan kembali dari bahan kimia dan

konservasi energi didalam satu tahapan pemutihan, mendapatkan produk

pulp akhir yang bersih (Biermann, 1996; Smook, 2002).

Idealnya, proses pencucian pulp dilakukan dengan jumlah air pencuci yang

minimal untuk menjaga sumber air bersih dan untuk mengambil beban

kapasitas dari bagian aliran bawah yang memproses air filtrat pencucian.

(Biermann, 1996; Sixta, 2006).

2.5.2.3.Screening

Setelah proses pemasakan, pulp mengandung berbagai macam materi yang

terdiri dari partikel-partikel yang dapat menyebabkan masalah dan tidak

diinginkan. Dengan menggunakan proses screening, pulp dapat dipisahkan

dari materi/partikel pengotor dengan prinsip pemisahan kontaminan

berdasarkan perbedaan ukuran, dengan menggunakan media penyaring

berupa hole dan slot. Kontaminan yang dipisahkan pada screening adalah

knot (mata kayu), shives (bundel dari dua atau lebih berat), dirt (kotoran),

plastik. Partikel yang dipisahkan dikonsentrasikan pada sebuah aliran

sehingga mereka dapat dibuang.


2.5.2.4.Cleaning

Selain proses penyaringan, pemisahan kontaminan dari pulp juga dapat

dilakukan melalui proses cleaning yang prinsip pemisahannya berdasarkan

perbedaan densitas. Pembersihan dengan proses ini biasanya menggunakan

alat yang di sebut dengan hydrocyclone yang memanfaatkan gaya

sentrifugal dalam memisahkan kontaminannya.

Objektif dari screening dan cleaning adalah untuk menghilangkan pengotor

padat dari pulp dengan tujuan untuk menjaga peralatan proses, menghemat

bahan kimia pemutih, dan untuk mendapatkan pulp akhir yang bersih.

Proses screening bisa ditempatkan di bagian sebelum atau sesudah

pemutihan. Shive yang sebelumnya bisa diputihkan dengan klorin harus

dihilangkan secara efisien (Biermann, 1996).

2.5.2.5.Oxygen Delignification

Pulp dengan sisa kandungan lignin masih banyak, akan menghasilkan

larutan dengan lignin terlarut lebih banyak selama proses pemutihan.

Bilangan kappa yang lebih tinggi pada proses pulp akan mendapatkan

rendemen yang lebih tinggi, tetapi karena akan membuat lignin terlarut

semakin banyak, hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat

pengolahan limbah yang lebih mahal dan kompleks, hal ini tidak bagus bagi

ekonomi dan lingkungan. Situasi ini mengharuskan menerapkan suatu

metoda atau tahapan baru untuk menurunkan bilangan kappa sebelum tahap

pemutihan tanpa terlalu merusak rendemen pulp. Metoda baru ini


dinamakan delignifikasi oksigen. Tahapan ini memiliki beberapa

keuntungan, yaitu selain lebih selektif dibanding tahap akhir proses

pemasakan pulp (residual phase), tahapan ini memakai bahan kimia yang

jauh lebih murah dari bahan kimia pemutihan, yaitu oksigen dan alkali.

Kedua bahan kimia tersebut dapat dibuat pada mill langsung. Selain itu

bahan kimia tersebut dapat dikirim ke recovery plant dan menghasilkan

energi.

Sebelum tahap delignifikasi oksigen, sangat penting untuk melakukan

pencucian yang efektif karena carryover memiliki dampak negative

terhadap efektifitas tahapan ini. Proses ekstraksi lignin memerlukan alkali

yang cukup. Pengetesan pH akhir bisa saja tidak menunjukkan hasil yang

sesuai, alkali yang terlalu rendah bisa saja tidak terlihat dari pengetesan ini

karena adanya efek buffering. Solusi yang tepat adalah tetap menaikkan

volume alkali, tetapi alkali dapat meningkatkan degradasi selulosa. Menurut

(suess, 2010), penambahan oksigen tidak terlalu besar pengaruhnya

terhadap derajat delignifikasi, tetapi masih sangat perlu diperhatikan karena

terlalu banyak oksigen dapat memberi efek buruk lebih besar dari terlalu

sedikit oksigen, karena channeling gas oksigen dapat menyulitkan proses

oksidasi dan ekstraksi lignin teroksidasi. Tekanan sangat penting dalam

tahapan ini, jika tekanan tidak tercukupi, hampir mustahil untuk

mendapatkan target bilangan kappa. Untuk meningkatkan tingkat

delignifikasi, disarankan untuk menurunkan suhu, menaikkan tekanan dan

konsumsi alkali.
2.5.3. Pemutihan Pulp Kimia (Bleaching)

Pulp belum putih, dalam hal ini pulp unbleached kraft, mempunyai warna coklat

gelap yang disebabkan oleh kromofor yang sebagian besar terdapat pada sisa lignin.

Beberapa produk seperti kertas tulis dan cetak, bungkus makanan membutuhkan

pulp putih, karena akan berpengaruh terhadap kualitas kertas tersebut. Proses

pemutihan menghasilkan pulp dengan derajat cerah yang tinggi dan juga

menghasilkan pulp dengan kebersihan yang tinggi, karena gumpalan serat,

ekstraktif, dan kontaminan yang jauh lebih sedikit. Pemutihan juga menghasilkan

pulp murni bebas bakteri yang penting bagi produk bungkus makanan dan

minuman. Pemutihan pulp kimia dengan pulp mekanik juga berbeda. Pada pulp

kimia, pemutihan dilakukan dengan melakukan oksidasi pada lignin, yang membuat

lignin tersebut terdekomosisi dan akhirnya dapat dipisahkan dari pulp, hal ini

membuat kandungan kromofor menjadi menurun. Sedangkan pada pulp mekanik,

hanya kromofor yang di oksidasi, bukan sususan ligninnya, hal ini membuat masih

banyak kandungan lignin yang tersisa pada pulp, walaupun begitu dengan adanya

eliminasi kromofor ini dapat meningkatkan derajat cerah pulp. Pada abad 18,

diketahui bahwa pulp dapat diputihkan dengan klorin (Cl2) dan hipoklorit (OCl).

Proses hipoklorit satu tahap pemutihan menjadi proses dominan hingga tahun 1930-

an hingga proses klorin-alkali-hipoklorit dikembangkan. Penambahan tahap

tersebut sudah cukup untuk memutihkan pulp sulfit, tetapi belum cukup untuk

memutihkan pulp kraft tanpa kehilangan banyak rendemen dan kekuatan. (Monica,

et al¸2009). Saat ClO2 ditemukan sebagai agen pemutihan dengan selektifitas yang
tinggi terhadap selulosa pada 1920-an, hal ini memungkinkan untuk memutihkan

pulp kraft dengan hanya sedikit kehilangan kekuatan. Instalasi mill pertama

terhadap teknologi ini dilakukan pada tahun 1946 di mill husum, Swedia. Proses

pemutihan dengan tahap ini dinamakan ECF (elemental chlorine free). Jika klorin

dioksida tidak digunakan, maka tahapan tersebut dinamakan TCF (totally chlorine

free bleaching). Cara ini akan menghilangkan kandungan AOX dalam limbah.

Menurut (Suess, 2010), tahapan yang lebih disukai antara ECF dan TCF berganti

sesuai kondisi. Perkembangan awal terjadi dengan perubahan paradigma dari

kualitas serat menuju dampak terhadap lingkungan. Tetapi, sudut pandang tentang

dampak “paling bagus” dan “paling buruk” untuk lingkungan telah berubah, sebuah

pendekatan yang sempit dan focus hanya pada satu topik diganti dengan pendekatan

yang lebih holistik atau menyeluruh. Masalah yang ditimbulkan adalah AOX yang

berbahaya. Solusi utama dari permasalahan ini adalah menggunakan teknologi

TCF, teknologi ini pun laris manis pada tahun 1980-an. kekuatan serat yang rendah

dan rendemen yang tidak tinggi menjadi permasalahan yang tidak dapat diterima

pada zaman sekarang, sehingga perubahan paradigma terjadi lagi.

Keuntungan yang diperoleh dengan penggunaan teknologi ECF dan TCF antara

lain:

1. Senyawa phenolik terkhlorinasi dan dioksin lebih rendah.

2. AOX lebih rendah pada pulp putih, pada air limbah 2.4- 3.5 ton/kg.

3. Menghemat penggunaan air.

4. Menghemat energi 10-15% bila menggunakan oksigen.


5. Brightness dapat dijaga pada tingkat yang tinggi tanpa mengurangi kekuatan

pulp.

Gambar 2.9 Tabel Tahapan - Tahapan Bleaching

Ada beberapa tahap bleaching yang digunakan di pabrik pulp sekarang, namun

yang utamanya adalah tahap D0 (EO) D1 D2 sebagai tahap standar. Akan tetapi,

banyak juga tahap lain yang digunakan dengan pertimbangan lokal tentang masalah

lingkungan, ketersediaan fresh water, pemenuhan kualitas pulp, maksimum

investasi yang dibolehkan dan biaya produksi.


Gambar 2.10 Tahapan Bleaching D0 (EO) D1 D2

2.5.3.1.Tahap D0 (Khlordioksida)

Proses bleaching pada tahap pertama ini bahan kimia yang digunakan

dengan jenis Elemental Chlorine Free (ECF), dimana tidak mengunakan

unsur klor (Cl2), tetapi mengunakan senyawa chlorine dioxide (ClO2).

Tujuan tahap ini untuk mendegradasi dan memisahkan struktur lignin yang

terdapat dalam pulp.

2.5.3.2.Tahap E (Ekstraktif)

Tahap E merupakan ekstraksi komponen lignin yang telah terdegradasi

dengan larutan kaustik (NaOH). Hal ini mengikuti tahap C dan terkadang

tahapan bleaching yang lainnya. Ketika mengikuti tahap C, digunakan 2-

3% pada pulp, sering dengan tower aliran bawah seiring dengan konsistensi

tinggi pulp (10-18%), dengan temperatur 50-95°C, dan waktu reaksi 0,75-

1,5 jam. Di tahap E kemudian, alkali digunakan kurang dari 1% terhadap

pulp. Alkali menggantikan klorin dan membuat lignin dapat terlarut oleh

reaksi: (Biermann, 1996; Smook, 2002).

Lignin-Cl + NaOH → Lignin-OH + NaCl


Pada tahap ini terdapat pengembangan proses dengan melakukan

penambahan hidrogen peroksida (H2O2) yang dikenal menjadi Eop dapat

menghilangkan lignin dnegan cara merubah gugus kromofom. Dengan

penambahan hidrogen peroksida akan mengurang penggunaan ClO2.

2.5.3.3.Tahap D1 (Chlorine Dioxide)

Tahap D1 melibatkan pemutihan dengan manggunakan chlorine dioxide.

Chlorine dioxide umumnya lebih mahal, tapi selektifitasnya tinggi untuk

lignin. Ini membuat chlorine dioxide sangat berguna untuk tahap lanjutan

bleaching dimana kandungan lignin sudah rendah. Chlorine dioxide dapat

meledak pada tekanan diatas 10 kPa (1,5 psi atau 0,5 atm), Kelarutannya 6

g/L pada 25°C dengan tekanan parsial 70 mmHg. Chlorine dioxide

digunakan pada konsistensi sekitar 10-12% dengan temperatur 60-80°C,

selama 3-5 jam pada pH 3,5-6. Digunakan sekitar 0,4-0,8% terhadap berat

pulp. Nilai pH akhir akan berpengaruh terhadap brightness dan viskositas

pulp yang dihasilkan (Ek, 2009).

2.5.3.4.Tahap D2 (Chlorine Dioxide)

Tahap ini bertujuan meningkatkan derajat cerah (brightness). Bahan kimia

yang digunakan ClO2 dan SO2. SO2 berfungsi untuk menetralkan residual

chlorine dioxide, sedangkan ClO2 berfungsi untuk meningkatkan brightness

dari pulp. Penggunaan ClO2 sekitar 0-2 kg/ton.


2.6.Klasifikasi Kelas Kualitas Serat Kayu

Kualitas keterangan:

a. Kelas I Serat panjang sampai panjang sekali, dinding sel tipis sekali dan

lumen lebar. Serat akan mudah digiling. Diduga akan menghasilkan

lembaran dengan kekuatan sobek, retak, dan tarik yang tinggi.

b. Kelas II Serat kayu sedang sampai panjang, mempunyai dinding sel tipis

dan lumen agak lebar. Serat akan mudah menggepeng waktu digiling dan

ikatan seratnya baik. Serat jenis ini diduga akan menghasilkan lembaran

dengan kekuatan sobek, retak dan tarik cukup tinggi.

c. Kelas III Serat kayu berukuran pendek sampai sedang, dinding sel dan

lumensedang. Dalam lembaran pulp kertas, serat agak menggepeng dan

ikatan antarseratnya masih baik. Diduga akan menghasilkan lembaran

dengan kekuatansobek, retak dan tarik sedang.

d. Kelas IV Serat kayu pendek, dinding sel tebal dan lumen serat sempit.

Seratakan sulit menggepeng waktu digiling. Jenis ini diduga akan

menghasilkanlembaran dengan kekuatan sobek, retak dan tarik yang

rendah. (Aprysilverfox, 2010).

Suatu bahan baku pulp dapat dikatakan menjadi pulp yang baik apabila memenuhi

mutu standar yang ditetapkan.


Tabel 2.3. Persyaratan Mutu Pulp Kraft Kayu Daun

No Parameter Satuan Persyaratan

1 Derajat giling awal mL CSF min. 430

2 Derajat cerah ISO % ISO min. 85

3 Noda maks. 5

4 Kadar ekstraktif (diklorometan) maks. 0,4

5 Kadar air (AD) maks. 10

Indeks sobek pada derajat giling 300 mL


mNm2/g min. 5,5
6 CSF

Indeks retak pada derajat giling 300 mL


kPam2/g min. 2,5
7 CSF

Indeks tarik pada derajat giling 300 mL


Nm/g min. 45
8 CSF

(Sumber: SNI 6107:2015 Pulp Kraft Putih Kayu Daun)

2.7.Analisa Kualitas Pulp Belum Putih

2.7.1. Kappa Number

Kappa number merupakan pengujian kimia yang diperlakukan terhadap pulp

untuk menentukan tingkat delignifikasi dan kematangan pulp, kekuatan relatif

dari pulp dan kesanggupan untuk diputihkan. Kappa Number didefinisikan

sebagai jumlah konsumsi permanganat dalam sampel pulp yang mengandung

lignin yang belum bereaksi. Setelah beberapa waktu, permanganat bereaksi


dengan pulp yang ditentukan dengan metode titrasi. Kappa number kemudian

ditentukan dengan jumlah 0,1 N larutan KMnO4 yang dikonsumsi oleh 1 gr

pulp dalam waktu 10 menit denga suhu 25°C. Kappa number ini sangat

berguna untuk menentukan kadar lignin dalam pulp. Larutan kimia yang

digunakan, diantaranya KMnO4 berfungsi untuk mengoksidasi lignin dalam

pulp, Kalium Iodida (KI) berfungsi sebagai reduktor, H2SO4 berfungsi

membuat suasana asam, karena proses oksidasi-reduksi berjalan optimum

dalam suasana asam, Na2S2O3 berfungsi sebagai larutan pentiter (larutan

standar) dan indikator starch 1% berfungsi sebagai indikasi berakhirnya proses

titrasi.

Pengukuran lignin (kappa number) pulp slurry pada proses pulpmaking

merupakan kunci sukses dalam mengoptimumkan proses pembuatan pulp.

Informasi kappa number ini sangat berguna untuk mengontrol parameter

selama proses pemasakan berlangsung seperti faktor H, liquor to wood ratio,

jumlah konsumsi WL, kadar air kayu, efisiensi pencucian, temperatur dan lain-

lain. Di skala industri, telah dipasang sensor kappa number untuk melihat nilai

kappa number. Sebenarnya kappa number on-line mengukur sampel dengan

menggunakan teknik optik berdasarkan absorbsi sinar UV. Kemampuan

lainnya adalah mengukur parameter lain seperti konsistensi, temperatur dan pH

yang dikenali oleh alat dan akan menyalakan alarm jika hasil yang diinginkan

menyimpang dari standar.


Kunci untuk memonitor dan kontrol pemasakan dengan menggunakan kappa

number sangat penting untuk mengontrol proses delignifikasi, juga sangat

berguna untuk mengontrol beberapa parameter untuk bleaching. Untuk

digester semakin sering analisa kappa number dilakukan dapat meningkatkan

variasi kappa number hingga level 20% dan menjaga kappa number tetap

dalam target. Ketelitian dari analisa kappa number ini akan membantu operator

digester untuk mengontrol jalannya digester, mulai dari start up, proses

berjalan, penukar material dan sebagainya.

2.7.2. Rendemen

Rendemen mencerminkan jumlah pulp yang dihasilkan dari bahan baku yang

dimasak. Besarnya rendemen yang diperoleh dapat dijadikan sebagai salah satu

kriteria dalam menentukan efektifitas proses pulping yang dilakukan. Semakin

efektif proses, semakin tinggi nilai rendemen.

2.8.Analisa Kualitas Pulp Putih

2.8.1. Brightness

Brightness adalah sifat lembaran pulp untuk memantulkan cahaya yang diukur

pada suatu kondisi yang baku, digunakan sebagai indikasi tingkat keputihan.

Keputihan pulp diukur dengan kemampuannya memantulkan cahaya

monokromatik dan diperbandingkan dengan standar yang telah diketahui yang

dinyatakan dalam %ISO atau %GE (Sirait, 2003). Tingkat kecerahan

(brightness) pulp tergantung pada jenis dan jumlah bahan kimia pemutih yang
digunakan pada tahap bleaching. Bilangan kappa yang kecil akan diikuti

dengan tingkat kecerahan yang meningkat.

Semua pulp akan mengalami perubahan kecerahan (brightness) seiring dengan

lama waktu penyimpanan. Pulp biasanya akan berubah menjadi kuning. Laju

penurunan brightness dengan waktu bervariasi dalam rentang yang cukup luas.

Sebagian pulp akan stabil biasanya bertahun-tahun kemudian baru akan

berubah menjadi kuning, sebagian lagi hanya dalam hitungan bulan akan

berubah menjadi kuning dan bahkan yang dalam hitungan hari sudah berubah.

Lignin bukan merupakan penyebab utama perubahan warna pulp jika hanya

mengandung sedikit lignin. Tapi, bagaimanapun lignin yang terkandung dalam

jumlah besar sudah pasti menjadi penyebab utama dalam perubahan warna

pulp. Oleh karena itu, efektivitas penghilangan lignin pada tahap bleaching

merupakan faktor yang sangat menentukan dalam proses brightness.

Penyebab dari perubahan warna pada pulp selama penyimpanan juga

dipengaruhi oleh kandungan selulosa, yaitu adanya gugus karbonil dan

karboksil. Penghilangan gugus karbonil dan karboksil ini dengan proses

oksidasi dan reduksi akan meningkatkan kestabilan warna. Perubahan warna

juga disebabkan oleh suhu, kelembaban, hemiselulosa, resin, logam-logam

seperti rosin, alum, lem, dan starch.


2.8.2. Viskositas

Viskositas adalah ukuran yang menyatakan kekentalan suatu cairan atau fluida.

Kekentalan merupakan sifat cairan yang berhubungan erat dengan hambatan

untuk mengalir. Jadi, viskositas dilakukan untuk menentukan kecepatan

mengalirnya suatu cairan. Viskositas (kekentalan) cairan akan menimbulkan

gesekan antara bagian-bagian lapisan-lapisan cairan yang bergerak satu sama

lain.

Dalam fluida ideal (fluida tidak kental) tidak ada kekentalan yang menghambat

lapisan-lapisan cairan ketika bergeser satu di atas lainnya. Dalam suatu pipa

dengan luas penampang yang sama, setiap lapisan bergerak dengan kecepatan

yang sama. Pada fluida kental, antara lapisan-lapisan cairan mengalami

gesekan, sehingga kecepatan aliran tidak seluruhnya sama. Pada bagian tengah

di sekitar sumbu cairan mengalir lebih cepat karena lebih leluasa. Sebaliknya

di sekitar dinding pipa cairan mengalir lebih lambat, bahkan yang melekat pada

dinding sama sekali tidak begerak.

Secara umum, viskositas cairan dapat ditentukan dengan dua metode, yaitu:

a. Viskometer Oswald

Metode ini ditentukan berdasarkan Hukum Poiseuille menggunakan alat

Viskometer Oswald. Penetapannya dilakukan dengan jalan mengukur waktu

yang diperlukan untuk mengalirnya cairan dalam pipa kapiler dari atas ke

bawah. Sejumlah cairan yang akan diukur viskositasnya dimasukkan ke dalam

viskometer yang diletakkan pada termostat. Cairan kemudian diisap dengan

pompa ke dalam bola sampai di atas tanda garis atas. Cairan dibiarkan mengalir
kebawah dan waktu yang diperlukan dari batas atas ke batas bawah dicatat

menggunakan stopwatch.

b. Viskositas Bola Jatuh

Viskositas cairan dapat ditentukan dengan metode bola jatuh berdasarkan

Hukum Stokes. Penetapannya diperlukan bola kelereng dari logam dan alat

gelas silinder berupa tabung. Bola kelereng dengan rapatan d dan jari-jari r

dijatuhkan ke dalam tabung berisi cairan yang akan ditentukan viskositasnya.

Waktu yang diperlukan bola untuk jatuh melalui cairan dengan tinggi tertentu

kemudian dicatat dengan stopwatch.

2.8.3. Sifat Fisik Lembaran Pulp

Sifat fisik lembaran pulp terdiri dari ketahanan retak, ketahanan tarik dan

ketahanan sobek yang dikonversi menjasi indeks retak, indeks tarik, dan indeks

sobek dengan membagi nilai ketahanan terhadap gramaturnya.

Gramatur merupakan massa dari satuan luas tertentu dari lembaran yang

ditetapkan melalui cara uji spesifik. Gramatur dinyatakan dalam gram per

meter persegi, diukur pada kondisi standar.

Ketahanan sobek adalah gaya dalam gram gaya (gF) atau mili Newton (mN)

tegak lurus permukaan kertas yang diperlukan untuk meneruskan sobekan dari

lembaran kertas yang telah mengalami penyobekan awal, diukur pada kondisi

standar. Indeks sobek adalah ketahanan sobek dalam mili Newton dibagi

gramatur dalam gram per meter persegi.


Ketahanan retak adalah gaya yang diperlukan untuk meretakkan selembar

kertas dinyatakan dalam kg/cm2 atau kilopascal (kPa), diukur pada kondisi

standar. Indeks retak adalah ketahanan retak dalam kilopascal dibagi gramatur

dalam gram permeter persegi.

Ketahanan tarik adalah daya tahan maksimum jalur pulp, kertas dan karton

tehadap gaya tarik yang bekerja pada kedua ujung jalur tersebut sampai putus,

dinyatakan dalam satuan gaya per satuan lebar jalur uji, diukur pada kondisi

standar. Indeks tarik adalah katahanan tarik dalam newton per meter dibagi

gramatur dalam gram per meter persegi.

2.9.Chemical Recovery Plant

Proses chemical recovery merupakan suatu proses untuk memulihkan atau

mengambil kembali bahan kimia yang sudah digunakan menjadi bisa digunakan

kembali. Sistem pemulihan kembali bahan kimia memang merupakan bagian yang

tidak dapat dipisahkan dari unit pulp yang menggunakan proses sulfat (kraft) dan

efisiensi dari sistem pemulihan kembali bahan kimia memainkan peranan penting

di bidang ekonomi. Efisiensi sistem pemulihan kembali bahan kimia dalam hal

efisiensi panas, pemulihan energi dan konversi energi panas menjadi energi listrik

yang luar biasa telah berdampak pada perekonomian secara keseluruhan produksi

pulp (kulakarni, 2010).

Sistem Pemulihan bahan kimia memiliki 4 fungsi penting dalam prosesnya,

meliputi:
1. Menghancurkan seluruh bahan-bahan organic yang terlarut selama proses

pemasakan yang berarti dapat dikuranginya polusi terhadap lingkungan.

2. Menghasilkan sejumlah energy panas yang dapat digunakan untuk

membangkitkan steam

3. Meregenerasi bahan kimia NaOH yang terkonsumsi selama proses pemasakan.

4. Mengubah komponen-komponen sulfur dalam black liquor menjadi Na2S

A. Evaporator

Evaporation adalah proses pengentalan pada cairan black liquor, pengeluaran air

dengan menggunakan steam. Target evaporation untuk membawa kadar dry solid

dari liquor yang dipakai untuk mengefisiensikan proses pembakaran. Umumnya,

liquor yang dievaporasi sampai konsentrasi kadar dry solid sampai 65-85%.

B. Recovert boiler

Black liquor adalah produk samping dari senyawa kimia pulping. Mengandung

lebih banyak snyawa kimia pemasak anorganik dan organik lainnya yang berasal

dari lignin kayu selama proses pulpingdalam digester. Konsentrasi awal weak black

liquor sekitar 15% kadar kering. Konsentrasi ditingkatkan sekitar 65-85% dengan

menggunakan evaporator plant dan kemudian dibakar didalam unit besar yang

disebut recovery boiler.


Tabel 2.4. Komposisi Black Liquor Sebelum Masuk Mix Tank

% in Dry Solid

C 38.2%

H 3.4%

O 31.1%

N 0.1%

S 5.2%

Na 19.8%

K 1.9%

Cl 0.1%

Others (Ca,Si, Fe,Mg, Al,


0.2%
Mn)

S/Na22 = 0.38 mol/mol

(Sumber: kraft recovery boiler (Handbook),1997)

Recovery boiler memiliki dua fungsi utama yaitu untuk memulihkan bahan kimia

pemasak anorganik yang digunakan dalam proses pemasakan dan menghasilkan

energy panas yang berasal dari pembakaran kandungna organic pada liquor

sehingga menghasilkan steam.


2.10. Chemical Plant

Chemical plant merupakan plant yang bertugas untuk memproduksi bahan kimia.

Bahan kimia yang digunakan pada PT. RAPP di produksi di dalam chemical plant

terdiri dari klorin dioksida (ClO2), klorin (Cl2), sodium hidroksida (NaOH), oksigen

(O2). Namun tidak semua bahan kimia tersebut dapat di produksi langsung di

chemical plant. Sehingga kebanyakan pabrik pulp dan kertas hanya memproduksi

bahan kimia seperti klorin dioksida (ClO2), klorin (Cl2), sodium hidroksida

(NaOH), sulfur dioksida (SO2), natrium klorat (NaClO2), dan oksigen (O2).

Anda mungkin juga menyukai