Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pengertian ekologi restorasi adalah proses mengubah dengan sengaja keadaaan lingkungan suatu lokasi guna
menetapkan suatu ekosistem yang bersifat tertentu, asli, dan bersejarah. Tujauannya untuk mengembalikan struktur,
fungsi, kenekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju. Tujuan utama restorasi mangrove ada dua, yaitu :
merestorasi fungsi ekologi hutan mangrove yang rusak (degraded) dan mendapatkan produk hutan yang mempunyai
nilai komersial. Dalam konteks ini nilai komersial berarti produk hutan yang dibutuhkan oleh penduduk sekitar sebagai
sumber energi dan perumahan selain untuk industri. Dua tujuan ini menentukan spesies mangrove yang akan ditanam,
untuk tujuan restorasi ekologi semua spesies mangrove dapat dimanfaatkan/ditanam. Restorasi dilakukan hingga
mencapai struktur dan komposisi spesies semula, melalui suatu program reintroduksi yang aktif, terutama dengan cara
menanam dan membenihkan spesies tumbuhan semula (Basyuni, 2002).

Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan (degraded) atau terganggu
(disturbed) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya proses ekologi
akan kembali, serta dengan upaya ini, ketahanan yang menjadi syarat berlangsungnya pemulihan sistem dapat tercapai.
Ekosistem yang membutuhkan restorasi umumnya adalah ekosistem yang telah mengalami perubahan atau kerusakan
akibat aktivitas-aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak. Dalam beberapa kejadian, dampak terhadap
kerusakan ekosistem diperparah dengan terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, badai atau letusan
gunung berapi yang mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi dipulihkan seperti sediakala. Program restorasi berupaya
memulihkan kembali ekosistem sebagaimana mulanya. Oleh karena itu, mengetahui keadaan awal suatu ekosistem
sangatlah diperlukan sebagai dasar perencanaa program restorasi (Septyohadi, 2004).

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah yang berjudul “Restorasi Ekologi” adalah:
a) Untuk mengetahui tujuan dan manfaat upaya restorasi dan rehabilitasi ekologi.
b) Untuk mengetahui upaya dalam restorasi ekologi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Restorasi
Definisi Restorasi biasanya terdiri dari kegiatan reklamasi (melibatkan kegiatan civil engineering, berhubungan dengan
pemulihan kondisi tanah) dan revegetasi (mengembalikan pohon, shrub, dll). Restorasi didefinisikan sebagai upaya
memperbaiki atau memulihkan kondisi lahan yang rusak dengan membentuk struktur dan fungsinya sesuai (mendekati)
dengan kondisi awal. Dalam kaitannya dengan rehabilitasi, rehabilitasi merupakan suatu general term untuk suatu kegiatan
revegetasi yang tidak mempunyai tujuan spesifik.

Lingkup Restorasi Kegiatan restorasi harus dilakukan pada lahan-lahan bekas tambang mineral (nikel, batu bara, timah,
emas/tembaga, bauxite, granit), oil dan gas, bekas kebakaran, bekas perambahan, bekas perumahan, karena tsunami/gempa.

Adapun ilmu-ilmu yang terkait untuk melakukan kegiatan restorasi yaitu :

a. Dendrology (mengenal jenis, performance tanaman)


b. Silvikultur (benih, penanaman dan pemeliharaan)
c. Tanah (TOXIC, CEC, pH, EC, hara essensial, struktur, teksstur)
d. GPS (mapping of data)

Restorasi ekosistem mungkin masih terdengar asing di kalangan pegiat konservasi, karena ini merupakan inovasi di bidang
pelestarian sumber daya alam yang relative baru dikenalkan, meski sebetulnya upaya-upaya kajiannya telah lama dilakukan.
Salah satu kajian restorasi yang cukup intens di Asia, misalnya dilakkan oleh Forest Restoration Research Unit of Chiang
Mai Univeristy Thailand yang didirikan pada tahun 1994. Lembaga ini telah memulai upayanya dalam melakukan kajian
dan aplikasi teknik-teknik restorasi hutan rusak di daerah Thailand Utara (Forru.org).

Dalam upaya pemulihan (rehabilitasi) hutan, terdapat upaya yang disebut reforestasi. Reforestasi adalah upaya pembentukan
kembali tutupan hutan tipe apa saja pada lahan yang sudah bukan merupakan hutan lagi. Upaya restorasi mencakup berbagai
bentuk kegiatan rehabilitasi hutan dengan berbagai tujuan objektif yang berbeda seperti perkebunan, agro-forestri, hutan
kemasyarakatan dan sebagainya. Upaya resforestasi umumnya dilakukan pada kawasan hutan industry, yang merupakan
tipe hutan paling umum di Asia. Tahun 2000, 62% dari keseluruhan hutan industri dunia berada di Asia, di mana hutan tipe
ini merupakan 20% dari total tutupan hutan di Asia (Elliott, 2000).

Upaya restorasi merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan dan memperbaiki kondisi ekosistem hutan sebagai
habitat bagi berbagai keragaman hayati yang terkandung di dalamnya (Elliot et al, 1995). Restorasi dapat didefinisikan
sebagai proses yang intens dalam membantu pemulihan dan pengelolaan integritas ekologi suatu ekosistem yang rusak
termasuk berbagai variable keragaman hayati penting, struktur dan proses-proses ekologi konteks sejarah dan kewilayahan,
dan kelestarian praktik-praktik budaya (Clewell et al., 2005, Perrow & Davy, 2002).

Dalam upaya restorasi, terdapat empat kegiatan kunci, yaitu restorasi, rehabilitasi, remediasi, dan reklamasi (Bradshaw,
1997). Perrow & Davy (2002) mendefinisikan empat kegiatan kunci tersebut sebagai berikut;
a. Restorasi merupakan proses pemulihan suatu ekosistem ke keadaan seperti keadaan semula sebelum terjadinya
kerusakan dalam ekosistem tersebut.
b. Rehabilitasi merupakan tindakan mengembalikan kondisi sesuatu yang rusak ke keadaan seperti sebelumnya yang
lebih baik. Rehabilitasi ini mendekati tujuan yang diharapkan oleh proses restorasi.
c. Remediasi merupakan proses perbaikan atau membuat kondisi ekosistem menjadi baik kembali. Remediasi lebih
menekankan kepada proses yang dilakukan daripada pencapaian akhirnya.
d. Reklamasi merupakan proses untuk mengondisikan suatu lahan cocok untuk ditanami.

Untuk kepentingan pemulihan kondisi ekosistem sehingga terpulihkannya pula perlindungan proses-proses jasa lingkungan
dan konservasi keanekaragaman hayati, “restorasi ekosistem” merupakan pilihan terbaik. Restorasi ekosistem secara ringkas
dapat didefinisikan sebagai “mengembalikan kembali ekosistem hutan asli yang ada sebelum terjadinya deforestasi’. Namun
perlu difahami bahwa restorasi ekosistem tidak dapat mengembalikan semua jenis flora fauna yang dulunya pernah hidup
di hutan asli sebelum deforestasi dalam satu tahapan.

Maka, tujuan utama restorasi hutan adalah mengembalikan struktur dan fungsi ekosistem awal, dengan cara menanam jenis-
jenis pohon kunci yang memainkan peranan penting di dalam ekologi hutan alam. Kesuksesan kegiatan restorasi dapat
diukur dengan kembalinya struktur kanopi yang bertingkat, pertambahan jumlah jenis yang kembali (terutama jenis-jenis
yang langka atau jenis-jenis kuci); peningkatan kondisi tanah dan pulihnya populasi jenis flora atau fauna tertentu (Elliott,
2000).

Pengertian Ekologi
Dalam kehidupan sehari-hari, terutama di daerah perdesaan, tentunya Anda sering melihat petani sedang mencangkul lahan,
membajak, menanam, mengairi sawah, memupuk, dan kegiatan lainnya. Kegiatan petani ini sebetulnya telah dilakukan jauh
beberapa abad yang lalu. Secara tidak langsung mereka sudah mengetahui adanya hubungan antara tanaman dengan tanah,
tanaman dengan air, tanaman dengan unsur hara, dan lain sebagainya. Apa yang dilakukan petani tersebut sebenarnya sudah
mengaplikasikan tentang ekologi. Jadi aplikasi ekologi sebenarnya telah dilakukan oleh manusia jauh sebelum istilah
ekologi itu sendiri diperkenalkan oleh para pakar ekologi. Pada pertanian masa kini, manusia sudah banyak menerapkan
prinsip-prinsip alami untuk mendukung proses-proses ekologis yang baik. Pada jaman nenek moyang bertani dengan cara
masih sangat sederhana, tetapi pada saat ini telah menerapkan prinsip-prinsip ekologi. Misalnya penggunaan pupuk
kandang, pupuk hijau, kompos, dan pupuk alam lainnya. Pada dasarnya masyarakat petani sudah mengetahui bahwa dalam
kotoran ternak, kompos, maupun daun-daunan mengandung hara yang diperlukan tanaman, sehingga dengan apa yang
dilakukan oleh petani tersebut membantu proses-proses ekologis terutama dalam hubungannya dengan pendauran/ siklus
hara.

Ekologi dikenal sebagai ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya.
Makhluk hidup dalam kasus pertanian adalah tanaman, sedangkan lingkungannya dapat berupa air, tanah, unsur hara, dan
lain-lain.

Kata ekologi sendiri berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu oikos dan logos. Oikos artinya rumah atau tempat
tinggal, sedangkan logos artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi semula ekologi artinya “ilmu yang mempelajari organisme di
tempat tinggalnya”. Umumnya yang dimaksud dengan ekologi adalah “ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
organisme atau kelompok organisme dengan lingkungannya”. Saat ini ekologi lebih dikenal sebagai ”ilmu yang mempelajari
struktur dan fungsi dari alam”. Bahkan ekologi dikenal sebagai ilmu yang mempelajari rumah tangga makhluk hidup. Kata
ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Ernst Haeckel seorang ahli biologi Jerman pada tahun 1866. Beberapa para pakar
biologi pada abad ke 18 dan 19 juga telah mempelajari bidang-bidang yang kemudian termasuk dalam ruang lingkup
ekologi. Misalnya Anthony van Leeuwenhoek, yang terkenal sebagai pioner penggunaan mikroskop, juga pioner dalam
studi mengenai rantai makanan dan regulasi populasi. Bahkan jauh sebelumnya, Hippocrates, Aristoteles, dan para filosuf
Yunani telah menulis beberapa materi yang sekarang termasuk dalam bidang ekologi.

Ruang Lingkup Ekologi

Setiap ilmu memiliki batas-batas wilayah studi. Perlu dimaklumi bahwa batas wilayah kerja suatu ilmu umumnya
bertumpang tindih dengan batas- batas wilayah kerja dari ilmu-ilmu lain. Sehubungan dengan itu maka sudah selayaknya
kalau kita ingin mengetahui juga batas wilayah kerja dari ilmu ekologi. Untuk mempelajari gambaran yang cukup jelas
tentang batas-batas wilayah kerja dari ilmu ekologi dapat kiranya dipergunakan konsep model dari Miller. Konsep tersebut
beranggapan bahwa seluruh alam semesta merupakan suatu ekosistem yang tersusun oleh berbagai komponen atau kesatuan.
Dalam suatu ekosistem satu atau sekelompok komponen tak dapat berdiri sendiri terlepas dari kelompok kesatuan lain.
Dalam hal ini kesatuan kelompok komponen pertama akan merupakan satuan kelompok kedua, kesatuan kelompok
komponen kedua akan menyusun kesatuan kelompok ke tiga, demikian seterusnya. Atas dasar pemikiran itu Miller
menyusun konsep model atas ekosistem alam semesta.
Menurut konsep tersebut bagian-bagian atom akan membentuk satuan atom. Satuan atom akan membentuk satuan molekul,
dan satuan-satuan molekul seterusnya akan membentuk satuan protoplasma, demikian proses pembentukan satuan lainnya.

Dalam konsep model tersebut ditetapkan selanjutnya batas-batas wilayah kerja dari berbagai pengetahuan. Kita melihat
batas-batas dari: (1) daerah mati atau daerah tanpa adanya jasad-jasad hidup, (2) daerah hidup atau daerah yang dihuni oleh
jasad-jasad hidup dan (3) daerah yang masih merupakan tanda tanya. Dipaparkan pula batas-batas yang dinamakan: (1)
daerah dari benda-benda submikroskopis, (2) daerah dengan benda dan jasad mikroskopis, (3) daerah makroskopis, dan (4)
daerah kosmis.

Dalam model tersebut ditampilkan batas wilayah kerja ilmu ekologi, yaitu batas terbawah adalah tingkat organisme atau
tingkat individu dan batas teratas adalah tingkat biosfer. Secara ringkas, ruang lingkup ekologi dapat digambarkan melalui
spektrum biologi, yang menggambarkan aras-aras organisasi kehidupan sebagai berikut :

1. Protoplasma adalah zat hidup dalam sel dan terdiri atas senyawa organik yang kompleks, seperti lemak, protein,
dan karbohidrat.
2. Sel adalah satuan dasar suatu organisme yang terdiri atas protoplasma dan inti yang terkandung dalam membran.
Membran merupakan komponen yang menjadi pemisah dari satuan dasar lainnya.
3. Jaringan adalah kumpulan sel yang memiliki bentuk dan fungsi sama, misalnya jaringan otot.
4. Organ atau alat tubuh merupakan bagian dari suatu organisme yang mempunyai fungsi tertentu, misalnya kaki
atau telinga pada hewan, dan daun atau akar pada tumbuhan.
5. Sistem organ adalah kerja sama antara struktur dan fungsi yang harmonis, seperti kerja sama antara mata dan
telinga, antara mata dan tangan, dan antara hidung dengan tangan.
6. Organisme adalah suatu benda hidup, jasad hidup, atau makhluk hidup.
7. Populasi adalah kelompok organisme yang sejenis yang hidup dan beranak pada suatu daerah tertentu.
Contohnya populasi rusa di pulau Jawa, populasi banteng di Ujung Kulon, populasi badak di Ujung Kulon, dan
populasi ayam kampung di Jawa Barat.
8. Komunitas adalah semua populasi dari berbagai jenis organisme yang menempati suatu daerah tertentu. Di
daerah tersebut setiap populasi berinteraksi satu dengan lainnya. Misalnya populasi rusa berinteraksi dengan
populasi harimau di Pulau Sumatra atau populasi ikan mas berinteraksi dengan populasi ikan mujair.
9. Ekosistem adalah tatanan kesatuan secara utuh menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling
mempengaruhi. Ekosistem merupakan hubungan timbal balik yang kompleks antara makhluk hidup dengan
lingkungannya, baik yang hidup maupun tak hidup (tanah, air, udara, atau kimia fisik) yang secara bersama-
sama membentuk suatu sistem ekologi.
10. Biosfer adalah lapisan bumi tempat ekosistem beroperasi. Lapisan biosfer kira-kira 9000 m di atas permukaan
bumi, beberapa meter di bawah permukaan tanah, dan beberapa ribu meter di bawah permukaan laut.

Batas-batas wilayah kerja dari ilmu ekologi dapat dilihat dari konsep model seperti Gambar 1.1. Karena luasnya wilayah
kerja ada bagian-bagian dari ilmu ekologi yang mengkhususkan penelitiannya pada bagian-bagian wilayah kerja tertentu.
Pada mulanya pakar-pakar ekologi tumbuhan menaruh perhatian terhadap hubungan antartumbuhan. Misalnya bagaimana
hubungan pertumbuhan padi dengan gulma yang sama-sama tumbuh pada suatu petak sawah. Para pakar ekologi hewan
mempelajari dinamika populasi dan perilaku hewan, misalnya bagaimana populasi badak bercula satu di Ujung Kulon,
berikut penyebarannya sampai di mana, jumlah hewan jantan dan betina, dan cara berkembang biaknya.

Studi ekologi tumbuhan dan hewan dikelompokkan menjadi dua, yaitu autekologi dan sinekologi. Autekologi merupakan
studi hubungan timbal balik suatu jenis organisme dengan lingkungannya yang pada umumnya bersifat eksperimental dan
induktif. Sinekologi merupakan studi dari kelompok organisme sebagai suatu kesatuan yang lebih bersifat filosofis, deduktif,
dan umumnya deskriptif.

Gambar 1. Konsep model tentang batas-batas kesatuan lingkungan yang terdapat di alam

Contoh studi autekologi adalah ekologi tikus yang diberi perlakuan tertentu, misalnya sebagian ruang geraknya terbatas,
sebagian yang lain ruang geraknya bebas, lalu diukur perkembangan otaknya setelah waktu tertentu dan dibandingkan satu
sama lain. Contoh studi sinekologi adalah ekologi hutan hujan tropis yang mengkaji berbagai jenis tumbuhan yang ada,
populasi masing-masing jenis, kerapatan persatuan luas, fungsi berbagai tumbuhan yang ada, kondisi hutan atau tingkat
kerusakan, hubungannya dengan tanah, air, atau komponen fisik lainnya. Mengacu kedua contoh tersebut, jelas kedua
pendekatan sangat berbeda.

Pada perkembangannya autekologi telah mempelajari berbagai jenis hewan maupun tumbuhan. Demikian pula sinekologi
yang kemudian dapat dibedakan lagi, antara lain menjadi ekologi perairan tawar, ekologi daratan (terestrial), dan ekologi
lautan. Sinekologi juga telah berkembang ke berbagai ekosistem yang ada di permukaan bumi. Perkembangan ekologi jelas
sangat diharapkan dalam dunia ilmu pengetahuan terutama dalam menunjang pembangunan.

Di samping pengelompokan tersebut, ada pengamat lingkungan yang membuat kajian ekologi menurut habitat atau tempat
suatu jenis atau kelompok jenis tertentu. Oleh karena itu ada istilah ekologi bahari atau kelautan, ekologi perairan tawar,
ekologi darat atau terestrial, ekologi estuaria (muara sungai ke laut), ekologi padang rumput, dan lain-lain.

Pengelompokan yang lain adalah menurut taksonomi, yaitu sesuai dengan sistematika makhluk hidup, misalnya ekologi
tumbuhan, ekologi hewan (ekologi serangga, ekologi burung, ekologi kerbau, dan lain sebagainya), serta ekologi mikroba
atau jasad renik.

Aplikasi Ekologi

Manusia diciptakan Tuhan sebagai makhluk yang memiliki banyak keistimewaan dibanding dengan makhluk lainnya.
Manusia dibekali dengan kelebihan akal dan pikiran. Mampukan dengan akal dan pikirannya, manusia melindungi, merawat
dan mensejahterakan alam sekitarnya? Jawaban paling simple dan mudah adalah mari kita lihat saja lingkungan yang ada
disekitar kita.
Manusia sebagai bagian dari alam semesta dan berbekal akal dan pikirannya saat ini sebagian telah menjadi monster bagi
dirinya sendiri, makhluk lain dan lingkungannya. Kegiatan-kegiatan untuk mensejahterakan dirinya justru menjadi
malapetaka. Penggunaan pestisida untuk meningkatkan hasil panen meninggalkan residu yang karsinogenik dan membunuh
banyak mahluk hidup lain bukan sasaran, penebangan hutan, penggunaan unsur radioaktif, penggunaan bahan-bahan
kosmetik, pengharum, pembangunan industri, pembangunan perumahan dan lain-lain justru menjadi bumerang bagi
manusia itu sendiri.

Menguasai Saintek dan knowledge bagi manusia adalah merupakan kewajiban, tetapi pengetahuan dan ilmu tersebut harus
benar-benar diperuntukan bagi kesejahteraan alam semesta beserta isinya. Terjadinya bencana alam akhir-akhir ini hanyalah
bentuk peringatan Tuhan bagi umat manusia agar manusia kembali ke jalan yang benar. Aplikasi ilmu ekologi dengan
prinsip-prisip dasarnya apabila dipergunakan secara benar dan bertanggungjawab sebenarnya dapat memperbaiki segala
kerusakan yang telah terjadi dan mencegah terulangnya peristiwa-peristiwa yang sangat tidak diinginkan. Ekologi menganut
prinsip keseimbangan dan keharmonisan semua komponen alam. Terjadinya bencana alam seperti tsunami di Aceh, Sumatra
Utara, Pangandaran dan terakhir terjadinya banjir pasang di sebagian Jakarta, fenomena angin puting beliung di beberapa
tempat di Indonesia dan lain-lain adalah merupakan salah satu contoh keseimbangan dan harmonisasi alam terganggu.
Ketika ketimpangan sudah mencapai pada puncaknya maka alam akan mengatur kembali dirinya dalam keseimbangan baru.
Proses menuju keseimbangan baru tersebut sering kali menimbulkan perubahan yang drastis dan dianggap bencana bagi
komponen alam yang lain (manusia). Terjadinya ledakan populasi belalang di Lampung, ledakan populasi hama wereng,
kutu loncat, tikus, DBD, Flu burung dan lain-lain adalah merupakan salah satu bentuk terjadinya ketidak seimbangan dalam
ekosistem dan komponen- komponen alam yang terlibat dalam system sedang mengatur strateginya masing-masing untuk
menujukearah keseimbangan baru.

Ekologi memandang mahluk hidup sesuai dengan perannya masing-masing dan memandang individu dalam species menjadi
salah satu unsur terkecil di alam. Semua mahluk hidup di alam memiliki peran yang berbeda dalam menyusun keharmonisan
irama keseimbangan sebagaimana firman Tuhan dalam Q.S Al Hijr ayat 19 -21: Aplikasi ekologi yang nyata saat ini adalah
dalam Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dari semua kegiatan pembangunan dan desain lansekap.
Lansekap adalah wajah dan karakter lahan atau tapak bagian dari muka bumi ini dengan segala kegiatan kehidupan dan apa
saja yang ada di dalamnya, baik bersifat alami, non alami atau kedua-duanya yang merupakan bagian atau total lingkungan
hidup manusia beserta makhluk-makhluk lainnya, sejauh mata memandang, sejauh segenap indera kita dapat menangkap
dan sejauh imajinasi kita dapat membayangkannya ( Zain Rachman, 1981 dalam Zoer´aini, 2003).

Restorasi Ekosistem
Cagar Alam salah satu bentuk kawasan hutan konservasi, artinya kawasan ini memiliki fungsi untuk perlindungan,
pengawetan, dan pemanfaatan kawasan serta tempat berbagai jenis flora dan fauna. Cagar alam merupakan salah satu bentuk
hutan hujan tropis yang masih tersisa di antara sekian banyak hutan tropis Indonesia yang telah rusak.
Potensi keanekaragaman hayati yang dikandungnya memiliki peran dan posisi yang penting dalam peta biodiversitas
Indonesia. Telah diketahui bahwa bahkan di dalam hutan alam yang telah mencapai klimaks pun, kondisinya tidak statis
akan tetapi dinamis. Karena beberapa sebab alami maupun anthropogenic-driven dapat membuat eksositem yang sehat ini
berubah menjadi eksosistem yang terdegradasi.

Kita memang mengakui bahwa disturbances atau gangguan tersebut terkadang diperlukan bagi keberlanjutan beberapa
spesies untuk berkembang biak seperti halnya Pinus merkusii yang memang tumbuh baik di daerah yang secara frekuensi
sering terbakar atau prescribed burning. Namun kini gangguan hutan karena sebab manusia atau antropogenic-driven
disturbances semakin menjadi trend. Penambangan di daerah kawasan konservasi baik legal maupun illegal mulai merambah
kawasan dan mengubah eksosistem menjadi habitat yang terdegradasi. Sedikit atau banyak, kerusakan hutan tetap akan
berpengaruh terhadap banyak hal. Antara lain kekhawatiran akan bertambah parahnya tingkat pemanasan global, perubahan
iklim, bencana alam kekeringan, banjir dan tanah longsor. Kondisi ekosistem hutan yang sudah terdegradasi serta mengalami
deforestasi menuntut segera dilakukan upaya pemulihan sehingga kawasan hutan dapat kembali berfungsi sebagaimana
mestinya.
Suksesi ekologi adalah konsep yang mendasar dalam ekologi, yang merujuk pada perubahan-perubahan berangkai dalam
struktur dan komposisi suatu komunitas ekologi yang dapat diramalkan. Suksesi dapat terinisiasi oleh terbentuknya formasi
baru suatu habitat yang sebelumnya tidak dihuni oleh mahluk hidup ataupun oleh adanya gangguan terhadap komunitas
hayati yang telah ada sebelumnya oleh kebakaran, badai, maupun penebangan hutan. Kasus yang pertama sering disebut
juga sebagai suksesi primer, sedangkan kasus kedua disebut sebagai suksesi sekunder. Dengan demikian suksesi ekologi
adalah suatu proses perubahan komponen-komponen spesies suatu komunitas selama selang waktu tertentu. Menyusul
adanya sebuah gangguan, suatu ekosistem biasanya akan berkembang dari mulai tingkat organisasi sederhana (misalnya
beberapa spesies dominan) hingga ke komunitas yang lebih kompleks (banyak spesies yang interdependen) selama beberapa
generasi Restorasi adalah pengembalian suatu ekosistem atau habitat kepada struktur komunitas, komplemen alami spesies,
atau fungsi alami aslinya (WRI, IUCN, UNEP; 1995). Retorasi, merupakan pemulihan melalui suatu reintroduksi secara
aktif dengan spesies yang semula ada, sehingga mencapai struktur dan komposisi spesies seperti semula. Tujauannya untuk
mengembalikan struktur, fungsi, kenekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju (Society for Ecological
Restoration 199 dalam Primack, R.B. dkk, 1998).

Restorasi Ekosistem Restorasi ekosistem (RE) yang didefinisikan sebagai upaya pengembalian unsur hayati (flora dan
fauna) dan non hayati (tanah, iklim, topografi) suatu kawasan kepada jenis aslinya berikut keseimbangan hayati dan
ekosistemnya merupakan solusi inovatif pengelolaan hutan produksi di Indonesia yang mengintegrasikan antara
pemanfaatan hasil hutan dan jasa lingkungan, perlindungan keanekaragaman hayati dan pemanfaatannya, serta pemulihan
ekosistem. Dalam hal pemanfaatan hasil hutan, usaha restorasi ekosistem lebih memprioritaskan usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu (HHBK), jasa lingkungan serta pemanfaatan kawasan. Kebijakan pengelolaan hutan produksi melalui
restorasi ekosistem diawali dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: SK.159/MenhutII/2004 tentang
Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi. Melalui kebijakan tersebut, kegiatan RE dapat dilakukan di hutan produksi dalam
kerangka izin usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHH) baru yang selanjutnya dikenal dengan izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK-RE). IUPHHK-RE dalam tataran konsepnya menjalankan kegiatan pada orientasi
pemantapan kawasan, pengelolaan hutan berbasis ekosistem untuk Restorasi Ekosistem di Hutan Produksi: Memulihkan
Ekosistem Hutan Alam Indonesia Oleh: Asep Ayat (Burung Indonesia) 4 perbaikan nilai ekonomi hutan, pemulihan flora
dan fauna yang mempunyai nilai penting, dan memberi manfaat secara ekonomi kepada masyarakat sekitar hutan.

Inisiatif Hutan Harapan dalam konteks RE Berdasarkan studi tahun 2000 yang menyatakan bahwa hutan dataran rendah
Sumatera yang kaya akan keanekaragaman hayati akan segera habis jika tidak ada tindakan penyelamatan dan diterbitkannya
kebijakan tentang restorasi ekosistem pada kawasan hutan produksi tahun 2004, maka mendorong lahirnya inisiatif Hutan
Harapan. Hutan Harapan (Harapan Rainforest) yang merupakan kawasan hutan produksi seluas 100.000 hektar berlokasi di
Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan dan Kabupaten Muaro Jambi, Jambi merupakan kawasan restorasi ekosistem
pertama di Indonesia di bawah pengelolaan Burung Indonesia bersama kemitraan global BirdLife International yang
bertujuan untuk mengupayakan pemulihan ekosistem hutan dataran rendah Sumatra. Kawasan ini menarik untuk dijadikan
sebagai kawasan restorasi ekosistem karena berbagai pertimbangan, antara lain:

a. Merupakan habitat penting beragam flora dan fauna Indonesia;


b. Memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi namun paling terancam di dunia. Hingga saat ini teridentifikasi
sekitar 728 jenis pohon, 307 jenis burung, 64 jenis mamalia, 71 jenis reptil dan 55 jenis amfibi. Sementara, Burung
Indonesia menemukan bahwa lebih dari setengah daerah penting bagi burung (DPB) di Indonesia belum masuk
dalam jaringan kawasan perlindungan;
c. Kawasan ini mewakili 20% luas hutan dataran rendah Sumatera yang tersisa. Dalam pengelolaannya, Hutan
Harapan menetapkan empat pilar, yaitu:
1) Pemanfaatan Kawasan
2) Rehabilitasi nilai hutan produksi
3) Pengembangan aspek ekonomi
4) Aspek sosial serta restorasi habitat flora dan fauna
Keempat pilar tersebut kemudian diimplementasilkan kedalam empat kegiatan utama yaitu penelitian dan
konservasi keanekaragman hayati, perlindungan kawasan, restorasi hutan serta kemitraan dengan masyarakat.
Pendekatan dalam restorasi ekosistem adalah berbasis ekosistem dengan memprioritaskan pada keanekaragaman
hayati. Penerapan di tingkat lapangan memprioritaskan pada penataan areal (landscaping area) kawasan restorasi
ekosistem yang difokuskan pada kawasan lindung, kawasan pemanfaatan kayu dan HHBK serta kelola sosial. Hal
ini nantinya akan menjadi kriteria dan indikator pencapaian keseimbangan hayati dan ekosistemnya menuju kriteria
keberhasilan pengelolaan IUPHHK-RE di hutan produksi.

Roh dalam kegiatan restorasi ekosistem Hutan Harapan adalah konservasi keanekaragaman hayati, sehingga
pengelolaannya tidak diarahkan kepada model pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi secara terbatas
seperti hak pengelolaan hutan/hutan tanaman industri, tetapi pengelolaan keanekaragaman hayati secara
berkelanjutan. Implementasi tata kelola pengelolaan keanekaragaman hayati dalam RE di hutan produksi tidak
sederhana, namun perlu pemahaman dan konsep restorasi ekosistem secara komprehensif dan menyeluruh dari
berbagai pihak khususnya bagi para pemegang izin IUPHHK-RE.

Model pengelolaan hutan produksi melalui restorasi ekosistem memerlukan pendekatan dalam konteks lanskap
(bentang lahan), sehingga diharapakan dapat memastikan perlindungan habitat dalam jangka panjang. Sementara,
pada saat yang sama akan mampu menjaga jasa ekosistem yang dibutuhkan oleh masyarakat setempat. Dengan
pendekatan lanskap, maka pengelolaan restorasi ekosistem akan berdampak pada pengelolaan kawasan sekitarnya,
salah satunya akan berperan penting sebagai koridor habitat dan memastikan konektifitas dalam lanskap guna
menghindari fragmentasi kawasan.

Meskipun pengelolaan hutan produksi untuk restorasi ekosistem ini tergolong baru, namun merupakan harapan
besar bagi pengembangan pengelolaan hutan di Indonesia. Inisiatif ini memberikan peluang baru tidak hanya untuk
pelestarian keanekaragaman hayati, namun juga upaya menuju pengusahaan hutan berbasis bukan kayu,
penghidupan berkelanjutan, pengurangan laju deforestasi, dan pengembangan strategi pengelolaan hutan
berkelanjutan. Perkembangan Restorasi Eksosistem di Indonesia Perkembangan jumlah permohonan IUPHHK-RE
di Indonesia cukup progresif dari tahun ke tahun. Setelah diterbitkan SK IUPHHK-RE pertama kepada PT. REKI
yang diberikan melalui proses lelang pada tahun 2007, sampai dengan Bulan September 2014 tercatat 51
permohonan yang telah diterima Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pada tahun 2015, tercatat
4.487.241 hektar kawasan yang telah diajukan permohonannya sebagai kawasan RE.

Namun demikian, saat ini terjadi stagnasi pemberian IUPHHKRE, karena adanya anggapan mengenai kebijakan RE
yang dinilai kurang strategis atau masih terdapat perbedaanperbedaan pemahaman tentang RE dan tantangan
implementasi kebijakannya. Selama sepuluh tahun perjalanan kebijakan RE, sedikitnya sudah ada 14 pemegang
IUPHHK-RE dengan total luasan sekitar 515.270 hektar dengan alokasi pencadangan RE Gambar 1. Pilar kegiatan
restorasi ekosistem 5 seluas 1,79 juta hektar pada tahun 2015. Kedepannya, RE telah masuk sebagai bagian dari
rencana strategis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan periode 2015-2019 dengan target areal IUPHHK-
RE seluas 500.000 hektar (10 unit pengelola) yang bersertifikat Pengelolan Hutan Produksi

Restorasi Ekosistem Hutan Tropis Sumatera


Hutan hujan dataran rendah Sumatra merupakan habitat yang kaya akan keragaman biologinya, sekaligus juga merupakan
habitat yang sangat terancam di muka bumi ini. Dari sekitar 16 juta hektar hutan Sumatra pada tahun 1900, kini hanya tersisa
500,000 ha saja. Padahal, menurut CEPF (2002) hutan dataran rendah Sumatera paling sedikitnya menjadi tempat bagi 582
jenis burung (14 endemik), 210 jenis mamalia (16 jenis endemic), 300 jenis amfibi dan reptile (69 jenis endemic), 270 jenis
fauna air tawar (42 jenis endemic), 17 marga tumbuhan endemik. Preses deforestasi yang terjadi telah menghilangkan
sebagaian besar habitat sebagai tempat tinggal berbagai jenis fauna seperti Harimau Sumatera, Gajah, dll. Juga akibat
pembalakkan yang tidak terkendali diyakini telah menghilangkan potensi keanekaragaman hayati yang belum sempat
diketahui manfaatnya (Clewell A., dkk).

Selain keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, saat ini semakin dipahami bahwa hutan tropis Sumatera, merupakan
salah satu paru-paru dunia dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida yang berbahaya, sementara juga melepaskan
oksigen yang diperlukan kehidupan di bumi. Area yang luas telah dibalak dan dibakar di Indonesia, sebagian besar untuk
industri kayu komersil dan perkebunan kelapa sawit (Clewell A., dkk).

Di Indonesia, inisiatif restorasi ekosistem telah dirintis dan dijalankan oleh PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI). PT
REKI diberikan ijin untuk mengelola kawasan seluas 98,554 hektar kawasan hutan telah dibalak di perbatasan provinsi
Jambi dan Sumatera Selatan (eks konsesi PT Asialog di provinsi Jambi dan PT Inhutani di provinsi Sumatera Selatan)
selama 100 tahun. Kawasan tersebut diberi nama Harapan Rainforest. Selain inisiatif Harapan Rainforest, usulan proyek
restorasi ekosistem di beberapa daerah di Indonesia juga telah diajukan kepada Kementerian Kehutanan oleh beberapa
perusahaan (Clewell A., dkk).

Struktur, Fungsi Hutan dan Restorasi Kegiatan restorasi yang dilaksanakan kadang tidak tepat sasaran, hal ini terjadi karena
kurang atau tidak memahami bahwa hutan memiliki berbagai fungsi, yaitu Hutan Produksi, Hutan Konservasi dan Hutan
Lindung. Kegiatan restorasi kadang disama ratakan meskipun memiliki fungsi hutan yang berbeda, sebagai contoh : karena
euphoria konservasi, kegiatan restorasi senantiasa diarahkan menjadi hutan konservasi, padahal kawasan tersebut
merupakan kawasan hutan yang memiliki fungsi produksi atau lindung. Hal tersebut adalah tidak benar, kegiatan restorasi
harus dijalankan sesuai dengan fungsinya masingmasing hutan karena struktur tegakannya berbeda.

Pemahaman mengenai struktur hutan dan fungsi hutan ini menjadi hal yang penting karena kerusakan hutan selalu berkaitan
dengan struktur dan fungsi hutan, hutan yang telah rusak akan mempunyai struktur tegakan yang berbeda dengan kondisi
awalnya sehingga fungsi hutan tersebut akan terganggu. Struktur hutan senantiasa berkaitan erat dengan fungsi hutan, suatu
struktur hutan akan membentuk hutan yang memiliki fungsi yang berbeda-beda, yaitu konsevasi, produksi atau lindung.
Dalam kaitannya dengan kegiatan restorasi maka restorasi ditujukan untuk memulihkan kembali struktur tegakan seperti
kondisi awalnya sehingga kawasan hutan tersebut dapat menjalankan fungsinya seperti fungsi awalnya.

Adapun parameter suatu struktur tegakan diantaranya yaitu :

a. Kekayaan jenis,
b. Kerapatan
c. Distribusi
d. Dominasi
e. Asosiasi
f. Crown density

Perbaikan Kondisi Tanah

Hal yang terpenting berkaitan dengan kondisi biofisik adalah informasi tentang kondisi tanah dimana tanah
merupakan media tumbuh tanaman yang akan menentukan tanaman dapat hidup atau tidak. Akar merupakan
organ tanaman yang penting untuk tanaman dapat hidup karena akar merupakan organ vital yang berperan dalam
penyerapan unsur-unsur hara dan air untuk produksi makanan yang diperlukan tanaman untuk hidup. Agar akar
dapat tumbuh dan berkembang dengan baik, mempunyai kemampuan dengan cepat untuk menembus lubang
tanam sehingga tanaman dapat substain dibutuhkan kondisi tanah yang mampu mendukung/sesuai untuk
pertumbuhan tanaman (tidak adanya problem dan kendala yang menghambat pertumbuhan tanaman), yaitu :
kondusif bagi perkaran, tidak kompak, tidak tergenang, tidak ada kompetisi, ketersediaan unsur hara harus ada,
harus cukup dan tersedia, harus seimbang dan kontinyu.

Perbaikan kondisi tanah (soil amendment) dilakukan apabila hasil analisa sample tanah yang telah dilakukan
menunjukkan adanya problem atau kendala atau constraint-constraint yang menghambat pertumbuhan tanaman.
Beberapa problem atau kendala kondisi tanah yang sering dijumpai, khususnya pada lahan bekas tambang
diantaranya :
 Sifat Fisik Tanah Problem lahan tambang yang terkait dengan kondisi sifat fisik tanah diantaranya adalah
tekstur, porositas rendah, tanahnya kompak, kedap air, kelembaban tanah rendah, nilai Hidrolik
Conductivity yang rendah dan temperature permukaan tanah yang tinggi.
 Sifat Biologi Tanah Berkaitan dengan kondisi biologi tanah yang kdang menjadi problem pada lahan bekas
tambang diantaranya adalah kandungan karbon kurang serta populasi dan akivitas mikroba potensial yang
rendah.
 Sifat Kimia Tanah Sedangkan problem sifat kimia tanah adalah terkait dengan ketersediaan unsure hara
yang rendah (miskin hara), tidak seimbang dan tidak kontinyu. Selain itu dijumpai juga pH yang rendah,
KTK rendah (<16), tingginya kandungan logam berat seperti: Cu, Al, Zn dan Fe sehingga bersifat toxic,
mis : kandungan Al > 3 me (60%).

Dengan diketahuinya kendala/constraint-constraint pertumbuhan tersebut diatas maka langkah selanjutnya dapat
ditentukan tindakan perbaikan kondisi tanah (soil amendment) yang tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan secara
spesifik sesuai dengan constraintnya pada lahan-lahan yang telah diblocking, tindakan ini juga dapat menghemat
biaya perbaikan kondisi tanah.

Beberapa tindakan perbaikan kondisi tanah (soil amendment) yang dapat dilakukan diantaranya adalah :

 Apabila tanah kompak maka perlu dilakukan ripping (penggemburan) sehingga tanah menjadi remah, atau
juga dapat dengan menambahkan Terabric. Tindakan ini diperlukan untuk menyediakan suatu kondisi
yang kondusif bagi pertumbuhan akar, selain itu juga untuk meningkatkan Hidrolik Conductivity tanah
sehingga semakin banyak air yang terserap dan masuk kedalam tanah dan dapat memenuhi kebutuhan
tanaman akan air.
 Adanya genangan akan menghambat pertumbuhan tanaman, akar tanaman menjadi busuk dan mati
sehingga diperlukan pembuatan drainage sehingga tanaman tidak tergenang
 Adanya kompetisi juga menghambat tanaman untuk tumbuh untuk itu kompetisi perlu dihilangkan dengan
melakukan pembersihan gulma atau menggunakan teknik mulsa.
 Apabila dijumpai kekurangan unsure hara (miskin hara) maka dapat dilakukan penambahan unsure hara
dengan melakukan pemupukan, tindakan pemupukan saja tidak menyelesaikan permasalahan ini, karena
sebagian besar pupuk dalam kondisi yang tidak dapat langsung diserap oleh tanaman sehingga dibutuhkan
mikroorganisme yang dapat membantu proses ini. Permasalahan ini dapat diatasi dengan penggunaan bio-
enzim atau bio- remedy yang mampu mengaktifkan mikroba potensial sehingga dapat berkembang
banyak. Selain itu dapat juga digunakan aplikasi pemberian terabuster yaitu sebuah produk yang
didalamnya terdapat 13 unsur hara dalam bentuk ion yang dibutuhkan oleh tanaman sehingga dapat
langsung diserap oleh tanaman
 Pemberian pupuk akan sia-sia apabila dijumpai KTK yang rendah (<16) karena pupuk akan tercuci,
apabila dijumpai hal ini dapat dilakukan dengan pemberian humic acid atau teraglue yang mampu
meningkatkan KTK dan meningkatkan pengikatan air sehingga pupuk tidak akan tercuci.
 Apabila dijumpai unsur hara yang tidak seimbang misal ca<mg yang seharusnya rasio ca:mg=5:3 maka
diperlukan suatu tindakan untuk meningkatkan penyerapan ca, karena apabila hal ini tidak dilakukan akan
menyebabkan tanaman tumbuh kerdil karena terhambatnya pembelahan sel di ujung apical yang
diperankan oleh ca.
 Keberadaan unsure hara dalam media tanam (tanah) tidak hanya seimbang dan tersedia sesaat tetapi harus
kontinyu untuk itu diperlukan jasa mikroba yang mampu menghasilkan enzim, dengan bantuan jasa
enzimatik mikroba ini maka unsure-unsur hara yang dibutuhkan tanaman dalam bentuk ion akan tersedia
secara kontinyu.
 Perlakuan lain yang berkaitan dengan akar adalah pengaktifan akar dengan mikoriza atau bio-organic
(kompos aktif ; kotoran sapi) sehingga akar mempunyai kemampuan dengan cepat untuk menembus
lubang tanam sehingga tanaman dapat substain. Selain itu juga dapat dilakukan dengan melakukan
pemberian tanah pucuk (top soil) yang banyak mengandung mikroorganisme potensial untuk merangsang
system perakaran.
 Hal lain yang perlu diketahui adalah, dibeberapa negara telah dikembangkan teknologi peremajaan akar,
yaitu akar-akar lateral ujungnya dipotong sehingga diharapkan munculnnya tunas-tunas akar baru.
Tindakan ini biasanya dilakukan pada saat tanaman tumbuhnya stagnan.

Seed Soil

Gambar 2. Seed Soil

Keberadaan seed soil (biji yang terkubur dalam tanah) memberikan harapan besar dalam pelaksanaan kegiatan
restorasi, seed soil yang terdapat dalam ekosistem acuan berpotensi besar untuk dijadikan sumber benih untuk
memulihkan biodiversity kawasan yang akan di restorasi.

Hal yang perlu dipahami berkaitan dengan seed soil adalah seed soil terdiri dari biji yang dormance dan viable
serta biji yang tidak viable, seed soil yang berupa biji yang dormance dan viable inilah yang berpotensi
dikembangkan sebagai sumber benih dalam kegiatan restorasi. Berkaitan dengan kondisinya yang dormance maka
dalam aplikasinya untuk kegiatan restorasi (seed soil augmentation) diperlukan upaya untuk mematahkan masa
dormansi seed soil tersebut, beberapa perlakuan dapat ditambahkan diantaranya dengan memberikan Humic Acid.
Pemberian Humic Acid akan mampu mematahkan masa dormancy selain itu juga akan meningkatkan germinated
value sehingga selain terjadi peningkatan jumlah jenis yang berkecambah akan terjadi peningkatan jumlah
individu yang berkecambah.

Satu hal yang patut diperhatikan dalam penggunaan seed soil sebagai sumber benih kegiatan restorasi (seed soil
augmentation) adalah keberadaan gulma, karena dalam seed soil kemungkinan terkandungnya biji-biji gulma
yang tidak dapat teridentifikasi dan dipisahkan dari seed soil yang akan digunakan sangat besar. Selain gulma,
dalam kegiatan restorasi harus dihindari jenis-jenis “Alien spesies” karena jenis-jenis ini tumbuhnya agresif,
sebagai competitor dan tidak memberikan ruang tumbuh bagi spesies lain sehingga akan menurunkan biodiversity
kawasan tersebut. Beberapa jenis yang tergolong dalam “Alien spesies” diantaranya adalah Alang-alang,
Euphatorium ordoratum (bersifat invasive dan terdapat nematode), Micania micrantha (bersifat alelopathy),
Mimosa pudica.

Beberapa hal harus dipahami dalam memanfaatkan seed soil dalam kegiatan restorasi, diantaranya adalah lokasi
pengambilan seed soil. Seed soil hendaknya diambil pada kawasan hutan yang menjadi ekosistem acuan yaitu
pada bagian tepi hutan hal ini dengan maksud bahwa pada kawasan tepi hutan biasanya dalam kondisi terbuka
dan ditumbuhi oleh jenis-jenis pioneer dan butuh cahaya, jenis-jenis inilah yang mampu beradaptasi dengan
kondisi kawasan yang akan direstorasi yang pada umumnya open area. Meski demikian seed soil juga dapat
dimanfaatkan dalam pengayaan jenis pada kawasan yang telah ditumbuhi vegetasi (terdapat naungan).
Tahap pertama dalam penggunaan seed soil dalam kegiatan restorasi adalah melakukan inventory seed soil
resource sepanjang tepi kawasan hutan. Tidak semua tepi kawasan hutan merupakan seed soil resource,
keberadaan seed soil sangat tergantung pada keberadaan tegakan sumber benih, masa seed rain, kondisi tanah
yang tidak tergenang dan keberadaan pemangsa sehingga dalam pelaksanaan inventory seed soil resource harus
memperhatikan hal-hal ini.

Setelah dilakukan inventory seed soil resource, dapat dilakukan uji kecambah terhadap beberapa lokasi seed soil
resource. Hal ini dilakukan untuk melihat tingkat keanekaragaman jenis dan jumlah individu yang dapat
berkecambah. Berdasarkan hal ini dapat ditentukan lokasi yang menjadi pusat “pool” seed soil resource.
Kemudian seed soil ditaburkan secara jalur pada lokasi yang akan direstorasi yang sebelumnya telah dilakukan
tindakan penyiapan lahan (penggemburan) dan soil amandment. Hal yang patut diperhatikan setelah dilakukan
penaburan biji adalah menutupinya dengan lapisan tanah hal ini dikarenakan pada saat biji akan berkecambah
akan mengeluarkan gel yang mudah cepat kering sehingga apabila biji tidak tertutupi maka gel akan mengering
terlebih pada temperature yang tinggi. Untuk meningkatkan jumlah jenis dan jumlah individu yang berkecambah
dapat dilakukan dengan menambahkan Humic Acid.

Mycorrhiza

Gambar 3. Mycorrhiza

Mycorrhiza merupakan struktur akar yang terbentuk akibat asosiasi simbiosis antara akar tanaman dan jamur yang
pada umumnya mutualisme. Mycorrhiza umumnya terbagi kedalam ectomycorrhiza dan endomycorrhiza.
Micorrhiza mempunyai fungsi seperti akar tetapi fungsinya lebih daripada akar karena dapat mengambil air dan
unsure hara pada pori-pori yang kecil serta dapat menyerap unsure hara tersedia yang tidak dapat langsung diserap
tanaman. Keberadaan micorrhiza ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan keberhasilan dalam kegiatan
restorasi jika micorrhiza digunakan dengan benar yaitu akan berfungsi jika sudah menginfeksi akar tanaman,
cocok dengan inangnya saja tidak akan memberikan dampak terhadap tanaman tetapi harus digunakan micorrhiza
yang efektif yaitu memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan tanaman serta viable.

Jika mycorrhiza digunakan dengan benar maka akan memberikan manfaat terhadap tanaman yang telah terinfeksi
sebagai berikut :

 Memperbaiki daya adaptasi seedling karena pada saat seedling ditanam maka micorrhiza akan
membantu akar menembus terlebih dulu lubang tanam luar.
 Meningkatkan pengambilan air dan hara, keberadaan miselia micorrhiza akan membantu akar dalam
mengambil air dan hara yang sudah tidak terjangkau lagi oleh akar. Selain itu dapat membantu akar
tanaman dalam menyerap unsure hara yang tidak dapat langsung diserap oleh tanama
 Meningkatkan resistensi tanaman terhadap pathogen
 Meningkatkan ketahanan tanaman terhadap toksisitas heavy metal (Al, Fe, Pb) karena keberadaan
miselia micorrhiza mampu memobilize heavy metal sehingga dapat mencegah heavy metal masuk
kedalam jaringan tanaman dan mengumpulkannya pada miselia.

Salah satu hal terpenting yang perlu dipahami dalam pemanfaatan mycorrhiza adalah pada saat pengambilan
sample propagules, dalam pengambilan sample propagules hendaknya dilakukan dengan teknik sampling
propagules yang benar, yaitu :

 Sampling propagules hendaknya dilakukan pada saat musim kering karena pada saat tersebut akan
didapat kualitas spora yang baik, tidak bolong-bolong dan busuk. Selain hal tersebut, pada saat musim
kemarau terjadi sporolisasi micorrhiza sehingga kemungkinan untuk mendapatkan sample dalam
jumlah banyak sangat besar.
 Hendaknya memahami dan mengetahui inang micorrhiza seperti kudzu, eupathorium, rumput juwit
sehingga memudahkan dalam penentuan lokasi pengambilan sample.
 Sumber propagules hendaknya diambil didaerah rhizospher (daerah sekitar akar) karena micorrhiza
berasosiasi dengan akar.
 Hal yang paling penting dan tidak boleh terlupakan sehingga pengambilan sample mempunyai makna
adalah labeling sample dan membuat deskripsi lokasi dan jenis inang, tindakan ini sangat dibutuhkan
untuk mengetahui asal usul mycorrhiza.

Mycorrhiza sangat spesifik terhadap inang dan medianya, mycorrhiza akan tumbuh dan berkembang optimal pada
inang dan media tertentu, banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan hal ini oleh karena itu dalam
pemanfaatan mycorrhiza dapat mereference hasil penelitian ini sehingga dapat diperoleh hasil yang optimal.
Untuk kemudahan pemanfaatan micorrhiza, saat ini telah banyak beredar produk jadi inokulum micorrhiza,
misalnya tablet mycorrhiza, mycofer.

Studi Kasus Restorasi Ekologi Lahan Bekas Tambang

Pembangunan berwawasan lingkungan menjadi suatu kebutuhan penting bagi setiap bangsa dan negara yang
menginginkan kelestarian sumberdaya alam. Oleh sebab itu, sumberdaya alam perlu dijaga dan dipertahankan
untuk kelangsungan hidup manusia kini, maupun untuk generasi yang akan datang.

Manusia merupakan posisi kunci penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan (ekosistem). Dengan semakin
bertambahnya jumlah populasi manusia, kebutuhan hidupnya pun meningkat, akibatnya terjadi peningkatan
permintaan akan lahan seperti pertanian dan pertambangan. Sejalan dengan hal tersebut dan dengan semakin
hebatnya kemampuan teknologi untuk memodifikasi alam, maka manusialah yang merupakan faktor yang paling
penting dan dominan dalam merestorasi ekosistem rusak.

Kegiatan pembangunan seringkali menyebabkan kerusakan lingkungan, sehingga menyebabkan penurunan mutu
lingkungan, berupa kerusakan ekosistem yang selanjutnya mengancam dan membahayakan kelangsungan hidup
manusia itu sendiri. Kegiatan manusia seperti pembukaan hutan, penambangan, pembukaan lahan pertanian dan
pemukiman, bertanggung jawab terhadap kerusakan ekosistem yang terjadi. Hal ini menyebabkan lahan
mengalami kerusakan. Akibatnya kondisi fisik, kimia dan biologis tanah menjadi buruk, seperti lapisan tanah
tidak berprofil, terjadi bulk density (pemadatan), kekurangan unsur hara esensial, pH rendah, pencemaran logam-
logam berat pada lahan bekas tambang, serta penurunan populasi aktifitas mikroba tanah.. Untuk itu diperlukan
adanya suatu kegiatan sebagai upaya pelesatarian lingkungan agar tidak terjadi kerusakan lebih lanjut. Upaya
tersebut dapat ditempuh dengan cara merestorasi ekosistem rusak. Dengan dilakukannya kegiatan tersebut
diharapkan akan mampu memperbaiki ekosistem yang rusak sehingga dapat pulih atau mendekati kondisi semula.

Lahan Bekas Tambang Sebagai Ekosistem Rusak

Dengan semakin majunya kemampuan manusia dalam mengelola alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,
bukan mustahil akan terjadi kerusakan lingkungan. Jika hal ini tidak diimbangi dengan upaya untuk merestorasi
ekosistem tersebut, dikhawatirkan lingkungan akan rusak dan banyak terjadi bencana alam yang kelak akan
merugikan kehidupan manusia itu sendiri.

Rusaknya ekosistem ulah manusia yang cenderung melakukan kegiatan tanpa menghiraukan dampak-dampak
yang akan terjadi. Ekosistem yang rusak dapat diartikan sebagai suatu ekosistem ekologi yang tidak dapat lagi
menjalankan fungsinya secara optimal, seperti melindungi tanah, mengatur tata air, mengatur cuaca, dan fungsi-
fungsi lainnya dalam mengatur perlindungan alam lingkungan.

Menurut Jordan (1985), Intensitas gangguan dikatogorikan ringan (apabila struktur dasar suatu ekosistem tidak
terganggu, contohnya jika sebatang pohon besar mati dan kemudian roboh yang menyebabkan pohon lain rusak
dan penebangan kayu yang dilakukan secara selektif dan hati-hati), moderat (apabila struktur hutannya rusak
berat/hancur, namun produktifitasnya tanahnya tidak menurun, contohnya penebangan hutan primer untuk
ditanami jenis tanaman lain seperti kopi, coklat, palawija dan lain-lainnya), dan berat (apabila struktur hutan rusak
berat/hancur dan produkfitas tanahnya menurun, contohnya terjadi aliran lava dari gunung berapi dan penggunaan
peralatan berat untuk membersihkan hutan, seperti areal pertambangan). Berdasarkan ukurannya, gangguan
dibagi menjadi gangguan kecil, sedang, dan besar. Sedangkan berdasarkan lamanya gangguan dapat
diklasifikasikan menjadi gangguan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Merestorasi Lahan Bekas Tambang

Tahap-tahap yang harus diperhatikan dalam merestorasi lahan bekas tambang tersebut dikemukakan sebagai
berikut:

1. Dampak negatif dari kegiatan pertambangan,


2. Soil re-construction,
3. Revegetation constrains,
4. Strategi untuk merehabilitasi, dan
5. Post mining land uses.

Dampak Negatif dari Kegiatan Pertambangan

Akibat adanya kegiatan, mengakibatkan dampak besar terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilihat dengan
hilangnya fungsi proteksi terhadap tanah akibat tidak adanya penutupan tajuk yang juga berakibat pada
terganggunya fungsi-fungsi lainnya. Di samping itu, juga mengakibatkan hilangnya keanekaragaman hayati (gene
pool), terjadinya degradasi pada daerah aliran sungai, perubahan bentuk lahan, terjadinya peningkatan erosi, dan
terlepasnya logam-logam berat yang dapat masuk ke lingkungan perairan. Jika hal ini dibiarkan, maka akan
mengancam kehidupan manusia.

1. Soil Re-Construction
Untuk mencapai tujuan restorasi seperti yang telah disebutkan sebelumnya, maka perlu dilakukan
beberapa upaya seperti : rekonstruksi lahan dan manajenem top soil. Pada kegiatan ini, lahan yang
masih belum rata harus terlebih dahulu ditata dengan penimbunan kembali (back filling) dengan
memperhatikan jenis dan asal bahan urugan, ketebalan, dan ada tidaknya sistem aliran air (drainase)
yang kemungkinan terganggu. Sebaiknya bahan-bahan galian dikembalikan keasalnya mendekati
keadaan aslinya. Ketebalan penutupan tanah (sub-soil) disarankan berkisar 70-120 cm yang
dilanjutkan dengan re-distribusi top-soil. Untuk memperoleh kwalitas top-soil yang baik, maka pada
saat pengerukan, penyimpanan dan re-distribusinya harus dilakukan pengawasan yang ketat. Re-
alokasi top-soil pada lahan tanam bisa dilakukan secara lokal (per-lubang) atau disebarkan merata
dengan kedalaman yang memadai. selain itu juga dilakukan revegetasi lahan kritis.
2. Revegetation Constrain
Strategi yang perlu diterapkan pada perbaikan kondisi tanah antara lain : perbaikan ruang tubuh,
pemberian top-soil dan bahan organik serta pemupukan dasar dan pemberian kapur. Hal utama yang
harus diperhatikan dalam merestorasi lahan bekas tambang jika kita ingin mengadakan suatu
penanaman tanaman adalah kendala tanah dan tanaman-tanaman lokal yang potensial. Menurut
Bradshaw (1983), masalah-masalah yang dijumpai dalam merestorasi lahan bekas ini adalah masalah
fisik, kimia (nutrients dan toxicity), dan biologi. Masalah fisik tanah mencakup tekstur dan struktur
tanah. Akibat dari kegiatan pertambangan mempengaruhi solum tanah dan terjadinya pemadatan
tanah, mempengaruhi stabilitas tanah dan bentuk lahan. Masalah kimia tanah berhubungan dengan
reaksi tanah (ph), kekurangan unsur hara (seperti NPK dan magnesium), dan mineral toxicity. Untuk
mengatasi PH yang rendah (berkaitan dengan ketersediaan posfat juga rendah) dapat dilakukan dengan
cara penambahan kapur. Sedangkan kendala biologi seperti tidak adanya penutupan vegetasi dan tidak
adanya mikroorganisme potensial dapat diatasi dengan perbaikan kondisi tanah, pemilihan jenis
pohon, dan pemanfaatan mikroriza.
3. Strategi untuk Merehabilitasi
Untuk merehabilitasi lahan bekas tambang, diperlukan suatu strategi dalam memilih spesies. Secara
ekologi, spesies tanaman lokal dapat beradaptasi dengan iklim setempat tetapi tidak untuk kondisi
tanah. Untuk itu diperlukan suatu studi awal untuk melihat apakah spesies tersebut cocok dengan
kondisi setempat, terutama untuk jenis-jenis yang cepat tumbuh, misalnya sengon, yang telah terbukti
adaptif untuk tambang karena tajuknya terbentuk dengan cepat dan daunnya mudah dikomposisi.
Dengan dilakukannya penanaman sengon minimal dapat mengubah iklim mikro pada lahan bekas
tambang tersebut. Menurut Lugo (1997), penanaman pohon-pohon akan memberi keuntungan bagi
kegiatan rehabilitasi lahan, karena akan memungkinkan terjadinya suksesi “Jump-start” (permulaan
yang sangat cepat), memberikan naungan, memodifikasi ekstrim dari kerusakan lahan. Untuk
menunjang keberhasilan dalam merestorasi lahan bekas tambang, maka usaha- usaha seperti perbaikan
lahan pra-tanam, pemilihan spesies yang cocok, aplikasi teknik silvikultur yang benar, dan penggunaan
pupuk biologis seperti pemberian mikroriza arbuskular perlu dilakukan.
4. Post Mining Land Uses
Dalam rangka mendukung upaya merestorasi lahan bekas tambang, masih dibutuhkan upaya
penelitian, yaitu: bidang agriculture, horticulture, foresty (produktive dan protective), wild life
conservation, dan recreation.
Untuk mengevaluasi sejauh mana tingkat keberhasilan pertumbuhan tanaman pada lahan bekas
tambang, maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: persentasi daya tumbuhnya, persentasi
penutupan tajuknya, pertumbuhannya, perkembangan akarnya, penambahan spesies pada lahan
tersebut, serasah yang terdekomposisi, pengurangan erosi, dan apakah tanaman tersebut dapat
berfungsi sebagai filter alam. Dengan cara tersebut, maka dapat diketahui sejauh mana tingkat
keberhasilan yang kita capai dalam merestorasi lahan bekas tambang.

Mikoriza Sebagai Alternatif Dalam Merestorasi Lahan Bekas Tambang

Sebagai salah satu alternatif untuk merstorasi lahan bekas tambang, penggunaan mikoriza sangat diperlukan.
Mikoroza merupakan suatu bentuk hubungan simbiosis antara cendawan dan perakaran tumbuhan tingkat tinggi.
Salah satu tipe cendawan pembentuk mikoriza yang cukup populer, yaitu cendawan mikoriza arbuskula yang
dapat digunakan sebagai pupuk biologis. Cendawan mikoriza arbuskula (CMA) ini adalah salah satu alternatif
teknologi untuk membantu pertumbuhan, meningkatkan produktivitas, dan kualitas tanaman utamanya tanaman
yang ditanam pada lahan-lahan yang kurang subur, seperti lahan bekas tambang.

Kelebihan yang dimiliki oleh CMA ini adalah kemampuannya dalam meningkatkan penyerapan unsur hara makro
terutama fosfat dan beberapa unsur mikro seperti Cu, Zn, dan Bo. Oleh sebab itu, maka penggunaan CMA ini
dapat dijadikan sebagai alat biologis untuk mengefisienkan penggunaan pupuk buatan terutama fosfat. Untuk
membantu pertumbuhan tanaman reboisasi pada lahan- lahan yang rusak, penggunaan tipe cendawan ini dianggap
merupakan suatu cara yang paling efisien karena kemampuannya meningkatkan resistensi tanaman terhadap
kekeringan. Beberapa penelitian lainnya juga membuktikan bahwa cendawan ini juga mampu mengurangi
serangan patogen tular tanah dan dapat membantu pertumbuhan tanaman pada tanah-tanah yang tercemar logam
berat, sehingga penggunaannya dapat berfungsi sebagai bio-proteksi.

Keberadaan CMA di alam mutlak diperlukan. Peranannya sangat penting dalam mengefektifkan daur ulang unsur
hara sehingga dianggap sebagai alat yang paling efektif untuk mempertahankan stabilitas ekosistem dan
keanekaragaman hayati. Selain itu, CMA juga merupakan sumberdaya alam hayati potensial dan dapat diisolasi,
dimurnikan dan dikembangbiakan dalam biakan monosenic. Melalui serangkaian penelitian di laboratorim dan
pengujian di lapangan, efektivitas isolat- isolat CMA untuk memacu pertumbuhan dan meningkatkan kualitas
tanaman dapat dimanipulasi dan ditingkatkan. Dengan cara tersebut, maka dapat dihasilkan dan diseleksi isolat-
isolat CMA unggul yang teruji efektif. Isolat-isolat unggul tersebut dapat diproduksi dan dikemas dalam berbagai
bentuk inokulan yang dapat berfungsi sebagai pupuk biologis yang murah tetapi cukup efektif dan bersahabat
lingkungan.

Produk ini dapat digunakan untuk membantu program reklamasi lahan bekas tambang dalam hal meningkatkan
pertumbuhan. Aplikasi CMA ini sebenarnya merupakan keutuhan ekologi karena pada prinsipnya memanfaatkan
sumberdaya alam hayati potensial untuk meningkatkan produktivitas tanaman dengan teknologi yang sederhana,
murah, dan ramah lingkungan.

Pemilihan Jenis Sebagai Upaya Untuk Pemulihan Lahan Bekas Tambang

Pemilihan jenis adalah tahap yang paling penting dalam upaya merestorasi lahan bekas tambang. Pemilihan ini
bertujuan untuk memilih spesies tanaman yang disesuaikan dengan kondisi lahan yang akan direstorasi. Kunci
utama keberhasilan revegetasi adalah pemilihan jenis pohon yang tepat. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanam
didasarkan pada adaptabilitas, cepat tumbuh, diketahui teknik silvikultur, ketersediaan bahan tanam, dan dapat
bersimbiosis dengan mikoriza.

Ada beberapa kriteria yang harus dimiliki oleh jenis tumbuhan yang terpilih, antara lain :

1. Mempunyai kemampuan adaptasi yang tinggi


Pada tahap awal jenis tumbuhan yang dipilih hendaknya mampu berdaptasi dengan kondisi lingkungan
setempat. Untuk lahan bekas tambang, kondisi lingkungan yang ekstrim seperti ketersediaan unsur
hara yang rendah, suhu relatif tinggi, kamasaman tanah tinggi, drainase kurang baik, kelembaban
rendah, salinitas tinggi, dan intensitas cahaya tinggi merupakan faktor-faktor lingkungan yang harus
dipertimbangkan dalam memilih spesies yang akan digunakan untuk kegiatan restorasi. Hal ini dapat
dilakukan dengan cara:
a. Mengidentifikasi dan memilih jenis-jenis lokal potensial
b. Mengevaluasi silvical characteristic jenis dengan kondisi lingkungan setempat
c. Mengevaluasi jenis-jenis non-lokal yang telah tumbuh dilokasi setempat
d. Melakukan spesies trial dan uji provenance
2. Cepat tumbuh
Jenis cepat tumbuh biasanya tidak memerlukan syarat tumbuh terlalu rumit. Kriteria ini penting karena
akan terjadi penutupan yang cepat pada lahan terbuka untuk mengurangi laju aliran permukaan dan
erosi. Oleh karena itu, jenis-jenis pionir pertumbuhannya cepat, sistem tajuknya melebar dan berlapis
serta memiliki sistem perakaran intensif.
3. Teknik silvikultur diketahui
Untuk memudahkan pelaksanaan penanaman dan pemiliharaan lanjutan, maka teknik silvikultur jenis-
jenis terpilih perlu diketahui, terutama yang berhubungan dengan perlakuan biji, teknik persemaian,
waktu pemindahan di lapangan sensitifitas terhadap toksisitas logam berat, dosis pupuk yang
diperlukan, toleransi terhadap cahaya, genangan air, dan hama penyakit.
4. Ketersediaan bahan tanaman
Kriteria ini perlu diperhatikan karena akan menentukan keberhasilan upaya dalam restorasi. Bahan
tanaman berupa benih, harus tersedia dalam jumlah yang cukup dan berkualitas baik. Kelemahan
utama dalam penggunaan jenis-jenis lokal adalah masalah kelangkaan benih.
5. Dapat bersimbiose dengan mikroba
Mengingat keadaan lahan kritis pada umumnya merupakan lahan marginal, maka jenis-jenis yang akan
ditanam dipilih dari jenis-jenis yang dapat berasosiasi dengan bakteri penambat nitrogen atau
bersimbiosis dengan cendawan mikoriza, sehingga kebutuhan akan nitrogen dan fosfat tidak
sepenuhnya bergantung pada pemupukan.

Suksesi Sebagai Kaidah Ekologi Dalam Merestorasi Lahan Bekas Tambang

Suksesi secara alami memiliki tahap-tahap tertentu, yang terjadi secara perlahan-lahan dan biasanya berlangsung
dalam jangka waktu yang lama. Penerapan kaedah suksesi menciptakan keseimbangan antara intervensi manusia
dengan usaha ekosistem untuk mendisain lingkungannya sendiri (self design). Self design ini memberikan
keuntungan dalam hal memberikan daya tahan hidup pada kondisi awal trjadinya suksesi, pemantapan kondisi
hutan setelah fase awal suksesi, dan memerlukan sedikit biaya (Lugo, 1997).

Pada kegiatan restorasi lahan bekas tambang ini, fenomena alam tersebut akan dicoba untuk dimodifikasi supaya
tahapan suksesi (nudation, migrasi, ecesis, agregation, evolution of community relationship, invation, reaction,
stabilization, dan klimaks) dapat berlangsung dengan cepat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan
menanam jenis tanaman tertentu secara berurutan seperti halnya yang terjadi pada fase-fase dari suksesi alami.

1. Tumbuhan Penutup Tanah


Tumbuhan penutup tanah yang dipilih dapat berupa semak maupun herba. Jenis-jenis yang
diutamakan adalah dari jenis kacang-kacangan, dapat bersimbiosa dengan bakteri penambat nitrogen,
memiliki perakaran yang kuat, serta banyak menghasilkan serasah, seperti: Centrosema, Tephrosia,
Crotalaria, Indigofera, Eupatorium, dan jenis lain yang sesuai. Tanaman-tanaman ini berguna untuk
mengurangi laju aliran permukaan (run-off), memperbaiki profil tanah khususnya bagian top-soil, dan
juga diharapkan akan ikut memperbaiki iklim mikro.

2. Tumbuhan Jenis Klimaks


Untuk merestorasi lahan bekas tambang, tumbuhan jenis klimaks merupakan tumbuhan yang utama
digunakan. Tumbuhan ini biasanya dari jenis pohon-pohonan yang karakteristiknya yang sesuai
dengan kriteria yang telah disebut di atas. Penanaman jenis tanaman ini dapat dilakukan bersamaan
dengan penanaman tumbuhan penutup tanah maupun setelahnya. Setelah penanaman jenis tumbuhan
ini diharapkan keadaannya akan sama dengan tingkat fase ecesis dimana tumbuhan tersebut akan
mapan di tempat tersebut.

Setelah tumbuhan tersebut menghasilkan buah dan biji diharapkan akan terjadi agregasi
(pengelompokan) dari tumbuhan tersebut dengan tumbuhan anakan di sekitarnya. Dengan adanya
vegetasi di tempat tersebut diharapkan akan menarik satwa liar di sekitarnya yang akan membawa
benih-benih lain dari daerah sekitar untuk tumbuh dan kemudian akan berkolonisasi pada lahan
tersebut. Dengan demikian fase-fase selanjutnya dari suksesi seperti reaksi perubahan habitat dan
stabilitas akan dapat terus berlangsung sampai mencapai klimaks.

Studi Kasus Pada Restorasi Hutan Mangrove

Di dalam wilayah laut dan pesisir terkandung sejumlah potensi sumberdaya yang besar dan beragam. Salah satu sumberdaya
tersebut dapat diperbarui (renewable resources), seperti ikan, udang, moluska, karang mutiara, kepiting, rumput laut, hutan
mangrove dan hewan karang yang keberadaan dan kelestarianya tergantung dari pelestarian habitatnya. Selain hal tersebut
juga berguna dalam jasa-jasa lingkungan (environmental service), seperti tempat-tempat (habitat) yang indah dan
menyejukkan untuk potensi peristiwa dan rekreasi, media transportasi. Dari semua itu, maka potensi kelautan dan pesisir
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi bagi semua elemen masyarakat, khususnya masyarakat pesisir (Haryanto, 2008).

Mangrove merupakan ekosistem yang sangat produktif. Keberadaannya mampu memperkaya keanekaragaman hayati,
menghasilkan berbagai produk hutan komersial, melindungi garis pantai, serta mampu mendukung produksi perikanan di
kawasan pesisir. Mangrove memiliki sistem adaptasi yang unik mengingat kondisi lingkungannya yang ekstrim, seperti
kadar garam yang tinggi serta tanah yang kurang stabil dan tergenang. Mangrove di Indonesia adalah yang terbesar di dunia,
luas mangrove di Indonesia adalah 3.112.989 m 2 atau 22,6% dari luas mangrove yang ada di dunia. Namun dalam beberapa
tahun terakhir, faktor antropogenik telah memberikan pengaruh pada ekosistem mangrove ini. Sekitar 45% mangrove di
Indonesia telah mengalami degradasi cukup parah karena aktivitas manusia. Jumlah kerusakan tersebut diperkirakan akan
semakin meningkat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan pemukiman di kawasan pesisir (Auliyani., dkk. 2013).

Vegetasi mangrove terdiri dari beberapa jenis antara lain Rhizophora apiculata, R. mucronata, Bruguiera gymnorrhiza, B.
parfivlora, B. sexangula, Avicennia sp, Sonneratia spp, Xylacarpus granatum, dan Ceriops tagal. Adaptasi pohon-pohon
mangrove terhadap keadaan tanah berlumpur dan kekurangan oksigen dalam tanah adalah dengan membentuk system
perakaran yang khas. Vegetasi mangrove mempunyai struktur seragam yang tidak mengenal lapisan tajuk. Ekosistem hutan
mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan sumberdaya alam, yakni letak hutan mangrove
terbatas pada tempat tertentu, peranan ekologis ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem
hutan lainnya, dan hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi, serta hutan mangrove sebagai
sumber daya alam yang dapat dipulihkan pendayagunaannya memerlukan pengelolaan yang tepat, sejauh
mungkin dapat mencegah pencemaran lingkungan hidup dan menjamin kelestariannya untuk keperluan masa kini dan
akan datang (Basyuni, 2002).

Pertambahan jumlah penduduk yang tinggal di kawasan pesisir menyebabkan tekanan terhadap ekosistem mangrove yang
ada. Sebagaimana yang terjadi di pesisir pantai, jumlah mangrove yang ada mengalami penurunan yang drastis seiring
dengan tingginya aktivitas ekonomi di kawasan ini. Beberapa faktor penyumbang terbesar kerusakan ekosistem mangrove
di pesisir yaitu : pertambakan, penebangan mangrove, reklamasi dan sedimentasi, serta pencemaran lingkungan. Penurunan
jumlah mangrove yang terjadi semakin memperparah kondisi pesisir yang merupakan daerah abrasi. Upaya penanaman
kembali mulai dilakukan untuk memulihkan keseimbangan lingkungan di kawasan pesisir. Program rehabilitasi mangrove
yang dilaksanakan akan menunjukkan hasil yang signifikan. Keberhasilan rehabilitasi tersebut akan memberikan pengaruh
terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir yang tinggal di sekitarnya (Auliyani., dkk. 2013).

Hutan mangrove memiliki nilai ekonomis dan ekologis yang tinggi, tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang
bijaksana dalam mempertahankan, melestarikan dan pengelolaannya. Kondisi hutan mangrove pada umumnya memiliki
tekanan berat sebagai akibat dari tekanan krisis ekonomi yang berkepanjangan. Selain dirambah dan dialihfungsikan,
kawasan mangrove dibeberapa daerah kini marak terjadi kegiatan restorasi dan rehabilitasi. Kegiatan tersebut dilakukan
untuk memulihkan kondisi ekosistem mangrove yang telah rusak agar ekosistem mangrove dapat menjalankan kembali
fungsinya dengan baik. Upaya rehabilitasi harus melibatkan seluruh lapisan masyarakat yang berhubungan dengan kawasan
mangrove (Novianty., dkk. 2004).

Mangrove tumbuh di berbagai kondisi hidrologi dan iklim sehingga menciptakan hamparan yang luas dari berbagai macam
komunitas bakau. Pola klasik mangrove telah meluas menjadi sedikitnya empat variasi yang semuanya termasuk suatu
kesatuan yang didominasi oleh spesies seperti “smooth cordgrass” ( Spartina alterniflora ) atau saltwort ( Batis maritima ).
Peran smooth cordgrass yang berperan sebagai “spesies perintis” dimana pada mulanya tumbuh pada lahan gundul dan
selanjutnya mempermudah pertumbuhan mangrove dikemudian hari sampai menjadi spesies yang dominan. Bahkan setelah
mangrove tumbuh dominan, beberapa spesies asli yang tumbuh di paya pasang surut ini kadang masih tersisa. Pola ini
diperkenalkan sebagai ciri khas habitat mangrove, dimana komponen-komponen tumbuhan perintis ini seringkali ada (Roy.,
dkk, 2007).

Sangat mungkin melaksanakan restorai fungsi mangrove, dataran garam, atau sistem lainnya meskipun parameter seperti
jenis dan kondisi tanah sudah berubah dan flora dan faunanya juga telah berganti. Namun jika tujuan dari restorasi adalah
untuk mengembalikan suatu wilayah ke kondisi asli, maka kemungkinan tingkat kegagalan akan lebih tinggi. Restorasi
terhadap ciri-ciri ekosistem tertentu dan tiruan atas fungsi alaminyalah yang lebih memungkingkan untuk sukses daripada
restorasi ke kondisi aslinya. Kenyataan ini harus dipertimbangkan selama perencanaan rehabilitasi berlangsung (Novianty.,
dkk. 2004).

Ekosistem Mangrove
Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang silvikultur
hutan payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut. Hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai
tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan
untuk tumbuh dalam perairan asin. Ciri-ciri hutan mangrove adalah sebagai berikut : tidak dipengaruhi iklim, terpengaruh
pasang surut, tanah tergenang air laut atau berpasir dan tanah liat, tanah rendah pantai, hutan tidak mempunyai stratum tajuk,
tinggi mencapai 30 meter. Jenis tumbuhan mulai dari laut ke darat adalah Rhizophora, Avicennia, Soneratia, Xylocarpus,
Lumnitzera, Bruguiera dan tumbuh-tumbuhan bawah yang hidup diantaranyaAcrostichum aureum, Achanthus
illicifolius, dan Archanthus ebracteatus (Basyuni, 2002).

Tempat ideal bagi pertumbuhan hutan mangrove adalah di sekitar pantai, delta, muara sungai yang arus sungainya banyak
mengandung pasir dan lumpur serta umunya pada pantai landai yang terhindar dari ombak besar. Vegetasi mangrove
mempunyai zonasi yang khas, dicirikan oleh adanya perbedaan jenis yang ersusun menurut urutan tetentu walaupun dengan
batas yang kurang jelas. Secara ekologis zonasi jenis di hutan mangrove dari arah laut ke darat berturut-turut
adalah Sonneratia spp, Rhizophora spp,Bruguiera spp, Ceriops spp, Lumnitzera spp dan Xylocarpus spp. Dari seluruh
jenis ini, nilai ekonomi kayu Rhizophora spp dan Bruguiera spp paling tinggi. Hutan mangrove bagi kebanyakan pantai
pesisir merupakan suatu daerah pinggiran yang berguna dan produktif, dan juga melindungi pesisir dari ombak dan
perembesan air asin, dan selanjutnya mempunyai fungsi dan potensi yang secara garis besarnya dapat dibagi tiga aspek : (1)
aspek fisik, (2) aspek biologi, dan (3) aspek ekonomis (Roy., dkk, 2007).

Ekosistem mangrove merupakan tempat di mana air pasang dan arus pantai membawa perbedaan terhadap hutan dan di
mana tumbuh-tumbuhan beradaptasi terhadap perubahan kimiawi, fisika dan karakteristik biologis lingkungannya. Batasan-
batasan dari ekosistem daerah pesisir ini dapat disesuaiakan definisinya terhadap yang berhubungan dengan bumi dan
ekosistem lautan yang membatasinya. Dalam tahun terbaru ada studi-studi khusus mengenai fauna, flora, ekologi, hidrologi
fisiologi dan produktivitas dari banyak perbedaan ekosistem-ekosistem mangrove, kebanyakan adalah kondisi dalam
keadaan asli. Sering kali kita menghadapi kondisi wilayah pesisir dan laut yang sudah tidak mampu melangsungkan fungsi
ekologisnya atau sudah tidak utuh secara ekologis. Dalam perencanaan kawasan konservasi, kita harus dapat menilai dan
mengevaluasi keberadaan sasaran konservasi di wilayah perencanaan. Seperti yang terjadi di wilayah-wilayah lain, di
banyak wilayah pesisir di Indonesia, kondisinya telah terfragmentasi sehingga fungsionalitas ekosistem telah berada di
bawah viabilitas, atau kelayakan. Berbagai bentuk gangguan yang merupakan (Gunawan, 2004).

Restorasi dan Rehabilitasi

Pengertian ekologi restorasi adalah proses mengubah dengan sengaja keadaaan lingkungan suatu lokasi guna menetapkan
suatu ekosistem yang bersifat tertentu, asli, dan bersejarah. Tujauannya untuk mengembalikan struktur, fungsi,
kenekragaman dan dinamika suatu ekosistem yang dituju. Tujuan utama restorasi mangrove ada dua, yaitu : merestorasi
fungsi ekologi hutan mangrove yang rusak (degraded) dan mendapatkan produk hutan yang mempunyai nilai komersial.
Dalam konteks ini nilai komersial berarti produk hutan yang dibutuhkan oleh penduduk sekitar sebagai sumber energi dan
perumahan selain untuk industri. Dua tujuan ini menentukan spesies mangrove yang akan ditanam, untuk tujuan restorasi
ekologi semua spesies mangrove dapat dimanfaatkan/ditanam. Restorasi dilakukan hingga mencapai struktur dan komposisi
spesies semula, melalui suatu program reintroduksi yang aktif, terutama dengan cara menanam dan membenihkan spesies
tumbuhan semula (Basyuni, 2002).

Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan (degraded) atau terganggu (disturbed)
akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya proses ekologi akan kembali,
serta dengan upaya ini, ketahanan yang menjadi syarat berlangsungnya pemulihan sistem dapat tercapai. Ekosistem yang
membutuhkan restorasi umumnya adalah ekosistem yang telah mengalami perubahan atau kerusakan akibat aktivitas-
aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak. Dalam beberapa kejadian, dampak terhadap kerusakan ekosistem
diperparah dengan terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan, banjir, badai atau letusan gunung berapi yang
mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi dipulihkan seperti sediakala. Program restorasi berupaya memulihkan kembali
ekosistem sebagaimana mulanya. Oleh karena itu, mengetahui keadaan awal suatu ekosistem sangatlah diperlukan sebagai
dasar perencanaa program restorasi (Septyohadi, 2004)

Menurut Hartono (2001), ciri-ciri ekosistem terestorasi adalah:


1) Ekositem yang telah pulih berisi kumpulan karakteristik dari spesies-spesies yang terdapat dalam ekosistem dan menjadi
acuan bagi struktur masyarakat.
2) Ekosistem yang telah pulih terdiri dari spesies endemik utama.
3) Semua kelompok fungsional yang diperlukan untuk pengembangan lanjutan dan stabilitas ekosistem dipulihkan
haruslah terwakili, jika tidak, kelompok yang hilang berpotensi untuk dikuasai secara alami.
4) Lingkungann fisik dari ekosistem dipulihkan mampu mempertahankan populasi serta mereproduksi spesie-spesies yan
diperlukan untuk keberlanjutan atau pengembanhan sesuai keinginan.
5) Ekosistem yang dipulihkan haruslah dapat berfungsi normal untuk tahap ekologi pembangunan.

Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi pada
ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut. Pada kondisi ini,
homeostasis ekosistem secara permanen terhenti, sehingga menghambat proses sukses sekunder secara normal untuk
menyembuhkan area yang rusak. Tujuan restorasi lainnya adalah memperkaya landskap, mempertahankan keberlanjutan
produksi sumberdaya alam (khususnya perikanan dan kayu), melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial. Tujuan
restorasi perlu ditetapkan berdasarkan masukan dari para pihak dan merupakan konsensus bersama, sehingga mendapat
dukungan secara luas, tanpa dukungan para pihak se tempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang sangat kecil.
Keuntungan restorasi komunitas mangrove meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang pernah ada, spesies yang
memiliki daerah jelajah luas, dan burung-burung migran; mendaur-ulang nutrien dan menjaga keseimbangan nutrisi pada
muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada hutan mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat fisik dan tempat
pembesaran anakan berbagai spesies laut komersial; melindungi lahan dari badai, menjaga garis pantai, dan mengendapkan
lumpur; meningkatkan kualitas dan kejernihan air dengan menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang dibawa air
permukaan dari hulu sungai (Setyawan., dkk. 2004).
Rehabilitasi memiliki kesamaan mendasar dengan restorasi dalam hal sejarah ekosistem atau sebelum keberadaan ekosistem
sebagai model (acuan). Namu kedua hal ini berbeda dalam hal tujuan dan strateginya. Rehabilitasi menekankan pada
perbaikan proses ekosistem, produktivitas dan jasa, sedangkan tujuan restorasi juga mencakup pembentukan kembali
integritas biotik yang sudah ada dalam hal komposisi jenis dan struktur komunitas. Meskipun demikian restorasi mencakup
sebagian besar kegiatan yang sebelumnya diidentifikasi sebagai rehabilitasi. Rehabilitasi merupakan suatu strategi
manajemen untuk mencegah degradasi suatu wilayah dan menjadikannya bermanfaat (Septyohadi, 2004).

Rehabilitasi dapat dilakukan ketika suatu sistem telah berubah dalam tingkat tertentu sehingga tidak dapat lagi memperbaiki
atau memperbaharui diri secara alami. Dalam kondisi seperti ini, ekosistem homeostasis telah berhenti secara permanen dan
proses normal untuk suksesi tahap kedua atau perbaikan secara alami dari kerusakan terhambat oleh berbagai sebab. Konsep
ini belum pernah dianalisis atau didiskusikan secara mendetail pada habitat mangrove. Sehingga manager restorasi
seringkali ditekankan untuk melakukan penanaman mangrove sebagai pilihan pertama restorasi. Meskipun pendekatan
terbaik restorasi adalah dengan mengetahui penyebab punahnya mangrove, tangani penyebabnya dan kemudian bekerja
dengan proses perbaikan alami untuk membangun kembali habitat mangrove. Bibit mangrove hanya ditanam jika
mekanisme alami tidak memungkinkan dan hanya setelah dilakukan pembenahan hidrologi (Setyawan., dkk. 2004).

Permasalahan pada Ekositem Mangrove


Permasalahan yang terjadi pada ekosistem mangrove adalah kerusakan mangrove akibat ulah atau aktivitas manusia dan
alam. Faktor manusia merupakan faktor paling dominan penyebab keruusakan mangrove yaitu dalam hal pemanfaatan lahan
yang berlebihan, penebangan pohon mangrove secara sembarangan, sedangkan faktor alam disebabkan banjir, tsunami,
badai, abrasi dan hama tanaman.

Bersamaan dengan terjadinya kerusakan pada sebagian besar hutan mangrove di Indonesia yang diawali dengan adanya
degradasi luasan hutan, degradasi jenis, konversi hutan mangrove, eksploitasi dan pemanfaatan hutan mangrove yang tidak
sesuai dengan fungsi dan tujuannya serta kerusakan kondisi biofisik ekosistem mangrove dan ekosistem sekitranya.
Penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove mengakibatkan menurunnya kualitas biofisik ekosistem hutan mangrove
dan lingkungan sekitarnya, seperti abrasi pantai, hilangnya habitat burung, banjir dan menurunnya produktivitas perairan.
Sehingga ekosistem mangrove telah berubah ke tingkat tertentu sehingga tidak bisa lagi diperbaiki atau memperbaharui diri
sendiri.

Penanganan Kerusakan Ekosistem Mangrove


Penanganan yang dapat dilakukan dalam mengatasi kerusakan mangrove adalah dengan cara mengadakan upaya restorasi
dan rehabilitasi.
Menurut Setyawan, dkk (2004), terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan restorasi mangrove yaitu:
a. Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan pemantapan
seedling.
b. Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies mangrove yang
diinginkan.
c. Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat mencegah suksesi sekunder secara alami.
d. Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan penggunaan propagul alami.
e. Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen alami tidak mencukupi untuk penyembuhan.

Faktor penting lainnya yang menentukan keberhasilan restorasi adalah tingkat kerjasama dari masyarakat pesisir dan
para pemimpin lokal. Tekanan populasi lokal akan mempengaruhi struktur dan fungsi ekosistem mangrove di sekitarnya.
Pendidikan lingkungan dapat mendorong keterlibatan aktif dan keikutsertaan publik yang lebih besar. Keduanya merupakan
isu penting dalam manajemen dan konservasi mangrove. Keputusan manajemen menyertakan masukan lokal akan lebih
berhasil dan mendapatkan dukungan politis lebih besar. Dua pendekatan telah digunakan di restorasi area mangrove yang
terdegradasi, yaitu regenerasi buatan dan alami (Septyohadi, 2004)
Dengan upaya restorasi, kemungkinan pulihnya proses ekologi akan kembali, serta dengan upaya ini, ketahanan yang
menjadi syarat berlangsungnya pemulihan sistem ekosistem hutan mangrove dapat tercapai. Perlu dilakukan pemulihan
kembali hutan mangrove yang telah rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia khususnya
masyarakat sekitar hutan mangrove serta mendukung dalam kegiatan pembangunan wilayah pesisir. Penggalakan dan
peningkatan kesadaran masyarakat tentang arti penting keberadaan mangrove dalam kehidupan dan perekonomian
masyarakat. Pengikutsertaan masyarakat dalam upaya pemulihan pantai menjadi kunci keberhasilan pelestarian ekosistem
mangrove (Hartono, 2001).

Menurut Gunawan (2004) restorasi atau rehabilitasi bisa disarankan karena suatu ekosistem mangrove telah berubah ke
tingkat tertentu sehingga tidak bisa lagi diperbaiki atau memperbaharui diri sendiri. Dalam kondisi seperti ini, homeostatis
ekosistem telah berhenti secara permanen dan proses normal untuk regenerasi normal atau perbaikan alami terhalangi oleh
berbagai sebab. Maka rehabilitasi yang bertujuan konservasi memastikan kembalinya seluruh proses ekologis dan
keragaman genetik dan menentukan biomassa serta produksi mangrove. Proses restorasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem
mangrove dapat dilakukan dengan cara berikut:
1) Pemilihan jenis mangrove untuk restorasi
Untuk pemilihan spesies mangrove untuk tujuan restorasi, urutan dan zonasi spesies mangrove berhubungan dengan
lapisan bawah dan salinitas yang diamati. Keseluruhan ditemukan berkolerasi dengan data kandungan karbon untuk
variasi spesies mangrove. Berdasarkan pengamatan- pengamatan, kesesuaian spesies dipilih untuk restorasi mangrove.
Mengetahui kondisi distribusi hutan alam dan memperhatikan kondisi tempat tumbuhnya, misalnya tepi sungai dan
tinggi permukaan tanah dari permukaan laut dan mengobservasi kondisi di sepanjang tepi batas penyebarannya.

Mengetahui ketersediaan benih yang diperlukan, beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti pada
jenis Avicennia dan Rhizopora memiliki adaptasi anatomi yang dikenal dengan istilah secreter dan nonsecreter, sistem
perakaran yang khas serta struktur posisi daun yang khas dalam pengaruhnya terhadap radiasi sinar matahari dan suhu
yang tinggi. Tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh terhadap respon pertumbuhan tinggi maupun pertambuhan
jumlah daun anakan Rhizopora mucronata dan Avicennia marinapada umumnya diketahui bahwa respon pertumbuhan
tinggi yang baik diperoleh pada salinitas yang rendah dan pertambahan jumlah daun untuk jenis Avicenia marina lebih
baik pada tingkat salinitas yang lebih luas.
2) Teknik pembibitan benih untuk program restorasi
Bibit mangrove yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang keberhasilan suatu
kegiatan rehabilitasi. Penggunaan bibit berkualitas tinggi dan siap tanam berpeluang tinggi terhadap pertumbuhannya
di lapangan serta sebaliknya. Penyiapan bibit mangrove sebaiknya menggunakan buah yang telah masak.

Suksesi alami akan bergantung pada tersedianya benih dari induk. Penyebaran biji spesies pionir meliputi kawasan yang
luas, dengan bantuan angin, air atau satwa sebagai agen penyebar. Mereka dengan cepat mengkoloni tanah terbuka.
Yang lebih sulit adalah menggalakan regenerasi spesies klimaks. Mungkin memang ada regenerasi dari biji yang
tersebar secara alami dari blok hutan berdekatan, tetapi sering diperlukan perbanyakan secara buatan dan penyemaian
tanaman.
3) Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Mangrove dan Kegiatan Restorasi
Persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap bawha hutan
mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya cocok sebagai tempat pembuangan sampah atau
dikonversi untuk keperluan lain, kegiatan pembukaan tambak-tambak serta ketidaktahuan akan nilai alamiah yang
diberikan oleh ekosistem mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk pembangunan secara integral menjadi ancaman
yang serius bagi ekosistem mangrove.

Partisipasi kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan sangat menentukan keberhasilan program restorasi
mangrove. Sehingga masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian mangrove dan sebagai imbalannya mereka
mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis pantai dan terjaganya biodiversitas ikan tangkapan mereka di
laut. Partisipasi masyarakat merupakan instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), dimana tujuan
dimaksudkan adalah dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan
manusia. Interaksi antara manajemen sumberdaya pantai dengan bentuk sistem sosial secara langsung membangun
jaringan antara ekologis dan ketahanan sosial masyarakat.
4) Keterlibatan masyarakat setempat
Masyarakat setempat sebaiknya dilibatkan dalam pengawasan pemungutan hasil sumberdaya dari cagar (dalam hal
pemungutan hasil seperti berburu dan pengumpulan kayu bakar tidak bertentangan dengan tujuan pengelolaan).
Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove atau bahkan di dalam hutan mangrove, sudah seharusnya
diperlakukan sebagai stakeholder utama dan pertama dalam pengelolaan hutan. Tanpa komunikasi yang efektiv proyek
konservasi akan relative tidak signifikan . Kemitraan diantara stakeholders utama (pemerintah dan masyarakat) dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan merupakan hal penting yang harus digalang untuk mencapai
pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan.

Rehabilitasi merupakan suatu strategi manajemen untuk mencegah degradasi suatu wilayah dan menjadikannya bermanfaat
sedangkan Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan (degraded) atau terganggu
(disturbed) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Kerusakan mangrove akibat ulah atau aktivitas manusia dan alam.
Faktor manusia merupakan faktor paling dominan penyebab keruusakan mangrove yaitu dalam hal pemanfaatan lahan yang
berlebihan, penebangan pohon mangrove secara sembarangan, sedangkan faktor alam disebabkan banjir, tsunami, badai,
abrasi dan hama tanaman.

Penanganan kerusakan hutan mangrove dapat dilakukan dengan mengadakan kegiatan restorasi dan rehabilitasi dimana
kegiatan tersebut dilakukan dengan: pemilihan jenis mangrove untuk restorasi, teknik pembibitan benih untuk program
restorasi, persepsi masyarakat sekitar hutan mangrove dan kegiatan restorasi serta keterlibatan masyarakat setempat.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Rehabilitasi merupakan suatu strategi manajemen untuk mencegah degradasi suatu wilayah dan menjadikannya bermanfaat
sedangkan Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan (degraded) atau terganggu
(disturbed) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Kerusakan mangrove akibat ulah atau aktivitas manusia dan alam.
Faktor manusia merupakan faktor paling dominan penyebab keruusakan mangrove yaitu dalam hal pemanfaatan lahan yang
berlebihan, penebangan pohon mangrove secara sembarangan, sedangkan faktor alam disebabkan banjir, tsunami, badai,
abrasi dan hama tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Auliyani, D., Boedi, H dan Kismartini. 2013. Pengaruh Rehabilitasi Mangrove Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Pesisir Kabupaten Rembang. ISBN 978-602-17001-1-2 317. Universitas Diponegoro. Semarang.

Basyuni, M. 2002. Panduan Restorasi Hutan Mangrove Yang Rusak (Degrated). Universitas Sumatera Utara. Medan.

Clewell, A., Rieger, J., Munro, J. .2005. Guidelines for Developing and Managing Ecological Restoration Projects. 2nd
Edition. Society for Ecological Restoration International.

Elliot dkk., 1995. Research needs for restoring the forests of Thailand. Nat. Hist. Bull. Siam Soc. 43:179-184.

Elliot dkk., 2006, Menanami Hutan : Prinsip-Prinsip dan Praktek untuk Merestorasi Hutan Tropis

Gunawan. 2004. Manfaat Hutan Mangrove. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Hartono, N. 2001. Program Rehabilitasi Pesisir Deyah Raya Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Penanaman
Mangrove. Concervation International. Jakarta.

Haryanto, R. 2008. Rehabilitasi Hutan Mangrove Pelestarian Ekosistem Pesisir Pantai dan Pemberdayaan Masyarakat
Pesisir. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.

Novianty, R., Sukaya, S dan Donny, J. 2004. Identivfikasi Kerusakan Dan Upaya Rehabilitasi Ekosistem Mangrove Di
Pantai Utara Kabupaten Subang. Universitas Padjadjaran. Bandung.

Roy, R., Robin dan Lewis. 2007. Restorasi Hutan Bakau Berwawasan Ekologi. Mangrove Action Project - Indonesia
Program. Jakarta.

Septyohadi. 2004. Acuan Dasar (Primer) Perhimpunan Ekologi Restorasi Internasional (SER Internasional) Terhadap
Restorasi Ekologis. Universitas Brawijaya. Malang.

Setyawan, A.D., Kusumo, W dan Purin, C. P. 2004. Ekosistem Mangrove di Jawa Restorasi. Jurnal Biodiversitas. Vol 5
(2). ISSN 1412-033X. Universitas Sebelas Maret. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai