Anda di halaman 1dari 22

BIOTEKNOLOGI LINGKUNGAN

RESTORASI EKOLOGI

Dosen Pengampu :
Panca Nugrahini F., S.T., M.T.

Oleh:
1. Selvy Salfitri (1615041006)
2. Ulfa Islamia (1615041023)
3. M. Praditia Ansor (1615041030)

JURUSAN TEKNIK KIMIA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS LAMPUNG
2018
KATA PENGATAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah bioteknologi ini dengan baik sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

Adapun kesulitan yang terjadi semata-mata karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis.
Namun, berkat dorongan dari berbagai pihak dan usaha penulis, maka kesulitan itu dapat teratasi.

Tugas makalah ini berisi tentang restorasi ekologi. Dan yang tak lain bertujuan untuk menuntaskan tugas yang
diberikan oleh Ibu Panca Nugrahini F., S.T., M.T.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tugas makalah ini masih terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan yang telah penulis buat di
masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun dan semoga tugas
makalah dapat berguna demi memperluas pengetahuan kita. Terima kasih.

Bandarlampung, 11 Maret 2018

Penulis, dkk.
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Restorasi ekologis merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memprakarsai atau mempercepat pemulihan ekosistem
secara bekesinambungan. Ekosistem yang membutuhkan restorasi umumnya adalah ekosistem yang telah mengalami
perubahan atau kerusakan akibat aktivitas-aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak. Dalam beberapa
kejadian, dampak terhadap kerusakan ekosistem diperparah dengan terjadinya bencana alam seperti kebakaran hutan,
banjir, badai, atau letusan gunung berapi, yang mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi dipulihkan seperti sediakala.

Program restorasi berupaya memulihkan kembali ekosistem sebagaimana mulanya. Oleh karena itu, mengetahui
keadaan awal suatu ekosistem sangatlah diperlukan sebagai dasar perencanaan program restorasi. Namun demikian,
ekosistem yang direstorasi belum tentu dapat pulih seperti sediakala karena terjadinya perubahan ekosistem seiring
perjalanan waktu. Penentuan keadaan awal yang akurat sangat sulit dilakukan pada ekosistem yang sangat rusak. Namun
demikian, gambaran umum dan batasan-batasan awalnya tetap dapat ditentukan melalui perpaduan pengetahuan tentang
ekosistem yang rusak tersebut dengan struktur yang sudah ada, komposisi dan fungsi, studi tentang ekosistem utuh yang
sebanding, informasi tentang kondisi lingkungan regional serta analisis ekologi lainnya, termasuk budaya dan acuan
sejarah. Sumber-sumber gabungan tersebut memungkinkan diperolehnya prediksi keadaan awal maupun kondisi acuan
ekosistem dari data-data dasar ekologi dan model-model yang diprediksikan, tiruan proses restorasi ini dapat membantu
untuk memandu pemulihan ekosistem dan integritasnya.

Banyak sedikitnya campur tangan yang dibutuhkan dalam pengelolaan program restorasi bervariasi antara satu
proyek dengan proyek lainnya, tergantung pada tingkat dan lamanya kerusakan yang terjadi, kondisi budaya masyarakat
yang mempengaruhi ekosistem tersebut serta kendala-kendala dan peluang yang terjadi. Restorasi yang paling sederhana
adalah dengan menghilangkan atau memodifikasi gangguan tertentu yang memungkinkan terjadinya kembali proses-
proses ekologis atau pemulihan mandiri pada ekosistem tersebut. Contohnya, penghancuran bendungan memungkinkan
kembali terjadinya banjir sebagaimana sebelum adanya bendungan. Dalam keadaan yang lebih kompleks, restorasi juga
mungkin memerlukan pengenalan kembali spesies asli yang telah hilang, pengendalian bahaya, serbuan spesies lain yang
berasal dari luar ekosistem tersebut, bahkan hal-hal praktis lainnya yang lebih besar. Degradasi ekosistem atau proses
transformasi seringkali terjadi berlarut-larut sehingga menyebabkan hilangnya keadaan awal yang penting dalam suatu
ekosistem. Terkadang, proses pemulihan ekosistem terhenti sama sekali sehingga sulit terjadinya proses pemulihan secara
alami. Oleh karena peristiwa-peristiwa inilah maka restorasi ekologi bertujuan menginisiasi atau memfasilitasi dimulainya
kembali proses-proses yang akan mengembalikan ekosistem sebagaimana yang diinginkan.

1.2 Tujuan
1. Mengetahui manfaat dari restorasi ekologi
2. Mengetahui cara merestorasi ekosistem
3. mengetahhui manfaat dan dampak adanya spesies eksotik
BAB II

ISI

2.1. Cakupan Restorasi Ekologi

Restorasi ekologi menaungi berbagai dimensi dari upaya restorasi yang lebih luas tidak hanya mencakup
ekologi restorasi, tetapi juga dari sisi kajian sosial, kebijakan dan ekonomi untuk mencapai tujuannya. Ekologi
restorasi adalah cabang yang relatif baru dari ilmu ekologi, yaitu ilmu dan praktek yang diperlukan untuk
melakukan pemulihan dan pengembalian suatu ekosistem atau habitat kepada struktur komunitas, komponen alami
spesies, atau fungsi alami aslinya (WRI, IUCN, UNEP; 1995). Masyarakat ekologi restorasi atau Society of
Ecological Restoration mengartikan ekologi restorasi sebagai upaya yang disengaja untuk melakukan percepatan
pemuliha suatu ekosistem (SERI, 2008). Dengan demikian jelas bahwa ekologi restorasi bertujuan untuk:

1) Merestorasi situs terlokalisasi yang terganggu atau rusak seperti bekas areal tambang
2) Untuk meningkatkan kemampuan produktivitas di lahan produksi yang terdegradasi
3) Memperkaya nilai-nilai konservasi alam di areal lanskap yang dilindungi
4) Merestorasi proses-proses ekologis di dalam suatu lanskap yang luas

Restorasi merupakan upaya memulihkan kawasan hutan yang mengalami kerusakan (degraded) atau
terganggu (disturbed) akibat aktivitas manusia atau gangguan alam. Dengan upaya restorasi, kemungkinan
pulihnya proses ekologi akan kembali, serta dengan upaya ini, ketahanan yang menjadi syarat berlangsungnya
pemulihan sistem dapat tercapai. Ekosistem yang membutuhkan restorasi umumnya adalah ekosistem yang telah
mengalami perubahan atau kerusakan akibat aktivitas-aktivitas manusia, baik secara langsung maupun tidak.
Dalam beberapa kejadian, dampak terhadap kerusakan ekosistem diperparah dengan terjadinya bencana alam
seperti kebakaran hutan, banjir, badai atau letusan gunung berapi yang mengakibatkan ekosistem tidak dapat lagi
dipulihkan seperti sediakala. Program restorasi berupaya memulihkan kembali ekosistem sebagaimana mulanya.
Oleh karena itu, mengetahui keadaan awal suatu ekosistem sangatlah diperlukan sebagai dasar perencanaa
program restorasi (Septyohadi, 2004).

Menurut Hartono (2001), ciri-ciri ekosistem terestorasi adalah:

1. Ekositem yang telah pulih berisi kumpulan karakteristik dari spesies-spesies yang terdapat dalam ekosistem
dan menjadi acuan bagi struktur masyarakat
2. Ekosistem yang telah pulih terdiri dari spesies endemik utama
3. Semua kelompok fungsional yang diperlukan untuk pengembangan lanjutan dan stabilitas ekosistem
dipulihkan haruslah terwakili, jika tidak, kelompok yang hilang berpotensi untuk dikuasai secara alami.
4. Lingkungann fisik dari ekosistem dipulihkan mampu mempertahankan populasi serta mereproduksi spesie-
spesies yan diperlukan untuk keberlanjutan atau pengembanhan sesuai keinginan
5. Ekosistem yang dipulihkan haruslah dapat berfungsi normal untuk tahap ekologi pembangunan.

2.2. Fungsi Ekosistem

Suatu sistem ekologi atau ekosistem pada dasarnya adalah suatu sistem pemrosesan energi dan
perputaran nutrien dengan unsur-unsur komponen ekosistem sebagai pelaku-pelakunya untuk waktu tertentu
dengan batas-batas sistem ekologi yang ditentukan oleh makluk hidup dan lingkungannya sendiri. Sebagai sistem
pemrosesan energi, ekosistem menerima asupan (input) energi, nutrien atau kebutuhan makluk hidup lainnya yang
berasal dari komponen abiotik dan komponen biotik.
Dari segi fungsional, ekosistem dapat dianalisa menurut:

a) Lingkaran Energi

Sesuai dengan azas pertama dari azas dasar ilmu lingkungan, yaitu semuaenergi yang memasuki
sebuah organisme hidup atau populasi atau ekosistem dapat dianggap sebagai energi yang tersimpan atau
terlepaskan. Energi dapat diubah dari suatu bentuk ke bentuk yang lainnya tetapi tidak dapat
hilang,dihancurkan, atau diciptakan.

b) Rantai Makanan

Rantai makanan merupakan perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri
organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhanherbivora- carnivora). Pada setiap tahap pemindahan
energi, 80 – 90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai
makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin
besar pula energi yang tersedia.

c) Pola Keanekaragaman Dalam Waktu Dan Ruang

Merupakan azas ketiga dari azas dasar ilmu lingkungan yaitu materi,energi, ruang, waktu dan
keanekaragaman, semuanya termasuk kategori sumber alam.

d) Perkembangan Dan Evolusi

Dapat didekati dengan azas ketiga belas dari azas dasar ilmu lingkungan, yaitu lingkungan yang
secara fisik mantap memungkinkan terjadinya penimbunan keanekaragaman biologi dalam ekosistem
yang mantap, yang kemudian dapat menggalakkan kemantapan populasi lebih jauh lagi.

e) Pengendalian (cybernetics)

Organisme menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik, akan tetapi organisme juga dapat embuat
lingkungannya menyesuaikan terhadap kebutuhan biologisnya, misalnya tumbuhan dapat mempengaruhi
tanah tempat tumbuhnya.

2.3 Struktur Ekosistem

Pada dasarnya struktur ekosistem adalah suatu uraian tentang makhluk hidup dan wilayah fisik, serta
lingkungannya bersama-sama dan penyebaran nutrien yang terdapat pada suatu habitat.
2.3.1. Komponen Abiotik

Hubungan ekologis antarkomponen ekosistem dalam suatu sistem ekologi pada umumnya
diperlihatkan dalam bentuk reaksi sifat-sifat fisiko-kimiawi, lingkungan sebagai hasil interaksi
antarkomponen ekosistem. Komponen abiotik suatu ekosistem adalah semua unsur-unsur dasar dari
habitat dan lingkungannya, yang mencakup tanah, air, udara, seperti oksigen dan karbondioksida, nitrat
dan fosfat, serta senyawa organik dan anorganik. Persenyawaan tersebut terdapat sebagai hasil proses
metabolisme atau proses dekomposisi makhluk hidup yang telah mati. Dalam komponen abiotik
termasuk pula faktor lingkungan fisik lain, yaitu radiasi sinar matahari atau iklim, seperti suhu udara,
curah hujan, kelembaban udara, dan angin. Energi radiasi sinar matahari merupakan energi yang
terbanyak yang diterima oleh tumbuhan-tumbuhan untuk proses fotosintesis.

Secara mendasar komponen abiotik, seperti O2, CO2 dan nutrien sebagian besar berasal dari hasil
pelapukan dan pengendapan bahan-bahan organik makluk hidup yang telah mati dan tidak aktif, bahan
organik atau nutrien yang terlarut dalam ekosistem akuatik. Semua bahan organik dan anorganik tersebut
merupakan bahan dasar yang diperlukan untuk daur nutrien (daur biogeokimiawi) dalam ekosistem.

Untuk tumbuh-tumbuhan diperlukan sejumlah unsur esensial yang menjadi nutrien utama. Tidak
semua unsur tersebut diperlukan oleh setiap jenis tumbuhan dalam kuantitas atau perbandingan yang
sama, tetapi semua tumbuh-tumbuhan akan membutuhkan sejumlah nutrien minimal untuk
pertumbuhannya, dan pada umumnya setiap jenis tumbuhan memerlukan sejumlah nutrien yang spesifik.

2.3.2 Komponen Biotik

Komponen biotik adalah semua komponen makluk hidup yang terdapat dalam ekosistem.
Komponen biotik dalam ekosistem, dapat dikelompokan dari segi perolehan sumber energi (jenjeng
makanan) dan segi strukturnya.

1. Dari segi perolehan sumber energi/ jenjang makanan (trophic level) komponen ekosistem terdiri
dari :
a) Komponen autotropik adalah komponen biotik yang terdiri dari tumbuhan hijau atau
fitoplankton, yaitu organisme yang mampu mensintesis makanannya sendiri berupa bahan
organik dan bahan anorganik sederhana dengan bantuan sinar matahari dan butir hijau
daun.
b) Komponen hijau tropic, adalah komponen biotik yang terdiri dari hewan, yaitu organisme
yang sumber makanannya diperoleh dari bahan-bahan organik yang dibentuk oleh
komponen autotrof, menyusunnya kembali dan menguraikan bahan-bahan organik
kompleks yang telah mati kedalam senyawa anorganik sederhana. Organisme heterotrof
dapat dibedakan juga kedalam kelompok biophage, yaitu organisme yang mengkonsumsi
organisme lain; dan saprophage, yaitu organisme pengurai bahan-bahan organik dari
organisme yang telah mati.

2. Segi struktur atau penyusun ekosistem terdiri dari 2 komponen, yaitu :


a) Komponen abiotik, meliputi: 1) senyawa anorganik, misalnya oksigen atau nitrogen, 2)
senyawa organik, misalnya karbohidrat, protein atau enzim; 3) habitat dan lingkungan,
misalnya tanah atau udara atmosfer;
b) Komponen biotik, meliputi: 1) produsen, misalnya tumbuhan hijau atau fitiplankton, 2)
konsumen, misalnya hewan atau manusia; biasanya makluk hidup yang tidak mampu
menghasilkan makanannya sendiri sebagai sumber energi untuk kehidupannya.
Berdasarkan sumber makanan yang dikonsumsi dapat dikelompokan organisme herbivora,
karnivora atau parasit. Organisme herbivora dan karnivora ini sering dinamakan pula
sebagai kelompok konsumen makro.
c) Pengurai atau dekomposer. Kelompok biota ini sebenarnya termasuk golongan konsumen
juga, tetepi sebagai sumber makanan untuk energi yang diperlukan diperoleh dari makluk
hidup yang telah mati dan mengalami dekomposisi, misalnya bakteri atau jamur.
Kelompok biota tersebut dinamakan pula dengan konsumen mikro atau sapotroph.

2.4 Study Kasus Restorasi Kawasan Bekas Area Tambang

Dalam merestorasi suatu ekosistem perlu dilakukan ‘diagnosa’ yang tepat sebelum melakukan tindakan.
Misalkan, tidak mungkin kita dapat merestorasi suatu kawasan di bekas areal tambang dengan hanya langsung
menanam bibit pohon di areal tersebut dan berharap pohon-pohon tersebut akan bekerja untuk kita merestorasi
kawasan tadi. Hal ini tidak mungkin terjadi apabila kondisi site atau tapak seperti kandungan unsur hara di dalam
tanah tidak mendukung pertumbuhan pohon atau tanaman lainnya karena sudah sangat terkontaminasi. Untuk itu
langkah awal untuk kasus seperti ini bukanlah dengan langsung melakukan penanaman, akan tetapi perbaikan
kondisi tapak. Hal ini memang bukanlah hal yang mudah seperti membalikkan telapak tangan, diperlukan kerja
keras dan penelitian bertahun-tahun sebelum ALCOA, sebuah perusahaan tambang di Australia mampu
merestorasi kawasan bekas tambangnya di Western Australia. Mengarahkan perubahan-perubahan vegetasi
(directing vegetation change). Setelah langkah diagnosa dan ternyata kondisi tapak memungkinkan untuk
melakukan manipulasi tumbuhan maka perlu dipertimbangkan langkah-langkah yang tepat untuk mengarahkan
vegetasi ke kondisi yang kita inginkan. Kebanyakan upaya restorasi mengambil suatu model biasanya adalah
kondisi ekosistem tersebut sebelum terdegradasi.

2.4.1 Study Kasus Restorasi Mangrove

2.4.1.1 Tujuan Restorasi Mangrove

Tujuan utama restorasi mangrove adalah mengelola struktur, fungsi, dan proses-proses ekologi
pada ekosistem tersebut, serta mencegahnya dari kepunahan, fragmentasi atau degradasi lebih lanjut.
Pada kondisi ini, homeostasis ekosistem secara permanen terhenti, sehingga menghambat proses sukses
sekunder secara normal untuk menyembuhkan area yang rusak. Tujuan restorasi lainnya adalah
memperkaya landskap, mempertahankan keberlanjutan produksi sumberdaya alam (khususnya perikanan
dan kayu), melindungi kawasan pantai, serta fungsi sosial. Tujuan restorasi perlu ditetapkan berdasarkan
masukan dari para pihak dan merupakan konsensus bersama, sehingga mendapat dukungan secara luas,
tanpa dukungan para pihak se tempat keberhasilan restorasi dalam jangka panjang sangat kecil.
Keuntungan restorasi komunitas mangrove meliputi: konservasi dan pengembalian spesies yang pernah
ada, spesies yang memiliki daerah jelajah luas, dan burung-burung migran; mendaur-ulang nutrien dan
menjaga keseimbangan nutrisi pada muara sungai; melindungi jaring-jaring makanan pada hutan
mangrove, muara, dan laut; menjaga habitat fisik dan tempat pembesaran anakan berbagai spesies laut
komersial; melindungi lahan dari badai, menjaga garis pantai, dan mengendapkan lumpur; meningkatkan
kualitas dan kejernihan air dengan menyaring dan menjebak sampah dan sedimen yang dibawa air
permukaan dari hulu sungai (Setyawan., dkk. 2004).

2.4.1.2 Permasalahan pada Ekositem Mangrove

Permasalahan yang terjadi pada ekosistem mangrove adalah kerusakan mangrove akibat ulah
atau aktivitas manusia dan alam. Faktor manusia merupakan faktor paling dominan penyebab keruusakan
mangrove yaitu dalam hal pemanfaatan lahan yang berlebihan, penebangan pohon mangrove secara
sembarangan, sedangkan faktor alam disebabkan banjir, tsunami, badai, abrasi dan hama tanaman.

Bersamaan dengan terjadinya kerusakan pada sebagian besar hutan mangrove di Indonesia yang
diawali dengan adanya degradasi luasan hutan, degradasi jenis, konversi hutan mangrove, eksploitasi dan
pemanfaatan hutan mangrove yang tidak sesuai dengan fungsi dan tujuannya serta kerusakan kondisi
biofisik ekosistem mangrove dan ekosistem sekitranya. Penurunan kualitas dan kuantitas hutan mangrove
mengakibatkan menurunnya kualitas biofisik ekosistem hutan mangrove dan lingkungan sekitarnya,
seperti abrasi pantai, hilangnya habitat burung, banjir dan menurunnya produktivitas perairan. Sehingga
ekosistem mangrove telah berubah ke tingkat tertentu sehingga tidak bisa lagi diperbaiki atau
memperbaharui diri sendiri.

2.4.1.3 Penanganan Kerusakan Ekosistem Mangrove

Penanganan yang dapat dilakukan dalam mengatasi kerusakan mangrove adalah dengan cara
mengadakan upaya restorasi dan rehabilitasi

Menurut Setyawan, dkk (2004), terdapat lima langkah penting bagi keberhasilan restorasi
mangrove yaitu:
1. Pemahaman autekologi setiap spesies mangrove, meliputi pola reproduksi, distribusi propagul, dan
pemantapan seedling.
2. Pemahaman pola hidrologi yang mempengaruhi distribusi, pemantapan, dan pertumbuhan spesies
mangrove yang diinginkan.
3. Pemahaman perubahan lingkungan yang dapat mencegah suksesi sekunder secara alami.
4. Restorasi sifat hidrologi, dan bila memungkinkan penggunaan propagul alami.
5. Penanaman dilakukan apabila jumlah rekruitmen alami tidak mencukupi untuk penyembuhan.

Proses restorasi dan rehabilitasi terhadap ekosistem mangrove dapat dilakukan dengan cara
berikut:
1. Pemilihan jenis mangrove untuk restorasi
Untuk pemilihan spesies mangrove untuk tujuan restorasi, urutan dan zonasi spesies
mangrove berhubungan dengan lapisan bawah dan salinitas yang diamati. Keseluruhan ditemukan
berkolerasi dengan data kandungan karbon untuk variasi spesies mangrove. Berdasarkan
pengamatan- pengamatan, kesesuaian spesies dipilih untuk restorasi mangrove. Mengetahui kondisi
distribusi hutan alam dan memperhatikan kondisi tempat tumbuhnya, misalnya tepi sungai dan tinggi
permukaan tanah dari permukaan laut dan mengobservasi kondisi di sepanjang tepi batas
penyebarannya.

Mengetahui ketersediaan benih yang diperlukan, beberapa jenis tumbuhan mangrove seperti
pada jenis Avicennia dan Rhizopora memiliki adaptasi anatomi yang dikenal dengan istilah secreter
dan nonsecreter, sistem perakaran yang khas serta struktur posisi daun yang khas dalam pengaruhnya
terhadap radiasi sinar matahari dan suhu yang tinggi. Tingkat salinitas yang berbeda berpengaruh
terhadap respon pertumbuhan tinggi maupun pertambuhan jumlah daun anakan Rhizopora
mucronata dan Avicennia marinapada umumnya diketahui bahwa respon pertumbuhan tinggi yang
baik diperoleh pada salinitas yang rendah dan pertambahan jumlah daun untuk jenis Avicenia marina
lebih baik pada tingkat salinitas yang lebih luas.

2. Teknik pembibitan benih untuk program restorasi

Bibit mangrove yang berkualitas merupakan salah satu faktor utama yang mampu menunjang
keberhasilan suatu kegiatan rehabilitasi. Penggunaan bibit berkualitas tinggi dan siap tanam
berpeluang tinggi terhadap pertumbuhannya di lapangan serta sebaliknya. Penyiapan bibit mangrove
sebaiknya menggunakan buah yang telah masak.

Suksesi alami akan bergantung pada tersedianya benih dari induk. Penyebaran biji spesies
pionir meliputi kawasan yang luas, dengan bantuan angin, air atau satwa sebagai agen penyebar.
Mereka dengan cepat mengkoloni tanah terbuka. Yang lebih sulit adalah menggalakan regenerasi
spesies klimaks. Mungkin memang ada regenerasi dari biji yang tersebar secara alami dari blok hutan
berdekatan, tetapi sering diperlukan perbanyakan secara buatan dan penyemaian tanaman.

3. Persepsi Masyarakat Sekitar Hutan Mangrove dan Kegiatan Restorasi

Persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang
menganggap bawha hutan mangrove merupakan sumber daya yang kurang berguna yang hanya
cocok sebagai tempat pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain, kegiatan
pembukaan tambak-tambak serta ketidaktahuan akan nilai alamiah yang diberikan oleh ekosistem
mangrove dan ketiadaan perencanaan untuk pembangunan secara integral menjadi ancaman yang
serius bagi ekosistem mangrove.
Partisipasi kelompok-kelompok tani dalam manajemen pengelolaan sangat menentukan
keberhasilan program restorasi mangrove. Sehingga masyarakat diwajibkan menjaga kelestarian
mangrove dan sebagai imbalannya mereka mendapatkan manfaat ekologi seperti perlindungan garis
pantai dan terjaganya biodiversitas ikan tangkapan mereka di laut. Partisipasi masyarakat merupakan
instrumen untuk mencapai tujuan tertentu (a means to an end), dimana tujuan dimaksudkan adalah
dikaitkan dengan keputusan atau tindakan yang lebih baik yang menentukan kesejahteraan manusia.
Interaksi antara manajemen sumberdaya pantai dengan bentuk sistem sosial secara langsung
membangun jaringan antara ekologis dan ketahanan sosial masyarakat.

4. Keterlibatan masyarakat setempat

Masyarakat setempat sebaiknya dilibatkan dalam pengawasan pemungutan hasil sumberdaya


dari cagar (dalam hal pemungutan hasil seperti berburu dan pengumpulan kayu bakar tidak
bertentangan dengan tujuan pengelolaan). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove atau
bahkan di dalam hutan mangrove, sudah seharusnya diperlakukan sebagai stakeholder utama dan
pertama dalam pengelolaan hutan. Tanpa komunikasi yang efektiv proyek konservasi akan relative
tidak signifikan . Kemitraan diantara stakeholders utama (pemerintah dan masyarakat) dalam
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan merupakan hal penting yang harus digalang untuk mencapai
pengelolaan dan pemanfaatan yang lestari dan berkelanjutan.

2.5 Ciri-Ciri Ekosistem yang Terestorasi

Ada beberapa kritera bahwa suatu ekosistem telah dikatakan pulih yaitu :

1. Ekosistem yang telah pulih berisi kumpulan karakteristik dari spesies yang terdapatdalam ekosistem dan
menjadi acuan bagi struktur masyarakat.
2. Ekosistem yang telah pulih terdiri dasi spesies endemik utama. Dalam ekosistem budaya yang dipulihkan,
dukungan dan adapat diberikan untuk spesies peliharaan eksotis serta untuk spesies ruderal dan segetal non-
invasif yang mungkin berevolusi secara bersama dengan spesies-spesies tersebut. Spesies ruderal adalah
tanaman yang menguasai area-area terganggu, sedangkan segetal biasanya tumbuh bercampur dengan
tanaman lain pada ekosistem tersebut.
3. Semua kelompok fungsional yang diperlukan untuk pengembangan lanjutan dan/atau stabilitas ekosistem
dipulihkan haruslah terwakili, jika tidak kelompok yang hilang berpotensi untuk dikuasai secara alami.
4. Lingkungan fisik dari ekosistem dipulihkan mampu mempertahahankan populasi serta mereproduksi spesies-
spesies yang diperlukan untuk keberlanjutan atau pengembangan sesuai keinginan.
5. Ekosistem yang dipulihkan haruslah dapat berfungsi normal untuk tahap ekologi pembangunan.
6. Ekosistem yang dipulihkan dapat diintegrasikan dengan baik ke dalam matriks ekologi yang lebih besar atau
bentang alam (lanskap), melalui pertukaran komponen-komponen abiotik dan biotik
7. Potensi ancaman terhadap kesehatan dan keutuhan ekosistem yang telaj dipulihkan dari lingkungan sekitarnya
hendaknya telah dihilangkan atau dikurangi sebanyak mingkin.
8. Ekosistem yang dipulihkan cukup tangguh untuk bertahan dari stress berkala normal dalam lingkungan lokal
yang berfungsi untuk menjaga integritas ekosistem.
9. Ekoasistem yang dipulihkan haruslah dapat mandiri setara dengan ekosistem yang menjadi acuan, dan
memiliki potensial untuk bertahan tanpa batas eaktu dalam kondisi lingkungan yang ada. Namun demikian,
aspek keanekaragaman hayati, struktur dan fungsi dapat berubah sebagai bagian dari pengembangan
ekosistem normal, dan dapat berfluktuasi dalam respon terhadap stress berkala normal dan gangguan skala
besar yang terjadi sesekali. Seperti dalamsetiap ekosistem utuh, komposisi jenis dan ciri-ciri lainnya dari
ekosistem yang dipulihkan dapat berkembang berubah sesuai dengan terjadinya perubahan kondisi
lingkungan.

2.6 Metode yang dilakukan pada estorasi ekologi

Kegiatan restorasi kawasan konservasi perlu dilakukan pada tanaman yang terindikasi terkena penyakit dari hama
dan gulma yang dilakukan pada areal yang telah mengalami kerusakan atau penurunan kualitas sumberdaya hutan. Untuk
menjaga kenekaragaman hayati pada kawasan tersebut maka perlu diupayakan agar kegiatan restorasi memanfaatkan
potensi keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan konservasi tersebut. Pendekatan metodologi restorasi pada
kawasan mangrove menurut Basyuni (2002), dapat diterapkan pada kawasan hutan konservasi sebagai berikut :

A. Mengumpulkan Informasi Mengenai Sejarah Kerusakan Lahan yang Akan Direstorasi

Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengetahui penyebab dari kerusakan hutan berasal dari
perbuatan manusia seperti pembukaan areal perladangan, kebakaran hutan atau karena adanya faktor alam.
Pengumpulan data dilakukan melalui kegiatan wawancara dengan pihak-pihak yang terkait serta melakukan
survey lapangan untuk mengetahui luas dan lokasi yang rusak ,selanjutnya data yang terkumpul dikelompokkan
sesuai dengan tujuan penelitian an dianalisa secara diskriptif dan statistik sederhana.

B. Mengidentifikasi Aspek Ekologi Vegetasi

Untuk mendapatkan data mengenai komposisi dan struktur serta distribusi vegetasi yang ada pada lokasi
dapat dilakukan dengan cara membuat Plot Sampling Permanen atau lebih dikenal dengan istilah PSP (Permanent
Sampling Plot). Permanent Sampling Plot (PSP) adalah alat atau tool yang sangat penting di dalam memonitor
perubahan-perubahan dan struktur dinamika hutan, pertumbuhan jangka panjang, yield dan data-data penting
lainnya dalam mengevaluasi model-model ekologi. Sedangkan dari aspek silvikultur PSP akan memberikan data
mengenai diameter dan riap volume juga dinamika struktur hutan. Hasil-hasil tersebut merupakan informasi yang
crucial bagi rencana restorasi atau pemulihan suatu habitat. Setelah pembangunan plot sampling permanen ini
selesai, akan didapatkan data yang bermanfaat untuk memonitor dinamika vegetasi di kawasan yang dipelajari.
Data- data tersebut seperti ; topografi plot, distribusi pohon di dalam plot, luas bidang dasar serta jumlah tiap jenis
pohon, indeks keanekaragaman, profil hutan, distribusi dbh, serta informasi tentang tumbuhan bawahnya (Suzuki
et.al., 1997).

C. Seleksi Jenis dan Species Kunci

Jenis yang dipilih merupakan jenis-jenis asli (endemik) yang terdiri dari beberapa spesies untuk menghindari
terjadinya monokultur. Jenis yang terpilih hendaknya memiliki permudaan alam yang melimpah atau ketersediaan
buah yang cukup banyak untuk dijadikan bahan tanaman. Informasi mengenai jenis yang harus diketahui antara
lain:
1) Termasuk jenis toleran atau intoleran;
2) tipe perakaran dalam atau dangkal; dan
3) tipe pertajukan.
Ketiga informasi tersebut sangat penting untuk mencegah adanya persaingan antar jenis yang merugikan,
setiap jenis mempunyai potensi pertumbuhan yang berbeda sehingga perlu adanya pengaturan ruang tumbuh
(jarak tanam) kaitannya dengan intensitas cahaya matahari (dominasi, toleransi). Pengaturan percampuran jenis
yang tidak tepat akan merugikan bagi perkembangan masing-masing tanaman. Spesies kunci merupakan suatu
spesies yang kehilangannya dari suatu ekosistem akan menyebababkan perubahan yang lebih besar dari rata-rata
terhadap populasi spesies lain atau proses-proses ekosistem.

D. Kondisi Tapak Penanaman

Keadaan tapak yang telah terbuka atau mengalami kerusakan menyebabkan perubahan keadaan tanah
sehingga perlu adanya perlakuan atau teknologi untuk menumbuhkan tanaman pada kondisi tanah yang berbeda
dengan aslinya. Oleh karena itu perlu diketahu informasi kondisi tapak penanaman yang meliputi tingkat
kesuburan dan kelimpahan mikroorganisme yang menguntungkan.

E. Pendekatan Regenerasi

Pendekatan regenerasi buatan termasuk dengan penanaman benih, sumber benih, seedling di areal bila
regenerasi alami tidak cukup, dengan memindahkan seedling ke lokasi yang baru, dan mengumpulkan benih yang
masak/sumber benih dan menanam langsung di tempat atau dimasukkan ke kebun benih dulu baru dipindahkan ke
lapangan. Keutungannya teknik ini adalah komposisi spesies dan penyebaran seedling dapat dikontrol, secara
genetik persediaan dapat ditingkatkan, dan hama di tapak lebih mudah dipulihkan

F. Seleksi Spesies dan Koleksi Biji

Seleksi pohon untuk penanaman biasanya ditentukan oleh tiga factor, yaitu: (1) kepentingan spesies yang
terjadi secara alami di lokasi tapak restorasi, (2) ketersediaan biji atau bahan perbanyakan, dan (3) objek dari
program restorasi yang akan dilakukan. Koleksi benih atau bahan perbanyakan tergantung pada tingkat
kematangan pohon. Idealnya, pohon-pohon darimana biji atau bahan perbanyakan diperoleh harus sehat dan
berkembang secara baik, dengan karakteristik tinggi, diameter dan tajuk. Sangat penting untuk mengetahui waktu
berbunga dan berbuah dari setiap spesies penyusun untuk memastikan kapan waktu pengumpulan biji terbaik.

Biji-biji atau bahan perbanyakan dapat dikumpulkan dari pohon-pohon atau dari jatuhan di bawah pohon.
Jika biji dikumpulkan dari pohon langsung maka dapat dikoleksi langsung sebagai benih. Akan tetapi jika biji
berasal dari jatuhan di bawah pohon, penting untuk dipastikan bahwa biji mempunyai bentuk radikel yang baik
dan tidak terserang oleh insek atau hama. Biji yang berasal dari jatuhan berpeluang untuk diserang oleh hama atau
jamur penyakit. Bahan perbanyakan yang akan diangkut ke jarak yang relatif jauh perlu diperhatikan tingkat
viabilitasnya.

G. Praktek Pembibitan

Pembibitan diperlukan apabila regenerasi dengan system penanaman langsung sulit dilakukan, atau jika bibit
yang dihasilkan perlu dipersiapkan perkembangannya sebelum dilakukan penanaman. Pada saat pembibitan sangat
dimungkinkan untuk melakukan perlakuan inokulasi dengan mikoriza yang diperoleh dari perbanyakan inokulum
yang diambil dari daerah disekitar kawasan yang akan direstorasi atau dari dalam hutan.

H. Penanaman

Penanaman menggunakan seedling yang dikembangkan dari kebun bibit maupun bagian dari tanaman
(propagule). Proses penanaman propagule yang dikoleksi dari hutan ataupun dari koleksi kebun benih

I. Pemeliharaan

Restorasi hutan yang rusak memerlukan pemeliharan yang tepat setelah dilakukan penanaman. Aktivitas
pemeliharaan yang wajar adalah pembebasan, penyiangan, penjarangan, penggantian tanaman (penyulaman).
Diperlukan juga pengendalian terhadap hama dan penyakit. Pencegahan dilakukan terhadap binatang yang dapat
mengaganggu tanaman.

J. Pemantauan

Tujuan daripada kegiatan ini adalah untuk :


1) mengetahui perubahan tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan;
2) mengetahui perubahan dan dinamika ekosistem hutan, dan
3) mengetahui pola regenerasi spesies tumbuhan dari segi ekologi.

2.7 Spesies Eksotik

Jenis eksotik adalah jenis-jenis yang bukan merupakan jenis asli di suatu daerah atau habitat (Widada et al. 2006).
Seluruh spesies di dunia ini tidak menyebar secara merata. Penyebaran spesies secara geografik dibatasi oleh
penghalang lingkungan. Iklim, pegunungan, laut, sungai, dan gurun merupakan contoh-contoh penghalang
tersebut. Iklim yang sangat berbeda antara berbagai tempat di belahan bumi juga akan menghalangi penyebaran
spesies. Misalnya iklim di Indonesia yang merupakan negara tropis sangat berbeda dengan iklim di negara-negara
Eropa yang mempunyai empat musim.

Kegiatan manusia baik secara sengaja maupun tidak, telah menyebabkan terjadinya perpindahan beribu-
ribu spesies ke tempat-tempat baru di dunia. Beberapa spesies eksotik ini mempunyai efek negatif terhadap
spesies-spesies lokal. Sebagian besar spesies eksotik tidak dapat bertahan di daerah barunya karena lingkungan
tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya, namun beberapa spesies lainnya dapat bertahan hidup, dan
bahkan membentuk koloni yang kuat di tempat baru tersebut. Kadangkala mereka mengalahkan spesies asli daerah
tersebut melalui kompetisi dalam memperebutkan makanan atau ruang hidup yang jumlahnya terbatas (Widada et
al. 2006).

Tumbuhan eksotik atau alien plant species, dibedakan atas dua kategori, yakni tumbuhan eksotik yang
tidak bersifat invasif dan tumbuhan eksotik yang bersifat invasif. Di Asia Tenggara banyak jenis tanaman yang
termasuk kategori jenis tumbuhan eksotik, seperti karet (Hevea brasiliensis), kelapa sawit (Elaeis guinensis), cabai
(Capsicum annum), jagung (Zea mays), kentang (Solanum tuberosum), dll. Namun tidak bersifat invasif sehingga
keberadaannya tidak menimbulkan ancaman kerusakan ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal yang ada
dalam satu areal. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo (2006) di Pulau Jawa ditemui tidak kurang dari 2.000
jenis tumbuhan eksotik dan beberapa diantaranya bersifat invasif.

Tumbuhan eksotik yang bersifat invasif atau lebih dikenal dengan invasif alien plant spesies (IAS) adalah
jenis tumbuhan yang tumbuh di luar habitat alaminya yang berkembang pesat dan menimbulkan gangguan dan
ancaman kerusakan bagi ekosistem, habitat dan jenis tumbuhan lokal dan berpotensi menghancurkan habitat
tersebut. Menurut Tjitrosemito (2004) dalam Utomo (2006) tumbuh-tumbuhan ini memiliki karakter yang
menyebabkannya mampu mendominasi kawasan tempat tumbuhnya, yaitu :

1. Pertumbuhan yang cepat.


2. Cepat mengalami fase dewasa, sehingga cepat menghasilkan biji.
3. Biji yang dihasilkan juga banyak, sehingga cepat mendominasi areal.
4. Metode penyebaran biji yang efektif.
5. Beberapa jenis tumbuhan eksotik tidak begitu memerlukan serangga penyerbuk karena dapat berkembang
secara vegetatif.
6. Mampu menggunakan penyerbuk lokal, sehingga dapat memproduksi biji.
7. Cepat membentuk naungan, produksi bunga lebih cepat daripada tumbuhan lokal, sehingga memberi
perlindungan dan pangan bagi penyerbuk bila sumber pangan dari jenis tumbuhan lokal belum tersedia.
8. Selain tajuk yang rapat, perakarannya juga banyak dan rapat, sehingga mendominasi perakaran di
sekitarnya.
9. Seringkali memiliki allelopathy yang menghambat pertumbuhan jenis lokal.
10. Bebas hama karena berada di luar habitat alaminya.

Spesies eksotik adalah suatu spesies yang sengaja atau tidak sengaja diangkut dan dilepaskan oleh
manusia ke lingkungan luar dari daerah asalnya. Spesies ini terdiri dari tanaman dan hewan yang dianggap
menjadi salah satu agen yang paling parah dalam hal perubahan habitat dan degradasi, spesies eksotik dianggap
sebagai salah satu penyebab utama hilangnya keanekaragaman hayati di dunia. Banyak spesies yang dilepaskan ke
lingkungan baru tanpa memperhatikan dampaknya. Pelepasan hewan peliharaan akuarium ke alam liar telah
banyak dilakukan oleh pemiliknya. Walaupun demikian, pemilik tersebut tidak bermaksud membuat populasi baru
tersebut di alam (McGinley, 2009).
Menurut McGinley (2009), dampak yang ditimbulkan dari spesies eksotik antara lain :

1. Habitat

Spesies eksotik dapat mengubah habitat dengan menghilangkan atau menambah vegetasi serta
mengubah kualitas air. Contohnya adalah tumbuhan air eceng gondok (Eichornia crassipes) yang merupakan
spesies tumbuhan eksotik yang dianggap sangat invasif di Indonesia. Homogenisasi vegetasi akuatik akibat
invasi eceng gondok diprediksi memiliki pengaruh terhadap komunitas serangga yang berasosiasi dengan
tumbuhan tersebut. Akibat keberadaan eceng gondok dapat menurunkan kekayaan dan keanekaragaman
spesies Hymenoptera parasitoid. Dominasi spesies invasif tersebut juga dapat menyebabkan pendangkalan
perairan di sekitarnya (Sapdi, 2009).

2. Parasit dan Penyakit


Bakteri, virus dan parasit yang dibawa oleh spesies eksotik merupakan ancaman bagi organisme asli.
Contohnya adalah kura-kura Brazil (Trachemys scripta elegans) yang merupakan spesies asli dari Amerika
Serikat bagian selatan telah menjadi spesies eksotik di China. Kura-kura Brazil terdaftar sebagai spesies
eksotik karena membawa bakteri patogen Salmonella (Shen dkk., 2011).

3. Perubahan Rantai Makanan

Kegiatan makan dari suatu spesies eksotik dapat mengubah ketersediaan sumber makanan bagi spesies
asli. Contohnya adalah introduksi ikan Mujair (Oreochromis mossambicus) pada tahun 1951 mengakibatkan
punahnya ikan endemik seperti ikan moncong bebek (Adrianichthys kruyti) dan Xenopoecilus poptae dari
danau Poso. Ikan introduksi mampu memenangkan persaingan dalam mencari makan dengan ikan asli,
sehingga populasi ikan asli menurun bahkan punah (Wargasasmita, 2005).

4. Hilangnya spesies endemik

Persaingan untuk mendapatkan makanan dan ruang dapat mengakibatkan kepunahan spesies endemik
terkait menempati habitat yang sama. Predasi pada spesies asli oleh spesies eksotik juga menjadi masalah.
Contohnya adalah Brown tree snakes (Boiga irregularis) yang merupakan ular berbisa menengah asli dari
Indonesia bagian timur, Papua Nugini, Pulau Solomon dan Australia bagian utara. Ular ini sengaja
diperkenalkan ke Pulau Guam pada tahun 1950-an dan telah menyebar di seluruh pulau. Kehadiran Boiga
irregularis berdampak negatif terhadap spesies burung yang ada di Pulau Guam karena burung tersebut
merupakan mangsa yang mudah didapatkan, ditambah dengan fakta bahwa burung tidak memiliki pertahanan
untuk melindungi diri mereka dari predator karena tidak ada spesies ular asli dari Pulau Guam (Amand,
2000).

5. Hibridisasi

Spesies eksotik dapat melakukan perkawinan dengan spesies lokal, sehingga terjadi hibridisasi dengan
spesies asli. Contohnya adalah ikan introduksi Salmo trutta dengan Salmo marmoratus ikan endemik di
beberapa sungai yang termasuk DAS Adriatik di Eropa. Hampir satu abad setelah introduksi Salmo trutta,
ikan endemik dapat hidup bersama dengan ikan hibrid dan ikan introduksi, tetapi populasi ikan endemik jauh
berkurang, bahkan ada yang punah (Wargasasmita, 2005).

2.7.1 Tanaman
(sumber : Nia Rahmania I & NLP. Indriyani)

Kebanyakan tanaman eksotik yang menimbulkan problem lingkungan sekarang ini adalah diintroduksi
secara tidak sengaja, misalnya mendompleng melalui benih tanaman lain yang didatangkan. Tanaman eksotik
yang tidak dikehendaki di bidang pertanian dan kehutanan dinamakan gulma. Mikania micrantha diintroduksi ke
Indonesia sebagai tanaman penutup tanah (cover crop) di perkebunan. Dewasa ini spesies ini telah menjadi gulma
yang penting.

Acacia nilotica menjadi tanaman yang sangat agresif perkembangannya di Taman Nasional Baluran
sehingga mendesak ruang tumbuh bagi spesies lain; spesies ini diintroduksi pertama kali dari Afrika sebagai
tanaman pagar.

Eceng gondok tumbuh sangat cepat di sungai-sungai dan danau. Spesies ini awalnya diintroduksi sebagai
tanaman ornamental. Penggembalaan di California meningkatkan penyebaran Artichoke thistle; tumbuhan seperti
bambu ini berasal dari daerah Mediteranian yang dibawa oleh misionaris Spanyol untuk konstruksi. Sekarang
telah menutup ribuan hektar bantaran sungai dan mengeliminasi tumbuhan asli, serta menciptakan habitat alami
untuk tikus. Biaya untuk mengeliminasinya diperkirakan sebesar $ 20 juta.

2.7.2 Binatang
Transfer binatang yang paling destruktif dan mahal dari satu negara ke negara lain adalah kelinci ke
Australia. Pertama kali diintroduksi oleh seorang tuan tanah kaya, Thomas Austin, yang kangen akan binatang-
binatang dari tanah airnya, Inggris. Austin membawa beberapa dosin kelinci tahun 1859 dan melepaskannya di
negara bagian Victoria. Kelinci ini beranak pinak, dan menjadi binatang buruan bagi Austin. Enam tahun
kemudian ia menaksir telah membunuh 20.000 ekor dan masih ada 10.000 ekor lagi. Kelinci akhirnya menyebar
ke seluruh kontinen Australia, perburuan kelinci menjadi populer, daging dan kulit kelinci menjadi komoditi
ekspor bagi Australia. Populasi kelinci bertambah cepat karena tidak adanya predator (serigala) seperti di Eropa.
Predator yang ada, dingo (sejenis anjing) telah dikendalikan populasinya oleh peternak biri-biri.

Dalam 50 tahun kelinci telah menyebar ke seluruh Australia kecuali di bagian utara yang beriklim tropis,
dan populasinya demikian padat sehingga memakan setiap rumput yang ada dan mematikan semak dan pohon
dengan memakan kulitnya. Kelinci juga menginvasi ladang penggembalaan biri-biri menjadi lahan yang tak
produktif, menurunkan produksi wol menjadi setengahnya. Akhirnya, kelinci dinyatakan sebagai musuh, yang
diburu dan dibunuh. Pemerintah menyediakan hadiah bagi yang mengumpulkan ekor kelinci, dan jutaan ekor telah
dikumpulkan.

Tetapi sangat sulit untuk menangkap semuanya. Pada tahun 1902-1907 pagar sepanjang 2.000 mil
dibangun, bernilai jutaan dolar, untuk menghentikan kelinci memasuki daerah penanaman gandum. Kelinci
akhirnya mati kelaparan dan bangkainya menumpuk di salah satu sisi pagar, sedangkan rumput di sisi pagar yang
lain tumbuh hijau untuk sementara waktu. Tetapi, kemudian beberapa ekor kelinci berhasil menerobos pagar dan
memulai siklusnya lagi di sisi lain dari pagar.

Dewasa ini ‘Pagar Kelinci’ menandai batas yang jelas antara vegetasi asli yang dikonversi untuk pertanian
dan hutan yang masih asli. Perubahan pola vegetasi ini merupakan fitur buatan manusia di Australia yang telihat
dari ruang angkasa, dan nampaknya menyebabkan perubahan pola curah hujan. Solusi potensial untuk mengatasi
masalah kelinci ditemukan dengan mendatangkan virus yang menyebabkan penyakit yang dinamakan
myxomatosis. Virus ini diketemukan di kelinci Brazil dan hanya menyebabkan sakit ringan, tetapi mematikan bagi
kelinci Eropa. Virus ini disebarkan melalui nyamuk dan kutu kelinci. Ini diintroduksi ke Australia tahun 1950 dan
menyebar sangat cepat. Jutaan kelinci mati dan lahan mulai menghijau kembali.

Posum merupakan binatang eksotik yang paling destruktif di Selandia Baru. Binatang ini diintroduksi ke
Selandia Baru dari Australia untuk industri bulu binatang (fur) tahun 1837. Sampai tahun 1937 posum telah
diintroduksi ke 450 lokasi. Populasinya meningkat cepat di luar kendali mencapai 70 juta dan dideklarasikan
sebagai musuh masyarakat nomor satu. Posum merusak tajuk tumbuhan, menyebabkan kehilangan habitat dan
mematikan spesies burung asli.

2.4.3 Manfaat eksotik

Apa yang telah disampaikan di atas adalah beberapa contoh eksotik yang memberikan dampak negatif
pada habitat yang baru, terutama bila populasinya tidak terkendali. Tetapi, spesies eksotik juga memberikan
manfaat positif yang tidak kalah pentingnya bagi manusia.
2.4.3.1 Tanaman

Banyak tanaman yang dibudidayakan oleh manusia adalah eksotik. Di Indonesia tanaman penghasil bahan
makanan dan komoditas lainnya kebanyakan adalah eksotik:

Spesies Asal
Jagung Meksiko
Katela pohon Amerika Tengah
Lombok Amerika Tengah
Kacang tanah Amerika Tengah
Kedelai Mansuria
Karet Amireka Tengah
Kentang Amerika Selatan
Tomat Amerika Selatan
Kakao Afrika barat
Kopi Etiopia
Teh India,China
Tembakau Amerika Utara
Sawit Afrika Barat
Mangga India
Advokat Amerika Tengah
Pepaya Amerika Tengah
Jati India
Mahoni Amerika Tengah
Lamtoro Amerika Tengah
Sonokeling India
Asam India

Banyak spesies tanaman hutan yang sangat produktif di berbagai negara merupakan spesies eksotik:

Spesies Negara Asal spesies


Pinus radiata Selendia Baru, California
Australia, Chili
Pinus caribaea Australia Karbia, Hounduras,
Peru
Eucalyptus urophylla Brazil Nusa Tenggara TImur
Eucalyptus grandis Brazil, Afrika Selatan Australia
Kiwi Selendia Baru China
Macademia Australia ?
2.8 Pengertian Reklamasi

Menurut UUD[1], definisi reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka
meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara
pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Reklamasi dapat juga didefinisikan sebagai aktivitas penimbunan
suatu areal dalam skala relatif luas hingga sangat luas di daratan maupun di areal perairan untuk suatu keperluan
rencana tertentu.

2.8.1 Manfaat Reklamasi

Reklamasi daratan umumnya dilakukan dengan tujuan perbaikan dan pemulihan kawasan berair
yang rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat]. Kawasan ini dapat dijadikan lahan

1. Perluasan Lahan

Bagi negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, reklamasi dapat digunakan untuk
mengatasi kendala keterbatasan lahan, yang nantinya dapat dimanfaatkan menjadi lahan pemukiman
yang baru. Manfaat reklamasi pantai di sini adalah tanah diperoleh tanpa melakukan penggusuran
penduduk.

2. Memperbaiki Kondisi Lahan[3]

Manfaat reklamasi selanjutnya adalah menjadikan kawasan berair atau lahan tambang yang
rusak atau tak berguna menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut biasanya
dimanfaatkan untuk kawasan pemukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pertanian, serta objek
wisata.

Selain kedua keuntungan diatas, reklamasi yang dilakukan dengan perencanaan yang matang
dapat menghasilkan berbagai manfaat positif, seperti[4]:

1) Daerah yang dilakukan reklamasi menjadi terlindung dari erosi karena konstruksi pengaman sudah
disiapkan sekuat mungkin untuk dapat menahan gempuran ombak laut.
2) Daerah yang ketinggiannya di bawah permukaan air laut bisa terhindar dari banjir apabila dibuat
tembok penahan air laut di sepanjang pantai.
3) Tata lingkungan yang bagus dengan peletakan taman sesuai perencanaan dapat berfungsi sebagai
area rekreasi yang sangat memikat pengunjung. Hal ini bisa membuka mata pencaharian baru bagi
warga sekitar.
4) Pesisir pantai yang sebelumnya rusak, menjadi lebih baik dan bermanfaat.

2.8.2 Dampak Reklamasi

Seperti aktivitas pada umumnya, pro dan kontra juga terjadi pada pelaksanaan reklamasi. Sebelum
reklamasi dilakukan, ada beberapa hal yang patut menjadi pertimbangan:

1. bagaimana reklamasi dapat bermanfaat dan memperbaiki lingkungan, dan bukannya merusak.

2. Persiapan untuk menjaga biota laut dari efek samping yang mungkin muncul dalam proses
pembangunan.

3. melibatkan masyarakat setempat.

Tanpa persiapan yang matang, daerah reklamasi rawan terkena dampak negatif, seperti[4]:
1. Peninggian muka air laut karena area yang sebelumnya berfungsi sebagai kolam telah berubah
menjadi daratan.
2. Akibat peninggian muka air laut maka daerah pantai lainnya rawan tenggelam. Setidaknya, air asin
laut yang naik ke daratan membuat banyak tanaman yang mati, mematikan area persawahan dari
fungsi untuk bercocok tanam. Hal ini banyak terjadi di wilayah pedesaan pinggir pantai.
3. Akibat sejenis dari point kedua di atas adalah cepatnya peninggian muka air di lokal luar areal lahan
reklamasi juga rawan tenggelam karena air hujan yang semestinya cepat sampai ke laut menjadi
tertahan oleh daratan reklamasi sehingga juga mengalami banjir perkampungan pantai.
4. Rusaknya tempat hidup hewan dan tumbuhan pantai sehingga keseimbangan alam menjadi
terganggu. Apabila gangguan dilakukan dalam jumlah besar maka dapat memengaruhi perubahan
cuaca serta kerusakan planet Bumi secara signifikan

Namun dengan penanganan yang tepat, dampak negatif reklamasi pantai umumnya tidak bersifat
permanen atau bahkan mungkin tidak akan terjadi.

2.8.3 Proses dan Metode Reklamasi

1. Sistem Timbunan

Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas
muka air laut tinggi (high water level). Sistem timbunan dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) Hydraulic-
fill: Tanggul dibuat terlebih dahulu, kemudian baru dilakukan pengurugan, atau (2) Blanket-fill: Tanah
diurug terlebih dahulu, kemudian baru tanggul dibangun/dibuat dalam galian pada tepi.[6].

2. Sistem Polder

Reklamasi dilakukan dengan cara mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan
memompa air yang berada di dalam tanggul kedap air untuk dibuang keluar dari daerah lahan reklamasi.
Lahan polder dibagi menjadi berpetak-petak, dengan parit-parit untuk mengalirkan air menuju parit
utama, yang kemudian dipompa ke dareah yang lebih tinggi dan dibuang ke laut. Bangunan tanggul dibuat
di sekeliling lahan polder untuk melindungi lahan polder tersebut agar air tidak masuk ke daerah tersebut.
Metode ini dapat digunakan dengan menggunakan backhoe dredger dan cutter suction dredger.

3. Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan

Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan, yaitu setelah lahan
diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga
perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut tidak besar.

4. Sistem Drainase

Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah di
sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi dari elevasi muka air laut.

2.9 Rehabilitasi Hutan dan Lahan

Rehabilitasi lahan merupakan suatu usaha memperbaiki, memulihkan kembali dan meningkatkan kondisi
lahan yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal baik sebagai unsur produksi, media pengatur tata air,
maupun sebagai unsur perlindungan alam dan lingkungannya (Wahono, 2002 : 3).
Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999, Rehabilitasi Hutan dan Lahan
dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatan fungsi hutan dan lahan sehingga daya
dukung, produktifitas dan peranannya dalam mendukung sistem keidupan tetap terjaga. Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan diselengaarakan melalui kegiatan Reboisasi , Penghijauan , Pemeliharaan , Pengayan tanaman,
atau Penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis pada lahan kritis da tidak produktif.
Menurut Supriyanto (1996 : 1) Kegiatan reboisasi dan penghijauan pada umunya dilakukan pada tanah kritis dan
areal bekas pembalakan. Kedua kegiatan tersebut memerlukan bibit dalam jumlah besar dan berkualitas baik.

2.9.1 Perlindungan Hutan dan Konservasi Sumber Daya Alam

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1985, Kegiatan Perlindungan Hutan bertujuan
untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi fungsinya. Untuk mencapai tujuan tersebut,
dilakikan segala usaha, kegiatan dan tindakan untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan hasil
hutan yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya alam, hama dan penyakit, serta
untuk memprtahankan dan menjaga hak – hak negara atas hasil hutan.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 1997, Konservasi Sumber Daya
Alam adalah pengelolaan sumber daya alam tak dapat diperbaharui untuk menjamin pemanfaatannya
secara bijaksana dan dapat diperbaharui untuk menjamin kesinambungan ketersediaannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Di dalam Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1990, pengertian tentang
Konservasi sumber daya alam di atas lebih dipersingkat menjadi Pengelolaan sumber daya alam hayati
yang pengelolaannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungn persediaannya dengan
tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Menurut Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999, penyelenggaraan


perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan dan lingkungannya agar fungsi lindung,
fungsi konservasi dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan dan
kawasan hutan merupakan usaha untuk :

a. Mencegah dan membatasi kerusakan hutan dan kawasan hutan dan hasil hutan yang
disebabkan oleh manusia, ternak, kebakaran, daya – daya alam, hama serta penyakit

b. Mempertahankan dan menjaga hak – hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan,
hasil hutan, inventarisasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Daftar Pustaka

Auliyani, D., Boedi, H dan Kismartini. 2013. Pengaruh Rehabilitasi Mangrove Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi
Masyarakat Pesisir Kabupaten Rembang. ISBN 978-602-17001-1-2 317. Universitas Diponegoro. Semarang.
Basyuni, M. 2002. Panduan Restorasi Hutan Mangrove Yang Rusak (Degrated). Universitas Sumatera Utara. Medan.
Gunawan H, Heriyanto MM, Sihombing VS, Karlina E. 2013b. Kajian Model Restorasi Ekosistem Kawasan
Konservasi. Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor
Gunawan H, Mukhtar AS, Sihombing VS, Riyanti A. 2012. Kajian Model Restorasi Ekosistem Kawasan Kons ervasi.
Laporan Akhir Penelitian Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Bogor.
Gunawan. 2004. Manfaat Hutan Mangrove. Universitas Sumatera Utara. Medan
Hartono, N. 2001. Program Rehabilitasi Pesisir Deyah Raya Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Penanaman
Mangrove. Concervation International. Jakarta.
Machmud, Muhammad.2001. Teknik Penyimpanan dan Pemeliharaan Mikroba. Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman
Pangan, Bogor. Buletin AgroBio 4(1):24-32.
Melgoza RM, A Cruz and G Bultron 2004. Anaerobic- Aerobic Treatment of Colorants Present in Textile Effluents. Water
Sci. Technol. 50, 149-155.
Odum EP. 1994. Fundamentals of Ecology, Third Edition. Samingan T. (terj.). Gadjah Mada Univ ersity Press.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai