Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hydrothermal Treatment

Hydrothermal carbonization (HTC) yang lebih dikenal dengan hydrothermal

treatment adalah teknik konversi bahan secara termokimia dimana dalam prosesnya

menggunakan air subcritical sebagai media untuk reaksi konversi biomassa basah.

Hydrothermal treatment dilakukan pada temperatur diatas 180oC dan pada tekanan

yang cukup untuk memastikan air berada dibawah tekanan atmosfernya. Waktu reaksi

yang diperlukan untuk proses ini adalah 1 menit hingga beberapa jam, meskipun

sebagian besar reaksi terjadi setidaknya pada 20 menit pertama (Reza, 2011). Zat

aditif seperti asam dan basa dapat menimbulkan efek pada pembentukan produk.

Biomassa basah dan air diperlukan dalam proses hydrothermal treatment. Keduanya

bertindak sebagai reaktan dan solven. Air sebagai solven menunjukkan perbedaan

sifat fisika dan kimia berdasarkan kondisi operasinya. Pada temperatur diantara

227oC dan 327oC, air dapat bersifat asam maupun basa karena ion-ion terbentuk

secara maksimal. Selain itu, konstanta dielektrik air akan meningkat pada temperatur

tersebut, maka air bertindak sebagai solven non-polar. Pada hydrothermal treatment,

selulosa dan hemiselulosa dihidrolisis menjadi oligomer dan monomer, meskipun hal

ini tidak terjadi pada lignin. Produk padat, biochar akan mengalami reduksi

kandungan uapnya. Produk dari hydrothermal treatment akan menyerupai pellet dan

dapat digunakan sebagai bahan bakar seperti batubara pada pembangkit listrik.

6
7

Produk cair yang terbentuk juga dapat difraksinasi dengan cara ekstraksi

menggunakan solven organik yang bersifat non-polar.

2.2 Biochar

Biochar adalah bahan dengan kandungan senyawa karbon yang sangat kaya dan

memiliki densitas energi yang tinggi. Biochar merupakan hasil degradasi termal dari

senyawa-senyawa organik seperti kayu dan limbah-limbah pertanian. Struktur biochar

yang tidak berserat dan nilai kalor yang tinggi hampir sama dengan sifat batubara.

Sifat ini membuat biochar menjadi kandidat pengganti bahan bakar padat (Kumar,

2010). Biochar memiliki resistensi yang tinggi terhadap dekomposisi dan memiliki

efek positif terhadap kesuburan tanah. Pirolisis dan hydrothermal treatment adalah

dua proses utama yang dapat dilakukan untuk memproduksi biochar. Produksi

biochar dengan pirolisis memerlukan biomassa dengan kualitas yang tinggi,

disamping itu proses ini juga mengakibatkan pencemaran udara yang wajib menjadi

perhatian. Hydrothermal treatment dinilai lebih ramah lingkungan karena digunakan

air sebagai pelarutnya. Selain prosesnya sederhana, hydrothermal treatment juga

memiliki beberapa kelebihan yaitu, tidak memerlukan biomassa dalam kondisi kering

dan hasilnya dapat dengan mudah dilakukan penyaringan.

Biomassa sebagai bahan baku mengandung 40-60% oksigen. Penghilangan

kandungan air dari biomassa adalah hal penting yang harus dilakukan untuk

menaikkan densitas energi selama produksi biochar. Proses pengurangan kadar

oksigen ini dapat dilakukan dengan cara dehidrasi yaitu penghilangan kadar oksigen

dari air dan dekarboksilasi dimana penghilangan kadar oksigen dari dalam bentuk
8

karbon dioksida. Secara termodinamika, air adalah senyawa yang dapat teroksidasi

sempurna dan tidak memiliki nilai kalor sisa. Selain itu, air dapat bertindak sebagai

penghantar yang ideal selama reaksi. Meskipun air berada dalam kadar yang berlebih,

reaksi dehidrasi dari biomassa tetap berjalan pada kondisi peningkatan suhu dan

temperatur (Peterson, 2008).

2.3 Kandungan Biomassa Lignoselulosa

2.3.1 Selulosa

Selulosa adalah senyawa seperti serabut, liat, tidak larut di dalam air, dan

ditemukan di dalam dinding sel pelindung tumbuhan, terutama pada tangkai, batang,

dahan, dan semua bagian berkayu dari jaringan tumbuhan. Kayu terutama terbuat dari

selulosa dan senyawa polimer lain. Selulosa tidak hanya merupakan polisakarida

structural ekstrasellular yang paling banyak dijumpai pada dunia tumbuhan, tetapi

juga merupakan senyawa yang paling banyak di antara semua biomolekul pada

tumbuhan dan hewan (Lehninger, 1982).

Selulosa merupakan polisakarida dari β-D-glukosa, dan semua residunya

dihubungkan dengan ikatan β (1,4) glikosidik. Selulosa memiliki ikatan hidrogen

dimana ikatan ini membantu mempertahankan dan menguatkan konformasi linear

dari rantainya. Derajat polimerisasi dari selulosa kira-kira 10.000 hingga 15.000 unit

monomer glukopiranosa pada kayu dan kapas (Acharjee,2010).


9

Gambar 2.1. Struktur Selulosa (Acharjee,2010)

2.3.2 Hemiselulosa

Hemiselulosa terdiri dari unit-unit monosakarida yang berbeda. Rantai polimer

dari hemiselulosa memiliki cabang-cabang yang pendek dan berbentuk amorf.

Struktur morfologi amorf membuat hemiselulosa larut atau sedikit larut dalam air.

Ikatan pada rantai-rantai hemiselulosa dapat berupa homopolimer maupun

heteropolimer. Homopolimer adalah polimer dari hemiselulosa yang terdiri dari unit-

unit gula yang sama, sedangkan heteropolimer adalah campuran dari gula-gula yang

berbeda. Struktur dari komponen gula hemiselulosa ditunjukkan pada Gambar 2.2.
10

Gambar 2.2. Struktur Gula dari Hemiselulosa (Kumar, 2010)

Hemiselulosa yang terkandung pada hardwood utamanya adalah xilan (15-

30%) yan terdiri atas unit-unit xilosa yang dihubungkan oleh ikatan β-(1,4)-glikosida

dengan percabangan berupa unit asam 4-0-methylglucuronic dan ikatan α-(1,2)-

glikosida. Gugus O-asetil terkadang menggantikan gugus OH pada posisi C2 dan C3.

Pada softwood kandungan hemiselulosa terbesar adalah galaktoglukomanan (15-

20%), xilan (7-10%), dan gugus asetil. Xilan pada softwood memiliki cabang berupa

unit arabiofuranosa yang dihubungkan oleh ikatan α-(1,3)-glikosida (Chemin, 2015).


11

Gambar 2.3. Contoh Struktur Kimia Hemiselulosa O-acetyl-4-0-

methylglucuronoxylan (Chemin, 2015)

2.3.3 Lignin

Lignin adalah substansi polifenolik yang memiliki struktur tiga dimensi dan

memiliki banyak cabang. Lignin memiliki struktur yang tidak beraturan dan ikatan

yang bervariasi seperti hidroksil dan metoksi yang menggantikan unit fenilpropilen.

Lignin pada umumnya berasosiasi dengan selulosa dan hemiselulosa membentuk

biomassa lignoselulosa. Struktur lignin ditunjukkan seperti gambar berikut:

Gambar 2.4. Struktur Lignin (Acharjee, 2010)

2.4 Karakterisasi Serbuk Gergaji Kayu Jati

Serbuk gergaji terdiri dari selulosa, lignin, dan hemiselulosa sebagai

penyusunnya. Serbuk gergaji yang merupakan representasi dari biomassa

lignoselulosa mengandung 50-40 wt% selulosa, 32-25 wt% hemiselulosa, dan 30-20

wt% lignin (Sinag, 2009). Diantara ketiga komponen penyusun serbuk gergaji, lignin
12

memiliki sifat paling mudah didegradasi dan dilikuifikasi dalam air dalam autoclave

batch. Konversi lignin dan komponen turunannya terjadi pada suhu yang tinggi.

Meskipun penelitian (Saisu, 2003) menunjukkan hasil lain, yaitu bahwa reaksi

dekomposisi juga dapat terjadi pada temperatur yang rendah. Dekomposisi dari lignin

menjadi komponen kimia dengan berat molekul yang rendah terjadi menggunakan

reaksi hidrolisis dan dealkilasi dalam kondisi air superkritis. Komponen dengan berat

molekul yang lebih besar terbentuk melalui reaksi cross-link dimana komponen

tersebut memiliki kontribusi dalam pembentukan bahan bakar padat (Sinag, 2009).

Kayu jati memiliki nama botani Tectona grandits. Di Indonesia kayu jati

memiliki berbagai jenis nama daerah yaitu delek, dodolan, jate, jatih, jatos, kiati,

kulidawa, dll. Kayu ini merupakan salah satu kayu terbaik di dunia. Pohon jati

tumbuh baik pada tanah sarang terutama tanah yang mengandung kapur pada

ketinggian 0-700 m di atas permukaan laut, di daerah dengan musim kering yang

nyata dan jumlah curah hujan rata-rata 1200-2000 mm per tahun. Pohon jati banyak

terdapat di seluruh Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara Barat, Maluku, dan Lampung.

Pohon jati dapat tumbuh mencapai tinggi 45 m dengan panjang batang bebas cabang

15-20 m dan diameter batang 50-220 mm dengan bentuk batang beralur dan tidak

teratur.

Kayu jati memiliki serat yang halus dengan warna kayu mula-mula sawo

kelabu, kemudian sawo matang apabila lama terkena cahaya matahari dan udara.

Serat kayu memiliki arah yang lurus dan kadang-adang terpadu, memiliki panjang

serat rata-rata 1316 mikro dengan diameter 24,8 mikro dan tebal dinding 3,3 mikro.
13

Struktur pori sebagian besar soliter dalam susunan tata lingkaran, memiliki diameter

20-40 mikro dengan frekuensi 3-7 per mm 2. Karena sifat-sifatnya yang baik, kayu jati

merupakan jenis kayu yang paling banyak dipakai untuk berbagai keperluan. Sifat-

sifat kayu jati secara lengkap dapat dilihat pada tabel 2.1. Pada industri pengolahan

kayu, jati diolah menjadi kayu gergajian, plywood, blackboard, particleboard, mebel,

dan sebagainya.

Tabel 2.1 Sifat-sifat Kayu Jati (Anonim. 1991)

Sifat Satuan Nilai


Berat Jenis kg/m2 0,62-0,75 (rata-rata 0,67)
Modulus elastik kg/mm2 127.700
Kadar selulosa % 47,5
Kadar lignin % 29,9
Kadar pentose % 14,4
Kadar abu % 1,4
Kadar silika % 0,4
Serabut % 66,3
Kelarutan dalam alkohol % 4,6
Kelarutan dalam air dingin % 1,2
Kelarutan dalam air panas % 11,1
Kelarutan dalam NaOH 1% % 19,8
Kadar air saat titik jenuh serat % 28
Nilai kalor kal/gram 5081
Kerapatan kal/gram 0,44
14

2.5 Karakterisasi Tongkol Jagung

Tanaman jagung (Zea Mays L.) dalam tata nama atau sistematika (taksonomi)

tumbuh-tumbuhan dimasukkan dalam klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Plantae (tumbuh-tumbuhan)

Divisio : Spermatophyta (tumbuhan berbiji)

Sub Divisio : Angiospermae (berbiji tertutup)

Classis : Monocotyledonae (berkeping satu)

Ordo : Graminae (rumput-rumputan)

Familia : Graminaceae

Genus : Zea

Species : Zea mays L.

Di daerah Aceh dan Sunda, jagung biasa disebut dengan jagong, sedangkan di

Sumba disebut wataru, di Sulawesi disebut dengan wokan, di Ternate disebut dengan

kastela. Khusus di daerah Jawa dan Bali serta Kalimantan disebut dengan jagung

(Warisno, 1998).

Tongkol jagung merupakan suatu sumber energi termal yang berlimpah-limpah

untuk memproduksi panas, energi, dan bahan bakar. Sejarah membuktikan bahwa

tongkol jagung dapat digunakan untuk berbagai fungsi tertentu dengan memodifikasi

sifat fisika dan sifat kimia dari limbah tongkol jagung tersebut. Sebagai contoh

perusahaan Andersons yang berlokasi di Indiana memiliki suatu proses panjang

dimana tongkol jagung dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan agrokimia


15

maupun aplikasi secara komersial seperti untuk absorben, karbon aktif, bahan aditif,

bahan baku untuk industri petrokimia (xylitol, furfural, dan asam oksalat), substrat

fermentasi, pupuk, sumber serat makanan, pembawa zat kimia seperti herbisida,

insektisida, dan pestisida, material isolator, dan banyak lagi produk-produk yang lain.

Tongkol jagung dapat diklasifikasikan sebagai material lignoselulosa, dimana

secara umum terdiri dari selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Lignin adalah komponen

paling stabil dari biomassa, setelah selulosa dan hemiselulosa. Selulosa adalah

komponen organik yang terdiri dari beberapa ratus unit glukosa dengan ikatan β (1-

4). Tidak seperti selulosa, hemiselulosa terdiri dari beberapa ratus monomer yang

berbeda, tidak hanya glukosa dan dengan ikatan yang berbeda pula. Lignin adalah

unsur kimia yang kompleks, merupakan penyusun dinding sel, dan mengisi bagian

yang kosong dari serat sehingga berfungsi untuk memberi kekuatan pada tanaman

(Campo, 2010).

Foley et al. (1978) melaporkan biomassa tongkol jagung terdiri dari 45,6%

selulosa, 39,8% hemiselulosa, dan 6,7% lignin (dalam basis kering), mengingat

pentosa terdiri dari 38% hemiselulosa dan xylan 87% dari fraksi pentosa. Clark and

Lathrop (1953) menemukan bahwa rata-rata dari 31 jagung hibrida terdiri dari 32,3%

selulosa, 41,3% pentose dan 13,9% lignin (Campo, 2010).

Tongkol jagung adalah biomassa yang dapat digunakan sebagai sumber energi

dan bahan baku kimia, dimana evaluasi ekonomi diantara biaya penyimpanan dan

biaya untuk penanganan seperti pengeringan serta kemerosotan kualitas selama


16

penyimpanan akan dibandingkan apabila tongkol jagung tersebut disimpan atau

digunakan sebagai sumber energi (Campo, 2010).

2.6 Mekanisme Putusnya Rantai Lignin dengan Hydrothermal Treatment

Gambar 2.5. Mekanisme Degradasi Lignin

Menurut (Karagoz, 2005) mekanisme yang paling memungkinkan dari

degradasi lignin adalah melalui pembentukan spesies radikal yang dimulai saat terjadi

eliminasi alkil hidroksil grup pada posisi-α dari rantai propana dan pembentukan

senyawa monolignols yang diberi mana p-coumaryl alcohol, coniferyl alcohol, dan

sinaphyl alcohol sesuai dengan gambar 2.5 berikut.


17

Gambar 2.6. Struktur Monolignols (Karagoz, 2005)

Transfer hidrogen dari gugus hidroksil pada posisi γ ke spesies radikal

menyebabkan pembentukan metoksi fenol, dimmers, dan formaldehida. Turunan dari

lignin yan mengandung 2-metoksi-fenol melalui pembentukan hidrokarbon lainnya

seperti 1,2-benzenediol, phenol, 3-methyl-1,2-benzenediol.

2.7 Sifat dari Hot Compressed Water

Pelarut organik seperti aseton, ethanol, methanol, dan isopropanol banyak

digunakan untuk proses supercritical liquefaction. Disisi lain, pelarut organik

tersebut memiliki harga yang mahal dan menimbulkan efek buruk terhadap

lingkungan. Air adalah pelarut universal yang dapat menggantikan pelarut organik

tersebut karena tidak ada pelarut lain yang dapat melarutkan material-material

sebanyak dan sebaik yang dapat dilakukan oleh air. Air mudah ditemukan di alam

dan lebih murah dibandingkan dengan pelarut-pelarut lainnya (Durak, 2016).


18

Air sebagai pelarut yang universal memiliki kelakuan yang berbeda pada

kondisi kritis. Air tidak dapat melarutkan material organik pada kondisi normal, tetapi

dapat melarutkan material organik dengan memanfaatkan perilakunya pada kondisi

kritisnya. Air memiliki konstanta dielektrik yang tinggi pada kondisi normal,

sedangkan pada kondisi kritis, air memiliki konstanta dielektrik yang mendekati

konstanta dielektrik aseton pada kondisi normal. Air yang memiliki konstanta

dielektrik pada rentang tersebut dapat melarutkan material-material hidrofobik.

Disamping itu, struktur dari air mengalami perubahan dari keadaan polar menuju ke

keadaan non-polar diatas temperatur kritis dan tekanan kritisnya yaitu 374oC dan

22,13MPa. Pada kondisi kritis air memiliki kecepatan difusi yang tinggi namun

memiliki viskositas yang rendah. Pada temperatur tinggi, kecepatan pemanasan akan

meningkat sehingga menyebabkan material-material organik dapat terlarut dengan

baik di dalam air dan memiliki interaksi yang cepat dengan oksigen. Ketika

difusivitas yang tinggi dan viskositas yang rendah bergabung dengan keistimewaan

air pada kondisi kritis dapat menghasilkan reaksi yang cepat dan efisien (Durak,

2016). Gambar 2.7 merupakan diagram fase padat, cair, dan gas yang dapat

menunjukkan titik kritis air.


19

Gambar 2.7. Diagram Fase Padat, Cair, dan Gas (Pecsok, 1976)

Gambar 2.7 menunjukkan diagram fase yang khas untuk komponen tunggal

yang menunjukkan fase padat, cair, dan gas. Garis hijau lurus menunjukkan bentuk

biasa dari garis fase cair-padat. Garis hijau putus-putus menunjukkan perilaku

anomali air ketika tekanan meningkat. Triple point dan titik kritis digambarkan

sebagai titik-titik merah. Garis biru menandai batas antara cair dan gas yang tidak

berlanjut tanpa batas waktu, tetapi berakhir pada titik yang disebut titik kritis.

Semakin suhu dan tekanan mendekati titik kritis, sifat-sifat cairan dan gas menjadi

semakin mirip. Pada titik kritis, cairan dan gas menjadi tidak dapat dibedakan. Di atas

titik kritis, tidak ada lagi cairan dan gas dalam fase yang terpisah melainkan hanya

ada fase cairan generic yang disebut sebagai fluida superkritis. Dalam air, titik kritis

terjadi pada sekitar 647 K (374oC atau 705oF) dan 22,064 MPa (Pecsok, 1976).

Sebuah fitur yang tidak biasa dari diagram fase air adalah bahwa garis fase

padat-cair (digambarkan dengan garis putus-putus hijau) memiliki kemiringan

negatif. Untuk zat padat terjadi kemiringan positif sebagaimana digambarkan oleh
20

garis hijau tidak putus-putus. Fitur ini tidak biasa terkait dengan es yang memiliki

kerapatan lebih rendah daripada air cair. Peningkatan tekanan mendorong air ke fase

kerapatan yang lebih tinggi yang menyebabkan terjadinya pelelehan (Pecsok, 1976).

Berdasarkan diagram fase dari air, titik kritis air terjadi pada temperatur 374 oC

dan 22,1 MPa. Air yang berada dibawah titik kritisnya dinamakan air subcritical dan

supercritical untuk air diatas titik kritisnya. Air menunjukkan kelarutan yang baik

dengan komponen yang berbeda berdasarkan konstanta dielektrik dan densitasnya

pada udara ambient (25oC dan 0,1 MPa).

Pada saat pemanasan dilakukan, ikatan H pada air mengalami perlemahan,

diikuti dengan disosiasi dari air menjadi ion asam hydronium (H 3O+) dan ion basa

hidroksida (OH-). Struktur dari senyawa akan mengalami perubahan yang signifikan

diantara titik kritisnya. Dalam air, ikatan hidrogen rusak pada titik kritisnya dan

molekul-molekul air kemudian terpisah dari struktur rantainya. Faktanya, konstanta

dielektrik air menurun disekitar titik kritis, yang menyebabkan perubahan pada

viskositas dan kenaikan koefisien difusi air. Air supercritical memiliki densitas

seperti air dan sifat transport seperti gas dan memiliki kelakuan yang sangat berbeda

dibandingkan dengan air pada temperatur ruang. Nilai maksimum produk ionisasi air

terjadi pada temperatur diantara 227oC dan 327oC tergantung dari tekanannya. Pada

kisaran temperatur tersebut, produk ionisasi nilainya lebih besar dari pada temperatur

ruang (Kritzer, 2001).

Sifat termofisika dari air, seperti viskositas, produk ionisasi, densitas, dan

kapasitas panas juga mengalami perubahan signifikan pada daerah supercritical


21

meskipun hanya dengan sedikit perubahan temperatur dan tekanan, yang kemudian

menghasilkan kenaikan laju dari reaksi kimia pada substansi tertentu. Perlu dicatat

bahwa perilaku dielektrik air pada suhu 200oC adalah sama dengan methanol, pada

suhu 300oC adalah sama dengan aseton, pada 370oC sama dengan methylene chloride

dan pada suhu 500oC sama dengan heksana (Kritzer, 2001).

Gambar 2.7. Diagram Sifat Fisika Air Berdasarkan Temperaturnya pada

Tekanan 24 MPa (Kritzer, 2001)

2.8 Ilustrasi Produk Hydrothermal Treatment

Produk yang dihasilkan dari hydrothermal treatment suatu biomassa

lignoselulosa adalah berupa produk gas, produk cairan, dan produk padatan. Masing-

masing produk kemudian dianalisis dan dihitung yield berdasarkan berat biomassa

awal untuk mengetahui kandungan atom atau senyawa didalamnya.

Pada hydrothermal treatment, produk gas dihasilkan dari komponen-komponen

yang larut dalam air (Kruse, 2007). Berdasarkan penelitian yang di lakukan
22

(Sinag,2009), produk gas dari hydrothermal treatment pada umumnya terdiri dari gas

H2, CO2, CO, dan CH4. Gas-gas tersebut terbentuk melalui 2 mekanisme reaksi yaitu,

reaksi perubahan air menjadi fase gas dan reaksi pembentukan metana seperti

ditunjukkan reaksi dibawah ini:

CO + H2O CO2 + H2 (reaksi perubahan air menjadi fase gas)

CO + 3H2 CH4 + H2O (reaksi pembentukan metana)

Penambahan suatu katalis tertentu seperti Ni dan SiO 2 pada reaksi berkontribusi

terhadap peningkatan laju reaksi perubahan air menjadi gas dan reaksi pembentukan

metana. Disisi lain, material anorganik seperti silika yang sudah terkandung dalam

biomassa serbuk gergaji juga berperan terhadap konversi gas ini (Sinag, 2009).

Produk cair dari hydrothermal treatment biomassa serbuk gergaji antara lain

berupa karbohidrat dalam bentuk glukosa dan fruktosa, asam-asam organik seperti

asam asetat dan asam formiat, senyawa-senyawa aldehid, keton dan fenol.

Produk padat yang dihasilkan diakhir reaksi pada hydrothermal treatment

kemudian dipisahkan dari produk cairannya dengan proses filtrasi dan kemudian

dianalisis menggunakan thermogravimetric analysis (TG). Penelitian yang dilakukan

(Sinag,2009) menunjukkan hasil bahwa kenaikan temperatur menyebabkan terjadinya

penurunan jumlah dari produk padatan. Parameter-parameter penting yang dianalisis

pada produk padat adalah solid yield, energy densification ratio, dan energy yield

(Yuliansyah, 2010). Solid yield, energy densification ratio, dan energy yield dihitung

menurut persamaan berikut:


23

massa dari produk padat kering


Solid yield = x 100%
massa dari material bahan baku kering

GCV produk
Energy densification ratio =
GCV material bahan baku

Energy yield = Solid yield x energy densification ratio (Yan, 2009)

2.9 Pengaruh Temperatur terhadap Kualitas Hydrochar

Penelitian yang dilakukan Kalderis et al pada tahun 2014, yields produk

hydrochar akan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur reaksi dari 200oC

hingga 300oC. Peningkatan yields ini dikaitkan dengan reaksi deoksigenasi yang

meliputi reaksi dehidrasi dan dekarboksilasi, serta konversi dari material-material

yang mudah menguap, seperti kandungan oksigen dan hidrogen yang semakin kecil

seiring dengan kenaikan temperatur.

Hydrochar yields pada temperatur 200oC adalah berada pada range 66-58wt%

dan pada temperatur 300oC berada pada range 66-36wt%. Pada kedua temperatur

tersebut, yields dapat diamati setelah 6 jam proses hydrothermal dan menjadi konstan.

Hal ini mengindikasikan bahwa transformasi dan penyusunan ulang struktur dari

selulosa, hemiselulosa, dan lignin yang terkandung dalam biomassa terjadi pada 6

jam pertama proses. Temperatur reaksi merupakan variabel penting yang perlu diatur

dalam hydrothermal treatment karena HTC biomassa lignoselulosa merupakan proses

yang relative lambat, dan kecepatan reaksi terutama diatur oleh suhu (Funke and

Ziegler, 2010).
24

2.10 Landasan Teori

2.10.1 Proses yang terjadi pada hydrothermal treatment

1. Pretreatment

Biomassa dapat di-pretreatment untuk memproduksi slurry air-

biomassa yang seragam dan dapat dipompa dan mencapai dekomposisi

fraksinasi dan parsial. Selama proses, terjadi perubahan fisis pada biomassa

seperti wetting, swelling, dan pre-hidrolisis.

2. Dekomposisi dan rekombinasi

Hidrolisis, salah satu reaksi dekomposisi material organik yang

melibatkan pemecahan oleh air, merupakan tipikal reaksi ionik yang

menggunakan asam atau basa sebagai katalis. Reaksi ini muncul pada range

suhu 150-250oC ketika autokatalis disebabkan oleh produk reaksi HTC asam

(Chornet, 1985; Behrendt, 2008). Hidrolisis lanjutan dari konstituen biomassa

bergantung pada suhu. Umumnya, hemiselulosa paling mudah mengalami

dekomposisi (sudah terjadi pada suhu 120-180oC); hidrolisis selulosa mudah

terjadi pada suhu yang berbeda (biasanya di atas 180 oC) (Garrote, 1999)

tergantung pada struktur; sementara hanya sebagian hidrolisis lignin yang

mungkin dalam kondisi HTC tanpa katalis (Lin, 1975).

Kepekaan kandungan biomassa terhadap degradasi termal juga menurun

dalam urutan: hemiselulosa, selulosa, (hanya sebagian dari) lignin (Minowa,

1994; Demirbas, 2000). Karena struktur aromatic, hanya sebagian dari lignin

yang dapat diuraikan di bawah kondisi HTC non-katalitik. Selain itu juga
25

diusulkan bahwa radikal bebas phenoxyl, dibentuk oleh dekomposisi termal

dari lignin dalam kondisi HTC di atas 250 oC, sangat rentan terhadap

rekombinasi. (Fang, 2008; Elliot, 1979)

Reaksi rekombinasi pada HTC merugikan jika produk dimaksudkan

untuk meng-upgrade bahan bakar transportasi. Reaksi polimerisasi dan

polikondensasi ini menyebabkan peningkatan berat molekul rata-rata dan

akhirnya mengarah pada pembentukan fraksi yang hanya dapat digunakan

karena heating value-nya (biasa disebut: char). Distribusi berat molekul bisa

menjadi indicator yang berguna untuk optimasi proses (Knežević, 2009).

3. Deoksigenasi

Proses hydrothermal carbonization dan hidrogenasi tekanan tinggi serta

produk pada diagram C-H-O tersier dijelaskan menurut gambar 2.8 berikut.

Gambar 2.8. Proses HTC dan Hidrogenasi Tekanan Tinggi dan Produk

pada Diagram C-H-O Tersier. (Knežević, 2009)


26

Pada gambar lokasi dari berbagai bahan organik diberikan dalam

geometri CHO. Efek dari berbagai konversi termokimia ditandai dengan

panah. Hal ini dapat dilihat bahwa proses ini menghasilkan produk yang,

dalam komposisi unsur, mendekati bahan bakar minyak yang ideal. Hal ini

disebabkan karena penghilangan oksigen (oxygen removal). Di bawah kondisi

HTC ini bisa, sampai batas tertentu, diwujudkan tanpa menggunakan

pengurangan gas seperti CO atau hidrogen, suatu fakta yang sering dinyatakan

sebagai salah satu keuntungan utama dari teknik ini. Tergantung pada kondisi

operasi dan bahan baku, kandungan oksigen dari fase hidrofobik sebesar 5-

15% terdapat dalam literatur (Goudriaan, 1990; Wilhelm, 1981; dan Figueroa,

1982).

Penghilangan oksigen (oxygen removal) di bawah kondisi HTC terjadi

melalui reaksi berikut: dehidrasi, dekarboksilasi, dan dekarbonilasi. Namun

CO yang ditambahkan dalam reaktor atau terbentuk dalam reaksi sebagian

besar dikonversi menjadi CO2 dalam water-gas shift atau reaksi reduksi. Oleh

karena itu, hasil netto dari deoksigenasi selama proses HTC adalah CO 2 dan

H2O, yang pertama lebih disukai, karena rasio molekul H terhadap C (H/C)

dari produk tersebut tidak berkurang dengan cara ini. Selanjutnya, air

merupakan produk reaksi poikondensasi yang merupakan salah satu rute

utama untuk membentuk char (Kruse, 2007).

Perbandingan langsung dari dua rute penghilangan oksigen adalah suatu

tantangan karena sulit untuk menentukan produksi air. Ini melibatkan baik
27

penentuan langsung oleh titrasi Karl-Fisher atau perhitungan tidak langsung

dari keseimbangan elemen. Kedua metode ini dapat sangat tidak akurat. Yang

pertama karena penentuan perubahan kecil dalam jumlah besar air, dan yang

kedua karena akumulasi kesalahan pengukuran dalam proses perhitungan

(Knežević, 2009).

2.10.2 Faktor-faktor yang didesain pada proses hydrothermal treatment

Setelah melakukan analisis dari bahan baku dan sifat produk padat yang

dihasilkan, individual response model disusun berdasarkan faktor-faktor yang

didesain pada proses hydrothermal treatment, antara lain temperatur reaksi, waktu

retensi, dan ratio padatan biomassa dan air. Response yang dihasilkan kemudian

didefinisikan sebagai kandungan abu (%), organic solid yield (%), carbon content

(%), ratio oksigen-karbon, energy densification dan energy yield (%). Parameter-

parameter tersebut dihitung menurut persamaan berikut.


28

dengan : daf = dry-ash free

m = massa sampel kering (kg)

AC = ash content (kandungan debu) (%)

C = carbon content (%)

O = oxygen content (%)

HHV = higher heating value (MJ kg-1)

Indeks hc = hydrochar

Indeks f = feed

Model respon inti, interaksi, dan kuadratik terms dikalkulasi berdasarkan

persamaan umum regresi linear berikut:

y = Xb + e

dengan: y = vector terukur atau nilai respons yang terkalkulasi

X = design matrix in coded factors

b = koefisien model vektor

e = a vector of model residuals

Sedangkan b (koefisien model vektor) dipisahkan dari setiap set data dengan

meminimalkan jumlah dari kuadrat model residuals menurut persamaan

b = (X’X)-1X’y
29

dimana : e = y – ŷ, dan

ŷ = Xb

Derajat kepercayaan dari coded model coefficients dihitung dengan

persamaan:

dimana t mewakili interval t-value dari 100(1-α)%, n-p adalah derajat

kebebasan dari model residual, adalah varian model residual dan Djj adalah

elemen dari (X’X)-1. Total varian dapat dijelaskan menurut model persamaan regresi

dengan menggunakan F-tested (p<0,05). Akhirnya derajat kepercayaan di hitung

melalui persamaan berikut:

dimana: xm adalah vektor lokasi dari desain yang dibuat

Model regresi, kalkulasi, dan data plotting dapat diselesaikan dengan

menggunakan beberapa software seperti Matlab atau OriginPro 9.

2.10 Hipotesis

1. Hydrochar yields akan menurun seiring dengan penambahan temperatur

hydrothermal treatment pada range temperatur 200oC hingga 300oC.


30

2. Peningkatan heating rate pada hydrothermal treatment akan memperbaiki

nilai kalor bahan bakar sampai batas tertentu karena lignin dapat

terdegradasi secara sempurna.

Anda mungkin juga menyukai