Anda di halaman 1dari 24

6

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA



2.1 Poliuretan

Poliuretan yang umumnya disingkat dengan PU merupakan senyawa polimer
yang penyusun rantai utamanya adalah gugus uretan (-NHCOO). Poliuretan
merupakan jenis polimer yang mudah disesuaikan dengan penggunanya serta
sukar disamai polimer lain seperti kekuatan regangan, kekerasan, ketahanan
gesekan dan ketahanan pelarut. Sifat - sifat yang dimiliki oleh poliuretan
menjadikan bahan ini sangat berpotensi dalam berbagai industri (Dombrowm,
1957).

Poliuretan memiliki kekakuan, kekerasan, serta kepadatan yang amat beragam.
Beberapa jenis poliuretan yang diperdagangkan dan sangat sesuai dengan
penggunanya diantaranya adalah :
a) Busa fleksibel (flexible foam), berdensitas (kepadatan) rendah yang digunakan
dalam bantalan menahan lenturan.
b) Busa kaku (rigid foam), berdensitas rendah yang digunakan untuk isolasi termal
dan dasbor mobil.
c) Elastomer : bahan padat yang empuk yang digunakan untuk bantalan gel untuk
penggiling cetakan, dan.
d) Plastik padat yang keras digunakan sebagai bagian structural dan bahan
instrument elektronik.

Poliuretan digunakan secara meluas dalam sandaran busa fleksibel berdaya
lenting (daya pegas) tinggi, panel isolator busa yang kaku, segel busa mikroseluler
dan gasket roda dan ban karet tahan lama, segel dan lem berkinerja tinggi, panel
isolator busa yang kaku, serat spandeks, alat karpet dan bagian plastik yang keras.
7


Poliuretan secara umum dibentuk dari reaksi antara dua atau lebih gugus
fungsi hidroksil dengan dua atau lebihgugus isosianat dan jenis reaksinya
dinamakan juga reaksi poliadisi (Gambar 2.1) (Hepburn, 1991; Randal, dan Lee,
2002).

Gambar 2.1. Reaksi Pembentukan Poliuretan Secara Umum.

Umumnya bahan - bahan alam yang dimiliki dua atau lebih gugus
hidroksil dapat digunakan sebagai sumber poliol. Baik inisiator yang digunakan
sebagai pemuai, serta berat molekul poliol sangat mempengaruhi keadaan fisik
dan sifat fisik polimer poliuretan. Karakteristik poliol yang penting adalah pola
struktur molekulnya, berat molekul, % gugus hidroksi utama, fungsionalitas dan
viskositas. Sebagai sumber poliol belakangan ini banyak digunakan dari hasil
transformasi minyak nabati dengan memanfaatkan masing masing asam lemak
tidak jenuh yang dikandungnya. Minyak nabati sebagai trigliserida dibentuk
menjadi turunannya seperti metil ester asam lemak tidak jenuh dapat diepoksidasi
yang dilanjutkan hidrolisis menjadi poliol (Goud, 2006). Penggunaan minyak
nabati sebagai sumber poliol untuk pembuatan film dalam poliuretan dari minyak
jarak (castor oil) yang direaksikan dengan 4,4-difenilmetana diisosianat (MDI),
dimana dengan komposisi MDI sebanyak 25 % (v/v) diperoleh dari film yang
transparan dan elastis serta homogen dengan menggunakan alat hidrolik press
pada tekanan 150 kg/cm
3
, temperatur 185
o
C dengan pemanasan selama 15 menit
(Marlina, 2002).

8

Sifat- sifat fisik dari poliuretan yang diperoleh dari hasil polimerisasi
antara 1,6-heksa metil diisosianat (HDI) dengan poliol minyak biji- bijian dimana
poliol dengan sumber yang berbeda yakni poliol asal minyak canona dan asal
minyak kedelai dengan bilangan hidroksi yang berbeda memberikan nilai sifat
fisik mekanik yaitu kekuatan tarik serta kemuluran dari poliuretan yang terbentuk
berbeda (Narine, 2007).

Poliuretan mempunyai sifat yang sama dengan nilon, tetapi karena sukar
diwarnai dan titik lelehnya lebih rendah polimer ini pada awalnya tidak banyak
diperdagangkan, akan tetapi kemudian terjadi kemajuan pesat pada kimia
poliuretan yang menghasilkan busa, elastomer, pelapis permukaan serat dan
perekat poliuretan. Busa poliuretan dapat dibentuk bila secara serentak dibuat
polimer poliuretan melalui pencampuran poliol, sianat dan suatu gas.

2.2 Lignin

Lignin memiliki nama latin lignum yang memiliki arti kayu, jadi kayu itu sendiri
mengandung jumlah lignin yang banyak. Lignin dicirikan dengan kompleks
aromatik non karbohidrat yang memiliki struktur polimer organik yang banyak
jumlahnya pada tumbuhan. Fungsi lignin sendiri dalam tanaman adalah sebagai
pengangkut internal dari air, nutrisi dan zat metabolit. Memberikan kekuatan pada
dinding sel dan sebagai penyambung antara sel dan sebagai penyambung sel kayu
yang senyawanya tahan terhadap tekanan, bersifat fleksibel dan jaringannya
tahan terhadap serangan mikro organisme dan perambatan enzim penghancur
dalam dinding sel (Eka Nuryanto, 2000).

Lignin adalah bahan polimer alam kedua terbanyak setelah selulosa, lignin
berada pada dinding sel dan antar sel, membuat kayu keras dan mampu menahan
stress mekanik. Lignin berada dengan polisakarida kayu, seperti selulosa dan
liemilulosa yang mempunyai afinitas yang kuat terhadap molekul air (hidrofobik)
9

dan berfungsi mengontrol penyerapan air oleh kayu. Lignin merupakan perekat
alam, suatu polimer kompleks penyusun kayu (Fengel dan wagener, 1985).

Jumlah dan sifat lignin kayu sangat bervariasi bergantung pada jenis kayu,
kayu daun jarum (softwood) atau kayu daun lebar (hard wood), lingkaran usia
kayu. Pada penelitian Douglas menunjukkan bahwa kayu di bagian tengah batang
memiliki kandungan lignin yang lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi
batang. Kayu daun tropis mempunyai kandungan lignin lebih tinggi dibandingkan
dengan kayu daun dari daerah temperatur sedang. Kandungan lignin kayu jarum
bervariasi antara 24-33% dan kayu daun tropis 26-35%. Dalam tanaman bukan
kayu kandungan lignin umumnya antara 12-17% (Supri, 2000).

Lignin adalah suatu produk alami yang dihasilkan oleh semua tumbuhan
berkayu. Merupakan komponen kimia dan morfologi ciri dari jaringan tumbuhan
tingkat tinggi. Kandungan lignin menncapai 15 - 40% dari berat kayu dengan
variasi menurut jenis kayu, kondisi pertumbuhan, bagian dari tumbuhan dan faktor
lain. Dari segi morfologis, lignin merupakan amorf yang terdapat dalam lamella
tengah, dinding primer maupun dalam dinding sekunder. Selama
perkembangan sel, lignin dimasukkan sebagai komponen terakhir di dalam
dinding sel, menembus diantara fibril dan berfungsi sebagai penguat dinding sel.

Secara garis besar, kegunaan lignin dapat digolongkan menjadi tiga
kelompok, yaitu:
a. Sebagai bahan bakar
b. Sebagai produk polimer
c. Sebagai sumber bahan-bahan kimia dengan berat molekul rendah.

Dalam proses pembuatan pulp, lignin merupakan limbah yang tidak
bernilai dan diusahakan untuk dihilangkan. Penggunaan pulp sebagai perekat sejak
dimulainya pembuatan pulp sulfat (Spent Sulfite Liqour / SSL). Pada dasarnya
pembuatan lignin sebagai perekat hampir sama seperti pada phenol formaldehida,
karena keduanya mempunyai komponen kimia yang hamper sama yaitu dari gugus
10

fenolik, sehingga menyebabkan lignin dapat digunakan untuk mensubtitusi fenol
formaldehida.

Lignin merupakan polimer dengan banyak cabang, yang terbentuk oleh
unit- unit fenil propane (coumaril alkohol, coniferil alkohol, dan / atau siringil
alkohol) yang berikatan satu sama lain dengan ikatan karbon dengan karbon (C-
C), ikatan dengan oksigen (C-O) dan juga adanya ikatan eter.

Dalam komponen kayu, sifat lignin adalah hidrofobik dan tidak larut
dalam air. Pada saat pembuatan pulp, perlakuan kayu dengan ion HSO
3
akan
menyebabkan degradasi parsial pada ikatan eternya, menghasilkan grup asam
sulfonik. Dengan proses tersebut, lignin yang semula bersifat hidrofobik dan tidak
larut dalam air, menjadi larut dalam air.

Dinding serat kayu terbentuk oleh beberapa jenis senyawa kimia, yaitu
polisakarida, lignin dan ekstraktif. Proporsi bahan - bahan kimia tersebut hanya
sedikit variasinya antar jenis kayu. Polisakarida adalah molekul polimer besar
yang dibangun oleh molekul gula sederhana dan membentuk rantai panjang.
Polisakarida utama yaitu selulosa terdapat sekitar 45% dari berat kering serat.
Komposisi polisakarida adalah sekitar 65-75%, lignin 20-30% dan ekstraktif 0-
10%. Kandungan gugus hidroksil (OH) yang besar pada polisakarida sangat
polar. Lignin agak kurang polar dibandingkan dengan polisakarida.

Ekstraktif memiliki pengaruh yang besar dalam menurunkan
higroskopisitas dan permeabilitas serta meningkatkan keawetan kayu. Meskipun
jumlahnya sedikit, ekstraktif mempunyai pengaruh yang besar dalam perekatan
kayu, yaitu mempengaruhi pH, kontaminasi dan penetrasi. Ekstraktif berupa
deposit,memiliki ikatan yang tidak kuat dan relative bebas untuk berpindah.
Ekstraktif berpindah secara difusi, salah satunya sebagai suatu material volatil
(mudah menguap) atau sebagai material terlarut. Panas dan gradien
air mempercepat perpindahan ekstraktif ini. Ekstraktif juga berpindah dengan
gaya kapiler dan gaya tegangan permukaan (Surdiding Ruhendi,2007).
11


2.2.1 Gugus Fungsi Pada Lignin

Lignin mempunyai gugus fungsi antara lain metoksil, hidroksil fenolik, hidroksil
non fenolik, karbonil, eter, dan karbosilat (Dance, 1992). Analisis gugus fungsi
lignin pada prinsipnya merupakan analisis gugus fungsi organik yang sulit. Hal
tersebut disebabkan oleh sifat lignin yang khas suatu polimer alam dengan
struktur rumit, sifat polifungsi dan kelarutan sangat terbatas (Fengel dan wagener,
1985).

2.2.2 Gugus Hidroksil Pada Lignin

Suatu monomer lignin mempunyai gugu hidroksil alifatik terminal pada C- pada
rantai samping selain gugus hidroksil fenolik pada C-4 cincin aromatik (Dance,
1992). Lignin kayu dan bambu mengandung hidroksil alifatik total lebih dari 1,1
mol / satuan C-9, sedangkan kandungan hidroksil fenolik total pada lignin kayu
kurang dari 0,1 mol persatuan C-9. Gugus hidroksil fenolik sangat mempengaruhi
stabilitas warna putih pulp dan berperan penting dalam proses pulping dan
pemucatan pulp karena kemampuannya memecah ikatan eter yang dibantu oleh
katalis basa dan degradasi oksidatif lignin. Reaktivitas kimiawi lignin dalam
berbagai proses modifikasi sangat dipengaruhi kandungan hidroksil fenolik
(reaksi dengan formaldehid untuk produksi bahan perekat). Pengukuran
kuantitatif gugus hidroksil fenolik memberikan informasi penting tentang struktur
dan reaktivitas lignin (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.3 Spektroskopi Infra Merah Pada Lignin

Spektrum lignin menunjukkan sejumlah pita serapan utama yang dapat
diperuntukkan secara empiris bagi gugus-gugus struktural, berdasarkan hasil yang
diperoleh dari senyawa model lignin. Pita - pita serapan FTIR pada lignin yang
khas tercantum dalam tabel 2.2

12

Tabel 2.2 Pita Serapan Penting FTIR pada Lignin (Hergert, 1971)

Kedudukan (cm-1) Pita Serapan Asal
3450-3400 Rentangan OH
2940-2820 Rentangan metil dan metilen
1715-1710 Rentangan C=O tak terkonjugasi
1675-1660 Rentangan C=O terkonjugasi
1605-1600 Vibrasi cincin aromatik
1515-1505 Vibrasi cincin aromatik
1470-1460 Deformasi C-H (asimetri)
1430-1425 Vibrasi cincin aromatik
1330-1325 Vibrasi cincin siringil
1270-1275 Vibrasi cincin quaiasil
1085-1030 Deformasi C-H
2
C-O

Hubungan yang berbeda antara intentitas pita-pita serapan pada 1510 cm
-
1
dan 1600 cm
-1
dapat digunakan untuk membedakan lignin kayu lunak dan kayu
keras. Dalam senyawa model siringil tak terkonjugasi dan lignin kayu keras.
Intentitas pita-pita serapan tersebut hampir sama, sedangkan dalam senyawa
guaiasil tak terkonjugasi dan lignin kayu lunak intentitas pita-pita serapan 1510
cm
-1
jauh lebih tinggi lagi. Serapan quaiasil dan siringil masing-masing terdapat
pada sekitar 1270 cm
-1
dan 1330 cm
-1
(Fengel dan wagener, 1985).

2.2.4 Isolasi Lignin

Metoda isolasi lignin pada umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok besar:
Metoda yang menghasilkan lignin sebagai sisa.
Metoda yang melarutkan lignin tanpa bereaksi dengan pelarut yang
digunakan untuk ekstraksi atau dengan pembentukan turunan yang larut.
Sebelum isolasi lignin, ektraktif harus dihilangkan terlebih dahulu untuk
mencegah pembentukan hasil-hasil kondensasi dengan lignin selama proses
isolasi. Dengan alasan yang sama, terutama jika asam mineral kuat digunakan
dalam isolasi pelarut seperti alkohol atau aseton harus dihilangkan dengan
sempurna dari kayu yang diekstraksi. Metoda isolasi kelompok pertama
menghasilkan lignin asam dengan menggunakan asam sulfat atau asam klorida,
13

campuran asam-asam tersebut atau mineral lain. Dalam hal lignin asam sulfat
konsentrasi asam yang digunakan untuk tahap hidrolisis pertama adalah antara
68% dan 78% (kebanyakan 72%) kemudian dilanjutkan dengan tahap
pengenceran dan untuk menyempurnakan hidrolisis polisakarida digunakan
asam dengan konsentrasi rendah. Lignin asam klorida yang diperoleh dengan
mereaksikan kayu dengan asam klorida lewat jenuh dikatakan kurang
terkondensasi bila dibandingkan dengan lignin asam sulfat. Semua lignin yang
diperoleh dengan hidrolisis asam berubah struktur dan sifat-sifatnya terutama
karena reaksi kondensasi (Fengel dan wagener, 1985).

2.2.5 Penentuan Lignin

Penentuan kandungan lignin adalah penting untuk analisis kayu maupun untuk
karakteristik pulp. Metoda-metoda penentuan lignin secara kuantitatif dapat
dibagi sebagai berikut :
1. Metoda langsung , yaitu lignin ditentukan sebagai sisa.
2. Metoda tidak langsung, dimana kandungan lignin dihitung sesudah
penetuan polisakarida, dihitung dengan metoda spektrofotometri, merupakan
hasil reaksi lignin dengan kimia pengoksidasi.
Metoda langsung didasarkan pada prinsip isolasi dan penentuan secara
gravimetri lignin yang tidak larut dalam asam. Metoda yang paling mantap
adalah penentuan lignin menurut Klason. Hidrolisis dilakukan dengan perlakuan
kayu yang sudah diekstraksi lebih dahulu atau pulp tak dikelantang dengan asam
sulfat 72% dan langkah terakhir hidrolisis dengan asam sulfat 3% pada kondisi
tertentu (Fengel dan wagener, 1985).






14

2.3 Perekat
2.3.1 Isosianat

Perekat isosianat merupakan bahan reaktif yang kuat rekatannya pada logam,
karet, plastik, gelas, kulit, kain. Yang terpenting ialah dipoli-isosianat, yang
gugus-gugus fungsinya efektif berikatan dengan gugus-gugus berkandungan
hidrogen aktif. (seperti amino, imino, karboksil, sulfonat, hidroksil).

Penggunaannya dapat tersendiri atau dicampur larutan elastromer (perekat
karet ke logam atau kain), zat pengubah sifat perekat basis karet (serba guna),
sebagai reaktan dengan poliester atau polieter menghasilkan poliuretan untuk
maksud khusus.

Perekat isosianat misalnya difenilmetana diisosianat dalam klorobenzen baik
untuk merekatkan logam elastomer yang tahan panas, pelarut pukulan dan awet
(tidak mengalami fatigue / kelelahan). Larutan 2% isosianat dalam hidrokarbon
aromatik meningkatkan adhesi antara kain dengan karet apabila dipakai sebagai
primer.

Bila dipoli-isosianat dicampur dengan perekat basis karet (sampai 20%
berat, bebas pelarut), dioleskan ke substrat, dikeringkan, lalu curing, terhasil
rekatan yang baik. Difenildiisosianat modifikasi, yakni dengan karet
(alam/sintetik) dalam pelarut aromatik, baik untuk karet primer ke kain.
Diisosianat juga baik untuk meningkatkan adhesi antara serat poliester dengan
karet, yaitu dengan dimasukkan ke karet saat pemrosesan. Diisosianat juga
memperbaiki rekatan karet-logam dengan perbandingan tertentu.

Perekat isosianat-poliester metana juga banyak dipergunakan. Isosianat
polifungsi direaksikan dengan senyawa polihidroksi (poliester tak jenuh atau
fenol) membentuk poliuretan bergugus isosianat bebas, yang dapat bereaksi
dengan permukaan substrat. Reaksinya dapat sempurna atau parsial selama curing
(Hartomo, 1996).
15

2.3.1.1 Jenis Perekat Isosianat

Isosianat merupakan bagian yang utama dalam pembentukan poliuretan, ia
mempunyai reaktivitas yang sangat tinggi, khususnya dengan reaktan nukleofilik.
Reaktivitas dari poliuretan ditentukan oleh sifat posistif dari atom C dalamn
ikatan rangkap yang terdiri dari pada N, C, dan O.

Dalam pembentukan poliuretan adalah sangat perlu memilih isosianat
yang sesuai untuk bereaksi dengan poliol karena akan dapat menentukan hasil
akhir, seperti terbentuknya rangkaian biuret, urea, uretana, dan alfanat. Banyak
peneliti telah memakai berbagai isosianat untuk mendapatkan hasil akhir
poliuretan yang diinginkan. Isosianat yang umum digunakan dan telah dipasarkan
contohnya :
a). Difenilmetana diisosianat (MDI)
MDI adalah turunan dari aniline, reaksi dasarnya yaitu
8
CH
OCN
NCO
CH
NH CH
H
2
2 2
2
N 2
COCl
2
4,4 - diaminodippenylmethane
O
Diphenylmethane 4,4 - diisosianat
NH
2


Gambar 2.2 Struktur Difenilmetana diisosianat

Dalam tahap pertama, anilin bersama dengan formaldehid pada
konsentrasi yang ada. Asam klorida sebagai katalis, produknya campuran dari
amina, yang disusun terutama dari 4,4 diamino difenilmetana dengan jumlah 2,4
isomer dan macam-macam poliamina lebih kurang 6 kelompok amino setiap
molekul. Poliamina mempunyai struktur.


16

CH
2
CH
2
CH
2
CH
2
H
2
N


Gambar 2.3 Struktur Poliamina

Komposisi yang tepat dari campuran terutama tergantung perbandingan
aniline formaldehid yang digunakan, ia akan bertambah jumlahnya karena aniline
yang diberikan pada susunan dari diamino difenilmetana. Kadang-kadang
campuran amin adalah fraksi bersih yang diberikan 4,4 - diamino difenilmetana
yang mana selanjutnya melalui tahap fosgenasi dari difenilmetana 4,4- diisosianat.

Difenilmetana diisosianat berwujud padat, dengan titik leleh 37 38
o
C
disamping itu polimer difenilmetana diisosianat juga ada berwujud cair, kedua-
duanya produk yang mempunyai tekanan uap rendah dibanding dengan toluene
diisosianat telah digunakan dalam pembuatan elastomer dalam skala pabrik dan
polimer difenilmetana yang paling luas dalam pemakaiannya terutama untuk
produk rigid foam.

b). Toluena Diisosianat (TDI)

Toluena adalah bahan pertama dari produksi toluene diisosianat (TDI).
Prosesnya boleh bervariasi supaya memberikan hasil dari turunan isomer yang
dikehendaki. Pada proses phosgenasi biasanya dipertimbangkan untuk
diikutsertakan pada pembentukan dari karbonil klorida didalam keadaan dingin
dan produk ini dalam keadaan panas.

Isomer toluen diisosianat adalah campuran cair dalam batas suhu 5 15
0

C dan karena itu biasanya dijumpai sebagai cairan toluena 2,4 diisosianat, dan
jika dijumpai dalam padatan biasanya dengan titik leleh 22
o
C.

Toluen diisosianat dapat menimbulkan iritasi pada pernapasan dan sangat
diperhatikan dalam penggunaannya. Produknya bermacam-macam lebih dari 80 :
17

20 campuran isomer yang sangat luas penggunaanya, terutama dalam produksi
dari fleksibel foam. 4isosianat adalah kelompok paling banyak digunakan yang
lebih reaktif dibanding 2 atau 6 isosianat.

c). Naftalena 1,5 diisosianat (NDI)
Naftalena 1,5 diisosianat adalah turunan dari naftalena
NH
2
NH
2
NO
2
NO
2
HNO
3
NCO
NCO
COCI
2
[H]
80 100
0
C
H
3
SO
4
Naphthalene
1,5 - diamine
1,5 - dinitronaphthalene
Napthalene
Napthalene 1,5 - diidosianat


Gambar 2.4 Struktur Naftalena diisosianat

Naftalena 1,5 diisosianat adalah berwujud padat dengan titik leleh 128
0
C dan
mempunyai tekanan uap rendah dari pada toluen diisosianat dan bersifat kurang
toksit dalam penggunaannya, tetapi ia mempunyai sifat yang sensitive. Naftalenen
1,5 diisosianat digunakan tertama dalam produk elastomer.

d). HDI (Hexametilen diisosianat)

Hexametilen diisosianat (HDI) dihasilkan melalui phosgenasi hexametilendiamin.
Hexametilen diisosianat merupakan cairan yang tekanan penguapannya hamper
sama dengan TDI juga bersifat mengganggu pernafasan dan dapat menimbulkan
efek yang berbahaya terhadap kulit dan mata. HDI merupakan salah satu
diisosianat yang pertama sekali digunakan dalam pembuatan PU dalam hal ini
dalam pembuatan fiber (Hepburn, 1991).



18

2.4 Kayu Pinus

Pinus merkusii Jungh et de vriese pertama ditemukan dengan nama tusam
di daerah Sipirok, Tapanuli Selatan oleh seorang botani dari Jerman yaitu Dr. F. R.
Junghuhn pada tahun 1841. Jenis ini tergolong jenis cepat tumbuh dan tidak
membutuhkan persyaratan khusus. Keistimewaan jenis ini antara lain merupakan
satu - satunya yang menyebar secara alami ke selatan khatulistiwa sampai 2LS.
Pinus atau tusam dikenal sebagai penghasil kayu, resin dan gondorukem yang
dapat diolah lebih lanjut sehingga mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Kelemahan pinus merkusii adalah peka terhadap kebakaran, karena menghasilkan
serasah daun yang tidak mudah membusuk secara alami (Siregar 2005). Pohon ini
dapat mencapai tinggi 60-70 m dengan diameter 10 cm. Kulit batang berwarna
kelabu tua, berjalur agak dalam, memanjang bersepih dalam lempeng, batang
bulat panjang lurus dan kadang kadang juga bengkok. Tajuk pohon ini tidak
begitu lebar, pada waktu muda berbentuk kerucut panjang dan agak rapat dan
selalu hijau. Daunnya berbentuk jarum dengan panjang 15-20 cm dan buahnya
berbentuk kerucut. Di Indonesia secara alami hanya terdapat satu jenis Pinus yaitu
Pinus merkusii di Sumatera bagian utara (sekitar Aceh dan Tapanuli). Selain di
Indonesia Pinus merkusii juga dijumpai di Vietnam, Kamboja, Thailand, Burma,
India dan Philipina. Secara astronomis tersebar antara 2
o
- 22
o
LS dan 95
o
30 -
120
0
31BB. Pinus tidak meminta syarat tumbuh yang tinggi terhadap tempat
tumbuh, namun pertumbuhannya dipengaruhi berbagai factor seperti tanah, iklim,
dan altitude. Untuk menghasilkan pertumbuhan yang baik, Pinus membutuhkan:
1. Ketinggian tempat tumbuh 200 - 2000 mdpl.
2. Temperatur udara berkisar 18
o
30
o
C.
3. Reaksi tanah (pH) berkisar antara 4,5 - 5,5.
4. Bulan basah (5 - 6 bulan) yang diselingi dengan bulan kering yang pendek (3-
4 bulan)

Penyebaran Pinus spp meliputi daerah Eurasia dan Amerika. Menurut data yang
tersedia tahun 1967 suku Pinus memiliki lebih kurang 107 jenis yang tersebar
secara alami di berbagai tempat tumbuh yang berbeda-beda di benua Eropa,
19

Afrika dan Asia. Di Asia terdapat lebih kurang 28 jenis, diantaranya 3-7 jenis
terdapat di Asia Tenggara antara lain Pinus merkusii, Pinus kaysia, Pinus
insularis (Sanudin, 2009).

2.5 Kayu Jati

Kayu jati memiliki warna kayu teras kuning emas kecoklatan sampai coklat
kemerahan, mudah dibedakan dengan gubalnya berwarna putih agak keabu -
abuan. Tekstur yang dimiliki kayu jati mulai dari agak kasar sampai kasar dan
tidak rata, arah serat lurus, bergelombang sampai agak terpadu. Berat jenis 0,67
(0,62-0,75), kelas awet I-II dan kelas kuat II. Kayu jati banyak dipakai untuk
segala keperluan, bahan bangunan, kusen pintu dan jendela, pintu panel, bantalan
kereta api, perabot rumah tangga, karoseri badan truk, dek kapal, parket, lumber
sering dan vinir indah (Kurniawan & Pandit 2008).

Jati (Tectona grandis) dikenal sebagai kayu yang berkualitas dengan
kondisi kelas kuat dan kelas awet yangtinggi. Jadi jati banyak dibutuhkan
untuk berbagai keperluan seperti untuk bahan bangunan, furniture (perabotan
rumah tangga), maupun barang kerajinan. Walaupun harganya tergolong tinggi,
jati tetap banyak dicari. Kebutuhan jati pertahun terus meningkat. Untuk
memenuhi permintaan tersebut upaya penanaman kembali sangat
diperlukankarena penebangan yang tidak diikuti dengan penanaman kembali
(Sulaksana & Dadang,2002).

Dengan kondisi kelas hutan dan kelas tinggi, kayu ini masih banyak
dibutuhkan dalam industry property lapis, rangka, kusen, pintu maupun jendela.
Selain itu, dengan profil yang ditunjukkan dengan garis lingkar tumbuh yang unik
dan bernilai artistic tinggi, jati dibutuhkan banyak seniman pahat dan pengrajin
industri furniture untuk dijadikan berbagai bentuk barang jadi. Selain itu, jati
memiliki daya tahan terhadap berbagai bahan kimia maka secara teknis kayu jati
digunakan sebagai wadah berbagai jenis produk industry kimia (Widyastuti &
Sumardi, 2004).
20


2.6 Finishing Kayu

Kayu merupakan bahan baku yang sering digunakan dalam industry furniture dan
memerlukan proses finishing dalam rangka peningkatan nilai jualnya. Setiap
jenis kayu memiliki sifat-sifat dan karakteristik yang sehingga sangat berpengaruh
terhadap proses finishing. Beberapa sifat kayu yang berpengaruh dalam proses
finishing adalah kembang susut kayu, kandungan zat ekstraktif, ukuran pori, dan
tekstur kayu (ATTC 1992).

Secara alami kayu memiliki pori-pori yang dapat dimasuki oleh air,
minyak, debu, dan material lainnya. Masuknya bahan-bahan tersebut akan
menyebabkan kayu mengembang, menyusut, retak, melengkung atau berubah
warna. Selain itu, produk kayu juga akan lebih mudah terserang organism perusak
seperti jamur atau serangga. Finishing yang baik akan menghambat kemungkinan
tersebut. Bahan-bahan finishing akan memberikan perlindungan dari perubahan
kadar air kayu, menghalangi masuknya material halus ke dalam pori-pori kayu
bahkan beberapa bahan finishing telah ditambah dengan bahan pengawet atau zat
aditif lainnya sehingga tahan terhadap serangan organism perusak dan bahan
kimia. Bahan pewarna pada bahan finishing akan memberikan efekpsikologispada
pengguna produk tersebut. Beberapa warna khusustelah diketahui
memberikanefek perasaan lega, tenang, cerah, terang, teduh, dan emosi
lainpadaorang yangmelihatnya. Bahan finishing tertentu juga dapat menonjolkan
aspek keindahan serat kayu sehingga menambah nilai estetisnya (Kurniawan,
2006).

Finishing berfungsi melindungi permukaan kayu atau perabot rumah
tangga sehingga terhindar dari hal hal berikut:
a. Korosi atau pengaruh bahan-bahan kimia yang merubah permukaan kayu
b. Rusaknya permukaan karena terkelupas atau tergores
c. Pengaruh cuaca seperti kelembaban, sinar matahari, dan perubahan bentuk.
d. Jamur-jamur pewarna dan pelapuk kayu
21

e. Serangga yang sering melubangi dan memakan zat organik pada kayu
(Yuswanto,2000).

Sedangkan menurut USFPL (1974), fungsi utama dari bahan finishing
(cat) adalah untuk melindungi permukaan kayu, menjaga penampilan dan
memberikan kesan indah pada kayu. Untuk keperluan interior maupun eksterior
kayuyangtidak diberi perlakuan finishing mudah mengalami penurunan kualitas
penampilan, seperti perubahan warnadan strukurkimiakayu akibatcuaca dan
degradasi akibat sinar matahari.

Tahapan pelapisan bahan finishing pada kayu (Inkote, 2006) dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Persiapan Permukaan Kayu dengan Pengampelasan (Sanding)
Sebelum melakukan pengaplikasian bahan finishing, maka perlu diperhatikan
kondisi permukaan kayu. Kayu harus dikeringkan hingga mencapai kadar air
sebesar 10-12%, kayu tidak bergetah dan memiliki serat bagus, sehingga proses
pengampelasan menjadi lebih mudah.

Tujuan utama dalam melakukan pengampelasan yaitu untuk mendapatkan
permukaan kayu yang licin dan rata, sehingga kayu siap menerima bahan
finishing. Pengampelasan dilakukan dengan cara menghilangkan serat-serat kayu
yang muncul dipermukaan kayu. Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, maka
pada proses pengampelasan kayu harus dilakukan secara benar. Pada proses
pengampelasan biasanya digunakan kertas ampelas dari nomor 180
atau240grittergantung kondisi permukaan kayu.

2. Pengisian Permukaan Kayu dengan Filler atau Pendempulan
Pengaplikasian filler dapat menghasilkan permukaan kayu yang halus dan seragam
untuk proses finishing selanjutnya. Apabila filler tidak digunakan, maka bahan
finishing seperti varnish, lacquer, dan paint akan meresap ke dalam pori- pori
sehingga membutuhkan lebih banyak bahan finishing. Cara pengaplikasian filler
yaitu dengan menggunakan kape atau scrap. Filler tersedia dalam 2 bentuk yaitu
22

pasta dan cair. Filler dalam bentuk pasta terbagi menjadi 2 yaitu waterbased filler
dan oilbased filler. Filler cair tidak memerlukan solvent sebagai pelarut dan
digunakan untuk close - grained wood, sedangkan filler dalam bentuk pasta perlu
diberi tambahan pelarut sebelum digunakan tergantung bahan dasar filler tersebut.
Pada waterbased filler digunakan tambahan pelarut air, sedangkan pada oilbased
filler digunakan gum terpentin atau thinner. Pelarut berfungsi untuk melunakkan
filler agar mudah diaplikasikan.

3. Pewarnaan Permukaan Kayu dengan Stain
Stain adalah pewarna yang biasa digunakan untuk memperjelas atau merubah
warna natural kayu. Fungsi utama stain adalah mewarnai kayu tanpa menutupi
serat - serat kayu dan memperjelas serta memperindah serat - serat kayu. Sifat-
sifat yang dimiliki oleh woodstain yang baik adalah cepat kering, penetrasi ke
dalam baik sehingga serat- serat kayu yang telah diwarnai tampil cerah dan warna
tidak mudah pudar (kecuali bila langsung terkena sinar matahari). Tahapan
pewarnaan permukaan kayu dengan stain merupakan proses finishing yang dapat
meninggalkan efek transparan agar keindahan natural dari kayu dapat
diperlihatkan semaksimal mungkin. Stain dapat diklasifikasikan berdasarkan
beberapa kriteria yaitu proses pembuatan, daya larut dalam air atau cairan organic
yang lain, cara aplikasi dan bahan kimia yang ditambahkan.

Ada berbagai macam pewarnaan kayu, yaitu pewarnaan natural,
pewarnaan transparan, pewarnaan semitransparan, pewarnaan paint (solidcolor /
duco) dan efek pewarnaan khusus (air brush). Woodstain tersebut bersifat
transparan, mudah dicampur dan diencerkan sesuai warna yang diinginkan, cepat
kering, penetrasi ke dalam pori kayu sangat baik, warna cerah dan indah, relatif
tahan terhadap sinar matahari dan tidak luntur.

Untuk mendapatkan warna yang lebih tua, maka aplikasi penyemprotan
dapat dilakukan lebih dari satu kali (biasanya 3 kali sampai 4 kali). Ada berbagai
macam pilihan warna wood stain antara lain candy brown, candy yellow, cocoa
23

brown, coffee brown, dark brown, dark mahogany, green, light brown dan lain-
lain.

4. Penutupan Permukaan Kayu dengan Sealer
Sealer digunakan sebagai penghalang antara stain dengan top coat atau antara filler
dengan stain. Kegunaan lain sanding sealer antara lain adalah agar pori-pori kayu
tidak terlihat lagi dan merangsang corak dekoratif kayu. Aplikasi sanding sealer
dilakukan dengan menggunakan kuas atau spraygun. Ada banyak tipe sealer yang
tersedia dipasaran sehingga perlu dilakukan pemilih sealer yang tepat, tergantung
dari apa yang sedang dikerjakan (kayu yang digunakan berserat tertutup atau
terbuka) dan kecocokan dengan top coat yang akan digunakan.

Beberapa tipe sealer yang tersedia di pasaran yaitu shellac, nitro cellulose
lacquer, precatalysed lacquers (precats), acid catalysed lacquers, polyurathene,
polyester products dan UV curable coating.

5. Pelapisan Cat Akhir Permukaan Kayu dengan Top coat
Pemberian cat akhir pada permukaan kayu penting untuk dilakukan karena akan
memberikan pengaruh terhadap hasil yang akan didapat. Bahan finishing untuk top
coat dapat dibagi menjadi 3 yaitu varnish, lacquers, dan paint.

a) Varnish
Varnish adalah salah satu grup dari top coat yang biasa digunakan untuk pelapis
yang transparan. Berdasarkan tujuannya varnish dibagi menjadi 3 tipe yaitu Oil
Varnishes, Spirit Varnishes dan Japan Varnishes. Aplikasi penggunaan varnish
dilakukan dengan menggunakan kuas. Proses pengeringannya membutuhkan
waktu 1 sampai dengan 2 hari. Penggunaan varnish semakin lama semakin
tergeser oleh lak sintetik yang menawarkan berbagai macam pilihan
property(ATTC, 1992).



24

b) Lak (Lacquers)
Lak merupakan formulasi sintetis yang dapat menghasilkan lapisan yang
transparan pada permukaan kayu. Perbedaan yang mendasar antara lak dan cat
adalah lak tidak memiliki pigment seperti cat. Sehingga lak tampak transparan.
Lak dapat digunakan sebagai sealer dan top coat. Sebagai sealer lak diutamakan
sifat kekuatannya dan persen solid yang tinggi. Sedangkan sebagai top coat,
diutamakan untuk penampilan, daya tahan, dan kehalusannya (ATTC, 1992).

c) Cat (Paint)
Cat adalah suatu cairan yang akan menyebar di atas suatu permukaan kayu dan
setelah mengeringakan membentuk lapisan film tipis padat yang merupakan fungsi
dekoratif maupun protektif. Cat dapat digunakan sebagai pelapisan transparan
maupun untuk warna solid (duco) dengan bahan pembentuk utama, yakni bahan
pembentuk film (binder) dikenal sebagai resin atau polymer yang dilarutkan dalam
pelarut organic ditambah bahan pembantu (additive), pigmen dan bahan pengisi
(filler) (Adidarma, 1998).

Setiap cara aplikasi mempunyai kelebihan dan kekurangan. Dalam proses
finishing, alat yang baik merupakan salah satu sumbangan yang
menguntungkan. Keberhasilan finishing juga dipengaruhi oleh berbagai aspek,
misalnya aspek operator, system aplikasi, penyiapan bahan, dan kondisi
operasional lingkungan seperti suhu, kelembaban, kebersihan, dan sirkulasi udara.
Pengaplikasian bahan finishing dapat dilakukan dengan menggunakan kuas, roller,
dan spraygun. Adapun keuntungan dalam penggunaan spraygun jika
dibandingkan dengan kuas dan roller adalah memiliki kualitas dan
kapasitas produksi yang lebih baik. Kemampuan untuk melapiskan sejumlah
bahancat yang efektif menempel pada permukaan substrat adalah jauh lebih baik.
Adapun kelemahannya adalah biaya investasi yang cukup tinggi untuk membeli
alat tersebut dan membutuhkan keterampilan operator yang tinggi agar diperoleh
hasil finishing yang baik (Sunaryo, 1997).

25

Menurut Adidarma (1998) suatu cat bias mengkilap jika: (1) cat
mempunyai sifat merata (leveling properties) yang baik; (2) cat yang lambat
kering (sampai batas tertentu) akan lebih gloss karena kesempatan merata lebih
lama; dan (3) pemakaian thinner yang tepat bias memberikan pemerataan yang
lebih baik, sehingga permukaan yang terbentuk akan lebih mengkilap.

Proses finishing yang biasa dilakukan menggunakan bahan finishing cair
sepert Oil, Politur, Nitrocellulose, Polyurethane, Melamine, dan Waterbased
Lacquer. Pengaplikasian bahan finishing tersebut berbeda pada tiap bahannya,
seperti pada penggunaan bahan oil yang diaplikasikan dengan cara system
penyemprotan. Kekurangan dalam penggunaan bahan - bahan finishing tersebut
yaitu bahan finishing mengandung emisi formaldehyde terutama pada penggunaan
Melaminedan Polyurethane. Tingginya kandungan formaldehyde dapat
menyebabkan iritasi pada mata dan tenggorokan, kanker, dan jika terpapar dalam
jumlah banyak dapat mengakibatkan kematian. Selain itu penggunaan bahan-
bahan tersebut tidak memberikan keawetan pada aspek benturan, goresan ataupun
benturan fisik lainnya (Anonim, 2008).

Sistem finishing PU (Polyurethane) adalah sistem reka oles dengan bahan
polyol yang bereaksi polyisocyanate. Hasil cross-linking nya mempunyai sifat
film yang tahan solvent, fleksibel, dan keras. Sifat film yang dihasilkan tergantung
jenis polyol dan polyisocyanate, misalnya : Acrylic Polyol dengan Polyisocyanate
Alifatic akan menghasilkan film yang non yellowing; sedangkan AlkydPolyol
dengan Polyisocyanate Aromatic akan menghasilkan film yang yellowing bila
kena sinar matahari. Tipe PU moisture curing adalah tipe PU 1 komponen dengan
bahan Polyisocyanate yang akan bereaksi dengan uap air, membentuk film yang
keras, elastis, tahan solvent dan tahan abrasi.Sistem ini banyak dipakai pada
pengecatan mebel berkualitas tinggi dan parquet. Hal yang perlu diperhatikan
dalam pengaplikasian sistem ini adalah jenis thinner yang dipakai harus PU grade,
karena akan mempengaruhi kekerasan film. Jenis thinner yang cepat kering akan
member hasil permukaan yang tidak halus (Adidarma 1998).

26

2.7 Analisa FTIR (Fourier Transform Infrared Spectroscopy)

Sistem analisa spektroskopi infra merah (IR) telah memberikan keunggulan dalam
mengkarakterisasi senyawa organik dan formulasi material polimer. Analisa
inframerah (IR) akan menentukan gugus fungsi dari molekul yang memberikan
regangan pada daerah serapan infra merah. Tahap awal identifikasi untuk masing-
masing polimer dengan membandingkan spectrum yang telah dikenal. Pita
serapan yang khas ditunjukkan oleh monomer penyusun material dan struktur
molekulnya.

Umumnya pita serapan polimer pada spektrum infra merah (IR) adalah
adanya ikatan C-H renggangan pada daerah 2880 cm
-1
dan renggangan dari gugus
fungsi lain yang mendukung suatu analisa material (Hummel, 1985).

Pada tahun 1965, Cooley dan Turky mendemonstrasikan teknik
spektroskopi FTIR. Pada dasarnya teknik ini sama dengan spektroskopi
inframerah biasa, kecuali dilengkapi dengan cara perhitungan Fourier Transform
dan pengolahan data untuk mendapatkan resolusi dan kepekaan yang lebih tinggi.
Teknik ini dilakukan dengan penambahan peralatan interferometer yang telah
lama ditemukan oleh Michelson pada akhir abad 19. Michelson telah
mendapatkan informasi spektrum dari suatu berkas radiasi dengan mengamati
interferogram yang diperoleh dari interferometer tersebut. Fellet (1990) juga telah
menggunakan perhitungan Fourier Transform pada spektrometer pada bidang
astronomi.

Spektrofotometer infra merah terutama ditujukan untuk senyawa organik
yaitu menentukan gugus fungsional yang dimiliki senyawa tersebut. Pola pada
daerah sidik jari sangat berbeda satu dengan yang lain, karenanya hal ini dapat
digunakan untuk mengidentifikasi senyawa tersebut. Penetapan secara kualitatif
dapat dilakukan dengan membandingkan tinggi peak (transmitansi) pada panjang
gelombang tertentu yang dihasilkan oleh zat yang diuji dan zat yang standar.
Dalam ilmu material, analisa ini digunakan untuk mengetahui ada tidaknya reaksi
27

atau interaksi antara bahan -bahan yang dicampurkan. Selain itu, nilai intensitas
gugus yang terdeteksi dapat menentukan jumlah bahan yang bereaksi atau yang
terkandung dalam suatu campuran (Antonius Sitorus, 2009).

2.8 Kadar kelembaban (Moisture Content)

Berat kelembaban yang terkandung di dalam sepotong kayu dinyatakan
sebagai persentase dari berat oven kering haampir seluruhnya mengacu sebagai
kadar kelembabannya. Menurut Mac Lean (1952) kadar kelembaban kayu dapat
dihitung dengan rumus:


% 100 x
W
W W
mc
o
o g



Dimana : mc = Kadar kelembaban sampel
W
g
= Berat alami kayu sebelum dikeringkan (gram)
W
o
= Berat kayu setelah dikeringkan (gram)

Berat oven kering adalah berat setengah konstan yang dicapai sampel kayu yang
dikeringkan pada suhu 105
o
C (221
o
F). Ini berguna untuk menentukan kadar
kelembaban dalam arti berat kering kayu ketika konstan yang dapat ditentukan
pada kapanpun. Faktor ini adalah nilai yang dapat dipertimbangkan di sejumlah
percobaan dimana pada awalnya oven mengeringkan sampel untuk menentukan
kelembabannya akan tidak dapat berubah kembali karakteristiknya dan mencegah
penggunaan eksperimen selanjutnya. Kemudian, dinyatakan sebagai persentase
bert oven kering, kadar kelembaban dengan mudah dibayangkan ketika
dinyatakan jumlah kelembaban yang terkandung di kayu sebagai bagian dari berat
air hingga 100 bagian substansi kayu.




28

2.9 Uji Pensil

Suatu uji yang sangat sederhana, tetapi kompleks, untuk mengukur
kekerasan lapisan adalah uji kekerasan pensil (pencil hardness), yang dilakukan
menurut ASTM D3363, Metode Uji untuk Kekerasao Lapisan oleh Kekerasan
Pensil. Dalam perkembangannya, seseorang mengusulkan menggoreskan lapisan
cat, dan dicatat bahwa perbedaan kekerasan pensil mampu mempenetrasi lapisan
ke substrat atau menggoreskan lapisan kepada tingkatan yang berbeda.

Uji tersebut kemudian dipakai oleh pakar teknologi lapisan dan saat ini
digunakan secara meluas di industri untuk menentukan kekerasan lapisan,
biasanya dari pabrikan spesifik yang dipakai. Pensil yang telah diraut dipegang
pada sudut 45
o
ke lapisan dan didorong sepanjang permukaan dengan tekanan
tangan untuk mencoba mengupas lapisan. Pensil yang gagal menggores atau
memotong lapisan dihitung sebagai "Nilai Kekerasan Pensil". Metodenya
sederhana, peralatannya berbiaya murah, dan hasilnya cepat diperoleh (Koleske,
2012)

2.10 Uji Pita Rekat

Sejauh ini uji yang paling banyak dipakai untuk mengakses "daya lekat"
lapisan cat adalah uji pengelupasan. Metode ini dapat mengukur gaya yang
dibutuhkan untuk pengelupasan lapisan. Dalam uji lainnya, pola silang atau
lubang menyilang dipotong ke lapisan, sebuah pita perekat dipasang lalu
dilepaskan, dan pengelupasan lapisan ditaksir sebagai tingkatan skala yang
dibentuk.

Metode ini terbagi 2. Pada metode uji A potongan X sepanjang 1,5 inchi
(3,8 cm) dibuat pada lapisan sampel dengan pisau tajam. Lalu pita perekat
dipasang diatas potongan dan dilekatkan dengan penghapus dan kemudian
dilepaskan, daya rekat ditaksir secara kualitatif dari skala 0 hingga 5. Pada metode
uji B, pola kisi dengan 6 atau 11 potongan pada setiap arah dibuat pada lapisan
29

substrat. Pita rekat dipasang diatasnya dan kemudian dilepas, dan daya rekat
dinilai dengan klasifikasi sebagai berikut:
5B = Garis mulus, tidak ada petak yang terlepas.
4B = Kepingan kecil terkelupas pada titik potong, kurang dari 5% area terkelupas.
3B = Kepingan kecil terkelupas sepanjang garis dan pada titik potong. Area
terkelupasantara 5 hingga 15% kisi.
2B = Lapisan terkelupas sepanjang garis dan pada bagian petak. Area terkelupas
antara 15 hingga 35% kisi.
1B = Lapisan terkelupas sepanjang garis dalam pita yang besar, dan seluruh petak
terkelupas. Area terkelupas antara 35 hingga 65% kisi.
0B = Kerusakannya lebih buruk dari 1B.
(Koleske, 2012).

Anda mungkin juga menyukai