Anda di halaman 1dari 12

7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plastik & Sifatnya


Plastik merupakan senyawa polimer yang memiliki struktur kaku dan
terbentuk dari polimerisasi monomer hidrokarbon yang membentuk rantai
panjang. Monomer yang sering digunakan dalam pembuatan plastik adalah
propena (C3H6), etena (C2H4), vinil klorida (CH2), nylon, karbonat (CO3), dan
styrene (C8H8) (Azizah, 2004).
Plastik merupakan suatu komoditi yang banyak digunakan dalam kehidupan
manusia terutama sebagai kemasan. Plastik mempunyai sifat ringan, mudah
digunakan dan harganya terjangkau. Di dunia lebih dari 30 juta ton digunakan
untuk bahan kemasan. Plastik dengan bahan baku minyak bumi sulit terurai
sehingga membutuhkan ratusan tahun untuk terdegradasi sempurna, dan dapat
mengganggu ekosistem lingkungan (Beneroso, 2014). Plastik digunakan secara
luas hampir disetiap industri, terutama di industri kemasan dan sektor bangunan
karena sifatnya yang serbaguna, ringan dan memiliki sifat isolasi termal dan
elektrik yang bagus. Produksi plastik didunia terus meningkat sejak 1950
mengakibatkan meningkatnya jumlah sampah plastik karena laju degradasi yang
lambat (Ying, 2014).
Sifat-sifat plastik sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)
ditunjukkan pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Sifat Mekanik Plastik Sesuai SNI
No Karakteristik Nilai
1 Kuat tarik (Mpa) 24,7-302
2 Persen elongasi (%) 21-220
3 Hidrofobisitas (%) 99
Sumber : Darni dan Herti (2010)

2.2 Bioplastik
8

Bioplastik merupakan nama lain dari plastik biodegradable, plastik yang


dapat digunakan layaknya seperti plastik konvensional, namun akan hancur terurai
oleh aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida
setelah habis terpakai dan dibuang kelingkungan. Karena sifatnya yang dapat
kembali kealam, plastik biodegradable merupakan plastik yang ramah lingkungan
(IBAW, 2005).
Bioplastik atau plastik biodegradable bukan merupakan sesuatu yang baru.
Pada tahun 1850an ahli kimia Inggris membuat plastik berbasis selulosa dari
serbuk kayu. Pada awal permulaan abad ke-20 Henry Ford melakukan percobaan
membuat plastik dari kedelai sebagai alternatif bahan bakar fosil untuk
menggerakan berbagi automobile (Reddy, 2013). Bioplastik adalah suatu plastik
yang sebagian atau seluruhnya dibuat dari turunan polimer dari sumber biologi
seperti pati rotan, pati kentang, atau selulosa dari pohon, jerami dan kapas.
Bioplastik tidak hanya dibuat dari satu bahan, tetapi terdiri dari beberapa material
dengan sifat dan aplikasi yang berbeda (Widyaningsih, 2012).
Bioplastik adalah polimer yang dapat berubah menjadi biomassa, H2O, CO2,
dan atau CH4 melalui tahapan depolimerisasi dan mineralisasi. Saat ini, plastik
biodegradable yang tersedia berbasis termoplastik pati, PVA, dan campuranya.
Material ini sebagai alternatif untuk menggantikan bahan dasar plastik
konvensional dengan material non-biodegradable seperti polietilen (PE) menjadi
material biodegradable untuk berbagai aplikasi (Xiaozhi, 2011).

Gambar 2.1 Siklus Bioplastik (IBAW Publication, 2005)


2.3 Komposit Bioplastik
9

Komposit merupakan proses penggabungan bahan yang telah dipilih dengan


sifat fisik masing-masing dan telah ditentukan berdasarkan kombinasi tertentu
untuk menghasilkan material baru dengan sifat yang lebih baik dari material
dasarnya (Gibson, 1994). Secara umum, komposit terdiri dari dua komponen
utama yaitu matriks dan filler. Gibson (1994), matriks dalam struktur komposit
bisa berasal dari bahan polimer, logam, maupun keramik. Secara umum keramik
berfungsi sebagai pengikat serat menjadi satu struktur komposit. Filler merupakan
bahan pengisi dalam campuran bioplastik, umumnya berupa serat atau serbuk.

2.4 Preparasi Biokomposit untuk Produksi Bioplastik


Berbagai metode preparasi biokomposit untuk memproduksi bioplastik
dapat dijelaskan sebagai berikut :

2.4.1 Eksfoliasi/adsorpsi
Metode ini didasarkan pada sekumpulan lapisan (layered host) mengalami
pengelupasan dalam pelarut (air, toluena) yang polimernya dapat larut pada
pelarut tersebut. Kemudian, polimer diadsorpsi ke dalam permukaan lapisan atau
pelarut akan menguap ketika lapisan mengendap (Wang dan Zhang, 2005).

2.4.2 Polimerasi Insitu Interkalatif


Pada metode ini, polimer dibentuk diantara lapisan dengan mengembangkan
kumpulan lapisan dalam monomer cair atau larutan monomer sehingga
pembentukan polimer dapat terjadi antara lembar yang terinterkalasi.
Pembentukan polimer (polimerisasi) dapat dimulai dengan panas/radiasi/difusi
(Zhao et al, 2008).

2.4.3 Interkalasi larutan/ Interkalasi prepolimer dari larutan


Metode ini didasarkan pada pengembangan sistem pelarut dimana
biopolimer atau bio-prepolimer, seperti pati dan protein terlarut dan nanofilters
anorganik (biasanya silikat). Pertama, silikat berlapis dikembangkan didalam
suatu pelarut seperti air, kloroform, atau toluena. Kedua, ketika biopolimer dan
10

larutan nanopartikel yang mengembang dicampur, rantai polimer akan


terinterkalasi dan menggantikan pelarut dalam interlayer dari silikat. Ketiga,
setelah penghilangan pelarut, struktur yang telah terinterkalasi akan tertinggal dan
akan membentuk biopolimer/silikat berlapis bionanokomposit (Zhao et al, 2008).

2.4.4 Melt Intercalation


Proses pembuatan biokomposit pada metode ini tidak memerlukan
penambahan pelarut. Silikat berlapis dicampur dengan matriks polimer dalam
molten state kemudian ikatan polimer akan bergerak perlahan-lahan kedalam
ruang antar lapisannya (Ma et al, 2008). Proses penyebaran ikatan polimer
kedalam galeri lapisan silikat menjadi bagian penting pada proses melt
intercalation (Li Wang dan Zhao, 2002). Melt Intercalation merupakan metode
ramah lingkungan karena tidak digunakanya pelarut organik yang nantinya dapat
menjadi limbah, sementara metode eksfoliasi, polimerisasi insitu interkalatif dan
interkalasi larutan menggunakan pelarut tersebut. Selain itu, melt intercalation
juga kompatibel dengan proses industri seperti pada injection molding. Pada melt
intercalation, pembuatan biokomposit dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan
material, yaitu dengan cara memanaskan dan mendinginkan material (Wang dan
Zhang, 2005).

2.5 Bahan Baku Bioplastik


Di Indonesia, potensi penelitian dan pengembangan teknologi plastik
biodegradable sangat besar, hal ini karena besarnya biodiversitas hasil pertanian
dan kelautan yang dimiliki dan yang dapat dikembamgkan sebagai biopolimer,
diantaranya adalah umbi-umbian tropis khas Indonesia seperti, jagung, sagu,
kentang, tepung tapioka, ubi kayu dan rumput laut. Diantara polimer alami, pati
merupakan bahan baku potensial sebagai pengganti plastik sintetis karena
keunggulan seperti biaya rendah, ketersediaan luas, fleksibel, transparan, serta
mampu terdegradasi tanpa pembentukan residu beracun (Suryanto, 2016).

2.5.1 Pati
11

Pati adalah salah satu polisakarida yang penting dalam pembentukan


bioplastik karena memiliki kemampuan untuk membentuk matriks yang kontinu
dengan harga yang murah. Pati memiliki struktur granular dan terdiri dari dua
makromolekul yaitu amilosa dan amilopektin. Kedua polimer ini bertanggung
jawab untuk kristalisasi pati dengan mengubah sifat mekanik (meningkatkan
kekakuan) dari pati. Perbandingan jumlah amilosa : amilopektin tergantung pada
sumber pati, berkisar antara 15:85 sampai 35:65. Film berbasis pati memiliki sifat
tidak berbau, tidak berwarna, transparan dan sangat rendah permeabilitas oksigen.
Film pati memiliki beberapa kekurangan seperti sifat penghalang uap air yang
rendah dan kekauan yang tinggi (Cano, 2015).
Diantara sumber polimer alam terbarukan, pati merupakan bahan yang
paling murah, tersedia berlimpah dialam dan berpotensi untuk dijadikan sebagai
bahan dasar pembuatan bioplastik. Ubi-ubian, serealia, dan biji polong-polongan
merupakan sumber pati yang paling penting. Ubi-ubian yang sering dijadikan
sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Liu, 2005). Kandungan
pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 2.2.
Tabel 2.2. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan
Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)
Biji gandum 67
Beras 89
Jagung 57
Biji sorghum 72
Kentang 75
Ubi jalar 90
Singkong 90
Sumber : Liu (2005)
Pati bisa mengalami proses termal ketika ditambahkan suatu plasticizer
seperti air, maka selama proses ini dan akhir proses akan merubah sifat dari
campuran sebagai hasil dari hidrofilisitas dari pati. Pati sebagai material yang
cocok karena sifatnya yang biodegradable, berlimpah di alam dan relatif murah.
2.5.2 Pati Singkong
Singkong (Manihot Esculenta Cranz, tepung singkong, tapioka) adalah
produk hasil panen melimpah kelima didunia dan sumber makanan paling penting
12

ketiga untuk penduduk daerah tropis (FAOSTAT, 2009). Singkong adalah bagian
terpenting di Negara berkembang dan sebagai makanan pokok untuk 800 juta
orang di Afrika, Amerika Selatan, Asia dan Pulau Pasifik. Singkong merupakan
tanaman yang banyak terdapat di Indonesia, mudah diperoleh dan harganya murah
(Asni, 2015).
Menurut Wahyu (2008), singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi
penduduk kawasan tropis di dunia. Singkong adalah makanan yang kaya energi
mengandung lebih dari 90 % pati (berat kering) dan kaya vitamin C, karotenoid
dan mineral serta kandungan kecil seperti lipid, protein, serat dan abu (Eliangela,
2012). Kandungan kalori dan komposisi zat gizi dalam 100 gram singkong
disajikan pada Tabel 2.3.
Tabel 2.3 Kandungan Kalori dan Komposisi Zat Gizi dalam 100 gram
Singkong
Komposisi Kimia Jumlah
Air (g) 62,5
Karbohidrat (g) 34,7
Protein (g) 1,2
Lemak (g) 0,3
Ca (mg) 33,0
Fe (mg) 0,7
Thiamin B1 (mg) 0,06
Riboflavin B2 (mg) 0,03
Niacin (mg) 0,6
Vitamin C (mg) 36
Energi (kal) 146,0
Sumber : Wahyu (2008)
Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta
yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi
(Wahyu, 2008). Temperatur gelatinisasi pati singkong sangat rendah hanya 52-64
0
C, untuk mendapatkan bioplastik berbasis pati yang fleksibel ditambahkan
plasticizer seperti sorbitol, gliserol, dan Xilitol (Azahari, 2011).

2.6 Filler / Penguat Bioplastik


Salah satu bagian utama dalam pembuatan bioplastik adalah filler atau
reinforcement yang berfungsi sebagai penguat atau pengeras material dari suatu
13

komposit (Harper, 1996). Pada umunya filler berupa serat atau serbuk. Adanya
filler sebagai penguat dalam biopolimer akan memberikan pengaruh pada sifat-
sifat komposit yang terbentuk (Bayandori, 2009). Jika pati (fasa organik) tersebut
digabung dengan penguat/pengisi (fasa anorganik) yang memiliki ukuran nano
maka akan terbentuk suatu bioplastik. Beberapa macam pengisi yang dapat diisi
kedalam matriks pati seperti layer silicates, carbon nanotubes, carbon black,
metal (platinum, palladium, and silver) dan metal oxide nanoparticles (Nugroho,
2012).

2.6.1 Graphene Oxide (GO)


Graphene Oxide (GO) merupakan satu lapisan yang terdiri dari grafit yang
biasanya diperoleh melalui sintesis kimiawi grafit melalui oksidasi, dengan
dispersi dan pengelupasan selanjutnya dilakukan didalam air atau menggunakan
pelarut organik yang sesuai. Graphene oxide memiliki banyak kegunaan dibidang
elektrokimia dan aplikasi elektroanalitik. Mengenai sifat elektrokimia dan
aplikasinya, keuntungan utama menggunakan GO adalah bahwa GO merupakan
material berbahan dasar karbon, seperti Graphene murni, grafit, carbon
nanotubes, fullerene, dan intan. Sintesis GO termasuk sintesis yang mudah
dilakukan, mudah larut, konduktifitasnya mudah disesuaikan, area permukaan
tinggi (high surface area), biocompatibility dan sumberdaya materialnya
melimpah serta murah (Chen et al, 2012).
Struktur kimia graphene oxide ditunjukan pada Gambar 2.2. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa graphene oxide merupakan graphene yang berikatan
dengan gugus karboksil, karbonil, dan ester (S.-H. Kang et al, 2013).
14

Gambar 2.2 Struktur kimis graphene oxide (S.-H. Kang et al, 2013)
Grafit adalah bahan berbasis 3D-carbon, yang dapat dianggap tersusun atas
banyak lapisan graphene. Oksida grafit sedikit berbeda dari grafit. Jika zat
pengoksidasi kuat digunakan dalam mengoksidasi grafit, maka fungsi oksigenasi
diperkenalkan pada struktur grafit, yang menjadikan bahan bersifat hidrofilik,
serta dapat memperluas pemisahan lapisan. Hal ini memungkinkan untuk
melakukan pengelupasan oksida grafit dalam air melalui sonikasi dan
menghasilkan monolayer atau beberapa lapisan oxygen-functionalized graphene,
yang disebut dengan graphene oxide atau GO.
Adanya fungsi oksigen, menyebabkan graphene oxide dapat dengan mudah
menyebar dalam pelarut organik, air, dan matriks yang berbeda. Hal ini menjadi
salah satu keuntungan besar saat menggabungkan material GO dengan matriks
polimer atau keramik untuk meningkatkan sifat mekanik dan elektriknya.
Sintesis graphene oxide yang paling umum digunakan dikembangkan oleh
Hummers dkk pada tahun 1958. Metode tersebut kemudian dimodifikasi menjadi
metode yang lebih aman oleh Marcano dkk pada tahun 2010 yakni metode sintesis
yang tidak mengeluarkan gas beracun seperti NO2 dan N2O4 dengan struktur yang
lebih teratur. Akan tetapi metode ini menggunakan asam pekat dalam jumlah yang
relatif banyak, sehingga menghasilkan limbah asam yang banyak dan berbahaya,
waktu sintesis yang lama, serta konduktivitas listrik yang masih rendah yaitu 0,1
S/cm. Husnah et al, 2015 mensintesis oksida grapen tereduksi (Reduce graphene
oxide; rGO) dengan dua tahap sintesis. Tahap pertama dengan mensintesis
graphene oxide (GO) menggunakan modifikasi metode Marcano dilanjutkan
dengan sintesis reduce graphene oxide (rGO) dengan bantuan microwave dan
hydrazine hydrate (N2H4) sebagai agen pereduksi graphene oxide. Pada metode
ini pengurangan penggunaan asam pekat hingga ~80,8% dan waktu sintesis yang
lebih cepat. Namun metode ini menggunakan hydrazine hydrate (N2H4) yang
merupakan agen pereduksi yang bersifat berbahaya. Pada tahun 2016 Rafitasari
mensintesis graphene oxide dengan menggunakan modifikasi metode Hummers
dengan penggunaan asam pekat yang lebih sedikit dengan menghasilkan
15

graphene oxide sintesis yang memiliki kemiripan spektroskopi UV-Vis dan FTIR
dengan graphene oxide komersial.
Penelitian ini memfokuskan pada sintesis graphene oxide dengan
menggunakan metode modifikasi Hummers tanpa menggunakan agen pereduksi
hydrazline hydrate (N2H4) sebagai bahan komposit bioplastik yang diharapkan
dapat meningkatkan sifat mekanis bioplastik.

2.7 Plasticizer
Plasticizer (bahan pelembut) adalah bahan organik dengan berat molekul
rendah yang ditambahkan pada suatu produk dengan tujuan untuk menurunkan
kekakuan dari polimer, sekaligus meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas
polimer. Jenis plasticizer telah banyak digunakan dalam pembuatan komposit
bioplastik yang bertujuan untuk menurunkan rantai interaksi molekul yang kuat
serta meningkatkan kemampuan proses dan kekuatan mekanis. Pemlastis polimer
yang biasa digunakan adalah pemlastis dari golongan kelompok poliol seperti
gliserol, sorbitol, dan xilitol (Nugroho, 2012).

2.7.1 Gliserol
Gliserol (C3H8O3) merupakan bahan pemlastis (plasticizer), mempunyai
gugus hidroksil bersifat hidrofilik. Plastisasi adalah proses penambahan zat cair
atau padat agar meningkatkan sifat plasticizer atau pemlastis. Penambahan
gliserol sebagai plasticizer untuk memperlemah kekakuan agar bioselulosa
terhindar dari keretakan dan bersifat lebih fleksibel (Asni et al, 2015).
Gliserol memiliki berat molekul yang kecil, bersifat hidrofilik, digunakan
secara luas dalam proses termoplastik dari protein, dengan menunjukan efek
plasticsizing yang tinggi sehingga gliserol mudah untuk masuk kedalam struktur
tiga dimensi biopolimer. Sifat plasticizer sempurna dari gliserol, campuran air dan
gliserol bisa digunakan sebagai plasticizer (Menzel et al, 2014). Penggunaan
campuran gliserol dan air memberikan beberapa keuntungan terutama untuk
beberapa proses biopolimer. Keuntungan ini berkaitan dengan kekentalan yang
tinggi dari gliserol yang kekurangan air (Zarate-Ramireza et al, 2014). Gliserol
16

lebih cocok digunakan sebagi plasticizer karena berbentuk cair. Bentuk cair lebih
menguntungkan karena gliserol dapat mudah tercampur dalam larutan film dan
terlarut dalam air sedangkan sorbitol sulit bercampur dan mudah mengkristal pada
suhu ruang (Anker et al, 2000).

2.8 Uji Karakterisasi Graphene Oxide


Bahan dasar graphene oxide berupa grafit yang berasal dari baterai bekas.
Graphene oxide yang telah terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan
instrumen X-Ray Diffraction (XRD), Fourier Transform Infrared (FTIR) dan
Scanning Electron Microscopy (SEM). Karakterisasi tersebut bertujuan untuk
mengetahui kristalinitas, gugus fungsi dan morfologi pada graphene oxide.

2.9 Uji Karakterisasi Bioplastik


Uji karakterisasi yang akan dilakukan pada bioplastik berkaitan dengan sifat
fisik dan mekanik seperti kuat tarik serta elongasi, uji morfologi dengan SEM, uji
kualitatif intaraksi GO dengan gugus organik/fungsional dalam bioplastik dengan
FTIR, dan uji biodegradasi serta uji ketahanan air (swelling).

2.9.1 Uji sifat mekanik


Uji karakterisasi sifat mekanik bioplastik meliputi uji kuat tarik serta
elongasi. Tensile strenght atau kuat tarik merupakan ukuran besarnya beban atau
gaya yang dapat ditahan sebelum suatu sampel rusak atau putus. Uji tarik
merupakan salah satu pengujian untuk mengetahui sifat mekanik dari suatu bahan.
Pengujian dilakukan dengan menarik suatu bahan maka dapat diketahui
bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui
sejumlah mana material itu mengalami pemanjangan (elongasi) (Gedney, 2013).

2.9.2 Uji morfologi


Struktur morfologi bioplastik dianalisa dengan menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM). SEM adalah suatu instrumen yang berdasarkan pada
analisis mikroskop electron, detector akan menangkap cahaya electron yang
17

dipantulkan oleh sampel untuk membentuk foto atau gambar dari permukaan
sampel. Electron gun merupakan sumber penghasil electron, adanya tegangan
yang tinggi dan filament menghasilkan electron beam. Berkas sinar elektron
difokuskan kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 A dan digunakan untuk
melihat permukaan dalam suatu layar. Secara kualitatif, SEM dapat menganalisa
morfologi sampel, tekstur, cacat dan detail permukaan. Secara kuantitatif, SEM
dapat mengukur ukuran dari sampel dengan skala pembesaran dengan pembesaran
skala pada gambar SEM (Dunlap dan Adaskaveg, 1997).

2.9.3 Uji Kualitatif Intaraksi GO Dengan Gugus Organik/Fungsional Dalam


Bioplastik Dengan FTIR
Karakterisasi gugus fungsi dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi kimia
dan tipe ikatan yang terkandung dalam senyawa kimia. Alat yang digunakan
adalah Spektroskopi FTIR atau Fourier Transform Infrared. Hampir semua
senyawa, termasuk senyawa organik menyerap daerah inframerah. Serapan tiap
tipe ikatan (N-H, C-H, O-H, C-X, C=O, C-O, C=C,C-C, C=N, dan sebagainya)
hanya dapat diperoleh dalam bagian-bagian kecil tertentu dari daerah vibrasi
inframerah (Kristianingrum, 2004). Gugus fungsi komponen penyusun bioplastik
ini dibandingkan dengan gugus fungsi pada graphene oxide sehingga dapat
diperkirakan jenis interaksi yang terjadi.

2.9.4 Uji biodegradabilitas


Uji biodegradabilitas atau kemampuan biodegradasi plastik dilakukan untuk
mengetahui pengaruh alam terhadap plastik dalam jangka waktu tertentu,
sehingga akan diperoleh persentase kerusakan plastik. Selanjutnya, dapat
diperkirkan lamanya waktu yang dibutuhkan oleh plastik untuk terurai dialam
secara sempurna. Uji yang dilakukan ialah soil burial test yaitu uji degradasi
sampel dengan mengubur sampel dalam tanah (Gautum dan Kaur, 2013).

2.9.5 Uji Swelling


18

Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu
persentase penggembungan plastik oleh adanya air. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui persentase
penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses
terdifusinya molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang
menggembung. Pada uji swelling terlihat bahwa kemampuan bioplastik untuk
menahan serapan air. Pengujian ini digunakan untuk melihat kemampuan plastik
dalam melindungi produk dari air. Semakin besar daya serap airnya, maka plastik
kurang mampu melindungi produk dari air yang dapat menyebabkan produk cepat
rusak atau berkurang kualitasnya (Lazuardi, 2013).

Anda mungkin juga menyukai