Meyliana Eva Elcidthian (H3117053) Nisa Indah Permata S (H3117057) Rafida Sandra (H3117063) Tintan Rustianasari (H3117074) Wijieh Mawar A (H3117078)
DIPLOMA TIGA TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2019 ACARA II BIODEGRADABLE FILM A. Tujuan Tujuan praktikum Acara II “Biodegradable Film” adalah: 1. Mahasiswa dapat mengetahui cara membuat Biodegradable film dari berbagai jenis polimer. B. Tinjauan Pustaka 1. Tipus Teori Pengemas biodegradable termasuk ke dalam edible film karena berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik nonbiodegradable. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan untuk melapisi makanan, atau diletakkan di antara komponen yang berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen, dan lemak. Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, serta untuk mengontrol pertumbuhan mikroba. Penggunaan edible film untuk pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas (Sinaga dkk., 2013). Pati juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biodegradable plastik (bioplastik). Industri di beberapa negara sudah mengembangkan pati sebagai bahan bioplastik. Jenis pati yang banyak digunakan adalah pati jagung dan pati kentang. Jenis pati dari kedua komoditas ini banyak digunakan oleh industri bioplastik di beberapa negara Eropa dan Australia. Di Thailand, bahan baku yang digunakan untuk bioplastik adalah pati ubi kayu. Pati komoditas pertanian lebih kompetitif dan tersedia cukup melimpah sebagai bahan baku plastik biodegradable (Kamsiati dkk., 2017). Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi monomer – monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Plastik biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan unsur hara dalam tanah (Aripin dkk., 2017). Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari: kuat tarik (tensile strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses pembentukan film. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat ditahan oleh film selama pengukuran berlansung. Kuat tarik dipengaruhi oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film. Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas akan semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan pemlastis dalam film (Akbar dkk., 2013). Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses berikutnya (secondary process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri, jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop, pembentuk endospora, gram negatif aerob. Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob, kemudian dalam tanah dan air laut. Permeabilitas suatu film kemasan adalah kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan bahan pada suatu kondisi tertentu (Akbar dkk., 2013). Pengujian sifat biodegradable juga dilakukan untuk mengetahui keteruraian film dari pati kulit pisang. Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas plastik setelah kontak dengan mikroba yakni sifat hidrofob, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan plastik. Makin besar bobot molekul suatu bahan makin rendah biodegradabilitasnya. Bentuk film memiliki tingkat biodegradabilitas paling rendah. Reaksi degradasi kimia dalam polimer linier menyebabkan turunnya berat molekul atau pemendekan panjang rantai (Widyaningsih, 2012). 2. Tipus Bahan Tepung tapioka atau bisa disebut dengan tepung kanji merupakan salah satu tepung yang diperoleh dari umbi singkong yang diambil patinya. Tapioka memiliki sifat- sifat yang serupa dengan sagu, sehingga kegunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung ini sering digunakan untuk membuat makanan, bahan perekat, dan banyak makanan tradisional yang menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya. Tapioka adalah nama yang diberikan untuk produk olahan dari akar ubi kayu (cassava). Analisis terhadap akar ubi kayu yang khas mengidentifikasikan kadar air 70%, pati 24%, serat 2%, protein 1% serta komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%. Tahapan proses yang digunakan untuk menghasilkan pati tapioka dalam industri adalah pencucian, pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan halus, separasi, pembasahan, dan pengering. Tepung tapioka yang dibuat dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung, kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan bantu pewarna putih. Selain itu keketalan ari tepung tapioka yang bereaksi dengan air sangat tinggi sehingga mampu dijadikan sebagai perekat (Whister dkk, 1984). Gliserol adalah produk samping produksi biodisel dari reaksi transesterifikasi dan merupakan senyawa alkohol dengan gugus hidroksil berjumalh tiga buah. Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki rasa manis. Agar gliserol dapat digunkan dalam industri makanan maka perlu dimurnika dengan destilasi, sehingga dapat digunakan dalam industri makanan, farmasi atau juga dapat digunakan untuk pengolahan air. Sebagai produk samping industry biodiesel, gliserol belum banyak diolah sehingga nilai jualnya masih rendah (Pagliaro dan Rossi, 2008). Produk turunan dari gliserol meliputi gliserik serta gliserol tri-nitrat yang digunakan sebagai bahan peledak, secara bertahap kehilangan dominasinya. Resin alkid berasal dari gliserin mewakili penggunaan tunggal terbesar dari gliserin dikombinasikan akhir-akhir ini. Dalam barang-barang toilet dan bidang makanan, ester dari gliserin, terutama ester parsial (mono-dan di-gliserida) telah menjadi komponen yang sangat khusus produk emulsi, memberikan kontribusi pengendalian atas kelembutan dari kecantikan, juga untuk margarin (Miner dan Dalton, 1953). Plastik sintetis merupakan salah satu jenis pengemas yang sangat besar keberadaanya di dunia. Bahan kemasan yang berasal dari polimer petrokimia yakni plastik sangat populer digunakan karena memiliki beberapa keunggulan, yakni fleksibel (mengikuti bentuk produk), transparan, tidak mudah pecah, dapat dikombinasikan dengan kemasan lain, dan tidak korosif. Namun, polimer plastik tidak tahan terhadap panas dan dapat mencemari produk dengan migrasi komponen monomernya, sehingga berdampak terhadap keamanan dan kesehatan konsumen. Selain itu, kelemahan plastik yang lainnya adalah tidak dapat dihancurkan secara alami (non-biodegradable) sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan. Karenanya, bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara luas karena akan menambahkan persoalan dan kesehatan di waktu mendatang (Prasetyo dkk., 2012). Polimer alami adalah polimer yang dihasilkan dari monomer organik seperti pati, karet, kitosan, selulosa, protein dan lignin. Biopolimer banyak diminatioleh industri karena berasal dari sumber daya alam yang dapat diperbarui, biodegradable (dapat diuraikan), mempunyai sifat mekanis yang baik, dan ekonomis. Saat ini, biopolimer banyak diteliti untuk menghasilkan film (plastik) yang dapat menggantikan keberadaan plastik sintetik. Terdapat tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu : a) Campuran biopolimer dengan polimer sintetis : film jenis ini dibuat dari campuran granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan (prooksidan dan autooksidan). Komponen ini memiliki angka biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas. b) Polimer mikrobiologi (poliester): Biopolimer ini dihasilkan secara bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes. Berbagai jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat dan asam poliglikolat. Bahan ini dapat terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Tetapi karena proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan biodegradable ini relatif mahal. c) Polimer pertanian: biopolimer ini tidak dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya selulosa (bagian dari dinding sel tanaman), kitin (pada kulit Crustaceae) dan pullulan (hasil fermentasi pati oleh Pullularia pullulans). Polimer ini memiliki sifat termoplastik, yaitu mempunyai kemampuan untuk dibentuk atau dicetak menjadi film kemasan. Kelebihan dari polimer jenis ini adalah ketersediaan sepanjang tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable). Polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan antara lain adalah pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, consentrate whey dan soy protein (Pouilloux et al., 1999). Plastik biodegradabel merupakan plastik yang dapat terurai oleh aktivitas mikroorganisme pengurai. Plastik biodegradabel memiliki kegunaan yang sama seperti plastik sintetis atau plastik konvensional. Plastik biodegradabel biasanya disebut dengan bioplastik, yaitu plastik yang seluruh atau hampir seluruh komponennya berasal dari bahan baku yang dapat diperbaharui. Plastik biodegradabel merupakan bahan plastik yang ramah terhadap lingkungan karena sifatnya yang dapat kembali ke alam. Umumnya, kemasan biodegradabel diartikan sebagai film kemasan yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Plastik biodegredabel dapat berubah struktur kimianya. Dalam pembuatan plastik biodagradabel film untuk menciptakan karakteristik plastik guna mempertahankan daya tarik maka perlunya penggunaan pemlastis atau plastisizer. Plastisizer menurunkan kekuatan inter dan intra molekular dan meningkatkan mobilitas dan fleksibilatas film Semakin banyak penggunaan plastisizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula dengan penggunaan plastisizer yang bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan kelarutannya di dalam air (Sanchez et al., 1998). Tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang digunakan untuk bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi, dan kemungkinan dapat dibuat fettuccine, serta dapat digunakan dalam industri farmasi. Tepung pati jagung memiliki sifat fleksibel, hal ini dikarenakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan. Tepung jagung relatif mudah diterima masyarakat, karena telah terbiasa menggunakan bahan tepung, seperti halnya tepung beras dan terigu. Pemanfaatan tepung jagung komposit pada berbagai bahan dasar pangan antara lain untuk kue basah, kue kering, mie kering, dan roti-rotian. Tepung pati jagung komposit dapat mensubstitusi 30-40% terigu untuk kue basah, 60-70% untuk kue kering, dan 10-15% untuk roti dan mie (Richana dan Suarni, 2007). Aquadest merupakan air hasil dari destilasi atau penyulingan, dapat disebut juga air murni (H2O). karena H2O hampir tidak mengandung mineral. Sedangkan air mineral merupakan pelarut yang universal. Air tersebut mudah menyerap atau melarutkan berbagai partikel yang ditemuinya dan dengan mudah menjadi terkontaminasi. Dalam siklusnya di dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral anorganik, logam berat dan mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan aquades (H2O) karena mengandung banyak mineral. Aquadest memiliki tiga jenis jika ditinjau dari bahan baku pembuatnya, yaitu : air aquadest dari sumur, air aquadest dari mata air pegunungan, air aquadest dari Air tanah hujan (Santosa, 2011). Plasticizer adalah senyawa adiktif yang ditambahkan kepada polimer untuk menambah fleksibilitas dan workability-nya. Plasticizers (Sorbitol) merupakan substansi non volatil, mempunyai titik didih yang tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam materi lain dapat mengubah sifat fisik atau sifat mekanik bahan tersebut (Krochta et al., 1994). Beberapa plasticizers yang biasa digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable antara lain glycerol, sorbitol dan polyethylene glycol. Glycerol dan sorbitol mampu memberikan rasa manis sedangkan polyethylene glycol tidak berasa. Plasticizers seperti sorbitol mempunyai kemampuan mengurangi ikatan hidrogen internal dan meningkatkan jarak intermolekuler (Lieberman & Gilbert, 1973). Plasticizer sering merupakan senyawa organik inert dengan berat molekul rendah, didih tinggi titik dan tekanan uap rendah yang digunakan sebagai aditif polimer. Peran utama plasticizer adalah untuk meningkatkan sifat mekanik polimer dengan meningkatkan fleksibilitas, mengurangi kekuatan tarik dan menurunkan suhu transisi orde kedua. Itu (IUPAC) mengembangkan definisi untuk plasticizer sebagai “zat atau bahan yang tergabung dalam suatu bahan (biasanya plastik atau elastomer) untuk meningkatkan fleksibilitas, kemampuan kerja, atau distensibilitas ”. Atribut yang baik plasticizer adalah kompatibilitas yang baik dengan polimer, yang tergantung pada polaritas, kelarutan, konfigurasi struktural dan berat molekul plasticizer dan hasil dari yang serupa struktur kimia polimer dan plasticizer. Faktor penting lainnya adalah plasticizer keabadian yang terkait dengan ketahanannya terhadap migrasi. Karena itu, plasticizer yang baik harus dimiliki titik didih tinggi dan volatilitas rendah (tekanan uap rendah) untuk mencegah atau mengurangi kehilangannya selama pemrosesan. Plasticizer juga harus bebas aroma dan tidak beracun. Fitur lain yang penting adalah tingkat rendah migrasi keluar dari bahan untuk melestarikan sifat yang diinginkan dari plasticized polimer dan hindari kontaminasi bahan dari titik kesehatan potensial dampak lingkungan yang bersentuhan dengannya. Keabadian plasticizer dalam polimer adalah tergantung pada ukuran molekul plasticizer, sehingga semakin besar molekul, semakin besar keabadian plasticizer. Semakin tinggi tingkat difusi plasticizer dalam polimer, maka keabadian yang lebih rendah karena migrasi keluar dari matriks polimer (Gutierrez et al., 2007). Ada dua teknik untuk plastisisasi: eksternal dan internal. Plastisisasi eksternal adalah metode yang memberikan plastisitas melalui pencampuran fisik. Jadi, plasticizer eksternal adalah tidak terikat secara kimiawi pada polimer dan dapat menguap, bermigrasi, atau keluar dari polimer produk dengan ekstraksi cair. Plastisisasi polimer dengan penggabungan komonomer atau reaksi dengan polimer, menyediakan unit rantai fleksibel disebut plastisisasi internal. Plasticizer internal adalah kelompok (segmen fleksibel) yang merupakan bagian dari rantai polimer dasar, yang dapat dimasukkan secara teratur atau tidak teratur antara monomer tidak fleksibel (segmen keras) atau dicangkokkan sebagai rantai samping sehingga mengurangi kekuatan antarmolekul. Menurut kompatibilitas dengan polimer, eksternal plasticizer dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok utama: primer dan sekunder, disebut juga ekstender. Plasticizer primer memiliki tingkat kompatibilitas yang memadai polimer untuk dapat digunakan sebagai pemlastis tunggal dalam semua proporsi yang wajar, memberikan efek modifikasi yang diinginkan. Mereka berinteraksi langsung dengan rantai. Peliat sekunder memiliki kompatibilitas terbatas dan akan keluar dari polimer jika digunakan sendiri (Matuana et al., 1997). C. Metodologi 1. Alat a. Cabinet dryer b. Gelas beker c. Hot plate d. Nampan e. Pengaduk f. Pipet volum g. Propipet h. Termometer i. Timbangan analitik 2. Bahan a. Aquades b. Gliserol c. Tepung maizena d. Tepung tapioca 3. Cara Kerja 2,5 gram tepung maizena dan tepung tapioka
Pemasukan dalam gelas beker
100 ml aquades Pengadukan hingga tercampur homogen
Pemanasan pada suhu 70oC menggunakan hot
plate hingga tergelatinisasi
Penurunan suhu sampai 60oC
2 ml gliserol Penambahan
Pengadukan selama 30 menit dan dipertahankan
pada suhu 60oC
Penuangan ke nampan
Pengeringan pada suhu 70oC selama 5 jam
menggunakan cabinet dryer
Pelepasan dari nampan
Perlakuan karakterisasi dan aplikasi
Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Biodegradable Film
D. Hasil dan Pembahasan Biodegradable film adalah bahan jenis plastik yang bisa terurai oleh mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek yang dipotong mikroorganisme. Kalau bahan plastik konvensional tidak bisa diurai. Sehingga biodegradable film adalah bahan pengemas yang ramah terhadap lingkungan. Bahan ini bisa diambil dari pati jagung atau ketela pohon, kayu, atau cangkang udang. Praktikum kali ini dilakukan dengan tujuan untuk membuat biodegradable film dari berbagai jenis polimer dimana jenis polimer yang digunakan adalah tepung komposit (tepung agar), tepung tapioka (pati ketela pohon) dan tepung maizena (pati jagung). Dan sebagai film standar hanya menggunakan tepung komposit (tepung agar) tanpa penambahan tepung tapioka maupun tepung maizena. Selain bahan tersebut ditambahkan juga KCl yang berfungsi sebagai pelarut bagi biopolimer hidrofobik yang digunakan yaitu tepung komposit (tepung agar) dan gliserol yang berfungsi sebagai plasticizer (penguat). Gliserol merupakan plasticizer yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intramolekul (Poeloengasih, 2003). Menurut Roiyana (2012), pati merupakan polimer larut air, mempunyai kemampuan mengentalkan atau membentuk sistem gel encer. Pati alami dari tanaman sudah lama dipergunakan sebagai bahan campuran pada pengolahan makanan sehingga aman dikonsumsi. Di antara jenis polisakarida, pati merupakan bahan baku yang potensial untuk pembuatan edible film dengan karakteristik fisik yang mirip dengan plastik. Pada praktikum pembuatan edible film digunakan tepung tapioka, tepung maizena, dan tepung komposit (tapioka+maizena) merupakan jenis polisakarida maka dapat digunakan sebagai bahan pembuatan edible film. Pati jagung tersusun atas 25% amilosa dan 75% amilopektin. Sedangkan tepung tapioka memiliki kadar amilosa 17%, kadar amilopektin 83%, dan suhu gelatinisasi 52–64oC. Pada kadar amilosa dan amilopektin di tepung komposit (tapioka+maizena) adalah seimbang antara amilosa dan amilopektin. Kestabilan edible film dipengaruhi oleh amilopektin, sedangkan amilosa berpengaruh terhadap kekompakannya (Imaningsih 2012). Pati dapat menyerap air secara maksimal jika suspensi air dipanaskan pada temperatur 55°C sampai 65°C. Suhu gelatinisasi pati mempengaruhi perubahan viskositas larutan pati, dengan meningkatnya suhu pemanasan mengakibatkan penurunan kekentalan suspensi pati. Sifat kekuatan tarik meningkat dari temperatur 60°C ke 70°C disebabkan pada temperatur 70°C merupakan temperatur terbaik untuk gelatinisasi pati pada pembuatan bioplastik (Ginting dkk.,2014). Mekanisme gelatinisasi pada dasarnya terjadi dalam tiga tahap yaitu : (a) penyerapan air oleh granula pati, sampai batas yang akan mengembang secara lambat, dimana air secara perlahan-lahan dan bolak- balik berimbibisi ke dalam granula sehingga terjadi pemutusan ikatan hydrogen antara molekul-molekul granula, (b) pengembangan granula secara cepat yang dikarenakan menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence (sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi), (c) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula (Karneta dkk., 2014). Pada praktikum bahan yang digunakan yakni berupa pati dari tepung maizena, tepung tapioka dan tepung komposit (campuran antara tepung maizena dan tepung tapioka. Tepung sesuai formulasi ( tepung maizena 5 gram, tepung tapioka 5 gram, dan tepung maizena 2,5 gram + tepung tapioka 2,5 gram) ditambahkan 100 ml aquades kemudian dipanaskan pada suhu 70oC di atas hotplate sampai terjadi gelatinisasi. Setelah itu diturunkan suhunya sampai 70oC dan kemudian ditambahkan 2 ml gliserol dan dipanaskan selama 30 menit sambil diaduk. Larutan edible film kemudian dituang di atas mika dan diratakan agar didapatkan ketebalan yang sama disetiap bagian mika. Selanjutnya dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 750C selama 5 jam. Lapisan film yang telah kering kemudian dilepas dari mika dan siap untuk diuji karakteristiknya dan diaplikasikan. Menurut Anita (2013), Pembentukan film plastik dari pati, pada prinsipnya merupakan gelatinasi molekul pati. Pembuatan film berbasis pati secara umum menggunakan prinsip gelatinasi. Cara kerjanya yaitu dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi sehingga akan terjadi proses gelatinasi. Menurut Guilbert (1986), tahapan pembuatan Bioplastik adalah sebagai berikut: a. Pensuspensian bahan dalam pelarut Pembuatan larutan film diawali dengan pensuspensian bahan dalam pelarut seperti etanol, air atau bahan pelarut lain. b. Penambahan plastizicer Plastizicer ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik yaitu memberikan fleksibilitas pada sebuah polimer film sehingga film lentur ketika dibengkokkan, tidak mudah putus dan kuat. c. Pengaturan suhu Pengaturan suhu pada pembuatan edible film bertujuan membentuk pati tergelatinisasi yang merupakan awal pembentukan film. Suhu pemanasan akan menentukan sifat mekanik edible film karena suhu ini menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi dan sifat fisik pasta yang terbentuk. d. Pengeringan. Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh film. Suhu mempengaruhi waktu pengeringan dan kenampakan film yang dihasilkan. Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Biodagradable Film Hasil Kelompo Shift Formulasi Tebal Tekstu k Warna (mm) r Tepung Maizena 2,5 gr 1 dan 2 0,03 Elastis Keruh + Komposit 2,5 gr I Tepung Tapioka 2,5 gr 3 dan 4 0,035 Elastis Bening THP A + Komposit 2,5 gr Tepung Maizena 2,5 gr 5 dan 6 + Tepung Tapioka 2,5 0,04 Elastis Keruh gr Putih 7 dan 8 Tepung Maizena 5 gr 0,05 Elastis keruh II 9 dan 10 Tepung Tapioka 5 gr 0,04 Elastis Bening THP B Tepung Tapioka 2,5 gr Agak 11 dan 12 + Tepung Maizena 2,5 0,05 Elastis keruh gr Elastis 1,2, dan 3 Tepung Maizena 5 gr 0,03 Bening Halus III Elastis 4,5 dan 6 Tepung Tapioka 5 gr 0,03 Bening AGF Halus Tepung Tapioka 2,5 gr Elastis 7,8 dan 9 + Tepung Maizena 2,5 0,095 Bening Halus gr Sumber: Laporan Sementara Berdasar praktikum yang telah dilakukan pada pembuatan biodagradable film dengan berbagai sampel yang telah dilakukan oleh THP A, THP B serat agrofarmaka didapatkan hasil yang beragam. Pada shift pertama yaitu THP A pada kelompok 1 dan 2 dengan sampel Tepung Maizena 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan biodagradable film dengan tebal 0,03 mm, tekstur elastis, serta warna keruh. Pada kelompok 3 dan 4 dengan formulasi Tepung Tapioka 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan hasil film dengan tebal 0,035 mm, tekstur elastis serta kenampakan bening. Pada kelompok 5 dan 6, dengan formulasi tepung maizena 2,5 gr + tepung tapioka 2,5 gr, didapatka film dengan tebal 0,04 mm, tekstur elastis, Serta kenampakan keruh. Pada shift II yaitu THP B, didapatkan hasil untuk kelompok 7 dan 8, dari formulasi tepung maizena 5 gr, menghasilkan film dengan tebal 0,05 elastis serta warnanya putih keruh. Pada kelompok 9 dan 10 formulasi tepung tapioka 5 gr didapatkan hasil film yang tebal 0,04, elastis seta ening. Pada shitf II Agofarmaka dengan kelompok 1,2,3 sampel tepun maizena, dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. Pada kelompok 4,5,6 dengan formulasi tepung tapioka dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. Pada kelompok 7,8,9 formulasi tepung tapioka 2,5 gr + tepung maizena 2,5 gr dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. Dari praktikum yang telah dilakukan pada kelompok 11 membuat biodagradable film dengan menggunakan sampel berbahan tepung tapioka dan maizena yang masing-masing seberat 2,5 gr. Dari percobaan yang telah dilakukan bahwa terlihat memiliki ketebalan yang lebih tepal dari pada penggunaan tepung tapioka, serta ketebalan sama dengan film yang menggunakan tepung maizena. Dari tekstur sama seperti film yang lain yaitu elastis kemudian untuk warna lebih keruh dibanding penggnaan tapioka. Dari hasil reta-rata penggunaan maizena atau campuran akan menimbulkan warna yang lebih keruh dari pada penggunaan tapioka saja. Terdapat penelitian yang telah dilakukan oleh Haryanto dan Titani (2017), pada pembuatan dengan menggunaakan perbedaan jenis tepung. Ketebaan, tekstur akan dipengaruhi oleh kadar dari amiloa dan amilopektin dari tepung. Dari hasil percobaannya bahwa bioplastik yang dihasilkan dari campuran tepung tapioka dan maizena dari kelima komposisi yang dibuat rata-rata memiliki tekstur yang elastis, padat, berwarna putih sedikit bening. Menurut Yuliant dan Erliana (2012), senyawa pati tersusun atas amilosa dan amilopektin. Sifat amilosa lebih mudah larut dalam air daripada amilopektin. Dalam pembuatan gel amilosa penting dalam menghasilkan lapisan yang tipis daripada amilopektin, sehingga kandungan amilosa ini adalah pemeran dalam menentukan sifat film yang dihasilkan. Selain itu amilopektin akan berperan dalam kestabilan sedangkan amilosa berpengaruh pada kekompakan. Pada tepung maizena yang memiliki sifat lentur dan kuat dari pada tepung tapioka karena memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi dari pada tepung tapioka yang memiliki kandungan amilopektin lebih tinggidari tepung maizena. Sehingga penggunaan tepung tapioka mempunyai sifat yang lentur kuat dan stabil. Pati dengan kadar amilosa tinggi menghasilkan edible film yang lentur dan kuat, karena struktur amilosa memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen antarmolekul glukosa penyusunnya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan tiga dimensi yang dapat memerangkap air sehingga menghasilkan gel yang kuat Semakin tinggi tingkat amilosa pada pati akan membuat film lebih padat serta kemampuan menyerap air lemah sehingga elastisitas menurun atau kekerasan dapat meningkat. Hal ini juag akan berdampak pada pembuatan film dari tepung pati-patian. Kandungan tepung tapioka memiliki tingkat amilopektin lebih tinggi dari maizena sehingga dalam pembuatan biofilm penggunaan tapioka perlu ditambah tepung yang memiliki amilosa lebih tinggi yaitu pada tepung maizena. Tetapi dalam pembuatannya penambahan maizena akan membuat biofilm labih keruh, serta memiliki ketebalan yang lebih tipis sesuai yang telah diuraikan sebelumnya. Pada hasil praktikum penggunaan maizena memiliki ketebalan yang lebih tebal dari yang lain, sedankan tekstur dari semua formulasi sama dan penggunaan maizena menyebabkan hasil warna yang lebih keruh. Pada kelompok 11 yaitu sampel 2,5 gr tapioka dan maizena 2,5 gr dari segi ketebalan apabila dibaningkan dengan tepung tapioka menyimpang karena sesuai teori dari Koswara (2009), bahwa kadar amilosa yang tinggi akan membuat film yang lebih tipis. Jadi seharusnya penggunaan tepung maizena akan memberikan hasil yang lebih tipis. Dari praktikum ini penyimpanagn terjadi karena saat pengadukan dan berkaitan dnegan suhu, suhu yang digunakan apabila tidak stabil akan mempengaruhi dari gelatinisasi pati. Suhu yang tidak tercapai akan membuat pati tidak tergelatinisasi secaara sempurna, selain itu pengguanaan suhu yang kurang stabil akan menyebabkan globula pati tidak merata. Pada tekstur dan warna dari hasil paktikum sudan sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Haryanto dan Titani (2017), bahwa penggunaan pati jenis amilosa akan mempengaruhi sifak kekenyalan dan lentur serta kuat serta akibat penggunaan maizena akan menghasilkan film yang lebih keruh. Semakin banyak penggunaan maizena maka hasil yang didapat akan lebih keruh. Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Ia dapat meningkatkan penyerapan molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film. Gliserol (gliserin) merupakan senyawa poliol sederhana. Ini adalah tidak berwarna, tidak berbau, cairan kental yang banyak digunakan dalam formulasi farmasi (Sinaga dkk., 2013). Plasticizer gliserol berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan jarak antara molekul dari polimer. Semakin banyak penggunaan plasticizer maka akan meningkatkan kelarutan terutama yang bersifat hidrofilik akan meningkatkan kelarutan dalam air. Gliserol memberikan kelarutan yang tinggi dibandingkan sorbitol pada bioplastik berbasis pati (Bourtoom, 2007). Plastisizer berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan jarak antar molekul dari polimer. Syarat plastisizer yang digunakan sebagai zat pelembut adalah stabil (inert), yaitu tidak terdegradasi oleh panas dan cahaya, tidak merubah warna polimer dan tidak menyebabkan korosi (Akbar dkk., 2013). Kelebihan biodegradable film adalah mudah terurai oleh mikroorganisme di tanah. Plastik Biodegredable ini dapat digunakan dalam waktu lebih singkat dari plastik pada umumnya dapat membantu kita mengatasi masalah plastik yang kian menumpuk. Tidak mengandung zat berbahaya. Plastik konvensional dibuat dari pengolahan bahan bakar fosil yang mengandung berbagai zat berbahaya pencemar Lingkungan. Dan Plastik Biodegredablek di sini terbuat dari bahan - bahan organik yang tidak mengandung bahan pencemar Lingkungan. Mengurangi volume sampah kota. Plastik Biodegredable film yang mampu terurai dalam waktu yang lebih singkat dari Plastik Konvensional mampu mengurangi masalah sampah plastik yang menggunung. Sedangkan kelemahannya adalah tidak bisa dikeluarkan dengan bantuan khusus. Dalam proses degredasinya, masih membutuhkan penyelesaian khusus dengan menguburnya di dalam tanah agar mikroorganisme bisa menyelesaikannya. Hanya terurai pada suhu 122 derajat Fahrenheit atau sekitar 35. Suhu sekian hanya terjadi di daratan, sehingga saat berada di laut sulit untuk terurai. Jika ada di laut akan tenggelam, dan tidak akan dipindahkan UV untuk terurai. Aplikasi biodegradable film dalam bidang pangan yaitu pada coating (pelapisan) daging sosis yang mengacu pada metode yang digunakan oleh Mg Hugh and Sanesi (2000) yang telah dimodifikasi, dengan cara sosis dicelupkan ke larutan edible film selama 5 menit. Sosis selanjutnya dipindahkan dari larutan dan dikeringkan pada suhu 40°C selama 35 menit dengan hair driyer. Pencelupan dilakukan selama 2x, agar semua bagian sosis terlapisi secara merata. Sedangkan menurut Winarti dkk (2012), pada edible coating antimikroba telah diaplikasikan pada buah- buahan, terutama buah terolah minimal seperti pepaya, melon, apel, dan strowberi; pada sayuran seperti wortel dan paprika; makanan laut, dan roti. Aplikasi edible coating yang dibuat dari pektin, isolat protein kedelai dan gliseril monostearat (GMS) dengan perbandingan 3 : 75 : 1,5 pada paprika, cenderung menurunkan susut bobot, mempertahankan kadar air, memperlambat pelunakan, dan menghambat perubahan warna dibandingkan kontrol. Pelapisan edible coating dapat memperpanjang masa simpan paprika selama 2 hari (menjadi 8 hari) pada suhu 28°C dan kelembapan 75- 80%, dibandingkan paprika kontrol yang hanya tahan selama 6 hari penyimpanan. Selain itu penggunaan edible coating berbasis polisakarida (alginat dan gellan) pada apel dapat memperpanjang masa simpan irisan segar apel sampai 2 minggu dibanding kontrol, yaitu sampai 23 hari pada 4ºC. Sementara pada irisan pepaya dan apel bisa tahan disimpan selama 10 hari di lemari es. Aplikasi edible film berbasis tapioka pada roti tawar juga mampu memperpanjang masa simpan sampai 7 hari pada suhu kamar. E. Kesimpulan Berdasarkan praktikum Acara II “Biodegradable Film” dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pembuatan biodegradable yaitu dengan cara pati dari tepung maizena, tepung tapioka dan tepung komposit (campuran antara tepung maizena dan tepung tapioka. Tepung sesuai formulasi ( tepung maizena 5 gram, tepung tapioka 5 gram, dan tepung maizena 2,5 gram + tepung tapioka 2,5 gram) ditambahkan 100 ml aquades kemudian dipanaskan pada suhu 70oC di atas hotplate sampai terjadi gelatinisasi. Setelah itu diturunkan suhunya sampai 70oC dan kemudian ditambahkan 2 ml gliserol dan dipanaskan selama 30 menit sambil diaduk. Larutan edible film kemudian dituang di atas loyang dan diratakan. Selanjutnya dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu 750C selama 5 jam. Lapisan film yang telah kering kemudian dilepas dari loyang dan siap untuk diuji karakteristiknya dan diaplikasikan. 2. Berdasarkan praktikum didapatkan hasil pada shift I yaitu THP A pada kelompok 1 dan 2 dengan sampel Tepung Maizena 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan biodagradable film dengan tebal 0,03 mm, tekstur elastis, serta warna keruh. Pada kelompok 3 dan 4 dengan formulasi Tepung Tapioka 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan hasil film dengan tebal 0,035 mm, tekstur elastis serta kenampakan bening. Pada kelompok 5 dan 6, dengan formulasi tepung maizena 2,5 gr + tepung tapioka 2,5 gr, didapatka film dengan tebal 0,04 mm, tekstur elastis, Serta kenampakan keruh. Pada shift II yaitu THP B, didapatkan hasil untuk kelompok 7 dan 8, dari formulasi tepung maizena 5 gr, menghasilkan film dengan tebal 0,05 elastis serta warnanya putih keruh. Pada kelompok 9 dan 10 formulasi tepung tapioka 5 gr didapatkan hasil film yang tebal 0,04, elastis seta ening. Pada shitf II Agofarmaka dengan kelompok 1,2,3 sampel tepun maizena, dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. Pada kelompok 4,5,6 dengan formulasi tepung tapioka dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. Pada kelompok 7,8,9 formulasi tepung tapioka 2,5 gr + tepung maizena 2,5 gr dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening. DAFTAR PUSTAKA Akbar, Fauzi., Zulisma Anita., Hamidah Harahap. 2013. Pengaruh Waktu Simpan Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit Singkong Terhadap Sifat Mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia USU, 2 (2): 11-15 Anita, Zulisma, Fauzi Akbar, Hamidah Harahap. 2013. Pengaruh Penambahan Gliserol Terhadap Sifat Mekanik Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit Singkong. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 2, No. 2 Aripin, Samsul., Bungaran Saing., Elvi Kustiyah. 2017. Studi Pembuatan Bahan Alternatif Plastik Biodegradable Dari Pati Ubi Jalar Dengan Plasticizer Gliserol Dengan Metode Melt Intercalation. Jurnal Teknik Mesin (JTM), 6 (1): 79-84 Bourtoom, T. 2007. Effect Of Some Process Parameters On The Properties Of Edible Film Prepared From Starches. Department of Material Product Technology. Challenges and Opportunities Food Technology 51(2): 61- 73 Ginting, Muhammad Hendra S., Rosdanelli Hasibuan., Rinaldi Febrianto Sinaga dan Gita Ginting. 2014. Pengaruh Variasi Temperatur Gelatinisasi Pati Terhadap Sifat Kekuatan Tarik Dan Pemanjangan Pada Saat Putus Bioplastik Pati Umbi Talas. Seminar Nasional Sains dan Teknologi ISSN : 2407 - 1846 Guilbert, S. 1986. Technology ang Application of Edible Protective Film. Elsavier and Applied science Publisher. New York Gutierrez-Villarreal M. H., Rodriguez-Velazquez J. 2007. The effect of citrate esters as plasticizers on the thermal and mechanical properties of poly(methyl methacrylate). Journal of Applied Polymer Science. Vol, 105. p. 2370-2375 Haryanto dan Fena, Retyo Titani. 2017. Bioplastik Dari Tepung Tapioka Dan Tepung Maizena. Tecno. Vol. 18. No. 1: 01-06 Imaningsih, Neils. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung- Tepungan Untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penel Gizi Makan. 35(1): 13-22 Kamsiati, Elmi., Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani. 2017. Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu Dan Ubikayu Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 36 (2): 67-76 Karneta, Railia., Amin Rejo., Gatot Priyanto dan Rindit Pambayun. 2014. Profil Gelatinisasi Formula Pempek “Lenjer”. Jurnal Dinamika Penelitian Industri 25(1): 13-22 Krochta, J. M., Baldwin, E. A., dan M., O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible coatings and film to improve food quality, Economic Publ. Co. Inc., USA Lieberman, E. R., dan Gilbert S. D. 1973. Gas Permeatin of Collagen Films as Affected by Cross Linkage Moitsure and Plasticizer Content, J. Poly. Sci., 41, 33-43 Matuana L. M., Park Ch., B., Balatinecz J. J. 1997. The effect of low levels of plasticizer on the rheological and mechanical properties of Polyvinyl Chloride/Newsprint-Fiber Composites. Journal of Vinyl & Additive Technology. Vol. 3. No. 4, p. 265-273 McHugh, T H and Sanesi, E. 2000. Apple Wraps : A Novel Method to Improve the Quality and Extend the Shelf Life of Fresh-Cut Apples. Journal of Food Science. Vol. 65 (3) : 480-485 Miner & Dalton., 1953. Chemical properties and Derivatives of Glycerol. Reinhold Publishing Corp. New York Pagliaro, Mario., Rossi, Michele. 2008. The Future of Glycerol: New Uses of a Versatile Raw Material. RSC Green Chemistry Book Series Poeloengasih, C. Dewi dan Djagal W. Marseno. 2003. Karakterisasi Edible Film Komposit Protein Biji Kecipir dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan, Vol. XIV, No. 3 Pouilloux, Y., S. Abro, C. Vanhove, J. Barrault, 1998, Reaction of glycerol with fatty acids in the presence of ion-exchange resins Preparation of monoglycerides. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical 149 1999 243–254 Prasetyo, Ari Eko., Anggra Widhi dan Widayat. 2012. Potensi Gliserol Dalam Pembuatan Turunan Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu Lingkungan. Vol. 10 (1): 26-31 Richana N. dan Suarni. 2007. Teknologi Pengolahan Jagung. Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. P: 386-409 Roiyana, Munirotun., Munifatul Izzati., dan Erma Prihastanti. 2012. Potensi Dan Efisiensi Senyawa Hidrokoloid Nabati Sebagai Bahan Penunda Pematangan Buah. Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XX (2) Sanchez, P.A. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan J.T. Jayadinata. 1992. ITB. Bandung Santosa, B. A. 2008. Characteristics of extrudate from four varieties of corn with aquadest addition. Indonesian Journal of Agriculture 1.2: 85-94 Sinaga, Loisa Lorensia., Melisa Seri Rejekina S., Mersi Suriani Sinaga. 2013. Karakteristik Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas Makanan. Jurnal Teknik Kimia USU, 2 (4): 12-16 Whistler, R.L. J.N. BeMiller dan E.F. Paschall. 1984. Starch: Chemistry and Technology. Academic Press. Inc. Toronto. Tokyo Widyaningsih, Senny., Dwi Kartika., dan Yuni Tri Nurhayati. 2012. Pengaruh Penambahan Sorbitol dan Kalsium Karbonat Terhadap Karakteristik dan Sifat Biodegradasi Film dari Pati Kulit Pisang. Molekul 7(1): 69-81 Winarti, Christina., Miskiyah dan Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi dan Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Pati. Jurnal Litbang Pertanian. Vol. 31 (3) : 85-93 Yulianti, Rahmi dan Erliana Ginting. 2012. Perbedaan Karakteristik Fisik Edible Film dari Umbi-umbian yang Dibuat dengan Penambahan Plasticizer. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 31 No. 2 LAMPIRAN GAMBAR
Gambar 3.2 Pemanasan pada hotplate Gambar 3.3 Penimbangan Tepung
Gambar 3.4 Penuangan pada wadah Gambar 3.5 Pengeringan pada