Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI PENGEMASAN DAN

PENYIMPANAN
ACARA II
BIODEGRADABLE FILM

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK 12

Kartika Keksi (H3117043)


Meyliana Eva Elcidthian (H3117053)
Nisa Indah Permata S (H3117057)
Rafida Sandra (H3117063)
Tintan Rustianasari (H3117074)
Wijieh Mawar A (H3117078)

DIPLOMA TIGA TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2019
ACARA II
BIODEGRADABLE FILM
A. Tujuan
Tujuan praktikum Acara II “Biodegradable Film” adalah:
1. Mahasiswa dapat mengetahui cara membuat Biodegradable film dari
berbagai jenis polimer.
B. Tinjauan Pustaka
1. Tipus Teori
Pengemas biodegradable termasuk ke dalam edible film karena
berdasarkan sifat mekaniknya dapat menggantikan plastik
nonbiodegradable. Edible film merupakan lapisan tipis yang digunakan
untuk melapisi makanan, atau diletakkan di antara komponen yang
berfungsi sebagai penahan terhadap transfer massa seperti air, oksigen,
dan lemak. Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan
untuk mempertinggi kualitas warna, aroma, dan tekstur produk, serta
untuk mengontrol pertumbuhan mikroba. Penggunaan edible film untuk
pengemasan produk-produk pangan seperti sosis, buah-buahan dan
sayuran segar dapat memperlambat penurunan mutu, karena edible film
dapat berfungsi sebagai penahan difusi gas oksigen, karbondioksida dan
uap air serta komponen flavor, sehingga mampu menciptakan kondisi
atmosfir internal yang sesuai dengan kebutuhan produk yang dikemas
(Sinaga dkk., 2013).
Pati juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan
biodegradable plastik (bioplastik). Industri di beberapa negara sudah
mengembangkan pati sebagai bahan bioplastik. Jenis pati yang banyak
digunakan adalah pati jagung dan pati kentang. Jenis pati dari kedua
komoditas ini banyak digunakan oleh industri bioplastik di beberapa
negara Eropa dan Australia. Di Thailand, bahan baku yang digunakan
untuk bioplastik adalah pati ubi kayu. Pati komoditas pertanian lebih
kompetitif dan tersedia cukup melimpah sebagai bahan baku plastik
biodegradable (Kamsiati dkk., 2017).
Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat didegradasi oleh
bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai polimer menjadi
monomer – monomernya. Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer
selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga menghasilkan senyawa
organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi
lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik tradisional membutuhkan
waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi alam, sementara plastik
biodegradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Plastik
biodegradable yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia
berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya plastik
biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme meningkatkan
unsur hara dalam tanah (Aripin dkk., 2017).
Karakteristik mekanik suatu film kemasan terdiri dari: kuat tarik
(tensile strength), persen pemanjangan (elongation to break) dan
elastisitas (elastic/young modulus). Parameter-parameter tersebut dapat
menjelaskan bagaimana karakteristik mekanik dari bahan film yang
berkaitan dengan struktur kimianya. Selain itu, juga menunjukkan indikasi
integrasi film pada kondisi tekanan (stress) yang terjadi selama proses
pembentukan film. Kuat tarik adalah gaya tarik maksimum yang dapat
ditahan oleh film selama pengukuran berlansung. Kuat tarik dipengaruhi
oleh bahan pemlastis yang ditambahkan dalam proses pembuatan film.
Adapun persen pemanjangan merupakan perubahan panjang maksimum
film sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, adalah elastisitas akan
semakin menurun jika seiring dengan meningkatnya jumlah bahan
pemlastis dalam film (Akbar dkk., 2013).
Proses terjadinya biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam
dimulai dengan tahap degradasi kimia yaitu dengan proses oksidasi
molekul, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang rendah. Proses
berikutnya (secondary process) adalah serangan mikroorganisme (bakteri,
jamur dan alga) dan aktivitas enzim (intracellular, extracellular). Contoh
mikroorganisme diantaranya bakteri phototrop, pembentuk endospora,
gram negatif aerob. Umumnya kecepatan degradasi pada lingkungan
limbah cair anaerob lebih besar dari pada limbah cair aerob, kemudian
dalam tanah dan air laut. Permeabilitas suatu film kemasan adalah
kemampuan melewatkan partikel gas dan uap air pada suatu unit luasan
bahan pada suatu kondisi tertentu (Akbar dkk., 2013).
Pengujian sifat biodegradable juga dilakukan untuk mengetahui
keteruraian film dari pati kulit pisang. Beberapa faktor yang
mempengaruhi tingkat biodegradabilitas plastik setelah kontak dengan
mikroba yakni sifat hidrofob, bahan aditif, proses produksi, struktur
polimer, morfologi dan berat molekul bahan plastik. Makin besar bobot
molekul suatu bahan makin rendah biodegradabilitasnya. Bentuk film
memiliki tingkat biodegradabilitas paling rendah. Reaksi degradasi kimia
dalam polimer linier menyebabkan turunnya berat molekul atau
pemendekan panjang rantai (Widyaningsih, 2012).
2. Tipus Bahan
Tepung tapioka atau bisa disebut dengan tepung kanji merupakan
salah satu tepung yang diperoleh dari umbi singkong yang diambil
patinya. Tapioka memiliki sifat- sifat yang serupa dengan sagu, sehingga
kegunaan keduanya dapat dipertukarkan. Tepung ini sering digunakan
untuk membuat makanan, bahan perekat, dan banyak makanan tradisional
yang menggunakan tapioka sebagai bahan bakunya. Tapioka adalah nama
yang diberikan untuk produk olahan dari akar ubi kayu (cassava). Analisis
terhadap akar ubi kayu yang khas mengidentifikasikan kadar air 70%, pati
24%, serat 2%, protein 1% serta komponen lain (mineral, lemak, gula) 3%.
Tahapan proses yang digunakan untuk menghasilkan pati tapioka dalam
industri adalah pencucian, pengupasan, pemarutan, ekstraksi, penyaringan
halus, separasi, pembasahan, dan pengering. Tepung tapioka yang dibuat
dari ubi kayu mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan
pembantu dalam berbagai industri. Dibandingkan dengan tepung jagung,
kentang, dan gandum atau terigu, komposisi zat gizi tepung tapioka cukup
baik sehingga mengurangi kerusakan tenun, juga digunakan sebagai bahan
bantu pewarna putih. Selain itu keketalan ari tepung tapioka yang bereaksi
dengan air sangat tinggi sehingga mampu dijadikan sebagai perekat
(Whister dkk, 1984).
Gliserol adalah produk samping produksi biodisel dari reaksi
transesterifikasi dan merupakan senyawa alkohol dengan gugus hidroksil
berjumalh tiga buah. Gliserol (1,2,3 propanetriol) merupakan cairan yang
tidak berwarna, tidak berbau dan merupakan cairan kental yang memiliki
rasa manis. Agar gliserol dapat digunkan dalam industri makanan maka
perlu dimurnika dengan destilasi, sehingga dapat digunakan dalam industri
makanan, farmasi atau juga dapat digunakan untuk pengolahan air.
Sebagai produk samping industry biodiesel, gliserol belum banyak diolah
sehingga nilai jualnya masih rendah (Pagliaro dan Rossi, 2008). Produk
turunan dari gliserol meliputi gliserik serta gliserol tri-nitrat yang
digunakan sebagai bahan peledak, secara bertahap kehilangan
dominasinya. Resin alkid berasal dari gliserin mewakili penggunaan
tunggal terbesar dari gliserin dikombinasikan akhir-akhir ini. Dalam
barang-barang toilet dan bidang makanan, ester dari gliserin, terutama
ester parsial (mono-dan di-gliserida) telah menjadi komponen yang sangat
khusus produk emulsi, memberikan kontribusi pengendalian atas
kelembutan dari kecantikan, juga untuk margarin
(Miner dan Dalton, 1953).
Plastik sintetis merupakan salah satu jenis pengemas yang sangat
besar keberadaanya di dunia. Bahan kemasan yang berasal dari polimer
petrokimia yakni plastik sangat populer digunakan karena memiliki
beberapa keunggulan, yakni fleksibel (mengikuti bentuk produk),
transparan, tidak mudah pecah, dapat dikombinasikan dengan kemasan
lain, dan tidak korosif. Namun, polimer plastik tidak tahan terhadap panas
dan dapat mencemari produk dengan migrasi komponen monomernya,
sehingga berdampak terhadap keamanan dan kesehatan konsumen. Selain
itu, kelemahan plastik yang lainnya adalah tidak dapat dihancurkan secara
alami (non-biodegradable) sehingga menyebabkan pencemaran
lingkungan. Karenanya, bahan kemasan plastik tidak dapat dipertahankan
penggunaannya secara luas karena akan menambahkan persoalan dan
kesehatan di waktu mendatang (Prasetyo dkk., 2012).
Polimer alami adalah polimer yang dihasilkan dari monomer
organik seperti pati, karet, kitosan, selulosa, protein dan lignin. Biopolimer
banyak diminatioleh industri karena berasal dari sumber daya alam yang
dapat diperbarui, biodegradable (dapat diuraikan), mempunyai sifat
mekanis yang baik, dan ekonomis. Saat ini, biopolimer banyak diteliti
untuk menghasilkan film (plastik) yang dapat menggantikan keberadaan
plastik sintetik. Terdapat tiga kelompok biopolimer yang menjadi bahan
dasar dalam pembuatan film kemasan biodegradable, yaitu : a) Campuran
biopolimer dengan polimer sintetis : film jenis ini dibuat dari campuran
granula pati (5 – 20 %) dan polimer sintetis serta bahan tambahan
(prooksidan dan autooksidan). Komponen ini memiliki angka
biodegradabilitas yang rendah dan biofragmentasi sangat terbatas. b)
Polimer mikrobiologi (poliester): Biopolimer ini dihasilkan secara
bioteknologis atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes.
Berbagai jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB), polihidroksi
valerat (PHV), asam polilaktat dan asam poliglikolat. Bahan ini dapat
terdegradasi secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Tetapi karena
proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga kemasan
biodegradable ini relatif mahal. c) Polimer pertanian: biopolimer ini tidak
dicampur dengan bahan sintetis dan diperoleh secara murni dari hasil
pertanian. Polimer pertanian ini diantaranya selulosa (bagian dari dinding
sel tanaman), kitin (pada kulit Crustaceae) dan pullulan (hasil fermentasi
pati oleh Pullularia pullulans). Polimer ini memiliki sifat termoplastik,
yaitu mempunyai kemampuan untuk dibentuk atau dicetak menjadi film
kemasan. Kelebihan dari polimer jenis ini adalah ketersediaan sepanjang
tahun (renewable) dan mudah hancur secara alami (biodegradable).
Polimer pertanian yang potensial untuk dikembangkan antara lain adalah
pati gandum, pati jagung, kentang, casein, zein, consentrate whey dan soy
protein (Pouilloux et al., 1999).
Plastik biodegradabel merupakan plastik yang dapat terurai oleh
aktivitas mikroorganisme pengurai. Plastik biodegradabel memiliki
kegunaan yang sama seperti plastik sintetis atau plastik konvensional.
Plastik biodegradabel biasanya disebut dengan bioplastik, yaitu plastik
yang seluruh atau hampir seluruh komponennya berasal dari bahan baku
yang dapat diperbaharui. Plastik biodegradabel merupakan bahan plastik
yang ramah terhadap lingkungan karena sifatnya yang dapat kembali ke
alam. Umumnya, kemasan biodegradabel diartikan sebagai film kemasan
yang dapat didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Plastik
biodegredabel dapat berubah struktur kimianya. Dalam pembuatan plastik
biodagradabel film untuk menciptakan karakteristik plastik guna
mempertahankan daya tarik maka perlunya penggunaan pemlastis atau
plastisizer. Plastisizer menurunkan kekuatan inter dan intra molekular dan
meningkatkan mobilitas dan fleksibilatas film Semakin banyak
penggunaan plastisizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula
dengan penggunaan plastisizer yang bersifat hidrofilik juga akan
meningkatkan kelarutannya di dalam air (Sanchez et al., 1998).
Tepung maizena merupakan sumber karbohidrat yang digunakan
untuk bahan pembuat roti, kue kering, biskuit, makanan bayi, dan
kemungkinan dapat dibuat fettuccine, serta dapat digunakan dalam industri
farmasi. Tepung pati jagung memiliki sifat fleksibel, hal ini dikarenakan
sebagai bahan baku berbagai produk pangan. Tepung jagung relatif mudah
diterima masyarakat, karena telah terbiasa menggunakan bahan tepung,
seperti halnya tepung beras dan terigu. Pemanfaatan tepung jagung
komposit pada berbagai bahan dasar pangan antara lain untuk kue basah,
kue kering, mie kering, dan roti-rotian. Tepung pati jagung komposit dapat
mensubstitusi 30-40% terigu untuk kue basah, 60-70% untuk kue kering,
dan 10-15% untuk roti dan mie (Richana dan Suarni, 2007).
Aquadest merupakan air hasil dari destilasi atau penyulingan, dapat
disebut juga air murni (H2O). karena H2O hampir tidak mengandung
mineral. Sedangkan air mineral merupakan pelarut yang universal. Air
tersebut mudah menyerap atau melarutkan berbagai partikel yang
ditemuinya dan dengan mudah menjadi terkontaminasi. Dalam siklusnya
di dalam tanah, air terus bertemu dan melarutkan berbagai mineral
anorganik, logam berat dan mikroorganisme. Jadi, air mineral bukan
aquades (H2O) karena mengandung banyak mineral. Aquadest memiliki
tiga jenis jika ditinjau dari bahan baku pembuatnya, yaitu : air aquadest
dari sumur, air aquadest dari mata air pegunungan, air aquadest dari Air
tanah hujan (Santosa, 2011).
Plasticizer adalah senyawa adiktif yang ditambahkan kepada
polimer untuk menambah fleksibilitas dan workability-nya. Plasticizers
(Sorbitol) merupakan substansi non volatil, mempunyai titik didih yang
tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam materi lain dapat mengubah sifat
fisik atau sifat mekanik bahan tersebut (Krochta et al., 1994). Beberapa
plasticizers yang biasa digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable
antara lain glycerol, sorbitol dan polyethylene glycol. Glycerol dan
sorbitol mampu memberikan rasa manis sedangkan polyethylene glycol
tidak berasa. Plasticizers seperti sorbitol mempunyai kemampuan
mengurangi ikatan hidrogen internal dan meningkatkan jarak
intermolekuler (Lieberman & Gilbert, 1973).
Plasticizer sering merupakan senyawa organik inert dengan berat
molekul rendah, didih tinggi titik dan tekanan uap rendah yang digunakan
sebagai aditif polimer. Peran utama plasticizer adalah untuk meningkatkan
sifat mekanik polimer dengan meningkatkan fleksibilitas, mengurangi
kekuatan tarik dan menurunkan suhu transisi orde kedua. Itu (IUPAC)
mengembangkan definisi untuk plasticizer sebagai “zat atau bahan yang
tergabung dalam suatu bahan (biasanya plastik atau elastomer) untuk
meningkatkan fleksibilitas, kemampuan kerja, atau distensibilitas ”.
Atribut yang baik plasticizer adalah kompatibilitas yang baik dengan
polimer, yang tergantung pada polaritas, kelarutan, konfigurasi struktural
dan berat molekul plasticizer dan hasil dari yang serupa struktur kimia
polimer dan plasticizer. Faktor penting lainnya adalah plasticizer
keabadian yang terkait dengan ketahanannya terhadap migrasi. Karena itu,
plasticizer yang baik harus dimiliki titik didih tinggi dan volatilitas rendah
(tekanan uap rendah) untuk mencegah atau mengurangi kehilangannya
selama pemrosesan. Plasticizer juga harus bebas aroma dan tidak beracun.
Fitur lain yang penting adalah tingkat rendah migrasi keluar dari bahan
untuk melestarikan sifat yang diinginkan dari plasticized polimer dan
hindari kontaminasi bahan dari titik kesehatan potensial dampak
lingkungan yang bersentuhan dengannya. Keabadian plasticizer dalam
polimer adalah tergantung pada ukuran molekul plasticizer, sehingga
semakin besar molekul, semakin besar keabadian plasticizer. Semakin
tinggi tingkat difusi plasticizer dalam polimer, maka keabadian yang lebih
rendah karena migrasi keluar dari matriks polimer (Gutierrez et al., 2007).
Ada dua teknik untuk plastisisasi: eksternal dan internal.
Plastisisasi eksternal adalah metode yang memberikan plastisitas melalui
pencampuran fisik. Jadi, plasticizer eksternal adalah tidak terikat secara
kimiawi pada polimer dan dapat menguap, bermigrasi, atau keluar dari
polimer produk dengan ekstraksi cair. Plastisisasi polimer dengan
penggabungan komonomer atau reaksi dengan polimer, menyediakan unit
rantai fleksibel disebut plastisisasi internal. Plasticizer internal adalah
kelompok (segmen fleksibel) yang merupakan bagian dari rantai polimer
dasar, yang dapat dimasukkan secara teratur atau tidak teratur antara
monomer tidak fleksibel (segmen keras) atau dicangkokkan sebagai rantai
samping sehingga mengurangi kekuatan antarmolekul. Menurut
kompatibilitas dengan polimer, eksternal plasticizer dapat diklasifikasikan
menjadi dua kelompok utama: primer dan sekunder, disebut juga
ekstender. Plasticizer primer memiliki tingkat kompatibilitas yang
memadai polimer untuk dapat digunakan sebagai pemlastis tunggal dalam
semua proporsi yang wajar, memberikan efek modifikasi yang diinginkan.
Mereka berinteraksi langsung dengan rantai. Peliat sekunder memiliki
kompatibilitas terbatas dan akan keluar dari polimer jika digunakan sendiri
(Matuana et al., 1997).
C. Metodologi
1. Alat
a. Cabinet dryer
b. Gelas beker
c. Hot plate
d. Nampan
e. Pengaduk
f. Pipet volum
g. Propipet
h. Termometer
i. Timbangan analitik
2. Bahan
a. Aquades
b. Gliserol
c. Tepung maizena
d. Tepung tapioca
3. Cara Kerja
2,5 gram tepung maizena dan tepung tapioka

Pemasukan dalam gelas beker

100 ml aquades Pengadukan hingga tercampur homogen

Pemanasan pada suhu 70oC menggunakan hot


plate hingga tergelatinisasi

Penurunan suhu sampai 60oC

2 ml gliserol Penambahan

Pengadukan selama 30 menit dan dipertahankan


pada suhu 60oC

Penuangan ke nampan

Pengeringan pada suhu 70oC selama 5 jam


menggunakan cabinet dryer

Pelepasan dari nampan

Perlakuan karakterisasi dan aplikasi

Gambar 2.1 Diagram Alir Proses Pembuatan Biodegradable Film


D. Hasil dan Pembahasan
Biodegradable film adalah bahan jenis plastik yang bisa terurai oleh
mikroorganisme menjadi polimer rantai-rantai pendek yang dipotong
mikroorganisme. Kalau bahan plastik konvensional tidak bisa diurai.
Sehingga biodegradable film adalah bahan pengemas yang ramah terhadap
lingkungan. Bahan ini bisa diambil dari pati jagung atau ketela pohon, kayu,
atau cangkang udang. Praktikum kali ini dilakukan dengan tujuan untuk
membuat biodegradable film dari berbagai jenis polimer dimana jenis
polimer yang digunakan adalah tepung komposit (tepung agar), tepung
tapioka (pati ketela pohon) dan tepung maizena (pati jagung). Dan sebagai
film standar hanya menggunakan tepung komposit (tepung agar) tanpa
penambahan tepung tapioka maupun tepung maizena. Selain bahan tersebut
ditambahkan juga KCl yang berfungsi sebagai pelarut bagi biopolimer
hidrofobik yang digunakan yaitu tepung komposit (tepung agar) dan gliserol
yang berfungsi sebagai plasticizer (penguat). Gliserol merupakan plasticizer
yang efektif karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen
internal pada ikatan intramolekul (Poeloengasih, 2003).
Menurut Roiyana (2012), pati merupakan polimer larut air,
mempunyai kemampuan mengentalkan atau membentuk sistem gel encer.
Pati alami dari tanaman sudah lama dipergunakan sebagai bahan campuran
pada pengolahan makanan sehingga aman dikonsumsi. Di antara jenis
polisakarida, pati merupakan bahan baku yang potensial untuk pembuatan
edible film dengan karakteristik fisik yang mirip dengan plastik. Pada
praktikum pembuatan edible film digunakan tepung tapioka, tepung
maizena, dan tepung komposit (tapioka+maizena) merupakan jenis
polisakarida maka dapat digunakan sebagai bahan pembuatan edible film.
Pati jagung tersusun atas 25% amilosa dan 75% amilopektin. Sedangkan
tepung tapioka memiliki kadar amilosa 17%, kadar amilopektin 83%, dan
suhu gelatinisasi 52–64oC. Pada kadar amilosa dan amilopektin di tepung
komposit (tapioka+maizena) adalah seimbang antara amilosa dan
amilopektin. Kestabilan edible film dipengaruhi oleh amilopektin, sedangkan
amilosa berpengaruh terhadap kekompakannya (Imaningsih 2012).
Pati dapat menyerap air secara maksimal jika suspensi air
dipanaskan pada temperatur 55°C sampai 65°C. Suhu gelatinisasi pati
mempengaruhi perubahan viskositas larutan pati, dengan meningkatnya
suhu pemanasan mengakibatkan penurunan kekentalan suspensi pati. Sifat
kekuatan tarik meningkat dari temperatur 60°C ke 70°C disebabkan pada
temperatur 70°C merupakan temperatur terbaik untuk gelatinisasi pati
pada pembuatan bioplastik (Ginting dkk.,2014). Mekanisme gelatinisasi
pada dasarnya terjadi dalam tiga tahap yaitu : (a) penyerapan air oleh
granula pati, sampai batas yang akan mengembang secara lambat, dimana
air secara perlahan-lahan dan bolak- balik berimbibisi ke dalam granula
sehingga terjadi pemutusan ikatan hydrogen antara molekul-molekul
granula, (b) pengembangan granula secara cepat yang dikarenakan
menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat birefriengence (sifat
merefleksikan cahaya terpolarisasi), (c) granula pecah jika cukup air dan
suhu terus naik sehingga molekul amilosa keluar dari granula
(Karneta dkk., 2014).
Pada praktikum bahan yang digunakan yakni berupa pati dari tepung
maizena, tepung tapioka dan tepung komposit (campuran antara tepung
maizena dan tepung tapioka. Tepung sesuai formulasi ( tepung maizena 5
gram, tepung tapioka 5 gram, dan tepung maizena 2,5 gram + tepung
tapioka 2,5 gram) ditambahkan 100 ml aquades kemudian dipanaskan pada
suhu 70oC di atas hotplate sampai terjadi gelatinisasi. Setelah itu diturunkan
suhunya sampai 70oC dan kemudian ditambahkan 2 ml gliserol dan
dipanaskan selama 30 menit sambil diaduk. Larutan edible film kemudian
dituang di atas mika dan diratakan agar didapatkan ketebalan yang sama
disetiap bagian mika. Selanjutnya dikeringkan dengan cabinet dryer pada
suhu 750C selama 5 jam. Lapisan film yang telah kering kemudian dilepas
dari mika dan siap untuk diuji karakteristiknya dan diaplikasikan. Menurut
Anita (2013), Pembentukan film plastik dari pati, pada prinsipnya
merupakan gelatinasi molekul pati. Pembuatan film berbasis pati secara
umum menggunakan prinsip gelatinasi. Cara kerjanya yaitu dengan adanya
penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi sehingga
akan terjadi proses gelatinasi. Menurut Guilbert (1986), tahapan pembuatan
Bioplastik adalah sebagai berikut:
a. Pensuspensian bahan dalam pelarut
Pembuatan larutan film diawali dengan pensuspensian bahan dalam
pelarut seperti etanol, air atau bahan pelarut lain.
b. Penambahan plastizicer
Plastizicer ditambahkan untuk memperbaiki sifat mekanik yaitu
memberikan fleksibilitas pada sebuah polimer film sehingga film lentur
ketika dibengkokkan, tidak mudah putus dan kuat.
c. Pengaturan suhu
Pengaturan suhu pada pembuatan edible film bertujuan membentuk pati
tergelatinisasi yang merupakan awal pembentukan film. Suhu
pemanasan akan menentukan sifat mekanik edible film karena suhu ini
menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi dan sifat fisik pasta yang
terbentuk.
d. Pengeringan.
Pengeringan bertujuan untuk menguapkan pelarut sehingga diperoleh
film. Suhu mempengaruhi waktu pengeringan dan kenampakan film
yang dihasilkan.
Tabel 2.1 Hasil Pengamatan Biodagradable Film
Hasil
Kelompo
Shift Formulasi Tebal Tekstu
k Warna
(mm) r
Tepung Maizena 2,5 gr
1 dan 2 0,03 Elastis Keruh
+ Komposit 2,5 gr
I Tepung Tapioka 2,5 gr
3 dan 4 0,035 Elastis Bening
THP A + Komposit 2,5 gr
Tepung Maizena 2,5 gr
5 dan 6 + Tepung Tapioka 2,5 0,04 Elastis Keruh
gr
Putih
7 dan 8 Tepung Maizena 5 gr 0,05 Elastis
keruh
II 9 dan 10 Tepung Tapioka 5 gr 0,04 Elastis Bening
THP B
Tepung Tapioka 2,5 gr
Agak
11 dan 12 + Tepung Maizena 2,5 0,05 Elastis
keruh
gr
Elastis
1,2, dan 3 Tepung Maizena 5 gr 0,03 Bening
Halus
III Elastis
4,5 dan 6 Tepung Tapioka 5 gr 0,03 Bening
AGF Halus
Tepung Tapioka 2,5 gr
Elastis
7,8 dan 9 + Tepung Maizena 2,5 0,095 Bening
Halus
gr
Sumber: Laporan Sementara
Berdasar praktikum yang telah dilakukan pada pembuatan
biodagradable film dengan berbagai sampel yang telah dilakukan oleh THP
A, THP B serat agrofarmaka didapatkan hasil yang beragam. Pada shift
pertama yaitu THP A pada kelompok 1 dan 2 dengan sampel Tepung
Maizena 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan biodagradable film dengan
tebal 0,03 mm, tekstur elastis, serta warna keruh. Pada kelompok 3 dan 4
dengan formulasi Tepung Tapioka 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan
hasil film dengan tebal 0,035 mm, tekstur elastis serta kenampakan bening.
Pada kelompok 5 dan 6, dengan formulasi tepung maizena 2,5 gr + tepung
tapioka 2,5 gr, didapatka film dengan tebal 0,04 mm, tekstur elastis,
Serta kenampakan keruh. Pada shift II yaitu THP B, didapatkan hasil untuk
kelompok 7 dan 8, dari formulasi tepung maizena 5 gr, menghasilkan film
dengan tebal 0,05 elastis serta warnanya putih keruh. Pada kelompok 9 dan
10 formulasi tepung tapioka 5 gr didapatkan hasil film yang tebal 0,04,
elastis seta ening. Pada shitf II Agofarmaka dengan kelompok 1,2,3 sampel
tepun maizena, dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis
halus dan bening. Pada kelompok 4,5,6 dengan formulasi tepung tapioka
dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan bening.
Pada kelompok 7,8,9 formulasi tepung tapioka 2,5 gr + tepung maizena 2,5
gr dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan
bening.
Dari praktikum yang telah dilakukan pada kelompok 11 membuat
biodagradable film dengan menggunakan sampel berbahan tepung tapioka
dan maizena yang masing-masing seberat 2,5 gr. Dari percobaan yang telah
dilakukan bahwa terlihat memiliki ketebalan yang lebih tepal dari pada
penggunaan tepung tapioka, serta ketebalan sama dengan film yang
menggunakan tepung maizena. Dari tekstur sama seperti film yang lain yaitu
elastis kemudian untuk warna lebih keruh dibanding penggnaan tapioka.
Dari hasil reta-rata penggunaan maizena atau campuran akan menimbulkan
warna yang lebih keruh dari pada penggunaan tapioka saja. Terdapat
penelitian yang telah dilakukan oleh Haryanto dan Titani (2017), pada
pembuatan dengan menggunaakan perbedaan jenis tepung. Ketebaan, tekstur
akan dipengaruhi oleh kadar dari amiloa dan amilopektin dari tepung. Dari
hasil percobaannya bahwa bioplastik yang dihasilkan dari campuran tepung
tapioka dan maizena dari kelima komposisi yang dibuat rata-rata memiliki
tekstur yang elastis, padat, berwarna putih sedikit bening. Menurut Yuliant
dan Erliana (2012), senyawa pati tersusun atas amilosa dan amilopektin.
Sifat amilosa lebih mudah larut dalam air daripada amilopektin. Dalam
pembuatan gel amilosa penting dalam menghasilkan lapisan yang tipis
daripada amilopektin, sehingga kandungan amilosa ini adalah pemeran
dalam menentukan sifat film yang dihasilkan. Selain itu amilopektin akan
berperan dalam kestabilan sedangkan amilosa berpengaruh pada
kekompakan. Pada tepung maizena yang memiliki sifat lentur dan kuat dari
pada tepung tapioka karena memiliki kandungan amilosa yang lebih tinggi
dari pada tepung tapioka yang memiliki kandungan amilopektin lebih
tinggidari tepung maizena. Sehingga penggunaan tepung tapioka
mempunyai sifat yang lentur kuat dan stabil. Pati dengan kadar amilosa
tinggi menghasilkan edible film yang lentur dan kuat, karena struktur
amilosa memungkinkan pembentukan ikatan hidrogen antarmolekul glukosa
penyusunnya dan selama pemanasan mampu membentuk jaringan tiga
dimensi yang dapat memerangkap air sehingga menghasilkan gel yang kuat
Semakin tinggi tingkat amilosa pada pati akan membuat film lebih padat
serta kemampuan menyerap air lemah sehingga elastisitas menurun atau
kekerasan dapat meningkat. Hal ini juag akan berdampak pada pembuatan
film dari tepung pati-patian. Kandungan tepung tapioka memiliki tingkat
amilopektin lebih tinggi dari maizena sehingga dalam pembuatan biofilm
penggunaan tapioka perlu ditambah tepung yang memiliki amilosa lebih
tinggi yaitu pada tepung maizena. Tetapi dalam pembuatannya penambahan
maizena akan membuat biofilm labih keruh, serta memiliki ketebalan yang
lebih tipis sesuai yang telah diuraikan sebelumnya.
Pada hasil praktikum penggunaan maizena memiliki ketebalan
yang lebih tebal dari yang lain, sedankan tekstur dari semua formulasi sama
dan penggunaan maizena menyebabkan hasil warna yang lebih keruh. Pada
kelompok 11 yaitu sampel 2,5 gr tapioka dan maizena 2,5 gr dari segi
ketebalan apabila dibaningkan dengan tepung tapioka menyimpang karena
sesuai teori dari Koswara (2009), bahwa kadar amilosa yang tinggi akan
membuat film yang lebih tipis. Jadi seharusnya penggunaan tepung maizena
akan memberikan hasil yang lebih tipis. Dari praktikum ini penyimpanagn
terjadi karena saat pengadukan dan berkaitan dnegan suhu, suhu yang
digunakan apabila tidak stabil akan mempengaruhi dari gelatinisasi pati.
Suhu yang tidak tercapai akan membuat pati tidak tergelatinisasi secaara
sempurna, selain itu pengguanaan suhu yang kurang stabil akan
menyebabkan globula pati tidak merata. Pada tekstur dan warna dari hasil
paktikum sudan sesuai dengan percobaan yang dilakukan oleh Haryanto dan
Titani (2017), bahwa penggunaan pati jenis amilosa akan mempengaruhi
sifak kekenyalan dan lentur serta kuat serta akibat penggunaan maizena akan
menghasilkan film yang lebih keruh. Semakin banyak penggunaan maizena
maka hasil yang didapat akan lebih keruh.
Gliserol merupakan plasticizer yang bersifat hidrofilik, sehingga
cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofobik seperti pati. Ia
dapat meningkatkan penyerapan molekul polar seperti air. Peran gliserol
sebagai plasticizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film.
Gliserol (gliserin) merupakan senyawa poliol sederhana. Ini adalah tidak
berwarna, tidak berbau, cairan kental yang banyak digunakan dalam
formulasi farmasi (Sinaga dkk., 2013). Plasticizer gliserol berfungsi untuk
meningkatkan elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan
meningkatkan jarak antara molekul dari polimer. Semakin banyak
penggunaan plasticizer maka akan meningkatkan kelarutan terutama yang
bersifat hidrofilik akan meningkatkan kelarutan dalam air. Gliserol
memberikan kelarutan yang tinggi dibandingkan sorbitol pada bioplastik
berbasis pati (Bourtoom, 2007). Plastisizer berfungsi untuk meningkatkan
elastisitas dengan mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan
jarak antar molekul dari polimer. Syarat plastisizer yang digunakan sebagai
zat pelembut adalah stabil (inert), yaitu tidak terdegradasi oleh panas dan
cahaya, tidak merubah warna polimer dan tidak menyebabkan korosi
(Akbar dkk., 2013).
Kelebihan biodegradable film adalah mudah terurai oleh
mikroorganisme di tanah. Plastik Biodegredable ini dapat digunakan dalam
waktu lebih singkat dari plastik pada umumnya dapat membantu kita
mengatasi masalah plastik yang kian menumpuk. Tidak mengandung zat
berbahaya. Plastik konvensional dibuat dari pengolahan bahan bakar fosil
yang mengandung berbagai zat berbahaya pencemar Lingkungan. Dan
Plastik Biodegredablek di sini terbuat dari bahan - bahan organik yang tidak
mengandung bahan pencemar Lingkungan. Mengurangi volume sampah
kota. Plastik Biodegredable film yang mampu terurai dalam waktu yang
lebih singkat dari Plastik Konvensional mampu mengurangi masalah
sampah plastik yang menggunung. Sedangkan kelemahannya adalah tidak
bisa dikeluarkan dengan bantuan khusus. Dalam proses degredasinya, masih
membutuhkan penyelesaian khusus dengan menguburnya di dalam tanah
agar mikroorganisme bisa menyelesaikannya. Hanya terurai pada suhu 122
derajat Fahrenheit atau sekitar 35. Suhu sekian hanya terjadi di daratan,
sehingga saat berada di laut sulit untuk terurai. Jika ada di laut akan
tenggelam, dan tidak akan dipindahkan UV untuk terurai.
Aplikasi biodegradable film dalam bidang pangan yaitu pada
coating (pelapisan) daging sosis yang mengacu pada metode yang
digunakan oleh Mg Hugh and Sanesi (2000) yang telah dimodifikasi, dengan
cara sosis dicelupkan ke larutan edible film selama 5 menit. Sosis
selanjutnya dipindahkan dari larutan dan dikeringkan pada suhu 40°C
selama 35 menit dengan hair driyer. Pencelupan dilakukan selama 2x, agar
semua bagian sosis terlapisi secara merata. Sedangkan menurut Winarti dkk
(2012), pada edible coating antimikroba telah diaplikasikan pada buah-
buahan, terutama buah terolah minimal seperti pepaya, melon, apel, dan
strowberi; pada sayuran seperti wortel dan paprika; makanan laut, dan roti.
Aplikasi edible coating yang dibuat dari pektin, isolat protein kedelai dan
gliseril monostearat (GMS) dengan perbandingan 3 : 75 : 1,5 pada paprika,
cenderung menurunkan susut bobot, mempertahankan kadar air,
memperlambat pelunakan, dan menghambat perubahan warna dibandingkan
kontrol. Pelapisan edible coating dapat memperpanjang masa simpan
paprika selama 2 hari (menjadi 8 hari) pada suhu 28°C dan kelembapan 75-
80%, dibandingkan paprika kontrol yang hanya tahan selama 6 hari
penyimpanan. Selain itu penggunaan edible coating berbasis polisakarida
(alginat dan gellan) pada apel dapat memperpanjang masa simpan irisan
segar apel sampai 2 minggu dibanding kontrol, yaitu sampai 23 hari pada
4ºC. Sementara pada irisan pepaya dan apel bisa tahan disimpan selama 10
hari di lemari es. Aplikasi edible film berbasis tapioka pada roti tawar juga
mampu memperpanjang masa simpan sampai 7 hari pada suhu kamar.
E. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum Acara II “Biodegradable Film” dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Pembuatan biodegradable yaitu dengan cara pati dari tepung maizena,
tepung tapioka dan tepung komposit (campuran antara tepung maizena dan
tepung tapioka. Tepung sesuai formulasi ( tepung maizena 5 gram, tepung
tapioka 5 gram, dan tepung maizena 2,5 gram + tepung tapioka 2,5 gram)
ditambahkan 100 ml aquades kemudian dipanaskan pada suhu 70oC di atas
hotplate sampai terjadi gelatinisasi. Setelah itu diturunkan suhunya sampai
70oC dan kemudian ditambahkan 2 ml gliserol dan dipanaskan selama 30
menit sambil diaduk. Larutan edible film kemudian dituang di atas loyang
dan diratakan. Selanjutnya dikeringkan dengan cabinet dryer pada suhu
750C selama 5 jam. Lapisan film yang telah kering kemudian dilepas dari
loyang dan siap untuk diuji karakteristiknya dan diaplikasikan.
2. Berdasarkan praktikum didapatkan hasil pada shift I yaitu THP A pada
kelompok 1 dan 2 dengan sampel Tepung Maizena 2,5 gr + Komposit 2,5
gr, didapatkan biodagradable film dengan tebal 0,03 mm, tekstur elastis,
serta warna keruh. Pada kelompok 3 dan 4 dengan formulasi Tepung
Tapioka 2,5 gr + Komposit 2,5 gr, didapatkan hasil film dengan tebal
0,035 mm, tekstur elastis serta kenampakan bening. Pada kelompok 5 dan
6, dengan formulasi tepung maizena 2,5 gr + tepung tapioka 2,5 gr,
didapatka film dengan tebal 0,04 mm, tekstur elastis, Serta kenampakan
keruh. Pada shift II yaitu THP B, didapatkan hasil untuk kelompok 7 dan
8, dari formulasi tepung maizena 5 gr, menghasilkan film dengan tebal
0,05 elastis serta warnanya putih keruh. Pada kelompok 9 dan 10 formulasi
tepung tapioka 5 gr didapatkan hasil film yang tebal 0,04, elastis seta
ening. Pada shitf II Agofarmaka dengan kelompok 1,2,3 sampel tepun
maizena, dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus
dan bening. Pada kelompok 4,5,6 dengan formulasi tepung tapioka
dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis halus dan
bening. Pada kelompok 7,8,9 formulasi tepung tapioka 2,5 gr + tepung
maizena 2,5 gr dihasilkan film yang memiliki ketebalan 0,03 mm, elastis
halus dan bening.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Fauzi., Zulisma Anita., Hamidah Harahap. 2013. Pengaruh Waktu Simpan
Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit Singkong Terhadap Sifat
Mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia USU, 2 (2): 11-15
Anita, Zulisma, Fauzi Akbar, Hamidah Harahap. 2013. Pengaruh Penambahan
Gliserol Terhadap Sifat Mekanik Film Plastik Biodegradasi Dari Pati
Kulit Singkong. Jurnal Teknik Kimia USU, Vol. 2, No. 2
Aripin, Samsul., Bungaran Saing., Elvi Kustiyah. 2017. Studi Pembuatan Bahan
Alternatif Plastik Biodegradable Dari Pati Ubi Jalar Dengan Plasticizer
Gliserol Dengan Metode Melt Intercalation. Jurnal Teknik Mesin
(JTM), 6 (1): 79-84
Bourtoom, T. 2007. Effect Of Some Process Parameters On The Properties Of
Edible Film Prepared From Starches. Department of Material Product
Technology. Challenges and Opportunities Food Technology 51(2): 61-
73
Ginting, Muhammad Hendra S., Rosdanelli Hasibuan., Rinaldi Febrianto Sinaga
dan Gita Ginting. 2014. Pengaruh Variasi Temperatur Gelatinisasi Pati
Terhadap Sifat Kekuatan Tarik Dan Pemanjangan Pada Saat Putus
Bioplastik Pati Umbi Talas. Seminar Nasional Sains dan Teknologi
ISSN : 2407 - 1846
Guilbert, S. 1986. Technology ang Application of Edible Protective Film. Elsavier
and Applied science Publisher. New York
Gutierrez-Villarreal M. H., Rodriguez-Velazquez J. 2007. The effect of citrate
esters as plasticizers on the thermal and mechanical properties of
poly(methyl methacrylate). Journal of Applied Polymer Science. Vol,
105. p. 2370-2375
Haryanto dan Fena, Retyo Titani. 2017. Bioplastik Dari Tepung Tapioka Dan
Tepung Maizena. Tecno. Vol. 18. No. 1: 01-06
Imaningsih, Neils. 2012. Profil Gelatinisasi Beberapa Formulasi Tepung-
Tepungan Untuk Pendugaan Sifat Pemasakan. Penel Gizi Makan.
35(1): 13-22
Kamsiati, Elmi., Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani. 2017. Potensi
Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu Dan Ubikayu
Di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 36 (2): 67-76
Karneta, Railia., Amin Rejo., Gatot Priyanto dan Rindit Pambayun. 2014. Profil
Gelatinisasi Formula Pempek “Lenjer”. Jurnal Dinamika Penelitian
Industri 25(1): 13-22
Krochta, J. M., Baldwin, E. A., dan M., O. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible
coatings and film to improve food quality, Economic Publ. Co. Inc.,
USA
Lieberman, E. R., dan Gilbert S. D. 1973. Gas Permeatin of Collagen Films as
Affected by Cross Linkage Moitsure and Plasticizer Content, J. Poly.
Sci., 41, 33-43
Matuana L. M., Park Ch., B., Balatinecz J. J. 1997. The effect of low levels of
plasticizer on the rheological and mechanical properties of Polyvinyl
Chloride/Newsprint-Fiber Composites. Journal of Vinyl & Additive
Technology. Vol. 3. No. 4, p. 265-273
McHugh, T H and Sanesi, E. 2000. Apple Wraps : A Novel Method to Improve
the Quality and Extend the Shelf Life of Fresh-Cut Apples. Journal of
Food Science. Vol. 65 (3) : 480-485
Miner & Dalton., 1953. Chemical properties and Derivatives of Glycerol.
Reinhold Publishing Corp. New York
Pagliaro, Mario., Rossi, Michele. 2008. The Future of Glycerol: New Uses of a
Versatile Raw Material. RSC Green Chemistry Book Series
Poeloengasih, C. Dewi dan Djagal W. Marseno. 2003. Karakterisasi Edible Film
Komposit Protein Biji Kecipir dan Tapioka. Jurnal Teknologi dan
Industri Pangan, Vol. XIV, No. 3
Pouilloux, Y., S. Abro, C. Vanhove, J. Barrault, 1998, Reaction of glycerol with
fatty acids in the presence of ion-exchange resins Preparation of
monoglycerides. Journal of Molecular Catalysis A: Chemical 149 1999
243–254
Prasetyo, Ari Eko., Anggra Widhi dan Widayat. 2012. Potensi Gliserol Dalam
Pembuatan Turunan Gliserol Melalui Proses Esterifikasi. Jurnal Ilmu
Lingkungan. Vol. 10 (1): 26-31
Richana N. dan Suarni. 2007. Teknologi Pengolahan Jagung. Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. P:
386-409
Roiyana, Munirotun., Munifatul Izzati., dan Erma Prihastanti. 2012. Potensi Dan
Efisiensi Senyawa Hidrokoloid Nabati Sebagai Bahan Penunda
Pematangan Buah. Buletin Anatomi dan Fisiologi Vol. XX (2)
Sanchez, P.A. 1976. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. Terjemahan J.T.
Jayadinata. 1992. ITB. Bandung
Santosa, B. A. 2008. Characteristics of extrudate from four varieties of corn with
aquadest addition. Indonesian Journal of Agriculture 1.2: 85-94
Sinaga, Loisa Lorensia., Melisa Seri Rejekina S., Mersi Suriani Sinaga. 2013.
Karakteristik Edible Film Dari Ekstrak Kacang Kedelai Dengan
Penambahan Tepung Tapioka Dan Gliserol Sebagai Bahan Pengemas
Makanan. Jurnal Teknik Kimia USU, 2 (4): 12-16
Whistler, R.L. J.N. BeMiller dan E.F. Paschall. 1984. Starch: Chemistry and
Technology. Academic Press. Inc. Toronto. Tokyo
Widyaningsih, Senny., Dwi Kartika., dan Yuni Tri Nurhayati. 2012. Pengaruh
Penambahan Sorbitol dan Kalsium Karbonat Terhadap Karakteristik
dan Sifat Biodegradasi Film dari Pati Kulit Pisang. Molekul 7(1): 69-81
Winarti, Christina., Miskiyah dan Widaningrum. 2012. Teknologi Produksi dan
Aplikasi Pengemas Edible Antimikroba Berbasis Pati. Jurnal Litbang
Pertanian. Vol. 31 (3) : 85-93
Yulianti, Rahmi dan Erliana Ginting. 2012. Perbedaan Karakteristik Fisik Edible
Film dari Umbi-umbian yang Dibuat dengan Penambahan Plasticizer.
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan Vol. 31 No. 2
LAMPIRAN GAMBAR

Gambar 3.2 Pemanasan pada hotplate Gambar 3.3 Penimbangan Tepung

Gambar 3.4 Penuangan pada wadah Gambar 3.5 Pengeringan pada


Cabinet Dryer

Anda mungkin juga menyukai