Anda di halaman 1dari 4

1.

Limbah
Limbah adalah hasil sampingan yang tidak berguna dari kegiatan manusia yang secara fisik
mengandung zat yang sama dengan yang tersedia dalam produk yang bermanfaat (White et
al, 1995). Limbah adalah buangan yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu
tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomi. Limbah yang
mengandung bahan polutan yang memiliki sifat racun dan berbahaya dikenal dengan limbah
B-3, yang dinyatakan sebagai bahan yang dalam jumlah relatif sedikit tetapi berpotensi untuk
merusak lingkungan hidup dan sumber daya. Bahan yang sering ditemukan dalam limbah
antara lain senyawa organik yang dapat terbiodegradasi, senyawa organik yang mudah
menguap, senyawa organik yang sulit terurai (Rekalsitran), logam berat yang toksik, padatan
tersuspensi, nutrien, mikroba patogen, dan parasit (Sitorus, dkk, 2021).
Limbah berdasarkan wujudnya terbagi menjadi limbah cair dan limbah padat, sedangkan
berdasarkan sifatnya limbah terbagi menjadi limbah organik dan limbah anorganik. Limbah
cair adalah sisa hasil buangan proses produksi atau aktivitas domestik yang berupa cairan.
Limbah padat adalah sisa hasil kegiatan industri ataupun aktivitas domestik yang berbentuk
padat. Limbah organic merupakan limbah yang dapat terurai (degradable) dengan kata lain
limbah yang dapat membusuk seperti sisa makanan, sayuran, daun- daun kering, dan
sebagainya, limbah ini dapat diolah menjadi kompos. Limbah anorganik merupakan limbah
yang tidak terurai (undegrade), limbah yang tidak mudah membusuk, seperti plastik, wadah
pembungkus makanan, kertas, plastik mainan, botol gelas air mineral, kaleng, kayu, dan
sebagainya, limbah ini dapat dijadikan limbah yang memiliki nilai jual untuk dijadikan
produk lain (Sunarsih, 2018).
2. Mikroplastik
Mikroplastik adalah fragmen plastik yang berukuran kurang dari 5 mm. Mikroplastik bisa
berbentuk serat, lapisan tipis, fragmen, maupun granula. Jumlah mikroplastik laut pasti akan
meningkat seiring dengan degradasi barang-barang plastik, yang pada akhirnya terurai
menjadi jutaan keping mikroplastik. Mikroplastik berukuran sangat kecil dan jumlahnya yang
banyak di lautan membuat sifatnya ubiquitous dan bioavailability bagi organisme akuatik
tinggi sehingga mengakibatkan mikroplastik dapat termakan oleh biota laut. Mikroplastik
dapat memengaruhi kesehatan para biota laut karena proses bioakumulasi dan masuknya zat-
zat yang berbahaya ke dalam rantai makanan (Li et al, 2016).
Mikroplastik adalah salah satu jenis dari sampah lautan yang apabila menumpuk di wilayah
perairan akan mengakibatkan terganggunya rantai makanan pada ikan. Mikroplastik lebih
berpotensi mengancam daripada material plastik yang berukuran besar sebagai organisme
mendiami tingkatan trofik lebih rendah, seperti plankton yang mempunyai partikel rentan
terhadap proses pencernaan mikroplastik sehingga mempengaruhi organisme trofik tingkat
tinggi melalui proses bioakumulasi (Dewi dkk, 2015). Mikroplastik terbagi menjadi dua jenis,
yaitu mikroplastik primer dan sekunder. Mikroplastik primer terbuat dari partikel mikro,
seperti bahan mentah plastik perindustrian dan dari scrub kosmetik, sedangkan mikroplasti
sekunder terbentuk dari lingkungan laut yang berasal dari sampah makroplastik yang
berfragmentasi menjadi potongan-potongan kecil karena pelapukan (Rachmat dkk, 2019).
3. Degradasi
Degradasi adalah proses yang melibatkan perubahan fisik atau kimia dalam polimer akibat
faktor lingkungan seperti cahaya, panas, kondisi kimia atau aktivitas biologis. Ditinjau dari
proses degradasinya, mikroplastik dapat terurai secara fisika, kimia dan biologi. Proses
degradasi mikroplastik dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, pH, kelembaban,
tekanan dan peranan dari mikrooganisme pengurai. Metode degradasi secara fisika dan kimia
memiliki kekurangan karena memiliki dampak buruk terhadap lingkungan, sehingga
diperlukan penanganan lain, salah satunya dengan menggunakan metode secara biologi (Tarr,
2003).

Secara biologi, proses degradasi terjadi karena adanya bantuan dari organisme yang berperan
sebagai agen remediasi seperti mikroorganisme yang menghasilkan enzim untuk
mendegradasi mikroplastik. Kemampuan enzim yang dihasilkan oleh mikrooganisme dalam
mendegradasi mikroplastik dipengaruhi beberapa faktor lingkungan seperti, pH, suhu, berat
dan ukuran dari molekul substrat. Beberapa mikroorganisme seperti fungi dan bakteri mampu
mendegradasi mikroplastik (Roohi et al, 2017). Pada umumnya hasil degradasi menyebabkan
perubahan sifat polimer seperti menghasilkan potongan ikatan polimer, transformasi atau
terbentuknya ikatan struktur kimia baru (Anggiani, 2020).

4. Reuse, Reduce, dan Recycle (3R)


Pengelolaan sampah dengan konsep 3R, secara umum adalah upaya pengurangan
pembuangan sampah, melalui program menggunakan kembali (Reuse), mengurangi
(Reduce), dan mendaur ulang (Recycle). Metode reuse, adalah metode penanganan sampah
dengan cara menggunakan kembali sampah tersebut secara langsung, baik untuk fungsi yang
sama atau fungsi lain. Proses pemilahan sampah yang masih memiliki nilai secara materiil
untuk digunakan kembali disebut sebagai daur ulang (reuse). Metode reuse, adalah metode
penanganan sampah dengan cara menggunakan kembali sampah tersebut secara langsung,
baik untuk fungsi yang sama atau fungsi lain. Proses pemilahan sampah yang masih memiliki
nilai secara materiil untuk digunakan kembali disebut sebagai daur ulang (reuse) (Abduh,
2018).
Metode reduce, adalah metode pengelolaan sampah dengan cara mengurangi segala hal yang
dapat menyebabkan timbulnya sampah. Sebuah metode yang penting dari pengelolaan
sampah adalah pencegahan zat sampah terbentuk, atau dikenal juga dengan "pencegahan
sampah". Metode pencegahan termasuk kembali barang bekas pakai, memperbaiki barang
yang rusak, mendesain produk supaya bisa diisi ulang atau bisa digunakan kembali. Metode
recycle, merupakan metode pengolahan sampah dengan cara mendaur ulang sampah menjadi
sesuatu yang baru dan dapat digunakan (Abduh, 2018).
5. Plastik Biodegradable
Para ilmuwan terus berusaha untuk menciptakan kemasan plastik yang ramah
lingkungan. Beberapa penelitian yang dilakukan telah menghasilkan teknologi
pembuatan plastik dari bahan alami yang bisa terdegradasi dalam waktu singkat.
Berdasarkan kemampuan untuk terdegradasi oleh alam, plastik dibedakan menjadi
dua, yaitu plastik terdegradasi (biodegradable) dan sulit terdegradasi (non
biodegradable). Plastik biodegradable dirancang dari bahan nabati yang merupakan
produk pertanian yang dapat diperbaharui ( Kamsiati dkk, 2017). Menurut Pranamuda
(2001), bioplastik ialah plastik yang bisa dipergunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas mikroorganisme menjadi air
dan gas karbondioksida setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Plastik
biodegradable terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa, dan lemak.
Karena sifatnya yang bisa kembali ke alam, plastik biodegradabel merupakan bahan
plastik yang ramah terhadap lingkungan. Plastik biodegradable sama halnya dengan
plastik konvensional, sifatnya yang ringan serta fleksibel bisa dimanfaatkan untuk
aneka macam keperluan. Jenis plastik biodegradable dapat digunakan menjadi
kantung belanja serta kantung buah dan sayur. Plastik biodegradable juga memiliki
fungsi sekunder sebagai kantung sampah yang bersifat compostable. ( Kamsiati dkk,
2017).
Pengembangan plastik biodegradable sudah banyak dilakukan, terutama
menggunakan bahan-bahan alam yang mengandung pati. Pati adalah bahan yang
dapat terdegradasi menjadi senyawa-senyawa ramah lingkungan. Plastik
biodegradable mempunyai keunggulan lebih jika dibandingkan dengan plastik
sintetis yang terbuat dari minyak bumi. Keunggulan ini terletak pada lama waktu
terdegradasinya, dimana Plastik biodegradable lebih mudah terdegradasi di alam
sedangkan plastik sintesis membutuhkan waktu yang cukup lama. Hal tersebut
disebabkan oleh komponen penyusun plastik biodegradable merupakan bahan alam
yang mudah terdegradasi. Plastik biodegradable mengandung gugus hidroksi, gugus
karbonil (CO), serta gugus ester (COOH) yang mengindikasikan bahwa plastik
tersebut mampu terdegradasi dengan baik di dalam tanah. (Utami dkk 2014). Peluang
pengembangan plastik biodegradable masih terbuka seiring dengan semakin tingginya
tuntutan terhadap upaya pelestarian lingkungan. Bahan baku plastik biodegradable
yang berasal dari bahan nabati juga memiliki peluang keberlanjutan dibandingkan
dengan plastik konvensional yang dihasilkan dari minyak bumi yang semakin
berkurang. (Kamsiati dkk, 2017). Teknologi pembuatan plastik biodegradable
berbahan dasar pati sendiri sudah mulai dikembangkan di Indonesia. Tetapi secara
komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas sebab permintaan di
dalam negeri yang masih rendah. Di Indonesia, plastik biodegradable sebagai bahan
pengemas mulai dipergunakan oleh beberapa industri waralaba jasa boga, sedangkan
pada industri pangan plastik biodegradable belum banyak dipergunakan. Hal ini
disebabkan oleh harga plastik biodegradable lebih mahal daripada plastik
konvensional karena kapasitas produksinya yang belum optimal serta teknologinya
belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan
plastik konvensional juga membuat bioplastik belum banyak digunakan oleh
masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai