Disusun Oleh:
1. Ananda
2. Cherllin
3. Qonita Indah Arrusli
4. Vika
5. Yuniarti
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji penyusun panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Adapun makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kimia Lingkungan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu
dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan baik bagi
pembaca dan pemulis akan menerima kritikan atau saran untuk makalah ini agar
menajdi sumber bacaan yang lebih relevan lagi untuk kedepannya.
Penyusun
BAB I
Plastik menjadi salah satu sampah yang banyak ditemukan di laut. Sampah
plastik dapat terdegradasi menjadi mikroplastik yang dapat terapung di lautan dan
berbahaya bagi kehidupan biota laut. Mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran
lebih kecil dari 5,0 mm. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil menjadi kekhawatiran
bagi makhluk hidup. Mikroplastik memungkinkan untuk masuk dalam tubuh biota laut
seperti ikan dan bivalvia, akibatnya polutan ini dapat masuk dalam sistem rantai
makanan (aquatic food chain). Mikroplastik menyebabkan bahaya yang lebih besar
untuk organisme laut yang menempati tingkat trofik yang lebih rendah, seperti plankton,
yang bersifat filter feeder mengkonsumsi mikroplastik dan berdampak pada organisme
di tingkat trofik yang lebih tinggi melalui bioakumulasi. Bahaya yang ditimbulkan pada
manusia adalah apabila manusia mengonsumsi ikan yang tercemar oleh mikroplastik.
Mikroplastik dalam tubuh manusia dapat berinteraksi dengan darah melalui proses
adsorbsi dan akan mengisi protein dan glikoprotein. Hal tersebut dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dan pembengkakan usus. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil
juga memungkinkan terjadinya transportasi ke jaringan organ lain.
1.3 Tujuan
BAB II
2.1 Pembahasan
Menurut Zhang et al (2021), plastik yang berada di badan air akan melayang
atau mengapung sehingga menyebabkan plastik menjadi potongan atau serpihan kecil
hal tersebut disebabkan karena terdegradasi oleh sinar matahari (fotodegradasi),
oksidasi, dan abrasi mekanik, sehingga membentuk partikel-partikel kecil yang disebut
mikroplastik. Isu pencemaran plastik di lingkungan perairan telah menjadi perhatian
global saat ini karena dampaknya yang merugikan ekosistem perairan laut dan pantai.
Terlebih lagi dengan terurainya sampah plastik menjadi partikel plastik berukuran
mikrometer (mikroplastik) dan nanometer (nanoplastik), memungkinkan partikel yang
halus masuk ke rantai makanan dan berujung pada manusia sebagai top predator dalam
rantai makanan. Sumber utama mikroplastik berupa microbeads (<1 mm) yang terdapat
dalam limbah plastik, kosmetika, bahan pembersih, dan fragmen-fragmen serat dari
pencucian pakaian yang mengalami pelapukan oleh faktor-faktor fisik, kimia, dan
biologi. (Widianarko dan Hantoro,2018)
Plastik yang terbuang di laut lepas, lama kelamaan akan teururai menjadi
partikel kecil yang disebut mikroplastik. Mikroplastik dapat menyebabkan bahaya
besar bagi organisme laut seperti plankton (Mulu dkk, 2020). Mikroplastik tersebut
akan termakan oleh biota-biota perairan yang berpotensi menimbulkan kerusakan
pada biota. Masuknya mikroplastik dalam tubuh biota dapat merusak fungsi organ-
organ seperti: saluran pencernaan, mengurangi tingkat pertumbuhan, menghambat
produksi enzim, menurunkan kadar hormon steroid, mempengaruhi reproduksi dan
menyebabkan paparan adiktif plastik lebih besar sifat toksiknya (Wright et al.,
2013). Pencemaran yang disebabkan mikroplastik berpotensi mengganggu kesehatan
manusia, keindahan pantai, dan serta ekonomi warga. Oleh karena kawasan pesisir
sebagai salah satu ekosistem yang mendukung kehidupan, maka diperlukan
pengelolaan kawasan yang berkelanjutan untuk mempertahankan daya dukung
kawasan pesisir.
Mikroplastik mampu beredar di dalam tanah melalui butiran pasir atau kolom
tanah dan retensinya tergantung pada hidrofobisitas pastikel; partikel yang lebih kecil
akan lebih cepat berpindah, termasuk oleh aktivitaas biota tanah. Penyebaran
mikroplastik di dalam tanah terjadi melalui perpindahan hewan-hewan kecil seperti
cacing tanah, dan proses leaching yang dapat memindahkan mikroplastik ke air tanah.
Sementara itu, penyebaran mikroplastik di laut terbuka diperkirakan mencapai 3070
situs dan tersebar ke puluhan kilometer jauhnya (Lebreton et al., 2017).
Kekhawatiran akan bahaya mikroplastik telah muncul sejak tahun 1990-an, yaitu
adanya ancaman semacam bahan kimia berat-molekul rendah di dalam plastik yang
toksik yang dapat tertelan oleh organisme hidup. Kategori senyawa dalam mikroplastik
yang berbahaya ialah senyawa organik persisten yang berpotensi terakumulasi di dalam
tubuh; bahan pengawet yang ditambahkan ke dalam plastik seperti plasticizer,
stabilizer, atau penahan api; dan monomer-monomer sisa yang terbentuk debris seperti
yang terdapat pada polystyrene (Andrady, 2017).
Proses degradasi plastik dapat terjadi oleh radiasi sinar UV yang memicu
degradasi oksidatif pada polimer. Selama proses degradasi secara fisik ini berlangsung,
limbah mikroplastik akan mengalami perubahan seperti berkurangnya kepekatan warna
(discolour), menjadi lebih lunak dan mudah hancur dengan berjalannya waktu.
Pengaruh mekanis proses degradasi plastik yaitu angin, gelombang laut, gigitan hewan
dan aktivitas manusia yang dapat menghancurkan bentuk plastik ke dalam bentuk
fragmen-fragmen (Kershaw, 2015). Mikroplastik yang mengendap di sedimen dan
terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan akumulasi mikroplastik pada lapisan
sedimen yang lebih dalam sehingga menyebabkan partikel plastik mengalami
pertambahan densitas. Mikroplastik yang mengalami perubahan densitasnya disebabkan
oleh paparan cahaya matahari yang berkepanjangan di laut, pelapukan, dan biofouling
(Hidalgo-Ruz et al., 2012). Proses degradasi plastik secara alami pada landfill yaitu
membutuhkan lahan sangat luas sebagai fasilitas TPA yang dapat dimanfaatkan untuk
sarana yang lebih produktif seperti pertanian.
1. Substrat
Ukuran dan komponen senyawa yang menyusun substrat merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi degradasi. Degradasi akan berlangsung
lebih cepat bila ukuran subtrat lebih kecil dan senyawa penyusunnya lebih
sederhana. Sebaliknya, jika ukuran substrat lebih besar dan senyawa
penyusunnya lebih kompleks dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mendegradasinya.
2. Sumber Nitrogen
Bahan yang banyak digunakan sebagai sumber nitrogen adalah
ammonium nitrat, ammonium sulfat, dan urea. Jika ezim ekstraseluler yang
dihasilkan oleh fungi banyak, maka degradasi akan berlangsung lebih cepat.
Sebaliknya, jika enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh fungi sedikit, maka
degradasi akan berlangsung lebih lama
3. pH
Dalam proses degradasi, pH merupakan faktor yang sangat penting
karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai
dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Jika pH sesuai dengan aktivitas enzim,
maka kerja enzim ekstraseluler untuk mendegradasi substrat akan optimal.
4. Suhu
Peningkatan suhu menyebabkan energi kinetik pada molekul substrat dan
enzim meningkat, sehingga degradasi juga meningkat. Namun suhu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan rusaknya enzim yang disebut denaturasi,
sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menghambat kerja enzim.
Biodegradasi tidak dapat berjalan dengan baik jika kerja enzim terhambat
atau struktur dari enzim tersebut rusak.
5. Kelembaban
Rendahnya kelembaban dapat menyebabkan berkurangnya kelarutan
nutrient di dalam substrat. Sedangkan tingginya kelembaban dapat
menyebabkan berkurangnya enzim yang dihasilkan. Proses biodegradasi
akan berlangsung lebih lama jika jumlah enzim berkurang.
Menghindari produksi atau pemakaian plastik adalah salah satu cara yang dapat
diandalkan dalam mengurangi limbah mikroplastik. Untuk menangani sampah
mikroplastik perlu dilakukan dengan konsep 3R ( Reuse, Reduce, Recycle). Reuse
adalah menggunakan kembali barang-barang yang terbuat dari plastik, Reduce adalah
mengurangi pembelian atau penggunaan barang-barang dari plastik, terutama barang-
barang yang sekali pakai dan Recycle adalah mendaur ulang barang-barang yang terbuat
dari plastik.
Daur ulang merupakan proses pengolahan kembali barang-barang yang dianggap
sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi melalui proses fisik maupun kimiawi atau
kedua-duanya sehingga diperoleh produk yang dapat dimanfaatkan atau
diperjualbelikan lagi. Daur ulang (recycle) sampah plastik dapat dibedakan menjadi
empat cara yaitu daur ulang primer, daur ulang sekunder, daur ulang tersier dan daur
ulang quarter. Daur ulang primer adalah daur ulang limbah plastik menjadi produk yang
memiliki kualitas yang hampir setara dengan produk aslinya.
Daur ulang cara ini dapat dilakukan pada sampah plastik yang bersih, tidak
terkontaminasi dengan material lain dan terdiri dari satu jenis plastik saja. Daur ulang
sekunder adalah daur ulang yang menghasilkan produk yang sejenis dengan produk
aslinya tetapi dengan kualitas dibawahnya. Daur ulang tersier adalah daur ulang sampah
plastik menjadi bahan kimia atau menjadi bahan bakar. Daur ulang quarter adalah
proses untuk mendapatkan energi yang terkandung di dalam sampah plastik (Kumar
dkk., 2012)
1. Hydro cracking
Hydro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan
plastik bersama hidrogen didalam wadah tertutup yang dilengkapi
dengan pengaduk pada suhu antara 423 – 673 K dan tekanan
hidrogen sebesar 3 –10 MPa. Dalam proses ini dibantu dengan
katalis. Untuk membantu pencampuran dan reaksi biasanya
digunakan bahan pelarut 1-methyl naphtalene, tetralin dan decalin.
Beberapa katalis yang sudah diteliti antara lain alumina, amorphous
silica alumina, zeolite dan sulphate zirconia. Penelitian tentang
proses hydrocracking ini telah dilakukan antara lain oleh Rodiansono
(2005) yang melakukan penelitian hydro cracking sampah plastik
polipropilena menjadi bensin (hidrokarbon C5-C12) dengan
menggunakan katalis NiMo/Zeolit dan NiMo/Zeolit-Nb2O5.
2. Thermal cracking
Thermal cracking termasuk proses pirolisis, yaitu dengan cara
memanaskan bahan polimer tanpa oksigen. Proses ini biasanya
dilakukan pada suhu antara 350°C sampai 900 °C. Dari proses ini
akan dihasilkan arang, minyak dari kondensasi gas seperti parafin,
isoparafin, olefin, naphthene dan aromatik, serta gas yang memang
tidak bisa terkondensasi. Bajus dan Hájeková, 2010 melakukan
penelitian tentang pengolahan campuran 7 jenis plastik menjadi
minyak dengan metode thermal cracking. Penelitian ini
menggunakan batch reactor dengan suhu dari 350°C sampai 500°C.
Dari penelitian ini diketahui bahwa thermal cracking pada campuran
7 jenis plastik akan menghasilkan produk yang berupa gas, minyak
dan sisa yang berupa padatan. Adanya plastik jenis PS, PVC dan PET
dalam campuran plastik yang diproses akan meningkatkan
terbentuknya karbon monoksida dan karbon dioksida didalam produk
gas dan menambah kadar benzene, toluene, xylenes, styrene didalam
produk minyak.
3. Catalytic cracking
Cara ini menggunakan katalis untuk melakukan reaksi perekahan.
Dengan adanya katalis, maka dapat mengurangi suhu dan waktu
reaksi. Proses konversi dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan
thermal cracking dan catalyst cracking. Pirolisis dilakukan didalam
tabung stainless steel yang dipanaskan dengan elemen pemanas
listrik pada suhu bervariasi antara 4750 C – 600°C. Kondensor
dengan suhur 300 C – 35°C, digunakan untuk mengembunkan gas
yang terbentuk setelah plastik dipanaskan menjadi minyak. Katalis
yang digunakan pada penelitian ini adalah silica alumina. Dari
penelitian ini diketahui bahwa pirolisis pada suhu 550°C dengan
perbandingan katalis/sampah plastik 1:4 maka dihasilkan minyak
dengan jumlah paling banyak.
Cara lain untuk mengurangi plastik adalah pelarangan atau pengenaan pajak atas
produk plastik atas produk plastik yang dapat dengan mudah diganti, seperti
microbeads dalam kosmetik dan produk perawatan sehari-hari serta kantong plastik
untuk bahan makanan.
Daftar pustaka:
Fachrul, M. F., Rinanti, A., Tazkiaturrizki, Agustria, A., dan Naswadi, D. A. 2021. DEGRADASI
MIKROPLASTIK PADA EKOSISTIM PERAIRAN OLEH BAKTERI KULTUR CAMPURAN. Jurnal
Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 6 (2), 304-316
Pikoli, M. R., Rahmah, F. A., Sari, A. F., Astuti, P., dan Solihat, N. A. 2021. Memancing Mikroba
dari Sampah: Isolasi Mikroorganisme Pendegradasi Mikroplastik. Buku Amal Jariyah &
Kinzamedia
Widianarko, B dan Hantoro, I. 2018. Mikroplastik dalam Seafood dari Pantai Utara
Jawa. ISBN :978-602-6865-74-8. Penerbit: Universitas Katolik Soegijapranata
Lebreton, L. C. M., Zwet, J. Van Der, Damsteeg, J., Slat, B., Andrady, A., & Reisser, J.
(2017). River plastic emissions to the world's oceans. Nature Communications, 8, 1-10.
Kershaw, P. 2015. Sources, fate and effects of microplastics in the marine environment:
a global assessment. International maritime organization.
Hidalgo-Ruz, V., Gutow, L, Thompson, R.C. dan Thiel, M. 2012. Microplastics in the
marine environment: A review of the methods used or identification and quantification.
Environmental science and technology, 46, 3060 - 3075.
Jacquin, J., Cheng, J., Odobel, C., Pandin, C., Conan, P., Pujo-Pay, M., Barbe, V.,
Meistertzheim, A.L.,Ghiglione, J. F. Microbial Ecotoxicology of Marine Plastic Debris:
A Review on Colonization and Biodegradation by the “Plastisphere”. Frontiers in
Microbiology Volume 10 Article 865 April 2019
Auta, H. S., Emenike, C. U., & Fauziah, S. H. (2017). Screening of Bacillus strains
isolated from mangrove ecosystems in Peninsular Malaysia for microplastic
degreadation.
Kumar S., Panda, A.K., dan Singh, R.K., 2011, A Review on Tertiary Recycling of
High-Density Polyethylene to Fuel, Resources, Conservation and Recycling Vol. 55
893– 910
Zhang, K., Hamidian, A.H., Tubić, A., Zhang, Y., Fange, J.K.H., Wu, C., Lam, P.K.S.
Understanding plastic degradation and microplastic formation in the environment: A
review. Environmental Pollution Volume 274, 1 April 2021, 116554
Panda, A. K., Kumar, S., & Singh, R. K. 2011. A Review on Tertiary Recycling of
High-Density Polythethylene to fuel. Resources, Conservation, and Recycling. 55 (11).
893-910.