Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KIMIA LINGKUNGAN

Mereduksi Limbah Mikroplastik di Perairan dan Kawasan Hutan Mangrove di


Kalimantan Barat

Disusun Oleh:

1. Ananda
2. Cherllin
3. Qonita Indah Arrusli
4. Vika
5. Yuniarti

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2021
KATA PENGANTAR
Segala puji penyusun panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Adapun makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi
tugas mata kuliah Kimia Lingkungan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang sudah membantu
dalam menyusun makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dengan baik bagi
pembaca dan pemulis akan menerima kritikan atau saran untuk makalah ini agar
menajdi sumber bacaan yang lebih relevan lagi untuk kedepannya.

Pontianak, 2 Oktober 2021

Penyusun
BAB I

1.1 Latar Belakang

Penggunaan plastik di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun yang


mengakibatkan meningkatnya potensi bahaya limbah plastik bagi lingkungan. Produksi
plastik di Indonesia mengalami kenaikan pada pada tahun 2018, sebesar 6,92% dari
tahun 2017 yang tercatat 2,47%. Total produksi sektor plastik di tahun 2018 mencapai
7,23 ton. Diperkirakaan sebesar 60% - 80% dari sampah yang ada di laut berasal dari
sampah plastik. Sebagian besar sampah plastik yang dibuang tidak didaur ulang terlebih
dahulu. hal ini menyebabkan plastik menjadi sumber polusi di lautan. Potensi bahaya
limbah plastik ini disebabkan oleh sifat dari plastik yang sulit terurai secara alami
karena merupakan produk polimerisasi minyak bumi dengan ikatan kimia yang kuat dan
sulit untuk diuraikan.

Plastik menjadi salah satu sampah yang banyak ditemukan di laut. Sampah
plastik dapat terdegradasi menjadi mikroplastik yang dapat terapung di lautan dan
berbahaya bagi kehidupan biota laut. Mikroplastik merupakan partikel plastik berukuran
lebih kecil dari 5,0 mm. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil menjadi kekhawatiran
bagi makhluk hidup. Mikroplastik memungkinkan untuk masuk dalam tubuh biota laut
seperti ikan dan bivalvia, akibatnya polutan ini dapat masuk dalam sistem rantai
makanan (aquatic food chain). Mikroplastik menyebabkan bahaya yang lebih besar
untuk organisme laut yang menempati tingkat trofik yang lebih rendah, seperti plankton,
yang bersifat filter feeder mengkonsumsi mikroplastik dan berdampak pada organisme
di tingkat trofik yang lebih tinggi melalui bioakumulasi. Bahaya yang ditimbulkan pada
manusia adalah apabila manusia mengonsumsi ikan yang tercemar oleh mikroplastik.
Mikroplastik dalam tubuh manusia dapat berinteraksi dengan darah melalui proses
adsorbsi dan akan mengisi protein dan glikoprotein. Hal tersebut dapat mempengaruhi
sistem kekebalan tubuh dan pembengkakan usus. Ukuran mikroplastik yang sangat kecil
juga memungkinkan terjadinya transportasi ke jaringan organ lain.

Mangrove berperan penting bagi ekosistem seperti produksi ikan, tempat


pembiakan dan tempat mencari makan bagi fauna, keanekaragaman hayati tinggi dan
sebagai perlindungan garis pantai dari erosi. Kawasan mangrove di Kabupaten
Mempawah, Kalimantan Barat merupakan daerah ekowisata yang berkonsep edukasi.
Kawasan mangrove ini merupakan ekowisata yang ramai dikunjungi, baik dari
masyarakat setempat maupun masyarakat luar. Hal ini menyebabkan terjadinya
penumpukan sampah di kawasan hutan mangrove yang berasal dari masyarakat yang
berkunjung maupun sampah yang terbawa arus dari laut. Sebagai daerah yang dinamis
dan dipengaruhi oleh pasang surut, keberadaan sampah plastik akan tersebar ke seluruh
areal hutan mangrove. Akar mangrove dan proses-proses alami lainnya akan
meningkatkan mekanisme terperangkapnya plastik dalam sedimen. Proses tersebut juga
akan mendegradasi plastik menjadi berukuran lebih kecil, yaitu mikroplastik. Selain
mengurangi penggunaaan produk berbahan plastik perlu dilakukan upaya lanjutan untuk
mengurangi pencemaran mikroplastik.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB II

2.1 Pembahasan

Menurut Zhang et al (2021), plastik yang berada di badan air akan melayang
atau mengapung sehingga menyebabkan plastik menjadi potongan atau serpihan kecil
hal tersebut disebabkan karena terdegradasi oleh sinar matahari (fotodegradasi),
oksidasi, dan abrasi mekanik, sehingga membentuk partikel-partikel kecil yang disebut
mikroplastik. Isu pencemaran plastik di lingkungan perairan telah menjadi perhatian
global saat ini karena dampaknya yang merugikan ekosistem perairan laut dan pantai.
Terlebih lagi dengan terurainya sampah plastik menjadi partikel plastik berukuran
mikrometer (mikroplastik) dan nanometer (nanoplastik), memungkinkan partikel yang
halus masuk ke rantai makanan dan berujung pada manusia sebagai top predator dalam
rantai makanan. Sumber utama mikroplastik berupa microbeads (<1 mm) yang terdapat
dalam limbah plastik, kosmetika, bahan pembersih, dan fragmen-fragmen serat dari
pencucian pakaian yang mengalami pelapukan oleh faktor-faktor fisik, kimia, dan
biologi. (Widianarko dan Hantoro,2018)

Gambar 1. Ringkasan rute ekspos mikroplastik di lingkungan

Plastik yang terbuang di laut lepas, lama kelamaan akan teururai menjadi
partikel kecil yang disebut mikroplastik. Mikroplastik dapat menyebabkan bahaya
besar bagi organisme laut seperti plankton (Mulu dkk, 2020). Mikroplastik tersebut
akan termakan oleh biota-biota perairan yang berpotensi menimbulkan kerusakan
pada biota. Masuknya mikroplastik dalam tubuh biota dapat merusak fungsi organ-
organ seperti: saluran pencernaan, mengurangi tingkat pertumbuhan, menghambat
produksi enzim, menurunkan kadar hormon steroid, mempengaruhi reproduksi dan
menyebabkan paparan adiktif plastik lebih besar sifat toksiknya (Wright et al.,
2013). Pencemaran yang disebabkan mikroplastik berpotensi mengganggu kesehatan
manusia, keindahan pantai, dan serta ekonomi warga. Oleh karena kawasan pesisir
sebagai salah satu ekosistem yang mendukung kehidupan, maka diperlukan
pengelolaan kawasan yang berkelanjutan untuk mempertahankan daya dukung
kawasan pesisir.

Kehadiran mikroplastik membawa bahaya bagi lingkungan bukan hanya karena


fisiknya, tetapi juga zat aditif (zat tambahan kimia) yang berada di dalamnya sebagai
pewarna, pewangi, atau peningkat fleksibilitas dan durabilitas plastik tersebut.
mikroplastik pun berperan dalam pemanasan global karena bisa memproduksi gas-gas
rumah kaca, seperti metana yang merupakan gas rumah kaca yang paling potensial
dalam menyebabkan pemanasan global. Dalam penelitian lebih lanjut mengenai dampak
mikroplastik terhadap organisme di laut, ada banyak sekali hewan yang telah menelan
mikroplastik ataupun plastik besar. Organisme laut yang menelan plastik besar dapat
tersedak, mengalami luka internal atau eksternal, luka ulserasi, penyumbatan saluran
pencernaan, gangguan kapasitas makan, kelaparan, kekurangan tenaga, atau kematian.
Studi juga menunjukkan adanya potensi efek mikroplastik pada jaringan dan tingkat sel.
Dalam Mytilus edulis yang menelan mikroplastik (> 0-80 µm) dapat menyebabkan
respon inflamasi pada jaringan dan mengurangi stabilitas membran sel dari sistem
pencernaan (Victoria, A. V. (2017). Partikel plastik yang terakumulasi dalam jumlah
yang besar dalam tubuh ikan dapat menyumbat saluran pencernaan ikan, menganggu
proses pencernaan, ataupun menghalangi proses penyerapan (Wright et al., 2013).
Selain itu, dampak fisik langsung dari mikroplastik adalah tertelannya sampah plastik
yang dapat bertindak sebagai media untuk bahan kimia dan persisten berkonsentrasi dan
mentransfer, bioakumulatif, dan zat beracun (PBTs), seperti bifenil poliklorin, PCB,
untuk organisme. Mikroplastik mungkin menjadi pembawa bahan kimia yang diserap ke
permukaan tubuh dari lingkungan (misalnya, PCB atau dichlorodiphenyl,
dichloroethylene, DDEs) atau bahan kimia yang ditambahkan ke plastik (misalnya,
plasticizer) dalam produksi plastik. Dalam suatu percobaan dengan A. marina,
akumulasi nonilfenol dan triklosan dari PVC menyebabkan fungsi kekebalan yang
terganggu dan adanya stres fisiologis, bahkan kematian. Akan tetapi hal ini terjadi
akibat kuantitas plastik yang digunakan relatif tinggi.

Selain memiliki interaksi langsung dengan organisme, mikroplastik di habitat


perairan mungkin menghasilkan dampak yang lebih luas akibat berinteraksi dengan
lingkungan abiotik atau dengan interaksi tidak langsung pada komunitas biotik atau
ekosistem. Mikroplastik dapat mempengaruhi distribusi bahan kimia di lingkungan serta
dapat mempengaruhi kualitas lingkungan abiotik secara langsung maupun tidak
langsung. Sebuah penelitian menguji potensi mikroplastik untuk menimbulkan dampak
yang berbeda pada tahap kehidupan hewan di air dan diperoleh bahwa mikroplastik
memiliki resiko terhadap pertumbuhan atau kelangsungan hidup ikan yang masih muda.

Mikroplastik mampu beredar di dalam tanah melalui butiran pasir atau kolom
tanah dan retensinya tergantung pada hidrofobisitas pastikel; partikel yang lebih kecil
akan lebih cepat berpindah, termasuk oleh aktivitaas biota tanah. Penyebaran
mikroplastik di dalam tanah terjadi melalui perpindahan hewan-hewan kecil seperti
cacing tanah, dan proses leaching yang dapat memindahkan mikroplastik ke air tanah.
Sementara itu, penyebaran mikroplastik di laut terbuka diperkirakan mencapai 3070
situs dan tersebar ke puluhan kilometer jauhnya (Lebreton et al., 2017).

Kekhawatiran akan bahaya mikroplastik telah muncul sejak tahun 1990-an, yaitu
adanya ancaman semacam bahan kimia berat-molekul rendah di dalam plastik yang
toksik yang dapat tertelan oleh organisme hidup. Kategori senyawa dalam mikroplastik
yang berbahaya ialah senyawa organik persisten yang berpotensi terakumulasi di dalam
tubuh; bahan pengawet yang ditambahkan ke dalam plastik seperti plasticizer,
stabilizer, atau penahan api; dan monomer-monomer sisa yang terbentuk debris seperti
yang terdapat pada polystyrene (Andrady, 2017).

Plastik jenis polyethylene dapat didegradasi dengan penyinaran sinar UV pada


panjang gelombang 280-300 nm selama 10 hari, sehingga membentuk hidrokperoksida
dan terputusnya rantai panjang polyethylene menjadi fragmen-fragmen yang lebih
pendek atau disebut monomer. Namun proses degradasi dengan memanfaatkan sinar
UV ini dapat menimbulkan dampak negatif yaitu efek rumah kaca. Pembakaran limbah
plastik akan menimbulkan dampak negatif juga, yaitu tercemarnya udara oleh gas-gas
hasil pembakaran plastik, diantaranya gas karbon dioksida (CO2) dan gas karbon
monoksida (CO). Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk mengolah limbah plastik
dengan baik tanpa harus merusak lingkungan.

2.1 Pengolahan Mikroplastik

Proses degradasi plastik dapat terjadi oleh radiasi sinar UV yang memicu
degradasi oksidatif pada polimer. Selama proses degradasi secara fisik ini berlangsung,
limbah mikroplastik akan mengalami perubahan seperti berkurangnya kepekatan warna
(discolour), menjadi lebih lunak dan mudah hancur dengan berjalannya waktu.
Pengaruh mekanis proses degradasi plastik yaitu angin, gelombang laut, gigitan hewan
dan aktivitas manusia yang dapat menghancurkan bentuk plastik ke dalam bentuk
fragmen-fragmen (Kershaw, 2015). Mikroplastik yang mengendap di sedimen dan
terjadi secara terus-menerus akan menimbulkan akumulasi mikroplastik pada lapisan
sedimen yang lebih dalam sehingga menyebabkan partikel plastik mengalami
pertambahan densitas. Mikroplastik yang mengalami perubahan densitasnya disebabkan
oleh paparan cahaya matahari yang berkepanjangan di laut, pelapukan, dan biofouling
(Hidalgo-Ruz et al., 2012). Proses degradasi plastik secara alami pada landfill yaitu
membutuhkan lahan sangat luas sebagai fasilitas TPA yang dapat dimanfaatkan untuk
sarana yang lebih produktif seperti pertanian.

Keterbatasan oksigen di TPA mengakibatkan komponen plastik dari sampah


TPA terbukti bertahan selama lebih dari 20 tahun dikarenakan lingkungan TPA bersifat
anaerobik yang menyebabkan terbatasnya laju proses degradasi. Pengolahan
mikroplastik dengan insenerasi menyebabkan pembentukan banyak senyawa berbahaya
yang sebagian besar dilepaskan ke atmosfer seperti PAH (Polisiklik Aromatik
Hidrokarbon), PCBs (polychlorinated biphenyls), logam berat, gas rumah kaca, serta
senyawa karbon dan oksigen yang beracun semuanya diproduksi dan dilepaskan ketika
plastik dibakar (Priyanka dan Archana, 2012) Mikroplastik memiliki kemampuan
menyerap senyawa hidrofobik yang beracun dari lingkungan (Cole et al., 2011). Sifat
mikroplastik yang karsinogenik dan dapat mengganggu sistem saluran kelenjar endokrin
pada suatu biota (Rochman et al., 2015). Hal ini akan berdampak buruk pada kondisi
biota yang mengkonsumsi mikroplastik yang terakumulasi pada sedimen di perairan
sehingga dapat menyebabkan kerusakan baik fisik maupun kimia pada organ internal
dan mengganggu sistem saluran pencernaan biota tersebut (Ryan et al., 2021).

2.2 Biodegredasi Mikroplastik

Salah satu strategi dan pendekatan yang menarik untuk mengendalikan


pencemaran mikroplastik dapat dilakukan adalah dengan pendekatan teknologi
remediasi dengan memanfaatkan potensi mikroba atau bakteri indigenous dan jamur
atau fungi yang ditumbuhkan dalam lingkungan media yang terpapar mikroplastik yang
terkontrol. Bakteri, archaea, fungi dan mikroba eukariota terdeteksi dalam beberapa
penelitian mengenai sampel plastik di laut atau dari plastik baru yang diinkubasi dalam
kondisi laut. (Jacquin et al., 2019)

Biodegradasi mikrobial pada plastik berbasis-petroleum, terutama polythylene,


polypropylene, dan polystyrene telah dievaluasi sejak tahun 1970-an. Berbagai jenis
bakteri dan fungi dapat mendegradasi bahan-bahan yang pada umumnya dianggap non-
biodegradable tersebut tanpa perlakuan awal berupa pemanasan maupun penyinaran.
Bakteri Ideonella sakaiensis telah diisolasi dan terbukti mampu mendegradasi
polythylene terephtalate dengan menggunakan enzim-enzimnya menjadi terephtalic
acid dan ethylene glycol yang ramah lingkungan. Bakteri Bacillus cereus dan Bacillus
gottheili telah diisolasi dari sedimen mangrove dan dapat tumbuh menggunakan
berbagai macam mikroplastik sebagai satu-satunya sumber karbon (Auta et al., 2017).
Fungi Zalerion maritimum yang mampu mendegradasi mikroplastik polyethylene.

Mekanisme biodegradasi plastik dimulai dari menempelnya mikroba dengan


polimer, lalu terjadi kolonisasi permukaan. Hidrolisis plastik berbasis enzim terjadi pada
saat enzim menempel pada substrat polimer diikuti dengan pembelahan hidrolitik.
Produk degradasi polimer seperti oligomer, dimer, dan monomer memiliki berat
molekul yang jauh lebih rendah dan akhirnya diubah menjadi CO2 dan H2O melalui
mineralisasi. Dalam kondisi aerobik, oksigen digunakan sebagai akseptor elektron oleh
bakteri yang diikuti dengan sintesis senyawa organik yang lebih kecil, dengan demikian,
CO2 dan air diproduksi sebagai produk akhir. Dalam kondisi anaerobik, polimer
dihancurkan dengan tidak adanya oksigen oleh mikroorganisme. Sulfat, nitrat, besi,
karbon dioksida, dan mangan digunakan sebagai akseptor elektron oleh bakteri anaerob
(Priyanka dan Archana, 2011).

Gambar 2. Mekanisme Biodegredasi Mikroplastik

Biodegradasi plastik berbahan dasar minyak bumi konvensional dipengaruhi


oleh faktor abiotik dan faktor biotik. Faktor abiotik (radiasi UV, suhu, tekanan
atmosfer) terjadi dalam waktu lama, dan tidak dapat sepenuhnya terurai. Faktor biotik
dipengaruhi oleh mikroorganisme pengurai yang ada di lingkungan yang dapat
mempercepat penguraian. Biodegradasi plastik berbahan dasar minyak bumi
konvensional dipengaruhi oleh faktor abiotik terjadi dalam waktu lama, dan tidak dapat
sepenuhnya terurai dan faktor biotik dipengaruhi oleh mikroorganisme pengurai yang
ada di lingkungan yang dapat mempercepat penguraian. Berikut ini merupakan faktor-
faktor lain yang mempengaruhi biodegradasi antara lain:

1. Substrat
Ukuran dan komponen senyawa yang menyusun substrat merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi degradasi. Degradasi akan berlangsung
lebih cepat bila ukuran subtrat lebih kecil dan senyawa penyusunnya lebih
sederhana. Sebaliknya, jika ukuran substrat lebih besar dan senyawa
penyusunnya lebih kompleks dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
mendegradasinya.
2. Sumber Nitrogen
Bahan yang banyak digunakan sebagai sumber nitrogen adalah
ammonium nitrat, ammonium sulfat, dan urea. Jika ezim ekstraseluler yang
dihasilkan oleh fungi banyak, maka degradasi akan berlangsung lebih cepat.
Sebaliknya, jika enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh fungi sedikit, maka
degradasi akan berlangsung lebih lama
3. pH
Dalam proses degradasi, pH merupakan faktor yang sangat penting
karena enzim-enzim tertentu hanya akan mengurai suatu substrat sesuai
dengan aktivitasnya pada pH tertentu. Jika pH sesuai dengan aktivitas enzim,
maka kerja enzim ekstraseluler untuk mendegradasi substrat akan optimal.
4. Suhu
Peningkatan suhu menyebabkan energi kinetik pada molekul substrat dan
enzim meningkat, sehingga degradasi juga meningkat. Namun suhu yang
terlalu tinggi dapat menyebabkan rusaknya enzim yang disebut denaturasi,
sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menghambat kerja enzim.
Biodegradasi tidak dapat berjalan dengan baik jika kerja enzim terhambat
atau struktur dari enzim tersebut rusak.
5. Kelembaban
Rendahnya kelembaban dapat menyebabkan berkurangnya kelarutan
nutrient di dalam substrat. Sedangkan tingginya kelembaban dapat
menyebabkan berkurangnya enzim yang dihasilkan. Proses biodegradasi
akan berlangsung lebih lama jika jumlah enzim berkurang.

2.3 Reduce, Reuse, dan Recycle

Menghindari produksi atau pemakaian plastik adalah salah satu cara yang dapat
diandalkan dalam mengurangi limbah mikroplastik. Untuk menangani sampah
mikroplastik perlu dilakukan dengan konsep 3R ( Reuse, Reduce, Recycle). Reuse
adalah menggunakan kembali barang-barang yang terbuat dari plastik, Reduce adalah
mengurangi pembelian atau penggunaan barang-barang dari plastik, terutama barang-
barang yang sekali pakai dan Recycle adalah mendaur ulang barang-barang yang terbuat
dari plastik.
Daur ulang merupakan proses pengolahan kembali barang-barang yang dianggap
sudah tidak mempunyai nilai ekonomis lagi melalui proses fisik maupun kimiawi atau
kedua-duanya sehingga diperoleh produk yang dapat dimanfaatkan atau
diperjualbelikan lagi. Daur ulang (recycle) sampah plastik dapat dibedakan menjadi
empat cara yaitu daur ulang primer, daur ulang sekunder, daur ulang tersier dan daur
ulang quarter. Daur ulang primer adalah daur ulang limbah plastik menjadi produk yang
memiliki kualitas yang hampir setara dengan produk aslinya.

Daur ulang cara ini dapat dilakukan pada sampah plastik yang bersih, tidak
terkontaminasi dengan material lain dan terdiri dari satu jenis plastik saja. Daur ulang
sekunder adalah daur ulang yang menghasilkan produk yang sejenis dengan produk
aslinya tetapi dengan kualitas dibawahnya. Daur ulang tersier adalah daur ulang sampah
plastik menjadi bahan kimia atau menjadi bahan bakar. Daur ulang quarter adalah
proses untuk mendapatkan energi yang terkandung di dalam sampah plastik (Kumar
dkk., 2012)

Nilai kalor yang terkandung dalam plastik dengan sumber-sumber energi


lainnya dapat dilihat pada Gambar 3. Mengingat kandungan energi yang tinggi dari
bahan plastik, maka potensi pemanfaatannya sebagai salah satu sumber energi memiliki
prospek yang cukup bagus di masa mendatang. Hal ini apat diperoleh dua keuntungan
sekaligus yaitu mengurangi masalah sampah plastik dan juga menghasilkan energi yang
bisa digunakan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi konvensional.
Beberapa teknologi bisa digunakan untuk mengkonversi sampah plastik menjadi bahan
bakar diantaranya yaitu konversi ke bahan bakar padat, konversi ke bahan bakar cair
dan konversi ke bahan bakar gas.
Gambar 3. Nilai kalor dalam plastik dan sumber lain

Konversi Sampah Plastik Menjadi Bahan Bakar Minyak

Mengkonversi sampah plastik menjadi bahan bakar minyak termasuk


daur ulang tersier. Merubah sampah plastik menjadi bahan bakar minyak dapat
dilakukan dengan proses cracking (perekahan). Cracking adalah proses
memecah rantai polimer menjadi senyawa dengan berat molekul yang lebih
rendah. Hasil dari proses cracking plastik ini dapat digunakan sebagai bahan
kimia atau bahan bakar. Terdapat 3 macam proses cracking yaitu hydro
cracking, thermal cracking dan catalytic cracking (Panda, 2011):

1. Hydro cracking
Hydro cracking adalah proses cracking dengan mereaksikan
plastik bersama hidrogen didalam wadah tertutup yang dilengkapi
dengan pengaduk pada suhu antara 423 – 673 K dan tekanan
hidrogen sebesar 3 –10 MPa. Dalam proses ini dibantu dengan
katalis. Untuk membantu pencampuran dan reaksi biasanya
digunakan bahan pelarut 1-methyl naphtalene, tetralin dan decalin.
Beberapa katalis yang sudah diteliti antara lain alumina, amorphous
silica alumina, zeolite dan sulphate zirconia. Penelitian tentang
proses hydrocracking ini telah dilakukan antara lain oleh Rodiansono
(2005) yang melakukan penelitian hydro cracking sampah plastik
polipropilena menjadi bensin (hidrokarbon C5-C12) dengan
menggunakan katalis NiMo/Zeolit dan NiMo/Zeolit-Nb2O5.
2. Thermal cracking
Thermal cracking termasuk proses pirolisis, yaitu dengan cara
memanaskan bahan polimer tanpa oksigen. Proses ini biasanya
dilakukan pada suhu antara 350°C sampai 900 °C. Dari proses ini
akan dihasilkan arang, minyak dari kondensasi gas seperti parafin,
isoparafin, olefin, naphthene dan aromatik, serta gas yang memang
tidak bisa terkondensasi. Bajus dan Hájeková, 2010 melakukan
penelitian tentang pengolahan campuran 7 jenis plastik menjadi
minyak dengan metode thermal cracking. Penelitian ini
menggunakan batch reactor dengan suhu dari 350°C sampai 500°C.
Dari penelitian ini diketahui bahwa thermal cracking pada campuran
7 jenis plastik akan menghasilkan produk yang berupa gas, minyak
dan sisa yang berupa padatan. Adanya plastik jenis PS, PVC dan PET
dalam campuran plastik yang diproses akan meningkatkan
terbentuknya karbon monoksida dan karbon dioksida didalam produk
gas dan menambah kadar benzene, toluene, xylenes, styrene didalam
produk minyak.
3. Catalytic cracking
Cara ini menggunakan katalis untuk melakukan reaksi perekahan.
Dengan adanya katalis, maka dapat mengurangi suhu dan waktu
reaksi. Proses konversi dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan
thermal cracking dan catalyst cracking. Pirolisis dilakukan didalam
tabung stainless steel yang dipanaskan dengan elemen pemanas
listrik pada suhu bervariasi antara 4750 C – 600°C. Kondensor
dengan suhur 300 C – 35°C, digunakan untuk mengembunkan gas
yang terbentuk setelah plastik dipanaskan menjadi minyak. Katalis
yang digunakan pada penelitian ini adalah silica alumina. Dari
penelitian ini diketahui bahwa pirolisis pada suhu 550°C dengan
perbandingan katalis/sampah plastik 1:4 maka dihasilkan minyak
dengan jumlah paling banyak.

Cara lain untuk mengurangi plastik adalah pelarangan atau pengenaan pajak atas
produk plastik atas produk plastik yang dapat dengan mudah diganti, seperti
microbeads dalam kosmetik dan produk perawatan sehari-hari serta kantong plastik
untuk bahan makanan.
Daftar pustaka:

Fachrul, M. F., Rinanti, A., Tazkiaturrizki, Agustria, A., dan Naswadi, D. A. 2021. DEGRADASI
MIKROPLASTIK PADA EKOSISTIM PERAIRAN OLEH BAKTERI KULTUR CAMPURAN. Jurnal
Penelitian dan Karya Ilmiah Lembaga Penelitian Universitas Trisakti, 6 (2), 304-316

Islami, A. N. 2019. BIODEGRADASI PLASTIK OLEH MIKROORGANISME. Jurusan Teknik


Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lanskap dan Teknologi Lingkungan, Universitas Trisakti

Purwaningrum, P. 2016. Upaya Mengurangi Timbulan Sampah Plastik di Lingkungan. Jurusan


Teknik Lingkungan, FALTL, Universitas Trisakti, 8(2), 141-147

Pikoli, M. R., Rahmah, F. A., Sari, A. F., Astuti, P., dan Solihat, N. A. 2021. Memancing Mikroba
dari Sampah: Isolasi Mikroorganisme Pendegradasi Mikroplastik. Buku Amal Jariyah &
Kinzamedia

Widianarko, B dan Hantoro, I. 2018. Mikroplastik dalam Seafood dari Pantai Utara
Jawa. ISBN :978-602-6865-74-8. Penerbit: Universitas Katolik Soegijapranata

Lebreton, L. C. M., Zwet, J. Van Der, Damsteeg, J., Slat, B., Andrady, A., & Reisser, J.
(2017). River plastic emissions to the world's oceans. Nature Communications, 8, 1-10.

Andrady, A. L. (2017). The Plastic in Microplastics: A Review. Marine Pollution


Bulletin Journal, 119, 12-22.

Kershaw, P. 2015. Sources, fate and effects of microplastics in the marine environment:
a global assessment. International maritime organization.

Hidalgo-Ruz, V., Gutow, L, Thompson, R.C. dan Thiel, M. 2012. Microplastics in the
marine environment: A review of the methods used or identification and quantification.
Environmental science and technology, 46, 3060 - 3075.

Priyanka, N. dan Archana, T. 2012. Biodegradability of polythene and plastic by the


help of microorganism: A way for brighter future. Journal of environmental &
analytical toxicology, 1(4), 12 – 15
Ryan, P.G., Moore C.J., Van Franeker J.A. dan Moloney C.L. 2014. Monitoring the
abundance of plasticdebris in the marine environment. Philosophical transactions of the
royal society, 364, 1999 -2021.

Jacquin, J., Cheng, J., Odobel, C., Pandin, C., Conan, P., Pujo-Pay, M., Barbe, V.,
Meistertzheim, A.L.,Ghiglione, J. F. Microbial Ecotoxicology of Marine Plastic Debris:
A Review on Colonization and Biodegradation by the “Plastisphere”. Frontiers in
Microbiology Volume 10 Article 865 April 2019

Auta, H. S., Emenike, C. U., & Fauziah, S. H. (2017). Screening of Bacillus strains
isolated from mangrove ecosystems in Peninsular Malaysia for microplastic
degreadation.

Kumar S., Panda, A.K., dan Singh, R.K., 2011, A Review on Tertiary Recycling of
High-Density Polyethylene to Fuel, Resources, Conservation and Recycling Vol. 55
893– 910

Zhang, K., Hamidian, A.H., Tubić, A., Zhang, Y., Fange, J.K.H., Wu, C., Lam, P.K.S.
Understanding plastic degradation and microplastic formation in the environment: A
review. Environmental Pollution Volume 274, 1 April 2021, 116554

Panda, A. K., Kumar, S., & Singh, R. K. 2011. A Review on Tertiary Recycling of
High-Density Polythethylene to fuel. Resources, Conservation, and Recycling. 55 (11).
893-910.

Anda mungkin juga menyukai