Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Plastik
Plastik adalah polimer organik yang dapat diproses pada berbagai cara
berbeda. Sifat teknis nya seperti kemampuan membentuk, kekerasan, elastisitas,
kekakuan, ketahanan panas dan kimia dapat divariasikan dengan cara memilih
bahan baku, proses produksi maupun penambahan zat aditif yang tepat (Thielen,
2013).
Plastik digunakan hampir disegala tempat seperti bahan kemasan rumah
tangga, botol, ponsel, printer, dan lain – lain. Plastik juga dimanfaatkan pada
produksi industri mulai dari bidang farmasi sampai industri mobil. Plastik sangat
berguna sebagai polimer sintetis karena struktur kimia nya dapat dimanipulasi
untuk mendapatkan berat molekul yang lebih tinggi, reaktifitas yang rendah dan zat
yang tahan lama (Gill, 2014). Plastik yang dibuat dari bahan minyak bumi memiliki
banyak kekurangan. Pada proses produksi nya membutuhkan banyak energi,
disamping itu membutuhkan bertahun – tahun untuk terdegradasi dan pada waktu
yang sama mengakibatkan bahaya serius pada lingkungan (Sujuthi, 2016).
Sifat-sifat plastik sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI)
ditunjukkan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Sifat Mekanik Plastik Sesuai SNI

No Karakteristik Nilai
1 Kuat tarik (Mpa) 24,7-302
2 Persen elongasi (%) 21-220
3 Hidrofobisitas (%) 99
Sumber : Darni dan Herti (2010)

2.2 Bioplastik
Bioplastik atau plastik biodegradable adalah plastik yang dibuat dari sumber
alami baik itu sebagian maupun menyeluruh. Sumber alami nya seperti tebu, pati
kentang, atau selulosa dari pohon, jerami dan kapas. Bioplastik bukan nya zat
tunggal, tetapi meliputi seluruh jenis material dengan sifat dan aplikasi yang
berbeda (Chen, 2014).

Bioplastik dapat didegradasi oleh bakteri golongan pseudomonas dan bacillus


dengan memutus rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-
senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan karbon dioksida dan air, juga
menghasilkan senyawa organik lain yaitu asam organik dan aldehid yang tidak
berbahaya bagi lingkungan. Dan bioplastik dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali
lebih cepat dibandingkan plastik sintesis. Hasil dari degradasi plastik ini dapat
digunakan sebagai makanan hewan ternak atau sebagai pupuk kompos. Bioplastik
yang terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya. Kualitas tanah akan
meningkat dengan adanya bioplastik, karena hasil penguraian mikroorganisme
meningkatkan unsur hara dalam tanah. (Udyani, 2017). Degradasi dari bioplastik
dapat di tandai dengan kehilangan berat, perubahan pada kuat tarik, perubahan
dimensi, perubahan sifat kimia dan fisika, menghasilkan karbon dioksida, aktifitas
bakteri pada tanah dan perubahan pada distribusi berat molekul (Singh & Sharma,
2008).

2.3 Biokomposit
Biokomposit adalah material komposit yang terdiri dari gabungan dari
polimer alami sebagai fasa organiknya dan penguat sebagai fasa anorganiknya
(Darder, 2008). Pengisi yang berskala nano sangat mempengaruhi sifat-sifat
komposit yang dihasilkan dan menunjukkan perbaikan pada sifat fisik dan mekanik
tensile strength, thermal stability jika dibandingkan dengan material konvensional
lainnya (Avella, 2009).
Secara umum material komposit tersusun dari dua komponen utama yaitu
matrik (bahan pengikat) dan filler (bahan pengisi). Filler adalah bahan pengisi yang
digunakan dalam pembuatan komposit, biasanya berupa serat atau serbuk. Gibson
(1984) mengatakan bahwa matrik dalam struktur komposit bisa berasal dari bahan
polimer, logam, maupun keramik. Matrik secara umum berfungsi untuk mengikat
serat menjadi satu struktur komposit.
2.4 Preparasi Biokomposit untuk Produksi Bioplastik
Berbagai metode pembuatan biokomposit untuk produksi bioplastik dapat
dijelaskan sebagai berikut:

2.4.1 Eksofliasi/Adsorpsi
Pertama-tama, sekumpulan lapisan (layered host) mengalami pengelupasan
dalam pelarut (air, toluena, dll.) yang polimernya dapat larut pada pelarut tersebut.
Kemudian, polimer diadsorpsi ke dalam permukaan lapisan satu demi satu dan
setelah pelarut menguap ketika pengendapan, lapisan tersebut satu demi satu teratur
kembali (E. & Zhang, 2005).

2.4.2 Polimerisasi In Situ Interkalatif


Pada metode ini, polimer dibentuk diantara lapisan dengan mengembangkan
kumpulan lapisan dalam monomer cair atau larutan monomer sehingga
pembentukan polimer dapat terjadi antara lembar yang terinterkalasi. Pembentukan
polimer (polimerisasi) dapat dimulai dengan panas/radiasi/difusi (Zhao et al, 2008).

2.4.3 Interkalasi Larutan/ Interkalasi Prepolimer dari larutan


Metode ini didasarkan pada pengembangan sistem pelarut dimana biopolimer
atau bio-prepolimer, seperti pati dan protein terlarut dan nanofillers anorganik
(biasanya silikat). Pertama, silikat berlapis dikembangkan di dalam suatu pelarut
seperti air, kloroform, atau toluena. Kedua, ketika biopolimer dan larutan
nanopartikel yang mengembang dicampur, rantai polimer akan terinterkalasi dan
menggantikan pelarut dalam interlayer dari silikat. Ketiga, setelah penghilangan
pelarut,struktur yang telah terinterkalasi akan tertinggal dan akan membentuk
biopolimer/silikat berlapis bionanokomposit (Zhao et al, 2008).

2.4.4 Melt intercalation


Proses pembuatan biokomposit pada metode ini tidak memerlukan
penambahan pelarut. Silikat berlapis dicampur dengan matriks polimer dalam
molten state, ikatan polimer akan bergerak perlahan-lahan ke dalam ruang antar
lapisannya (Ma, 2008). Proses penyebaran ikatan polimer ke dalam galeri lapisan
silikat menjadi bagian penting pada proses melt intercalation (Li, C.Z., Wang, &
Zhao, 2002). Melt intercalation merupakan metode yang ramah lingkungan karena
tidak digunakannya pelarut organik yang nantinya dapat menjadi limbah, sementara
metode eksfoliasi, polimerisasi in situ interkalatif dan interkalasi larutan
menggunakan pelarut tersebut. Selain itu, melt intercalation juga kompatibel
dengan proses industri seperti pada injection molding. Pada melt intercalation,
pembuatan biokomposit dilakukan dengan tujuan untuk menguatkan material, yaitu
dengan cara memanaskan dan mendinginkan material (E. & Zhang, 2005).

2.4.5 Solution Casting


Teknik pembuatan bioplastik yang paling sering digunakan adalah casting,
tetapi salah satu masalah produksi bioplastik dengan metode ini adalah keterbatasan
pada kuantitas produk (Fakhouri et al, 2013). Teknik solution casting dilakukan
dengan cara melarutkan polimer ke dalam pelarut yang cocok untuk menghasilkan
larutan yang kental (viscous). Larutan yang dihasilkan selanjutnya dituang ke dalam
cetakan yang rata dan bersifat non-adhesif dan pelarut dibiarkan menguap sampai
habis. Pembentukan film plastik dari pati pada prinsipnya merupakan gelatinasi
molekul pati. Penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu yang tinggi maka
akan terjadi gelatinasi. Gelatinasi mengakibatkan ikatan amilosa akan cenderung
saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses pengeringan akan
mengakibatkan penyusutan sebagai akibat lepasnya air sehingga gel akan
membentuk film yang stabil (Anita et al, 2013).

2.5 Bahan Baku Bioplastik


Salah satu bahan untuk membuat bioplastik adalah pati yang mudah terurai
di alam dan juga dapat diperbaharui. Selain itu, biaya untuk pati ini relatif murah
dikarenakan ketersediaan nya yang banyak (Ma et al, 2009).

2.5.1 Pati
Pati merupakan karbohidrat yang tersebar dalam tanaman terutama tanaman
berklorofil. Bagi tanaman pati merupakan cadangan makanan yang terdapat pada
biji, batang dan pada bagian umbi tanaman. Pati telah lama digunakan sebagai
bahan makanan maupun bahan tambahan dalam sediaan farmasi (Ben, 2007).
Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi
terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin. Struktur amilosa
merupakan struktur lurus dengan ikatan a-(l,4)-D-glukosa. Amilopektin terdiri dari
struktur bercabang dengan ikatan a-(l,4)-D-glukosa dan titik percabangan
amilopektin merupakan ikatan a-(l,6). Amilosa memberikan sifat keras sedangkan
amilopektin menyebabkan sifat lengket. Konsentrasi kedua komponen ini nantinya
akan mempengaruhi sifat mekanik dari polimer alami yang terbentuk (Wahyu,
2009).
Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan
penggunaan dari pati itu sendiri. Untuk pati dari ubi-ubian, proses utama dari
ekstraksi terdiri perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan
dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi
biokimia seperti perubahan warna dari ubi. Disintegrasi dan sentrifugasi dilakukan
untuk memisahkan pati dari komponen lainnya. Ubi-ubian yang sering dijadikan
sumber pati antara lain ubi jalar, kentang, dan singkong (Cui, 2005). Kandungan
pati pada beberapa bahan pangan disajikan pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kandungan Pati pada Beberapa Bahan Pangan


Bahan Pangan Pati (% dalam basis kering)
Ubi jalar 90
Jagung 57
Biji gandum 67
Beras 89
Biji sorghum 72
Kentang 75
Singkong 90
Sumber : Cui (2005)
2.5.2 Pati Ubi Jalar
Ubi jalar merupakan sumber karbohidrat dan sumber kalori (energi) yang
cukup tinggi. Kandungan karbohidrat ubi jalar menduduki peringkat keempat
setelah padi, jagung, dan ubi kayu. Ubi jalar juga merupakan sumber vitamin dan
mineral. Vitamin yang terkandung dalam ubi jalar adalah vitamin A (beta karoten),
vitamin C, thiamin (vitamin B1), riboflavin (vitamin B2). Sedangkan mineral yang
terkandung dalam ubi jalar adalah zat besi (Fe), fosfor (P), kalsium (Ca), dan
natrium (Na). kandungan gizi lainnya yang terdapat dalam ubi jalar adalah protein,
lemak, serat kasar, kalori, dan abu. Jumlah kandungan gizi ubi jalar per 100 gram
dapat dilihat pada tabel 2.3 (Juanda & Cahyono, 2000).

Tabel 2.3. Kandungan Gizi Ubi Jalar Setiap 100 gram


Jenis Zat Jumlah Kandungan
Air 70 gr
Serat Kasar 0,3 gr
Kalori 113 kal
Protein 2,3 gr
Fe (Zat Besi) 1,0 mg
Na (Natrium) 5 mg
Ca 46 mg
P (Fosfor) 49 mg
Vitamin A 7100 mg
Vitamin B1 0,08 mg
Vitamin B2 0,05 mg
Niacin 0,9 mg
Vitamin C 20 mg
Abu 1,2 gr
Lemak 0,7 gr
Karbohidrat 27,9 gr
Gula 2-6,7 gr
Amilosa 9,8-26 gr
Sumber : Juanda & Cahyono (2000)
Berbagai varietas ubi jalar berkembang di Indonesia. Warna umbinya
beraneka ragam seperti putih, ungu, kuning, atau oranye. Umbi ubi jalar yang
berwarna kuning kaya akan beta karoten (provitamin A) dan vitamin C. Umbi
berwarna ungu juga merupakan sumber vitamin C dan beta karoten (provitamin A)
yang sangat baik. Bahkan, kandungan beta karotennya lebih tinggi dibanding
dengan ubi jalar berwarna kuning. Sementara itu, ubi jalar berdaging putih tidak
mengandung vitamin tersebut atau sangat sedikit. Namun, umbi yang berwarna
putih dapat dijadikan tepung karena berkonsentrasi kering yang tinggi. Pati ubi jalar
merupakan hancuran ubi jalar yang dihilangkan sebagian konsentrasi airnya.
Tepung ubi jalar tersebut dapat dibuat secara langsung dari ubi jalar yang
dihancurkan dan kemudian dikeringkan (Suprapti, 2003).

2.5.3 Polivinil Alkohol (PVA)


Polivinil alkohol (PVA) merupakan suatu kopolimer vinil alkohol yang
tersusun dari komonomer unit vinil seperti etilen atau propilen. Polivinil alkohol
dihasilkan melalui proses hidrolisis (saponifikasi) dari vinil polimer asetat. Etilen
direaksikan dengan asam asetat akan menghasilkan vinil asetat. Reaksi tersebut
dapat berjalan dengan penambahan katalis yaitu garam palladium seperti palladium
(II) klorida. Reaksi pembentukkan vinil asetat terjadi dalam fase gas. Gas yang
terbentuk dialirkan ke dalam reaktor dan temperaturnya dipertahankan tetap dalam
kisaran 150-200 oC dengan tekanan 5-10 atm. Selanjutnya vinil asetat
dipolimerisasi menghasilkan polivinil asetat (Schonberger et al., 1997).

Gambar 2.1 Diagram Proses Pembuatan Polivinil alkohol (Schonberger et al,


1997)
Wujud dari polivinil alkohol berupa powder atau serbuk yang berwarna putih dan
memiliki densitas 1,2-1,3 g/cm3 serta dapat larut dalam air pada temperatur 80 °C
(Sheftel, 2000).

Polivinil alkohol dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kemasan film


plastik. Dengan sifat yang mudah larut dalam air, polivinil tersebut dapat
menghasilkan kemasan film plastik yang biodegradable. Polivinil alkohol
mempunyai kuat sobek dan kuat tarik lebih tinggi dibandingkan plastik yang
berbahan polietilen (PE) maupun polivinil klorida (PVC) (Hassan, 2000).

No Karakteristik PVA
1 Kecerahan (%) 60 - 66
2 Kuat Sobek (N.mm-1) 147 - 834
3 Kuat Tarik (MN.m-2) 44 - 64
4 Perpanjangan (%) 150 - 400
5 Densitas (g/cm3) 1,19 – 1,31
6 Titik Leleh (°C) 180-240
7 Titik Dekompos (°C) 228
Sumber: (Hodgkinson, 2000).

Fungsi penambahan PVA adalah untuk meningkatkan kekuatan, fleksibilitas,


dan ketahanan foam berbasis pati pada material sebelum proses pembakaran. Selain
itu PVA juga berfungsi sebagai pengemulsi dalam pembuatan mikrosfer. Gugus
hidroksil dari PVA yang bersifat polar akan berikatan dengan molekul air,
sedangkan rantai vinilnya akan berikatan dengan molekul diklorometana sehingga
emulsi menjadi lebih stabil (Shogren et al., 1998).

2.6 Filler / Penguat Bioplastik


Salah satu bagian utama dalam pembuatan bioplastik adalah filler atau
reinforcement yang berfungsi sebagai penguat atau pengeras material dari suatu
komposit (Harper, 1996). Pada umumnya filler berupa serat atau serbuk. Adanya
filler sebagai penguat dalam biopolimer akan memberikan pengaruh pada sifat –
sifat koposit yang terbentuk (Bayandori, 2009). Jika pati (fasa organik) tersebut
digabung dengan penguat/pengisi (fasa anorganik) yang memiliki ukuran nano
maka akan terbentuk suatu bioplastik. Beberapa macam pengisi yang dapat diisi
kedalam matriks pati seperti layer silicates, carbon nanotubes, carbon black, metal
(platinum, palladium, & silver) dan metal oxide nanoparticles (Ning, 2009).

2.6.1 Graphene Oxide (GO)


Graphene adalah struktur atom tunggal dari sp2 yang berikatan dengan atom
karbon. Atom karbon ini memiliki kisi kristal seperti sarang lebah. Sejak
penemuannya pada tahun 2004, graphene menarik perhatian yang luar biasa
terhadap riset mengenai teknologi penyimpanan energi dikarenakan sifatnya yang
tidak biasa seperti kekuatan mekanik yang bagus, luas penampang yang besar,
konduktivitas yang tinggi (K. et al, 2016). Graphene memiliki mobilitas elektron
mencapai 15.000 cm2/V.s pada suhu ruang dan 60.000 cm2/V.s pada suhu 4 K.
Graphene memiliki transparansi optik yang tinggi dan dapat menyerap πα≈ 2.3%
dari cahaya putih, dimana α adalah konstanta fine-structure (Zhang et al, 2005).

Graphene oxide (GO) adalah turunan dari graphene dengan luas penampang
yang besar dan kaya dengan gugus fungsi (Shen et al, 2017). GO terdiri dari lapisan
tunggal dari graphite oxide dan biasanya diproduksi oleh perlakuan kimia dari
graphite melalui oksidasi, dengan dispersi dan eksfoliasi pada air atau pelarut
organik yang cocok. Sintesis GO termasuk sintesis yang mudah dilakukan, mudah
larut, konduktifitasnya mudah disesuaikan, area permukaan tinggi (high surface
area), biocompatibility dan sumberdaya materialnya melimpah serta murah (Chen
et al, 2012). Struktur kimia graphene oxide ditunjukan pada Gambar 2.1. Dari
gambar tersebut terlihat bahwa graphene oxide merupakan graphene yang
berikatan dengan gugus karboksil, karbonil, dan ester (Kang et al, 2013).
Gambar 2.2 Struktur kimia graphene oxide (Kang et al, 2013)

Grafit umumnya dipilih sebagai bahan awal karena ketersediannya dan harga
murah. Oksida grafit sedikit berbeda dari grafit. Jika zat pengoksidasi kuat
digunakan dalam mengoksidasi grafit, maka fungsi oksigenasi diperkenalkan pada
struktur grafit, yang menjadikan bahan bersifat hidrofilik, serta dapat memperluas
pemisahan lapisan. Hal ini memungkinkan untuk melakukan pengelupasan oksida
grafit dalam air melalui sonikasi dan menghasilkan monolayer atau beberapa
lapisan oxygen-functionalized graphene, yang disebut dengan graphene oxide atau
GO (Sun, 2013).
Sintesis graphene oxide yang paling umum digunakan dikembangkan oleh
Hummers dkk pada tahun 1958. Metode tersebut kemudian dimodifikasi menjadi
metode yang lebih aman oleh Marcano dkk pada tahun 2010 yakni metode sintesis
yang tidak mengeluarkan gas beracun seperti NO2 dan N2O4 dengan struktur yang
lebih teratur. Akan tetapi metode ini menggunakan asam pekat dalam jumlah yang
relatif banyak, sehingga menghasilkan limbah asam yang banyak dan berbahaya,
waktu sintesis yang lama, serta konduktivitas listrik yang masih rendah yaitu 0,1
S/cm. Pada tahun 2016 Rafitasari mensintesis graphene oxide dengan
menggunakan modifikasi metode Hummers dengan penggunaan asam pekat yang
lebih sedikit dengan menghasilkan graphene oxide sintesis yang memiliki
kemiripan spektroskopi UV-Vis dan FTIR dengan graphene oxide komersial.
Penelitian ini memfokuskan pada sintesis graphene oxide dengan
menggunakan metode modifikasi Hummers tanpa menggunakan agen pereduksi
hydrazline hydrate (N2H4) sebagai bahan komposit bioplastik yang diharapkan
dapat meningkatkan sifat mekanis bioplastik.

2.7 Plasticizer
Pembuatan film pati memerlukan campuran bahan aditif untuk mendapatkan
sifat mekanis yang lunak, ulet, dan kuat. Untuk itu perlu ditambahkan suatu zat cair/
padat agar meningkatkan sifat plastisitasnya. Proses dikenal dengan plastisisasi,
sedang zat yang ditambahkan disebut pemlastis / plasticizer. Di samping itu
plasticizer dapat pula meningkatkan elastisitas bahan, membuat lebih beku dan
menurunkan suhu alir, sehingga plasticizer kadang – kadang disebut juga dengan
antibeku. Jelaslah bahwa plastisisasi akan mempengaruhi semua sifat fisik dan
mekanisme film seperti kuat tarik, elastisitas kekerasan, sifat listrik, suhu alir, suhu
transisi kaca, dan lain lain (Park, 2003).

2.7.1 Gliserol
Gliserol atau 1,2,3-propanetriol, merupakan senyawa organik yang tidak
berwarna, tidak berbau, dan higroskopis dengan rumus kimia
HOCH2CH(OH)CH2OH. Gliserol adalah senyawa trihidrik alkohol yang
mempunyai titik beku 17,8°C dan titik didih 290°C. senyawa ini dapat larut dan
bercampur dengan air dan etanol. Gliserol hadir dalam bentuk ester (gliserida) pada
semua hewan dan minyak nabati. Sifatnya yang mudah menyerap air dan
kandungan energi yang dimilikinya membuat gliserol banyak digunakan pada
industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Zhong, 2008).
Gliserol diperoleh secara komersial sebagai produk sampingan ketika lemak
dan minyak yang dihidrolisi untuk menghasilkan asam lemak. Gliserol juga
disintesis pada skala komersial dari propylene (diperoleh dengan cracking minyak
bumi), karena pasokan gliserol alam tidak memadai. Selain sintesis dengan
menggunakan propylene, gliserol juga dapat diperoleh selama fermentasi gula
natrium bisulfit jika ditambahkan dengan ragi (Wang, 2007).
Pada pembuatan biokomposit, gliserol memiliki peranan yang cukup penting.
Pati merupakan polimer alam dalam bentuk butiran yang tidak dapat diproses
menjadi material termoplastik karena kuatnya ikatan hydrogen intermolecular dan
intramolecular. Namun, dengan adanya air dan plasticizer (gliserol), ikatan
hidrogen tersebut dapat diputuskan dan pati dapat diolah menjadi polimer yang
biodegradabel yang biasa disebut thermoplastic starch. Material plastisasi memacu
proses pencetakan, dan meningkatkan fleksibilitas produk. Pencampuran sempurna
diperlukan untuk memperoleh distribusi yang homogen. Hasilnya, gliserol dengan
polimer berbasiskan pati memiliki hubungan yang kuat. Pada kadar gliserol rendah,
polimer yang terbentuk memiliki struktur yang rapuh. Pada kadar gliserol 10% wt,
amilopektin sangat rapuh. Namun pada kadar diatas 20% wt, amilopektin pada film
menunjukkan sifat yang tidak kuat dan tidak fleksibel (Myllarinen, 2001).

2.8 Uji Karakterisasi Graphene Oxide


Bahan dasar graphene oxide berupa grafit yang berasal dari baterai bekas.
Graphene oxide yang telah terbentuk kemudian dikarakterisasi menggunakan
instrumen X-Ray Diffraction (XRD), Fourier Transform Infrared (FTIR) dan
Scanning Electron Microscopy (SEM). Karakterisasi tersebut bertujuan untuk
mengetahui kristalinitas, gugus fungsi dan morfologi pada graphene oxide.

2.9 Uji Karakterisasi Bioplastik


Uji karakterisasi yang akan dilakukan adalah sifat mekanik/kuat tarik,
perpanjangan (elongation at break) serta elastisitas (modulus young), uji morfologi
dengan SEM, uji kualitatif interaksi graphene oxide dengan gugus
organik/fungsional dalam bioplastik dengan FTIR, dan uji biodegradasi dan uji
ketahanan air (swelling).

2.9.1 Uji Sifat Mekanik


Karakterisasi uji sifat mekanik bioplastik meliputi uji kuat tarik, perpanjangan
(elongation at break) serta elastisitas (modulus young). Tensile Strenght atau kuat
tarik merupakan ukuran besarnya beban atau gaya yang dapat ditahan sebelum
suatu sampel rusak atau putus. Uji tarik merupakan salah satu pengujian untuk
mengetahui sifat mekanik dari suatu bahan. Pengujian dilakukan dengan menarik
suatu bahan maka dapat diketahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap
tenaga tarikan dan mengetahui sejumlah mana material itu mengalami pemanjangan
(elongasi) (Gedney, 2013).

2.9.2 Uji Morfologi


Struktur morfologi bioplastik dianalisa dengan menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM). SEM adalah suatu instrumen yang berdasarkan pada
analisis mikroskop electron, detector akan menangkap cahaya electron yang
dipantulkan oleh sampel untuk membentuk foto atau gambar dari permukaan
sampel. Electron gun merupakan sumber penghasil electron, adanya tegangan yang
tinggi dan filament menghasilkan electron beam. Berkas sinar elektron difokuskan
kesuatu titik dengan diameter sekitar 100 A dan digunakan untuk melihat
permukaan dalam suatu layar. Secara kualitatif, SEM dapat menganalisa morfologi
sampel, tekstur, cacat dan detail permukaan. Secara kuantitatif, SEM dapat
mengukur ukuran dari sampel dengan skala pembesaran dengan pembesaran skala
pada gambar SEM (Dunlap dan Adaskaveg, 1997).
2.9.3 Uji Kualitatif Interaksi Graphene Oxide dengan Gugus Organik/
Fungsional dalam Bioplastik dengan FTIR
FT-IR (Fourier Transform InfraRed) merupakan metode yang
menggunakan spektroskopi inframerah. Pada spektroskopi infra merah, radiasi
inframerah dilewatkan pada sampel. Sebagian radiasi inframerah diserap oleh
sampel dan sebagian lagi dilewatkan/ditransmisikan. Hasil dari spektrum
merupakan besarnya absorbsi molekul dan transmisi yang membentuk sidik jari
molekul dari suatu sampel. Seperti sidik jari pada umumnya, struktur sidik jari
dari spektrum inframerah yang dihasilkan tidak ada yang sama. Inilah yang
membuat spektroskopi inframerah berguna untuk beberapa jenis analisis. Manfaat
informasi/data yang dapat diketahui dari FT-IR untuk dianalisis adalah
identifikasi material yang tidak diketahui, menentukan kualitas sampel, dan
menentukan banyaknya komponen dalam suatu campuran (Thermo, 2001).
2.9.4 Uji Biodegradabilitas
Uji biodegradabilitas atau kemampuan biodegradasi plastik dilakukan untuk
mengetahui pengaruh alam terhadap plastik dalam jangka waktu tertentu, sehingga
akan diperoleh persentase kerusakan plastik. Selanjutnya, dapat diperkirkan
lamanya waktu yang dibutuhkan oleh plastik untuk terurai dialam secara sempurna.
Uji yang dilakukan ialah soil burial test yaitu uji degradasi sampel dengan
mengubur sampel dalam tanah (Gautum dan Kaur, 2013).

2.9.5 Uji Swelling


Sifat ketahanan bioplastik terhadap air ditentukan dengan uji swelling, yaitu
persentase penggembungan plastik oleh adanya air. Uji ini dilakukan untuk
mengetahui terjadinya ikatan dalam polimer yang ditentukan melalui persentase
penambahan berat polimer setelah mengalami penggembungan. Proses terdifusinya
molekul pelarut kedalam polimer akan menghasilkan gel yang menggembung. Pada
uji swelling terlihat bahwa kemampuan bioplastik untuk menahan serapan air.
Pengujian ini digunakan untuk melihat kemampuan plastik dalam melindungi
produk dari air. Semakin besar daya serap airnya, maka plastik kurang mampu
melindungi produk dari air yang dapat menyebabkan produk cepat rusak atau
berkurang kualitasnya (Lazuardi, 2013).

Anda mungkin juga menyukai