Anda di halaman 1dari 18

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plastik
Plastik merupakan suatu komoditi yang sering digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Hampir semua peralatan atau
produk yang digunakan terbuat dari plastik dan sering
digunakan sebagai pengemas bahan baku. Namun pada
kenyataannya, sampah plastik menjadi masalah lingkungan
karena plastik membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
mengalami proses daur ulang. Plastik memiliki beberapa
keunggulan seperti ringan, fleksibel, kuat, tidak mudah pecah,
transparan, tahan air serta ekonomis (Darni dkk., 2009).
Sifat-sifat plastik sesuai dengan Standar Nasional Indonesia
(SNI) ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Plastik Menurut SNI


No. Karakteristik Nilai
1 Kuat Tarik (MPa) 24.7 – 302
2 Persen Elongasi (%) 21 – 220
3 Hidrofobisitas (%) 99
Sumber : Darni dkk.(2009)

Sampah plastik sintetis atau konvensional telah menjadi


masalah lingkungan yang serius karena kurangnya fasilitas
untuk daur ulang atau non-daur ulang, nonbiodegradabilitas
atau pencampuran zat beracun. Sebagian besar plastik sintetis
berbasis petroleum sehingga peningkatan penggunaan minyak
bumi seiring dengan peningkatan hasil produksi plastik sintetis
di lingkungan. Hal ini menyebabkan peningkatan limbah sampah
plastik sintetis pada lingkungan. Usaha mengatasi sampah
plastik yang banyak diterapkan oleh masyarakat antara lain
pembakaran, penimbunan dan daur ulang. Ketiga usaha
tersebut masih berdampak negatif pada kehidupan manusia,
sehingga diperlukan usaha lain untuk mengurangi jumlah
sampah plastik tersebut (Parvin et al., 2011).

5
2.2 Bioplastik
Bioplastik merupakan nama lain dari plastik biodegradable,
plastik yang dapat digunakan layaknya seperti plastik
konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida
setelah habis terpakai dan dibuang ke lingkungan. Karena
sifatnya yang dapat kembali ke alam, plastik biodegradable
merupakan bahan plastik yang ramah lingkungan.
Plastik biodegradable berbahan dasar pati/amilum dapat
didegradasi oleh bakteri pseudomonas dan bacillus memutus
rantai polimer menjadi monomer-monomernya. Senyawa-
senyawa hasil degradasi plastik biodegradable selain
menghasilkan karbondioksida dan air, juga menghasilkan
senyawa organik dan aldehid sehingga plastik ini aman bagi
lingkungan. Sebagai perbandingan, plastik sintetik
membutuhkan waktu sekitar 100 tahun agar dapat
terdekomposisi oleh alam, sementara plastik biodegradable
dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih cepat. Hasil
degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan ternak
atau sebagai pupuk kompos. Plastik biodegradable yang
terbakar tidak menghasilkan senyawa kimia yang berbahaya
(Huda dan Feris, 2007).
ASTM (American Society for Testing of Materials) dan ISO
(International Standards Organization) mendefinisikan plastik
biodegradable sebagai plastik yang bisa mengalami perubahan
signifikan dalam struktur kimia pada kondisi lingkungan yang
spesifik. Plastik biodegradable mengalami degradasi melalui
aksi natural dari jamur (fungi), bakteri, dan alga. Plastik dapat
dibuat sebagai plastik photodegradable, oxidative degradable,
hydrolytically degradable, atau dapat dikomposkan (Kumar,
dkk., 2011).

2.2.1 Penggolongan Plastik Biodegradabel


Averous (2008), mengelompokkan plastik biodegradabel ke
dalam dua kelompok dan empat keluarga berbeda. Kelompok
utama adalah: (1) agropolymer yang terdiri dari polisakarida,
protein dan sebagainya; dan (2) biopoliester (biodegradable
polyesters) seperti poli asam laktat (PLA), polyhydroxyalkanoate
6
(PHA), aromatik and alifatik kopoliester. Biopolimer yang
tergolong agro polimer adalah produk-produk biomassa yang
diperoleh dari bahan-bahan pertanian. seperti polisakarida,
protein dan lemak. Biopoliester dibagi lagi berdasarkan
sumbernya. Kelompok Polyhydroxy-alkanoate (PHA) didapatkan
dari aktivitas mikroorganisme yang didapatkan dengan cara
ekstraksi. Contoh PHA diantaranya Poly (hydroxybutyrate)
(PHB) dan Poly (hydroxybutyrate co-hydroxyvalerate) (PHBV).
Kelompok lain adalah biopoliester yang diperoleh dari aplikasi
bioteknologi, yaitu dengan sintesis secara konvensional
monomermonomer yang diperoleh secara biologi, yang disebut
kelompok polilaktida. Contoh polilaktida adalah poli asam laktat.
Kelompok terakhir diperoleh dari produk-produk petrokimia yang
disintesis secara konvensional dari monomer-monomer sintetis.
Kelompok ini terdiri dari polycaprolactones (PCL),
polyesteramides, aliphatic co-polyesters dan aromatic co-
polyesters.

2.2.2 Standar untuk plastik Biodegradable


Pengujian sifat biodegradable bahan plastik dapat dilakukan
menggunakan enzim, mikroorganisme dan uji penguburan.
Lembaga Standarisasi Internasional (ISO) telah mengeluarkan
metode standar pengujian sifat biodegradabilitas bahan plastik
sebagai berikut:
a. ISO 14851 : Penentuan biodegradabilitas aerobik final dari
bahan plastik dalam media cair-Metode pengukuran
kebutuhan oksigen dalam respirometer tertutup
b. ISO 14852 : penentuan biodegradabilitas aerobik final dari
bahan plastik dalam media cair-Metode Analisa
karbondioksida yang dihasilkan.
c. ISO 14855 : Penentuan biodegradabilitas aerobik final dan
disintegrasi dari bahan plastik dalam kondisi komposting
terkendali-Metode Analisa karbondioksida yang dihasilkan.
d. ASTM 5338 : Standar Internasional mengenai lamanya film
plastik terdegradasi
e. ASTM 5336 : Standart bioplastik dapat dilihat pada Tabel 2.2

7
Tabel 2.2 Standart Bioplastik (ASTM 5336)
Properties PLA PHBV PCL PEA PSBA
Density 1.25 1.25 1.11 1.07 1.23
Melting Point, in °C (DSC) 152 153 56 112 114
Glass transition, in °C (DSC) 58 5 -61 -29 -45
Cristallinity (in %) 0-1 51 67 33 41
Modulus, in Mpa (NFT 51-035) 2010 900 190 262 249
Elongation at break or max., in 9 15 >50 42 >50
% (NFT 51-035)
Tensile stress at break or - - 14 17 19
max., in Mpa (NFT 51-035)
Biodegradation Mineralization 100 100 100 100 100
in %
Water permeability WVTR at 172 21 177 680 330
2
25 °C (g/m /day)
Surface tension (g) in mN/m 50 - 51 59 56
Sd (Dispensive component) 37 - 41 37 43
Gp (Polar component) 13 - 11 22 14
Sumber: (Averous, 2008)

Keterangan:
PLA (polyactic acid) : Dow Cargill (Nature Works)
PHBV (poly-3-hydroxybutyrate-co-valerate) : Monsanto (Biopol
D4000G)HV = 7 mol%
PCL (polycaprolactone) : Solway (CAPA 680)
PEA (polyesteramide) : (BAK 1095)
PSBA (poly butylene succinate adipate) : Showa (Bionolle 3000)

2.3 Pati
Pati merupakan cadangan energi terbesar pada tanaman
seperti serelia, kacang-kacangan, umbi-umbian dan tanaman
lainnya. Pati ditemukan pada hampir seluruh organ tanaman
seperti biji, buah, dan umbi serta umumnya digunakan bagi
tanaman pada periode dormasi dan pertumbuhan. Granula pati
tersusun atas dua tipe polimer glukosa yaitu amilosa dan
amilopektin, yang berjumlah sekitar 98-99% berat kering. Rasio
dari dua polisakarida ini sangat bervariasi tergantung pada jenis
tanaman sumber patinya. Berdasarkan rasio kandungan
amilosa-amilopektin, pati dapat diklasifikasikan sebagai waxy

8
starch yang mengandung amilosa kurang dari 15%, pati normal
mengandung amilosa sekitar 20-35%, dan pati beramilosa tinggi
yang mengandung amilosa dengan kadar diatas 40%. Granula
pati dideskripsikan sebagai struktur semikristalin yang terdiri dari
struktur kristalin dan amorphous. Bagian amorphous terdiri dari
molekul rantai panjang amilopektin, amilosa, dan percabangan
amilopektin. Sedangkan rantai pendek amilopektin akan
membentuk untaian heliks yang membentuk kristalin (Saputra,
2014).
Pati adalah polimer glukosa yang tersusun oleh ratusan
hingga ribuan glukosa untuk membentuk molekul rantai
panjang. Kemudian molekul-molekul tersebut disusun dalam
bentuk granula yang tidak larut dalam air dingin. Pati adalah
suatu polisakarida yang mengandung amilosa, suatu cabang
polimer linier dan amilopektin, polimer dengan banyak cabang.
Amilosa merupakan bagian yang larut dalam air (10-20%) yang
mempunyai berat molekul 50.000-200.000. amilopektin
merupakan bagian yang tidak larut dalam air (80-90%) dengan
berat molekul molekul antara 70.000-106. Kedua bagian tersebut
mempunyai rumus kimia (C6H10O5)n baik amilosa maupun
amilopektin, bila terhidrolisis menunjukkan adanya sifat-sifat
karbonil dan pati tersusun atas satuan-satuan maltosa. Struktur
amilosa merupakan struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-
glukosa. Amilopektin terdiri dari struktur bercabang dengan
ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan titik percabangan amilopektin
merupakan ikatan α-(1,6) (Lehniger, 1982). Amilosa merupakan
satuan-satuan gula yang dihubungkan dengan ikatan 1,4,
sedangkan dalam amilopektin ikatannya pada 1,6 atau dengan
kata lain atom C1 dari saru gula dihubungkan dengan atom C6
dari satuan gula berikutnya (Sastrohamidjojo, 2005).

2.3.1 Pati Jagung


Pati banyak terdapat pada tanaman sebagai cadangan
karbohidrat, dan merupakan sumber karbohidrat utama bagi
manusia. Secara alami, bentuk pati merupakan butiran-butiran
kecil yang sering disebut granula. Secara mikroskopik,
campuran molekul dalam granula pati berstruktur linier (amilosa)
dan bercabang (amilopektin) yang membentuk lapisan-lapisan
9
tipis berbentuk cincin (Ben et. al., 2007). Pati jagung adalah pati
yang didapatkan dari endosperma biji jagung. Pati sedikitnya
tersusun dari tiga komponen utama yaitu amilosa, amilopektin
dan bahan antara seperti lipid dan protein. Komponen tersebut
berpengaruh pada sifat fungsional dan amilografi tepung jagung
(Suarni et al., 2008). Komposisi amilosa dan amilopektin di
dalam biji jagung terkendali secara genetik. Jagung dengan tipe
endosperma gigi kuda dan mutiara mengandung amilosa 25-
30% dan amilopektin 70-75% dari total pati.
Tepung jagung berbeda dengan pati jagung. Pati jagung
dalam perdagangan disebut tepung maizena. Proses
pembuatan pati meliputi perendaman, penggilingan kasar,
pemisahan lembaga dan endosperm, pemisahan serat kasar
dari pati dan gluten, pemisahan gluten dari pati, dan
pengeringan pati. Pati merupakan salah suatu polimer yang
dapat digunakan dalam pembuatan edible film. Pati sering
digunakan dalam industri pangan sebagai biodegradable film
untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat
diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik. Dari
berbagai jenis pati, pati jagung merupakan salah satu jenis pati
yang mengandung komponen hidrokoloid yang dapat
dimanfaatkan untuk membentuk matriks film. Pati jagung
memiliki kadar amilosa tinggi sekitar 25% sehingga
mengembangkan potensi kapasitas pembentukan film dan
menghasilkan film yang lebih kuat dari pati yang mengandung
lebih sedikit amilosa (Astawan, 2009). Pada Tabel 2.3
menunjukkan komposisi gizi per 100 gram pati jagung.

10
Tabel 2.3 Komposisi gizi per 100 gram Pati Jagung (Tepung Maizena)
Karakteristik Jumlah
Kadar air 12.00
Kadar abu 0.80
Lemak 1.00
Protein 3.70
Pati 71.30
Amilosa 25-30
Amilopektin 70-75
Sumber : Astawan(2009)

2.4 Gliserol
Gliserol merupakan salah satu alkil trihidrat (propa 1,2,3-triol)
yang penting. Di samping itu, gliserol juga salah satu senyawa
poliol yang banyak diguanakan sebagai plastisizer maupun
pemantap karena tanpa penggunaan gliserol, film plastik yang
dihasilkan keras dan kaku. Gliserol merupakan plastisizer yang
bersifat hidrofilik, sehingga cocok untuk bahan pembentuk film
yang bersifat hidrofobik seperti pati. Gliserol dapat
meningkatkan adsorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol
sebagai plastisizer dan konsentrasinya meningkatkan
fleksibilitas film (Rachmawati, 2009).
Gliserol bersifat manis, tidak berwarna, dan merupakan
senyawa yang netral. Gliserol tidak dapat larut dalam minyak
tetapi larut sempurna dalam air dan alkohol. Berbentuk kental
dengan titik lebur 20ºC dan titik didih tinggi yaitu 290ºC. Padahal
ada banyak zat yang lebih mudah larut dalam gliserol
dibandingkan dalam air dan alcohol sehingga gliserol adalah
pelarut yang baik (Harsunu, 2008). Untuk memperoleh gliserol
dapat langsung dari transformasi minyak nabati dan olahan
industri oleokimia atau dapat diperoleh juga dari hasil industri
petrokimia. Perbedaannya adalah gliserol yang berasal
langsung dari minyak bumi dan industri oleokimia dapat
terdegradasi oleh alam (ramah lingkungan), dapat diperbaharui
dan sumber mudah diperoleh (Yusmarlela, 2009).
Gliserol mempunyai peranan yang cukup penting dalam
pembuatan bioplastik. Gliserol merupakan salah satu agen
pemlastis yang sering digunakan. Hal ini karena gliserol
merupakan bahan yang murah, sumbernya mudah diperoleh,
11
dapat diperbaharui, dan juga akrab dengan lingkungan karena
mudah didegradasi oleh alam (Ardiansyah, 2011). Gliserol
umumnya digunakan sebagai material plastisasi dalam proses
pembuatan plastik yang bersifat degradabel. Material plastisasi
umumnya merupakan molekul kecil yang larut dalam struktur
yang amorf diantara molekulmolekul polimer yang lebih besar.
Material plastisasi memacu proses pencetakan, dan
meningkatkan fleksibilitas produk. Diperlukan pencampuran
sempurna untuk memperoleh distribusi homogen (Zhong, 2008).
Sifat fisik kimia gliserol dapat dilihat pada Tabel 2.4.

Tabel 2.4 Sifat Fisik-Kimia Gliserol


Sifat Nilai
Tampilan Fisik Cair
Kemurnian 95-99.5%
Titik Didih 290 °C pada 1013 hPa
Densitas Relative 1,26 pada 20 °C
Viskositas 1410 mPa s pada 20 °C
Tegangan Permukaan 63,4 Mn/m pada 20 °C
Sumber: Radhiyatullah, dkk. 2015

Gliserol berfungsi untuk meningkatkan elastisitas dengan


mengurangi derajat ikatan hydrogen dan meningkatkan jarak
antar molekul dari polimer. Semakin banyak penggunaan
plasticizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula
dengan penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga akan
meningkatkan kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan
kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan sorbitol pada bioplastik
berbasis pati. Gliserol juga merupakan plasticizer yang efektif
karena memiliki kemampuan untuk mengurangi ikatan hidrogen
internal pada ikatan intermolecular (Hasanah, et al., 2016).

2.5 CMC (Carboxy Methyl Cellulose)


CMC merupakan eter polimer linier dan berupa senyawa
yang memiliki sifat biodegredable, tidak berbau, tidak berwarna,
tidak beracun, butiran atau bubuk yang larut dalam air, memiliki
rentang pH sebesar 6,5-8,0. CMC berasal dari selulosa kayu
dan kapas yang diperoleh dari reaksi antara selulosa dengan
asam monokloroasetat dengan katalis berupa senyawa alkali.
12
CMC juga merupakan senyawa serbaguna yang memiliki sifat
penting seperti kelarutan, reologi dan adsorpsi dipermukaan
(Kumairoh, 2016).
Sifat dari CMC ialah mudah larut dalam air dingin maupun
panas. Selain itu juga CMC dapat membentuk lapisan pada
suatu permukaan. Sifat pada CMC diantaranya yaitu bersifat
stabil terhadap lemak dan tidak larut dalam pelarut organik, baik
sebagai bahan penebal, sebagai zat inert, dan bersifat sebagai
pengikat. Berdasarkan sifatnya maka CMC dapat digunakan
sebagai bahan aditif pada produk minuman dan juga aman
untuk dikonsumsi. CMC mampu menyerap air yang terkandung
dalam udara dimana banyaknya air yang terserap dan laju
penyerapannya bergantung pada jumlah kadar air yang
terkandung dalam CMC serta kelembaban dan temperatur
udara disekitarnya. Kelembaban CMC yang diizinkan dalam
kemasan tidak boleh melebihi 8% dari total berat produk (Netty,
2010).
Karboksimetil selulosa atau CMC banyak digunakan pada
berbagai industri seperti: detergen, cat, keramik, tekstil, kertas
dan makanan. CMC dibuat dari reaksi sederhana yaitu pulp
kayu ditambah dengan NaOH kemudian direaksikan dengan Na
monokhlor asetat atau dengan asam monoklor asetat. Fungsi
CMC disini adalah sebagai pengental, penstabil emulsi atau
suspensi dan bahan pengikat (Wijayani et al., 2005). CMC juga
memiliki beberapa kelebihan, di antaranya kapasitas mengikat
air yang lebih besar dan harganya yang relatif lebih murah
(Kusbiantoro et al., 2005). Selain itu, heteropolisakarida dapat
larut dalam air dengan berat molekul yang tinggi, sehingga CMC
sering dicampurkan dengan pati untuk memberikan tekstur yang
diinginkan, meningkatkan kualitas dan stabilitas produk, kontrol
kelembaban dan juga mempermudah mobilitas air. Berdasarkan
sifat hidrofilik CMC, maka penambahan CMC akan memperbaiki
sifat mekanik film bioplastik (Bertuzzi, et al., 2007). Adapun
rantai CMC terlihat pada Gambar 2.1.

13
Gambar 2.1 Struktur molekul CMC (Na-garam, Na-CMC)
(Hong, 2013)

CMC dapat meningkatkan kuat tarik bioplastik berbahan


dasar pati yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan oleh
adanya ikatan hidrogen yang terjadi antara gugus hidroksil (OH)
dari pati dengan gugus hidroksil (OH) dan karboksil (COOH)
dari CMC. Ikatan hidrogen tersebut mengakibatkan kekuatan
material menjadi semakin meningkat sehingga penambahan
CMC terbukti meningkatkan kuat tarik (Hidayat, et al., 2013).

2.6 Karakteristik Mekanik Plastik Biodegradable


Sifat mekanik plastik biodegradable sangat penting dalam
pengemasan dan penyimpanan suatu produk. Peranannya
cukup besar dalam melindungi produk dari faktor-faktor mekanik
seperti tekanan fisik, getaran, serta benturan bahan dengan
wadah selama penyimpanan atau distribusinya. Sifat mekanik
ini bergantung pada jenis bahan dan sifat kohesi bahan
pembentuknya. Sifat ini merupakan hasil kemampuan polimer
untuk membentuk ikatan-ikatan molekul yang kuat dan kokoh.

2.6.1 Kuat Tarik


Kuat tarik atau kekuatan tarik merupakan salah satu sifat
mekanik dari bahan Kuat tarik merupakan tarikan maksimum
yang dapat dicapai sampai film dapat tetap bertahan sebelum
putus. Pengukuran tensile strength untuk mengetahui besarnya
gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum pada
setiap satuan luas area film untuk merenggang atau memanjang
(Purwanti, 2010). Perubahan sifat mekanik ditandai dengan
plasticizer melemahnya gaya antarmolekul antara rantai
makromolekul yang berdekatan (Bourtoom, 2008).

14
Kekuatan tarik menurun dengan konsentrasi plasticizer
meningkat. Molekul-molekul plasticizer berada di antara rantai
protein sehingga mengurangi interaksi antarmolekul luas di
antara rantai protein. Jika konsentrasi plasticizer meningkat,
maka jumlah molekul plasticizer yang berada antara rantai
protein juga meningkat, sehingga mengurangi interaksi antara
protein jaringan rantai polimer yang mengakibatkan penurunan
kekuatan tarik (Hewage et al., 2009).
Kuat tarik dapat dirumuskan dengan mengaitkan antara
hubungan gaya yang bekerja atau dikenakan dengan luas
penampang lintang suatu bahan. Hubungan keterkaitan tersebut
menunjukkan bahwa tegangan tarik (σ) merupakan gaya yang
diaplikasikan (F) dibagi dengan luas penampang lintang bahan
(A). Satuan dari F adalah N, A adalah mm2 dan satuan dari σ
adalah N/mm2 yang sama dengan MPa jika luas penampang
lintang bahan memakai satuan mm, akan tetapi jika satuan
untuk luas penampang lintang bahan menggunakan m (meter),
konversi satuan untuk kuat tarik adalah 1 N/m2 yang sama
dengan 1 Pa (Bueche dan Hecht, 2006).
σ=

Dimana σ : kekuatan tarik atau tegangan tarik bahan (N/mm2)


F : gaya tarik (N)
A : luas penampang lintang (mm2)

2.6.2 Elongasi
Perpanjangan didefinisikan sebagai persentase perubahan
panjang film pada saat film ditarik sampai putus. Kekuatan
regang putus merupakan tarikan maksimum yang dapat dicapai
sampai film dapat tetap bertahan sebelum film putus atau robek.
Pengukuran kekuatan regang putus berguna untuk mengetahui
besarnya gaya yang dicapai untuk mencapai tarikan maksimum
pada setiap satuan luas film untuk merenggang atau
memanjang (Agustri, 2012). Elongasi atau persen pemanjangan
saat putus merupakan perubahan panjang maksimum film
sebelum terputus. Berlawanan dengan itu, elastisitas akan
semakin menurun seiring dengan meningkatnya jumlah bahan

15
pemplastis dalam film. Elastisitas merupakan ukuran dari
kekuatan film yang dihasilkan (Anita dkk., 2013).
Perpanjangan atau regangan dapat juga didefinisikan
sebagai perbandingan antara pertambahan panjang benda
mula-mula akibat adanya suatu gaya (gaya tarik) yang
mempengaruhi. Panjang benda setelah dikenai gaya
disimbolkan dengan L, sementara panjang benda mula-mula
disimbolkan dengan L0. Adapun pertambahan panjang benda
disimbolkan dengan ΔL yang dapat dicari dengan
mengurangkan L dengan L0 (Umar, 2008).
%E = x 100%

%E = x 100%

Dimana %E : presentase elongasi


L0 : panjang bahan atau specimen mula-mula (mm)
L : panjang bahan atau specimen setelah diberikan
gaya (mm)

2.7 Analisa SEM


Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan sejenis
mikroskop yang menggunakan elektron sebagai pengganti
cahaya untuk melihat benda dengan resolusi tinggi. Analisis
SEM bermanfaat untuk mengetahui mikrostruktur (termasuk
porositas dan bentuk retakan) benda padat. Berkas sinar
elektron dihasilkan dari filamen yang dipanaskan, disebut
electron gun (Gunawan dan Azhari, 2010). SEM sangat cocok
digunakan dalam situasi yang membutuhkan pengamatan
permkaan kasar dengan pembesaran berkisar antara 20 kali
sampai 50.000 kali (Anggraeni, 2008).
Cara kerja SEM adalah gelombang elektron yang
dipancarkan electron gun terkondensasi di lensa kondensor dan
terfokus sebagai titik yang jelas oleh lensa objektif. Scanning
coil yang diberi energi menyediakan medan magnetik bagi sinar
elektron. Berkas sinar elektron yang mengenai cuplikan
menghasilkan elektron sekunder dan kemudian dikumpulkan
oleh detektor sekunder atau detektor backscatter. Gambar yang
16
dihasilkan terdiri dari ribuan titik berbagai intensitas di
permukaan Cathode Ray Tube (CRT) sebagai topografi gambar.
Pada sistem ini berkas elektron dikonsentrasikan pada
spesimen, bayangannya diperbesar dengan lensa objektif dan
diproyeksikan pada layar (Kroschwitz, 1990). Adapun skema
pengujian SEM dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Skema Pengujian SEM (Jim, 2014)

2.8 Metode Permukaan Respon (Respon Surface


Methodology)
RSM merupakan sekumpulan teknik matematika dan
statistika yang berfungsi untuk menganalisis permasalahan
dengan tujuan mengoptimalkan respon yang dipengaruhi
variable-variabel independen. Metode RSM berdasar pada
pemanfaatan desain eksperimen dengan bantuan statistika
untuk mencari nilai optimal dari suatu respon (Nuryanti dan
Salimy, 2008). Albert (2009) menyatakan bahwa RSM
merupakan suatu metodologi yang terdiri dari suatu grup teknik
statistic untuk membangun model empiris dan mengeksploitasi
model. Definisi dari Response Surface adalah dimana Y
merupakan respon yang dipengaruhi oleh faktor (variabel
bebas) x1, x2, …, xk dan secara umum dituliskan dalam bentuk
Y = f(x1, x2, …, xk).

17
RSM memiliki beberapa kegunaan antara lain yaitu
menunjukkan bagaimana variabel respon y dipengaruhi oleh
variable bebas x di wilayah yang secara tertentu diperhatikan
dan mengeksplorasi ruang dari variabel bebas x untuk
mendapatkan hasil maksimum dan menentukan sifat dasar dari
nilai maksimum. Salah satu pertimbangan penting dalam RSM
adalah bagaimana menentukan faktor dan level yang dapat
cocok dengan model yang akan dikembangkan. Jika faktor atau
level yang dipilih dalam suatu eksperimen tidak tepat maka
kemungkinan terjadi ketidakcocokan model akan sangat besar
dan jika itu terjadi maka penelitian yang dilakukan bersifat bias
(Albert, 2009).
Langkah pertama dari metode permukaan respon adalah
menemukan hubungan antara respon y dengan variabel
independen xi melalui persamaan polinominal orde satu (model
orde I). Dinotasikan variabel-variabel independen dengan x1,
x2,…,xk. Variabel-variabel tersebut diasumsikan terkontrol dan
mempengaruhi variabel random. Jika respon dimodelkan secara
baik dengan fungsi linier dari variabel-variabel independen xi,
maka aproksimasi fungsi dari model orde I adalah sebagai
berikut:

dimana y merupakan variabel dependen (respon), xi adalah


faktor-faktor yang mempengaruhi respon dan adalah
komponen residual (error) yang bersifat random dan terdistribusi
secara identik dan saling bebas (Independent Identifically
Distributed-IID) dengan distribusi normal pada nilai rataan 0 dan
varian 2. Secara matematis dinyatakan dengan ɛ = IID Normal
(0, 2) (Wahyudi dkk, 1999).
Tahap selanjutnya, pada keadaan mendekati respon, model
orde dua atau umumnya digunakan sebagai syarat untuk
melakukan aproksimasi respon karena adanya lengkungan
(curvature) dalam permukaannya. Model yang lebih tinggi
tingkatnya adalah model kubik yang menyatakan orde ketiga.
Dalam pemilihan model diatas tergantung dari sebaran data
18
pada respon. Menurut Ernawati (2012), metode RSM sangat
erat kaitannya dengan percobaan fakorial. Percobaan faktorial
adalah suatu percobaan yang perlakuannya terdiri atas semua
kemungkinan kombinasi taraf dari beberapa faktor. Tujuan
utama dari percobaan faktorial adalah untuk melihat interaksi
antar faktor-faktor yang diuji.
Keuntungan menggunakan RSM adalah dapat
mempermudah pencarian wilayah optimum. Bila tida
menggunakan metode tersebut, harus dilakukan eksperimen
berulang-ulang dimana eksperimen tersebut membutuhkan
biaya dan waktu yang banyak sehingga tidak efektif dan efisien.
Pemasalahan umum pada metode RSM adalah hubungan yang
terjadi antara perlakuan dengan respon tidak diketahui. Jadi
langkah pertama yang dilakukan adalah mencari bentuk
hubungan antara respon dangan perlakuannya. Bentuk
hubungan linear merupakan bentuk hubungan yang pertama
kali dicobakan untuk menggambarkan hubungan tersebut. Jika
hubungan antara respon dengan perlakuan adalah linear maka
pendekatan fungsinya disebut first order model, jika bentuk
hunbungannya merupakan kuadarat maka pendekatan
fungsinya disebut second model order (Ernawati 2012).
Pada kondisi dimana banyak faktor dan interaksi yang
mempengaruhi sebuah respon, RSM merupakan metode yang
efektif untuk mengoptimalkan kondisi proses dan untuk
menentukan sekaligus memecahkan persamaan multivarian
(Roy et al., 2002). Sebagian besar proses rekayasa
memperlihatkan kondisi optimal dalam bentuk kurvatur. Hal ini
sulit diwujudkan dalam model derajat pertama. Dalam kondisi
seperti ini model derajat kedua mampu meyediakan dasar yang
kuat untuk pemilihan kondisi optimum sebuah proses. Desain
yang paling umum dalam memperkirakan model derajat dua
dalah dengan Central Composite Design (CCD).

2.9 Central Composite Design (CCD)


CCD merupakan suatu rancangan percobaan dengan faktor
yang terdiri dari dua level yang diperbesar titik-titik lebih lanjut
yang memberikan efek kuadratik. Desain ini dimulai
menggunakan level yang sama dengan desai 2k, ditambah
19
dengan level tambahan yang terdiri dari center points dan star
points (α). Total kombinasi level yang terdapat pada CCD
adalah 2k + 2k = 1, dimana k adalah jumlah factor. Center points
yang dimaksud adalah level pada titik (0, 0, 0) dan star poins (α)
ditentukan dari persamaan α = 2k/4 (Albert, 2009).
Menurut Isnaini dkk (2012), desain yang paling terkenal
untuk mencocokkan model orde dua yaitu dengan CCD. Untuk
mengestimasi model permukaan respon orde II, biasanya
digunakan CCD. Sebagai pemisalan, k buah variable input
dalam bentuk kode ditunjukkan dengan x = (x1,…,xk), CCD
terdiri dari tiga bagian berikut (Panggalo, 2012):

1. Titik sudut (corner points) n, dengan xi = -1,1; I <1,…, k


membentuk bagian faktorial (factorial portion) pada
desain
2. Titik pusat (center points) nc, dengan xi = 0; I = 1,…, k
3. Titik aksial (axial points) 2k dari bentuk (0,…, xp, …, 0) xi
= α, -α; I = 1,…, k

CCD biasa digunakan pada percobaan berurutan, yaitu


desain faktorial 2k telah digunakan untuk mengestimasi model
orde I. Selanjutnya terdapat dua parameter pada CCD yang
harus diperinci yaitu jarak titik aksial dari titik pusat dinamakan α
dan jumlah titik pusat nc (Panggalo, 2012). CCD untuk k=2 dan
k=3 secara visual ditunjukkan oleh Gambar 2.3 sebagai berikut
(Ernawati, 2012):

Gambar 2.3 Central Composite Design


20
2.10 Optimasi Menggunakan Design Expert
Optimasi adalah pencarian nilai-nilai variabel yang dianggap
optimal, efektif dan efisien untuk mencapai hasil yang diinginkan
(Karmiadji dan Sepriyanto, 2011). Dalam pengambilan
keputusan, optimasi bertujuan untuk memilih kondisi dari
beberapa variabel input atau disebut juga dengan variabel
independen untuk mendapatkan kondisi output yang optimum.
Optimasi kuat tarik bioplastik dilakukan dengan memasukkan
data respon yang dihasilkan pada metode RSM. Variabel
respon yang dimasukkan sebagai data masukan yang
selanjutnya akan diolah oleh software Design Expert 10 yang
akan menganalisis data masukan tersebut untuk menetukan
model dan persamaan polinomial dengan ordo yang sesuai
untuk setiap variabel respon (mean, linear, kuadratik, spesial
kubik, atau kubik). Menurut Puspitojati dan Santoso (2012),
Software Design Expert akan merekomendasikan salah satu
model yang paling sesuai untuk setiap respon. Pemilihan model
yang cocok dari tiap respon akan ditampilkan dalam fit
summary.
Program Design Expert adalah salah satu program
rancangan penelitihan yang bertujuan untuk membantu dalam
suatu rancangan penelitihan. Program ini sering digunakan
untuk mengolah data statistik sekaligus mempermudah
rancangan metodologi atau perlakuan pada penelitihan,
sehingga menemukan produk atau kondisi proses yang optimal
(Atmadja, 2006). Penentuan model ordo pada setiap respon
didasarkan pada F value yang tercantum dalam fit summary.
Model yang memiliki F value tertinggi, maka model tersebut
ditetapkan sebagai model respon. Nilai variabel yang didapat
dari setiap model kemudian dimasukkan dalam progam
optimasi. Target optimasi dimaksudkan untuk meminmumkan
usaha yang diperlukan dan memaksimalkan yang diinginkan.
Variable yang dominan dan yang kurang penting untk
membentuk formula yang paling optimal (Puspitojati dan
Santoso, 2012).
Proses optimalisasi menurut Isnaini (2012), menyatakan
misal dicari titik level x1, x2,…xk yang menyebabkan respon
optimal. Hal ini dapat diselesaikan dengan mencari titik
21
stasioner dari persamaan permukaan respon yang didapat.
Berhubung variabel bebas lebih dari satu, maka titik stasioner
dicari dengan menggunakan turunan parsial. Pencarian titik
optimum dilakukan dengan mencari model dari sistem dengan
cara melakukan regresi orde dua. Proses perhitungan regresi
dan analisis dilakukan menggunakan software (Design Expert).
Dengan bantuan software, proses regresi dan analisis dapat
lebih cepat dan memiliki error yang lebih sedikit bila
dibandingkan perhitungan secara manual (Biorta, 2012).
Terdapat tiga kemungkinan untuk mencari titik stasioner dari
persamaan permukaan respon dan harus memenuhi salah satu
dari kemungkinan berikut (Panggalo, 2012):

1. Titik maksimum respon


2. Titik minimum respon
3. Titik pelana

Secara visual bentuk permukaan respon dapat dilihat pada


Gambar 2.4.

Gambar 2.4 Bentuk Permukaan Respon


22

Anda mungkin juga menyukai