RUMPOKO WICAKSONO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Rumpoko Wicaksono
NIM F361080071
RINGKASAN
Film berbahan dasar pati dibatasi oleh sifat mekanisnya yang buruk. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanis film tersebut
yaitu menggunakan serat atau serat berukuran nano sebagai bahan penguat.
Ampas tapioka, suatu hasil samping industri pati ubikayu (tapioka), merupakan
salah satu sumber serat alam.Nanoserat selulosa dari sumber yang dapat
diperbarui akhir-akhir ini lebih mendapat perhatian karena memiliki sifat mekanis
yang baik dan ramah lingkungan.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk:(1) mendapatkan informasi
tentang karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan
menggunakan beberapa metode isolasi; (2) mengetahui sifat mekanis dan fisis
film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3) mengetahui kestabilan sifat mekanis
film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
Isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dilakukan melalui tiga metode, yaitu
metode I (perlakuan alkali + bleaching + mekanis), metode II (perlakuan alkali +
bleaching + hidrolisis asam + mekanis), dan metode III (hidrolisis asam +
mekanis).
Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30
nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode
III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan
suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan
dengan nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan
33,75 mV. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas
bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I),
39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III).
Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film
tapioka sebesar 2,44-2,71 N/mm2, namun cenderung menurunkan pemanjangan
putus film, sebesar 16,51-31,14%. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar
143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar
28,52-31,98 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan
transparansi film.
Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari menyebabkan nilai
kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan putusnya menurun.
Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati.
Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat
tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai
modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan
kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga
terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh
terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai
penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat
selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan
kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan
transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan
bahan pengisi.
Kata kunci: nanoserat selulosa, ampas tapioka, bahan pengisi, film tapioka
SUMMARY
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA
DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PENGISI
FILM TAPIOKA
RUMPOKO WICAKSONO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Liesbetini Hartoto, M.S.
2. Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si.
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP., DEA
2. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, Ph.D., M.Eng.
Judul Disertasi : Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan
Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka
Nama : Rumpoko Wicaksono
NIM : F361080071
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr. Ir. Khaswar
Syamsu, M.Sc., Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si., dan Dr. Eng. Muhamad Nasir,
yang telah memberi arahan dan masukan selama penelitian dan penulisan disertasi
ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Teknologi
Industri Pertanian beserta pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan
memberi layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.Selain itu, ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Pimpinan Universitas Jenderal
Soedirman yang telah memberi izin penulis untuk menempuh studi di Sekolah
Pascasarjana IPB, serta kepada pihak DIKTI yang telah memberi dukungan
melalui pemberian beasiswa BPPS.Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungannya, serta kepada
semua pihak yang telah berjasa dalam memperlancar kegiatan studi penulis,
termasuk pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah menerima sebagian karya ini
untuk dipublikasikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Rumpoko Wicaksono
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian 2
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa 6
Nanoserat Selulosa 8
Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai
Bahan Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan
Film 14
3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT SELULOSA DARI
AMPAS TAPIOKA
Pendahuluan 18
Metode 19
Hasil dan Pembahasan 21
Simpulan 33
4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA
SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA
Pendahuluan 34
Metode 35
Hasil dan Pembahasan 37
Simpulan 45
5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG PENYIMPANAN
TERHADAP KESTABILAN SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA
Pendahuluan 46
Metode 47
Hasil dan Pembahasan 49
Simpulan 52
6 PEMBAHASAN UMUM 55
Simpulan 65
7 SIMPULAN DAN SARAN 66
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 76
RIWAYAT HIDUP 83
DAFTAR TABEL
1 Dimensi nanoserat selulosa 10
2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya 16
3 Hasil pengamatan FTIR 28
4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak 44
5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet 45
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir perumusan masalah 4
2 Unit glukopiranosa selulosa 6
3 Konfigurasi selulosa 6
4 Model struktur serat selulosa 8
5 Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya 9
6 Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils 9
7 Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan
bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa 10
8 Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers 11
9 Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka 20
10 Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran
20 X (A) dan 100 X (B) 22
11 Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa 23
12 Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam
alkali 24
13 Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka
melalui hidrolisis asam 24
14 Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa 25
15 Spektrum FTIR ampas tapioka 26
16 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I 26
17 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II 27
18 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III 27
19 Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric (B) 28
20 Struktur dasar hemiselulosa 28
21 Gugus fungsional lignin 29
22 Ikatan β-1-4 glikosida 29
23 Difraktogram ampas tapioka 30
24 Difraktogram nanoserat selulosa 31
25 Struktur selulosa I dan II 32
26 Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film 38
27 Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film 38
28 Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film 40
29 Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film 40
30 Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air 41
31 Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air 42
32 Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air 42
33 Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air 43
34 Kuat tarik film tapioka selama penyimpanan 49
35 Perubahan bobot film selama penyimpanan 50
36 Pemanjangan putus film selama penyimpanan 51
37 Modulus elastisitas film selama penyimpanan 52
38 Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa 53
39 Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa 54
40 Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film 55
41 Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film 56
42 Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film 57
43 Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air 57
44 Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa 58
45 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya tampak 59
46 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya ultraviolet 59
47 Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film 60
48 Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film 61
49 Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air 62
50 Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air 62
51 Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada
permukaanserat 63
52 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya tampak 64
53 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya ultraviolet 64
DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis statistik kuat tarik film 76
2 Analisis statistik pemanjangan putus film 77
3 Analisis statistik laju transmisi uap air 78
4 Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air film 79
5 Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan 80
6 Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan 81
7 Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan 82
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pati merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan baku maupun
sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati
mudah diperoleh, dapat diperbarui, dan dapat terbiodegradasi, sehingga
berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti plastik sintetis untuk aplikasi
pengemasan (Savadekar dan Mhaske 2012). Tapioka merupakan salah satu jenis
pati yang banyak diteliti dan digunakan sebagai bahan baku kemasan ramah
lingkungan, terutama di daerah tropis.
Sifat fisis dan mekanis film berbahan dasar pati pada umumnya masih lebih
rendah dibandingkan dengan film berbahan dasar petrokimia. Sifat penting yang
harus diperhatikan dalam pembuatan film adalah kekuatan, kelenturan, dan
kestabilannya selama pemakaian dan penyimpanan. Alternatif peningkatan
kekuatan film dapat ditempuh dengan cara menggunakan bahan pengisi (filler)
yang bersifat memperkuat (reinforcement).
Bahan pengisi dapat berfungsi secara ekonomis dan teknis. Secara
ekonomis, penggunaan bahan pengisi dapat menekan biaya produksi jika
harganya lebih murah daripada polimer utamanya, sedangkan secara teknis, dapat
memodifikasi polimer utamanya menjadi bahan dengan sifat yang dikehendaki,
seperti meningkatkan kekakuan pada bahan yang terlalu lentur, meningkatkan
kekuatan, mengurangi kerutan dan kecenderungan untuk bengkok (Xanthos
2010).
Salah satu bahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan
pengisi adalah serat alam. Serat alam lignoselulosa merupakan salah satu
biopolimer yang paling banyak di muka bumi, sehingga mudah diperoleh di
berbagai daerah (Siró dan Plackett 2010). Serat alam juga memiliki beberapa
keunggulan dari segi ekonomi, lingkungan, dan teknis. Energi yang diperlukan
untuk memproduksi serat alam relatif rendah dan tidak memerlukan peralatan
khusus yang mahal, dapat diperbarui dan tidak menghasilkan karbondioksida
yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan, sehingga menguntungkan dari segi
lingkungan (John dan Thomas 2008).
Serat alam juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu
menghasilkan kekuatan yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
penguat dan bersifat nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan.
Kemampuan serat alam sebagai bahan pengisi penguat telah dibuktikan pada
produk berbahan dasar polietilen (Menezes et al. 2009; Prachayawarakorn et al.
2010), karet alam (Bras et al. 2010; Pasquini et al. 2010), pati termoplastik (Ma et
al. 2005; Teixeira et al. 2009), polipropilen (Qiu et al. 2006; Reddy dan Yang
2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta pati (Famá et al. 2009; Dias et
al. 2011).
Penggunaan serat tidak hanya memberi penguatan saja, namun juga dapat
memberi efek penahanan, antara lain meningkatkan kemampuan penahanan film
pati terhadap uap air (Müller et al. 2009a; Belbekhouce et al. 2011), penahanan
terhadap oksigen dan minyak (Aulin et al. 2010). Penggunaan serat juga dapat
meningkatkan kemampuan biodegradasi karet alam (Bras et al. 2010),
2
Evaluasi kestabilan
Evaluasi sifat Evaluasi sifat
mekanis film tapioka
RUANG LINGKUP nanoserat mekanis dan
berbahan pengisi
KAJIAN selulosa sifat fisis film
nanoserat selulosa
tapioka
selama penyimpanan
Tujuan Penelitian
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber
informasi tentang isolasi dan penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya dan aplikasinya
di bidang industri.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Nanoserat Selulosa
Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas agregat serat yang berukuran
lebih kecil hingga berskala nanometer. Satu berkas serat terdiri atas sejumlah serat
elementer yang dihubungkan dengan hemiselulosa. Serat-serat elementer dan
hemiselulosa dilindungi oleh lapisan lignin. Model struktur nanoserat selulosa
dapat dilihat pada Gambar 4.
Lignin
nm dapat menyebabkan peningkatan nilai kuat tarik serat. Kumara et al. (2009)
mengilustrasikan perubahan sifat mekanis terkait dengan perubahan ukuran
seperti yang disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya (Kumara et al. 2009)
Hasil disintegrasi serat menghasilkan nanoserat selulosa yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu nanofibrils dan nanowhiskers atau hanya
disebut whiskers). Nanofibrils berbentuk serat panjang dan fleksibel serta masih
memiliki bagian yang bersifat kristal dan amorf dalam satu berkas serat (Gambar
6 dan 7). Bentuk ini pada umumnya diperoleh dari proses mekanis atau dibentuk
secara alami oleh bakteri penghasil selulosa.
Kristal
Amorf
Jacquet et al. 2012). Ibrahim et al. (2010) menggunakan uap jenuh bersuhu 220
o
C selama 240 detik untuk mendisintegrasi serat dari limbah batang pisang.
Kaushik et al. (2010) menggunakan autoklaf dengan tekanan 15 lb selama 4 jam
untuk mendisintegrasi serat dari jerami gandum. Uap panas berasal dari larutan
NaOH 10-12% yang digunakan untuk merendam jerami.
Grinding dilakukan menggunakan peralatan yang cukup sederhana, yaitu
berupa grinder. Bahan lignoselulosa terfibrilasi akibat gaya shear saat melalui
celah grinder yang berputar dengan kecepatan tinggi hingga 1.500 rpm. Proses
mekanis ini terutama ditujukan untuk mengupas lapisan dinding sel luar, sehingga
akan membuka lapisan dalam yang kaya serat nano (Nakagaito dan Yano 2004).
Gaya shear merusak struktur dinding sel yang terdiri atas lapisan serat nano yang
berikatan hidrogen, sehingga serat berukuran nano tersebut saling terlepas dalam
pulp (Siró dan Plackett 2010). Besarnya gaya shear dipengaruhi oleh lebar celah,
kecepatan putar, serta bentuk permukaan disk atau batu gerinda (Subyakto et al.
2009).
Intensitas perlakuan mekanis berupa ulangan dan durasi proses berpengaruh
terhadap keefektifan pemisahan agregat serat. Intensitas yang terlalu tinggi
berisiko menurunkan sifat kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa
(Henriksson et al. 2007; Abe dan Yano 2009), serta memerlukan energi yang
tinggi (Nakagaito dan Yano 2004). Perolehan serat berskala nano dengan
menggunakan energi yang rendah dan sedikit serat selulosa yang terdegradasi
merupakan pertimbangan penting untuk memilih metode mekanis yang digunakan
(Subyakto et al. 2009).
Peningkatan keefektifan perolehan nanoserat selulosa juga dapat dilakukan
dengan perlakuan tambahan berupa pembekuan bahan sebelum dikenai proses
mekanis. Metode ini disebut cryocrushing, yaitu bahan dibekukan dengan
menggunakan nitrogen cair. Kristal es yang terbentuk menekan dinding sel,
sehingga saat dikenai gaya shear secara mekanis akan lebih mudah mengalami
disintegrasi melepaskan nanoserat selulosa (Siró dan Plackett 2010; Sundari dan
Ramesh 2012).
Nanoserat selulosa murni dapat diperoleh dengan menggunakan serangkaian
perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi juga dapat memudahkan nanoserat selulosa
terlepas dari agregat serat, akibat reduksi senyawa yang mengikat serat elementer
selulosa, yaitu hemiselulosa, serta menghilangkan lignin yang melindungi agregat
serat elementer tersebut (John dan Thomas 2008).
Campuran toluene-ethanol dapat digunakan untuk menghilangkan lapisan
lilin, lemak, dan minyak dalam bahan (Habibi et al. 2009). Proses pemucatan
(bleaching) menggunakan campuran asam asetat glasial dan natrium klorit dapat
menghilangkan senyawa fenol atau molekul yang memiliki gugus kromofor yang
ada pada lignin (Bhattacharya et al. 2008). Pemucatan juga dapat dilakukan
menggunakan natrium hipoklorit (Elanthikkal et al. 2010), hidrogen peroksida
(Teixeira et al. 2011), atau menggunakan larutan tetraacetylethylenediamine
(TAED) (Rosa et al. 2012). Proses tersebut menyebabkan lignin teroksidasi dan
menjadi lebih mudah larut dalam larutan alkali (Elanthikkal et al. 2010).
Larutan alkali dapat digunakan untuk pemurnian serat selulosa dari senyawa
hemiselulosa, sisa pati, dan pektin. Abe dan Yano (2009) menggunakan KOH 2-
5% untuk pemurnian nanoserat selulosa dari kayu, jerami padi, dan ampas
kentang. Penggunaan larutan alkali tersebut dilakukan sebanyak dua kali pada
13
suhu 90oC selama dua jam. Elanthikkal et al. (2010) menggunakan larutan alkali
berupa NaOH 1 M pada suhu 80oC selama empat jam untuk mereduksi kandungan
hemiselulosa dan pektin pada serat pisang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali
yang digunakan cenderung meningkatkan fibrilasi (Zhang et al. 2005).
Kandungan lignin juga dapat berkurang akibat perlakuan alkali melalui
pembentukan kompleks kimiawi dan depolimerisasi (Mandal dan Chakrabarty
2011; Johar et al. 2012).
Enzim dan mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan
pemisahan serat selulosa. Henriksson et al. (2007) menggunakan Novozym
sebelum perlakuan homogenisasi untuk memperoleh serat nano dari tanaman
Picea abies. Perlakuan tersebut menghasilkan serat nano berdiameter 15-30 nm
dengan panjang beberapa mikrometer. Trichoderma reesei merupakan
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa melalui enzim ekstraseluler
yang dikeluarkan, meliputi endoglucanase, cellobiohydrolase, dan cellobiase (β-
glucosidase) (Satyamurthy et al. 2011). Kemampuan ini dimanfaatkan oleh
Satyamurthy et al. (2011) untuk memperoleh nanoserat selulosa dari serat kapas.
Perlakuan tersebut dapat menghasilkan serat selulosa berdiameter sekitar 36,5 nm.
Isolasi nanoserat selulosa dengan menggunakan asam kuat dapat
menghasilkan whiskers. Asam kuat lebih mudah menghidrolisis bagian amorf
serat, sehingga serat terdegradasi menjadi serat pendek. Asam kuat juga dapat
menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, selanjutnya xilosa
terdegradasi membentuk furfural. Selain itu, polisakarida lain seperti residu pati
dapat terhidrolisis menjadi gula sederhana (Adel et al. 2011).
Derajat polimerisasi nanoserat selulosa, kristalinitas, morfologi, dan sifat
lainnya dapat dipengaruhi oleh asam yang digunakan (Adel et al. 2011). Alemdar
dan Sain (2008) menggunakan asam klorida 1 M untuk menghidrolisis jerami padi
dan polong kedelai. Hidrolisis dilakukan pada suhu 80 ± 5 oC selama 2 jam untuk
menghidrolisis hemiselulosa, pektin dan polisakarida menjadi gula sederhana,
sehingga diperoleh serat selulosa bebas bahan nonselulosa.
Selain asam klorida, banyak penelitian menggunakan asam sulfat sebesar 60
- 65% w/v atau 6 - 6,5 M sebagai media hidrolisis. Hidrolisis menggunakan asam
sulfat digunakan oleh Bhattacharya et al. (2008) pada ampas tebu, Chen et al.
(2009) pada serat polong kacang, Menezes et al. (2009) pada serat rami, Teixeira
et al. (2009) pada ampas tapioka, Bras et al. (2010) pada pulp ampas tebu,
Elanthikkal et al. (2010) pada serat pisang, Lu dan Hsieh (2010) pada selulosa
kapas, Pasquini et al. (2010) pada ampas tapioka, Belbekhouche et al. (2011) pada
serat sisal, Liu et al. (2011) pada bubuk selulosa mikrokristal, dan Teixeira et al.
(2011) pada ampas tebu. Hidrolisis dilakukan pada suhu 45 – 60oC selama
beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung jenis bahan awalnya.
Permasalahan yang perlu diperhatikan terkait penggunaan hidrolisis asam
antara lain kemungkinan adanya bahaya keracunan akibat residu asam kuat pada
permukaan serat, terutama jika digunakan sebagai bahan pengisi edible film.
Selain itu, konsentrasi asam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan degradasi
selulosa yang berlebih. Abraham et al. (2011) menggunakan asam lemah berupa
asam oksalat 5% untuk mengurangi bahaya penggunaan asam kuat dan mencegah
degradasi selulosa. Namun, untuk meningkatkan keefektifan dalam perolehan
nanoserat selulosa digunakan langkah tambahan berupa dua tahap steam
14
explosion, yaitu pada tahap preparasi bahan baku dan pada tahap setelah
perlakuan asam.
Diameter dan panjang nanoserat selulosa dipengaruhi oleh perlakuan isolasi
atau ekstraksi nanoserat selulosa yang diterapkan. Serat yang masih mengandung
lignin dan hemiselulosa menunjukkan ukuran yang lebih besar, dibandingkan
nanoserat selulosa murni. Hemiselulosa juga dapat mencegah terjadinya agregasi
nanoserat selulosa (Lavoine et al. 2012). Fragmen kristal nanoserat selulosa dalam
kondisi kering cenderung membentuk agregat. Agregat terjadi akibat
pembentukan ikatan hidrogen karena adanya gugus hidrogen dan energi
permukaan nanoserat selulosa yang tinggi (Mandal dan Chakrabarty 2011).
Reaksi hidrolisis yang lebih lama, misalnya dari 30 menit menjadi 60 menit,
menyebabkan nanoserat selulosa yang terbentuk lebih pendek dan kecil, indeks
kristalinitas lebih tinggi, dan penurunan kestabilan termal (Tonoli et al. 2012).
Neto et al. (2013) di sisi lain melaporkan bahwa kondisi hidrolisis asam yang
lebih lama (40 menit) tidak hanya menghasilkan nanoserat selulosa yang lebih
pendek, namun juga menyebabkan kerusakan struktur kristal nanoserat selulosa
dibanding perlakuan hidrolisis asam selama 30 menit.
Hidrolisis umumnya menyerang pada bagian amorf, sehingga dihasilkan
nanoserat selulosa pendek dengan kristalinitas tinggi. Hal ini berlawanan dengan
hasil nanoserat selulosa dari proses mekanis, yaitu cenderung menghasilkan
nanoserat selulosa panjang dan mengandung bagian kristal dan amorf (Neto et al.
2013). Selain itu, peningkatan waktu hidrolisis asam menggunakan asam sulfat
dapat meningkatkan kandungan sulfur pada permukaan nanoserat selulosa, dan
menunjukkan suhu degradasi termal yang lebih rendah dibandingkan dengan
nanoserat selulosa yang dihasilkan secara mekanis (Tonoli et al. 2012).
Proses pemurnian kimiawi juga berpengaruh terhadap permukaan serat.
Johar et al. (2012) menunjukkan bahwa serat setelah perlakuan alkali tampak
lebih kasar. Hal ini menunjukkan terjadi degadrasi pada bahan yang terdapat di
permukaan serat, seperti hemiselulosa, lignin, pektin, lilin, dan bahan lain di
permukaan serat. Perubahan sifat kimia permukaan yang terjadi berpengaruh
terhadap kestabilan dispersi nanoserat selulosa dalam larutan. Kestabilan
dispersinya dinilai dengan nilai zeta potential nanoserat selulosa. Nilai ini
menunjukkan perbedaan muatan antara medium dengan muatan listrik di sekitar
partikel. Nilai zeta potential yang tinggi menunjukkan kapasitas dispersi yang
tinggi dalam air, sedangkan nilai zeta potential yang rendah menunjukkan
kestabilan dispersi yang rendah (Tonoli et al. 2012).
Kayu merupakan sumber serat selulosa yang penting untuk industri. Adanya
kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan,
perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari
sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber
selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, hemp, sisal, dan
lain-lain, berpotensi untuk diekspolarasi. Bahan nonkayu sebagai sumber serat
alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat
15
dipanen dalam waktu yang lebih singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat
mengurangi eksploitasi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam
untuk kepentingan industri (Subyakto et al. 2009).
Limbah pertanian atau hasil samping agroindustri yang kaya serat menjadi
alternatif dalam perolehan nanoserat selulosa. Penggunaan serat asal limbah
pertanian selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga diharapkan dapat
mengurangi eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri.
Selain itu, limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung
sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga
memudahkan dalam mengekstraksi serat (Siró dan Plackett 2010). Contoh-contoh
bahan dari limbah atau hasil samping agroindustri yang telah diteliti sebagai
sumber pembuatan nanoserat selulosa dan metode pembuatannya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Informasi tentang aplikasi nanoserat selulosa pada umumnya terkait dengan
aplikasinya sebagai bahan pengisi komposit/biokomposit. Plastik merupakan salah
satu tujuan aplikasi nanoserat selulosa dalam rangka rekayasa plastik yang dapat
terdegradasi di lingkungan dengan cepat. Sifat tersebut penting terutama bagi
pengemas yang masa pemakaiannya hanya dalam waktu singkat dan jarang
digunakan kembali atau dibuang.
Pencegahan penurunan kualitas produk pangan atau hortikultura melalui
pengemasan pada prinsipnya adalah membatasi produk tersebut untuk berinteraksi
langsung dengan lingkungan luar. Pembatasan interaksi ini bertujuan untuk
menekan pengaruh buruk yang berasal dari lingkungan di luar produk, seperti
kelembaban udara, cahaya, suhu, tekanan, gesekan, dan aktivitas mikroorganisme.
Pengemas berbasis karbohidrat pada umumnya memiliki sifat mekanis yang
kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan pengemas
tersebut pada umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya
(Gilfillan et al. 2012).
Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diterapkan yaitu berupa
pengemasan secara langsung berhubungan atau melekat dengan produk, berupa
film atau coating dengan penggunaan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa
merupakan usaha alternatif untuk memperbaiki sifat mekanis film (Azeredo et al.
2012). Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung di permukaan produk
pangan. Metode aplikasi yang digunakan dalam menghasilkan coating dapat
berupa penyemprotan, pengolesan, maupun pencelupan. Pencelupan merupakan
metode yang mudah dan sesuai untuk diaplikasikan pada komoditas yang
permukaannya tidak rata (Ghasemzadeh et al. 2008; Bahri dan Rashidi 2009).
Film diaplikasikan setelah dibentuk secara terpisah (Bahri dan Rashidi 2009),
antara lain dibuat dengan menggunakan metode casting. Larutan film dituangkan
pada lempeng cetakan dengan ketebalan tertentu, dikeringkan, dan dilepas dari
cetakan untuk selanjutnya diaplikasikan untuk mengemas produk (Müller et al.
2009a).
Pengurangan sifat hidrofil dan pembentukan struktur jaringan penguat
akibat penggunaan nanoserat selulosa dapat memperbaiki sifat mekanis film (Ma
et al. 2005; Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat meningkatkan
kestabilan sifat mekanis film terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma et
al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat penambahan
serat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan putusnya. Gerakan
16
rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya interaksi antara serat
selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan memanjang matriks film
menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya
Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya (lanjutan)
Pendahuluan
Metode
3. Metode III
Prosedur isolasi nanoserat selulosa secara kimiawi mengikuti prosedur
umum dari Teixeira et al. (2009). Ampas tapioka lolos ayak 100 mesh direndam
dalam larutan H2SO4 6,5 M. Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC sambil diaduk
selama 1 jam. Setelah hidrolisis, suspensi dicuci menggunakan akuades dan
disentrifugasi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh
endapan pulp. Pencucian dilakukan sampai pH suspensi netral. Selanjutnya, pulp
sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan
perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10
menit.
Karakterisasi
Pengamatan mikroskopis
Spektroskopi FTIR
Difraksi sinar X
Fc = luas daerah kristal; Fb = luas daerah amorf dari kurva difraksi sinar X (Park
et al. 2010; Liu et al. 2013).
S D
G
(A) (B)
Ket. = G: granula umbi ubi kayu; S: serat ampas tapioka; D: diameter serat
Oksidasi Alkali
R = H atau lignin
L = lignin
Gambar 12 Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam
alkali (Gellerstedt 2010)
60
52,45
50
46,47
40
Zeta potential (mV)
33,75
30
20
10
0
I II III
Metode isolasi
A B
Gambar 19 Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric acid (B) (Buranov
dan Mazza 2008)
Pita serapan tersebut tidak muncul lagi pada spektrum nanoserat selulosa
yang dihasilkan melalui metode I. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
deformasi struktur lignin akibat perlakuan kimiawi yang diberikan. Namun, pita
serapan tersebut muncul kembali pada spektrum nanoserat selulosa yang
dihasilkan melalui metode II dan III. Kemunculan pita serapan pada bilangan
gelombang sekitar 1730 cm-1 diduga karena cincin glukopiranosa terbuka akibat
pemutusan rantai selulosa saat perlakuan asam, sehingga memicu oksidasi gugus
C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008).
Ampas tapioka juga menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang
1244,56 cm-1. Daerah tersebut merupakan daerah serapan khas lignin (Rosa et al.
2012). Pita serapan tersebut menunjukkan adanya vibrasi cincin aromatik pada
lignin khususnya berasal dari gugus aryl (Gambar 21) (Abraham et al. 2011;
Mandal dan Chakrabarty 2011). Pita serapan pada bilangan gelombang 1244,56
cm-1 tidak muncul pada spektrum semua nanoserat selulosa, sehingga diduga
bahwa lignin telah mengalami deformasi akibat perlakuan kimia selama proses
isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka.
Alkohol
Gugus aryl
eter
Metoksil Gugus “condensed ”
Fenol
Ikatan β-1-4
Gambar 22 Ikatan β-1-4 glikosida (Morán et al. 2008)
30
Pola difraksi sinar X ampas tapioka sebelum proses kimiawi dan setelah
proses kimiawi untuk menghasilkan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar
23 dan 24. Difraktogram menunjukkan puncak difraksi sinar X selulosa alami
yaitu adanya 1 puncak tajam pada daerah sekitar 2θ = 22o (Adel et al. 2011;
Cherian et al. 2011). Difraktogram ampas tapioka memperlihatkan beberapa
puncak, yaitu pada 2θ = 15o, 2θ = 17o, dan 2θ = 22,85o, sedangkan pada ampas
tapioka setelah perlakuan kimiawi pada metode I memperlihatkan puncak utama
pada 2θ = 15,09o dan 2θ = 22,19o, metode II memperlihatkan puncak utama
pada 2θ = 15,5o dan 2θ = 22,13o, sedangkan metode III memperlihatkan puncak
utama pada 2θ = 15,94o dan 2θ = 22,23o.
Intensitas puncak difraksi ampas tapioka yang telah diberi perlakuan
kimiawi tampak lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan, menunjukkan bahwa
kristalinitasnya lebih tinggi. Indeks kristalinitas ampas tapioka sebelum perlakuan
dan setelah diberi perlakuan kimiawi mengikuti metode I, II, dan III berturut-turut
adalah 14,52%, 33,25%, 39,73%, dan 31,23%. Perubahan intensitas puncak
difraksi menunjukkan terjadi perubahan pada struktur kristalinitasnya atau
keteraturan rantai molekul selulosanya (Elanthikkal et al. 2010; Chen et al. 2011).
Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam bahan
tersusun secara teratur atau kisi-kisi bagian kristalinnya lebih sempurna (Lu dan
Hsieh 2010).
22,85o
17o
15o
22,19o
15,09o
Metode I
22,13o
15,5o
Metode II
22,23o
15,94o
Metode III
Simpulan
Pendahuluan
Sifat mekanis merupakan salah satu sifat penting yang digunakan sebagai
dasar untuk menilai kelayakan fungsi film sebagai pengemas. Permasalahan yang
umum dihadapi oleh film berbasis karbohidrat adalah memiliki sifat mekanis yang
kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan film pada
umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya (Gilfillan et al.
2012). Air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan pati dan dengan serat,
menggantikan interaksi sebelumnya antara pati dan serat. Penghalangan interaksi
antara pati dan serat akibat adanya air akan melemahkan kuat tarik film (Ma et al.
2005).
Sifat mekanis film dapat diperbaiki dengan penambahan bahan pengisi
berupa nanoserat selulosa (Azeredo et al. 2012). Mekanisme penguatan film
akibat adanya nanoserat selulosa ini terkait dengan sifat selulosa itu sendiri yang
lebih hidrofob dibandingkan dengan pati (Ma et al. 2005) dan kemampuan
selulosa dalam membentuk struktur jaringan penguat dalam matriks film
(Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film
pati dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan
(Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat
penambahan nanoserat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan
putusnya. Gerakan rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya
interaksi antara nanoserat selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan
memanjang matriks film menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Penambahan nanoserat selulosa dapat menyebabkan kristalinitas bahan
makin tinggi (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b), sehingga dapat menurunkan
sifat higroskopis bahan (Averous dan Boquillon 2004). Modifikasi sifat kristal
bahan melalui penambahan nanoserat selulosa, disertai dengan penurunan sifat
higroskopis dan terbentuknya struktur jaringan dalam matriks film menyebabkan
sifat mekanis film dapat direkayasa menjadi lebih baik.
Sifat mekanis sangat dipengaruhi oleh adhesi antara matriks film dan serat
(Rosa et al. 2009). Peningkatan kuat tarik merupakan indikator bahwa nanoserat
selulosa sesuai (kompatibel) untuk digunakan sebagai bahan pengisi penguat,
terutama pada film berbahan dasar pati. Kesesuaian ini terkait dengan kemiripan
kimia antara selulosa dan pati, sehingga terjadi interaksi yang baik (Ma et al.
2005; Chang et al. 2010). Nanoserat selulosa dapat terdistribusi dengan baik dan
terlapisi oleh matriks film dari pati. Hal itu menunjukkan bahwa terbentuk
interaksi yang baik antara nanoserat selulosa dan matriks (Guimarães et al. 2010).
Peningkatan distribusi serat dapat ditingkatkan melalui pembentukan serat
berukuran nano. Pengaruh buruk distribusi bahan pengisi yang tidak baik tidak
hanya pada penurunan sifat mekanis saja, namun juga memudahkan terjadi
transmisi uap air dan gas (Chang et al. 2010; Alves et al. 2011).
Komposisi film berpengaruh penting terhadap sifat transmisi uap air, di
samping kondisi suhu dan kelembaban relatif ruang serta ketebalan film. Adanya
nanoserat selulosa dalam komposisi film dapat memodifikasi sifat transmisi film
35
akibat adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa yang
dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air.
Hal ini menurunkan sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al.
2009a; Dias et al. 2011). Selain itu, adanya jaringan atau belitan nanoserat
selulosa dalam matriks film dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam
matriks film, sehingga penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat
penghambatan terhadap uap air (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011;
Azeredo et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis dan
fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa.
Metode
Pembuatan Film
Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan
dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Tapioka
sebanyak 4% (basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil
diaduk selama 15 menit. Nanoserat selulosa dari masing-masing metode isolasi
ditambahkan sebanyak 1, 2, 3, dan 4% b/b dari berat kering tapioka. Sorbitol
ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai pemlastis. Larutan
film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5 mm. Pengeringan
dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet dryer. Film yang
terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan dan disimpan dalam wadah kedap
udara. Film tanpa bahan bahan pengisi dan film dengan bahan pengisi berupa
ampas tapioka juga dibuat sebagai pembanding. Film dengan penambahan ampas
tapioka lolos ayak 100 mesh dengan konsentrasi yang sama berdasarkan kadar
serat kasarnya (basis kering) juga dibuat sebagai perlakuan dan film tanpa
penambahan serat dibuat sebagai pembanding.
F
σ=
A
σ = kuat tarik (tensile strength) (N/mm2) ; F = gaya yang diperlukan untuk
menarik bahan uji sampai putus (N); A = luas penampang daerah putus (section
area) (mm2).
Pemanjangan putus dihitung dengan rumus:
Δl
ε= x 100%
lo
ε = pemanjangan putus (elongation at break) (%); Δl = pertambahan panjang
bahan uji sampai putus; lo = panjang mula-mula (Davis, 2004; Sari dan Satoto
2010).
Pengujian Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air
Cawan berisi gel silika kering ditutup dengan film rapat-rapat. Cawan
diletakkan di dalam wadah kedap udara, yang di dalamnya berisi larutan NaCl
jenuh untuk menciptakan kondisi kelembaban relatif lingkungan ±75 persen. Uap
air yang terdifusi melalui film akan diserap oleh gel silika dan akan menambah
berat silika gel tersebut. Perubahan berat cawan dicatat setiap jam sampai jam
ketujuh. Data yang diperoleh dibuat persamaan regresi linier, sehingga diperoleh
slope. Laju transmisi uap air (water vapour transmision rate/WVTR) dihitung
dengan rumus:
Slope kenaikan berat cawan (g/jam)
WVTR =
Luas permukaan film (m2)
Nilai permeabilitas film terhadap uap air (water vapour permeability/WVP)
dihitung dengan rumus:
WVTR x tebal film
WVP =
P (R1 – R2)
P merupakan tekanan jenuh uap air pada suhu pengujian (± 27 oC) yaitu sebesar
3,17 kPa, R1 merupakan RH dalam wadah (75%), dan R2 merupakan RH di
bagian dalam cawan (52%) (Lastriyanto et al. 2007).
Rancangan Percobaan
Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 26.
Film dengan nanoserat metode I menunjukkan kuat tarik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan film metode II dan III. Hal ini menggambarkan bahwa
nanoserat dari metode I menghasilkan tingkat kekuatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode II dan III. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh
perlakuan kimiawi yang diberikan. Metode II menggunakan proses alkali dan
bleaching dan dilanjutkan dengan hidrolisis asam kuat dengan tujuan untuk lebih
mengecilkan ukuran nanoserat. Perlakuan kimiawi yang lebih intensif ini diduga
sudah merusak sebagian struktur serat, sehingga peranannya sebagai penguat
menjadi kurang efektif. Metode III menggunakan hidrolisis asam kuat secara
langsung. Perlakuan ini ditambah dengan suhu tinggi sampai batas tertentu dapat
mendegradasi bagian kristalin serat selulosa, sehingga efek penguatannya menjadi
berkurang.
38
0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat
3
Kuat tarik (N/mm2)
0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)
40
35
Pemanjangan putus (%)
30
25
20
15
10
0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat
40
35
Pemanjangan putus (%)
30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)
Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air
Laju transmisi uap air merupakan banyaknya uap air yang ditransmisikan
dari salah satu sisi film ke sisi film lainnya dalam suatu luasan dan waktu tertentu,
sedangkan permeabilitas terhadap uap air merupakan banyaknya uap air yang
bermigrasi melalui film dengan ketebalan dan perbedaan tekanan uap tertentu dari
kedua sisi film. Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air dan
perneabilitas film terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31.
Film berbahan pengisi nanoserat selulosa metode II tampak memperlihatkan
kemampuan penahan terhadap uap air yang lebih baik. Hal ini diduga terkait
dengan kristalinitas nanoserat yang lebih tinggi. Kristalinitas serat selulosa yang
makin tinggi pada umumnya makin menghambat transmisi uap air. Uap air sulit
melalui bagian serat yang bersifat kristal karena strukturnya rapat (Saxena et al.
2011; Indriyati et al. 2012; Lavoine et al. 2013). Sebaliknya, struktur amorf
bersifat lebih hidrofil, sehingga memiliki kapasitas serapan uap air yang lebih
besar daripada struktur kristal. Uap air lebih mudah ditransmisikan pada bagian
tersebut (Phan et al. 2005; Bilbao-Sainz et al. 2103; Jiménez et al. 2013).
Mekanisme penghambatan pergerakan uap air dalam matriks film, secara
umum terkait dengan pembentukan jalur difusi yang berliku akibat serat yang
tersebar di dalam matriks film (Huq et al. 2012; Savadekar dan Mhaske 2012;
Abdollahi et al. 2013). Film memiliki sifat penghalangan terhadap difusi uap air
yang makin baik apabila jalur difusi dalam film makin berliku. Struktur belitan
serat dalam matriks film merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalur
difusi uap air dalam matriks film makin berliku (Lavoine et al. 2012).
300
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)
250
200
150
100
50
0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat
60
50
Permeabilitas uap air
(g.mm/m2.hari.kPa)
40
30
20
10
0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat
Gambar 31 Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air
Ampas tapioka menunjukkan sifat penahan uap air yang kurang baik.
Kestabilan serat dalam ampas tapioka tidak sebaik nanoserat selulosa. Sebaran
bahan pengisi yang tidak merata atau terjadi aglomerasi akan menghasilkan ruang
kosong tanpa bahan pengisi pada salah satu bagian dalam matriks, sehingga
molekul air akan lebih mudah berdifusi pada bagian tersebut (Moura et al. 2011;
Ludueña et al. 2012; Yoon et al. 2012).
Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air dan permeabilitas
terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 32 dan 33. Peningkatan kadar serat
tampak meningkatkan penghambatan terhadap uap air. Hal ini diduga terkait
dengan peningkatan kepadatan film sejalan dengan penambahan kadar serat.
300
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)
250
200
150
100
50
0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)
60
40
30
20
10
0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)
Transparansi Film
Transmitansi (%)
Penggunaan
Panjang gelombang (nm)
serat
400 450 500 550 600 650 700 750 800
Tanpa serat 72,60 74,35 76,10 76,85 77,60 78,35 79,10 79,45 79,80
Ampas 1% 33,10 35,50 37,90 38,93 39,95 40,98 42 42,45 42,90
Ampas 2% 28 30,90 33,80 35,15 36,50 37,85 39,20 39,90 40,60
Ampas 3% 15,10 17,30 19,50 20,43 21,35 22,28 23,20 23,55 23,90
Ampas 4% 5,50 6,10 6,70 7,08 7,45 7,83 8,20 8,65 9,10
Nanoserat I 1% 62,20 64,60 67 68,38 69,75 71,13 72,50 73,10 73,70
Nanoserat I 2% 57,50 60,80 64,10 65,83 67,55 69,28 71 71,90 72,80
Nanoserat I 3% 40,20 44,80 49,40 51,73 54,05 56,38 58,70 59,20 59,70
Nanoserat I 4% 38,90 41,45 44 45,03 46,05 47,08 48,10 48,60 49,10
Nanoserat II 1% 64,80 69,80 74,80 75,13 75,45 75,78 76,10 76,75 77,40
Nanoserat II 2% 58,80 62 65,20 66,65 68,10 69,55 71 71,90 72,80
Nanoserat II 3% 54,90 57,80 60,70 62,03 63,35 64,68 66 66,85 67,70
Nanoserat II 4% 36,50 38,50 40,50 41,80 43,10 44,40 45,70 46,15 46,60
Nanoserat III 1% 62,90 65,20 67,50 68,80 70,10 71,40 72,70 73,70 74,70
Nanoserat III 2% 56,80 60,15 63,50 64,60 65,70 66,80 67,90 68,55 69,20
Nanoserat III 3% 53,10 56,85 60,60 61,70 62,80 63,90 65,00 65,65 66,30
Nanoserat III 4% 37,10 39,45 41,80 43,03 44,25 45,48 46,70 47,50 48,30
Transmitansi (%)
Penggunaan serat Panjang gelombang (nm)
200 250 300 350
Tanpa serat 4,30 45,10 59,90 69,20
Ampas 1% 0,20 9,50 20,60 27,80
Ampas 2% 0,09 7,40 14,90 21,90
Ampas 3% 0,07 3 6,70 10,50
Ampas 4% 0,06 1,37 2,80 4,10
Nanoserat I 1% 2,40 30,60 46,20 57,20
Nanoserat I 2% 1,80 29,60 41,80 50,40
Nanoserat I 3% 0,70 16,30 25,90 34,10
Nanoserat I 4% 0,60 15,20 24,90 32,80
Nanoserat II 1% 3,20 36,40 50,30 59
Nanoserat II 2% 2,30 29,60 45,30 54,50
Nanoserat II 3% 1,10 22,90 37,40 49,50
Nanoserat II 4% 0,40 12 21,80 30,80
Nanoserat III 1% 2,80 33,20 47,80 58,40
Nanoserat III 2% 1,74 26,90 38,80 50,00
Nanoserat III 3% 0,90 21,20 37,10 49,10
Nanoserat III 4% 0,60 12,60 23 32,30
Simpulan
Pendahuluan
Sifat film pada umumnya mengalami perubahan atau kurang stabil selama
penyimpanan. Penyimpanan atau penggunaan film pada kondisi lingkungan
tertentu dapat mengubah sifat fisik dan kimia polimer yang digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan film. Perubahan kimiawi dalam film, misalnya oksidasi
dapat mendegradasi rantai polimer. Perubahan fisik film, meliputi rekristalisasi
polimer dan penurunan kelenturan film akibat migrasi bahan yang bersifat
pemlastis dapat menurunkan sifat mekanis film (Osés et al. 2009). Penurunan
mutu fisik dan mekanis film akan berimbas terhadap penurunan kemampuan
fungsional penggunaannya.
Film berbahan dasar pati dikenal sebagai film yang bersifat higroskopis,
yaitu dapat menyerap uap air dari udara. Namun, jika kelembaban udara di sekitar
film lebih kering, air dapat bermigrasi dari dalam menuju permukaan film dan
terlepas ke udara. Oleh karena itu, kelembaban relatif udara atau relative
humidity (RH) di sekitar penyimpanan dan penggunaan film merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanis film. Perubahan sifat
tersebut disebabkan antara lain disebabkan oleh migrasi bahan yang berperan
sebagai pemlastis, terutama air, dari dalam ke permukaan film. Laju migrasinya
tergantung pada polaritas dan struktur matriks film (Osés et al. 2009).
Penggunaan nanoserat selulosa telah diketahui dapat menghalangi
pergerakan molekul air dalam film. Migrasi air dari permukaan ke dalam matriks
film atau sebaliknya menjadi terhambat akibat pembentukan jalur difusi yang
berliku disebabkan oleh serat yang tersebar di dalam matriks film (Huq et al.
2012; Savadekar dan Mhaske 2012; Abdollahi et al. 2013). Penggunaan nanoserat
selulosa sebagai bahan pengisi diharapkan dapat menjaga kestabilan film yang
bersifat higroskopis terhadap perubahan kondisi RH selama penyimpanan maupun
penggunaan.
Metode pembuatan film tapioka dengan nanoserat selulosa yang dilakukan
dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, yaitu film dengan
penambahan nanoserat selulosa sebesar 1% b/b dari berat kering tapioka.
Nanoserat selulosa diperoleh dari serangkaian perlakuan alkali, bleaching, dan
perlakuan mekanis. Komposisi tersebut menghasilkan film dengan kekuatan
mekanis dan permeabilitas terhadap air yang dianggap dapat mewakili komposisi
film dengan nanoserat selulosa yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama
penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
47
Metode
Pembuatan Film
Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan
dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Film yang
dibuat terdiri atas dua jenis, yaitu film tapioka tanpa bahan pengisi dan film
tapioka dengan bahan pengisi berupa nanoserat tapioka. Tapioka sebanyak 4%
(basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil diaduk selama
15 menit. Sorbitol ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai
pemlastis. Larutan film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5
mm. Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet
dryer. Film yang terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan. Film tapioka dengan
bahan pengisi nanoserat selulosa dibuat dengan cara yang sama, namun dengan
penambahan nanoserat selulosa sebanyak 1% b/b dari berat kering tapioka.
Kondisi Penyimpanan
Film dipotong sesuai dengan bentuk potongan uji, yaitu berbentuk dayung
dan disimpan disimpan dalam wadah pada RH 75% dan RH 97% selama 7 hari.
RH dijaga konstan menggunakan larutan jenuh NaCl (RH 75%) dan K2SO4 (RH
97%) di dalam wadah kedap udara.
Rancangan Percobaan
Perbedaan sifat kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi dan dengan
bahan pengisi nanoserat selulosa pada RH 75% dan 97% selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 34. Peningkatan masa simpan film pada RH 75%
menyebabkan peningkatan kuat tarik film. Penyimpanan film pada RH 97%
ternyata menunjukkan pola sebaliknya, yaitu kuat tariknya cenderung menurun.
Selain itu, penyimpanan film pada RH 75% menghasilkan nilai kuat tarik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan film pada RH 97%.
3,5
3
Kuat tarik (N/mm2)
2,5
1,5
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)
mulai terjadi pada hari keempat. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya
nanoserat selulosa dapat menghambat penyerapan uap air dari udara akibat
penurunan sifat higroskopis film. Penurunan sifat higroskopis film terkait dengan
adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa, sehingga
dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air
(Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011).
Adanya jaringan atau belitan serat selulosa dalam matriks film dapat
menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film, sehingga
penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat penghambatan terhadap
migrasi uap air ke matriks film (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011;
Azeredo et al. 2012). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film pati
dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma
et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Kondisi RH 75% menunjukkan kondisi kelembaban udara yang lebih kering
dibandingkan RH 97%. Film pada kelembaban kering dapat melepaskan air yang
terkandung di dalamnya melalui proses difusi molekul air dari matriks film
menuju permukaan dan penglepasan (desorpsi) molekul air ke udara. Sebaliknya,
pada kondisi RH penyimpanan 97% terjadi peristiwa adsorpsi uap air dari udara
ke permukaan film dan dilanjutkan dengan migrasi uap air dari permukaan ke
bagian dalam matriks film. Perubahan kandungan uap air film tercermin pada
perubahan bobot film selama penyimpanan (Gambar 35).
Migrasi uap air ke dalam matriks film dapat melemahkan interaksi rantai-
rantai polimer, sehingga film menjadi lebih lunak (Rachtanapun dan Wongchaiya
2012). Pelemahan ini diduga disebabkan oleh uap air dari udara yang masuk ke
dalam matriks film. Air dalam matriks film dapat melemahkan interaksi di antara
rantai polimer film, sehingga menurunkan kepaduan dan elastisitas film (Bertuzzi
et al. 2012; Rachtanapun dan Wongchaiya 2012).
Pelemahan interaksi antar polimer yang satu dengan yang lain dalam
matriks film dengan adanya air dapat meningkatkan mobilitas rantai polimer. Air
dalam hal ini berperan seperti bahan pemlastis yang menghalangi interaksi rantai
polimer secara langsung, sehingga meningkatkan mobilitas rantai polimer
(Schmidt et al. 2013). Penggunaan bahan pemlastis sampai batas tertentu dapat
meningkatkan nilai pemanjangan putus. Namun, film yang disimpan pada RH
97% menunjukkan nilai pemanjangan putus yang rendah dan cenderung menurun
sampai hari ketiga dan selanjutnya cenderung stabil sampai hari ketujuh (Gambar
36).
160
140
Pemanjangan putus (%)
120
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)
25
Modulus elastisitas (N/mm2)
20
15
10
0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)
Simpulan
Nilai kuat tarik, pemanjangan putus, dan modulus elastisitas film pada
kondisi penyimpanan 75% tampak lebih tinggi daripada film yang disimpan pada
kondisi 97%. Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari
menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan
putusnya menurun. Peningkatan nilai kuat tarik dan penurunan pemanjangan
putus film tapioka tanpa bahan pengisi relatif lebih tajam dibandingkan dengan
nilai kuat tarik dan pemanjangan putus film tapioka dengan nanoserat selulosa.
Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati.
Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat
tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai
modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
53
6 PEMBAHASAN UMUM
Metode isolasi nanoserat selulosa yang dilakukan dalam penelitian ini telah
berhasil memperoleh nanoserat selulosa dari ampas tapioka. Perubahan ukuran
serat menjadi serat berukuran nano menyebabkan perubahan sifat serat, yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku suatu produk tertentu untuk
memodifikasi sifat produk yang dihasilkan ke arah sifat yang diinginkan.
Ukuran serat yang lebih kecil dengan adanya asam sulfat menunjukkan
proses disintegrasi serat menjadi lebih intensif. Perubahan tersebut diikuti oleh
perubahan komponen serat lain, terutama lignin dan hemiselulosa, sehingga sifat
fisikokimia serat juga berubah. Perubahan sifat fisikokimia dapat dideteksi antara
lain melalui pengamatan terhadap sifat zeta potential (ZP), keberadaan gugus
fungsional tertentu, dan kristalinitas.
Nilai ZP merupakan nilai yang menunjukkan kestabilan partikel dalam
suspensi. Sifat ini penting dalam hubungannya dengan pembentukan formulasi
yang homogen. Nilai ZP yang rendah menunjukkan partikel atau serat cenderung
untuk mengendap atau membentuk aglomerat, sehingga akan mengurangi
kehomogenan bahan. Matriks film yang kurang homogen dapat mengurangi
kualitas mekanis film yang dihasilkan.
Penurunan ukuran partikel pada umumnya meningkatkan kestabilannya
dalam suspensi. Hal ini terkait dengan peningkatan luas permukaan yang
berpengaruh pula terhadap gugus-gugus fungsional yang terekspos di permukaan.
Gugus-gugus tersebut akan menghasilkan gaya tarik-menarik atau tolak-menolak.
Peristiwa tolak-menolak dapat terjadi jika partikel bermuatan sejenis. Gaya
tersebut akan besar jika perbedaan muatan listrik di permukaan juga besar.
Perbedaan muatan listrik di permukaan partikel diukur dengan ZP
Berdasarkan hasil TEM diketahui bahwa diameter atau ukuran nanoserat
selulosa yang dihasilkan metode III lebih kecil daripada metode I, namun
menghasilkan nilai ZP yang lebih kecil, yaitu 33,75 mV, sedangkan metode I
menghasilkan nilai ZP 52,45 mV. Nilai ZP yang lebih kecil ini diduga
dipengaruhi oleh residu sulfat yang bermuatan negatif pada permukaan serat
setelah perlakuan hidrolisis asam pada metode III. Reaksi ikatan gugus sulfat pada
permukaan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 38.
Gambar 38 Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa (Lu
dan Hsieh 2010)
54
40
38
Indeks kristalinitas (%)
36
34
32
30
30 40 50 60
Zeta potential (mV)
2,5
Kuat tarik (N/mm2)
1,5
0,5
0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)
Nilai rata-rata kuat tarik film berbahan pengisi nanoserat selulosa yang
dihasilkan dari metode III atau metode asam (2,30 N/mm2), cenderung lebih
rendah dibandingkan metode I (2,59 N/mm2) dan II (2,35 N/mm2). Apabila
dikaitkan dengan nilai ZP nya, metode III menunjukkan nilai ZP yang lebih kecil
dibandingkan metode I dan II. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kestabilan
suspensi nanoserat berperan penting dalam distribusi nanoserat dalam matriks
film, sehingga memberikan efek kekuatan film yang cukup berarti. Apabila
dikaitkan dengan pengaruh ZP terhadap indeks kristalinitas (Gambar 46), ZP yang
tinggi berhubungan dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang tinggi.
Penggunaan bahan pengisi dengan kristalinitas tinggi dapat meningkatkan
kristalinitas matriks film, sehingga kekerasan atau kekakuan film turut meningkat.
Perubahan kekakuan film dapat berpengaruh pula terhadap kelenturan film.
Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film dapat dilihat
pada Gambar 41.
56
30
20
15
10
0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)
200
180
170
160
150
30 40 50 60
Zeta potential (mV)
40
(g.mm/m2.hari.kPa)
35
30
25
20
15
Permeabilitas
10
0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)
Jalur difusi
Zona belitan
Gambar 44 Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa (Belbekhouche
et al. 2011)
70
65 400 nm
Transmitansi rata-rata (%)
450 nm
60 500 nm
550 nm
55 600 nm
650 nm
50 700 nm
750 nm
45 800 nm
40
30 35 40 45 50 55 60
Zeta potential (mV)
50
Transmitansi rata-rata (%)
40
30 200 nm
250 nm
20
300 nm
350 nm
10
0
30 35 40 45 50 55 60
Zeta potential (mV)
2,5
Kuat tarik (N/mm2)
1,5
0,5
0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)
Indeks kristalinitas yang tinggi menunjukkan nilai kuat tarik yang tinggi
pula. Kristalinitas bahan setelah perlakuan pembuatan nanomaterial tampak
meningkat. Kristalinitas yang tinggi diasosiasikan dengan nilai kuat tarik serat
yang tinggi, sehingga ideal untuk dijadikan bahan penguat (Alemdar dan Sain
2008). Penghilangan bahan selain selulosa pada serat ampas tapioka dapat
meningkatkan kristalinitasnya. Kristalinitas bahan telah diketahui berperan
penting dalam memengaruhi sifat mekanis film. Metode II tampak menghasilkan
indeks kristalinitas 39,73%, lebih besar dibandingkan dengan metode I dan II,
yaitu 33,25% dan 31,23%. Namun, film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari
metode II menghasilkan nanoserat selulosa dengan sifat kristalinitas yang paling
tinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan XRD, namun sifat kuat tarik film
dengan bahan pengisi nanoserat selulosa dari metode II tampak lebih rendah
daripada metode I. Hal ini diduga karena adanya kerusakan pada struktur selulosa
saat hidrolisis asam. Apabila dikaitkan dengan spektrum FTIR pada metode II,
tampak ada serapan inframerah pada bilangan gelombang sekitar 1730 cm-1
Serapan inframerah pada bilangan gelombang tesebut disebabkan oleh cincin
glukopiranosa yang terbuka akibat pemutusan rantai dan memicu oksidasi gugus
C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008).
Kemunculan puncak pada hasil XRD yang menunjukkan peningkatan kristal
selulosa II pada nanoserat selulosa hasil isolasi dengan metode II dan III diduga
turut berperan dalam menurunkan sifat kuat tarik film. Perubahan struktur kristal
dari selulosa I ke selulosa II dapat terjadi akibat perlakuan alkali dengan
konsentrasi 5% (Gupta et al. 2013), sedangkan El Oudani et al. (2011)
menyatakan bahwa kadar alkali > 2% sudah dapat menyebabkan perubahan
struktur kristal selulosa. Perubahan struktur kristal selulosa tersebut dapat diikuti
dengan degradasi rantai selulosa, sehingga melemahkan serat.
61
Hubungan antara kristalinitas dan sifat pemanjangan putus film dapat dilihat
pada Gambar 48. Kristalinitas nanoserat selulosa tampak berperan penting dalam
mempertahankan integritas film, sehingga tidak putus saat ditarik. Serat dengan
kristalinitas tinggi memiliki kemampuan berinteraksi yang tinggi antara serat
dengan polimer dan antara serat dan serat. Peningkatan interaksi polimer dalam
matriks film menyebabkan integritas film makin baik, sehingga dapat menahan
gaya yang mendeformasi film.
30
25
Pemanjangan putus (%)
20
15
10
0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)
220
210
Laju transmisi (g/m2.hari)
200
190
180
170
160
150
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)
50
Permeabilitas (g.mm/m2.hari.kPa)
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)
70
400 nm
60
Transmitansi rata-rata (%)
450 nm
50 500 nm
550 nm
40
600 nm
30
650 nm
20 700 nm
10 750 nm
800 nm
0
0 10 20 30 40 50 60
Indeks kristalinitas (%)
60
50
Transmitansi rata-rata (%)
40
200 nm
30
250 nm
20 300 nm
350 nm
10
0
0 10 20 30 40 50 60
Indeks kristalinitas (%)
Simpulan
Simpulan
penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat
selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan
kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan
transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan
bahan pengisi.
Saran
DAFTAR PUSTAKA
Dias AB, Müller CMO, Larotonda FDS, Laurindo JB. 2011. Mechanical and
barrier properties of composite film based on rice flour and cellulose fibers.
LWT-Food Sci Technol 44:535-542.
Dimmel D. 2010. Overview. Di dalam: Heitner C, Dimmel DR, Schmidt JA,
editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca Raton: CRC Press;
hlm 1-10.
Dong H, Strawhecker KE, Snyder JF, Orlicki JA, Reiner RS, Rudie AW. 2012.
Cellulose nanocrystals as a reinforcing material for electrospun poly(methyl
methacrylate) fibers: formation, properties and nanomechanical
characterization. Carbohyd Polym 87:2488-2495.
Eichhorn SJ, Dufresne A, Aranguren M, Marcovich NE, Capadona JR, Rowan SJ,
Weder C, Thielemans W, Roman M, Renneckar S et al. 2010. Review: current
international research into cellulose nanofibres and nanocomposites. J Mater
Sci 45:1-33.
Elanthikkal S, Gopalakrishnapanicker U, Varghese S, Guthrie JT. 2010. Cellulose
microfibres produced from banana plant wastes: isolation and characterization.
Carbohyd Polym 80:852–859.
El Oudiani A, Chaabouni Y, Msahli S, Sakli F. 2011. Crystal transition from
cellulose I to cellulose II in NaOH treated Agave americana L. fibre. Carbohyd
Polym 86:1221-1229.
Famá L, Gerschenson L, Goyanes S. 2009. Starch-vegetable fibre composites to
protect food products. Carbohyd Polym 75:230-235.
Fauzi AM, Rahmawakhida A, Hidetoshi Y. 2010. Kajian produksi bersih di
industri kecil tapioka: kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. J Tek
Ind Pert 18(2):60-65.
Ferreira FAB, Grossmann MVE, Mali S, Fábio Yamashita F, and Cardoso LP.
2009. Effect of relative humidities on microstructural, barrier and mechanical
properties of yam starch-monoglyceride films. Braz Arch Biol Technol
52(6):1505-1512.
Ghasemzadeh R, Karbassi A, Ghoddousi HB. 2008. Application of edible coating
for improvement of quality and shelf-life of raisins. World Appl Sci J 3(1):82-
87.
Gellerstedt G. 2010. Chemistry of Pulp Bleaching. Di dalam: Heitner C, Dimmel
DR, Schmidt JA, editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca
Raton: CRC Press; hlm 393-438.
Gilfillan WN, Nguyen DMT, Sopade PA, Doherty WOS. 2012. Preparation and
characterisation of composites from starch and sugar cane fibre. Ind Crop Prod
40:45-54.
Guimarães JL, Wypych F, Saul CK, Ramos LP, Satyanarayana KG. 2010.
Studies of the processing and characterization of corn starch and its composites
with banana and sugarcane fibers from Brazil. Carbohyd Polym 80:130-138.
Gupta PK, Uniyala V, Naithani S. 2013. Polymorphic transformation of cellulose
I to cellulose II by alkali pretreatment and urea as an additive. Carbohyd Polym
94:843– 849.
Habibi Y, Mahrouz M, Vignon MR. 2009. Microfibrillated cellulose from the peel
of prickly pear fruits. Food Chem 115:423–429.
71
Lastriyanto A, Argo BD, Sumardi HS, Komar N, Hawa LC, Hermanto MB. 2007.
Penentuan koefisien permeabilitas film edibel terhadap transmisi uap air, gas
O2, dan gas CO2. J Tek Pert 8(3):182-187.
Lavoine N, Desloges I, Dufresne A, Bras J. 2012. Microfibrillated cellulose. Its
barrier properties and application in cellulosic materials: a review. Carbohyd
Polym 90:735-764.
Liang YL, Pearson RA. 2009. Toughening mechanisms in epoxy-silica nano-
composites (ESNs). Polymer 50:4895–4905.
Lin OH, Ishak ZAM, Akil HM. 2009. Preparation and properties of nanosilica-
filled polypropylene composites with PP-methyl POSS as compatibiliser.
Mater Design 30:748–751.
Liu D, Chen X, Yue Y, Chen M, Wu Q. 2011. Structure and rheology of
nanocrystalline cellulose. Carbohyd Polym 84:316-322.
Liu M, Zhou Y, Zhang Y, Yu C, Cao S. 2013. Preparation and structural analysis
of chitosan films with and without sorbitol. Food Hydrocolloids 33:186-191.
Lönnberg H, Fogelström L, Berglund MASASL, Malmström E, Hult A. 2008.
Surface grafting of microfibrillated cellulose with poly(ε-caprolactone).
Synthesis and characterization. Eur Polym J 44:2991-2997.
Lu P, Hsieh YL. 2010. Preparation and properties of cellulose nanocrystals: rods,
spheres, and network. Carbohyd Polym 82:329-336.
Ludueña L, Vázquez A, Alvares V. 2012. Effect of lignocellulosic filler type and
content on the behavior of polycaprolactone based eco-composites for
packaging applications. Carbohyd Polym 87:411-421.
Ma H, Zhou B, Li HS, Li YQ, Ou SY. 2011. Green composite films composed
of nanocrystalline cellulose and a cellulose matrix regenerated from
functionalized ionic liquid solution. Carbohyd Polym 84:383-389.
Ma X, Yu J, Kennedy JF. 2005. Studies on the properties of natural fibers-
reinforced thermoplastic starch composites. Carbohyd Polym 62:19-24.
Mandal A, Chakrabarty D. 2011. Isolation of nanocellulose from waste sugarcane
bagasse (SCB) and its characterization. Carbohyd Polym 86:1291-1299.
Mbey JA, Hoppe S, Thomas F. 2012. Cassava starch-kaolinite composite film.
Effect of clay content and clay modification on film properties. Carbohyd
Polym 88:213-222.
Menezes AJ, Siqueira G, Curvelo AAS, Dufresne A. 2009. Extrusion and
characterization of functionalized cellulose whiskers reinforced polyethylene
nanocomposites. Polymer 50:4552-4563.
Mondragón M, Arroyo K, Garcia JR. 2008. Biocomposites of thermoplastic
starch with surfactant. Carbohyd Polym 74:201-208.
Morán JI, Alvarez VA, Cyraz VP, Vázquez A. 2008. Extraction of cellulose and
preparation of nanocellulose from sisal fibers. Cellulose 15:149-159.
Moura MR, Avena-Bustillos RJ, McHugh TH, Wood DF, Caio G. Otoni CG, Luiz
H.C. Mattoso LHC. 2011. Miniaturization of cellulose fibers and effect of
addition on the mechanical and barrier properties of hydroxypropyl
methylcellulose films. J Food Eng 104:154-160.
Mulinari DR, Voorwald HJC, Cioffi MOH, Silva MLCP da, Luz SM. 2009.
Preparation and properties of HDPE/sugarcane bagasse cellulose composites
obtained for thermokinetic mixer. Carbohyd Polym 75:317-321.
73
LAMPIRAN
F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 194,03 194,03 2821,03
Jenis serat (A) 3 5,69 1,90 27,57 3,10 4,94
Kadar serat serat (B) 4 6,04 1,51 21,95 2,87 4,43
Interaksi 12 1,65 0,14 2,00 2,28 3,23
Galat 20 1,38 0,07
Jumlah 40 208,78
F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 1348,125,72 1348125,72 70954,49
Jenis serat (A) 3 10124,44 3374,81 177,62 3,10 4,94
Kadar serat (B) 4 62520,45 15630,11 822,64 2,87 4,43
Interaksi 12 3132,68 261,06 13,74 2,28 3,23
Galat 20 380,00 19,00
Jumlah 40 1424283,28
RIWAYAT HIDUP