Anda di halaman 1dari 99

ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS

TAPIOKA DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN


PENGISI FILM TAPIOKA

RUMPOKO WICAKSONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Isolasi Nanoserat


Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film
Tapioka adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2013

Rumpoko Wicaksono
NIM F361080071
RINGKASAN

RUMPOKO WICAKSONO. Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan


Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka. Dibimbing oleh KHASWAR
SYAMSU, INDAH YULIASIH dan MUHAMAD NASIR.

Film berbahan dasar pati dibatasi oleh sifat mekanisnya yang buruk. Salah
satu usaha yang dapat dilakukan untuk memperbaiki sifat mekanis film tersebut
yaitu menggunakan serat atau serat berukuran nano sebagai bahan penguat.
Ampas tapioka, suatu hasil samping industri pati ubikayu (tapioka), merupakan
salah satu sumber serat alam.Nanoserat selulosa dari sumber yang dapat
diperbarui akhir-akhir ini lebih mendapat perhatian karena memiliki sifat mekanis
yang baik dan ramah lingkungan.
Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk:(1) mendapatkan informasi
tentang karakter nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang dihasilkan
menggunakan beberapa metode isolasi; (2) mengetahui sifat mekanis dan fisis
film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3) mengetahui kestabilan sifat mekanis
film selama penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
Isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka dilakukan melalui tiga metode, yaitu
metode I (perlakuan alkali + bleaching + mekanis), metode II (perlakuan alkali +
bleaching + hidrolisis asam + mekanis), dan metode III (hidrolisis asam +
mekanis).
Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30
nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode
III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan
suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan
dengan nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan
33,75 mV. Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas
bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I),
39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III).
Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film
tapioka sebesar 2,44-2,71 N/mm2, namun cenderung menurunkan pemanjangan
putus film, sebesar 16,51-31,14%. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar
143,21-166,56 g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar
28,52-31,98 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan
transparansi film.
Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari menyebabkan nilai
kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan putusnya menurun.
Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati.
Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat
tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai
modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan
kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga
terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh
terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai
penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat
selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan
kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan
transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan
bahan pengisi.

Kata kunci: nanoserat selulosa, ampas tapioka, bahan pengisi, film tapioka
SUMMARY

RUMPOKO WICAKSONO. Isolation of Cellulose Nanofibers from Cassava


Bagasse and Its Use as Tapioca-Film Filler. Supervised by KHASWAR
SYAMSU, INDAH YULIASIH and MUHAMAD NASIR.

Starch-based films limit their application due to poor mechanical properties.


An effort to overcome these poor characteristics was using fibers or nanofibers as
reinforcement filler. Cassava bagasse, a solid by-product of cassava starch
industry, is a source of natural fibers. Cellulose nanofibers from the renewable
sources have gained more attention in recent years because of their exceptional
mechanical properties and environmental friendly.
This research aims: (1) to know of cellulose nanofibers character produced
from cassava bagasse; (2) to know physical and mechanical properties of film
produced by application of cellulose nanofibers; and (3) to know of mechanical
properties stability of film during storage at different environmental humidity
conditions. Cellulose nanofibres from cassava bagasse were obtained by three
methods, namely method I (alkali treatment + bleaching + mechanical treatment),
method II (alkali treatment + bleaching + acid hydrolysis + mechanical treatment),
and method III (acid hydrolysis + mechanical treatment).
Cellulose nanofibers produced from method I have diameter of 20-30 nm,
while cellulose nanofibers produced from method II and III have diameter of 5-8
nm with several micrometer of length. Cellulose nanofibers suspension have good
stability, indicated by zeta potential value of method I, II, and III are 46.47 mV,
52.45 mV, and 33.75 mV, respectively. All method improved crystallinity of
fibers from 14.52% in cassava bagasse to 33.25% (method I), 39.73% (method II),
and 31.23% (method III).
It was observed that the addition of cellulose nanofibers was improved
tensile strength of films as much as 2.44-2.71 N/mm2, but tends to decrease of
elongation at break as much as 16.51-31.14%. Water vapour transmission rate of
film in range 143.21-166.56 g/m2.day and water vapoor permeability of film is
28.52-31.98 g.mm/m2.day.kPa. The addition of cellulose nanofibers also
decreased the transparency of film.
Storage condition with RH 75% for seven days cause tensile strength
generally increased but elongation at break is decreased. Modulus of elasticity of
film has increased during storage, indicating that the film stiffness also increased.
Storage condition with RH 97% for seven days caused tensile strength and
elongation at break decreased. Modulus of elasticity of film tends to decrease,
indicating film structure getting soft during storage.
Stability of cellulose nanofibers suspension not only reflects its ability to be
well distributed in the matrix of the film, but also related to the crystallinity of
cellulose nanofibers, further affect the mechanical properties of the film,
improving the effectiveness cellulose nanofibers as a water vapour transmission
barrier, and to support the transparency properties of the film. Cellulose
nanofibers with higher crystallinity not only support the increased the strength of
the film, but it can increase the effectiveness of the film as a water vapour
transmission barrier, as well as inhibit the reduction of film transparency due to
the use of fillers.

Keywords: cellulose nanofibers, cassava bagasse, filler, tapioca-film


© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ISOLASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA
DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN PENGISI
FILM TAPIOKA

RUMPOKO WICAKSONO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor
pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr. Liesbetini Hartoto, M.S.
2. Dr. Akhiruddin Maddu, M.Si.

Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr. Nugraha Edhi Suyatma, S.TP., DEA
2. Dr. Nurul Taufiqu Rochman, Ph.D., M.Eng.
Judul Disertasi : Isolasi Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan
Aplikasinya Sebagai Bahan Pengisi Film Tapioka
Nama : Rumpoko Wicaksono
NIM : F361080071

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof. Dr.Ir. Khaswar Syamsu, M.Sc.


Ketua

Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si. Dr. Eng. Muhamad Nasir


Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana


Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.

Tanggal Ujian: 22Agustus 2013 Tanggal Lulus: 30 Agustus 2013


PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wata’ala atas
segala karunia-Nya sehingga disertasi ini berhasil diselesaikan. Terima kasih
penulis ucapkan kepada Komisi Pembimbing, yaitu Prof. Dr. Ir. Khaswar
Syamsu, M.Sc., Dr. Indah Yuliasih, S.TP., M.Si., dan Dr. Eng. Muhamad Nasir,
yang telah memberi arahan dan masukan selama penelitian dan penulisan disertasi
ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada Ketua Program Studi Teknologi
Industri Pertanian beserta pengelola dan staf yang sudah banyak membantu dan
memberi layanan yang baik selama penulis menjadi mahasiswa.Selain itu, ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada pihak Pimpinan Universitas Jenderal
Soedirman yang telah memberi izin penulis untuk menempuh studi di Sekolah
Pascasarjana IPB, serta kepada pihak DIKTI yang telah memberi dukungan
melalui pemberian beasiswa BPPS.Ungkapan terima kasih juga disampaikan
kepada keluarga besar penulis atas segala doa dan dukungannya, serta kepada
semua pihak yang telah berjasa dalam memperlancar kegiatan studi penulis,
termasuk pihak pengelola jurnal ilmiah yang telah menerima sebagian karya ini
untuk dipublikasikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2013

Rumpoko Wicaksono
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xv
DAFTAR GAMBAR xv
DAFTAR LAMPIRAN xvi
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian 2
Tujuan Penelitian 5
Manfaat Penelitian 5
Ruang Lingkup Penelitian 5
2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa 6
Nanoserat Selulosa 8
Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai
Bahan Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan
Film 14
3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT SELULOSA DARI
AMPAS TAPIOKA
Pendahuluan 18
Metode 19
Hasil dan Pembahasan 21
Simpulan 33
4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA
SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA
Pendahuluan 34
Metode 35
Hasil dan Pembahasan 37
Simpulan 45
5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG PENYIMPANAN
TERHADAP KESTABILAN SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA
Pendahuluan 46
Metode 47
Hasil dan Pembahasan 49
Simpulan 52
6 PEMBAHASAN UMUM 55
Simpulan 65
7 SIMPULAN DAN SARAN 66
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 76

RIWAYAT HIDUP 83
DAFTAR TABEL
1 Dimensi nanoserat selulosa 10
2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya 16
3 Hasil pengamatan FTIR 28
4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak 44
5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet 45

DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pikir perumusan masalah 4
2 Unit glukopiranosa selulosa 6
3 Konfigurasi selulosa 6
4 Model struktur serat selulosa 8
5 Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya 9
6 Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils 9
7 Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan
bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa 10
8 Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers 11
9 Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka 20
10 Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran
20 X (A) dan 100 X (B) 22
11 Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa 23
12 Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam
alkali 24
13 Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka
melalui hidrolisis asam 24
14 Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa 25
15 Spektrum FTIR ampas tapioka 26
16 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I 26
17 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II 27
18 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III 27
19 Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric (B) 28
20 Struktur dasar hemiselulosa 28
21 Gugus fungsional lignin 29
22 Ikatan β-1-4 glikosida 29
23 Difraktogram ampas tapioka 30
24 Difraktogram nanoserat selulosa 31
25 Struktur selulosa I dan II 32
26 Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film 38
27 Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film 38
28 Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film 40
29 Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film 40
30 Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air 41
31 Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air 42
32 Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air 42
33 Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air 43
34 Kuat tarik film tapioka selama penyimpanan 49
35 Perubahan bobot film selama penyimpanan 50
36 Pemanjangan putus film selama penyimpanan 51
37 Modulus elastisitas film selama penyimpanan 52
38 Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa 53
39 Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa 54
40 Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film 55
41 Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film 56
42 Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film 57
43 Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air 57
44 Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa 58
45 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya tampak 59
46 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang
cahaya ultraviolet 59
47 Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film 60
48 Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film 61
49 Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air 62
50 Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air 62
51 Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada
permukaanserat 63
52 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya tampak 64
53 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada
gelombang cahaya ultraviolet 64

DAFTAR LAMPIRAN
1 Analisis statistik kuat tarik film 76
2 Analisis statistik pemanjangan putus film 77
3 Analisis statistik laju transmisi uap air 78
4 Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air film 79
5 Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan 80
6 Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan 81
7 Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan 82
1

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pati merupakan bahan yang banyak digunakan sebagai bahan baku maupun
sebagai bahan campuran dalam pembuatan kemasan ramah lingkungan. Pati
mudah diperoleh, dapat diperbarui, dan dapat terbiodegradasi, sehingga
berpotensi sebagai bahan alternatif pengganti plastik sintetis untuk aplikasi
pengemasan (Savadekar dan Mhaske 2012). Tapioka merupakan salah satu jenis
pati yang banyak diteliti dan digunakan sebagai bahan baku kemasan ramah
lingkungan, terutama di daerah tropis.
Sifat fisis dan mekanis film berbahan dasar pati pada umumnya masih lebih
rendah dibandingkan dengan film berbahan dasar petrokimia. Sifat penting yang
harus diperhatikan dalam pembuatan film adalah kekuatan, kelenturan, dan
kestabilannya selama pemakaian dan penyimpanan. Alternatif peningkatan
kekuatan film dapat ditempuh dengan cara menggunakan bahan pengisi (filler)
yang bersifat memperkuat (reinforcement).
Bahan pengisi dapat berfungsi secara ekonomis dan teknis. Secara
ekonomis, penggunaan bahan pengisi dapat menekan biaya produksi jika
harganya lebih murah daripada polimer utamanya, sedangkan secara teknis, dapat
memodifikasi polimer utamanya menjadi bahan dengan sifat yang dikehendaki,
seperti meningkatkan kekakuan pada bahan yang terlalu lentur, meningkatkan
kekuatan, mengurangi kerutan dan kecenderungan untuk bengkok (Xanthos
2010).
Salah satu bahan yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan
pengisi adalah serat alam. Serat alam lignoselulosa merupakan salah satu
biopolimer yang paling banyak di muka bumi, sehingga mudah diperoleh di
berbagai daerah (Siró dan Plackett 2010). Serat alam juga memiliki beberapa
keunggulan dari segi ekonomi, lingkungan, dan teknis. Energi yang diperlukan
untuk memproduksi serat alam relatif rendah dan tidak memerlukan peralatan
khusus yang mahal, dapat diperbarui dan tidak menghasilkan karbondioksida
yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan, sehingga menguntungkan dari segi
lingkungan (John dan Thomas 2008).
Serat alam juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu
menghasilkan kekuatan yang tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai bahan
penguat dan bersifat nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan.
Kemampuan serat alam sebagai bahan pengisi penguat telah dibuktikan pada
produk berbahan dasar polietilen (Menezes et al. 2009; Prachayawarakorn et al.
2010), karet alam (Bras et al. 2010; Pasquini et al. 2010), pati termoplastik (Ma et
al. 2005; Teixeira et al. 2009), polipropilen (Qiu et al. 2006; Reddy dan Yang
2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta pati (Famá et al. 2009; Dias et
al. 2011).
Penggunaan serat tidak hanya memberi penguatan saja, namun juga dapat
memberi efek penahanan, antara lain meningkatkan kemampuan penahanan film
pati terhadap uap air (Müller et al. 2009a; Belbekhouce et al. 2011), penahanan
terhadap oksigen dan minyak (Aulin et al. 2010). Penggunaan serat juga dapat
meningkatkan kemampuan biodegradasi karet alam (Bras et al. 2010),
2

memudahkan pembentukan film amilopektin (Rubio et al. 2007), dan


meningkatkan kestabilan panas pati termoplastik (Ma et al. 2005; Chang et al.
2010).
Salah satu sumber serat selulosa yang penting untuk industri adalah kayu.
Adanya kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan,
perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari
sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber
selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, hemp, sisal, dan
lain-lain, berpotensi untuk dieksplorasi.
Bahan nonkayu sebagai sumber serat alam memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat dipanen dalam waktu yang lebih
singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat mengurangi eksploitasi penebangan
hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam untuk kepentingan industri
(Subyakto et al. 2009). Selain itu, limbah pertanian atau hasil samping
agroindustri yang kaya serat juga menjadi alternatif dalam perolehan serat
selulosa. Limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung
sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga
memudahkan dalam mendapatkan serat (Siró dan Plackett 2010).
Ampas tapioka merupakan sisa ekstraksi pati ubi kayu. Ubi kayu merupakan
salah satu tanaman perkebunan penting di Indonesia. Produksi ubi kayu nasional
pada tahun 2010 mencapai 23.918.118 ton (KEMENTAN 2012). Sekitar 26% ubi
kayu digunakan sebagai bahan baku dalam industri tapioka (Hermiati et al. 2012).
Ekstraksi tapioka dari 100 kg ubi kayu menghasilkan tapioka kasar sekitar 22 kg
dan limbah padat berupa ampas tapioka sebanyak 54,5 kg (Fauzi et al. 2010).
Ketersediaan ampas tapioka di Indonesia di tahun 2011 mencapai 11.328.986 kg
(BPS, 2013). Apabila ampas tapioka tidak diproses lebih lanjut menjadi produk
lain, dapat menimbulkan pencemaran lingkungan.
Perkembangan nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti untuk
mengisolasi serat berukuran nano. Hal ini terkait dengan adanya sifat atau
fenomena baru yang muncul jika materi tersebut digunakan pada skala nano
akibat perubahan sifat fungsional bahan, terkait dengan perubahan sifat
dispersinya (Lin et al. 2009), peningkatan luas permukaan partikel yang dapat
memfasilitasi terbentuknya interaksi yang lebih besar dengan bahan lain, sehingga
dapat meningkatkan efisiensi penguatan (Liang dan Pearson 2009). Sehubungan
dengan hal tersebut, terbuka peluang untuk memanfaatkan limbah hasil pertanian
yang kaya selulosa dengan pendekatan nanoteknologi dengan harapan dapat
meningkatkan daya guna bahan yang dihasilkan.

Perumusan Masalah dan Kebaruan (Novelty) Penelitian

Ampas tapioka merupakan limbah padat industri tapioka yang dihasilkan


dalam jumlah yang cukup besar, yaitu sekitar 50% dari bahan baku yang
digunakan. Ampas tapioka masih mengandung sisa pati dan serat dengan kadar
air yang masih cukup tinggi, sekitar 70%, dan berpotensi mencemari lingkungan
jika tidak dimanfaatkan. Ampas tapioka telah dimanfaatkan sebagai bahan baku
pembuatan pakan ternak, bioetanol, dan lain-lain. Kandungan serat dalam ampas
3

tapioka berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pengisi untuk memperbaiki


sifat fisis dan mekanis film.
Penggunaan serat tidak terbatas dalam bentuk utuhnya saja, namun
dikembangkan dalam bentuk selulosa murninya. Serat tersusun atas lignin,
selulosa, dan hemiselulosa. Kadar lignin dalam ampas tapioka mencapai 2,83%,
selulosa 15,63%, dan hemiselulosa 4,58% (Rattanachomsri et al. 2009).
Perkembangan aplikasi nanoteknologi di berbagai bidang, menarik peneliti terkait
untuk mengekstraksi serat hingga berukuran nano atau 10-9 meter. Hal ini terkait
dengan adanya sifat atau fenomena baru yang muncul jika materi tersebut
diaplikasikan pada skala nano akibat perubahan sifat fungsional bahan. Perubahan
ini berhubungan dengan perubahan sifat dispersinya (Lin et al. 2009), peningkatan
luas permukaan partikel yang dapat memfasilitasi terbentuknya interaksi yang
lebih besar dengan bahan lain, sehingga dapat meningkatkan efisiensi penguatan
(Liang dan Pearson 2009). Berdasarkan potensi ketersediaan ampas tapioka dan
pengaruh positif penggunaan serat selulosa, serta adanya peluang untuk perubahan
sifat bahan yang lebih baik akibat aplikasi serat berukuran nano, maka perlu dikaji
penggunaan serat nanoselulosa dalam pembuatan film.
Teixeira et al. (2009) telah melakukan isolasi nanoserat selulosa dari ampas
tapioka dan digunakan sebagai bahan penguat pati termoplastik. Isolasi dilakukan
secara langsung dari bahan baku dengan metode hidrolisis asam dan ultrasonikasi.
Perlakuan hidrolisis menggunakan asam kuat merupakan metode yang umum
dilakukan untuk mengisolasi nanoserat selulosa, terutama untuk menghasilkan
whiskers. Perlakuan hidrolisis asam juga dapat digunakan untuk menghidrolisis
hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, serta selanjutnya xilosa terdegradasi
membentuk furfural. Asam juga dapat menghidrolisis polisakarida lain seperti
residu pati menjadi gula sederhana (Adel et al. 2010).
Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas nanoserat selulosa yang disatukan
oleh hemiselulosa. Serat-serat elementer dan hemiselulosa dilindungi oleh lapisan
lignin (John dan Thomas 2008). Lignin dapat dihilangkan dengan perlakuan
bleaching (pemucatan), sehingga teroksidasi dan lebih mudah larut dalam alkali
(Gellerstedt 2010). Larutan alkali juga diketahui dapat menghidrolisis
hemiselulosa (Abe dan Yano 2009). Penghilangan lignin dan hemiselulosa akan
memudahkan proses isolasi nanoserat selulosa. Penghilangan bahan non-selulosa,
terutama lignin, diharapkan dapat meningkatkan adhesi antara serat selulosa dan
matriks film yang bersifat hidrofilik, seperti pati (Abraham et al. 2011). Lignin
merupakan bahan yang relatif hidrofobik dan amorf. Penghilangan lignin dan
bahan non-selulosa lain dapat meningkatkan interaksi antara serat dengan matriks
film berbasis pati (Azeredo et al. 2012).
Sehubungan dengan hal tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan
lain dalam mengisolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka, yaitu melibatkan
perlakuan alkali dan bleaching. Informasi tentang pengaruh penggunaan nanoserat
selulosa sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka masih terbatas,
sehingga penelitian ini juga mengkaji pengaruh penggunaan nanoserat selulosa
yang dihasilkan sebagai bahan pengisi film berbahan dasar tapioka, serta evaluasi
kestabilan sifat film yang dihasilkan jika disimpan selama waktu tertentu pada
kelembaban lingkungan yang berbeda. Kerangka pikir perumusan masalah dan
kajian penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
4

FILM BERBASIS PATI

 Pati merupakan bahan


AMPAS TAPIOKA yang banyak digunakan
sebagai bahan dasar
KONDISI Ketersediaan dan pembuatan film ramah
kandungan serat sisa lingkungan
ekstraksi pati  Tapioka merupakan
salah satu pati yang
mudah didapatkan di
Indonesia

Kendala sifat mekanis


Potensi pencemaran
dan fisis film berbahan
PERMASALAHAN lingkungan
dasar pati

Peningkatan nilai tambah Penggunaan nanoserat


ALTERNATIF ampas tapioka dengan selulosa dari ampas tapioka
PEMECAHAN menjadi bahan baku untuk memperbaiki sifat
MASALAH nanomaterial mekanis dan fisis film

Isolasi Pengaruh Kestabilan


nanoserat penggunaan mekanis film
selulosa dari nanoserat selulosa berbahan pengisi
KETERBATASAN dari ampas tapioka nanoserat
ampas tapioka
INFORMASI terhadap sifat selulosa dari
dengan
perlakuan mekanis dan fisis ampas tapioka
alkali dan film tapioka selama
bleaching penyimpanan

Evaluasi kestabilan
Evaluasi sifat Evaluasi sifat
mekanis film tapioka
RUANG LINGKUP nanoserat mekanis dan
berbahan pengisi
KAJIAN selulosa sifat fisis film
nanoserat selulosa
tapioka
selama penyimpanan

Gambar 1 Kerangka pikir perumusan masalah


5

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk: (1) mengetahui karakter nanoserat selulosa


dari ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi; (2)
mengetahui sifat mekanis dan fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa; dan (3)
mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan pada kondisi
kelembaban lingkungan yang berbeda.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai salah satu sumber
informasi tentang isolasi dan penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka
untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi selanjutnya dan aplikasinya
di bidang industri.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini meliputi kajian metode isolasi nanoserat


selulosa dari ampas tapioka dan karakterisasi nanoserat selulosa yang dihasilkan,
kajian pengaruh penggunaan nanoserat selulosa yang dihasilkan terhadap sifat
mekanis dan fisis film tapioka yang dihasilkan, serta evaluasi kestabilan sifat
mekanis film pada kondisi kelembaban lingkungan penyimpanan yang berbeda.
Sumber ampas tapioka diperoleh dari industri kecil tapioka di daerah
Purbalingga, metode isolasi yang digunakan merupakan gabungan metode kimia
dan mekanis. Metode kimia menggunakan bahan berupa alkali (KOH), bleaching
agent (NaClO2), dan asam sulfat, dilanjutkan dengan perlakuan mekanis
menggunakan mixer. Nanoserat selulosa yang dihasilkan diaplikasikan sebagai
bahan pengisi film dengan konsentrasi 0-4% dari berat kering tapioka sebagai
bahan dasar pembuatan film. Film yang terpilih dievaluasi sifat kestabilannya
selama 7 hari penyimpanan pada RH 75% dan 97%.
6

2 TINJAUAN PUSTAKA

Potensi dan Kendala Pemanfaatan Serat Selulosa

Serat alam lignoselulosa mudah ditemukan di berbagai daerah, sehingga


ketersediaannya berlimpah dan merupakan salah satu biopolimer yang paling
banyak di muka bumi. Serat alam secara umum dapat dikelompokkan berdasarkan
asalnya, yaitu berasal dari tanaman, hewan, dan mineral. Serat asal tanaman dapat
dikelompokkan berdasarkan sumbernya, antara lain serat batang, serat daun, serat
biji, serat buah, dan sebagainya. Komposisi kimia serat tanaman tergantung pada
umur, asal serat, dan metode isolasinya (Sheltami et al. 2012). Serat alam berupa
serat selulosa terdapat pada kayu, kapas, rami, dan sebagainya, berfungsi untuk
memperkuat struktur tanaman. Selain itu, selulosa dapat pula disintesis oleh
ganggang dan beberapa bakteri (Siró dan Plackett 2010).
Selulosa tersusun atas rantai polimer tidak bercabang dengan ikatan β-1-4
antara unit-unit glukosa dengan rumus empiris (C6H10O5)n. Panjang rantai selulosa
dipengaruhi oleh sumbernya. Derajat polimerisasi selulosa berkisar dari beberapa
ratus sampai sepuluh ribu unit glukosa. Selulosa memiliki tiga gugus hidroksil
yang terletak pada posisi C2 dan C3 (gugus hidroksil sekunder) dan C6 (gugus
hidroksil primer). Unit glukopiranosa selulosa dan konfigurasi selulosa dapat
dilihat pada Gambar 2 dan 3. Gugus hidroksil dapat membentuk ikatan hidrogen
intramolekuler dan antarmolekuler. Ikatan hidrogen tersebut memungkinkan
pembentukan struktur kristal tiga dimensi yang sangat teratur (Khalil et al. 2012).

Gambar 2 Unit glukopiranosa selulosa (Kamide 2005)

Gambar 3 Konfigurasi selulosa (Kamide 2005)


7

Pemanfaatan serat alam hingga kini menarik perhatian terutama bagi


kalangan industri, terkait dengan berbagai keunggulannya, baik dari segi ekonomi,
teknis, dan lingkungan. Biaya untuk memperoleh serat selulosa relatif murah dan
tidak memerlukan peralatan khusus yang mahal. Secara teknis, serat alam bersifat
nonabrasif bagi alat pencampuran dan pencetakan. Keunggulan serat alam ditinjau
dari aspek lingkungan, yaitu terkait dengan sifatnya yang dapat diperbarui,
memerlukan energi yang rendah dalam memproduksinya, serta tidak
menghasilkan karbondioksida yang berlebih jika dibakar atau dikomposkan (John
dan Thomas 2008).
Serat selulosa juga memiliki bobot jenis yang ringan, namun mampu
menghasilkan kekuatan yang tinggi sebagai bahan penguat komposit, antara lain
sebagai penguat komposit polietilen (Menezes et al. 2009; Prachayawarakorn et
al. 2010), karet alam (Bras et al. 2010; Pasquini et al. 2010), komposit pati
termoplastik (Ma et al. 2005; Teixeira et al. 2009), polipropilen (Qiu et al. 2006;
Reddy dan Yang 2009; Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012), serta film berbahan
dasar pati (Famá et al. 2009; Dias et al. 2011).
Serat selulosa juga berperan penting dalam meningkatkan ketahanan film
pati terhadap uap air (Müller et al. 2009a; Belbekhouce et al. 2011),
meningkatkan sifat penahanan terhadap oksigen dan minyak (Aulin et al. 2010),
meningkatkan kemampuan biodegradasi, misalnya pada karet alam (Bras et al.
2010) dan komposit polycaprolactone (Ludueña et al. 2012), memudahkan
pembentukan film amilopektin (Rubio et al. 2007), meningkatkan kestabilan
panas pati termoplastik (Ma et al. 2005; Chang et al. 2010), dapat digunakan
sebagai tempat sintesis bahan pengisi lain, misalnya pembentukan nanopartikel
CaCO3 di permukaan serat (Vilela et al. 2010), serta digunakan dalam aplikasi
medis, misalnya sebagai bahan komposit dalam implan kardiovaskular, kateter,
dan kulit buatan (Cherian et al. 2011).
Sifat serat selulosa yang membatasi penggunaannya secara luas adalah sifat
hidrofilnya. Sifat ini menghambat terjadinya pencampuran yang merata apabila
digunakan sebagai bahan pengisi produk termoplastik yang bersifat nonpolar.
Sifat hidrofil akan memudahkan penyerapan uap air, sehingga menghasilkan
ruang terbuka antarmuka yang selanjutnya akan menurunkan sifat mekanisnya dan
mengurangi kestabilan dimensi produknya (John dan Thomas 2008).
Serat selulosa juga tidak dapat diproses pada suhu lebih dari 200oC karena
akan mudah terdegradasi, sehingga tidak dapat digunakan bersama dengan bahan
lain yang memerlukan titik leleh lebih tinggi dalam prosesnya untuk membentuk
bahan komposit. Serat selulosa, sebagaimana biopolimer lainnya, mampu
terbiodegradasi atau dapat diurai oleh mikroorganisme. Sifat ini menguntungkan
jika ditinjau dari aspek lingkungan. Namun, di sisi lain sifat ini juga perlu
diperhatikan, mengingat bahan yang dapat terbiodegradasi tidak tahan lama atau
rentan busuk dalam pemakaian, penyimpanan, pengangkutan, dan pengolahan
(John dan Thomas 2008).
Peran serat selulosa sebagai bahan pengisi penguat polimer dibatasi oleh
sifatnya yang polar, sehingga kurang bermanfaat untuk digunakan sebagai bahan
pengisi matriks polimer yang bersifat nonpolar, seperti polietilen dan polipropilen.
Sehubungan dengan hal tersebut, perlu modifikasi serat selulosa maupun formula
yang digunakan agar serat selulosa lebih sesuai untuk digunakan sebagai bahan
pengisi polimer nonpolar (Khalil et al. 2012). Peningkatan kompatibilitas dapat
8

dilakukan melalui pembentukan grafting dengan maleic anhidride (Qiu et al.


2006; Prachayawarakorn et al. 2010), poly(ε-caprolactone) (Lönnberg et al.
2008), hexanoyl chloride, lauroyl chloride, stearoyl chloride (Menezes et al.
2009), dan vinyltrimethoxy silane (Prachayawarakorn et al. 2010), maupun
dengan modifikasi selulosa dengan zirconium oxychloride (Mulinari et al. 2009).
Peningkatan kompatibilitas ini meningkatkan keterpaduan bahan, sehingga
sifat mekanisnya lebih baik, serta diketahui juga dapat meningkatkan kestabilan
termalnya (Wang et al. 2005), terutama apabila yang digunakan adalah serat
dengan kristalinitas tinggi (Kim et al. 2010; Ma et al. 2011). Kompatibilitas serat
selulosa sebagai penguat polimer hidrofob tampak meningkat dengan mereduksi
ukuran serat menjadi nano. Penggunaan nanoserat selulosa dari ampas tapioka
tampak meningkatkan sifat mekanis karet dan meningkatkan permeabilitas uap air
dalam matriks karet (Bras et al. 2010). Uap air berdifusi melalui permukaan atau
zona amorf serat yang bersifat lebih hidrofil (Phan et al. 2005; Aulin et al. 2010).

Nanoserat Selulosa

Serat selulosa pada dasarnya tersusun atas agregat serat yang berukuran
lebih kecil hingga berskala nanometer. Satu berkas serat terdiri atas sejumlah serat
elementer yang dihubungkan dengan hemiselulosa. Serat-serat elementer dan
hemiselulosa dilindungi oleh lapisan lignin. Model struktur nanoserat selulosa
dapat dilihat pada Gambar 4.

Serat elementer selulosa


Hemiselulosa

Lignin

Gambar 4 Model struktur serat selulosa (John dan Thomas 2008)


Perubahan ukuran dari serat selulosa menjadi nanoserat selulosa
menyebabkan perubahan sifat serat. Sifat tersebut meliputi sifat morfologi, sifat
fisis dan kimia, dan sifat termal. Salah satu indikator telah terbentuknya nanoserat
selulosa ditunjukkan dengan terbentuknya massa seperti gel (Jonoobi et al. 2012).
Penurunan ukuran serat dalam pulp, yaitu sekitar 10-40 µm menjadi di bawah 100
9

nm dapat menyebabkan peningkatan nilai kuat tarik serat. Kumara et al. (2009)
mengilustrasikan perubahan sifat mekanis terkait dengan perubahan ukuran
seperti yang disajikan pada Gambar 5.

Pulp (1-10 GPa)


Serat mikro Whiskers
(10-25 GPa) (70-40 GPa)

Gambar 5 Diameter serat selulosa dan kekuatan mekanisnya (Kumara et al. 2009)
Hasil disintegrasi serat menghasilkan nanoserat selulosa yang dapat
dikelompokkan menjadi dua, yaitu nanofibrils dan nanowhiskers atau hanya
disebut whiskers). Nanofibrils berbentuk serat panjang dan fleksibel serta masih
memiliki bagian yang bersifat kristal dan amorf dalam satu berkas serat (Gambar
6 dan 7). Bentuk ini pada umumnya diperoleh dari proses mekanis atau dibentuk
secara alami oleh bakteri penghasil selulosa.

Gambar 6 Hasil scanning electron microscope (SEM) nanofibrils (Khalil et al.


2012)
10

Kristal

Amorf

Gambar 7 Hasil pengamatan menggunakan atomic force microscopy (AFM) dan


bagan daerah kristal dan amorf nanoserat selulosa (Bhattacharya et al.
2008)
Nanowhiskers diperoleh dari proses hidrolisis material yang berasal dari
tumbuhan. Bentuknya lebih pendek atau mirip jarum dengan bagian kristal yang
lebih besar karena bagian amorf sudah dihidrolisis dengan menggunakan asam
kuat (Gambar 8). Bagian amorf rantai selulosa lebih mudah dihidrolisis oleh
asam, sehingga menyisakan rantai pendek yang bersifat kristal (Sheltami et al.
2012). Nanofibrils dan nanowhiskers secara umum disebut dengan nanofibres
atau serat nano (Eichhorn et al. 2010).
Terdapat istilah lain dalam penyebutan jenis nanoserat selulosa, seperti yang
banyak digunakan dalam jurnal penelitian tentang nanoserat selulosa. Istilah lain
untuk nanofibrils, meliputi microfibrillated cellulose, microfibrillar cellulose,
microfibril, microfibril aggregates, atau nanofibrillar cellulose (Siró dan Plackett
2010). Whiskers dalam berbagai jurnal juga dikenal dengan istilah cellulose
nanocrystals, cellulose crystallites, atau crystals (Cherian et al. 2011). Perbedaan
nanoserat selulosa dapat pula ditinjau dari segi dimensinya, seperti disajikan pada
Tabel 1.
Tabel 1 Dimensi nanoserat selulosa (Khalil et al. 2012)
Struktur selulosa Diameter (nm) Panjang (nm) Aspect ratio (P/D)
Microfibril 2-10 >10.000 >1000
Microfibrillated cellulose 10-40 >1000 100-150
Cellulose whisker 2-20 100-600 10-100
Microcrystalline cellulose >1000 >1000 ~1
11

Gambar 8 Hasil transmission electron microscope (TEM) wiskers (Cao et al.


2012)
Proses pembuatan material berskala nano dapat dilakukan melalui
pengecilan ukuran dengan berbagai metode, sehingga tercapai material dengan
ukuran nano (pendekatan top-down), atau dilakukan melalui penyusunan atau
perakitan atom atau molekul menjadi struktur yang lebih besar atau
supramolekuler (pendekatan bottom-up). Pembuatan material nano dari bahan
alam umumnya menggunakan pendekatan top-down. Publikasi pembuatan
nanoserat selulosa secara bottom-up masih jarang. Salah satunya penggunaan
electrospinning untuk merakit serat selulosa dari selulosa dalam larutan tertentu,
misalnya N, N-dimethylformamide. Proses electrospinning dilakukan dengan cara
mengalirkan larutan ke dalam syringe dengan kecepatan 1 ml/jam. Ujung jarum
diberi muatan positif 20 kV, sedangkan aluminum foil sebagai kolektor serat yang
terletak 20 cm dari jarum diberi muatan negatif 3 kV (Dong et al. 2012).
Serat berskala nano diperoleh melalui proses disintegrasi serat selulosa,
melalui proses nonkimiawi, proses kimiawi, dan perpaduan dua proses tersebut.
Proses nonkimiawi dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain
metode berdasarkan tekanan, seperti homogenisasi (Bhattacharya et al. 2008);
steam explosion (Ibrahim et al. 2010; Kaushik et al. 2010); dan berdasarkan gaya
shear, misalnya grinding (Abe dan Yano 2009).
High pressure homogenizer digunakan pada metode homogenisasi untuk
memperkecil ukuran serat atau partikel dengan memanfaatkan gaya shear akibat
pembatasan aliran secara mendadak di bawah tekanan tinggi melalui suatu katup
(Sanguansri dan Augustin 2006). Pembukaan dan penutupan katup akibat adanya
pegas menyebabkan terjadinya perubahan tekanan yang besar, sehingga serat atau
partikel saling bertumbukan dan terjadi disintegrasi serat atau partikel (Siró dan
Plackett 2010).
Metode steam explosion memerlukan energi yang besar untuk menghasilkan
uap panas jenuh dan memerlukan reaktor yang kuat. Struktur lignoselulosa dapat
terbuka bahkan terdisintegrasi akibat tekanan uap panas dalam suatu reaktor atau
autoklaf. Disintegrasi terjadi akibat tekanan uap panas yang dilepaskan secara
mendadak, sehingga terjadi ledakan mengenai struktur serat (Ibrahim et al. 2010;
12

Jacquet et al. 2012). Ibrahim et al. (2010) menggunakan uap jenuh bersuhu 220
o
C selama 240 detik untuk mendisintegrasi serat dari limbah batang pisang.
Kaushik et al. (2010) menggunakan autoklaf dengan tekanan 15 lb selama 4 jam
untuk mendisintegrasi serat dari jerami gandum. Uap panas berasal dari larutan
NaOH 10-12% yang digunakan untuk merendam jerami.
Grinding dilakukan menggunakan peralatan yang cukup sederhana, yaitu
berupa grinder. Bahan lignoselulosa terfibrilasi akibat gaya shear saat melalui
celah grinder yang berputar dengan kecepatan tinggi hingga 1.500 rpm. Proses
mekanis ini terutama ditujukan untuk mengupas lapisan dinding sel luar, sehingga
akan membuka lapisan dalam yang kaya serat nano (Nakagaito dan Yano 2004).
Gaya shear merusak struktur dinding sel yang terdiri atas lapisan serat nano yang
berikatan hidrogen, sehingga serat berukuran nano tersebut saling terlepas dalam
pulp (Siró dan Plackett 2010). Besarnya gaya shear dipengaruhi oleh lebar celah,
kecepatan putar, serta bentuk permukaan disk atau batu gerinda (Subyakto et al.
2009).
Intensitas perlakuan mekanis berupa ulangan dan durasi proses berpengaruh
terhadap keefektifan pemisahan agregat serat. Intensitas yang terlalu tinggi
berisiko menurunkan sifat kristalinitas dan derajat polimerisasi selulosa
(Henriksson et al. 2007; Abe dan Yano 2009), serta memerlukan energi yang
tinggi (Nakagaito dan Yano 2004). Perolehan serat berskala nano dengan
menggunakan energi yang rendah dan sedikit serat selulosa yang terdegradasi
merupakan pertimbangan penting untuk memilih metode mekanis yang digunakan
(Subyakto et al. 2009).
Peningkatan keefektifan perolehan nanoserat selulosa juga dapat dilakukan
dengan perlakuan tambahan berupa pembekuan bahan sebelum dikenai proses
mekanis. Metode ini disebut cryocrushing, yaitu bahan dibekukan dengan
menggunakan nitrogen cair. Kristal es yang terbentuk menekan dinding sel,
sehingga saat dikenai gaya shear secara mekanis akan lebih mudah mengalami
disintegrasi melepaskan nanoserat selulosa (Siró dan Plackett 2010; Sundari dan
Ramesh 2012).
Nanoserat selulosa murni dapat diperoleh dengan menggunakan serangkaian
perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi juga dapat memudahkan nanoserat selulosa
terlepas dari agregat serat, akibat reduksi senyawa yang mengikat serat elementer
selulosa, yaitu hemiselulosa, serta menghilangkan lignin yang melindungi agregat
serat elementer tersebut (John dan Thomas 2008).
Campuran toluene-ethanol dapat digunakan untuk menghilangkan lapisan
lilin, lemak, dan minyak dalam bahan (Habibi et al. 2009). Proses pemucatan
(bleaching) menggunakan campuran asam asetat glasial dan natrium klorit dapat
menghilangkan senyawa fenol atau molekul yang memiliki gugus kromofor yang
ada pada lignin (Bhattacharya et al. 2008). Pemucatan juga dapat dilakukan
menggunakan natrium hipoklorit (Elanthikkal et al. 2010), hidrogen peroksida
(Teixeira et al. 2011), atau menggunakan larutan tetraacetylethylenediamine
(TAED) (Rosa et al. 2012). Proses tersebut menyebabkan lignin teroksidasi dan
menjadi lebih mudah larut dalam larutan alkali (Elanthikkal et al. 2010).
Larutan alkali dapat digunakan untuk pemurnian serat selulosa dari senyawa
hemiselulosa, sisa pati, dan pektin. Abe dan Yano (2009) menggunakan KOH 2-
5% untuk pemurnian nanoserat selulosa dari kayu, jerami padi, dan ampas
kentang. Penggunaan larutan alkali tersebut dilakukan sebanyak dua kali pada
13

suhu 90oC selama dua jam. Elanthikkal et al. (2010) menggunakan larutan alkali
berupa NaOH 1 M pada suhu 80oC selama empat jam untuk mereduksi kandungan
hemiselulosa dan pektin pada serat pisang. Peningkatan konsentrasi larutan alkali
yang digunakan cenderung meningkatkan fibrilasi (Zhang et al. 2005).
Kandungan lignin juga dapat berkurang akibat perlakuan alkali melalui
pembentukan kompleks kimiawi dan depolimerisasi (Mandal dan Chakrabarty
2011; Johar et al. 2012).
Enzim dan mikroorganisme juga dapat dimanfaatkan untuk memudahkan
pemisahan serat selulosa. Henriksson et al. (2007) menggunakan Novozym
sebelum perlakuan homogenisasi untuk memperoleh serat nano dari tanaman
Picea abies. Perlakuan tersebut menghasilkan serat nano berdiameter 15-30 nm
dengan panjang beberapa mikrometer. Trichoderma reesei merupakan
mikroorganisme yang dapat mendegradasi selulosa melalui enzim ekstraseluler
yang dikeluarkan, meliputi endoglucanase, cellobiohydrolase, dan cellobiase (β-
glucosidase) (Satyamurthy et al. 2011). Kemampuan ini dimanfaatkan oleh
Satyamurthy et al. (2011) untuk memperoleh nanoserat selulosa dari serat kapas.
Perlakuan tersebut dapat menghasilkan serat selulosa berdiameter sekitar 36,5 nm.
Isolasi nanoserat selulosa dengan menggunakan asam kuat dapat
menghasilkan whiskers. Asam kuat lebih mudah menghidrolisis bagian amorf
serat, sehingga serat terdegradasi menjadi serat pendek. Asam kuat juga dapat
menghidrolisis hemiselulosa menjadi xilosa dan gula lain, selanjutnya xilosa
terdegradasi membentuk furfural. Selain itu, polisakarida lain seperti residu pati
dapat terhidrolisis menjadi gula sederhana (Adel et al. 2011).
Derajat polimerisasi nanoserat selulosa, kristalinitas, morfologi, dan sifat
lainnya dapat dipengaruhi oleh asam yang digunakan (Adel et al. 2011). Alemdar
dan Sain (2008) menggunakan asam klorida 1 M untuk menghidrolisis jerami padi
dan polong kedelai. Hidrolisis dilakukan pada suhu 80 ± 5 oC selama 2 jam untuk
menghidrolisis hemiselulosa, pektin dan polisakarida menjadi gula sederhana,
sehingga diperoleh serat selulosa bebas bahan nonselulosa.
Selain asam klorida, banyak penelitian menggunakan asam sulfat sebesar 60
- 65% w/v atau 6 - 6,5 M sebagai media hidrolisis. Hidrolisis menggunakan asam
sulfat digunakan oleh Bhattacharya et al. (2008) pada ampas tebu, Chen et al.
(2009) pada serat polong kacang, Menezes et al. (2009) pada serat rami, Teixeira
et al. (2009) pada ampas tapioka, Bras et al. (2010) pada pulp ampas tebu,
Elanthikkal et al. (2010) pada serat pisang, Lu dan Hsieh (2010) pada selulosa
kapas, Pasquini et al. (2010) pada ampas tapioka, Belbekhouche et al. (2011) pada
serat sisal, Liu et al. (2011) pada bubuk selulosa mikrokristal, dan Teixeira et al.
(2011) pada ampas tebu. Hidrolisis dilakukan pada suhu 45 – 60oC selama
beberapa puluh menit sampai beberapa jam tergantung jenis bahan awalnya.
Permasalahan yang perlu diperhatikan terkait penggunaan hidrolisis asam
antara lain kemungkinan adanya bahaya keracunan akibat residu asam kuat pada
permukaan serat, terutama jika digunakan sebagai bahan pengisi edible film.
Selain itu, konsentrasi asam yang terlalu tinggi dapat menyebabkan degradasi
selulosa yang berlebih. Abraham et al. (2011) menggunakan asam lemah berupa
asam oksalat 5% untuk mengurangi bahaya penggunaan asam kuat dan mencegah
degradasi selulosa. Namun, untuk meningkatkan keefektifan dalam perolehan
nanoserat selulosa digunakan langkah tambahan berupa dua tahap steam
14

explosion, yaitu pada tahap preparasi bahan baku dan pada tahap setelah
perlakuan asam.
Diameter dan panjang nanoserat selulosa dipengaruhi oleh perlakuan isolasi
atau ekstraksi nanoserat selulosa yang diterapkan. Serat yang masih mengandung
lignin dan hemiselulosa menunjukkan ukuran yang lebih besar, dibandingkan
nanoserat selulosa murni. Hemiselulosa juga dapat mencegah terjadinya agregasi
nanoserat selulosa (Lavoine et al. 2012). Fragmen kristal nanoserat selulosa dalam
kondisi kering cenderung membentuk agregat. Agregat terjadi akibat
pembentukan ikatan hidrogen karena adanya gugus hidrogen dan energi
permukaan nanoserat selulosa yang tinggi (Mandal dan Chakrabarty 2011).
Reaksi hidrolisis yang lebih lama, misalnya dari 30 menit menjadi 60 menit,
menyebabkan nanoserat selulosa yang terbentuk lebih pendek dan kecil, indeks
kristalinitas lebih tinggi, dan penurunan kestabilan termal (Tonoli et al. 2012).
Neto et al. (2013) di sisi lain melaporkan bahwa kondisi hidrolisis asam yang
lebih lama (40 menit) tidak hanya menghasilkan nanoserat selulosa yang lebih
pendek, namun juga menyebabkan kerusakan struktur kristal nanoserat selulosa
dibanding perlakuan hidrolisis asam selama 30 menit.
Hidrolisis umumnya menyerang pada bagian amorf, sehingga dihasilkan
nanoserat selulosa pendek dengan kristalinitas tinggi. Hal ini berlawanan dengan
hasil nanoserat selulosa dari proses mekanis, yaitu cenderung menghasilkan
nanoserat selulosa panjang dan mengandung bagian kristal dan amorf (Neto et al.
2013). Selain itu, peningkatan waktu hidrolisis asam menggunakan asam sulfat
dapat meningkatkan kandungan sulfur pada permukaan nanoserat selulosa, dan
menunjukkan suhu degradasi termal yang lebih rendah dibandingkan dengan
nanoserat selulosa yang dihasilkan secara mekanis (Tonoli et al. 2012).
Proses pemurnian kimiawi juga berpengaruh terhadap permukaan serat.
Johar et al. (2012) menunjukkan bahwa serat setelah perlakuan alkali tampak
lebih kasar. Hal ini menunjukkan terjadi degadrasi pada bahan yang terdapat di
permukaan serat, seperti hemiselulosa, lignin, pektin, lilin, dan bahan lain di
permukaan serat. Perubahan sifat kimia permukaan yang terjadi berpengaruh
terhadap kestabilan dispersi nanoserat selulosa dalam larutan. Kestabilan
dispersinya dinilai dengan nilai zeta potential nanoserat selulosa. Nilai ini
menunjukkan perbedaan muatan antara medium dengan muatan listrik di sekitar
partikel. Nilai zeta potential yang tinggi menunjukkan kapasitas dispersi yang
tinggi dalam air, sedangkan nilai zeta potential yang rendah menunjukkan
kestabilan dispersi yang rendah (Tonoli et al. 2012).

Pemanfaatan Limbah atau Produk Samping Agroindustri Sebagai Bahan


Baku Nanoserat Selulosa dan Aplikasinya Dalam Pembuatan Film

Kayu merupakan sumber serat selulosa yang penting untuk industri. Adanya
kompetisi kebutuhan penggunaan di bidang lain, seperti sektor bangunan,
perabotan, industri kertas, dan energi, menimbulkan tantangan untuk mencari
sumber selulosa dari selain tanaman berkayu keras. Oleh karena itu, sumber
selulosa yang berasal dari tanaman nonkayu keras, seperti rami, hemp, sisal, dan
lain-lain, berpotensi untuk diekspolarasi. Bahan nonkayu sebagai sumber serat
alam memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan kayu, antara lain dapat
15

dipanen dalam waktu yang lebih singkat, mudah dibudidaya, sehingga dapat
mengurangi eksploitasi penebangan hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam
untuk kepentingan industri (Subyakto et al. 2009).
Limbah pertanian atau hasil samping agroindustri yang kaya serat menjadi
alternatif dalam perolehan nanoserat selulosa. Penggunaan serat asal limbah
pertanian selain menjadi alternatif pemanfaatan limbah, juga diharapkan dapat
mengurangi eksploitasi hutan untuk memenuhi kebutuhan serat alam bagi industri.
Selain itu, limbah pengolahan hasil pertanian pada umumnya juga mengandung
sedikit lignin karena sudah terbuang pada proses pengolahan, sehingga
memudahkan dalam mengekstraksi serat (Siró dan Plackett 2010). Contoh-contoh
bahan dari limbah atau hasil samping agroindustri yang telah diteliti sebagai
sumber pembuatan nanoserat selulosa dan metode pembuatannya dapat dilihat
pada Tabel 2.
Informasi tentang aplikasi nanoserat selulosa pada umumnya terkait dengan
aplikasinya sebagai bahan pengisi komposit/biokomposit. Plastik merupakan salah
satu tujuan aplikasi nanoserat selulosa dalam rangka rekayasa plastik yang dapat
terdegradasi di lingkungan dengan cepat. Sifat tersebut penting terutama bagi
pengemas yang masa pemakaiannya hanya dalam waktu singkat dan jarang
digunakan kembali atau dibuang.
Pencegahan penurunan kualitas produk pangan atau hortikultura melalui
pengemasan pada prinsipnya adalah membatasi produk tersebut untuk berinteraksi
langsung dengan lingkungan luar. Pembatasan interaksi ini bertujuan untuk
menekan pengaruh buruk yang berasal dari lingkungan di luar produk, seperti
kelembaban udara, cahaya, suhu, tekanan, gesekan, dan aktivitas mikroorganisme.
Pengemas berbasis karbohidrat pada umumnya memiliki sifat mekanis yang
kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan pengemas
tersebut pada umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya
(Gilfillan et al. 2012).
Salah satu bentuk perlindungan yang dapat diterapkan yaitu berupa
pengemasan secara langsung berhubungan atau melekat dengan produk, berupa
film atau coating dengan penggunaan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa
merupakan usaha alternatif untuk memperbaiki sifat mekanis film (Azeredo et al.
2012). Coating diaplikasikan dan dibentuk secara langsung di permukaan produk
pangan. Metode aplikasi yang digunakan dalam menghasilkan coating dapat
berupa penyemprotan, pengolesan, maupun pencelupan. Pencelupan merupakan
metode yang mudah dan sesuai untuk diaplikasikan pada komoditas yang
permukaannya tidak rata (Ghasemzadeh et al. 2008; Bahri dan Rashidi 2009).
Film diaplikasikan setelah dibentuk secara terpisah (Bahri dan Rashidi 2009),
antara lain dibuat dengan menggunakan metode casting. Larutan film dituangkan
pada lempeng cetakan dengan ketebalan tertentu, dikeringkan, dan dilepas dari
cetakan untuk selanjutnya diaplikasikan untuk mengemas produk (Müller et al.
2009a).
Pengurangan sifat hidrofil dan pembentukan struktur jaringan penguat
akibat penggunaan nanoserat selulosa dapat memperbaiki sifat mekanis film (Ma
et al. 2005; Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat meningkatkan
kestabilan sifat mekanis film terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma et
al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat penambahan
serat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan putusnya. Gerakan
16

rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya interaksi antara serat
selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan memanjang matriks film
menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya

Bahan Baku Metode Hasil Referensi


Pea hull Hidrolisis asam Panjang (P), Chen et al. (2009)
diameter (D) dan
nilai P/D berturut-
turut 240-400 nm,
7-12 nm, dan
32,22-36,00
Prickly pear fruits Homogenisasi Nanoserat Habibi et al. (2009)
(Opuntia ficus menggunakan berdiameter 2-5
indica) Manton–Gaulin nm; panjang
homogenizer beberapa mm
Ampas tapioka Hidrolisis asam Nanoserat Teixeira et al.
berdiameter 2-11 (2009)
nm dan panjang
60-1.700 nm
Tandan buah Hidrolisis asam Nanoserat Zuluaga et al.
pisang rachis dan alkali berdiameter 3-5 (2009)
nm, panjang
beberapa
mikrometer
Ampas tebu Hidrolisis asam Nanoserat Bras et al. (2010)
berdiameter 4-10
nm, panjang 84-
102 nm
Daun nanas Hidrotermal Nanoserat Cherian et al.
tekanan tinggi; berdiameter 5-60 (2010)
Mechanical stirrer nm
8.000 rpm
Batang pisang Hidrolisis asam Nanopartikel Elanthikkal et al.
selulosa 20-25 nm (2010)
Ampas tapioka Hidrolisis asam Nanoserat Pasquini et al.
berdiameter rata- (2010)
rata 15 nm,
panjang rata-rata
1.150 nm
Sabut kelapa Hidrolisis asam Nanoserat Rosa et al. (2010)
berdiameter
sekitar 5 nm, rasio
P/L sekitar 60
17

Tabel 2 Nanoserat selulosa dari limbah atau hasil samping agroindustri dan
metode isolasinya (lanjutan)

Bahan Baku Metode Hasil Referensi


Kayu residu - Ultrasonikasi Nanoserat Oksman et al.
pembuatan - Homogenisasi berdiameter 10-20 (2011)
bioetanol - Hidrolisis asam nm
Serbuk kayu Ultrasonikasi Nanoserat Chen et al. (2011)
pohon poplar berdiameter 5-20
nm, panjang
beberapa
mikrometer
Limbah kulit - Praperlakuan: Nanokristal Chen et al. (2012)
kentang perlakuan alkali selulosa; panjang
dan chlorite 410 ± 181 nm
bleaching diameter ± 10 nm
- Hidrolisis asam
sulfat
18

3 ISOLASI DAN KARAKTERISASI NANOSERAT


SELULOSA DARI AMPAS TAPIOKA

Pendahuluan

Disintegrasi serat alam menjadi serat berbentuk nano memerlukan


serangkaian proses yang melibatkan proses kimiawi dan mekanis. Aplikasi
beberapa proses dapat memodifikasi struktur serat selulosa, bahkan dapat merusak
struktur serat yang dihasilkan. Faktor perubahan struktur serat maupun kerusakan
akibat proses yang diterapkan dapat bersifat kontraproduktif terhadap keunggulan
sifat suatu nanoserat.
Ampas tapioka merupakan bahan sisa hasil ekstraksi pati ubi kayu (tapioka)
yang masih mengandung serat dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut menjadi bahan
baku nanoserat. Hal tersebut telah dilakukan oleh Teixeira et al. (2009) yang
mendapatkan nanoserat dengan menggunakan asam kuat. Nanoserat yang
diperoleh diaplikasikan dalam pembuatan pati termoplastik. Hal serupa juga
dilakukan oleh Pasquini et al. (2010) dan mengaplikasikannya sebagai bahan
pengisi karet.
Proses kimiawi yang dilakukan dalam mengisolasi nanoserat ditujukan
untuk memudahkan proses isolasi dan pemurnian nanoserat yang dihasilkan.
Nanoserat secara alami dilindungi oleh bahan lain terutama lignin dan diikat oleh
hemiselulosa. Penghilangan bahan selain selulosa akan mempermudah pelepasan
nanoserat selulosa dan meningkatkan kemurnian selulosa yang dihasilkan. Proses
mekanis bermanfaat untuk memudahkan pelepasan nanoserat yang dihasilkan dari
agregat-agregat serat atau dikenal pula dengan istilah individualisasi serat.
Metode isolasi nanoserat selulosa menggunakan asam kuat merupakan
proses yang sederhana dan cukup efektif untuk menghilangkan komponen dalam
ampas tapioka yang tidak dikehendaki, misalnya sisa pati dan hemiselulosa.
Namun, penggunaan asam kuat dapat merusak struktur serat apabila tidak
dikendalikan dengan baik.
Perlakuan kimiawi dengan menggunakan alkali dapat pula diaplikasikan
dalam proses isolasi nanoserat selulosa. Proses ini dapat dikombinasikan dengan
proses lain, terutama bleaching untuk meningkatkan degradasi lignin. Abe dan
Yano (2009) menggunakan kombinasi alkali dan bleaching untuk meningkatkan
keefektifan isolasi nanoserat, sehingga menghemat energi yang digunakan dalam
proses mekanisnya. Hasil nanoserat yang diperoleh melalui berbagai metode
secara morfologi dapat sama, namun secara fungsional dapat berbeda.
Sehubungan dengan hal tersebut, karakterisasi terhadap nanoserat selulosa perlu
dilakukan untuk memprediksi kinerja nanoserat jika diaplikasikan. Penelitian ini
bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang karakter nanoserat selulosa dari
ampas tapioka yang dihasilkan menggunakan beberapa metode isolasi.
19

Metode

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi ampas tapioka, kalium hidroksida (KOH),


natrium klorit (NaClO2), asam sulfat (H2SO4) analytical grade, dan akuades.
Instrumen pengujian yang digunakan meliputi Scanning Electron Microscope
(SEM) Zeiss EVO® 50, Transmission Electron Microscope (TEM) JEOL JEM-
1400, Delsa Nano C Beckman Coulter, Fourier Transform Infrared (FTIR)
spectrometer Bruker Tensor 37, X-ray diffractometer XRD-7000 Shimadzu, dan
Zwick Instrument.

Isolasi Nanoserat Selulosa

Nanoserat selulosa diisolasi menggunakan tiga metode, yaitu: (1)


menggunakan perlakuan alkali + bleaching + mekanis (metode I); (2) perlakuan
alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II); dan (3) perlakuan
hidrolisis asam + mekanis (metode III). Diagram alir metode tersebut dapat
dilihat pada Gambar 9.
1. Metode I
Prosedur isolasi nanoserat selulosa secara kimiawi mengikuti prosedur
umum dari Abe dan Yano (2009). Ampas tapioka lolos ayak 100 mesh direndam
dalam KOH 4% pada suhu 80oC selama satu jam. Selanjutnya, bahan dicuci
dengan akuades dan dilanjutkan dengan proses bleaching menggunakan NaClO2
5% pada suhu 70oC selama 1 jam sambil diaduk. Proses bleaching dilakukan
dalam suasana asam (pH 4,5) sebanyak dua kali. Setelah bleaching, bahan dicuci
dengan akuades dan dilakukan perendaman kembali menggunakan KOH 4% pada
suhu 80oC selama satu jam. Perlakuan kimiawi diakhiri dengan pencucian bahan
menggunakan akuades sampai pH 6-7 dan disaring menghasilkan pulp. Pulp
sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan
perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10
menit.
2. Metode II
Proses isolasi dilakukan mengikuti perlakuan kimiawi metode I (Abe dan
Yano 2009), kemudian dilanjutkan dengan perlakuan asam, menggunakan H2SO4
6,5 M (Teixeira et al. 2009). Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC sambil diaduk
selama 1 jam, kemudian dicuci dengan akuades sampai pH 6-7. Suspensi
disentrifugasi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh
endapan pulp. Selanjutnya, pulp sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml
akuades dan dilanjutkan dengan perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan
kecepatan 22.000 rpm selama 10 menit.
20

3. Metode III
Prosedur isolasi nanoserat selulosa secara kimiawi mengikuti prosedur
umum dari Teixeira et al. (2009). Ampas tapioka lolos ayak 100 mesh direndam
dalam larutan H2SO4 6,5 M. Hidrolisis dilakukan pada suhu 60oC sambil diaduk
selama 1 jam. Setelah hidrolisis, suspensi dicuci menggunakan akuades dan
disentrifugasi dengan kecepatan 6.000 rpm selama 10 menit sehingga diperoleh
endapan pulp. Pencucian dilakukan sampai pH suspensi netral. Selanjutnya, pulp
sebanyak 5 g disuspensikan ke dalam 300 ml akuades dan dilanjutkan dengan
perlakuan mekanis menggunakan mixer dengan kecepatan 22.000 rpm selama 10
menit.

Gambar 9 Metode isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka

Karakterisasi

Pengamatan mikroskopis

Morfologi ampas tapioka diamati menggunakan scanning electron


microscope (SEM) Zeiss EVO® 50 dengan voltase akselerasi elektron 1 kV,
sedangkan morfologi nanoserat selulosa diamati dengan menggunakan
transmission electron microscope (TEM) JEOL JEM-1400 dengan voltase
akselerasi elektron 100 kV. Larutan amonium molibdat 1% ditambahkan pada
sampel untuk memperjelas gambar yang dihasilkan.
21

Pengukuran zeta potential

Nilai zeta potential permukaan nanoserat selulosa dianalisis menggunakan


Delsa Nano C Beckman Coulter. Sampel berupa suspensi nanoserat selulosa
dalam akuades, diuji dalam wadah berupa flow cell.

Spektroskopi FTIR

Spektra serapan inframerah bahan diamati menggunakan fourier transform


infrared (FTIR) spectrometer Bruker Tensor 37. Sampel dibentuk pellet dengan
penambahan KBr. Pemindaian dilakukan pada bilangan gelombang 4000 – 400
cm-1.

Difraksi sinar X

Pola difraksi sinar-X sampel diamati menggunakan X-ray diffractometer


XRD-7000 Shimadzu pada posisi statis menggunakan radiasi Cu Kα (λ = 1,5418
Å) pada 40 kV, 30 mA. Pemindaian dilakukan pada kisaran 2θ = 5-40o dengan
kecepatan 2o/menit. Derajat kristalisasi dihitung dengan metode amorphous
subtraction method menggunakan rumus:

Xc = [Fc/(Fc + Fb)] x 100%

Fc = luas daerah kristal; Fb = luas daerah amorf dari kurva difraksi sinar X (Park
et al. 2010; Liu et al. 2013).

Hasil dan Pembahasan

Morfologi Nanoserat Selulosa

Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada ampas tapioka


diarahkan untuk membentuk serat berukuran nano atau nanoselulosa. Pengamatan
morfologi ampas tapioka sebelum perlakuan pembentukan nanoserat selulosa
dapat dilihat pada Gambar 10. Diameter serat ampas tapioka tampak sekitar 50
µm dan tampak granula yang berasal dari umbi ubi kayu dengan diameter sekitar
270-290 µm. Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada ampas tapioka
menghasilkan serat berdiameter <100 nm (Gambar 11).
22

S D
G

(A) (B)
Ket. = G: granula umbi ubi kayu; S: serat ampas tapioka; D: diameter serat

Gambar 10 Hasil pengamatan SEM terhadap ampas tapioka dengan perbesaran


20 X (A) dan 100 X (B)
Metode I menghasilkan nanoserat selulosa dalam satu berkas serat
berdiameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa dari metode II dan III
tampak lebih terdisintegrasi, masing-masing berdiameter sekitar 5-8 nm. Panjang
nanoserat selulosa yang dihasilkan metode I, II, dan III diperkirakan mencapai
beberapa mikrometer. Perlakuan alkali dan suhu tinggi yang dilakukan pada
ampas tapioka menyebabkan hemiselulosa dan residu pati terhidrolisis dan larut
dalam air.
Perlakuan bleaching membantu menghilangkan sebagian besar lignin.
Lignin teroksidasi sehingga terbentuk gugus karboksil yang dalam kondisi alkali
akan terionisasi dan lebih mudah larut (Gambar 12). Hilangnya hemiselulosa dan
lignin yang mengikat serat, menyebabkan serat berukuran nano terlepas dari
berkas serat yang besar. Perlakuan asam juga dapat melemahkan struktur dalam
agregat serat, sehingga menyebabkan serat lebih mudah terdisintegrasi (Cherian et
al. 2010).
Perlakuan mekanis digunakan untuk melepas agregat serat menjadi berkas
serat yang lebih kecil atau saling terpisah (Cao et al. 2012). Penggunaan mixer
berkecepatan tinggi membantu memisahkan nanoserat selulosa dari agregat serat,
setelah bahan berupa lignin dan hemiselulosa yang mengikat berkas serat
dilemahkan atau dihilangkan. Nanoserat selulosa yang dihasilkan berbentuk
nanofibrils, mirip dengan nanoserat selulosa dari ampas tapioka yang diperoleh
oleh Teixeira et al. (2009) (Gambar 13). Hal ini menunjukkan bahwa proses
isolasi yang dilakukan hanya mendegradasi sebagian rantai serat yang bersifat
amorf.
23

Metode I (Perbesaran 20.000 X) Metode I (Perbesaran 100.000 X)

Metode II (Perbesaran 20.000 X) Metode II (Perbesaran 100.000 X)

Metode III (Perbesaran 20.000 X) Metode III (Perbesaran 100.000 X)

Ket. : tanda batang merah mewakili diameter nanoserat selulosa


Gambar 11 Hasil pengamatan TEM terhadap morfologi nanoserat selulosa
24

Oksidasi Alkali

R = H atau lignin
L = lignin
Gambar 12 Reaksi umum oksidasi unit aromatik lignin dan hidrolisisnya dalam
alkali (Gellerstedt 2010)

Gambar 13 Hasil pengamatan TEM terhadap nanoserat selulosa ampas tapioka


melalui hidrolisis asam (Teixeira et al. 2009)

Zeta Potential Nanoserat Selulosa

Zeta potential (ZP) merupakan parameter penting untuk mengetahui


kestabilan dispersi partikel dalam suatu suspensi (Elanthikkal et al. 2010). Nilai
ZP menggambarkan perbedaan potensial muatan listrik di antara partikel koloid.
Bahan dalam medium polar pada umumnya mendapatkan muatan listrik
permukaan secara spontan, antara lain disebabkan oleh perbedaan afinitas elektron
pada partikel dan medium serta adanya ionisasi dan disosiasi gugus permukaan.
Suspensi yang stabil ditunjukkan oleh nilai ZP yang besar, merupakan indikator
adanya gaya tolak-menolak yang besar antara partikel yang satu dan partikel lain
dalam suatu sistem suspensi. Nilai ZP yang tinggi juga menunjukkan kapasitas
dispersi yang tinggi (Tonoli et al. 2012). Gambar 14 memperlihatkan hasil
pengukuran ZP suspensi nanoserat selulosa hasil metode I, II, dan III. Nilai ZP
lebih dari ± 30 mV menunjukkan bahwa suspensi nanoserat selulosa memiliki
kestabilan yang baik (Silva et al. 2012).
25

60

52,45

50
46,47

40
Zeta potential (mV)

33,75

30

20

10

0
I II III
Metode isolasi

Ket. = Metode I: perlakuan alkali, bleaching, mekanis; Metode II: perlakuan


alkali, bleaching, asam, mekanis; Metode III: perlakuan asam, mekanis
Gambar 14 Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa
Suspensi nanoserat selulosa yang diperoleh tidak mudah mengendap.
Keadaan ini jauh berbeda dengan ampas tapioka yang sangat mudah mengendap
jika disuspensikan dalam air. Kondisi yang mudah mengendap ini terkait dengan
ukuran partikel ampas tapioka yang masih relatif besar. Partikel berukuran besar
memiliki muatan permukaan partikel yang rendah, menyebabkan partikel lebih
mudah berinteraksi dengan partikel lain sehingga mudah mengendap (Elanthikkal
et al. 2010).

Spektrum FTIR Nanoserat Selulosa

Analisis FTIR dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus fungsional


tertentu dalam bahan terkait dengan senyawa lignin, hemiselulosa, dan selulosa,
serta perubahannya setelah pemberian perlakuan. Hasil pengamatan terhadap
spektrum FTIR ampas tapioka dapat dilihat pada Gambar 15, sedangkan spektrum
FTIR nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 16, 17, dan 18.
26

Gambar 15 Spektrum FTIR ampas tapioka

Gambar 16 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode I


27

Gambar 17 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode II

Gambar 18 Spektrum FTIR nanoserat selulosa metode III


Perubahan gugus fungsional yang terjadi akibat perlakuan kimiawi dapat
dilihat pada Tabel 3. Spektrum FTIR ampas tapioka dan nanoserat selulosa
menunjukkan pita serapan yang luas pada daerah 3500-3200 cm-1 yang
merupakan daerah vibrasi regangan yang berasal dari gugus OH dalam molekul
selulosa (Mandal dan Chakrabarty 2011). Semua spektrum juga menunjukkan
adanya pita serapan pada daerah sekitar 2900 cm-1. Pita serapan yang muncul pada
daerah tersebut berasal dari vibrasi regangan C-H (Rosa et al. 2012).
28

Tabel 3. Hasil pengamatan FTIR


Bilangan Perlakuan
gelombang Ampas Nanoserat Nanoserat Nanoserat Keterangan
(cm-1) tapioka selulosa I selulosa II selulosa III
Vibrasi regangan yang
3500-3200 3412,65 3433,19 3402,08 3426,58
berasal dari gugus OH
~ 2900 2930,41 2921,50 2915,57 2918,58 Vibrasi regangan C-H
1765-1715 1734,75 - 1732,15 1738,90 Vibrasi C=O dari
ikatan ester
hemiselulosa atau
gugus karboksilat dari
ferulic acid dan p-
coumaric acid lignin;
serapan gugus
karboksilat
Vibrasi cincin
1244 1244,56 - - -
aromatik lignin
Vibrasi ikatan β
~ 900 861,46 895,86 896,69 896,51
glikosida

Spektrum FTIR ampas tapioka memperlihatkan adanya sinyal pada bilangan


gelombang 1734,75 cm-1 yang diduga berasal dari vibrasi regangan C=O. Daerah
1765-1715 cm-1 pada spektrum FTIR merupakan daerah vibrasi regangan C=O
dari ikatan ester gugus karboksilat dari ferulic acid dan p-coumaric acid lignin
(Gambar 19). Daerah tersebut juga merupakan daerah vibrasi C=O dari
hemiselulosa (Gambar 20) (Abraham et al. 2011; Mandal dan Chakrabarty 2011;
Sundari dan Ramesh 2012).

A B

Gambar 19 Substruktur lignin ferulic acid (A) dan p-coumaric acid (B) (Buranov
dan Mazza 2008)

Gambar 20 Struktur dasar hemiselulosa (Ochoa-Villarreal et al. 2012)


29

Pita serapan tersebut tidak muncul lagi pada spektrum nanoserat selulosa
yang dihasilkan melalui metode I. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa terdapat
deformasi struktur lignin akibat perlakuan kimiawi yang diberikan. Namun, pita
serapan tersebut muncul kembali pada spektrum nanoserat selulosa yang
dihasilkan melalui metode II dan III. Kemunculan pita serapan pada bilangan
gelombang sekitar 1730 cm-1 diduga karena cincin glukopiranosa terbuka akibat
pemutusan rantai selulosa saat perlakuan asam, sehingga memicu oksidasi gugus
C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008).
Ampas tapioka juga menunjukkan adanya serapan pada bilangan gelombang
1244,56 cm-1. Daerah tersebut merupakan daerah serapan khas lignin (Rosa et al.
2012). Pita serapan tersebut menunjukkan adanya vibrasi cincin aromatik pada
lignin khususnya berasal dari gugus aryl (Gambar 21) (Abraham et al. 2011;
Mandal dan Chakrabarty 2011). Pita serapan pada bilangan gelombang 1244,56
cm-1 tidak muncul pada spektrum semua nanoserat selulosa, sehingga diduga
bahwa lignin telah mengalami deformasi akibat perlakuan kimia selama proses
isolasi nanoserat selulosa dari ampas tapioka.

Alkohol

Aryl eter Gugus alifatik

Gugus aryl
eter
Metoksil Gugus “condensed ”
Fenol

Gambar 21 Gugus fungsional lignin (Dimmel 2010)


Keberadaan selulosa juga dapat diduga dari adanya pita serapan pada
bilangan gelombang sekitar 895,86 cm-1 yang merupakan pola khas struktur
selulosa (Alemdar dan Sain 2008). Pita serapan pada bilangan gelombang sekitar
900 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi dari ikatan β glikosida di antara unit
glukosa dalam selulosa (Gambar 22) (Adel et al. 2010; Mandal dan Chakrabarty
2011; Rosa et al. 2012). Peningkatan intensitas pita serapan pada bilangan
gelombang tersebut menunjukkan peningkatan persentase komponen selulosa
pada bahan setelah penghilangan bahan non-selulosa (Neto et al. 2013).

Ikatan β-1-4
Gambar 22 Ikatan β-1-4 glikosida (Morán et al. 2008)
30

Pola Difraksi Sinar X Nanoserat Selulosa

Pola difraksi sinar X ampas tapioka sebelum proses kimiawi dan setelah
proses kimiawi untuk menghasilkan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar
23 dan 24. Difraktogram menunjukkan puncak difraksi sinar X selulosa alami
yaitu adanya 1 puncak tajam pada daerah sekitar 2θ = 22o (Adel et al. 2011;
Cherian et al. 2011). Difraktogram ampas tapioka memperlihatkan beberapa
puncak, yaitu pada 2θ = 15o, 2θ = 17o, dan 2θ = 22,85o, sedangkan pada ampas
tapioka setelah perlakuan kimiawi pada metode I memperlihatkan puncak utama
pada 2θ = 15,09o dan 2θ = 22,19o, metode II memperlihatkan puncak utama
pada 2θ = 15,5o dan 2θ = 22,13o, sedangkan metode III memperlihatkan puncak
utama pada 2θ = 15,94o dan 2θ = 22,23o.
Intensitas puncak difraksi ampas tapioka yang telah diberi perlakuan
kimiawi tampak lebih tinggi dibandingkan tanpa perlakuan, menunjukkan bahwa
kristalinitasnya lebih tinggi. Indeks kristalinitas ampas tapioka sebelum perlakuan
dan setelah diberi perlakuan kimiawi mengikuti metode I, II, dan III berturut-turut
adalah 14,52%, 33,25%, 39,73%, dan 31,23%. Perubahan intensitas puncak
difraksi menunjukkan terjadi perubahan pada struktur kristalinitasnya atau
keteraturan rantai molekul selulosanya (Elanthikkal et al. 2010; Chen et al. 2011).
Kristalinitas yang tinggi menunjukkan bahwa susunan rantai polimer dalam bahan
tersusun secara teratur atau kisi-kisi bagian kristalinnya lebih sempurna (Lu dan
Hsieh 2010).

22,85o
17o

15o

Gambar 23 Difraktogram ampas tapioka


31

22,19o

15,09o

Metode I

22,13o

15,5o

Metode II

22,23o

15,94o

Metode III

Gambar 24 Difraktogram nanoserat selulosa


32

Peningkatan kristalinitas ini disebabkan oleh penurunan komposisi serat


yang bersifat amorf akibat perlakuan kimiawi. Perlakuan kimiawi diarahkan untuk
menghilangkan hemiselulosa, lignin, pektin, yang merupakan komponen serat
yang berkontribusi terhadap bagian amorf serat (Morán et al. 2008). Bagian amorf
lebih mudah terhidrolisis dibandingkan dengan bagian kristalin, sehingga
perlakuan hidrolisis menyebabkan serat menjadi lebih kristalin (Elanthikkal et al.
2010). Penghilangan bagian amorf menyebabkan nanoserat selulosa menata ulang
strukturnya, akibat terbukanya permukaan rantai selulosa. Rantai selulosa
merupakan rantai yang lurus, sehingga mampu saling mendekati dengan rantai
selulosa yang berdekatan sampai jarak sedemikian dekat, sehingga terjadi gaya
tarik antara rantai yang satu dan rantai yang lain.
Nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II menunjukkan derajat
kristalisasi yang lebih besar dibandingkan dengan nanoserat selulosa yang
dihasilkan melalui metode I dan III. Perlakuan alkali, bleaching, dan asam yang
dilakukan pada metode II diduga menghasilkan nanoserat selulosa dengan
kandungan lignin dan hemiselulosa yang lebih rendah. Metode II menggunakan
alkali, dalam hal ini KOH, dapat menghilangkan residu pati, hemiselulosa, dan
pektin, sedangkan bleaching dengan NaClO2 dapat mereduksi lignin, sehingga
lebih mudah larut dalam larutan alkali (Abe dan Yano 2009). Selain itu, adanya
perlakuan asam dapat menghidrolisis bagian serat yang amorf, sehingga proporsi
bagian serat yang berkristal menjadi lebih besar. Bagian kristal dalam rantai
selulosa lebih tahan terhadap perlakuan hidrolisis asam dibandingkan dengan
bagian amorfnya.
Metode III menghasilkan nanoserat selulosa dengan derajat kristalisasi yang
lebih rendah dibandingkan metode lain. Perlakuan kimiawi yang digunakan pada
metode III hanya berupa perlakuan asam, sehingga kurang efektif dalam
menghilangkan bahan yang amorf, terutama lignin. Adanya bahan yang amorf
menghalangi rantai selulosa untuk berinteraksi dengan rantai tetangganya untuk
membentuk susunan rapat, sehingga mencegah pembentukan ikatan hidrogen di
antara rantai selulosa.
Pola difraksi nanoserat selulosa yang dihasilkan dengan metode II dan III
menunjukkan puncak dengan intensitas kuat pada 2θ = 20o. Puncak tersebut
menandakan terbentuk struktur selulosa II selama proses isolasi nanoserat selulosa
(Gupta et al. 2013). Selulosa II merupakan struktur rantai selulosa yang terjadi
akibat interaksi rantai yang tidak paralel, atau terjadi antara rantai selulosa dalam
satu susunan selulosa dengan rantai selulosa yang terdapat dalam susunan selulosa
yang lain. Cheng et al. (2011) menunjukkan perbedaan struktur selulosa I (alami)
dan II pada Gambar 25.

Selulosa I (alami) Selulosa II


Gambar 25 Struktur selulosa I dan II (Cheng et al. 2011)
33

Struktur selulosa II umumnya terjadi pada daerah amorf (Zuluaga et al.


2009). Selulosa II terjadi akibat disosiasi ikatan hidrogen akibat perlakuan
kimiawi. Selulosa secara alami tersusun atas lembaran-lembaran. Rantai selulosa
yang saling berdekatan dalam satu lembaran membentuk ikatan hidrogen secara
paralel. Perlakuan kimia yang diberikan dapat menyebabkan serat membengkak
dan terjadi disosiasi ikatan hidrogen. Setelah disosiasi, rantai selulosa melakukan
penataan ulang menyebabkan terjadi peluang pembentukan ikatan hidrogen
dengan lembaran selulosa yang lain, sehingga terbentuk selulosa II (El Oudiani et
al. 2011). Perlakuan asam yang diberikan diduga melemahkan dan memutuskan
ikatan hidrogen pada daerah kristal selulosa alami (selulosa I), sehingga terbentuk
ikatan hidrogen baru yang memunculkan struktur selulosa II.

Simpulan

Isolasi nanoserat selulosa dengan perlakuan alkali + bleaching + mekanis


(metode I), perlakuan alkali + bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II),
dan hidrolisis asam + mekanis (metode III) menghasilkan nanoserat selulosa
dengan diameter 20-30 nm, sedangkan nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui
metode II dan metode III masing-masing 5-8 nm dengan panjang beberapa
mikrometer. Nilai zeta potential suspensi nanoserat selulosa dari metode I, II, dan
III masing-masing sebesar 46,47, 52,45, dan 33,75 mV, menunjukkan tingkat
kestabilan suspensinya tergolong baik. Semua metode yang diterapkan dapat
meningkatkan kristalinitas bahan dari 14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi
33,25% (metode I), 39,73% (metode II), dan 31,23% (metode III).
34

4 APLIKASI NANOSERAT SELULOSA DARI AMPAS


TAPIOKA SEBAGAI BAHAN PENGISI FILM TAPIOKA

Pendahuluan

Sifat mekanis merupakan salah satu sifat penting yang digunakan sebagai
dasar untuk menilai kelayakan fungsi film sebagai pengemas. Permasalahan yang
umum dihadapi oleh film berbasis karbohidrat adalah memiliki sifat mekanis yang
kurang baik, terutama terkait dengan sifat higroskopis bahan. Kekuatan film pada
umumnya melemah sejalan dengan peningkatan kadar airnya (Gilfillan et al.
2012). Air dapat membentuk ikatan hidrogen dengan pati dan dengan serat,
menggantikan interaksi sebelumnya antara pati dan serat. Penghalangan interaksi
antara pati dan serat akibat adanya air akan melemahkan kuat tarik film (Ma et al.
2005).
Sifat mekanis film dapat diperbaiki dengan penambahan bahan pengisi
berupa nanoserat selulosa (Azeredo et al. 2012). Mekanisme penguatan film
akibat adanya nanoserat selulosa ini terkait dengan sifat selulosa itu sendiri yang
lebih hidrofob dibandingkan dengan pati (Ma et al. 2005) dan kemampuan
selulosa dalam membentuk struktur jaringan penguat dalam matriks film
(Mondragón et al. 2008). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film
pati dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan
(Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b). Peningkatan sifat kuat tarik akibat
penambahan nanoserat selulosa dapat diikuti oleh penurunan sifat pemanjangan
putusnya. Gerakan rantai polimer pati menjadi lebih terbatas akibat adanya
interaksi antara nanoserat selulosa dan pati. Hal ini menyebabkan kemampuan
memanjang matriks film menjadi berkurang (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Penambahan nanoserat selulosa dapat menyebabkan kristalinitas bahan
makin tinggi (Ma et al. 2005; Müller et al. 2009b), sehingga dapat menurunkan
sifat higroskopis bahan (Averous dan Boquillon 2004). Modifikasi sifat kristal
bahan melalui penambahan nanoserat selulosa, disertai dengan penurunan sifat
higroskopis dan terbentuknya struktur jaringan dalam matriks film menyebabkan
sifat mekanis film dapat direkayasa menjadi lebih baik.
Sifat mekanis sangat dipengaruhi oleh adhesi antara matriks film dan serat
(Rosa et al. 2009). Peningkatan kuat tarik merupakan indikator bahwa nanoserat
selulosa sesuai (kompatibel) untuk digunakan sebagai bahan pengisi penguat,
terutama pada film berbahan dasar pati. Kesesuaian ini terkait dengan kemiripan
kimia antara selulosa dan pati, sehingga terjadi interaksi yang baik (Ma et al.
2005; Chang et al. 2010). Nanoserat selulosa dapat terdistribusi dengan baik dan
terlapisi oleh matriks film dari pati. Hal itu menunjukkan bahwa terbentuk
interaksi yang baik antara nanoserat selulosa dan matriks (Guimarães et al. 2010).
Peningkatan distribusi serat dapat ditingkatkan melalui pembentukan serat
berukuran nano. Pengaruh buruk distribusi bahan pengisi yang tidak baik tidak
hanya pada penurunan sifat mekanis saja, namun juga memudahkan terjadi
transmisi uap air dan gas (Chang et al. 2010; Alves et al. 2011).
Komposisi film berpengaruh penting terhadap sifat transmisi uap air, di
samping kondisi suhu dan kelembaban relatif ruang serta ketebalan film. Adanya
nanoserat selulosa dalam komposisi film dapat memodifikasi sifat transmisi film
35

akibat adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa yang
dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air.
Hal ini menurunkan sifat higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al.
2009a; Dias et al. 2011). Selain itu, adanya jaringan atau belitan nanoserat
selulosa dalam matriks film dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam
matriks film, sehingga penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat
penghambatan terhadap uap air (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011;
Azeredo et al. 2012). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sifat mekanis dan
fisis film hasil aplikasi nanoserat selulosa.

Metode

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi tapioka, nanoserat selulosa dari ampas


tapioka hasil isolasi metode I, II, dan III, dan akuades. Alat yang digunakan
dalam pembuatan film antara lain hot plate stirrer, termometer, dan cabinet dryer.
Instrumen pengujian yang digunakan meliputi Zwick Instrument dan UV-visible
spektrofotometer Shimadzu.

Pembuatan Film

Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan
dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Tapioka
sebanyak 4% (basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil
diaduk selama 15 menit. Nanoserat selulosa dari masing-masing metode isolasi
ditambahkan sebanyak 1, 2, 3, dan 4% b/b dari berat kering tapioka. Sorbitol
ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai pemlastis. Larutan
film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5 mm. Pengeringan
dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet dryer. Film yang
terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan dan disimpan dalam wadah kedap
udara. Film tanpa bahan bahan pengisi dan film dengan bahan pengisi berupa
ampas tapioka juga dibuat sebagai pembanding. Film dengan penambahan ampas
tapioka lolos ayak 100 mesh dengan konsentrasi yang sama berdasarkan kadar
serat kasarnya (basis kering) juga dibuat sebagai perlakuan dan film tanpa
penambahan serat dibuat sebagai pembanding.

Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian dilakukan dengan menggunakan Zwick Instrument pada sampel


berbentuk dayung (dumbbell). Sampel dijepit pada penjepit sampel dengan jarak
50 mm, selanjutnya sampel ditarik dengan kecepatan 10 mm/menit. Nilai kuat
tarik dihitung dengan membagi gaya maksimum saat bahan uji putus (Newton)
dibagi dengan luas penampang bahan uji (mm2), yaitu:
36

F
σ=
A
σ = kuat tarik (tensile strength) (N/mm2) ; F = gaya yang diperlukan untuk
menarik bahan uji sampai putus (N); A = luas penampang daerah putus (section
area) (mm2).
Pemanjangan putus dihitung dengan rumus:
Δl
ε= x 100%
lo
ε = pemanjangan putus (elongation at break) (%); Δl = pertambahan panjang
bahan uji sampai putus; lo = panjang mula-mula (Davis, 2004; Sari dan Satoto
2010).

Pengujian Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air

Cawan berisi gel silika kering ditutup dengan film rapat-rapat. Cawan
diletakkan di dalam wadah kedap udara, yang di dalamnya berisi larutan NaCl
jenuh untuk menciptakan kondisi kelembaban relatif lingkungan ±75 persen. Uap
air yang terdifusi melalui film akan diserap oleh gel silika dan akan menambah
berat silika gel tersebut. Perubahan berat cawan dicatat setiap jam sampai jam
ketujuh. Data yang diperoleh dibuat persamaan regresi linier, sehingga diperoleh
slope. Laju transmisi uap air (water vapour transmision rate/WVTR) dihitung
dengan rumus:
Slope kenaikan berat cawan (g/jam)
WVTR =
Luas permukaan film (m2)
Nilai permeabilitas film terhadap uap air (water vapour permeability/WVP)
dihitung dengan rumus:
WVTR x tebal film
WVP =
P (R1 – R2)
P merupakan tekanan jenuh uap air pada suhu pengujian (± 27 oC) yaitu sebesar
3,17 kPa, R1 merupakan RH dalam wadah (75%), dan R2 merupakan RH di
bagian dalam cawan (52%) (Lastriyanto et al. 2007).

Pengujian Transparansi Film

Film dipotong berukuran 1 x 3 cm dan ditempelkan pada dinding wadah


sampel spektrofotometer. Transmisi cahaya ditentukan melalui pengukuran nilai
transmittance (%) film dengan panjang gelombang 200-800 nm (Bilbao-Sainz et
al. 2011).
37

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap


(RAL) faktorial. Faktor perlakuan terdiri atas jenis serat selulosa (A) dan
konsentrasi serat selulosa (B). Jenis serat selulosa yang digunakan meliputi serat
alami dari ampas tapioka (A1), nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode I
(A2), nanoserat selulosa yang dihasilkan dari metode II (A3), dan nanoserat
selulosa yang dihasilkan dari metode III (A4). Konsentrasi serat selulosa yang
digunakan meliputi 0% (B1), 1% (B2), 2% (B3), 3% (B4), dan 4% (B5) b/b tapioka
basis kering. Percobaan dilakukan sebanyak dua ulangan. Data yang diperoleh
dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila menunjukkan perbedaan yang
nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf uji
0,05.
Model umum rancangan percobaan yang digunakan:
Yijk = μ + Ai + Bj + ABij + εijk
Yijk = Nilai pengamatan ke-k dari jenis serat selulosa ke-i dan konsentrasi
serat ke-j
 = Nilai rata-rata pengamatan
Ai = Pengaruh jenis serat selulosa ke-i
Bj = Pengaruh kadar serat ke-j
ABij = Pengaruh interaksi dari jenis serat selulosa ke-i pada kadar serat ke-j
ijk = Pengaruh galat pada pengamatan ke-k yang memperoleh kombinasi
perlakuan ij
i = Jenis serat selulosa ke-1, 2, 3, dan 4
j = Kadar serat selulosa 0, 1, 2, 3, dan 4%
k = Ulangan ke-1 dan ke-2

Hasil dan Pembahasan

Sifat Mekanis Film

Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 26.
Film dengan nanoserat metode I menunjukkan kuat tarik yang lebih tinggi
dibandingkan dengan film metode II dan III. Hal ini menggambarkan bahwa
nanoserat dari metode I menghasilkan tingkat kekuatan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan metode II dan III. Perbedaan ini diduga disebabkan oleh
perlakuan kimiawi yang diberikan. Metode II menggunakan proses alkali dan
bleaching dan dilanjutkan dengan hidrolisis asam kuat dengan tujuan untuk lebih
mengecilkan ukuran nanoserat. Perlakuan kimiawi yang lebih intensif ini diduga
sudah merusak sebagian struktur serat, sehingga peranannya sebagai penguat
menjadi kurang efektif. Metode III menggunakan hidrolisis asam kuat secara
langsung. Perlakuan ini ditambah dengan suhu tinggi sampai batas tertentu dapat
mendegradasi bagian kristalin serat selulosa, sehingga efek penguatannya menjadi
berkurang.
38

Kuat tarik (N/mm2)

0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat

Gambar 26 Pengaruh jenis serat terhadap kuat tarik film


Penggunaan serat telah diketahui dapat meningkatkan kuat tarik film.
Namun dalam penelitian ini, peningkatan kadar serat dari 1% hingga 4% belum
menunjukkan perbedaan kuat tarik yang nyata, meskipun ada kecenderungan
peningkatan nilai kuat tariknya (Gambar 27). Hal ini diduga dipengaruhi oleh
sebaran serat yang kurang merata. Meskipun suspensi nanoserat yang dihasilkan
termasuk stabil atau tidak mudah mengendap, kemungkinan dengan adanya bahan
lain yang dapat berinteraksi dengan nanoserat, seperti tapioka dan sorbitol
menyebabkan distribusi nanoserat tertahan oleh bahan tersebut.

3
Kuat tarik (N/mm2)

0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)

Gambar 27 Pengaruh kadar serat terhadap kuat tarik film


39

Mekanisme penguatan terkait dengan kemampuan serat dalam membentuk


struktur jaringan penguat dalam matriks film, sehingga memungkinkan terjadi
peralihan beban dari matriks ke serat, apabila film terkena gaya mekanis (Bilbao-
Sainz et al. 2011). Bentuk nanoserat selulosa yang jauh lebih kecil dibandingkan
serat ampas tapioka, dapat meningkatkan luas permukaannya, sehingga
memperbesar kontak permukaan antara serat dan matriks film. Peningkatan
kontak permukaan memungkinkan peningkatan ikatan hidrogen antara matriks
dan serat, sehingga memudahkan peralihan beban dari matriks ke serat (Bilbao-
Sainz et al. 2011).
Penghilangan bahan selain selulosa, terutama lignin, yang dilakukan pada
isolasi nanoserat selulosa dapat meningkatkan adhesi antara serat dan matriks film
(Abraham et al. 2011). Lignin merupakan bahan yang relatif hidrofob, sedangkan
pati bersifat hidrofil. Penghilangan lignin dapat meningkatkan interaksi antara
serat dan matriks film berbasis pati (Azeredo et al. 2012). Interaksi yang baik
antara serat selulosa dan matriks film dari pati, memungkinkan serat untuk
terdistribusi dengan baik dalam matriks film (Guimarães et al. 2010).
Distribusi serat yang baik menyebabkan peralihan beban dari matriks ke
serat berlangsung efektif (Zimmermann et al. 2010; Bilbao-Sainz et al. 2011).
Sebaran serat yang tidak merata dapat mengurangi keefektifan penguatannya
(Kengkhetkit dan Amornsakchai 2012; Savadekar dan Mhaske 2012).
Pencampuran bahan yang tidak rata dapat menghasilkan matriks film yang tidak
sinambung atau tidak padu, sehingga dapat menurunkan sifat kuat tariknya
(Attarian et al. 2006; Bahri dan Rashidi 2009).
Penambahan serat pada umumnya meningkatkan sifat kuat tarik, namun
menurunkan kapasitas pemanjangan (Müller et al. 2009a). Penambahan serat
tampak menurunkan persentase pemanjangan putus film. Hal ini terlihat pada
Tabel 3 yang menunjukkan bahwa penambahan nanoserat selulosa berpengaruh
sangat nyata (p<0,01) terhadap pemanjangan putus film. Penurunan sifat
pemanjangan putus ini akibat penghalangan mobilitas rantai molekul polimer
dengan adanya penambahan serat (Kaushik et al. 2010). Penurunan sifat
pemanjangan putus juga diduga karena pengaruh serat yang dapat mengurangi
sifat higroskopis film. Air dalam matriks film dapat berperan sebagai pemlastis.
Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya interaksi
antara rantai pati dan air, sehingga mengurangi sifat higroskopis film berbahan
dasar pati (Müller et al. 2009a).
Film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari metode I tampak
menunjukkan nilai pemanjangan putus lebih tinggi dibandingkan film berbahan
pengisi lain (Gambar 28). Hal ini terkait dengan dugaan adanya kerusakan
struktur rantai selulosa pada nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II
dan III. Struktur serat yang baik dapat berperan sebagai penahan integritas
matriks film, sehingga matriks film tidak mudah mengalami deformasi apabila
dikenai gaya berupa tarikan.
40

40

35
Pemanjangan putus (%)

30

25

20

15

10

0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat

Gambar 28 Pengaruh jenis serat terhadap pemanjangan putus film


Penambahan serat pada umumnya meningkatkan sifat kuat tarik, namun
menurunkan kapasitas pemanjangan (Müller et al. 2009a). Penambahan serat
tampak menurunkan persentase pemanjangan putus film (Gambar 29). Penurunan
sifat pemanjangan putus ini akibat penghalangan mobilitas rantai molekul polimer
dengan adanya penambahan serat (Kaushik et al. 2010). Penurunan sifat
pemanjangan putus juga diduga karena pengaruh serat yang dapat mengurangi
sifat higroskopis film. Air dalam matriks film dapat berperan sebagai pemlastis.
Interaksi antara rantai pati dan serat selulosa dapat mencegah terjadinya interaksi
antara rantai pati dan air, sehingga mengurangi sifat higroskopis film berbahan
dasar pati (Müller et al. 2009a).

40
35
Pemanjangan putus (%)

30
25
20
15
10
5
0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)

Gambar 29 Pengaruh kadar serat terhadap pemanjangan putus film


41

Laju Transmisi Uap Air dan Permeabilitas Film terhadap Uap Air

Laju transmisi uap air merupakan banyaknya uap air yang ditransmisikan
dari salah satu sisi film ke sisi film lainnya dalam suatu luasan dan waktu tertentu,
sedangkan permeabilitas terhadap uap air merupakan banyaknya uap air yang
bermigrasi melalui film dengan ketebalan dan perbedaan tekanan uap tertentu dari
kedua sisi film. Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air dan
perneabilitas film terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 30 dan Gambar 31.
Film berbahan pengisi nanoserat selulosa metode II tampak memperlihatkan
kemampuan penahan terhadap uap air yang lebih baik. Hal ini diduga terkait
dengan kristalinitas nanoserat yang lebih tinggi. Kristalinitas serat selulosa yang
makin tinggi pada umumnya makin menghambat transmisi uap air. Uap air sulit
melalui bagian serat yang bersifat kristal karena strukturnya rapat (Saxena et al.
2011; Indriyati et al. 2012; Lavoine et al. 2013). Sebaliknya, struktur amorf
bersifat lebih hidrofil, sehingga memiliki kapasitas serapan uap air yang lebih
besar daripada struktur kristal. Uap air lebih mudah ditransmisikan pada bagian
tersebut (Phan et al. 2005; Bilbao-Sainz et al. 2103; Jiménez et al. 2013).
Mekanisme penghambatan pergerakan uap air dalam matriks film, secara
umum terkait dengan pembentukan jalur difusi yang berliku akibat serat yang
tersebar di dalam matriks film (Huq et al. 2012; Savadekar dan Mhaske 2012;
Abdollahi et al. 2013). Film memiliki sifat penghalangan terhadap difusi uap air
yang makin baik apabila jalur difusi dalam film makin berliku. Struktur belitan
serat dalam matriks film merupakan salah satu faktor yang menyebabkan jalur
difusi uap air dalam matriks film makin berliku (Lavoine et al. 2012).

300
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)

250

200

150

100

50

0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat

Gambar 30 Pengaruh jenis serat terhadap laju transmisi uap air


42

60

50
Permeabilitas uap air
(g.mm/m2.hari.kPa)

40

30

20

10

0
Tanpa serat Ampas tapioka Nanoserat I Nanoserat II Nanoserat III
Jenis serat

Gambar 31 Pengaruh jenis serat terhadap permeabilitas film terhadap uap air
Ampas tapioka menunjukkan sifat penahan uap air yang kurang baik.
Kestabilan serat dalam ampas tapioka tidak sebaik nanoserat selulosa. Sebaran
bahan pengisi yang tidak merata atau terjadi aglomerasi akan menghasilkan ruang
kosong tanpa bahan pengisi pada salah satu bagian dalam matriks, sehingga
molekul air akan lebih mudah berdifusi pada bagian tersebut (Moura et al. 2011;
Ludueña et al. 2012; Yoon et al. 2012).
Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air dan permeabilitas
terhadap uap air dapat dilihat pada Gambar 32 dan 33. Peningkatan kadar serat
tampak meningkatkan penghambatan terhadap uap air. Hal ini diduga terkait
dengan peningkatan kepadatan film sejalan dengan penambahan kadar serat.

300
Laju transmisi uap air (g/m2.hari)

250

200

150

100

50

0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)

Gambar 32 Pengaruh kadar serat terhadap laju transmisi uap air


43

60

Permeabilitas uap air (g.mm/m2.hari.kPa)


50

40

30

20

10

0
1 2 3 4 5
Kadar serat (%)

Gambar 33 Pengaruh kadar serat terhadap permeabilitas uap air

Transparansi Film

Penambahan bahan pengisi ke dalam film dengan tujuan teknis maupun


ekonomis dapat memengaruhi sifat transparansi film. Transparansi merupakan
kemampuan suatu bahan untuk meneruskan cahaya. Partikel yang lebih besar
daripada gelombang cahaya akan menghalangi cahaya (Mbey et al. 2012).
Penurunan transparansi film akibat penambahan bahan pengisi ditentukan dari
penurunan nilai transmitansi pada panjang gelombang yang sama (Savadekar dan
Mhaske 2012). Pengaruh penambahan bahan pengisi berupa ampas tapioka dan
nanoserat terhadap transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak
(400-800 nm) disajikan pada Tabel 4, sedangkan pada gelombang cahaya
ultraviolet (UV) (200-350 nm) disajikan pada Tabel 5.
Penambahan bahan pengisi berupa ampas tapioka dan nanoserat selulosa
tampak menurunkan sifat transparansi film, yang ditunjukkan oleh penurunan
persentanse transmitansi pada gelombang cahaya tersebut. Film dengan bahan
pengisi ampas tapioka menunjukkan nilai transmitansi yang lebih rendah
dibandingkan film tanpa bahan pengisi dan film dengan bahan pengisi nanoserat
selulosa. Penurunan nilai transmitansi pada konsentrasi bahan pengisi yang sama
dapat dijadikan indikator bahwa ukuran partikel bahan pengisi yang digunakan
lebih besar (Salleh et al. 2009).
Nilai transmitansi ampas tapioka yang rendah disebabkan oleh
penghalangan transmisi cahaya, maupun adanya absorpsi cahaya oleh komponen
dalam ampas tapioka. Perlakuan kimiawi dan mekanis yang diterapkan pada
ampas tapioka menyebabkan serat berukuran jauh lebih kecil dan lebih murni
dibandingkan dengan ampas tapioka. Hal tersebut menyebabkan bahan pengisi
berupa nanoserat selulosa tidak menahan atau merefleksikan cahaya dan tidak
mengabsorpsi cahaya sebesar serat dalam ampas tapioka.
44

Tabel 4 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya tampak

Transmitansi (%)
Penggunaan
Panjang gelombang (nm)
serat
400 450 500 550 600 650 700 750 800
Tanpa serat 72,60 74,35 76,10 76,85 77,60 78,35 79,10 79,45 79,80
Ampas 1% 33,10 35,50 37,90 38,93 39,95 40,98 42 42,45 42,90
Ampas 2% 28 30,90 33,80 35,15 36,50 37,85 39,20 39,90 40,60
Ampas 3% 15,10 17,30 19,50 20,43 21,35 22,28 23,20 23,55 23,90
Ampas 4% 5,50 6,10 6,70 7,08 7,45 7,83 8,20 8,65 9,10
Nanoserat I 1% 62,20 64,60 67 68,38 69,75 71,13 72,50 73,10 73,70
Nanoserat I 2% 57,50 60,80 64,10 65,83 67,55 69,28 71 71,90 72,80
Nanoserat I 3% 40,20 44,80 49,40 51,73 54,05 56,38 58,70 59,20 59,70
Nanoserat I 4% 38,90 41,45 44 45,03 46,05 47,08 48,10 48,60 49,10
Nanoserat II 1% 64,80 69,80 74,80 75,13 75,45 75,78 76,10 76,75 77,40
Nanoserat II 2% 58,80 62 65,20 66,65 68,10 69,55 71 71,90 72,80
Nanoserat II 3% 54,90 57,80 60,70 62,03 63,35 64,68 66 66,85 67,70
Nanoserat II 4% 36,50 38,50 40,50 41,80 43,10 44,40 45,70 46,15 46,60
Nanoserat III 1% 62,90 65,20 67,50 68,80 70,10 71,40 72,70 73,70 74,70
Nanoserat III 2% 56,80 60,15 63,50 64,60 65,70 66,80 67,90 68,55 69,20
Nanoserat III 3% 53,10 56,85 60,60 61,70 62,80 63,90 65,00 65,65 66,30
Nanoserat III 4% 37,10 39,45 41,80 43,03 44,25 45,48 46,70 47,50 48,30

Penggunan serat juga menghasilkan efek penghambatan terhadap sinar UV


seperti pada cahaya tampak, namun penghambatannya terlihat lebih tajam pada
daerah sinar UV. Penurunan nilai transmitansi yang tajam pada film pada daerah
sinar UV tersebut menunjukkan adanya komponen dalam serat yang turut
berperan mengabsorpsi sinar UV. Salah satu senyawa yang dikenal sebagai
penyerap sinar UV adalah lignin yang merupakan salah satu komponen dalam
serat (Núñez-Flores et al. 2013).
Penurunan nilai transmitansi ini pada satu pihak dapat dianggap sebagai
faktor negatif penggunaan serat sebagai bahan pengisi terkait penurunan sifat
transparansinya, namun dipihak lain dapat menguntungkan terkait dengan
penahanan kerusakan akibat cahaya, terutama untuk mencegah oksidasi lipid yang
menyebabkan ketengikan produk, maupun kerusakan senyawa yang peka terhadap
cahaya (Warsiki et al., 2011; Al-Hassan dan Norziah 2012).
45

Tabel 5 Transmitansi film pada panjang gelombang cahaya ultraviolet

Transmitansi (%)
Penggunaan serat Panjang gelombang (nm)
200 250 300 350
Tanpa serat 4,30 45,10 59,90 69,20
Ampas 1% 0,20 9,50 20,60 27,80
Ampas 2% 0,09 7,40 14,90 21,90
Ampas 3% 0,07 3 6,70 10,50
Ampas 4% 0,06 1,37 2,80 4,10
Nanoserat I 1% 2,40 30,60 46,20 57,20
Nanoserat I 2% 1,80 29,60 41,80 50,40
Nanoserat I 3% 0,70 16,30 25,90 34,10
Nanoserat I 4% 0,60 15,20 24,90 32,80
Nanoserat II 1% 3,20 36,40 50,30 59
Nanoserat II 2% 2,30 29,60 45,30 54,50
Nanoserat II 3% 1,10 22,90 37,40 49,50
Nanoserat II 4% 0,40 12 21,80 30,80
Nanoserat III 1% 2,80 33,20 47,80 58,40
Nanoserat III 2% 1,74 26,90 38,80 50,00
Nanoserat III 3% 0,90 21,20 37,10 49,10
Nanoserat III 4% 0,60 12,60 23 32,30

Simpulan

Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film


tapioka, namun mengurangi sifat pemanjangan putus film. Nilai kuat tarik film
yang dihasilkan sebesar 2,44-3,15 N/mm2, sedangkan nilai pemanjangan putus
film yang dihasilkan sebesar 16,51-31,14%. Penggunaan nanoserat selulosa
mampu menurunkan laju transmisi uap air dan permeabilitas film terhadap uap
air. Laju transmisi uap air yang dihasilkan sebesar 143,21-166,56 g/m2.hari dan
nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 28,52-52,01 g.mm/m2.hari.kPa.
Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan transparansi film.
46

5 PENGARUH KELEMBABAN RELATIF RUANG


PENYIMPANAN TERHADAP KESTABILAN
SIFAT MEKANIS FILM TAPIOKA

Pendahuluan

Sifat film pada umumnya mengalami perubahan atau kurang stabil selama
penyimpanan. Penyimpanan atau penggunaan film pada kondisi lingkungan
tertentu dapat mengubah sifat fisik dan kimia polimer yang digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan film. Perubahan kimiawi dalam film, misalnya oksidasi
dapat mendegradasi rantai polimer. Perubahan fisik film, meliputi rekristalisasi
polimer dan penurunan kelenturan film akibat migrasi bahan yang bersifat
pemlastis dapat menurunkan sifat mekanis film (Osés et al. 2009). Penurunan
mutu fisik dan mekanis film akan berimbas terhadap penurunan kemampuan
fungsional penggunaannya.
Film berbahan dasar pati dikenal sebagai film yang bersifat higroskopis,
yaitu dapat menyerap uap air dari udara. Namun, jika kelembaban udara di sekitar
film lebih kering, air dapat bermigrasi dari dalam menuju permukaan film dan
terlepas ke udara. Oleh karena itu, kelembaban relatif udara atau relative
humidity (RH) di sekitar penyimpanan dan penggunaan film merupakan salah satu
faktor yang berpengaruh terhadap perubahan sifat mekanis film. Perubahan sifat
tersebut disebabkan antara lain disebabkan oleh migrasi bahan yang berperan
sebagai pemlastis, terutama air, dari dalam ke permukaan film. Laju migrasinya
tergantung pada polaritas dan struktur matriks film (Osés et al. 2009).
Penggunaan nanoserat selulosa telah diketahui dapat menghalangi
pergerakan molekul air dalam film. Migrasi air dari permukaan ke dalam matriks
film atau sebaliknya menjadi terhambat akibat pembentukan jalur difusi yang
berliku disebabkan oleh serat yang tersebar di dalam matriks film (Huq et al.
2012; Savadekar dan Mhaske 2012; Abdollahi et al. 2013). Penggunaan nanoserat
selulosa sebagai bahan pengisi diharapkan dapat menjaga kestabilan film yang
bersifat higroskopis terhadap perubahan kondisi RH selama penyimpanan maupun
penggunaan.
Metode pembuatan film tapioka dengan nanoserat selulosa yang dilakukan
dalam penelitian ini mengacu pada hasil penelitian sebelumnya, yaitu film dengan
penambahan nanoserat selulosa sebesar 1% b/b dari berat kering tapioka.
Nanoserat selulosa diperoleh dari serangkaian perlakuan alkali, bleaching, dan
perlakuan mekanis. Komposisi tersebut menghasilkan film dengan kekuatan
mekanis dan permeabilitas terhadap air yang dianggap dapat mewakili komposisi
film dengan nanoserat selulosa yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kestabilan sifat mekanis film selama
penyimpanan pada kondisi kelembaban lingkungan yang berbeda.
47

Metode

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan meliputi tapioka, nanoserat selulosa hasil isolasi


metode I, sorbitol, dan akuades. Alat yang digunakan dalam pembuatan film
antara lain hot plate stirrer, termometer, dan cabinet dryer. Instrumen pengujian
yang digunakan meliputi Zwick Instrument.

Pembuatan Film

Film dibuat dengan metode casting, yaitu pencetakan pada pelat cetakan dan
dikeringkan, sehingga terbentuk lembaran film (Müller et al. 2009a). Film yang
dibuat terdiri atas dua jenis, yaitu film tapioka tanpa bahan pengisi dan film
tapioka dengan bahan pengisi berupa nanoserat tapioka. Tapioka sebanyak 4%
(basis kering) dipanaskan dalam akuades pada suhu 80oC sambil diaduk selama
15 menit. Sorbitol ditambahkan sebanyak 2,5% b/b dari total larutan film sebagai
pemlastis. Larutan film dituangkan ke permukaan cetakan dengan ketebalan ± 5
mm. Pengeringan dilakukan pada suhu 50oC selama 12 jam menggunakan cabinet
dryer. Film yang terbentuk selanjutnya dilepas dari cetakan. Film tapioka dengan
bahan pengisi nanoserat selulosa dibuat dengan cara yang sama, namun dengan
penambahan nanoserat selulosa sebanyak 1% b/b dari berat kering tapioka.

Kondisi Penyimpanan

Film dipotong sesuai dengan bentuk potongan uji, yaitu berbentuk dayung
dan disimpan disimpan dalam wadah pada RH 75% dan RH 97% selama 7 hari.
RH dijaga konstan menggunakan larutan jenuh NaCl (RH 75%) dan K2SO4 (RH
97%) di dalam wadah kedap udara.

Pengujian Sifat Mekanis

Pengujian dilakukan dengan menggunakan Zwick Instrument pada sampel


berbentuk dayung (dumbbell). Sampel dijepit pada penjepit sampel dengan jarak
50 mm, selanjutnya sampel ditarik dengan kecepatan 10 mm/menit. Nilai kuat
tarik dihitung dengan membagi gaya maksimum saat bahan uji putus (Newton)
dibagi dengan luas penampang bahan uji (mm2), yaitu:
F
σ=
A
σ = kuat tarik (tensile strength) (N/mm2) ; F = gaya yang diperlukan untuk
menarik bahan uji sampai putus (N); A = luas penampang daerah putus (section
area) (mm2).
48

Pemanjangan putus dihitung dengan rumus:


Δl
ε= x 100%
lo
ε = pemanjangan putus (elongation at break) (%); Δl = pertambahan panjang
bahan uji sampai putus; lo = panjang mula-mula.
Nilai modulus elastisitas diperoleh dari perhitungan slope kurva stress-
strain yang diperoleh dari hasil pengujian mekanis. Slope dihitung pada zona
deformasi linier. Modulus elastisitas dihitung dengan rumus:
σ2 – σ1 Δσ
Y= =
ε2 - ε1 Δε
Y = modulus elastisitas (N/mm2), σ2 = tegangan pada titik 2(akhir), σ1 adalah
tegangan pada titik 1 (awal), ε2 = regangan pada titik 2 (akhir), ε1 = regangan pada
titik 1 (awal), Δσ = perbedaan tegangan antara titik 2 dan titik 1, dan Δ ε =
perbedaan regangan antara titik 2 dan titik 1 (Davis 2004; Sari dan Satoto 2010).

Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap


(RAL) faktorial. Perlakuan terdiri atas film tapioka tanpa bahan pengisi (A1) dan
film tapioka dengan bahan pengisi nanoserat selulosa (A2), serta RH penyimpanan
75% (B1) dan RH penyimpanan 97% (B2). Data diperoleh dari tiga ulangan
perlakuan, hari penyimpanan digunakan sebagai blok perlakuan. Data yang
diperoleh dianalisis dengan analisis sidik ragam, apabila menunjukkan perbedaan
yang nyata (p < 0,05) dilanjutkan dengan Duncan Multiple Range Test pada taraf
uji 0,05.
Model umum rancangan percobaan yang digunakan:
Yijk = μ + Kk + Ai + Bj + ABij + εijk
Yijk = Nilai pengamatan dari blok ke-k dari jenis film ke-i dan RH ke-j
 = Nilai rata-rata pengamatan
Kk = Pengaruh blok hari ke-k
Ai = Pengaruh jenis film ke-i
Bj = Pengaruh RH ke-j
ABij = Pengaruh interaksi dari jenis film ke-i pada RH ke-j
ijk = Pengaruh galat pada pengamatan blok hari ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij
i = jenis film ke-1 dan ke-2
j = RH ke-1 dan ke-2
k = blok hari ke-1, 2, 3, 4, 5, 6, dan 7
49

Hasil dan Pembahasan

Perbedaan sifat kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi dan dengan
bahan pengisi nanoserat selulosa pada RH 75% dan 97% selama penyimpanan
dapat dilihat pada Gambar 34. Peningkatan masa simpan film pada RH 75%
menyebabkan peningkatan kuat tarik film. Penyimpanan film pada RH 97%
ternyata menunjukkan pola sebaliknya, yaitu kuat tariknya cenderung menurun.
Selain itu, penyimpanan film pada RH 75% menghasilkan nilai kuat tarik yang
lebih tinggi dibandingkan dengan penyimpanan film pada RH 97%.
3,5

3
Kuat tarik (N/mm2)

2,5

1,5

0,5

0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)

Tapioka, RH 75% Tapioka+Nanoserat, RH 75%


Tapioka, RH 97% Tapioka + Nanoserat, RH 97%

Gambar 34 Kuat tarik film selama penyimpanan


Film tapioka dan film tapioka berbahan pengisi nanoserat selulosa pada RH
75% tampak mengalami peningkatan kuat tarik hingga sampai hari ketujuh.
Perubahan kuat tarik kedua jenis film tidak menujukkan perbedaan yang nyata.
Peningkatan kuat tarik ini menunjukkan peningkatan kekakuan film. Film tanpa
nanoserat selulosa pada RH 97% mengalami penurunan nilai kuat tarik sekitar
87% pada hari ketujuh, sedangkan film dengan nanoserat selulosa mengalami
penurunan nilai kuat tarik mencapai 72%. Film tapioka pada penyimpanan hari
kedua menunjukkan penurunan nilai kuat tarik yang lebih besar dibandingkan
dengan film tapioka berbahan pengisi nanoserat selulosa. Penurunan nilai kuat
tarik film tapioka ini menunjukkan bahwa uap air yang terserap dari hari pertama
sampai kedua berlangsung secara cepat dan menempati ruang bebas di dalam
matriks film. Laju penyerapan uap air pada hari ketiga dan seterusnya diduga
melambat akibat sebagian mikropori matriks film tapioka sudah terisi oleh air.
Secara umum kuat tarik film tapioka tanpa bahan pengisi dan film tapioka
dengan bahan pengisi nanoserat selulosa sampai hari ketujuh penyimpanan
menunjukkan pola penurunan kuat tarik yang sama dan tidak berbeda nyata secara
statistik. Meskipun demikian, penggunaan nanoserat selulosa tampak dapat
menghambat penurunan kuat tarik film pada RH 97%. Penurunan nilai kuat tarik
50

mulai terjadi pada hari keempat. Kondisi ini menunjukkan bahwa adanya
nanoserat selulosa dapat menghambat penyerapan uap air dari udara akibat
penurunan sifat higroskopis film. Penurunan sifat higroskopis film terkait dengan
adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan nanoserat selulosa, sehingga
dapat mencegah dan menggantikan terjadinya interaksi antara rantai pati dan air
(Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011).
Adanya jaringan atau belitan serat selulosa dalam matriks film dapat
menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film, sehingga
penambahan nanoserat selulosa meningkatkan sifat penghambatan terhadap
migrasi uap air ke matriks film (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011;
Azeredo et al. 2012). Kondisi tersebut dapat mengurangi kelembaban film pati
dan meningkatkan kestabilannya terhadap perubahan kelembaban lingkungan (Ma
et al. 2005; Müller et al. 2009b).
Kondisi RH 75% menunjukkan kondisi kelembaban udara yang lebih kering
dibandingkan RH 97%. Film pada kelembaban kering dapat melepaskan air yang
terkandung di dalamnya melalui proses difusi molekul air dari matriks film
menuju permukaan dan penglepasan (desorpsi) molekul air ke udara. Sebaliknya,
pada kondisi RH penyimpanan 97% terjadi peristiwa adsorpsi uap air dari udara
ke permukaan film dan dilanjutkan dengan migrasi uap air dari permukaan ke
bagian dalam matriks film. Perubahan kandungan uap air film tercermin pada
perubahan bobot film selama penyimpanan (Gambar 35).
Migrasi uap air ke dalam matriks film dapat melemahkan interaksi rantai-
rantai polimer, sehingga film menjadi lebih lunak (Rachtanapun dan Wongchaiya
2012). Pelemahan ini diduga disebabkan oleh uap air dari udara yang masuk ke
dalam matriks film. Air dalam matriks film dapat melemahkan interaksi di antara
rantai polimer film, sehingga menurunkan kepaduan dan elastisitas film (Bertuzzi
et al. 2012; Rachtanapun dan Wongchaiya 2012).

Gambar 35 Perubahan bobot film selama penyimpanan


51

Pelemahan interaksi antar polimer yang satu dengan yang lain dalam
matriks film dengan adanya air dapat meningkatkan mobilitas rantai polimer. Air
dalam hal ini berperan seperti bahan pemlastis yang menghalangi interaksi rantai
polimer secara langsung, sehingga meningkatkan mobilitas rantai polimer
(Schmidt et al. 2013). Penggunaan bahan pemlastis sampai batas tertentu dapat
meningkatkan nilai pemanjangan putus. Namun, film yang disimpan pada RH
97% menunjukkan nilai pemanjangan putus yang rendah dan cenderung menurun
sampai hari ketiga dan selanjutnya cenderung stabil sampai hari ketujuh (Gambar
36).
160
140
Pemanjangan putus (%)

120
100
80
60
40
20
0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)

Tapioka, RH 75% Tapioka, RH 97%


Tapioka + Nanoserat, RH 75% Tapioka + Nanoserat, RH 97%

Gambar 36 Pemanjangan putus film selama penyimpanan

Film tapioka pada kondisi RH penyimpanan 97% pada hari kedua


menunjukkan nilai pemanjangan putus yang menurun cukup tajam hingga 50%
dari hari pertama, sedangkan nilai pemanjangan putus film tapioka dengan
penambahan nanoserat selulosa hanya turun sekitar 10%. Nilai pemanjangan
putus film pada hari keempat sampai ketujuh relatif tidak menunjukkan
perubahan yang besar.
Perubahan nilai modulus elastisitas film dapat dilihat pada Gambar 37.
Modulus elastisitas kedua jenis film pada RH 75% dari hari pertama dan kedua
tampak lebih rendah daripada modulus elastisitas film pada RH 97%. Namun,
modulus elastisitas film pada RH 75% tampak lebih tinggi daripada modulus
elastisitas film pada RH 97% mulai dari hari ketiga sampai ketujuh. Peningkatan
modulus elastisitas menunjukkan bahwa gaya yang diperlukan untuk menarik film
sampai pemanjangan tertentu dalam zona deformasi linier makin meningkat. Film
dengan modulus elastisitas tinggi menunjukkan sifat yang lebih kaku
dibandingkan dengan film dengan modulus elastisitas rendah. Kekakuan film
akibat penyimpanan pada RH yang rendah berisiko terjadi retakan saat aplikasi
(Ferreira et al. 2009).
52

25
Modulus elastisitas (N/mm2)

20

15

10

0
1 2 3 4 5 6 7
Penyimpanan (hari)

Tapioka, RH 75% Tapioka + Nanoserat, 75%


Tapioka, 97% Tapioka + Nanoserat, 97%

Gambar 37 Modulus elastisitas film selama penyimpanan

Simpulan

Nilai kuat tarik, pemanjangan putus, dan modulus elastisitas film pada
kondisi penyimpanan 75% tampak lebih tinggi daripada film yang disimpan pada
kondisi 97%. Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari
menyebabkan nilai kuat tarik film secara umum meningkat dan nilai pemanjangan
putusnya menurun. Peningkatan nilai kuat tarik dan penurunan pemanjangan
putus film tapioka tanpa bahan pengisi relatif lebih tajam dibandingkan dengan
nilai kuat tarik dan pemanjangan putus film tapioka dengan nanoserat selulosa.
Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan bahwa
kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang diamati.
Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari menyebabkan nilai kuat
tarik film secara umum menurun dan nilai pemanjangan putusnya menurun. Nilai
modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
53

6 PEMBAHASAN UMUM

Metode isolasi nanoserat selulosa yang dilakukan dalam penelitian ini telah
berhasil memperoleh nanoserat selulosa dari ampas tapioka. Perubahan ukuran
serat menjadi serat berukuran nano menyebabkan perubahan sifat serat, yang
selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku suatu produk tertentu untuk
memodifikasi sifat produk yang dihasilkan ke arah sifat yang diinginkan.
Ukuran serat yang lebih kecil dengan adanya asam sulfat menunjukkan
proses disintegrasi serat menjadi lebih intensif. Perubahan tersebut diikuti oleh
perubahan komponen serat lain, terutama lignin dan hemiselulosa, sehingga sifat
fisikokimia serat juga berubah. Perubahan sifat fisikokimia dapat dideteksi antara
lain melalui pengamatan terhadap sifat zeta potential (ZP), keberadaan gugus
fungsional tertentu, dan kristalinitas.
Nilai ZP merupakan nilai yang menunjukkan kestabilan partikel dalam
suspensi. Sifat ini penting dalam hubungannya dengan pembentukan formulasi
yang homogen. Nilai ZP yang rendah menunjukkan partikel atau serat cenderung
untuk mengendap atau membentuk aglomerat, sehingga akan mengurangi
kehomogenan bahan. Matriks film yang kurang homogen dapat mengurangi
kualitas mekanis film yang dihasilkan.
Penurunan ukuran partikel pada umumnya meningkatkan kestabilannya
dalam suspensi. Hal ini terkait dengan peningkatan luas permukaan yang
berpengaruh pula terhadap gugus-gugus fungsional yang terekspos di permukaan.
Gugus-gugus tersebut akan menghasilkan gaya tarik-menarik atau tolak-menolak.
Peristiwa tolak-menolak dapat terjadi jika partikel bermuatan sejenis. Gaya
tersebut akan besar jika perbedaan muatan listrik di permukaan juga besar.
Perbedaan muatan listrik di permukaan partikel diukur dengan ZP
Berdasarkan hasil TEM diketahui bahwa diameter atau ukuran nanoserat
selulosa yang dihasilkan metode III lebih kecil daripada metode I, namun
menghasilkan nilai ZP yang lebih kecil, yaitu 33,75 mV, sedangkan metode I
menghasilkan nilai ZP 52,45 mV. Nilai ZP yang lebih kecil ini diduga
dipengaruhi oleh residu sulfat yang bermuatan negatif pada permukaan serat
setelah perlakuan hidrolisis asam pada metode III. Reaksi ikatan gugus sulfat pada
permukaan nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 38.

Gambar 38 Reaksi ikatan gugus sulfat pada permukaan nanoserat selulosa (Lu
dan Hsieh 2010)
54

Tonoli et al. (2012) mengamati bahwa penambahan waktu hidrolisis


menggunakan asam sulfat menyebabkan kandungan sulfur pada nanoserat
selulosa meningkat. Peningkatan kandungan sulfur pada nanoserat selulosa
menurunkan muatan listrik pada permukaan nanoserat selulosa, sehingga nilai ZP-
nya turun. Metode II juga menggunakan perlakuan asam. Namun, nilai ZP nya
tercatat paling tinggi dibandingkan metode I dan II, yaitu 52,45 mV. Hal ini
diduga ada residu alkali dan bleaching agent yang menetralkan muatan gugus
negatif yang berasal dari gugus sulfat.
Secara umum, nilai kestabilan suspensi nanoserat selulosa tergolong baik.
Hal ini menunjukkan bahwa semua metode isolasi yang digunakan dalam
penelitian ini berpotensi untuk menghasilkan suspensi nanoserat yang stabil. Sifat
ZP tersebut dapat berpengaruh terhadap sifat lain pada nanoserat selulosa maupun
pada sifat film yang dihasilkan. Hubungan antara nilai ZP dan indeks kristalinitas
nanoserat selulosa dapat dilihat pada Gambar 39.

40

38
Indeks kristalinitas (%)

36

34

32

30
30 40 50 60
Zeta potential (mV)

Gambar 39 Hubungan antara ZP dan indeks kristalinitas nanoserat selulosa

Peningkatan nilai ZP tampak diikuti oleh peningkatan indeks kristalinitas


nanoserat selulosa. Nilai ZP yang tinggi menunjukkan bahwa muatan ion total di
permukaan partikel atau serat juga tinggi. Struktur kristal terjadi akibat interaksi
berupa ikatan hidrogen melalui gugus hidroksil pada molekul selulosa yang
berdekatan saat serat atau partikel dikeringkan (Sheltami et al. 2012). Beda
potensial permukaan yang tinggi menyebabkan interaksi yang terjadi di antara
permukaan serat juga tinggi.
Interaksi yang terjadi pada umumnya berupa ikatan hidrogen. Ikatan
hidrogen terjadi apabila atom hidrogen terikat pada atom yang sangat
55

elektronegatif, menyebabkan pasangan elektron hidrogen tertarik pada atom yang


lebih elektronegatif (efek imbas). Kekosongan elektron pada salah satu sisi atom
hidrogen menghasilkan ujung positif dipol kuat. Ujung dipol positif mencari
daerah berkerapatan elektron tinggi, seperti atom elekronegatif yang terbentuk
pada rantai selulosa lainnya, sehingga menghasilkan gaya tarik-menarik antar-
rantai yang kuat (Cowd 1991).
Kestabilan nanoserat selulosa berperan penting dalam kaitannya dengan
pembuatan larutan film. Kestabilan yang baik memungkinkan serat tersebar secara
merata, sehingga efek penguatannya lebih efektif. Hubungan antara nilai ZP dan
nilai kuat tarik film dapat dilihat pada Gambar 40.
3

2,5
Kuat tarik (N/mm2)

1,5

0,5

0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)

Gambar 40 Hubungan antara nilai ZP dan kuat tarik film

Nilai rata-rata kuat tarik film berbahan pengisi nanoserat selulosa yang
dihasilkan dari metode III atau metode asam (2,30 N/mm2), cenderung lebih
rendah dibandingkan metode I (2,59 N/mm2) dan II (2,35 N/mm2). Apabila
dikaitkan dengan nilai ZP nya, metode III menunjukkan nilai ZP yang lebih kecil
dibandingkan metode I dan II. Hal tersebut dapat menunjukkan bahwa kestabilan
suspensi nanoserat berperan penting dalam distribusi nanoserat dalam matriks
film, sehingga memberikan efek kekuatan film yang cukup berarti. Apabila
dikaitkan dengan pengaruh ZP terhadap indeks kristalinitas (Gambar 46), ZP yang
tinggi berhubungan dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang tinggi.
Penggunaan bahan pengisi dengan kristalinitas tinggi dapat meningkatkan
kristalinitas matriks film, sehingga kekerasan atau kekakuan film turut meningkat.
Perubahan kekakuan film dapat berpengaruh pula terhadap kelenturan film.
Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film dapat dilihat
pada Gambar 41.
56

30

Pemanjangan putus (%) 25

20

15

10

0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)

Gambar 41 Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan pemanjangan putus film

Penambahan nanoserat selulosa diketahui dapat menahan mobilitas rantai


polimer matriks film. Namun, jika ditinjau dari hubungan antara ZP dan
pemanjangan putus film, tampak bahwa pemanjangan putus film relatif tidak
berbeda dengan adanya perbedaan nilai ZP. Kondisi ini menunjukkan bahwa sifat
penahanan pergerakan polimer tidak hanya dipengaruhi oleh distribusi nanoserat
selulosa saja dalam film, namun ada faktor lain seperti sifat fisis dan mekanis
serat itu sendiri yang dapat bervariasi akibat perbedaan perlakuan kimiawi yang
diberikan saat mengisolasi nanoserat selulosa.
Sifat penahanan difusi molekul air dalam matriks film dipengaruhi oleh
keberadaan bahan yang dapat menahan laju molekul air baik secara fisik maupun
secara kimia. Penggunaan nanoserat selulosa dapat memodifikasi sifat transmisi
film akibat adanya interaksi antara sisi hidrofil rantai pati dan serat selulosa,
sehingga mencegah interaksi antara rantai pati dan air. Hal ini menurunkan sifat
higroskopis film berbahan dasar pati (Müller et al. 2009a; Dias et al. 2011).
Sebaran bahan yang dapat menahan molekul air turut berpengaruh pula dalam
menahan mobilitas molekul air dalam matriks film. Hal tersebut dapat dilihat dari
hubungan antara nilai ZP dan laju transmisi uap air film serta nilai
permeabilitasnya (Gambar 42 dan 43).
57

200

Laju transmisi (g/m2.hari) 190

180

170

160

150
30 40 50 60
Zeta potential (mV)

Gambar 42 Hubungan antara ZP dan laju transmisi uap air film

40
(g.mm/m2.hari.kPa)

35

30

25

20

15
Permeabilitas

10

0
30 40 50 60
Zeta potential (mV)

Gambar 43 Hubungan antara ZP dan permeabilitas film terhadap uap air

Nanoserat selulosa dengan nilai ZP yang besar cenderung menurunkan nilai


laju transmisi uap air dan permeabilitas film terhadap uap air. Distribusi nanoserat
yang merata akan lebih menahan pergerakan molekul air dalam matriks film.
Keadaan tersebut ditunjukkan dengan nilai rata-rata laju transmisi uap air dan
permeabilitas film berbahan pengisi nanoserat selulosa hasil metode III yang
relatif lebih besar (182,06 g/m2.hari dan 10,79 g.mm/m2.hari.kPa) dibandingkan
58

dengan metode I (173,38 g/m2.hari dan 10,37 g.mm/m2.hari.kPa) serta metode II


(168,99 g/m2.hari dan 10,51 g.mm/m2.hari.kPa).
Adanya jaringan dan sebaran nanoserat selulosa dalam matriks film yang
baik juga dapat menghambat difusi uap air dari udara ke dalam matriks film atau
sebaliknya, akibat pembentukan jalur difusi yang lebih berliku dalam matriks
film. Hal ini menyebabkan penambahan nanoserat selulosa dapat meningkatkan
sifat penghambatan uap air (Belbekhouce et al. 2011; Saxena et al. 2011;
Azeredo et al. 2012). Gambaran penghambatan nanoserat tersebut dapat dilihat
pada Gambar 44.

Molekul uap air

Jalur difusi

Zona belitan

Gambar 44 Jalur difusi uap air dengan adannya nanoserat selulosa (Belbekhouche
et al. 2011)

Sifat transparansi film merupakan salah satu pertimbangan dalam pemilihan


penggunaan film. Penggunaan bahan pengisi dapat menurunkan transparansi film.
Sebaran bahan pengisi yang baik dalam film merupakan salah satu faktor yang
tidak hanya berperan untuk memperbaiki sifat mekanis film, juga berperan untuk
mempertahankan transparansi film. Hubungan antara ZP nanoserat selulosa dan
transparansi film dapat dilihat pada Gambar 45 dan 46. Persentase transmitansi
film tampak cenderung lebih tinggi apabila menggunakan nanoserat selulosa
dengan ZP yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa sebaran bahan pengisi dapat
mengurangi penghalangan cahaya yang menembus lapisan film. Sebaran bahan
pengisi yang kurang baik, terutama jika terbentuk aglomerasi akan menghasilkan
kumpulan partikel yang besar, yang dapat menghalangi cahaya melalui proses
refleksi atau penghamburan cahaya.
59

70

65 400 nm
Transmitansi rata-rata (%)
450 nm
60 500 nm
550 nm
55 600 nm
650 nm
50 700 nm
750 nm
45 800 nm

40
30 35 40 45 50 55 60
Zeta potential (mV)

Gambar 45 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang


cahaya tampak

50
Transmitansi rata-rata (%)

40

30 200 nm
250 nm
20
300 nm
350 nm
10

0
30 35 40 45 50 55 60
Zeta potential (mV)

Gambar 46 Hubungan antara ZP dan transmitansi rata-rata pada gelombang


cahaya ultraviolet

Kristalinitas merupakan salah satu faktor penting dalam kaitannya dengan


sifat fungsional film. Hubungan antara kristalinitas bahan pengisi dan sifat kuat
tarik film dapat dilihat pada Gambar 47.
60

2,5
Kuat tarik (N/mm2)

1,5

0,5

0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 47 Hubungan antara indeks kristalinitas dan kuat tarik film

Indeks kristalinitas yang tinggi menunjukkan nilai kuat tarik yang tinggi
pula. Kristalinitas bahan setelah perlakuan pembuatan nanomaterial tampak
meningkat. Kristalinitas yang tinggi diasosiasikan dengan nilai kuat tarik serat
yang tinggi, sehingga ideal untuk dijadikan bahan penguat (Alemdar dan Sain
2008). Penghilangan bahan selain selulosa pada serat ampas tapioka dapat
meningkatkan kristalinitasnya. Kristalinitas bahan telah diketahui berperan
penting dalam memengaruhi sifat mekanis film. Metode II tampak menghasilkan
indeks kristalinitas 39,73%, lebih besar dibandingkan dengan metode I dan II,
yaitu 33,25% dan 31,23%. Namun, film berbahan pengisi nanoserat selulosa dari
metode II menghasilkan nanoserat selulosa dengan sifat kristalinitas yang paling
tinggi berdasarkan hasil pengamatan dengan XRD, namun sifat kuat tarik film
dengan bahan pengisi nanoserat selulosa dari metode II tampak lebih rendah
daripada metode I. Hal ini diduga karena adanya kerusakan pada struktur selulosa
saat hidrolisis asam. Apabila dikaitkan dengan spektrum FTIR pada metode II,
tampak ada serapan inframerah pada bilangan gelombang sekitar 1730 cm-1
Serapan inframerah pada bilangan gelombang tesebut disebabkan oleh cincin
glukopiranosa yang terbuka akibat pemutusan rantai dan memicu oksidasi gugus
C-OH pada selulosa (Morán et al. 2008).
Kemunculan puncak pada hasil XRD yang menunjukkan peningkatan kristal
selulosa II pada nanoserat selulosa hasil isolasi dengan metode II dan III diduga
turut berperan dalam menurunkan sifat kuat tarik film. Perubahan struktur kristal
dari selulosa I ke selulosa II dapat terjadi akibat perlakuan alkali dengan
konsentrasi 5% (Gupta et al. 2013), sedangkan El Oudani et al. (2011)
menyatakan bahwa kadar alkali > 2% sudah dapat menyebabkan perubahan
struktur kristal selulosa. Perubahan struktur kristal selulosa tersebut dapat diikuti
dengan degradasi rantai selulosa, sehingga melemahkan serat.
61

Hubungan antara kristalinitas dan sifat pemanjangan putus film dapat dilihat
pada Gambar 48. Kristalinitas nanoserat selulosa tampak berperan penting dalam
mempertahankan integritas film, sehingga tidak putus saat ditarik. Serat dengan
kristalinitas tinggi memiliki kemampuan berinteraksi yang tinggi antara serat
dengan polimer dan antara serat dan serat. Peningkatan interaksi polimer dalam
matriks film menyebabkan integritas film makin baik, sehingga dapat menahan
gaya yang mendeformasi film.
30

25
Pemanjangan putus (%)

20

15

10

0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 48 Hubungan antara kristalinitas dan pemanjangan putus film

Pengaruh kristalinitas bahan pengisi terhadap kemampuan penahanan film


terhadap molekul air dapat dilihat pada Gambar 49 dan 50. Kristalinitas bahan
pengisi tampak meningkatkan kemampuan penahanan film terhadap difusi
molekul air. Secara umum, serat tergolong bahan yang bersifat higroskopis.
Molekul air terabsorpsi secara langsung pada gugus hidroksil pada permukaan
eksternal, daerah amorf, permukaan dalam, dan daerah kristal. Molekul air
tambahan dapat terikat pada permukaan air yang terabsorpsi langsung pada
permukaan serat. Absorpsi molekul air secara langsung pada permukaan eksternal
dan daerah amorf berlangsung dengan cepat, sedangkan pada permukaan serat
bagian dalam dan daerah kristal relatif lambat (Belbekhouche et al. 2011).
Diagram absorpsi uap air pada permukaan serat dapat dilihat pada Gambar 51.
62

220

210
Laju transmisi (g/m2.hari)

200

190

180

170

160

150
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 49 Hubungan kristalinitas dan laju transmisi uap air

50
Permeabilitas (g.mm/m2.hari.kPa)

45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
0 10 20 30 40 50
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 50 Hubungan kristalinitas dan permeabilitas film terhadap uap air


Sifat kristalin yang tinggi, menyebabkan serat dapat menekan sifat
higroskopisitas film dan meningkatkan ketahanan terhadap difusi molekul air
apabila digunakan sebagai bahan pengisi. Hal ini disebabkan karena molekul air
lebih mudah melalui daerah yang amorf daripada daerah kristal. Nanofibrils
dianggap memiliki kemampuan dalam menghalangi transmisi uap air yang
melalui film dibandingkan nanowhiskers terkait dengan pembentukan formasi
jaringan dalam matriks film. Namun, apabila nanofibrils memiliki daerah amorf
yang banyak, maka keefektifan sifat penghambatan terhadap uap air menjadi
berkurang.
63

a: daerah kristal 1: absorpsi eksternal


b: daerah amorf 2: absorpsi di daerah amorf
c: molekul antara serat 3: absorpsi di permukaan dalam
d: daerah kosong 4: absorpsi di daerah kristal

molekul air langsung

molekul air tidak langsung


Gambar 51 Diagram absorpsi uap air secara langsung dan tidak langsung pada
permukaanserat (Okubayashi et al. 2004)

Peningkatan sifat penahanan terhadap uap air diharapkan juga dapat


mempertahankan kestabilan sifat mekanis film selama penyimpanan dan
pemakaian, mengingat salah satu faktor yang dapat menurunkan sifat mekanis
film berbasis pati adalah sifat higroskopisnya yang tinggi. Penggunaan nanoserat
selulosa tampak cenderung menahan perubahan sifat fisik film selama
penyimpanan. Namun, pengaruhnya belum menampakkan hasil yang maksimal.
Hal ini diduga terkait dengan sifat pati atau tapioka yang masih tampak dominan
terhadap sifat fisik film. Modifikasi sifat fisik film terkait dengan peningkatan
kestabilan film selama penyimpanan masih perlu dilanjutkan, mengingat
informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini masih terbatas pada salah satu
produk isolasi nanoserat selulosa dan dengan konsentrasi nanoserat selulosa yang
relatif masih kecil.
Hubungan antara kristalinitas dan transparansi film dapat dilihat pada
Gambar 52 dan 53. Kristalinitas bahan pengisi yang rendah atau cenderung amorf
tampak menurunkan nilai transmitansi film. Hal ini diduga berkaitan dengan
struktur amorf yang kurang teratur, sehingga dapat memerangkap berkas cahaya
dan merefleksikannya. Keteraturan struktur serat dengan kristalisasi tinggi
menyebabkan serat lebih kompak, sehingga menyisakan ruang kosong untuk
dilewati berkas cahaya.
64

70
400 nm
60
Transmitansi rata-rata (%)
450 nm
50 500 nm
550 nm
40
600 nm
30
650 nm
20 700 nm

10 750 nm
800 nm
0
0 10 20 30 40 50 60
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 52 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada


gelombang cahaya tampak

60

50
Transmitansi rata-rata (%)

40

200 nm
30
250 nm
20 300 nm
350 nm
10

0
0 10 20 30 40 50 60
Indeks kristalinitas (%)

Gambar 53 Hubungan antara indeks kristalinitas dan transmitansi rata-rata pada


gelombang cahaya ultraviolet
65

Simpulan

Berdasarkan pembahasan tentang hubungan variabel pengamatan pada


karakterisasi dan aplikasi nanoserat selulosa dapat diambil simpulan sebagai
berikut:
1. Pengecilan ukuran serat menjadi serat berskala nano, meningkatkan
kestabilan suspensi serat, meningkatkan keefektifan serat sebagai penguat
film, dan selanjutnya dapat berdampak positif terhadap kemampuan film
dalam menahan transmisi uap air melalui matriks film.
2. Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan
kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun
juga terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya
berpengaruh terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan
nanoserat selulosa sebagai penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat
transparansi film.
3. Nanoserat selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang
peningkatan kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film
sebagai penahan transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi
film akibat penggunaan bahan pengisi.
66

7 SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Perlakuan alkali + bleaching + mekanis (metode I), perlakuan alkali +


bleaching + hidrolisis asam + mekanis (metode II), dan hidrolisis asam + mekanis
(metode III) dapat digunakan untuk mengisolasi nanoserat selulosa. Nanoserat
selulosa yang dihasilkan melalui metode I berdiameter 20-30 nm, sedangkan
nanoserat selulosa yang dihasilkan melalui metode II dan metode III masing-
masing 5-8 nm dengan panjang beberapa mikrometer. Kestabilan suspensi
nanoserat selulosa dari metode I, II, dan III tergolong baik, ditunjukkan dengan
nilai zeta potential masing-masing sebesar 46,47 mV, 52,45 mV, dan 33,75 mV.
Semua metode yang diterapkan dapat meningkatkan kristalinitas bahan dari
14,52% (sebelum perlakuan isolasi) menjadi 33,25% (metode I), 39,73% (metode
II), dan 31,23% (metode III).
Penggunaan nanoserat selulosa dapat meningkatkan sifat kuat tarik film
tapioka, namun mengurangi sifat pemanjangan putus film. Nilai kuat tarik film
tapioka tanpa bahan pengisi sebesar 1,45 N/mm2. Penambahan bahan pengisi
berupa nanoserat selulosa menghasilkan kuat tarik sebesar 2,44-3,15 N/mm2,
sedangkan film dengan bahan pengisi ampas tapioka menghasilkan kuat tarik
sebesar 1,43-2,24 N/mm2. Nilai pemanjangan putus film tapioka tanpa bahan
pengisi sebesar 35,30%. Penambahan bahan pengisi berupa nanoserat selulosa
menghasilkan pemanjangan putus sebesar 16,51-31,14%, sedangkan film dengan
bahan pengisi ampas tapioka menghasilkan pemanjangan putus sebesar 13,54-
22,94%.
Penggunaan nanoserat selulosa mampu menurunkan laju transmisi uap air
dan permeabilitas film terhadap uap air. Laju transmisi uap air film tapioka tanpa
bahan pengisi sebesar 262,29 g/m2.hari dengan nilai permeabilitas film terhadap
uap air sebesar 51,56 g.mm/m2.hari.kPa. Penambahan bahan pengisi berupa
nanoserat selulosa menghasilkan laju transmisi uap air sebesar 143,21-166,56
g/m2.hari dan nilai permeabilitas film tehadap uap air sebesar 28,52-31,98
g.mm/m2.hari.kPa, sedangkan film dengan bahan pengisi ampas tapioka
menghasilkan laju transmisi uap air sebesar 186,51-214,86 g/m2.hari dan nilai
permeabilitas film tehadap uap air sebesar 40,27-52,01 g.mm/m2.hari.kPa
Penambahan nanoserat selulosa juga menurunkan transparansi film.
Kondisi penyimpanan dengan RH 75% selama tujuh hari secara umum
menyebabkan peningkatan nilai kuat tarik film dan penurunan nilai pemanjangan
putusnya. Nilai modulus elastisitas film mengalami peningkatan, menunjukkan
bahwa kekakuan film makin bertambah selama periode penyimpanan yang
diamati. Kondisi penyimpanan dengan RH 97% selama tujuh hari secara umum
menyebabkan penurunan nilai kuat tarik film dan nilai pemanjangan putusnya.
Nilai modulus elastisitas film cenderung turun, menunjukkan bahwa struktur film
makin lunak selama periode penyimpanan yang diamati.
Kestabilan suspensi nanoserat selulosa tidak hanya mencerminkan
kemampuannya untuk terdistribusi secara baik dalam matriks film, namun juga
terkait dengan kristalinitas nanoserat selulosa yang selanjutnya berpengaruh
terhadap sifat mekanis film, meningkatkan keefektifan nanoserat selulosa sebagai
67

penahan transmisi uap air, dan menunjang sifat transparansi film. Nanoserat
selulosa dengan kristalinitas yang tinggi tidak hanya menunjang peningkatan
kekuatan film, namun dapat meningkatkan keefektifan film sebagai penahan
transmisi uap air, serta menekan penurunan transparansi film akibat penggunaan
bahan pengisi.

Saran

Suspensi nanoserat selulosa yang dihasilkan dari penelitian ini masih


tampak kecoklatan. Warna yang kecoklatan ini menyebabkan film menjadi
berwarna kecoklatan apabila nanoserat selulosa yang ditambahkan dalam
konsentrasi yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu dikaji metode
bleaching yang lain namun dengan tetap memperhatikan sifat fisiko-kimia
nanoserat yang dihasilkan.
Penggunaan nanoserat selulosa dengan konsentrasi 1% sampai 4% b/b dari
berat kering pati tampak menunjukkan peningkatan kuat tarik. Perlu dikaji
penambahan konsentrasi nanoserat selulosa, dengan tetap memperhatikan
penurunan kelenturan film yang cenderung turun jika kuat tarik meningkat.
Pengujian kestabilan film pada RH 75% dan 97% dilakukan pada hari
pertama sampai hari ketujuh. Selama periode penyimpanan tersebut, kemungkinan
film masih dalam proses pencapaian kesetimbangan kandungan airnya dengan
lingkungan. Oleh karena itu, perlu dikaji kestabilan film pada kondisi
penyimpanan setelah hari ketujuh dan dengan penambahan variasi RH.
68

DAFTAR PUSTAKA

Abe K, Yano H. 2009. Comparison of the characteristics of cellulose


microfibril aggregates of wood, rice straw and potato tuber. Cellulose 16:1017-
1023.
Abdollahi M, Alboofetileh M, Rezaei M, Rabi Behrooz R. 2013. Comparing
physico-mechanical and thermal properties of alginatenanocomposite films
reinforced with organic and/or inorganic nanofillers. Food Hydrocolloids
32:416-424.
Abraham E, Deepa B, Pothan LA, Jacob M, Thomas S, Cvelbard U,
Anandjiwala R. 2011. Extraction of nanocellulose fibrils from lignocellulosic
fibres: a novel approach. Carbohyd Polym 86:1468-1475.
Adel AM, El-Wahab ZHA, Ibrahim AA, Al-Shemy MT. 2010.
Characterization of microcrystalline cellulose prepared from lignocellulosic
materials. Part I. Acid catalyzed hydrolysis. Bioresource Technol 101:4446-
4455.
Adel AM, El-Wahab ZHA, Ibrahim AA, Al-Shemy MT. 2011.
Characterization of microcrystalline cellulose prepared from lignocellulosic
materials. Part II: physicochemical properties. Carbohyd Polym 83:676-687.
Alemdar A, Sain M. 2008. Isolation and characterization of nanofibers from
agricultural residues. Wheat straw and soy hulls. Bioresource Technol
99:1664-1671.
Al-Hassan AA, Norziah MH. 2012. Starch-gelatin edible films: water vapor
permeability and mechanical properties as affected by plasticizers. Food
Hydrocolloids 26:108-117.
Alves VD, Castello R, Ferreira AR, Costa N, Fonseca IM, Coelhoso IM.
2011. Barrier properties of carrageenan/pectin biodegradable composite films.
Proced Food Sci 1:240-245.
Attarian ACL, Kechichian V, Veiga-Santos P, Ditchfield C, Tadini CC. 2006.
Effect of antimicrobial edible additives on cassava starch biobased films
characterization. Proceedings of the 2nd CIGR Section VI International
Symposium on Future of Food Engineering, Warsaw, Poland. 26-28 April
2006.
Aulin C, Gällstedt M, Lindstrom T. 2010. Oxygen and oil barrier properties of
microfibrillated cellulose films and coatings. Cellulose 17:559-574.
Averous L, Boquillon N. 2004. Biocomposites based on plasticised starch:
thermal and mechanical behaviours. Carbohyd Polym 56:111-122.
Azeredo HMC, Miranda KWE, Rosa MF, Nascimento DM. 2012. Ediblefilms
from alginate-acerola puree reinforced with cellulose whiskers. LWT-Food
Sci Technol 46:294-297.
Bahri MH, Rashidi M. 2009. Effect of coating methods and storage periods on
some qualitative characteristics of carrot during ambient storage. Int J
Agric Biol 11:443-447.
Belbekhouce S, Bras J, Siqueira G, Chappey C, Lebrun L, Khelifi B, Marais S,
Dufresne A. 2011. Water sorption behavior and gas barrier properties of
cellulose whiskers and microfibrils film. Carbohyd Polym 83:1740-1748.
69

Bertuzzi MA, Gottifredi JC, Armada M. 2012. Mechanical properties of ahigh


amylose content corn starch based film, gelatinized at low temperature.Braz
J Food Technol 15(3):219-227.
Bhattacharya D, Germinario LT, Winter WT. 2008. Isolation, preparationand
characterization of cellulose microfibers obtained from bagasse. Carbohyd
Polym 73:371-377.
Bilbao-Sainz C, Bras J, Williams T, Sénechal T, Orts W. 2011. HPMC
reinforced with different cellulose nano-particles. Carbohyd Polym 86:1549-
1557.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2013. Statistik Industri Manufaktur Indonesia 2011.
Badan Pusat Statistik, Jakarta.
Bras J, Hassan ML, Bruzessea C, Hassan EA, El-Wakil NA, Dufresne A.
2010. Mechanical, barrier, and biodegradability properties of bagasse cellulose
whiskers reinforced natural rubber nanocomposites. Ind Crop Prod 32:627–
633.
Buranov AU, Mazza G. 2008. Lignin in straw of herbaceous crops. Ind Crop
Prod 28:237-259.
Cao X, Ding B, Yu J, Al-Deyab SS. 2012. Cellulose nanowhiskers extracted
from TEMPO-oxidized jute fibers. Carbohyd Polym 90:1075-1080.
Chang PR, Jian R, Zheng P, Yu J, Ma X. 2010. Preparation and properties of
glycerol plasticized-starch (GPS)/cellulose nanoparticle (CN) composites.
Carbohyd Polym 79:301-305.
Chen D, Lawton D, Thompson MR, Liu Q. 2012. Biocomposites reinforcedwith
cellulose nanocrystals derived from potato peel waste. Carbohyd Polym
90:709-716.
Chen Y, Liu C, Chang PR, Cao X, Anderson DP. 2009. Bionanocomposites
based on pea starch and cellulose nanowhiskers hydrolyzed from pea hull fibre:
effect of hydrolysis time. Carbohyd Polym 76:607–615.
Chen W, Yua H, Liua Y, Chen P, Zhang M, Hai Y. 2011. Individualization of
cellulose nanofibers from wood using high-intensity ultrasonication combined
with chemical pretreatments. Carbohyd Polym 83:1804–1811.
Cheng G, Varanasi P, Li C, Liu H, Melnichenko YB, Simmons BA, Kent MS,
Singh S. 2011. Transition of cellulose crystalline structure and surface
morphology of biomass as a function of ionic liquid pretreatment and its
relation to enzymatic hydrolysis. Biomacromolecules. [terhubung berkala].
http:// pubs.acs.org/Biomac. dx.doi.org/10.1021/bm101240z.
Cherian BM, Leãoa AL, Souza SF, Thomas S, Pothan LA, Kottaisamy M. 2010.
Isolation of nanocellulose from pineapple leaf fibres by steam explosion.
Carbohyd Polym 81:720–725.
Cherian BM, Leãoa AL, Souza SF, Costa LMM, Olyveira GM, Kottaisamy M,
Nagarajan ER, Thomas S. 2011. Cellulose nanocomposites with nanofibers
isolated from pineaple life fibers for medical application. Carbohyd Polym
86:1790-1798.
Cowd MA. 1991. Kimia Polimer. Firman H, penerjemah; Stark JG, editor.
Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Polymer Chemistry.
Davis JR. 2004. Tensile Strength. 2nd Edition. Ohio: ASM International.
70

Dias AB, Müller CMO, Larotonda FDS, Laurindo JB. 2011. Mechanical and
barrier properties of composite film based on rice flour and cellulose fibers.
LWT-Food Sci Technol 44:535-542.
Dimmel D. 2010. Overview. Di dalam: Heitner C, Dimmel DR, Schmidt JA,
editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca Raton: CRC Press;
hlm 1-10.
Dong H, Strawhecker KE, Snyder JF, Orlicki JA, Reiner RS, Rudie AW. 2012.
Cellulose nanocrystals as a reinforcing material for electrospun poly(methyl
methacrylate) fibers: formation, properties and nanomechanical
characterization. Carbohyd Polym 87:2488-2495.
Eichhorn SJ, Dufresne A, Aranguren M, Marcovich NE, Capadona JR, Rowan SJ,
Weder C, Thielemans W, Roman M, Renneckar S et al. 2010. Review: current
international research into cellulose nanofibres and nanocomposites. J Mater
Sci 45:1-33.
Elanthikkal S, Gopalakrishnapanicker U, Varghese S, Guthrie JT. 2010. Cellulose
microfibres produced from banana plant wastes: isolation and characterization.
Carbohyd Polym 80:852–859.
El Oudiani A, Chaabouni Y, Msahli S, Sakli F. 2011. Crystal transition from
cellulose I to cellulose II in NaOH treated Agave americana L. fibre. Carbohyd
Polym 86:1221-1229.
Famá L, Gerschenson L, Goyanes S. 2009. Starch-vegetable fibre composites to
protect food products. Carbohyd Polym 75:230-235.
Fauzi AM, Rahmawakhida A, Hidetoshi Y. 2010. Kajian produksi bersih di
industri kecil tapioka: kasus Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. J Tek
Ind Pert 18(2):60-65.
Ferreira FAB, Grossmann MVE, Mali S, Fábio Yamashita F, and Cardoso LP.
2009. Effect of relative humidities on microstructural, barrier and mechanical
properties of yam starch-monoglyceride films. Braz Arch Biol Technol
52(6):1505-1512.
Ghasemzadeh R, Karbassi A, Ghoddousi HB. 2008. Application of edible coating
for improvement of quality and shelf-life of raisins. World Appl Sci J 3(1):82-
87.
Gellerstedt G. 2010. Chemistry of Pulp Bleaching. Di dalam: Heitner C, Dimmel
DR, Schmidt JA, editor. Lignin and Lignan, Advances in Chemistry. Boca
Raton: CRC Press; hlm 393-438.
Gilfillan WN, Nguyen DMT, Sopade PA, Doherty WOS. 2012. Preparation and
characterisation of composites from starch and sugar cane fibre. Ind Crop Prod
40:45-54.
Guimarães JL, Wypych F, Saul CK, Ramos LP, Satyanarayana KG. 2010.
Studies of the processing and characterization of corn starch and its composites
with banana and sugarcane fibers from Brazil. Carbohyd Polym 80:130-138.
Gupta PK, Uniyala V, Naithani S. 2013. Polymorphic transformation of cellulose
I to cellulose II by alkali pretreatment and urea as an additive. Carbohyd Polym
94:843– 849.
Habibi Y, Mahrouz M, Vignon MR. 2009. Microfibrillated cellulose from the peel
of prickly pear fruits. Food Chem 115:423–429.
71

Henriksson M, Henriksson G, Berglund LA, Lindström T. 2007. An


environmentally friendly method for enzyme-assisted preparation of
microfibrillated cellulose (MFC) nanofibers. Eur Polym J 43:3434–3441.
Hermiati E, Mangunwidjaja D, Sunarti TC, Suparno O, Prasetya B. 2012.
Potential utilization of cassava pulp for ethanol production in Indonesia. Sci
Res Essays 7(2):100-106.
Huq T, Salmieri S, Khan A, Khan RA, Tiena CL, Riedl B, Fraschini C, Bouchard
J, Uribe-Calderon J, Musa R. Kamal MR, Lacroix M. 2012. Nanocrystalline
cellulose (NCC) reinforced alginate based biodegradable nanocomposite film.
Carbohyd Polym 90:1757-1763.
Ibrahim MM, Dufresne A, El-Zawawy WK, Agblevor FA. 2010. Banana fibers
and microfibrils as lignocellulosic reinforcements in polymer composites.
Carbohyd Polym 81:811-819.
Indriyati, Yudianti R, Karina M. 2012. Development of nanocomposites from
bacterial cellulose and poly(vinyl alcohol) using casting-drying method.
Procedia Chemistry 4:73-79.
Jacquet N, Vanderghem C, Danthine S, Quiévy N, Blecker C, Devaux J, Paquot
M. 2012. Influence of steam explosion on physicochemical properties and
hydrolysis rate of pure cellulose fibers. Bioresource Technol 121:221-227.
Jiménez A., Fabra M.J., Talens P., Chiralt A. 2013. Phase transitions in starch
based films containing fatty acids. Effect on water sorption and mechanical
behavior. Food Hydrocolloids 30: 408-418.
Johar N, Ahmad I, Dufresne A. 2012. Extraction, preparation and characterization
of cellulose fibres and nanocrystals from rice husk. Ind Crop Prod 37:93-99.
John MJ, Thomas S. 2008. Biofibres and biocomposites. Carbohyd Polym 71:
343–364.
Jonoobi M, Mathew AP, Oksman K. 2012. Producing low-cost cellulose
nanofiber from sludge as new source of raw materials. Ind Crop Prod 40:232-
238.
Kamide K. 2005. Cellulose and Cellulose Derivatives, Molecular
Characterization and its Applications. Amsterdam: Elsevier B.V.
Kaushik A, Singh M, Verma G. 2010. Green nanocomposites based on
thermoplastic starch and steam exploded cellulose nanofibrils from wheat
straw. Carbohyd Polym 82:337-345.
[KEMENTAN] Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2012. Basis Data
Statistik Pertanian. http://aplikasi.deptan.go.id/bdsp/newkom.asp [27 Jun
2012].
Kengkhetkit N, Amornsakchai T. 2012. Utilisation of pineapple leaf waste for
plastic reinforcement: 1. A novel extraction method for short pineapple leaf
fiber. Ind Crop Prod 40:55-61.
Khalil HPSA, Bhat AH, Yusra AFI. 2012. Green composites from sustainable
cellulose nanofibrils: a review. Carbohyd Polym 87:963-979.
Kim UJ, Eom SH, Wada M. 2010. Thermal decomposition of native cellulose:
influence on crystallite size. Polym Degrad Stabil 95:778-781.
Kumara AP, Depan D, Tomer NS, Singh RP. 2009. Nanoscale particles for
polymer degradation and stabilization. Trends and future perspectives. Prog
Polymer Sci 34: 479–515.
72

Lastriyanto A, Argo BD, Sumardi HS, Komar N, Hawa LC, Hermanto MB. 2007.
Penentuan koefisien permeabilitas film edibel terhadap transmisi uap air, gas
O2, dan gas CO2. J Tek Pert 8(3):182-187.
Lavoine N, Desloges I, Dufresne A, Bras J. 2012. Microfibrillated cellulose. Its
barrier properties and application in cellulosic materials: a review. Carbohyd
Polym 90:735-764.
Liang YL, Pearson RA. 2009. Toughening mechanisms in epoxy-silica nano-
composites (ESNs). Polymer 50:4895–4905.
Lin OH, Ishak ZAM, Akil HM. 2009. Preparation and properties of nanosilica-
filled polypropylene composites with PP-methyl POSS as compatibiliser.
Mater Design 30:748–751.
Liu D, Chen X, Yue Y, Chen M, Wu Q. 2011. Structure and rheology of
nanocrystalline cellulose. Carbohyd Polym 84:316-322.
Liu M, Zhou Y, Zhang Y, Yu C, Cao S. 2013. Preparation and structural analysis
of chitosan films with and without sorbitol. Food Hydrocolloids 33:186-191.
Lönnberg H, Fogelström L, Berglund MASASL, Malmström E, Hult A. 2008.
Surface grafting of microfibrillated cellulose with poly(ε-caprolactone).
Synthesis and characterization. Eur Polym J 44:2991-2997.
Lu P, Hsieh YL. 2010. Preparation and properties of cellulose nanocrystals: rods,
spheres, and network. Carbohyd Polym 82:329-336.
Ludueña L, Vázquez A, Alvares V. 2012. Effect of lignocellulosic filler type and
content on the behavior of polycaprolactone based eco-composites for
packaging applications. Carbohyd Polym 87:411-421.
Ma H, Zhou B, Li HS, Li YQ, Ou SY. 2011. Green composite films composed
of nanocrystalline cellulose and a cellulose matrix regenerated from
functionalized ionic liquid solution. Carbohyd Polym 84:383-389.
Ma X, Yu J, Kennedy JF. 2005. Studies on the properties of natural fibers-
reinforced thermoplastic starch composites. Carbohyd Polym 62:19-24.
Mandal A, Chakrabarty D. 2011. Isolation of nanocellulose from waste sugarcane
bagasse (SCB) and its characterization. Carbohyd Polym 86:1291-1299.
Mbey JA, Hoppe S, Thomas F. 2012. Cassava starch-kaolinite composite film.
Effect of clay content and clay modification on film properties. Carbohyd
Polym 88:213-222.
Menezes AJ, Siqueira G, Curvelo AAS, Dufresne A. 2009. Extrusion and
characterization of functionalized cellulose whiskers reinforced polyethylene
nanocomposites. Polymer 50:4552-4563.
Mondragón M, Arroyo K, Garcia JR. 2008. Biocomposites of thermoplastic
starch with surfactant. Carbohyd Polym 74:201-208.
Morán JI, Alvarez VA, Cyraz VP, Vázquez A. 2008. Extraction of cellulose and
preparation of nanocellulose from sisal fibers. Cellulose 15:149-159.
Moura MR, Avena-Bustillos RJ, McHugh TH, Wood DF, Caio G. Otoni CG, Luiz
H.C. Mattoso LHC. 2011. Miniaturization of cellulose fibers and effect of
addition on the mechanical and barrier properties of hydroxypropyl
methylcellulose films. J Food Eng 104:154-160.
Mulinari DR, Voorwald HJC, Cioffi MOH, Silva MLCP da, Luz SM. 2009.
Preparation and properties of HDPE/sugarcane bagasse cellulose composites
obtained for thermokinetic mixer. Carbohyd Polym 75:317-321.
73

Müller CMO, Laurindo JB, Yamashita F. 2009a. Effect of cellulose fibers


addition on the mechanical properties and water vapor barrier of starch-based
films. Food Hydrocolloid 23:1328-1333.
Müller CMO, Laurindo JB, Yamashita F. 2009b. Effect of cellulose fibers on the
crystallinity and mechanical properties of starch-based films at different
relative humidity values. Carbohyd Polym 77:293-299.
Nakagaito AN, Yano H. 2004. The effect of morphological changes from pulp
fiber towards nano-scale fibrillated cellulose on the mechanical properties of
high-strengthplant fiber based composites. Appl Phys A-Mater Sci Process
78:547–552.
Neto WPF, Silvério HA, Dantas NO, Pasquini D. 2013. Extraction and
characterization of cellulose nanocrystals from agro-industrial residue. Soy
hulls. Ind Crop Prod 42:480–488.
Núñez-Flores R, B. Giménez, F. Fernández-Martín, M.E. López-Caballero, M.P.
Montero, M.C. Gómez-Guillén. 2013. Physical and functional characterization
of active fish gelatin films incorporated with lignin. Food Hydrocolloids
30:163-172.
Ochoa-Villareal M, Aispuro-Hernández E, Vargas-Arispuro I, Martinez-Téllez.
2012. Plant Cell Wall Polymers: Function, Structure and Biological Activity of
Their Derivatives. Di dalam: Gomes ADS, editor. Polymerization. Rijeka: In
Tech; hlm 63-86.
Oksman K, Etang JA, Mathew AP, Jonoobi M. 2011. Cellulose nanowhiskers
separated from a bio-residue from wood bioethanol production. Biomass
Bioenerg 35:146-152.
Okubayashi S, Griesser UJ, Bechtold T. 2004. A kinetic study of moisture
sorption and desorption on lyocell fibers. Carbohyd Polym 58:293-299.
Osés J, Fernández-Pan I, Mendoza M, Maté JI. 2009. Stability of the mechanical
properties of edible films based on whey protein isolate during storage at
different relative humidity. Food Hydrocolloids 23(1):125–131.
Park S, Baker JO, Himmel ME, Parilla PA, Johnson DK. 2010. Cellulose
crystallinity index: measurement techniques and their impact on interpreting
cellulase performance. Biotech Biofuels 3:1-10.
Pasquini D, Teixeira E de M, Curvelo AA da S, Belgacem MN, Dufresne A.
2010. Extraction of cellulose whiskers from cassava bagasse and their
applications as reinforcing agent in natural rubber. Ind Crop Prod 32:486–490.
Phan TD, Debeaufort F, Luu D, Voilley A. 2005. Functional properties of edible
agar-based and starch-based films for food quality preservation. J Agr Food
Chem 53:973-981.
Prachayawarakorn J, Sangnitidej P, Boonpasith P. 2010. Properties of
thermoplastic rice starch composites reinforced by cotton fiber or low-density
polyethylene. Carbohyd Polym 81:425-433.
Qiu W, Endo T, Hirotsu T. 2006. Structure and properties of composites of
highly crystalline cellulose with polypropylene: effects of polypropylene
molecular weight. Eur Polym J 42:1059-1068.
Rachtanapun P, Wongchaiya P. 2012. Effect of relative humidity on mechanical
properties of blended chitosan-methylcellulose film. Chiang Mai J Sci
39(1):133-137.
74

Rattanachomsri U, Tanapongpipat S, Eurwilaichitr L, Champreda V. 2009.


Simultaneous non-thermal saccharification of cassava pulp by multi-enzyme
activity and ethanol fermentation by Candida tropicalis. J Biosci Bioeng
107:488-493.
Reddy N, Yang Y. 2009. Properties and potential applications of natural
cellulose fibers from the bark of cotton stalks. Bioresource Technol 100:3563-
3569.
Rosa MF, Chiou B, Medeiros ES, Wood DF, Williams TG, Mattoso LHC, Orts
WJ, Imam SH. 2009. Effect of fiber treatments on tensile and thermal
properties of starch/ethylene vinyl alcohol copolymers/coir biocomposites.
Bioresource Technol 100:5196-5202.
Rosa MF, Medeiros ES. Malmonge JA, Gregorski KS, Wood DF, Mattoso LHC,
Glenn G, Orts WJ, Imam SH. 2010. Cellulose nanowhiskers from coconut husk
fibers: effect of preparation conditions on their thermal and morphological
behavior. Carbohyd Polym 81:83–92.
Rosa SML, Rehman N, Miranda MIG, Nachtigall SMB, Bica CID. 2012.
Chlorine-free extraction of cellulose from rice husk and whisker isolation.
Carbohyd Polym 87:1131-1138.
Rubio AL, Lagaron JM, Ankerfors M, Lindström T, Nordqvist D, Mattozzi A,
Hedenqvist MS. 2007. Enhanced film forming and film properties of
amylopectin using micro-fibrillated cellulose. Carbohyd Polym 68:718-727.
Salleh E, Muhamad II, Khairuddin N. 2009. Structural Characterization and
Physical Properties of Antimicrobial (AM) Starch-Based Films. World
Academy Sci Eng Technol:428-436.
Sanguansri P, Augustin MA. 2006. Nanoscale materials development. A food
industry perspective. Trends Food Sci Tech 17:547-556.
Sari K, Satoto R. 2010. Analisis korelasi kondisi pembuatan film tipis
polipropilen (PP) dan sifat-sifat mekaniknya dengan metode uji tarik. Berkala
Fisika 13(2): C27-C38.
Satyamurthy P, Jain P, Balasubramanya RH, Vigneshwaran N. 2011. Preparation
and characterization of cellulose nanowhiskers from cotton fibres by controlled
microbial hydrolysis. Carbohyd Polym 83:122–129.
Savadekar NR, Mhaske ST. 2012. Synthesis of nano cellulose fibers and effect on
thermoplastics starch based films. Carbohyd Polym 89:146–151.
Saxena A, Elder TJ, Ragauskas AJ. 2011. Moisture barrier properties of xylan
composite films. Carbohyd Polym 84:1371-1377.
Schmidt WCR, Porto LM, Laurindo JB, Menegalli FC. 2013. Water vapor barrier
and mechanical properties of starch films containing stearic acid. Industrial
Crops Prod 41:227-234.
Sheltami RM, Abdullah I, Ahmad I, Dufresne A, Kargarzadeh H. 2012. Extraction
of cellulose nanocrystals from mengkuang leaves (Pandanus tectorius).
Carbohyd Polym 88:772-779.
Silva HD, Cerqueira MA, Vicente AA. 2012. Nanoemulsions for food
applications: developmentand characterization. Food Bioprocess Technol
5:854–867.
Siró I, Plackett D. 2010. Microfibrillated cellulose and new nanocomposite
materials: a review. Cellulose 17:459–494.
75

Subyakto, Hermiati E, Yanto DHY, Fitria, Budiman I, Ismadi, Masruchin N,


Subiyanto B. 2009. Proses pembuatan serat selulosa berukuran nano dari sisal
(Agave sisalana) dan bambu betung (Dendrocalamus asper). Berita Selulosa
44(2): 57-65.
Sundari MT, Ramesh A. 2012. Isolation and characterization of cellulose
nanofibers from the aquatic weed water hyacinth-Eichhornia crassipes.
Carbohyd Polym 87:1701-1705.
Teixeira EM, Bondancia TJ, Teodoro KBR, Corrêa AC, Marconcini JM, Mattoso
LHC. 2011. Sugarcane bagasse whiskers: extraction and characterizations. Ind
Crop Prod 33:63–66.
Teixeira EM, Pasquini D, Curvelo AAS, Corradini E, Belgacem MN, Dufresne
A. 2009. Cassava bagasse cellulose nanofibrils reinforced thermoplastic
cassava starch. Carbohyd Polym 78:422–431.
Tonoli GHD, Teixeira EM, Corrêa AC, Marconcini JM, Caixeta LA. 2012.
Cellulose micro/nanofibres from Eucalyptus kraft pulp: preparation and
properties. Carbohyd Polym 89:80-88.
Vilela C, Freire CSR, Marques PAAP, Trindade T, Neto CP, Fardim P. 2010.
Synthesis and characterization of new CaCO3/cellulose nanocomposites
prepared by controlled hydrolysis of dimethylcarbonate. Carbohyd Polym
79:1150-1156.
Wang S, Yu J, Yu J. 2005. Compatible thermoplastic starch/polyethylene blends
by one-step reactive extrution. Polym Int 54:279-285.
Warsiki E, Sianturi J, Sunarti TC. 2011. Evaluasi sifat fisis-mekanis dan
permeabilitas film berbahan kitosan. J Tek Ind Pert 21 (3):139-145.
Wua CL, Zhang MQ, Rong MZ, Friedrich K. 2002. Tensile performance
improvement of low nanoparticles filled-polypropylene composites. Compos
Sci Technol 62:1327–1340.
Xanthos M. 2010. Polymers and Polymer Composites. Di dalam: Xanthos M,
editor. Functional Fillers for Plastic. Ed ke-2. Weinheim: WILEY-VCH
Verlag GmbH & Co. hlm 3-18.
Yoon SD, Park MH, Byun HS. 2012. Mechanical and water barrier properties of
starch/PVA composite films by adding nano-sized poly(methyl methacrylate-
co-acrylamide) particles. Carbohyd Polym 87:676– 686.
Zhang W, Okubayashi S, Bechtold T. 2005. Fibrillation tendency of cellulosic
fibers. Part 4. Effects of alkali pretreatment of various cellulosic fibers.
Carbohyd Polym 61:427-433.
Zimmermann T, Bordeanu N, Strub E. 2010. Properties of nanofibrillated
cellulose from different raw materials and its reinforcement potential.
Carbohyd Polym 79:1086-1093.
Zuluaga R, Putaux JL, Cruz J, Vélez J, Mondragon I, Gañán P. 2009. Cellulose
microfibrils from banana rachis: effect of alkaline treatments on structural and
morphological features. Carbohyd Polym 76:51–59.
76

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis statistik kuat tarik film

Analisis sidik ragam

F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 194,03 194,03 2821,03
Jenis serat (A) 3 5,69 1,90 27,57 3,10 4,94
Kadar serat serat (B) 4 6,04 1,51 21,95 2,87 4,43
Interaksi 12 1,65 0,14 2,00 2,28 3,23
Galat 20 1,38 0,07
Jumlah 40 208,78

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Perlakuan Rata-rata (N/mm2) α = 0,05


Serat ampas tapioka (A1) 1,58 C
Nanoserat selulosa (A2) 2,59 A
Nanoserat selulosa (A3) 2,35 AB
Nanoserat selulosa (A4) 2,30 B
Kadar serat 0% (B1) 1,45 B
Kadar serat 1% (B2) 2,28 A
Kadar serat 2% (B3) 2,33 A
Kadar serat 3% (B4) 2,42 A
Kadar serat 4% (B5) 2,53 A
A1 B1 1,45 C
A1 B2 1,53 C
A1 B3 1,43 C
A1 B4 1,69 C
A1 B5 1,81 C
A2 B2 2,71 AB
A2 B3 2,80 AB
A2 B4 2,84 AB
A2 B5 3,15 A
A3 B2 2,44 B
A3 B3 2,55 AB
A3 B4 2,57 AB
A3 B5 2,75 AB
A4 B2 2,45 B
A4 B3 2,56 AB
A4 B4 2,60 AB
A4 B5 2,44 B
77

Lampiran 2 Analisis statistik pemanjangan putus film

Analisis sidik ragam


F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 25410,99 25410,99 4340,63
Jenis serat (A) 3 306,47 102,16 17,45 3,10 4,94
Kadar serat (B) 4 1329,12 332,28 56,76 2,87 4,43
Interaksi 12 206,48 17,21 2,94 2,28 3,23
Galat 20 117,08 5,85
Jumlah 40 27370,15

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Perlakuan Rata-rata (%) α = 0,05


Serat ampas tapioka (A1) 20,58 B
Nanoserat selulosa (A2) 25,69 A
Nanoserat selulosa (A3) 26,80 A
Nanoserat selulosa (A4) 27,75 A
Kadar serat 0% (B1) 35,30 A
Kadar serat 1% (B2) 26,94 B
Kadar serat 2% (B3) 23,85 C
Kadar serat 3% (B4) 21,51 C
Kadar serat 4% (B5) 18,43 D
A1 B1 35,30 A
A1 B2 22,94 CD
A1 B3 17,20 EF
A1 B4 13,54 F
A1 B5 13,95 F
A2 B2 31,14 AB
A2 B3 22,86 CD
A2 B4 22,62 CD
A2 B5 16,51 EF
A3 B2 28,04 BC
A3 B3 27,58 BC
A3 B4 23,54 CD
A3 B5 19,57 DE
A4 B2 25,63 BC
A4 B3 27,77 BC
A4 B4 26,36 BC
A4 B5 23,71 CD
78

Lampiran 3 Analisis statistik laju transmisi uap air film

Analisis sidik ragam

F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 1348,125,72 1348125,72 70954,49
Jenis serat (A) 3 10124,44 3374,81 177,62 3,10 4,94
Kadar serat (B) 4 62520,45 15630,11 822,64 2,87 4,43
Interaksi 12 3132,68 261,06 13,74 2,28 3,23
Galat 20 380,00 19,00
Jumlah 40 1424283,28

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Perlakuan Rata-rata (g/m2.hari) α = 0,05


Serat ampas tapioka (A1) 209,91 D
Nanoserat selulosa (A2) 173,38 B
Nanoserat selulosa (A3) 168,99 A
Nanoserat selulosa (A4) 182,06 C
Kadar serat 0% (B1) 262,30 E
Kadar serat 1% (B2) 170,12 D
Kadar serat 2% (B3) 165,10 C
Kadar serat 3% (B4) 161,59 B
Kadar serat 4% (B5) 158,82 A
A1 B1 262,30 H
A1 B2 214,86 G
A1 B3 197,14 F
A1 B4 188,76 EF
A1 B5 186,51 E
A2 B2 152,99 AB
A2 B3 152,16 AB
A2 B4 149,19 AB
A2 B5 150,26 AB
A3 B2 146,07 AB
A3 B3 148,08 AB
A3 B4 145,29 AB
A3 B5 143,22 A
A4 B2 166,56 D
A4 B3 163,03 CD
A4 B4 163,12 CD
A4 B5 155,30 BC
79

Lampiran 4 Analisis statistik permeabilitas film terhadap uap air

Analisis sidik ragam


F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 55746,14 55746,14 77036,90
Jenis serat (A) 3 1018,49 339,50 469,16 3,10 4,94
Kadar serat (B) 4 2048,37 512,09 707,67 2,87 4,43
Interaksi 12 432,38 36,03 49,79 2,28 3,23
Galat 20 14,47 0,72
Jumlah 40 59259,85

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test

Perlakuan Rata-rata (g.mm/m2.hari.kPa) α = 0,05


Serat ampas tapioka (A1) 46,03 C
Nanoserat selulosa (A2) 33,81 A
Nanoserat selulosa (A3) 34,29 A
Nanoserat selulosa (A4) 35,20 B
Kadar serat 0% (B1) 51,56 D
Kadar serat 1% (B2) 33,45 AB
Kadar serat 2% (B3) 32,71 A
Kadar serat 3% (B4) 33,90 B
Kadar serat 4% (B5) 35,04 C
A1 B1 51,56 F
A1 B2 40,27 D
A1 B3 40,56 D
A1 B4 45,74 E
A1 B5 52,01 F
A2 B2 31,48 BC
A2 B3 28,52 A
A2 B4 28,65 A
A2 B5 28,85 A
A3 B2 30,05 ABC
A3 B3 30,46 ABC
A3 B4 29,89 AB
A3 B5 29,46 AB
A4 B2 31,98 C
A4 B3 31,30 BC
A4 B4 31,32 BC
A4 B5 29,82 AB
80

Lampiran 5 Analisis statistik kuat tarik film selama penyimpanan

Analisis sidik ragam


F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 96,50 96,50 299,61
Hari (Blok) 6 7,57 1,26 3,91 2,23 3,07
Film (A) 1 0,32 0,32 1,01 3,98 7,01
RH (B) 1 37,67 37,67 116,95 3,98 7,01
Interaksi AB 1 0,02 0,02 0,07 3,98 7,01
Galat 74 23,83 0,32
Jumlah 84 165,91

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test


Perlakuan Rata-rata (N/mm2) α = 0,05
Film tapioka (A1) 1,01 A
Film tapioka + nano (A2) 1,13 A
RH 75% (B1) 1,74 A
RH 97% (B2) 0,86 B
A1B1 1,70 A
A1B2 0,32 B
A2B1 1,79 A
A2B2 0,48 B
81

Lampiran 6 Analisis statistik pemanjangan putus film selama penyimpanan

Analisis sidik ragam


F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 53174,31 53174,31 173,62
Hari (Blok) 6 19872,73 3312,12 10,82 2,23 3,07
Film (A) 1 1006,94 1006,94 3,29 3,98 7,01
RH (B) 1 18965,37 18965,37 61,93 3,98 7,01
Interaksi AB 1 1087,95 1087,95 3,55 3,98 7,01
Galat 74 22663,45 306,26
Jumlah 84 116770,75

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test


Perlakuan Rata-rata (%) α = 0,05
Film tapioka (A1) 28,62 A
Film tapioka + nano (A2) 21,70 A
RH 75% (B1) 47,25 A
RH 97% (B2) 17,80 B
A1B1 47,25 A
A1B2 10 C
A2B1 33,13 B
A2B2 10,27 C
82

Lampiran 7 Analisis statistik modulus elastisitas film selama penyimpanan

Analisis sidik ragam


F Tabel
Sumber Variasi db JK KT F Hitung
0,05 0,01
Rata-rata 1 6420,17 6420,17 340,69
Hari (Blok) 6 1471,18 245,20 13,01 2,23 3,07
Film (A) 1 44,20 44,20 2,35 3,98 7,01
RH (B) 1 1070,62 1070,62 56,81 3,98 7,01
Interaksi AB 1 23,30 23,30 1,24 3,98 7,01
Galat 74 1394,517 18,85
Jumlah 84 10423,99

Analisis uji lanjut Duncan Multiple Range Test


Perlakuan Rata-rata (N/mm2) α = 0,05
Film tapioka (A1) 8,02 A
Film tapioka + nano (A2) 9,47 A
RH 75% (B1) 11,06 A
RH 97% (B2) 7,97 B
A1B1 11,06 A
A1B2 4,97 B
A2B1 13,57 A
A2B2 5,37 B
83

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Purwokerto, 1 Maret 1971 sebagai anak kedua dari 5


bersaudara dari pasangan Alm. Soekanto dan Alm. Siti As ‘Afiah. Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar sampai menengah di Purwokerto. Pendidikan
Sarjana di tempuh di Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman,
Purwokerto, lulus tahun 1995. Setelah bekerja di salah satu perusahaan agroindustri
swasta nasional, Penulis memulai pengabdiannya sebagai Pegawai Negeri Sipil pada
tahun 1999 sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian,
Universitas Jenderal Soedirman hingga sekarang. Penulis mendapat kesempatan
untuk mendalami ilmu di bidang Teknologi Hasil Perkebunan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta atas sponsor DUE-Like Dikti 2001
dan mendapat gelar Magister Pertanian pada tahun 2004. Tahun 2008, Penulis
mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi S3 di Program Studi Teknologi
Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor atas sponsor BPPS selama 7 semester dan
Universitas Jenderal Soedirman selama 3 semester. Sebagian karya ilmiah yang
disusun Penulis sebagai tugas akhir Program Doktor, berjudul “Karakteristik
Nanoserat Selulosa dari Ampas Tapioka dan Aplikasinya sebagai Penguat Film
Tapioka” telah diterima untuk dipublikasi di jurnal nasional terakreditasi, Jurnal
Teknologi Industri Pertanian Vol. 23 tahun 2013 dan artikel berjudul “Cellulose
Nanofibers from Cassava Bagasse: Characterization and Aplication on Tapioca-
Film” diterima untuk publikasi pada Journal of Chemistry and Materials Research.

Anda mungkin juga menyukai