Disusun Oleh :
2.1 Enkapsulasi
2.1.1 Pengertian enkapsulasi
Enkapsulasi merupakan suatu teknik untuk melapisi atau menyalut suatu
bahan aktif dengan lapisan dinding polimer sehingga menghasilkan partikel kecil
berukuran mikro ataupun nano (Retno Yulinawati, 2018). Mikroenkapsulasi
merupakan proses pelapisan atau partikel kecil atau tetesan cairan oleh bahan
polimer untuk menghasilkan partikel kecil, yang disebut dengan mikrokapsul atau
mikrosfer (Antonio et al., 2018). Terdapat beberapa metode mikroenkapsulasi
berdasarkan ukuran partikel seperti frezee draying, spray draying, cooling, fluid
bed coating, coacervation, dan liposome entrapment. Menurut Hidayah (2016)
mikroenkapsulasi adalah teknologi penyalutan secara langsung terhadap bahan
aktif dalam bentuk partikel yang halus dari zat padatan, cairan, dan bahan- bahan
gas dalam kapsul kecil yang melepaskan zat aktif tersebut secara terkontrol.
2.1.2 Fungsi enkapsulasi pada bahan pangan
Metode enkapsulasi sering digunakan dalam pembuatan bahan pangan.
Adapun tujuan dari proses enkapsulasi yaitu untuk meningkatkan kestabilan dan
daya larut suatu bahan, untuk mengendalikan pelepasan senyawa aktif, untuk
menghasilkan partikel-partikel padatan yang dilapisi oleh bahan penyalut tertentu
dan meminimalisir kehilangan nutrisi. Fungsi enkapsulasi yang lain adalah untuk
melindungi senyawa bioaktif dari berbagai faktor lingkungan seperti penguapan,
oksidasi, degradasi suhu kelembaban, dan cahaya, sehingga dapat memperpanjang
umur simpan produk dan menghindari kerusakan. Pada pembuatan enkapsulat dari
ekstrak buah teknik enkapsulasi bertujuan untuk melindungi senyawa penting pada
ekstrak buah sehingga dapat bertahan lama dan masih dapat dimanfaatkan oleh
tubuh dengan baik (Wathoni et al., 2019).
2.1.3 Teknik enkapsulasi
Pada teknik enkapsulasi, terdapat beberapa metode yang berdasarkan ukuran
partikel seperti frezee drying, spray draying, cooling, fluid bed coating,
coacervation, dan liposome entrapment (Risa Riau Wati, dkk., 2020). Teknik
enkapsulasi yang umumnya digunakan pada industri makanan adalah proses
pengeringan semprot (spray drying). Pengering semprot banyak dipakai karena
ekonomis dan fleksibel, peralatan juga sudah banyak tersedia, dan dapat
menghasilkan partikel yang memiliki kualitas yang bagus. Enkapsulasi dengan
pengering semprot dilakukan dengan melarutkan, mengemulsifikasi dan
mendispersikan zat aktif dalam larutan pembungkus yang kemudian
mengumpankan larutan zat aktif kedalam hot chamber sehingga dihasilkan
mikrokapsul zat aktif yang telah terenkapsulasi. Pada penelitian Athanasia A.S,
dkk. (2012) dilakukan enkapsulasi zat aktif menggunakan maltodextrin dan gum
arab dengan alat pengering semprot dan tanpa pengering semprot (dengan oven
pada suhu 40 oC). Karakteristik dari mikrokapsul yang dihasilkan akan dipelajari
untuk mengetahui pengaruh teknik pengeringan semprot terhadap proses
enkapsulasi.
Prinsip mikroenkapsulasi dengan teknik physico-chemical yaitu
pencampuran antara fase air, fase zat inti dan fase bahan penyalut sampai terbentuk
emulsi yang stabil kemudian proses penempelan bahan penyalut pada permukaan
bahan inti dan proses pengecilan ukuran partikel. (Ang et al., 2019).
Metode enkapsulasi selanjutnya adalah dengan metode freeze drying dengan
cara sebagai berikut: bahan pengisi (filler) maltodekstrin dicampurkan dengan
pelarut (air) sebanyak 30% (b/b) terhadap air (Silva, et al., 2013) dan ekstrak
sebanyak 20% (b/b) terhadap penyalut (Baranauskiene, et al., 2006). Gabungan ini
kemudian diaduk hingga homogen. Setelah homogen, dikeringkan dengan
menggunakan freeze dryer. Prinsip kerja freeze drying adalah dengan membekukan
material dan mengurangi tekanan di sekitar bahan yang menyebakan terjadinya
sublimasi partikel air menjadi fase gas (Özkan & Bilek, 2014). Namun penggunaan
freeze drying memiliki kelemahan yaitu biaya operasional yang tinggi dan
memerlukan waktu proses yang cukup lama (Thomas et al., 2004). Menurut
penelitian Priatni (2015), produk serbuk pigmen angkak yang dikeringkan
menggunakan metode freeze drying memiliki rendemen lebih tinggi dan lebih
higroskopis dibanding metode spray drying. Freeze drying merupakan metode
pengeringan yang terbaik karena dapat mempertahankan warna, kandungan gizi,
rasa, dan struktur biologi (Duan et al., 2010). Namun freeze drying memiliki
kelemahan yaitu tidak hemat energi karena proses pengeringan berlangsung relatif
lama dan biaya operasional yang tinggi.
Selain itu, proses enkapsulasi biasanya dilakukan dengan menggunakan
teknik koaservasi. Prinsip teknik koaservasi adalah dengan mencampurkan
senyawa aktif dalam larutan gelatin atau dilakukan pengemulsian senyawa aktif ke
dalam larutam gelatin dan gum akasia. Selanjutnya, pada koaservasi sederhana
ditambahkan senyawa CIA dan pada komplek koaservasi pH sistem diturunkan.
Terakhir koaservat yang terbentuk akan melapisi permukaan partikel atau droplet
dan terbentuk mikrokapsul. Teknik ini digunakan sebagai proses untuk melapisi
seyawa bioaktif zat gizi, herbal, farmasi, vaksin atau produk kesehatan lainnya.
Tebal lapisan dari fenomena koaservasi tersebut memerlukan karakterisasi bahan
membran yang terbentuk. Kelebihan dari teknik koaservasi adalah dapat dikerjakan
pada temperatur rendah, dan peralatan yang digunakan sederhana (Sirojudin, dkk.,
2015).
2.1.4 Bahan yang dapat digunakan sebagai enkapsulan
Bahan utama dalam proses enkapsulasi adalah bahan inti dan bahan penyalut.
Bahan inti adalah bahan yang akan disalut sedangkan bahan penyalut adalah bahan
yang digunakan untuk menyalut bahan inti. Syarat yang harus dimiliki bahan
penyalut adalah dapat bercampur dengan bahan inti, inert terhadap bahan inti, dapat
membentuk lapisan di sekitar bahan inti. fleksibel, kuat selama proses penyalutan
agar tidak terjadi kerusakandan menghasilkan lapisan salut yang relatif tipis
(Augustin dan Sanguansri, 2008). Bahan penyalut dapat menggunakan berbagai
jenis macam bahan seperti protein, selulosa, pati, gum dan lemak. Namun, bahan
yang mudah didapat dan ditemukan serta harganya yang relatif terjangkau adalah
pati dan CMC.
Penggunaan pati alami sebagai enkapsulan sintetis diketahui mempunyai
beberapa keunggulan diantaranya mudah terdegradasi, murah dan mudah
dimodifikasi sifat fisik atau kimia (Lu et al., 2009). Eksplorasi pemanfaatan pati
sebagai bahan pengkapsul probiotik sudah banyak dikembangkan, namun
penggunaan sumber pati sagu dan maizena dapat dijadikan kandidat bahan
pengkapsul baru yang lebih mudah diperoleh di pasaran. Kombinasinya dengan
alginat diharapkan dapat menghasilkan beads yang mempunyai karakteristik dan
mampu melindungi probiotik target. Pati jagung dengan kadar amilosa tinggi (high
amylose corn starch) dapat meningkat efektifitasnya sebagai bahan pengkapsul
(Dimantov et al., 2003). Pati sagu yang merupakan resistant starch diharapkan
memiliki karakteristik bahan pengkapsul yang lebih baik karena dapat melindungi
probiotik selama berada dalam saluran pencernaan (Thomson, 2000).
Alginat merupakan polimer karbohidrat dan heteropolisakarida alami yang
telah banyak digunakan dalam enkapsulasi (Homayouni et al., 2008, Mokarram et
al., 2009). Penelitian Sultana et al., (2000) menunjukkan bahwa penggunaan pati
jagung sebagai sumber pati untuk enkapsulasi belum menunjukkan ukuran beads
yang sama, sehingga memerlukan perbaikan lebih lanjut.
Carboxy Methyl Cellulose(CMC) adalah polisakarida anionik linear yang larut
dalam air dan diproses dengan teknik kimia. Bubuk CMC berwarna putih sampai
putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Struktur CMC merupakan rantai
polimer yang terdiri dari unit molekul selulosa. CMC dalam produk makanan
berperan sebagai pengikat air dan pembentuk gel yang akan menghasilkan tekstur
produk pangan yang lebih baik. CMC dapat membentuk sistem dispersi koloid dan
meningkatkan viskositas sehingga partikel-partikel yang tersuspensi akan
tertangkap dalam sistem tersebut dan tidak mengendap oleh pengaruh gaya
gravitasi (Rini et al., 2012).
Maltodekstrin merupakan salah satu penyalut yang baik dan sering digunakan
karena kemampuannya dalam membentuk emulsi, memiliki viskositas yang rendah,
mudah ditemukan, mudah penanganan prosesnya, cepat terdispersi, memiliki
kelarutan yang tinggi, mampu membentuk matrik sehingga mengurangi terjadinya
pencoklatan, mampu menghambat kristalisasi, memiliki daya ikat yang kuat dan
bersifat stabil pada emulsi minyak dalam air (Laohasongkram et al., 2011). Selain
itu, maltodekstrin juga memiliki kemampuan yang sangat baik dalam menghadapi
oksidasi sehingga mikrokapsul yang dihasilkan dapat mempunyai umur simpan
yang lebih baik (Gharsallaoui et al., 2007).
2.2 Pengaruh Perbedaan Jenis Kation terhadap Pembentukan Gel
Peranan kation pada pembentukan gel adalah untuk meningkatkan
pembentukan ikatan silang dalam jejaring karagenan. Menurut Morris dan Chilvers
1981; Tako et al. (1987) kation yang berperan dalam pembentukan gelasi iota-
karagenan adalah Ca2+, sedangkan untuk kapakaragenan adalah kation K+.
Jembatan antar molekul yang terbentuk akibat Ca2+ menyebabkan larutan
karagenan membentuk struktur kuarterner jika didinginkan. Sebaliknya, K+ akan
menginduksi penggabungan antar molekul kapa-karagenan dengan membentuk
ikatan ion antara K+ dan kelompok sulfat pada residu D-galaktosa, sehingga
terbentuk ikatan elektrostatik sekunder antara K+ dengan atom oksigen anhidro dari
residu galaktosa yang berdekatan (Thrimawithana et al. 2010). Pembentukan gel
oleh karagenan membutuhkan kation agar terbentuk gel yang kokoh dan tidak
mudah mengalami sineresis. Alumuinium sulfat merupakan salah satu sumber
kation Al+ bagi karagenan dalam proses pembentukan gel. Perbedaan jenis kation
berpengaruh terhadap sineresis, daya hisap dan pH. Konsentrasi aluminium sulfat
yang semakin tinggi menyebabkan tingkat sineresis gel semakin rendah, sedangkan
daya hisap dan pH semakin tinggi.
2.3 Pengaruh Penambahan Tween 80 terhadap Pembentukan Enkapsulat
Penambahan tween 80 pada proses enkapsulasi berfungsi untuk
menghomogenkan dua enkapsulan yang sulit untuk bergabung. Misalnya
perpaduan alginat dengan kitosan yang memiliki kelemahan yaitu sulit untuk
menjadi homogen sehingga perlu ditambahkan surfaktan nonionik sebagai
emulsifier pada campuran alginat-kitosan (Trisnawati, 2014). Jenis surfaktan yang
paling banyak digunakan adalah Tween 80 dengan nilai HLB (Hydrophilyc
Lipophilyc Balance) sebesar 15. Emulsifier dengan HLB rendah (2-4) cenderung
larut dalam minyak, sedangkan emulsifier dengan HLB tinggi (14-18) cenderung
larut dalam air (Winarno, 1997). Tegangan permukaan antara medium dan core
dapat diturunkan dengan penambahan surfaktan Tween 80 sehingga nilai efisiensi
enkapsulasi meningkat karena terbentuknya misel yang mengakibatkan core dapat
terbawa oleh misel serta larut dalam medium. Pada konsentrasi 1– 10% Tween 80
dapat berperan sebagai bahan penambah kelarutan (Martin, 1993). Penambahan
surfaktan dengan kadar yang tinggi akan mengakibatkan surfaktan berkumpul
membentuk agregat. Pada penggunaan yang melebihi batas Critical Micell
Concentration (CMC) akan mengakibatkan surfaktan dapat berinteraksi dengan
kompleks core tertentu dan juga dapat berpengaruh terhadap permeabilitas
membran tempat penyerapan core material karena surfaktan memiliki komposisi
penyusun yang mirip dengan membran. Peningkatan penggunaan konsentrasi
tween 80 juga menyebabkan peningkatan ukuran partikel (100-1000 nm) dan
efisiensi enkapsulasi sebagai akibat terjadinya penurunan tegangan permukaan
(Attia Shafie, dkk., 2013).
2.4 Prinsip Kerja Enkapsulasi menggunakan Teknik Physico-chemical dan
Spray Drying
3.1.2 Bahan
Adapun bahan yang digunakan dalam praktikum ini, antara lain :
1. Ekstrak buah naga 10% (20 gram)
2. Alginate (0,5 gram)
3. Pengion 10%, 15% dan 20% (KCl, CaCl2 dan Al2(SO4)3 )
4. Tween 80 1% (0 gram dan 2 gram)
5. Maltodekstrin 5% (10 gram)
6. Aquades
3.2 Skema Kerja dan Fungsi Perlakuan
3.2.1 Enkapsulasi Buah Naga dengan Alginat dan Pengion
Buah Naga
Penyaringan
Gambar 3.1 Skema Kerja Enkapsulasi Buah Naga dengan Alginat dan Pengion
Bahan
Spray dryer
Gambar 3.3 Skema Kerja Enkapsulasi Ekstrak Buah Naga dengan Spray Dryer
Dalam enkapsulasi ekstrak buah naga dengan dengan spray dryer, langkah
pertama yang dilakukan yaitu dengan penghidupan alat spray dryer. Kemudian
spray dryer diatur suhunya pada 130°C. Setelah itu, sampel ekstrak buah naga
sebanyak 200 ml yang telah dibuat, dipindahkan ke dalam beaker glass. Kemudian
diletakkan pada alat spray dryer. Lalu dulakukan proses enkapsualsi dengan cara
sampel disedot melalui selang spray dryer hingga dihasilkan serbuk dari sampel
ekstrak buah naga.
BAB 4. DATA PENGAMATAN DAN HASIL PERHITUNGAN
b. Warna
Lightness
Sampel
U1 U2 U3
Porselen 65,2 65,1 65,0
KCl 10% 37,9 38,2 38,9
KCl 15% 32,3 34,8 34,7
KCl 20% 32,9 34,4 34,2
CaCl2 10% 33,4 33,3 31,3
CaCl2 15% 32,7 31,4 32,3
CaCl2 20% 31,2 32,1 32,2
Al2(SO4)3 10% 33,4 32,2 32,9
Al2(SO4)3 15% 31,3 31,2 31,5
Al2(SO4)3 20% 31,2 31,5 31,1
c. Penampakan visual
b. Warna
Lightness
Sampel Rata-rata ∆L
∆L1 ∆L2 ∆L3
M5 T0 -15,7 -15,9 -15,2 -15,6
M5 T1 -16,2 -16,0 -13,5 -15,23
M10 T0 -12,6 -15,5 -10 -12,7
M10 T1 -9,7 -12,1 -7,1 -9,63
Keterangan sampel:
M5 T0 : Maltodekstrin 5% + Tween 80 0%
M5 T1 : Maltodekstrin 5% + Tween 80 1%
M10 T0 : Maltodekstrin 10% + Tween 80 0%
M10 T1 : Maltodekstrin 10% + Tween 80 1%
DOKUMENTASI
1. Enkapsulasi Menggunakan Alginat
2. Enkapsulasi Menggunakan Maltodekstrin