Anda di halaman 1dari 30

SISTEM PENGHANTARAN OBAT

MIKROENKAPSULASI

ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah sistem penghantaran obat baru pada
semester 7 tahun ajaran 2017/2018

Disusun oleh :

Tri Nenci S Puri 260110140115


Siti Sofiatul Jannah 260110140116
Anggun Putri Perwira 260110140117

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2017
PEMBAHASAN

I. Pendahuluan

Enkapsulasi merupakan teknik penyalutan suatu bahan sehingga bahan


yang disalut dapat dilindungi dari pengaruh lingkungan. Bahan penyalut disebut
enkapsulan sedangkan yang disalut/dilindungi disebut core. Enkapsulasi pada
bakteri dapat memberikan kondisi yang mampu melindungi mikroba dari
pengaruh lingkungan yang tidak menguntungkan, seperti panas dan bahan kimia.
Sedangkan mikroenkapsulasi adalah proses fisik dimana bahan aktif (bahan inti),
seperti partikel padatan, tetesan air ataupun gas, dikemas dalam bahan sekunder
(dinding), berupa lapisan film tipis. Proses ini digunakan untuk melindungi suatu
zat agar tetap tersimpan dalam keadaan baik dan untuk melepaskan zat tersebut
pada kondisi tertentu saat digunakan (Paramita, 2010).

Mikroenkapsulasi adalah salah satu teknik yang dapat digunakan untuk


pembuatan sediaan lepas terkendali. Mikroenkapsulasi merupakan suatu proses
penyalutan secara tipis partikel padat, tetesan cairan dan dispersi zat cair oleh
bahan penyalut. Mikrokapsul sebagai hasil dari proses mikroenkapsulasi
mempunyai ukuran antara 1-5.000 m, memiliki kelarutan dan stabilitas yang
baik. Keunikan dari mikrokapsul adalah kecilnya partikel yang tersalut dan dapat
digunakan lebih lanjut terhadap berbagai bentuk sediaan farmasi (Lachman, 1994;
Wang et al., 2006).

Beberapa alasan utama dalam pembuatan mikroenkapsulasi adalah sebagai


berikut :

a. Untuk melindungi produk dari kondisi lingkungan, seperti suhu,


kelembapan, radiasi sinar UV, dan adanya interaksi dengan zat lain).
b. Untuk menjaga lingkungan dari bahaya atau toksisitas obat, sehingga
penanganan bahan bisa menjadi lebih aman.
c. Mengurangi evaporasi atau perpindahan laju bahan inti ke lingkungan
luar,
d. Mengkonversi bentuk cairan atau semisolid ke dalam bentuk serbuk
yang kering sehingga memudahkan proses penampuran dan mencegah
lumping (Re, 1998).

Ide dasar mikroenkapsulasi berasal dari sel, yaitu permeabilitas selektif


membran sel memberikan perlindungan terhadap inti sel dari kondisi lingkungan
yang berubah-ubah dan berperan dalam pengaturan metabolisme sel.
Mikroenkapsulasi yang berkembang saat ini menggunakan prinsip yang sama
untuk melindungi bahan aktif dari kondisi lingkungan yang tidak mendukung.
Tujuan utama umum mikroenkapsulasi adalah untuk membuat bahan cairan
bersifat seperti padatan. Hal ini menyebabkan beberapa sifat bahan inti menjadi
berubah, misalnya sifat aliran bahan dan penangan bahan menjadi lebih mudah
dalam bentuk padatan (Paramita, 2010).

Mikrokapsul dengan bentuk berupa bola, persegi panjang ataupun tak


beraturan. Struktur utama dari mikrokapsul terdiri dari inti dan pelapis. Bahan inti
merupakan bahan yang ada di dalam mikrokapsul yang sering disebut materi inti,
bahan aktif, pengisi, dan fasa internal. Bahan pelapis merupakan bahan yang
melapisi bagian inti sering disebut pelapis, kulit, membran, dinding bahan, fase
luar atau matriks (Zuidam and Shimoni, 2010).

Tipe mikroenkapsulasi secara umum ada dua yaitu satu inti (single core)
dan banyak inti (multiple core) pada bagian dindingnya. Mikrokapsul dengan
banyak inti memiliki inti yang tersebar secara merata di bagian dinding dan
bagian tengah mikrokapsul biasanya berupa rongga kosong yang dihasilkan dari
pemuaian selaa tahap pengeringan akhir (Jafari et al., 2008). Mikrokapsul dengan
satu inti biasanya memiliki muatan inti yang tinggi, misalnya 90% dari total berat
mikrokapsul. Sedangkan mikrokapsul dengan struktur banyak inti biasanya
memiliki persentase pelapis hingga 70% dari berat mikrokapsul. Bahan pelapis ini
akan rusak secara mekanik (pengunyahan, pemanasan, dan pelarut), perubahan
pH, enzim, serta sifat fisik dan kimia dari bahan inti (kelarutan, difusivitas,
tekanan uap, dan koefisien partisi) dan pelapis (ketebalan, porositas, dan
kemampuan bereaksi) sehingga bahan inti akan terlepas).

Gambar 1 Tipe Mikrokapsul (Jafari et al., 2008)

Gambar 2 perbedaan struktur mikrokapsul dan microsphere (Singh et al,


2010).

Keberhasilan melakukan proses mikroenkapsulasi menurut Deasy (1987)


terdiri dari:

a. Bentuk bahan inti yang dikapsul (padat, cair, gas)


b. Stabilitas terhadap suhu dan pH
c. Jenis bahan pelapis yang digunakan
d. Sifat fisikokimia (solubilitas, hidrofobik atau hidrofilik)
e. Medium mikroenkapsulasi yang digunakan (pelarut air atau yang lain)
f. Prinsip mikroenkapsulasi yang digunakan (fisik atau kimia)
g. Ukuran mikroenkapsulasi yang dibuat
Bahan-bahan pelapis yang dapat digunakan dalam proses
mikroenkapsulasi harus memiliki syarat yang diantaranya: dapat memberikan
lapisan tipis yang bersifat kohesif dengan bahan inti, stabilitas pada bahan inti,
tidak higroskopis dan tidak bereaksi dengan bahan inti, mampu melapisi bahan
inti secara kuat, keras dan fleksibel, mampu terlepas dibawah kondisi tertentu, dan
ekonomis (Agnihotri et al., 2012). Bahan-bahan pelapis sudah banyak digunakan
yaitu: gum (gum arab, sodium aglinat, karagenan), karbohidrat (pati, dekstrin,
sukrosa), selulosa (metilselulosa, karbonsimetilselulosa), lemak (parafin, asam
stearat, pospolipid) dan protein (gelatin, albumin).

II. Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi


Menurut Agnihotri et al. (2012), mikroenkapsulasi memiliki keuntungan
dan kerugian sebagai berikut:

Tabel 1. Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi

No. Keuntungan Kerugian

1. Mampu mengatur bahan inti Perubahan stabilitas pengkapsulan


(mengubah bahan inti cair menjadi selama proses produksi dan
padat, sehingga lebih mudah penyimpanan
penangannya dan memiliki bau
yang lebih netral)

2. Melindungi bahan inti (mencegah Ketidakpuasan konsumen terhadap


perubahan dan pengurangan kadar kualitasnya
bahan inti)
3. Meningkatkan kestabilan bahan Meningkatkan kekompleksan
inti selama proses produksi sampai proses produksi
produk akhir (mengurangi
penguapan bahan aktif, reaksi
dengan udara, air dan bahan lain,
serta proses degradasi)

4. Mengontrol proses pelepasan Penambahan cost


bahan inti

III. Teknik Pembuatan


Ada beberapa teknik yang digunakan dalam mikroenkapsulasi. Pemilihan
proses berdasarkan pada sensitivitas bahan aktif, sifat fisik dan kimia baik bahan
aktif maupun lapisan kulit, ukuran mikrokapsul yang diinginkan, tujuan aplikasi
bahan, mekanisme pelepasan bahan aktif, dan alasan ekonomi.
Metode fisik dari mikroenkapsulasi meliputi spray drying, spray
cooling/chilling, freeze drying, spinning disk, fluidized bed, extrusion dan co-
crystallization. Proses mikroenkapsulasi secara kimia adalah interfacial
polymerization dan solvent evaporation and extraction. Proses mikroenkapsulasi
baik secara fisik maupun kimia diantaranya coaservation/fase pemisahan,
enkapsulasi molekular, dan liposome entrapment. Alur proses mikroenkapsulasi
dapat dilihat pada Gambar 3.

1. Spray drying

Teknik spray drying mengubah bahan yang awalnya berupa bahan cair
menjadi materi padat. Pada proses spray drying, bahan yang akan dikeringkan
disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang kontak langsung
dengan media pengering dapat lebih besar sehingga menyebabkan penguapan
berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi spray drying adalah bentuk
penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk (Paramita, 2010).
Penggunaan spray drying tidak terbatas pada bahan makanan saja, tetapi juga
pada makhluk hidup bersel tunggal, misalnya bakteri. Mikroenkapsulasi
menggunakan spray dyring paling banyak digunakan dalam industri karena
biayanya relatif lebih rendah. Di bidang farmasi, mikroenkapsulasi banyak
digunakan terutama pada drying process, grranulasi, preparasi disperse padat,
alterasi polimorfisme obat, preparasi serbuk kering untuk sediaan aerosol,
pembuatan sediaan lepas terkendali, dan proses penyalutan obat untuk
memperbaiki rasa atau melindungi zat aktif dari proses oksidasi (Yeo et al, 2001).

Proses mikroenkapsulasi fleksibel, dapat digunakan untuk variasi bahan


dalam mikroenkapsulasi karena peralatannya mudah diterapkan dalam pengolahan
bermacam bahan dan menghasilkan partikel-partikel yang berkualitas baik dengan
distribusi ukuran partikel yang konsisten. Bahan yang dikemas dengan cara ini
meliputi lemak, minyak, dan penyedap rasa. Pelapisnya dapat berupa karbohidrat,
seperti dekstrin, gula, pati, dan gum, atau protein, seperti gelatin dan protein
kedelai. Proses mikroenkapsulasi meliputi pembentukan emulsi atau suspensi
antara bahan aktif dan pelapis, dan pengkabutan emulsi ke sirkulasi udara kering
panas dalam ruang pengering menggunakan atomizer ataupun nozzle. Kadar air
dalam droplet emulsi diuapkan akibat kontak dengan udara panas. Padatan yang
tersisa dari bahan pelapis menjebak bahan inti (Paramita, 2010).

Spray drying berguna untuk bahan yang sensitif terhadap panas karena proses
pengeringan berlangsung sangat cepat. Pada proses spray drying, bahan yang akan
dikeringkan disemprotkan dalam bentuk kabut. Luas permukaan bahan yang
kontak langsung dengan media pengering dapat lebih besar sehingga
menyebabkan penguapan berlangsung lebih baik. Faktor yang mempengaruhi
spray drying adalah bentuk penyemprot, kecepatan alir produk dan sifat produk.

Polimer hidrofilik maupun hidrofobik dilarutkan dalam pelarut yang sesuai


(pada umumnya pelarut organik). Zat aktif obat dapat dilarutkan maupun
disuspensikan ke dalam pelarut. Selain itu, larutan yang berisi zat aktif dapat
diemulsifikasikan ke dalam larutan polimer. Campuran ini kemudian di
semprotkan melalui nozzle dari bagian spray dryer sehingga akan menghasilkan
mikrosper solid yang akan terpresipitasi ke dalam kolektor di bagian bawah.
Beberapa proses terkadang menggunakan plasticizer untuk membentuk
mikrokapsul dengan permukaan yang halus dengan mengurangi rigiditas rantai
polimer (Yeo et al, 2001).

Gambar 2. Skema/diagram proses penggunaan spray dryer untuk preparasi


mikropartikel PGLA

Penggunaan metode spray drying terbilang cukup mudah, cepat, dan


sederhana untuk proses scale-up sehingga banyak digunakan sebagai alternative
dari metode konvensional, seperti koaservasi dan metode eulsi untuk obat berupa
protein (Yeo et al, 2001). Teknik spray drying digunakan dalam produksi
mikropartikel PGLA yang mengandung thyrotropin releasing hormone (TRH).
TRH dalam air dan PGLA dalam asetonitril dicampur untuk membentuk larutan
yang jernih kemudian disemprotkan. Karena produksi mikropartikel ini sering
menimbulkan aglomerasi dan menempel pada dinding chamber, alat didesain
menggunakan sistem nozzle ganda dengan penambahan larutan mannitol sebagai
anti-adherent secara simultan. Proses ini menghasilkan partikel dengan ukuran 20
m dengan pelepasan obat TRH pada orde nol dengan penggunaan selama satu
bulan dari dosis awal (Takada et al, 1995).

Kelebihan: keanekaragaman dan ketersediaan mesin, kualitas mikrokapsul


yang tetap baik, berbagai ukuran partikel yang dapat diproduksi, dan kemampuan
dispersibilitas yang baik dalam media berair, produk akan menjadi kering tanpa
menyentuh permukaan logam yang panas, temperatur produk akhir rendah
walaupun temperatur pengering relatif tinggi, waktu pengeringan singkat dan
produk akhir berupa bubuk stabil yang memudahkan penanganan dan transportasi
(Paramita, 2010).

Kekurangan: kehilangan bahan aktif dengan titik didih rendah, adanya


proses oksidasi dalam senyawa penyedap rasa, dan keterbatasan pada pilihan
bahan dinding, dimana bahan dinding harus dapat larut pada air dengan jumlah
yang layak.
Gambar 3. Proses Mikroenkapsulasi (Paramita, 2010)
2. Freeze drying

Merupakan metode mikroenkapsulasi yang digunakan dalam proses


pengeringan pada hampir semua bahan yang sensitif terhadap panas dan aroma.
Telah digunakan untuk mengkapsul essence yang larut dalam air dan aroma alami
(Gouin, 2004). Menurut Zuidam and Shimoni (2010), pada tahap pertama, sampel
dibekukan dalam suhu antara 90 dan 40C, kemudian pengeringan dengan
sublimasi langsung dibawah tekanan rendah sehingga suhunya menurun antara
90 dan 20C. Setelah pengeringan sampel yang terbentuk dapat dihancurkan
dalam bentuk yang lebih kecil, apabila perlu dapat melakukan proses
penghancuran melalui grinding. Kerugian utama metode freeze draying adalah
penggunaan energi yang tinggi, prosesnya yang lama dan struktur pori yang
terbuka yang mana secara umum kurang bagusnya ikatan yang mengelilingi bahan
aktif. Dibandingkan dengan spray drying, metode freeze drying 3050 kali lebih
mahal (Gharsallaoui et al., 2007).

3. Spinning disk

Merupakan modifikasi proses dari spray cooling/chilling dengan


menggunakan metode atomisasi (Paramita, 2010). Spray chilling (congealing)
merupakan metode alternative dari metode spray drying, meliputi proses disolusi
atau disperse zat aktif ke dalam pembawa yang meleleh tanpa adanya pelarut (Yeo
et al, 2001). Prinsip dari spray cooling/chilling mirip dengan spray drying, namun
menggunakan udara dingin dalam proses pengeringannya. Spinning disk
melibatkan pembentukan inti suatu suspensi di lapisan cairan dan suspensi ini
terletak di atas disk yang berputar dalam kondisi yang mengakibatkan lapisan film
jauh lebih tipis daripada ukuran partikel inti. Pemakaian proses ini meningkat
dengan cepat sejak tahun 2000 karena memberikan hasil yang seimbang atau
bahkan lebih baik daripada spray drying atau spray cooling/chilling dengan biaya
proses yang tidak berbeda (Paramita, 2010).
4. Fluidized bed coating

Merupakan teknik yang digunakan dalam mengkapsul bubuk dengan


peralatan yang diset dalam proses kontinyu atau tidak. Bubuk dibentuk oleh udara
yang ekstrim dengan temperatur yang spesifik kemudian dispray dengan atomisasi
untuk membuat bahan pelapis. Sehingga secara berangsur-angsur bahan aktif akan
tertutup oleh pelapis pada saat dispray. Bahan pelapis harus memiliki sifat
viskositas cocok sehingga dapat dipompa dan diatomisasi, harus stabil dalam
kondisi panas dan seharusnya dapat membentuk lapisan film sebagai bahan
pelapis (Zuidam and Shimoni, 2010). Keterbatasan penggunaan teknologi ini
adalah hanya dapat digunakan untuk mengkapsul partikel padat dan ukuran
produk yang terbentuk tidak dapat kurang dari 10 m (Gouin, 2004).

5. Teknik coacervation

Merupakan pemisahan fase cair/cair secara spontan yang terjadi ketika dua
polimer yang bermuatan berlawanan (misalnya protein dan polisakarida)
dicampur dalam media berair kemudian mengarah ke pemisahan menjadi dua
fase. Fase yang lebih rendah disebut (kompleks) coacervate dan memiliki
konsentrasi yang tinggi dari kedua polimer. Fase atas disebut sebagai supernatan
atau fase kesetimbangan, yang merupakan larutan polimer encer. Coacervate
digunakan sebagai bahan makanan, misalnya pengganti lemak atau memberi rasa
yang mirip daging dan biomaterial, seperti lapisan tipis (film) yang dapat dimakan
dan kemasan. Metode ini sangat efisien dan menghasilkan mikrokapsul dengan
ukuran yang lebih bervariarif daripada teknik mikroenkapsulasi yang lain
(Paramita, 2010).

Proses ini meliputi tiga tahap, pertama, mecampur tiga fase yang saling tidak
melarutkan (fase kontinyu atau air, bahan aktif yang akan dimikroenkapsulasi dan
bahan pelapis). Kedua, bahan pelapis membentuk lapisan pada bahan inti. Hal ini
dicapai dengan merubah pH, suhu atau kekuatan ion yang menghasilkan
pemisahan fase (coacervation) dari pelapis dan sebaran inti yang terjebak.
Terakhir, bahan pelapis memadat karena adanya panas, crosslinking (hubungan
silang) dan teknik desolvasi. Mikrokapsul yang dihasilkan dari pemisahan fase
encer memiliki dinding yang larut air dan bahan aktif yang bersifat menjauhi air
(hidrofobik), seperti minyak sayur, penyedap rasa, dan vitamin yang larut dalam
minyak (Paramita, 2010).

Gambar 4. Diagram proses pembentukan mikrokapsul menggunakan teknik


koaservasi

Teknik penyiapan fase dapat diklasifikasikan berdasarkan metode untuk


menginduksi fase pemisahannya, yaitu penambahan non-solvent, perubahan suhu,
penambahan polimer inkompatibel atau penambahan garam, dan interaksi
polimer-polimer (Yeo et al, 2001).

a. Penambahan Non-solvent

Zat polimer yang akan disalut dilarutkan terlebih dahulu ke dalam


pelarut yang sesuai, kemudian zat aktif obat akan dilarutkan atau
disuspensikan ke dalam larutan polimer. Selanjutnya nonsolvent atau
coacervating agent pertama yang dapat tercampur baik dengan pelarut
namun tidak terlarut dengan polimer ditambahkan secara perlahan ke
dalam sistem larutan polimer-zat aktif. Polimer tersebut kemudian akan
terkonsentrasi karena pelarut perlahan-lahan akan terestraksi ke dalam
larutan non-solvent, kemudian diinduksi ke fase pemisahan dan
membentuk droplet koaservat yang mengandung obat.Ukuran droplet obat
dapat disesuaikan dengan kecepatan pemutaran/pengadukan. Droplet
kemudian dipindahkan ke dalam non-solvent kedua atau hardening agent
yang akan mengeras menjadi mikropartikel.

Contoh non-solvent yang digunakan memiliki berat molekul kecil,


seperti polybutadiene, polimer methacrylic cair, minyak silicon, minyaak
dari sayuran, dan paraffin cair BM rendah. Sementara untuk non-solvent
kedua digunakan hidrokarbon alifatik seperti heptane, heksan, dan lain-
lain.

b. Perubahan suhu

Jika suhu menurun di bawah area kurva, fase pemisahan polimer


terlarut akan terjadi membentuk cairan tidak tercampurkan dan polimer
akan memepel di sekitar partikel obat membentuk mikrokapsul.

c. Penambahan polimer inkompatibel

Ketika dua jenis polimer yang berbeda secara kimia dalam suatu
pelarut tidak tercampurkan/inkompatibel, maka fase pemisahan akan
terjadi dalam sistem mikrokapsul. Obat akan terdispersi ke dalam salah
satu larutan polimer dan ditambahkan polimer yang lain, ketika mencapai
titik jenuh dengan penambahan polimer lain tersebut, terjasi fase
pemisahan dan pembentukan droplet yang mengandung zat aktif dan
mengalami coalescing membentuk mikrokapsul. Pada kondisi yang sama,
garam inorganik juga dapat ditambahkan ke dalam larutan yang berisi
polimer larut air untuk membentuk fase pemisahan.

d. Interaksi polimer-polimer (complex coacervation)

Interaksi polielektrolit yang berbeda muatan akan menghasilkan


pembentukan kompleks dengan mengurangi solubilitas kemudian terjadi
fase pemisahan. Pada umumnya gelatin digunakan sebagai polimer
kationik pada pH dibawah isoelektrik, kemudian direaksikan dengan
polimer anionic seperti gom arab pada pH 4.5 dan suhu 40-45C
membentuk kompleks koaservat dalam larutan akuos. Ketika terjadi fase
pemisahan, larutan bahan inti berisi zat aktif yang tidak larut air
ditambahkan dan diemulifikasi untuk membentuk ukuran droplet yang
diinginkan.

Berikut diagram proses pada berbagai metode untuk membentuk fase


pemisahan dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Diagram fase pemisahan secara umum pada teknik koaservasi


berdasarkan pelarut (A), suhu (B), polimer inkompatibel (C), dan interaksi
polimer (D) (Yeo et al, 2001).
Kelebihan: memiliki payload yang sangat tinggi yaitu >99%, kemudahan
dalam mengontrol lepasnya bahan inti dari pelapis (Gouin, 2004).
Kekurangan: Biaya proses produksi yang tinggi dan pembatasan yang
kompleks apabila ingin digunakan secara komersial (Madene et al., 2006).

6. Enkapsulasi molekuler/pemasukan kompleksasi

Proses ini menggunakan cyclodextrin untuk membuat kompleks dan


imobilisasi molekul. Cyclodextrin digunakan untuk menstabilkan emulsi dan
melindungi bahan makanan yang sensitif dari cahaya, panas, dan oksigen.
Siklodextrin dapat meningkatkan kelarutan bahan yang bersifat hidrofobik,
mengurangi penguapan dari penyedap rasa pada makanan, dan menutupi rasa,
aroma, atau warna makanan yang tidak diinginkan (Paramita, 2010).

Reaksi umum dalam enkapsulasi molekuler menggunakan prinsip host-


guest. Kemampuan cyclodextrin untuk membentuk pemasukan kompleksasi
dengan molekul tamu memiliki dua faktor kunci. Yang pertama adalah tergantung
pada ukuran relatif cyclodextrin dengan ukuran molekul tamu atau kunci tertentu
di dalam kelompok-kelompok fungsional tamu. Jika ukuran tamu salah maka
tidak akan sesuai untuk masuk ke dalam rongga cyclodextrin. Faktor kritis kedua
adalah termodinamik interaksi antara berbagai komponen dari sistem
(cyclodextrin, tamu, pelarut). Diperlukan adanya daya dorong dari molekul tamu
ataupun daya tarik dari cyclodextrin yang menguntungkan. Dalam hal ini,
cyclodextrin memiliki sifat fungsional hidrofilik (mendekati air) pada bagian
bawah dan atas strukturnya yang seperti donat dan bersifat hidrofobik (menjauhi
air) pada bagian tengah karena terhubung dengan jembatan glikosidik oksigen.
Senyawa yang dapat membetuk kompleks dengan cyclodextrinadalah senyawa
yang bersifat hidrofobik atau memiliki bagian yang hidrofobik. Bagian hidrofobik
dari molekul tamu membentuk interaksi yang stabil nonkovalen dengan bagian
tengah cyclodextrin (Paramita, 2010).

7. Liposom entrapment

Liposom terbentuk dari dua lapis membran yang mana terdiri dari molekul
lipid seperti fosfolipid (lecithin) dan kolesterol. Mereka terbentuk ketika lipid
terpisah pada media cair dan terekspos sebagai potongan yang menggunakan
microfluidization atau penggilingan koloid. Mekanisme utama dalam
pembentukan liposom adalah interaksi hidrofilik dan hidrofobik antara fospolipid
dan molekul air. Bahan aktif dapat ditangkap dengan bahan cair dari liposom atau
dengan menangkap dengan membran. Ukuran partikel antara 30 nm atau beberapa
dalam bentuk mikron. Penyimpanan menyebabkan ukuran menjadi lebih besar
sehingga perlu dijaga dengan electrostatic repulsion (seperti dengan penambahan
lipid pada membran pelapis (Zuidam and Shimoni, 2010). Menurut Madene et al.
(2006), kerugian metode ini adalah kestabilannya hanya dalam waktu yang
pendek, susah dalam proses scale up dan susah dalam proses kapsul karena bahan
membutuhkan kondisi kering.

Tabel 2. Ringkasan Proses Mikroenkapsulasi (Zuidam and Shimoni, 2010)

Teknologi Alur Proses Bentuk Muatan Partikel


(%) (m)
Freeze drying 1. Penyebaran bahan aktif dengan Matrix Berbagai 20-5.000
bahan pelapis pada air macam
2. Pembekuan sampel
3. Pengeringan dalam temperatur
yang rendah
4. Proses pengecilan produk
Spray drying 1. Penyebaran bahan aktif pada Matrix 5-50 10-400
pelapis cair
2. Atomisasi
3. Pengeringan
Spray 1. Penyebaran bahan aktif pada Matrix 10-20 20-200
chilling/cooling pelapis tipis
2. Atomisasi
3. Pendinginan
Fluid bed 1. Pembentukan bubuk aktif Reservoir 5-50 5-5.000
coating 2. Pelapisan secara semprot
3. Pengeringan atau pendinginan
Coacervation 1. Mempersiapkan pencampuran Reservoir 40-90 10-800
bahan aktif pada fase cair
2. Pencampuran dengan
menggunakan turbulen
3. Pendinginan
Liposome 1. Penyebaran bahan aktif pada Berbagai 5-50 10-1.000
entrapment lemak macam
2. Pengurangan ukuran

IV. Evaluasi Sediaan Mikrokapsul


a. Analisis spektroskopi IR (Weiss et al., 2007)

Mikrokapsul glikuidon dalam bentuk serbuk, diukur serapan inframerahnya


dengan menggunakan alat Fourier Transform Infrared (FT-IR). Mikrokapsul
glikuidon diletakkan di atas transparent disk kemudian dilakukan pembacaan
(scan) oleh alat FT-IR.

b. Berat mikrokapsul yang diperoleh

Berat mikrokapsul yang diperoleh ditimbang dengan timbangan analitik.

c. Distribusi ukuran partikel (Halim, 1995; Voigt, 1994)


Mikroskop sebelum digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan
menggunakan mikrometer pentas. Lalu sejumlah mikrokapsul didispersikan dalam
parafin cair dan diteteskan pada kaca objek. Kemudian letakkan di bawah
mikroskop, amati ukuran partikel serbuk dan hitung jumlah partikelnya (300
partikel).

d. Penetapan kandungan air (Rajesh et al., 2011)

Mikrokapsul diukur kadar airnya menggunakan alat pengukur kadar lembab


(moisture balance).

e. Penetapan kandungan glikuidon dalam mikrokapsul

Mikrokapsul glikuidon dari masing-masing formula ditimbang 50 mg. Lalu


dimasukan ke dalam labu ukur 50 mL dan dilarutkan dengan metanol sampai
tanda batas, kemudian dikocok dan disonikasi selama 1 jam. Setelah itu dipipet 5
mL filtrat ke dalam labu ukur 25 mL, lalu diencerkan dengan metanol sampai
tanda batas. Lakukan pengenceran hingga 3 kali dan ukur serapan pada panjang
gelombang serapan maksimum glikuidon dengan spektrofotometer UV.
Konsentrasi zat aktif dapat ditentukan dengan menggunakan kurva kalibrasi.
Masingmasing formula dilakukan pengulangan 3 kali.

f. Penentuan loading obat, efisiensi enkapsulasi, dan hasil mikrokapsul


(Khamanga et al., 2009)

Dari penentuan kandungan obat dalam mikrokapsul yang diperoleh dapat


dihitung persentase zat aktif yang tersalut dengan menggunakan rumus:

berat zat aktif


%Loading = 100%
berat mikrokapsul
Persentase microcapsule yield dihitung menggunakan rumus:

% = 100%

Keterangan:
M = Berat mikrokapsul
Mo = Berat awal

= 100%

Setiap pengujian dilakukan sebanyak tiga kali pengulangan.

g. Scanning Electron Microscopy (Khamanga et al., 2009; Rajesh et al., 2011)

Sampel diletakkan pada sampel holder aluminium dengan ketebalan 10 nm.


Sampel kemudian diamati berbagai perbesaran alat SEM. Voltase diatur pada 5
kV dan arus 12 mA.

h. Profil disolusi (Ahad et al., 2010)

Mikrokapsul didisolusi dengan metode dayung pada kecepatan 50 rpm. Labu


diisi dengan medium disolusi dapar fosfat pH 7,4 sebanyak 900 mL pada suhu
370,5oC. Setelah suhu tersebut tercapai, dimasukkan mikrokapsul yang setara
dengan 30 mg mikrokapsul ke dalam wadah disolusi. Pada menit ke 10, 20, 30,
45, 60, 120, 240, dan 360 dipipet larutan sebanyak 5 mL. Pada setiap pemipetan,
larutan di dalam labu diganti dengan medium disolusi dengan volume dan suhu
yang sama.

Lalu dilakukan pengukuran absorban dengan menggunakan spektrofotometer


UV pada pajang gelombang maksimum zat aktif. Kadar zat aktif pada masing-
masing waktu pemipetan dapat ditentukan dengan bantuan kurva kalibrasi.
Pengujian ini dilakukan sebanyak tiga kali dengan mengambil sampel yang sama
pada tiap formula.

V. Aplikasi Mikroenkapsulasi

Teknologi mikrokapsul yang bayak digunakan di bidang farmasi salah


satunya dalam pembuatan sediaan obat lepas terkendali (controlled release).
Berbagai macam teknik telah banyak dikembangkan untuk memodifikasi
pelepasan zat aktif, seperti transport agen terapeutik secara selektif ke target obat
untuk mengoptimasi respon biologis yang diinginkan atau mengatur pelepasan
obat pada target selektif dengan laju yang diinginkan. Laju pelepasan obat dapat
disesuaikan dengan pengaturan sistem yang akan menghasilkan konsentras obat
dalam plasma yang konstan di antara batas efisiensi dan batas toksisitas obat
(Porte dan Courarraze, 1994). Beberapa aplikasi mikroenkapsulasi dalam bidang
farmasi di antaranya :

1. Mikroenkapsulasi Vitamin C

Uddin dkk. (2001) mempelajari pengaruh variabel proses pada asam


askorbat karakteristik. Mereka memilih empat teknik enkapsulasi yang berbeda
yaitu : pemisahan fase termal, dispersi leleh, penguapan pelarut dan pengeringan
semprot. Pada fase teknik pemisahan termal digunakan etil selulosa sebagai bahan
pembentuk dinding. Berat molekulnya bervariasi dan parameter lainnya tetap
sama. Diketahui bahwa produk mikroenkapsulasi akan menurun seiring kenaikan
berat molekul. Alasan yang paling mungkin diberikan adalah penurunan agregasi
dari mikrokapsul sebagai berat molekul etil selulosa meningkat. Mereka juga
mempelajari tingkat pelepasan asam askorbat, yang didefinisikan sebagai rasio
asam askorbat dilepaskan ke solusi untuk berat yang dienkapsulasi awal. Ini
ditentukan dengan mensuspensikan 200 mg mikrokapsul dalam 1000 ml air dan
terus menerus digetarkan pada 30oC.

Jumlah Asam askorbat yang dilepaskan diukur dengan menggunakan


Spektrofotometer UV Hasil menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan
dalam rasio rilis dengan berat molekul etil selulosa yang berbeda. Semakin tinggi
berat molekulnya, semakin rendah tingkat pelepasannya. Tingkat molekuler
bukanlah faktor pelepasan lengkap karena berat molekul tinggi atau rendah
memberikan pelepasan tingkat ~ 1,0 dalam 20 menit. Ini lebih baik dibandingkan
dengan asam askorbat bebas, yang mencapai rasio pelepasan 1,0 setelah hanya 20
detik pembubaran. Lilin Carnauba digunakan dalam metode dispersi melelehkan
mikroenkapsulasi. Hasil menunjukkan mikrokapsul sferikel berukuran kira-kira
50m. Rasio pelepasan hampir 0,6 setelah 120 menit yang secara substansial lebih
rendah dan lebih lambat daripada menggunakan etil selulosa dalam pemisahan
fasa. Ini menunjukkan Karnauba membuat asam askorbat lebih stabil.

Teknik penguapan pelarut digunakan untuk menyelidiki efek dari berbagai


suhu, rasio inti kedinding dan adanya peliat plastik (trietil sitrat) pada asam
askorbat mikroenkapsul. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehadiran
plasticiser menurunkan laju pelepasan. Dua rasio inti-ke-dinding yang digunakan
adalah 1: 1 dan 3: 1. Tidak ada efek signifikan yang ditemukan. Demikian pula,
kedua suhu tersebut digunakan untuk penguapan pelarut 28oC dan 55o C, tidak
menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap laju pelepasan. Teknik
pengeringan semprot menggunakan empat bahan pelapis polimer yang berbeda,
baik sendiri maupun sebagai campuran.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kehilangan asam askorbat selama


pengeringan semprot hanya 20% yang dianggap rendah. Masing-masing dari
berbagai bahan pelapis dihasilkan dalam ukuran kapsul kebanyakan antara 90-
280om fraksi. Namun, rasio asam askorbat yang dienkapsulasi tidak terlalu tinggi,
kurang dari 50%. Ini berarti bahwa kurang dari 50% asam askorbat yang
digunakan dalam teknik ini sebenarnya mikroenkapsulasi. Sementara pengeringan
semprot adalah metode enkapsulasi murah dan ekonomis, nilai ini tidak terlalu
tinggi. Rasio yang dienkapsulasi sedikit lebih tinggi bila -siklodekstrin
digunakan. Meskipun nilai rasio yang lebih rendah, asam askorbat telah
memperbaiki sifat seperti tidak ada perubahan warna setelah terpapar udara
selama satu bulan. Percobaan penyimpanan dilakukan pada suhu 38oC dan 84%
kelembaban. Asam askorbat mikroenkapsulasi menunjukkan degradasi yang lebih
lambat dari pada kristal asam askorbat.

Studi tersebut menyimpulkan bahwa:

1. Asam askorbat mikroenkapsulasi dapat mencegah perubahan warna asam


askorbat dengan menjadi sangat stabil, dapat menghambat laju pelepasan inti dan
umumnya menutupi rasa asam.
2. Menggunakan lilin karnauba bukan etil Selulosa memberikan rasio pelepasan
yang sangat berkurang yang ideal.

3. Pati dan -siklodekstrin menunda degradasi asam askorbat bila disimpan pada
suhu 38oC dan kelembaban relatif 84%.

2. Mikroenkapsulasi Mikroorganisme

Telah banyak digunakan untuk enkapsulasi dan imobilisasi mikroorganisme


(Prakash, 2011). Enkapsulasi sel bakteri adalah proses yang dapat terjadi secara
alami saat bakteri berkembang biak dan menghasilkan exopolysaccharides,
polimer dengan berat molekul tinggi yang tersusun dari residu gula. Struktur
exopolysaccharide dapat bertindak sebagai kapsul pelindung dan mengurangi
permeabilitas dan paparan bakteri terhadap faktor lingkungan yang merugikan.
Penelitian awal menggunakan mikroenkapsulasi untuk imobilisasi sel bakteri pada
industri makanan dan susu, seperti yang dibahas dalam ulasan lain (Lacroix,
2005).

Dalam beberapa tahun terakhir, mikroenkapsulasi sel probiotik,


"mikroorganisme hidup, yang bila diberikan dalam jumlah yang cukup, memberi
manfaat kesehatan pada tuan rumah," mendapat perhatian untuk pengobatan
sejumlah gangguan pencernaan dan kesehatan lainnya (FAO dan WHO, 2001).
Namun, sel probiotik yang dikirim secara lisan harus dikirim dan tetap bertahan
melalui kondisi keras GIT bagian atas. Oleh karena itu, mikroenkapsulasi dapat
digunakan sebagai perlindungan untuk pengiriman sel. Penelitian difokuskan pada
mikroenkapsulasi probiotik telah terbukti berhasil dalam konteks gagal ginjal,
penyakit kardiovaskular, dan pada kelainan usus besar, seperti yang dijelaskan
kemudian.

Microenkapsulasi mikroba pada penyakit gagal ginjal


Penelitian awal di bidang mikroorganisme mikroenkapsulasi dilakukan,
oleh Prakash dan Chang, menggunakan strain Escherichia coli yang dimodifikasi
secara genetik (DH5) yang mengandung gen urease dari aeronel Klebsiella
(Prakash, 1995). Enkapsulasi dilakukan dengan gelasi alginat dalam kalsium
klorida, diikuti oleh tahap pelapisan dengan polietin dan alginat, untuk
menghasilkan mikrokapsul alginate-polylysine-alginate (APA) yang mengandung
sel E. coli. Bila diberikan secara oral ke tikus uremik, E. coli yang dienkapsulasi
berhasil menurunkan kadar urea plasma dan amonia kembali ke tingkat normal,
serta memodulasi banyak penanda gagal ginjal. Ini adalah laporan pertama yang
mencatat penggunaan sel buatan membran polimer untuk pengiriman oral
organisme rekayasa genetika. Penelitian ini juga menyoroti mikroenkapsulasi
sebagai metode untuk mengisolasi mikroorganisme yang dikirim melalui transit
GIT sampai ekskresi, menghilangkan masalah keselamatan yang terkait dengan
penyaluran mikroorganisme. Penelitian juga dilakukan, secara in vitro, dengan E.
coli yang sama namun menggunakan mikrokapsul polivinil alkohol yang memiliki
kekuatan mekanik jauh lebih tinggi daripada mikrokapsul APA (Gao, 2004).
Penelitian tambahan juga dilakukan dengan Lactobacillus delbrueckii yang
mampu mengeluarkan urea, untuk menanggapi kekhawatiran toksisitas terkait
dengan penggunaan strain E. coli yang direkayasa secara genetika.

Penelitian oleh Prakash et al. memberikan penelitian pertama yang


menyelidiki penggunaan sel ragi mikroenkapsulasi, Saccharomyces cerevisiae,
pada gagal ginjal. Kelompok penelitian menyelidiki pemberian oral sel ragi hidup
pada mikrokapsul APA pada model tikus uremia gagal ginjal. Studi ini
menunjukkan bahwa sel ragi mikroenkapsulasi ditahan di mikrokapsul melalui
transit GIT namun memungkinkan urea menyebar melalui membran
semipermeabel mikrokapsul dan ditindaklanjuti oleh urease ragi. Yang lebih
penting lagi, penurunan 18% yang signifikan dicatat untuk tingkat urea selama
periode perawatan 8 minggu, menunjukkan keefektifan formulasi sebagai terapi
untuk menghilangkan tingkat metabolit yang meningkat yang ada pada gagal
ginjal.
Microenkapsulasi Mikroba dalam Hiperkolesterolemia dan Penyakit
Kardiovaskular

Mikroenkapsulasi sel bakteri baru-baru ini mendapat perhatian untuk


pengobatan dan pencegahan hiperkolesterolemia. Pekerjaan awal oleh Garofalo
dkk. menyelidiki penggunaan Pseudomonas pictorum mikroenkapsulasi dengan
alginat-polietfin dan pori agar terbuka. Pasteurum mikroenkapsulasi ditunjukkan
pada aktivitas penipisan kolesterol yang signifikan, dengan aktivitas tertinggi
dengan formulasi mikrokapsul pori agar terbuka (Garofalo, 1989).

Melanjutkan jenis pekerjaan yang sama, Jones et al. menyelidiki APA


microencapsulated Lactobacillus plantarum 80 (pCBH1) yang dimodifikasi
secara mikroenkapsulasi yang dimodifikasi secara genetik (BSH-) aktif untuk
menghancurkan dan menghilangkan asam empedu (Jones, 2012). Penelitian ini
menetapkan penggunaan organisme mikroenkapsulasi BSH untuk menurunkan
kolesterol serum darah.

Setelah karya ini, Martoni dkk. menunjukkan bahwa APA


mikroenkapsulasi secara alami BSH-active Lactobacillus reuteri dapat berhasil
dikirim ke usus besar dan tetap aktif secara enzimatik, dengan menggunakan
model gastrointestinal manusia yang disimulasikan (Martoni, 2008). Formulasi
probiotik ini dapat memberi kontribusi pada penurunan kolesterol yang signifikan
pada penyakit kardiovaskular, dengan berkontribusi pada dekonjugasi garam
empedu di usus.

Penelitian lebih lanjut oleh Jones et al. menunjukkan penggunaan APA


microencapsulated BSH-active L. reuteri dalam studi klinis manusia, diberikan
sebagai formulasi yogurt. Perumusan tersebut ditunjukkan untuk mengurangi
kolesterol LDL, kolesterol total, kolesterol apolipoprotein B-100 (apoB-100), dan
kolesterol non-high-density lipoprotein (HDL) pada pasien hiperkolesterolemia
lebih efisien daripada terapi probiotik tradisional dan lainnya. bahan penurun
kolesterol (Jones, 2012).
Lactobacilli yang dienkapsulasi mikrokapsul dalam Penyakit Colon

Mikroba yang tersirkulasi mikro juga mendapat perhatian untuk modulasi


peradangan kolon, khususnya yang berkaitan dengan kanker usus besar, namun
berpotensi untuk gangguan inflamasi kolon lainnya, seperti sindroma radang usus
besar (IBS) dan penyakit radang usus (IBR). Urbanska dkk. menyelidiki sifat
antitumorigenik dari APA yang dilumasi mikroplaktin Lactobacillus acidophilus
pada tikus Min (multiple intestinal neoplasia) yang membawa mutasi Germline
Apc yang secara spontan mengembangkan banyak neoplasma usus pretumorik
(Urbanska, 2009). Administrasi probiotik menyebabkan penurunan yang
signifikan dalam jumlah adenoma dan neoplasia gastrointestinal pada hewan yang
diobati, menunjukkan bahwa bakteri mikroenkapsulasi dapat berperan dalam
pengembangan kanker usus besar yang berhasil terapeutik.

Penelitian lebih lanjut menyelidiki kemampuan APA microencapsulated L.


acidophilus untuk menekan radang usus pada tikus, untuk aplikasi potensial pada
penyakit peradangan kronis seperti IBS dan IBD. Pemberian formulasi
mikroenkapsulasi menyebabkan penurunan kadar sitokin proinflamasi yang
signifikan. Penanda yang terkait dengan kelangsungan hidup sel epitel kolon juga
meningkat dengan formulasi L. acidophilus mikroenkapsulasi. Studi yang telah
disebutkan sebelumnya, berkaitan dengan mikroba mikroba terserap FAE, telah
menunjukkan sifat antioksidan yang signifikan, yang juga dapat terbukti
bermanfaat untuk gangguan peradangan usus besar (Urbanska, 2009).

3. Mikropartikel obat NSAID untuk penyakit arthritis

NSAID merupakan jenis obat analgesic yang paling umum digunakan untuk
mengobati nyeri pada arthritis, namun kebanyakan obat golongan ni memiliki
efek samping terutama pada saluran gastrointestinal. Salah satu upaya untuk
mengurangi efek samping obat ini adalah dengan formulasi sediaan lepas
terkendali untuk mengoptimasi pelepasan obat dengan dosis yang konstan
menggunakan teknologi mikrokapsul (Abadi et al, 2016).
DAFTAR PUSTAKA

A. M. Urbanska, J. Bhathena, C. Martoni, and S. Prakash. 2009. Estimation of the


potential antitumor activity of microencapsulated Lactobacillus acidophilus
yogurt formulation in the attenuation of tumorigenesis in Mice. Digestive
Diseases and Sciences, vol. 54, no. 2, pp. 264273.

Abadi, S.S., Moin A., Veerabhadrappa G.H. 2016. Review Article: Fabricated
Microparticles: An Innovative Method to Minimize the Side Effects of
NSAIDs in Arthritis. Crit Rev Ther Drug Carrier Syst. 2016;33(5):433-488.

Agnihotri N., R. Mishra, C. Goda, and M. Arora.. 2012. Microencapsulation-A


novel approach in drug delivery: a review. Indo GlobalJ of Phram Sci. 2 (1):
1-20.

Ahad, H. A., Kumar, C. S., Reddy, K. K., Kumar, A., Sekhar, C., Sushma, K., et
al. 2010. Preparation and Evaluation of Sustained Release Matrix Tablets of
Gliquidone Based on Combination of Natural and Synthetic Polymers.
Journal of Advanced Pharmaceutical Research, 1(2): 108-114.

C. Lacroix, F. Grattepanche, Y. Doleyres, and D. Bergmaier. 2005. Immobilised


cell technologies for the dairy industry, in Applications of Cell
Immobilisation Biotechnology, chapter 18. Netherlands : Springer.

C. Martoni, J. Bhathena, A. M. Urbanska, and S. Prakash. 2008.


Microencapsulated bile salt hydrolase producing Lactobacillus reuteri for
oral targeted delivery in the gastrointestinal tract. Applied Microbiology and
Biotechnology, vol. 81, no. 2, pp. 225233.

Deasy P. 1987. Microencapsulation and Related Drugs Process. London (UK):


Marcel Dekker.

F. A. Garofalo, M. Eng, and T. M. S. Chang. 1989. Immobilization of P.


Pictorum in open pore agar, alginate and polylysine-alginate microcapsules
for serum cholesterol depletion. Biomaterials, Artificial Cells, and Artificial
Organs, vol. 17, no. 3, pp. 271289.

FAO and WHO. 2001. Health and Nutritional Properties of Probiotics in Food
Including Powder Milk with Live Lactic Acid Bacteria.

Gharsallaoui A, G. Roudaut, O. Chambin, A. Voilley, and R. Saurel. 2007.


Applications of spray-drying in microencapsulation of food ingredients: an
overview. J Food Res Intern. 40: 11071121.

Gouin S. 2004. Microencapsulation: industrial appraisal of existing technologies


and trends. J Food Sci and Tech. 15: 330-347.

H. Gao, Y. Yu, B. Cai, and M. Wang. 2004. Preparation and properties of


microencapsulated genetically engineered bacteria cells for oral therapy of
uremia. Chinese Science Bulletin, vol. 49, no. 11, pp. 11171121.

Halim, A. 1995. Teknologi Partikel. Padang: Universitas Andalas.

Jafari S. M., E. Assadpoor, Y. He, and B. Bhandari. 2008. Encapsulation


Efficiency of Food Flavours and Oils during Spray Drying. J Drying Tech.
26: 816-835.

Khamanga, S. M., Parfitt, N., Tsitsi Nyamuzhiwa, Haidula, H., & Walker1, R. B.
2009. The Evaluation of Eudragit Microcapsules Manufactured by Solvent
Evaporation Using USP Apparatus 1. Dissolution Technologies.

Lachman, L., Lieberman, H. A., & Kanig, J.L. 1994. Teori dan Praktek Farmasi
Industri. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

M. I R. 1998. Microencapsulation By Spray Drying, Drying Technology: An


International Journal, 16:6, 1195-1236.

M. L. Jones, C. J. Martoni, M. Parent, and S. Prakash. 2012. Cholesterol-lowering


efficacy of a microencapsulated bile salt hydrolase-active Lactobacillus
reuteri NCIMB, 30243 yoghurt formulation in hypercholesterolaemic adults.
The British Journal of Nutrition, vol. 107, no. 10, pp. 15051513.

Madene A., M. Jacquot, J. Scher, and S. Desobry. 2006. Flavour encapsulation


and controlled release a review. J Food Sci and Tech. 41: 1-21.

Paramita V. 2010. Mikroenkapsulasi dalam industri pangan. IPTEK Inovasi 16:


22.

Rajesh, Narayananan, & chacko, A. 2011. Formulation and Evaluation of


Mucoadhesive Microcapsules of Aceclofenac Using HPMC and SCMC as
Mucoadhesive Polymers. Journal of Pharmacy Research,Vol.4 (issue 12),
4558-4561.

S. Prakash and T. M. S. Chang. 1995. Preparation and in vitro analysis of


microencapsulated genetically engineered E. coli DH5 cells for urea and
ammonia removal. Biotechnology and Bioengineering, vol. 46, no. 6, pp.
621626.

S. Prakash, M. Malhotra, W. Shao, C. Tomaro-Duchesneau, and S. Abbasi. 2011.


Polymeric nanohybrids and functionalized carbon nanotubes as drug
delivery carriers for cancer therapy. Advanced Drug Delivery Reviews, vol.
63, no. 14-15, pp. 13401351.

Singh, M. N., Hemant, K. S. Y., Ram, M., & Shivakumar, H. G. 2010.


Microencapsulation: A promising technique for controlled drug
delivery. Research in Pharmaceutical Sciences, 5(2), 6577.

Uddin, M. S., Hawlader, M. N. A. and Zhu, H. J. 2001. Microencapsulation of


ascorbic acid: effect of process variables on product characteristics. Journal
of Microencapsulation, 18 (2): 199-209.

Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Edisi 5. Yogyakarta: UGM


Press.
Wang, W., Liu, X., Xie, Y., Zhang, H. a., Yu, W., Xiong, Y., et al. 2006.
Microencapsulation Using Natural Polysaccharides For Drug Delivery and
Cell Implantation. Journal of Material Chemistry, 32523267.

Weiss,P., Lapkowski, M., LeGeros, R. Z., Bouler, J. M., Jean, A., & Daculsi, A.
G. 2007. FTIR Spectroscopic Study of an Organic/mineral Composite for
Bone and Dental Substitute Materials. J Mater Sci Mater Med, 8(10), 621-
629.

Yeo, Yoon., Namjin Baek, and Kinam Park. 2001. Microencapsulation Methods
for Delivery of Protein Drugs. Biotechnol. Bioprocess Eng. 2001, Vol. 6,
No. 4.

Zuidam, N. J. and E. Shimoni. 2010. Overview of Microencapsulated for Use in


Food Product or processes and Methods to Make Them.

Anda mungkin juga menyukai