Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang


Nanoteknologi adalah ilmu dan rekayasa yang melibatkan proses
pembentukan material, struktur fungsional, dan molekul dalam skala nanometer.
Perkembangan material nano akhir-akhir ini mengalami perkembangan sangat
pesat dan mencakup berbagai bidang bahkan nanoteknologi telah menjadi tren
riset dunia khususnya di negara-negara maju. Namun, nanoteknologi di Indonesia
masih dalam proses pengembangan dan masih sulit menembus berbagai industri.
Pada dasarnya, nanoteknologi terletak pada kenyataan bahwa benda/ materi
berukuran nano akan dapat menghasilkan sifat fisik dan kimia berbeda secara
signifikan dibandingkan benda yang memiliki ukuran yang lebih besar (bulk).
Penerapan nanoteknologi dalam berbagai bidang tidak dapat disangkal lagi
diantaranya di bidang elektronik, pertanian, medis, pangan, tekstil dan
biomaterial. Salah satu ilmu nanoteknologi yang sedang dikembangkan adalah
membran nanofiber (serat nano) [1].
Nanofiber tergolong jenis serat yang berskala nanometer. nanofiber dalam
dunia industri didefenisikan sebagai serat yang memiliki diameter 100-500 nm.
nanofiber memiliki keunggulan dibanding serat berukuran bulk yaitu memiliki
luas permukaan persatuan volum yang tinggi, struktur berpori, modulus elastisitas
yang tinggi, dan daya reaksi kimia yang lebih tinggi [2]. Keunggulan tersebut
berpotensi untuk digunakan sebagai membran pembalut luka (wound dressing).
Pembalut luka berfungsi menutupi luka, menghentikan peredaran darah
menyerap cairan yang keluar dari luka/nanah, mengurangi rasa sakit dan
menyediakan perlindungan untuk membantu pembentukan jaringan baru.
Persyaratan utama untuk polimer biomedis antara lain harus bersifat nontoksik,
tidak menyebabkan alergi, mudah di sterilkan, mempunyai sifat mekanik yang
baik, awet (durability) dan biocompatibility (kesesuaian alami).
PVA (Polyvynil Alcohol) dan emulsi nanokitosan merupakan merupakan
salah satu bahan terkait dalam persyaratan pembalut luka, karena memiliki sifat
kompatibel dengan jaringan tubuh (biocompatibel), memiliki sifat mudah
menyerap air (water soluble), tidak beracun (nontoksik), dan terdegradasi secara
biologi (biodegradable).

Membran nanofiber dapat difabrikasi dengan berbagai metode, akan tetapi


metode yang paling efektif adalah metode elctrospinning [3-6]. Electrospinning
atau pemintalan elektrik adalah alat yang digunakan untuk membuat nanofiber
dengan prinsip perbedaan potensial tegangan tinggi direct current (DC). Beberapa
faktor penting yang mempengaruhi pembuatan nanofiber dengan metode
electrospinning dibagi menjadi tiga kategori yaitu pertama ,Karakteristik larutan
(termasuk viskositas larutan atau kerapatan muatan larutan, tegangan permukaan,
berat molekul polimer, momen dipol dan konstanta dielektrik). Kedua, Kontrol
variabel (tegangan, jarak spinnerate ke collector (pengumpul serat), laju alir dan
diameter spineret). ketiga ,Faktor lingkungan (suhu kelembaban dan kecepatan
udara) [7].
Penelitian tentang krarkterisasi morfolgi membran nanofiber
PVA/nanokitosan telah dilakukan secara intensif oleh para peneliti baik didalam
maupun diluar negri untuk aplikasi boiomedis [9]. Akan tetapi informasi tentang
penelitian yang membuat membran nanofiber PVA/nanokitosan dengan melakuan
uji mekanik masih relatif sedikit.
Pada penelitian ini akan dilakukan pembuatan membran nanofiber
PVA/nanokitosan dengan melalui dua tahap. Tahap pertama adalah pembuatan
larutan PVA dengan emulsi nanokitosan. Tahap kedua adalah pembuatan
membran nanofiber PVA/nanokitosan dengan metode electrospinning.
Paramaeter-parameter yang mempengaruhi diameter nanofiber dengan metode
electrospinning akan dioptimasi. Selanjutnya produk PVA/nanokitosan dalam
bentuk membran nanofiber akan diuji tarik untuk mengetahui sifat mekanik
membran. Selain itu morfologi membran nanofiber dengan kandungan
nanokitosan akan dikarakterisasi menggunakan optical microscope (OM).
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, rumusan masalah pada penelitian ini yaitu :
1. Bagaimanakan membuat larutan konsetrasi polimer PVA dengan emulsi
nanokitosan?
2. Bagaimanakah pengaruh konsentrasi emulsi nanokitosan terhadap diameter
nanofiber?
3. Bagaimanakah pengaruh beads terhadap kuat tarik membran
PVA/nanokitosan?

1.3. Batasan masalah


Batasan masalah pada penelitian ini meliputi :
1. Pembuatan membran nanofiber dibuat menggunakan metode electrospinning.
2. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah PVA dan emulsi
nanokitosan.
3. Jarak antara spinerate dan kolektor, diameter spinerate serta tegangan dibuat
konstan berdasarkan hasil optimasi.
4. Pengujian tarik membran PVA/nanokitsan merujuk pada ASTM D 638.

1.4. Tujuan Penelitian


Berdasarkan permasalahan diatas tujuan penelitian ini adalah :
1. Pembuatan membran nanofiber PVA/nanokitosan menggunakan
electrospinning.
2. Melakukan uji tarik membran nanofiber PVA/nanokitosan pada masing-
masing variasi konsentrasi emulsi nanokitosan.
3. Membandingkan hasil kuat tarik masing-masing membran yang dihasilkan
dari langkah nomor 2.
4. Mengkarakterisasi struktur patahan hasil uji tarik menggunakan OM.
1.5. Manfaat penelitian
Manfaat yang bisa didapatkan dari penelitian ini antara lain adalah :
1. Didapatkannya parameter yang optimum akan memudahkan peneliti lain
dalam menghasilkan membran nanofiber PVA dengan ukuran diameter
berskala nano dan seragam. Berdasarkan hal tersebut diharapkan nanofiber
PVA ini dapat di kembangkan dalam berbagai aplikasi baik medis maupun
nonmedis.
2. Sebagai pembanding hasil penelitian untuk penelitian selanjutnya.
3. Sebagai informasi fabrikasi membran nanofiber menggunakan elektrospining
beserta karakteristiknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang pernah dilakukan oleh Theresia Mutia, (2012) membahas
tentang pembuatan webs (lembaran tipis) atau membran dari serat alginat/ PVA
(polivinilalkohol) melalui teknologi elektrospining. Percobaan dilakukan dengan
mengunakan variasi komposisi larutan pintal Alginat 3%/PVA 10% ( 7/3, 6/4, 5/5,
4/6, 3/7), jarak (10 cm, 15 cm, 20 cm, 25 cm) dan tegangan (12 KVA, 15 KVA, 18
KVA, 23 KVA). Pengujian terhadap produk akhir meliputi analisa gugus fungsi,
analisa struktur mikro, uji resistensi terhadap mikroba dan uji pre klinis. Hasil
penelitian menunjukkan proses elektrospining menggunakan larutan Alginat
3%/PVA 10% 4/6, pada tegangan 15 KVA dengan jarak 15 cm, akan menghasilkan
webs serat dengan ukuran diameter mayoritas antara 100 nm - 300 nm. Selain itu,
produk tersebut bersifat anti bakteri dan lolos uji pre klinis, karena tidak
menyebabkan iritasi serta dapat berfungsi sebagai pembalut luka dengan kualitas
yang lebih baik dibanding pembalut luka alginate konvensional, yaitu mampu
mempercepat penyembuhan luka dari 24 jam menjadi 1 jam.
Muhammad Muhaimin et al, (2014) membahas tentang Fabrikasi
nanofiber komposit nanoselulosa dan polyvinyl alcohol (PVA) telah dilakukan
dengan metode electrospinning. Pada penelitian ini, nanoselulosa berbentuk
nanowishkers yang diperoleh dari ekstraksi serat alam melalui proses hidrolisa.
Selulosa nanowishkers yang dihasilkan selanjutnya didispersikan melalui proses
ultrasonic pada suhu 30C dengan variasi waktu 10 menit dan 30 menit
(selanjutnya masing-masing disebut UC-10 dan UC-30). Fabrikasi nanofiber
komposit nanoselulosa/PVA dilakukan dengan menggunakan dua variasi larutan
yaitu larutan dengan konsentrasi nanoselulosa. Nanofiber komposit pertama
dibuat dengan konsentrasi 3% nanoselulosa UC-10/PVA (menghasilkan nanofiber
komposit A) dan nanofiber komposit kedua dibuat dengan 5% nanoselulosa
UC-30/PVA (menghasilkan nanofiber komposit B). Proses electrospinning
dilakukan pada tegangan 15 kV, jarak antara ujung jarum dan pelat kolektor
(TCD) 13 cm dan diameter jarum syringe 0,5 mm. Morfologi nanoselulosa dan
nanofiber komposit nanoselulosa/PVA diamati menggunakan scanning electron
microscopy (SEM), sedangkan kandungan selulosa. dianalisis puncak serapannya
menggunakan Fourier transform infrared (FTIR) spectroscopy. Hasilnya
menunjukkan bahwa komposit nanofiber A memiliki morfologi nanofiber yang
tidak seragam dengan diameter antara 100 nm 500 nm dan terjadi aglomerasi di
sepanjang nanofiber, sedangkan komposit nanofiber B memiliki morfologi
nanofiber yang relatif seragam dengan diameter antara 100 nm 200 nm dan
terbentuk nanofiber yang halus.
Nur Alim Bahmid et al, (2014) membandingkan sifat mekanik bioplastik
dari mikrofiber dan nanofiber selulosa asetat dan mengetahui pengaruh
penambahan pemlastis dietilen glikol (DEG) terhadap sifat mekanik bioplastik
yang dihasilkan. Penelitian ini didahului oleh pembuatan selulosa asetat dari
selulosa tandan kosong kelapa sawit dan sintesis nanofiber selulosa asetat dengan
metode electrospinning. Penelitian utama adalah pembuatan bioplastik
menggunakan metode solution casting dengan perlakuan ukuran serat selulosa
asetat (mikrofiber atau nanofiber) dan penambahan pemlastis DEG (0,10, 20 dan
30%). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sifat mekanik bioplastik nanofiber
lebih baik dibanding microfiber selulosa asetat. Penambahan pemlastis
meningkatkan elongasi, daya serap air dan densitas tetapi menurunkan kuat tarik
dan modulus elastisitas bioplastik. Berdasarkan sifat fisik dan mekanik, perlakuan
terbaik dihasilkan pada bioplastik nanofiber selulosa asetat dengan konsentrasi
pemlastis 10%. Sifat mekanik bioplastik yang dihasilkan adalah kuat tarik 18,560
MPa, elongasi 3,953%, modulus elastisitas 0,676 GPa, daya serap air 16,772%
dan densitas 1,045 g/cm3.
Herlan Herdiawan et al, (2013) membahas tentang pembuatan Co-PVDF
nanofiber komposit dengan menggunakan teknik elektrospinning. PVDF dicampur
Co(Ac)2, kemudian dilarutkan di dalam pelarut 1-metil-2-pirolidon (NMP).
Terhadap larutan tersebut dilakukan elektrospinning dengan beberapa parameter
diantaranya perbedaan konsentrasi PVDF dan Co( Ac)2 , tegangan, laju alir,
dan jarak kolektor. Struktur dan sifat fisik dan kimia nanofiber dikarakterisasi
dengan mikroskop cahaya, SEM, EDX, FTIR dan XRD. Hasil sintesis nanofiber
yang paling baik diperoleh pada konsentrasi 21%, tegangan 21 kV, kecepatan alir
0,05 mL/menit, Jarak 12 cm dimana morfologi permukaan seratnya halus,
seragam, kontinyu, serta tidak ada beads. Hasil analisa FTIR menunjukan bahwa
Co-nanofiber komposit telah terbentuk dengan adanya pergeseran puncak serapan
pada 879,54 cm
1
menjadi 881,47 cm
1
dan adanya serapan khas
Co( Ac)2 pada 1670,35 cm1 .
Harsojo et al, (2013) membahas tentang pembuatan serat PVA dari
campuran prosentase PVA 10% berat di dalam aquadest yang diumpankan pada
alat elektrospinning menghasilkan serat PVA tak lurus (non woven) dalam orde
ratusan nanometer sampai submikrometer telah dapat dihasilkan bila pemasangan
alat dilakukan pada tegangan listrik DC di atas 5 kV. Pada tegangan lebih tinggi
dan jarak yang lebih jauh dapat dihasilkan serat nano yang tidak mengandung
bendolan.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1. Nanofiber

Nanofiber didefinisikan sebagai material mempunyai diameter kurang dari


satu micron Wallace. Serat nano atau nanofiber adalah serat yang mempunyai
diameter kurang dari 100 nanometer (1 nm = 10-9 meter). Serat nano mempunyai
sifat yang sangat khas, yaitu sangat kuat, rasio permukaan terhadap volume yang
besar, dan porous. Sifat-sifat tersebut membuat serat nano menjadi bahan yang
sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan pada berbagai bidang industri, seperti
industri komposit, otomotif, pulp dan kertas, elektronik, tekstil, optik, pertanian,
kosmetik, kesehatan, kedokteran, olah raga, farmasi, dan lain-lain. Sifat dari
nanofiber itu permukaannya lebih fleksibel dan memilki kekuatan yang tinggi
(Herlan et.al 2013).
Dalam beberapa tahun terakhir, nanofiber dibuat melalui proses
elektrospinning. Prinsip kerjanya ialah larutan polimer pada tabung (syringe)
disemprotkan dengan kecepatan penyemprotan yang dapat diatur oleh pompa
secara konstan (metering pump). Polimer dilewatkan melalui lubang spinneret
(jet) dan selanjutnya ditarik menggunakan energy elektrostatik dengan tegangan
listrik arus searah (direct current / DC) yang berkekuatan sekitar 30 kVA dan
seratnya ditampung pada collector.
3.2. Electrospining

Pemintalan elektrik (elektrospinning) adalah sebuah metoda untuk


membuat serat (fiber) dengan diameter 10 m - 10 nm. Serat nano
(nanofiber) hasil pemintalan elektrik memiliki karakteristik yang menarik
dan unik, seperti luas permukaan yang lebih besar dari volume, memiliki
sifat kimiawi, konduktivitas, dan sifat optik tertentu. Teknik pemintalan
elektrik adalah proses yang relatif cepat, sederhana, dan murah dalam
menghasilkan nanofiber. Keunggulan lain dari teknik ini adalah dapat
menghasilkan nanofiber yang cukup panjang (kontinyu).
Elektrospinning adalah proses dimana larutan polimer diberi
muatan oleh medan listrik. Larutan polimer dialirkan melalui jarum yang
melekat pada syringe pada tegangan antara 10-20 kV dan diendapkan pada
bahan konduktif atau yang disebut kolektor, terletak antara 10-30 cm dari
letak jarum. Polimer dikeluarkan dari jarum dengan diameter dalam antara
0,5-1,5 mm. Larutan polimer dikeluarkan dari ujung jarum membentuk
nanofiber secara terus menerus akibat ada gaya listrik (potensi tegangan
tinggi larutan polimer) mengatasi atau melawan tegangan permukaannya.
Pada titik ini tetesan dari larutan polimer diujung jarum membentuk
kerucut, biasanya disebut sebagai kerucut Taylor.
Parameter yang paling penting yang mempengaruhi proses
elektrospinning dapat dibagi menjadi tiga kategori utama yaitu 1)
karakteristik larutan (termasuk viskositas larutan atau konsentrasi,
kerapatan muatan larutan, tegangan permukaan, berat molekul polimer,
momen dipol, dan konstanta dielektrik), 2) kontrol variabel (tegangan,
jarak dari ujung spineret ke kolektor, laju alir, kolektor dan desain ujung
jarum), 3) faktor lingkungan (suhu, kelembaban, kecepatan udara). Cara
terbaik untuk mendapatkan keseragaman, dan serat yang halus yaitu
dengan membuat nanofiber dengan menggunakan variasi parameter diatas
sampai tercapai kesempurnaan yang optimum.
Lin et.al. karakteristik konsentrasi larutan polimer berbanding
lurus dengan viskositas larutan, yang memiliki pengaruh terbesar pada
ukuran dan morfologi nanofiber. Jika konsentrasi polimer terlalu rendah
maka akan terbentuk nanofiber berbentuk seperti noda bulat atau bintik
(beads) pada permukaan nanofiber dan tetesan akibat viskositas yang
terlalu rendah. Hal ini juga mungkin diakibatkan beberapa pelarut sampai
ke kolektor dan menyebabkan serat menjadi basah sehingga membentuk
persimpangan dan bulatan. Peningkatan viskositas larutan secara
signifikan, menghasilkan serat yang lebih seragam. Namun, larutan yang
terlalu kental proses elektrospinning tidak mungkin bisa dilakukan karena
terjadi penyumbatan di ujung jarum (pelarut menguap lebih cepat).
Diameter nanofiber juga dipengaruhi oleh konsentrasi larutan polimer.
Viskositas yang terlalu tinggi dari larutan menghasilkan serat yang lebih
tebal. Larutan yang konduktivitas atau kerapatan muatannya lebih tinggi
umumnya membantu untuk menghasilkan serat yang lebih seragam.
Konduktivitas dapat ditingkatkan dengan penambahan zat volatil garam
(tidak akan tinggal dalam produk akhir), alkohol , atau surfaktan.
Medan listrik harus cukup kuat untuk mengatasi tegangan
permukaan untuk menginduksi spinning (pemintalan). Di sisi lain,
pemintalan pada tegangan rendah memungkinkan untuk menghasilkan
serat berbentuk noda bulat atau bintik (beads). Tegangan yang lebih tinggi
menyebabkan pancaran dari permukaan cairan dalam ujung (tanpa kerucut
Taylor sedang terbentuk) menghasilkan beads.
Dalton et.al. laju aliran yang lebih rendah memungkinkan
mendapatkan serat seragam dengan diameter yang lebih kecil, sementara
laju aliran yang terlalu tinggi menghasilkan serat yang memiliki beads
karena tidak cukup waktu bagi pelarut untuk menguap sebelum mencapai
kolektor. Jarak antara ujung jarum dan kolektor (jarak antara dua
elektroda) harus cukup untuk membiarkan serat mongering sebelum
mencapai tujuan akhir yaitu mencapai kolektor. Jarak juga mempengaruhi
bentuk dan diameter serat yang diperoleh.

Gambar 2.4 Skema Alat Elektrospinning.

3.3. Polyvinyl Alkohol (PVA)

Berbeda dari senyawa polimer pada umumnya yang diproduksi


melalui reaksi polimerisasi, poli(vinil alkohol) diproduksi secara komersial
melalui hidrolisis poli(vinil asetat) dengan alkohol karenav monomer dari
vinil alkohol tidak dapat dipolimerisasi secara alami menjadi PVA (Kirk-
Othmer, 1982). Produk PVA dijumpai sebagai kopolimer dari vinil asetat
dan vinil alkohol. Rumus struktur polivinil alkohol dengan kopolimer vinil
asetat dijabarkan pada gambar 1.2.

Gambar 2.5. Rumus Struktur Poli(vinil Alkohol)

Sifat fisis dari PVA ditentukan oleh kondisi polimerisasi dari poli(vinil
asetat), kondisi pada saat hidrolisis, proses pengeringan, dan proses
penggilingan. Polivinil alkohol dalam kondisi ruangan berbentuk bubuk
putih dengan titik lebur berkisar antara 2200C-2670C. Polivinil alkohol
larut pada pelarut yang bersifat polar seperti air, dimethyl sulfoxide,
acetamide serta dimethylformamide. Kelarutan poli(vinil alkohol) adalah
fungsi dari derajat polimerisasi serta derajat hidrolisis, yang diilustrasikan
pada gambar 1.3.

Gambar 2.6. Pengaruh Derajat Polimerisasi terhadap Kelarutan Polivinil


Alkohol
Kurva A hingga D mewakili polimer dengan derajat hidrolisis paling
rendah (A) hingga paling tinggi (D). Dari gambar diatas dapat disimpulkan
bahwa, semakin tinggi derajat hidrolisis PVA, maka semakin tinggi pula
suhu yang dibutuhkan untuk melarutkannya. Polivinil alkohol dapat
diproduksi dari hidrolisis berbagai macam polivinil ester misalnya
polivinil asetat, polivinil format, polivinil benzoat, dan dari polivinil
benzoat serta hidrolisis dari polivinil eter. Namun, secara umum, polivinil
alkohol yang beredar di pasaran
diproduksi dengan cara hidrolisis polivinil asetat. Proses produksi polivinil
alkohol dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu polimerisasi vinil asetat
monomer dengan inisiator azobisisobutironitril kemudian bagian kedua
adalah hidrolisis dari polivinil asetat menjadi polivinil alkohol.

Polivinil alkohol (PVA) dengan rumus kimia [(C2H4OH)x] adalah


polimer sintetik yang diproduksi oleh hidrolisis dari polvinil asetat. PVA
bersifat nontoksik dan larut dalam air, sehingga banyak digunakan di
berbagai bidang, antara lain bidang medis dan farmasi. Produk ini sangat
sesuai diguanakan secara komersial dalam sekala besar sebagai ekspilin
dalam berbagai produk farmasi seperti tablet salut, tetes mata,
biofermentasi dan topikal. PVA bersifat kompatibel secara hayati dan
sesuai untuk simulasi jaringan alami. Selain itu, PVA mempunyai
permeabilitas oksigen yag baik, tidak bersifat imunogenik, dan memiliki
sifat yang sangat baik dalam pembentukan film, pengemulsi dan dapat
dilembabkan (Mutia,2012).

Anda mungkin juga menyukai