Anda di halaman 1dari 16

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Plastik

Plastik adalah bahan yang mempunyai derajat kekristalan lebih rendah dari
pada serat. Plastik dapat dicetak (dicetak ulang) sesuai dengan bentuk yang
diinginkan dan dibutuhkan dengan menggunakan proses injection moulding dan
ekstrusi. Komponen utama plastik sebelum membentuk polimer adalah monomer,
yakni rantai yang paling pendek. Polimer merupakan gabungan dari beberapa
monomer yang akan membentuk rantai yang sangat panjang. Bila rantai tersebut
dikelompokkan bersama-sama dalam suatu pola acak, menyerupai tumpukan
jerami maka disebut amorf, jika teratur hampir sejajar disebut kristalin dengan
sifat yang lebih keras dan tegar.

Plastik merupakan produk polimer sintetis yang terbuat dari bahan-bahan


petrokimia yang merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbahurui.
Struktur kimiawinya yang mempunyai bobot molekul tinggi dan pada umumnya
memiliki rantai yang panjang dimana atom-atom penyusunnya saling mengikat
satu sama lain. Penggunaan plastik sintetik sebagai bahan pengemas memang
memiliki berbagai keunggulan seperti mempunyai sifat mekanik dan barrier yang
baik, harganya yang murah serta kemudahannya dalam proses pembuatan dan
aplikasinya. Plastik sintetik mempunyai kestabilan fisiko-kimia yang terlalu kuat
sehingga plastik sangat sukar terdegradasi secara alami dan telah menimbulkan
masalah dalam penanganan limbahnya. Permasalahan tersebut tidak dapat
terselesaikan melalui pelarangan atau pengurangan penggunaan plastik. Diantara
bahan kemasan tersebut, plastik merupakan bahan kemasan yang paling populer
dan sangat luas penggunaannya.

6
Tabel 2. Jenis-jenis plastik berdasarkan pengklasifikasian bahan baku dan
kemampuan degradasi
Jenis bahan baku Biodegradable Non-biodegradable
Renewable Bahan berbasis pati, Polietilena (PE) dan Polivinil
bahan berbasis selulosa, klorida (PVC) dari bioetanol,
poli asam laktat (PLA), poliamida
poli hidroksi alkanoat
(PHA)
Non-renewable Polikaprolakton (PCL), Polietilena (PE), polipropilen
poli butilena suksinat (PP), polivinil klorida (PVC)
(PBS), polivinil alkohol
(PVA)

B. Plastik Biodegradable

Gambar 1. Plastik Biodegradable

Plastik biodegradable adalah suatu material polimer yang mengalami


penurunan bobot molekul akibat proses penguraian melalui metabolisme mikroba
secara alami (Seal dan Griffin, 1994). Plastik biodegradabel merupakan bahan
plastik yang ramah lingkungan karena sifatnya yang dapat kembali ke alam.
Umumnya, kemasan biodegradabel diartikan sebagai film kemasan yang dapat
didaur ulang dan dapat dihancurkan secara alami. Dalam kondisi dan waktu
tertentu plastik biodegradable akan mengalami perubahan dalam struktur
kimianya yang dipengaruhi mikroorganisme seperti bakteri, alga, dan jamur.

Proses pembuatan plastik biodegradable dikenal dengan istilah


polimerisasi. Polimerisasi adalah proses pembentukkan polimer dengan
menggabungkan beberapa molekul kecil dan sederhana yang disebut monomer
menjadi sebuah molekul rasaksa (Cowd, 1991). Plastik biodegradable dapat

7
dibuat dari polimer alam atau dari campuran polimer alam dan polimer sintesis.
Prinsip pembuatan plastik biodegradable dari polimer sintetis adalah dengan
menyisipkan gugus fungsional khusus yang alami pada rantai polimer sintesis
(Cole, 1990). Polimer alam mempunyai sifat fisik yang kurang baik, sedangkan
polimer sintesis mempunyai sifat fisik yang unggul seperti lebih tahan air dan
kekuatan tariknya cukup tinggi. Modifikasi campuran fisik (blend) dengan
polimer lain diharapkan dapat menghasilkan material yang sifat fisiknya baik dan
bersifat ramah lingkungan (Wisojodharmo, 1998).

Berdasarkan sumber atau cara memperolehnya, Tharanathan (2003)


mengklasifikasikan biopolimer sebagai bahan baku bio-kemasan menjadi empat
kelompok dan dapat dilihat pada berikut ini :

Kelompok 1 : biopolimer yang berasal dari sumber hewan yaitu;

kolagen gelatin.

Kelompok 2 : biopolimer yang berasal dari limbah industri

pengolahan ikan yaitu kitosan/ kitin.

Kelompok 3 : Berasal dari pertanian yaitu diklasifikasikan

menjadi 2 bagian yaitu lemak dan hidrokoloid. Yang berasal dari

lemak terdiri dari : bees wax, camauba wax, asam lemak;

sedangkan dari hidrokoloid dibagi menjadi 2 bagaian yaitu: protein

dan polisakarida. hirokoloid yang berasal dari protein adalah: zein

(protein jagung), kedelai, whey susu, glutera gandum sedangkan

hidrokoloid yang berasal dari polisakarida adalah : Selulosa, serat,

pati, pektin, garns. Selain dari polimer alami, ada beberapa zat

sintetis yang merupakan campuran antara zat petrokimia dengan

biopolimer dan atau biopolimer yang telah mengalami perlakuan

yang kompleks tetapi tetap memiliki sifat biodegradable,

contohnya adalah poly alkilene esters, poly lactic acid, poly amid

8
esters, poly vinil esters, poly vinil alcohol, dan poly anhidrides.

Polimer mikrobiologi (polyester) : biopolimer ini dihasilkan secara

bioteknologi atau fermentasi dengan mikroba genus Alcaligenes .

Biopolimer jenis ini diantaranya polihidroksi butirat (PHB),

polihidroksi valerat (PHV), asam polilaktat (polylactic acid) dan

asam poliglikolat (polyglycolic acid). Bahan ini dapat terdegradasi

secara penuh oleh bakteri, jamur dan alga. Namun oleh karena

proses produksi bahan dasarnya yang rumit mengakibatkan harga

kemasan biodegradable ini relatif mahal.

C. Pati

Pati adalah polisakarida yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan polimer rantai linear dari unit-unit glukosa yang ditautkan dengan
ikatan -1,4-glikosidik. Amilopektin merupakan amilosa dengan percabangan -
1,6-glikosidik (Beninca et al. 2008). Pati merupakan polimer alam yang dapat
dijadikan sebagai bahan baku alternatif untuk menggantikan polimer sintetik dari
minyak bumi (Oakley, 2010). Starch atau pati merupakan polisakarida hasil
sintesis dari tanaman hijau melalui proses fotosintesis. Pati memiliki bentuk
kristal bergranula yang tidak larut dalam air pada temperatur ruangan yang
memiliki ukuran dan bentuk tergantung pada jenis tanamannya. Pati adalah
polisakarida alami dengan bobot molekul tinggi yang terdiri dari unit-unit
glukosa. Umumnya pati mengandung dua tipe polimer glukosa, yaitu amilosa dan
amilopektin. Perbandingan amilosa dan amilopektin secara umum adalah 20% dan
80% dari jumlah pati total. Kedua jenis pati ini mudah dibedakan berdasarkan
reaksinya terhadap iodium, yaitu amilosa berwarna biru dan amilopektin berwarna
kemerahan. Polisakarida seperti pati dapat digunakan sebagai bahan baku
pembuatan edible film. Pati sering digunakan dalam industri pangan sebagai
biodegradable film untuk menggantikan polimer plastik karena ekonomis, dapat
diperbaharui, dan memberikan karakteristik fisik yang baik (Bourtoom, 2007).
Amilosa merupakan bagian polimer linier dengan ikatan -(1> 4) unit glukosa.

9
Derajat polimerisasi amilosa berkisar antara 5006.000 unit glukosa, bergantung
pada sumbernya. Amilopektin merupakan polimer -(1> 4) unit glukosa dengan
rantai samping -(1> 6) unit glukosa. Dalam suatu molekul pati, ikatan - (1>
6) unit glukosa ini jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 45%. Namun,
jumlah molekul dengan rantai yang bercabang, yaitu amilopektin, sangat banyak
dengan derajat polimerisasi 105 3x106 unit glukosa (Jacobs dan Delcour 1998).
Amilosa adalah polimer rantai lurus mengandung lebih dari 6000 unit glukosa
yang dihubungkan dengan ikatan -1,4. Amilosa bersifat tidak larut dalam air
dingin tetapi menyerap sejumlah besar air dan mengembang. Amilopektin
memiliki struktur bercabang dimana molekul-molekul glukosa dihubungkan
dengan ikatan -1,6 glikosidik. Amilopektin memiliki daya ikat yang baik, yang
bisa memperlambat disolusi zat aktif .

Gambar 2. Stuktur Kimia Amilosa

(www.polisakarida.html)

Gambar 3. Struktur Kimia Amilopektin

(www.polisakarida.html)

10
Pada Gambar 2 merupakan struktur kimia amilosa. Amilosa adalah polimer linier
dari -D-glukosa yang dihubungkan dengan ikatan 1,4-. Dalam satu molekul
amilosa terdapat 250 satuan glukosa atau lebih. Amilosa membentuk senyawa
kompleks berwarna biru dengan iodium. Warna ini merupakan uji untuk
mengidentifikasi adanya pati. Amilosa merupakan bagian dari rantai lurus yang
dapat memutar dan membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa
yang bersulur tunggal terdapat hidrogen yang berikatan dengan atom O-2 dan O-
6. Rantai lurus amilosa yang membentuk sulur ganda kristal tersebut tahan
terhadap amilase. Ikatan hydrogen inter dan intra sulur mengakibatkan
terbentuknya struktur hidrofobik dengan kelarutan yang rendah. Oleh karena itu,
sulur tunggal amilosa mirip dengan siklodekstrin yang bersifat hidrofobik pada
permukaan dalamnya (Chaplin 2002). Pada struktur granulapati, amilosa dan
amilopektin tersusun dalam suatu cincincincin. Jumlah cincin dalamsuatu granula
pati kurang lebih 16 buah, yang terdiri atas cincin lapisan amorf dancincin lapisan
semikristal (Hustiany 2006).

Pada Gambar 3 struktur kimia amilopektin. Molekul amilopektin lebih besar dari
amilosa. Strukturnya bercabang. Rantai utama mengandung -D-glukosa yang
dihubungkan oleh ikatan 1,4-. Tiap molekul glukosa pada titik percabangan
dihubungkan oleh ikatan 1,6-. Amilosa merupakan fraksi gerak, yang artinya
dalam granula pati letaknya tidak pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis
pati. Umumnya amilosa terletak di antara molekul-molekul amilopektin dan
secara acak berada selang-seling di antara daerah amorf dan kristal (Oates 1997).
Pada Ketika dipanaskan dalam air, amilopektin akan membentuk lapisan yang
transparan, yaitu larutan dengan viskositas tinggi dan berbentuk lapisan-lapisan
seperti untaian tali. Pada amilopektin cenderung tidakterjadi retrogradasi dan tidak
membentuk gel, kecuali pada konsentrasi tinggi (Belitz dan Grosch 1999).

D. Kitosan

Kitosan dengan rumus molekul (C6H11NO4)n yang dapat diperoleh dari


deasetilasi kitin. Dengan struktur dapat dilihat pada Gambar 4 :

11
Gambar 4. Struktur Polimer Kitosan

(Sumber : http://id.wikipedia.org)

Pada Gambar 4 terlihat struktur poly (-(1,4)-2-amino-2-deoksi-D-


glukopiranosa) merupakan turunan dari kitin. Pembuatan kitosan dari kitin
diperoleh dengan jalan melakukan proses pemasakan dengan alkali kuat (NaOH).

Proses diasetilasi kitin dapat dilakukan dengan cara kimiawi atau


enzimatik. Ternyata penghilangan gugus asetil kitin meningkatkan kelarutannya,
sehingga kitosan lebih banyak digunakan dari pada kitin, antara lain di industri
kertas, pangan, farmasi, fotografi, kosmetika. Selain itu kitosan juga bersifat non-
toksik, biokompatibel,dan biodegradabel sehingga aman digunakan. Kitosan
sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan anti mikroba, karena
mengandung enzim lysosim dan gugus aminopolysacharida yang dapat
menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat kitosan terhadap
bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan kitosan. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan kitosan memiliki polikation bermuatan
positif yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Salah satu
mekanisme yang mungkin terjadi dalam pengawetan makanan yaitu molekul
kitosan memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan senyawa pada permukaan
sel bakteri kemudian terabsorbi membentuk semacam layer (lapisan) yang
menghambat saluran transportasi sel sehingga sel mengalami kekurangan
substansi untuk berkembang dan mengakibatkan matinya sel. Selain telah
memenuhi standard secara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi juga aman
karena dalam prosesnya kitosan cukup dilarutkan dengan asam asetat encer (1%)
hingga membentuk larutan kitosan homogen yang relatif lebih aman.

12
Karakteristik kitosan

Kitosan merupakan padatan putih yang tidak larut dalam air, pelarut organik,
alkali dan asam mineral dalam berbagai kondisi. Kitosan larut dalam asam
formiat, asam asetat dan asam organik lainnya dalam keadaan dipanaskan sambil
diaduk. Pelarut yang sering digunakan adalah CH3COOH 1%. Kelarutan kitosan
dalam pelarut asam anorganik adalah terbatas. Kitosan dapat larut dalam HCl 1%
tetapi tidak larut dalam asam sulfat dan asam folmiat (Nadarajah, 2005).

Sifat-Sifat Kitosan

Secara umum, kitosan mengandung dua tipe unit molekul yaitu gugus
glucosamine (struktur I) dan N-acetyleglukosamine satu sama lain melalui rantai
(-(1,4) glukosidic). Semakin tinggi kandungan amina (struktur I) maka semakin
tinggi derajat diasetilasinya. Perbedaan kandungan amina adalah sebagai patokan
untuk menentukan apakah polimer ini dalam bentuk kitin atau kitosan. Kitosan
mengandung gugus amina lebih besar 60 % dari pada kitin.

E. Gliserol

Gliserol adalah senyawa yang netral, dengan rasa manis tidak berwarna,
cairan kental dengan titik lebur 20C dan memiliki titik didih yang tinggi yaitu
290C gliserol dapat larut sempurna dalam air dan alkohol, tetapi tidak dalam
minyak. Sebaliknya banyak zat dapat lebih mudah larut dalam gliserol dibanding
dalam air maupun alkohol. Oleh karena itu gliserol merupakan pelarut yang baik
(Anonymous,N11, 2006). Senyawa ini bermanfaat sebagai anti beku (anti freeze)
dan juga merupakan senyawa yang higroskopis sehingga banyak digunakan untuk
mencegah kekeringan pada tembakau, pembuatan parfum, tinta, kosmetik,
makanan dan minuman lainnya (Austin, 1985). (1,2,3-propanatriol) atau disebut
juga gliserin merupakan senyawa alkohol trihidrat dengan rumus bangun
CH2OHCHOHCH2OH. Gliserol berwujud cairan jernih, higroskopis, kental, dan
terasa manis. Sifat fisik gliserol disajikan pada Tabel 2.

13
Tabel 3. Sifat Fisik Gliserol

No Sifat Nilai
1 Bobot molekul (g/mol) 92,09382
2 Viskositas pada temperatur 20C 1499
(cP)
3 Panas spesifik pada temperatur 0,5795
26C (kal/g)
4 Densitas (g/cm) 1,261
5 Titik leleh (C) 180
6 Titik didih (C) 290

Gliserol memiliki banyak kegunaaan, diantaranya sebagai emulsifier, agen


pelembut, plasticizer, stabilizer es krim, pelembab kulit, pasta gigi, obat batuk,
sebagai media pencegah reaksi pembekuan darah merah, sebagai tinta printing,
sebagai bahan aditif pada industri pelapis, cat, sebagai bahan antibeku, sumber
nutrisi dalam proses fermentasi, dan bahan baku untuk nitrogliserin. Rumus
struktur gliserol disajikan pada Gambar 5.

Gambar 5. Struktur Gliserol


(Sumber : http://id.wikipedia.org)

Plastisizer menurunkan kekuatan inter dan intra molekular dan


meningkatkan mobilitas dan fleksibilatas film (Sanchez et al., 1998). Semakin
banyak penggunaan plastisizer maka akan meningkatkan kelarutan. Begitu pula
dengan penggunaan plastisizer yang bersifat hidrofilik juga akan meningkatkan
kelarutannya dalam air. Gliserol memberikan kelarutan yang lebih tinggi
dibandingkan sorbitol pada edible film berbasis pati (Bourtoom, 2007). Jenis dan
konsentrasi dari plasticizer akan berpengaruh terhadap kelarutan dari film berbasis
pati. Semakin banyak penggunaan plasticizer, maka akan meningkatkan kelarutan.

14
Begitu pula dengan penggunaan plasticizer yang bersifat hidrofilik juga akan
meningkatkan kelarutannya dalam air. Suhu pemanasan yang digunakan
ditentukan berdasarkan bahan dasar yang digunakan dan akan berpengaruh
terhadap elastisitas, persentase pemanjangan, permeabilitas terhadap uap air, dan
kelarutan edible film atau coating. Edible film dari pati singkong menggunakan
suhu pemanasan 95oC selama 5 menit akan menghasilkan kuat tarik (tensile
strength) yang maksimum. Peningkatan suhu pemanasan juga akan menurunkan
perentase pemanjangan dari edible film. Permeabilitas terhadap uap air dan
kelarutan akan cenderung menurun seiring dengan naiknya suhu pemanasan
(Bourtoom, 2007).

Plasticizer larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah


gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan temperatur transisi gelas (Tg),
temperatur kristalisasi atau temperatur pelelehan dari polimer. Pada daerah di atas
18 transisi gelas (Tg), bahan polimer menunjukkan sifat fisik dalam keadaan
lunak (soft) seperti karet, sebaliknya jika berada di bawah transisi gelas (Tg),
polimer tersebut dalam keadaan sangat stabil seperti gelas (Paramawati, 2001).

Mekanisme Plastisasi

Interaksi antara polimer dengan pemlastis dipengaruhi oleh sifat affinitas


kedua komponen, jika affinitas polimer pemlastis tidak terlalu kuat maka akan
terjadi plastisasi antara struktur (molekul pemlastis hanya terdistribusi diantara
struktur). Plastisasi ini hanya mempengaruhi gerakan dan mobilitas struktur. Jika
terjadi interaksi polimer-polimer cukup kuat, maka molekul pemlastis akan
terdifusi kedalam rantai polimer (rantai polimer amorf membentuk satuan struktur
globular yang disebut bundle) menghasilkan plastisasi infrastruktur intra bundle.
Dalam hal ini molekul pemlastis akan berada diantara rantai polimer dan
mempengaruhi mobilitas rantai yang dapat meningkatkan plastisasi sampai batas
kompatibilitas rantai yang dapat terdispersi (terlarut) dalam polimer. Jika jumlah
pemlastis melebihi batas ini, maka akan terjadi sistem yang heterogen dan
plastisasi berlebihan, sehingga plastisasi tidak efisien lagi (Wirjosentono, 1995).

F. Glioksal

15
Glioksal (COH)2 masuk dalam golongan alifatik dialdehid yang paling
sederhana. Monomer anhidrat glioksal sangat tidak stabil, glioksal secara
komersial dapat dijumpai dalam bentuk 40% larutan. Glioksal dalam bentuk
larutan telah menjadi monomer anhidrat yang sempurna seperti dimer, trimer, dan
oligomer.

Larutan glioksal memiliki daya pengupan yang rendah dan sedikit berbau
seperti halnya formaldehid, glioksal juga sebagai Crosslink Agent yang perlu
ditambahkan dalam formula pelapisan. Glioksal dalam larutan sangat reaktif,
bereaksi cepat dengan ion hidroksida (OH-) membentuk ion glikolat, reaksi ini
dapat diminimalkan dengan menurunkan ph larutan (Boss and Floyd, 1995), hal
ini yang menyebabkan mengapa secara komersial glioksal dering dijumpai pada
pH 1 hingga 3.

Gambar 6. Reaksi Glioksal dengan hidroksi

16
Glioksal dapat bereaski dengan pati membentuk suatu ikatan silang yang memiliki
daya ikat yang kuat, sehingga membuat pati menjadi lebih tahan terhadap air.

Gambar 7. Reaksi Pembentukan Ikatan Silang antara Glioksal dengan Pati

G. Scanning Electron Microscopy (SEM)

Scanning Electon Microscopy (SEM) adalah mikroskop yang menggunakan


pancaran sinar yang timbul akibat eksitasi elektron untuk melihat partikel
berukuran mikron. SEM dapat menunjukkan gambar spesimen lebih jelas dan
memiliki tingkat resolusi yang lebih tinggi. SEM mampu memfoto suatu
permukaan dengan perbesaran dari 20 sampai 100.000 kali. Prinsip kerja SEM
adalah deteksi elektron yang dihamburkan oleh suatu sampel padatan ketika
ditembak oleh berkas elektron berenergi tinggi secara terus-menerus. Analisis

17
tersebut dipercepat di dalam electromagnetic coil yang dihubungkan dengan
Cathode Ray Tube (CRT) sehingga dihasilkan suatu informasi mengenai keadaan
permukaan suatu sampel senyawa. Sebelum dianalisis dengan SEM, dilakukan
preparasi sampel yang meliputi penghilangan pelarut, pemipihan sampel, dan
coating.

Berkas elektron diarahkan pada suatu permukaan spesimen yang telah dilapisi
oleh suatu film konduktor. Pelapisan ini bertujuan agar polimer yang digunakan
dapat menghasilkan arus listrik sehingga dapat berinteraksi dengan berkas
elektron. Berkas elektron yang berinteraksi dengan spesimen dikumpulkan untuk
menghasilkan sinyal. Sinyal ini digunakan untuk mengatur intensitas elektron
pada suatu tabung televisi yang diarahkan serentak dengan sinar dari mikroskop.
Interaksi berkas elektron dengan spesimen akan menghasilkan pola difraksi 19
elektron yang dapat memberikan informasi mengenai kristalografi, jenis unsur dan
distribusinya, dan morfologi dari permukaan bahan (Wu, 1983).

H. Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FT-IR)

Spektroskopi Fourier Transform Infrared (FT-IR) merupakan suatu teknik


pengukuran spektrum berdasarkan pada respon bahan terhadap radiasi
elektromagnetik. Fungsi dari FT-IR adalah untuk analisis kualitatif dan kuantitatif
suatu senyawa organik, dan dapat pula digunakan untuk penentuan struktur
molekul suatu senyawa anorganik (Steven, 2001). Pencirian dengan menggunakan
FT-IR memiliki beberapa kelebihan antara lain: dapat mendeteksi sinyal yang
lemah, dapat menganalisis sampel pada konsentrasi yang sangat rendah, serta
dapat mempelajari daerah antara 950-1500 cm-1 untuk larutan senyawa (Rabek,
1980).

Gambar 8. Fourier Transform Infrared (FT-IR)

18
(www.perkinelmer.com)

Prinsip kerja instrumen ini adalah mengukur energi inframerah yang diserap
oleh ikatan kimia pada frekuensi atau panjang gelombang tertentu. Energi radiasi
tersebut bervariasi dalam jarak tertentu dan responnya diplot dalam suatu fungsi
radiasi energi. Struktur dasar suatu senyawa dapat ditentukan berdasarkan letak
absorpsi inframerahnya. FT-IR dapat membedakan gugus OH yang berasal dari
alkohol dan karboksilat (Clark, 2000). Teknik ini memudahkan penelitian reaksi-
reaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang. FT-IR juga bermanfaat dalam
meneliti polipaduan polimer. Salah satu penggunaan FT-IR adalah penentuan
gugus molekul pada asam laktat. Gugus fungsi suatu senyawa diidentifikasi
melalui puncak serapan yang spesifik pada bilangan gelombang tertentu. Pada
umumnya sampel yang dianalisis dapat berupa padatan, cairan, atau gas. FT-IR
menggunakan pancaran sinar pada daerah inframerah (Hsu, 1994).

I. Difference Scanning Calorimetry (DSC)

Pengukuran sifat termal dilakukan dengan menggunakan Differential Scanning


Calorimetry (DSC). Sifat termal plastik komposit yang dianalisis meliputi
temperatur transisi gelas (Tg), temperatur pelelehan (Tm), dan perubahan entalpi
(H). Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan temperatur dimana plastik
berubah keadaan dan perilakunya dari kaku, getas, padat seperti gelas menjadi
fleksibel, lunak dan elastis. Titik leleh mengindikasikan temperatur perubahan
wujud padat menjadi cair (Widyasari, 2010). Berbeda dengan logam, plastik
umumnya tidak memiliki titik leleh yang spesifik. Plastik mengalami perubahan
sifat atau perilaku mekanik yang jelas pada rentang temperatur tertentu yang
sangat sempit. temperatur dimana terjadi transisi tersebut dikenal sebagai
temperatur transisi gelas. Tingginya temperatur transisi gelas tergantung pada
struktur rantai molekul polimer yang umumnya sekitar 1/3 hingga 2/3 dari titik
lelehnya (Saptono, 2008).

DSC mengukur sejumlah energi (panas) yang diserap atau dilepaskan oleh
suatu sampel ketika dipanaskan, didinginkan atau didiamkan pada temperatur
konstan. DSC juga mengukur temperatur sampel pada kondisi tersebut. Prinsip
kerja menggunakan metode ini adalah pengukuran aliran panas berdasarkan

19
kompensasi tenaga (Rabek, 1983). Di dalam alat DSC terdapat dua heater, dimana
di atasnya diletakkan wadah sampel yang diisi dengan sampel dalam wadah
kosong. Wadah tersebut biasanya terbuat dari alumunium. Komputer akan
memerintahkan heater untuk meningkatkan temperatur dengan kecepatan tertentu,
biasanya 10 0C per mernit. komputer juga memastikan bahwa peningktan
temperatur pada kedua heater berjalan bersamaan (Widiarto, 2007).

Analisis DSC digunakan untuk mempelajari fasa transisi, seperti melting,


temperatur transisi gelas (Tg), atau dekomposisi eksotermik, serta untuk
menganalisis kestabilan terhadap oksidasi dan kapasitas panas suatu bahan.
Temperatur transisi gelas (Tg) merupakan salah satu sifat fisik penting dari
polimer yang menyebabkan polimer tersebut memiliki daya tahan terhadap panas
atau temperatur yang berbeda-beda. Pada saat temperatur luar mendekati
temperatur transisi gelasnya maka suatu polimer mengalami perubahan dari
keadaan yang keras kaku menjadi lunak seperti karet (Hidayat dkk, 2003). Bentuk
alat DSC disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Alat Difference Scanning Calorimetry (DSC) Exstar X-DSC7000


(http://www.siiint.com)

J. DTA/TGA (Differential Thermal Analysis / Thermogravimetric Analysis)

Differential Thermal Analysis (DTA) adalah suatu teknik analisis termal


dimana perubahan material diukur sebagai fungsi temperatur. DTA digunakan
untuk mempelajari sifat termal dan perubahan fasa akibat perubahan entalpi dari
suatu material. Selain itu, kurva DTA dapat digunakan sebagai finger print
material sehingga dapat digunakan untuk analisis kualitatif. Metode ini

20
mempunyai kelebihan antara lain: dapat digunakan pada temperatur tinggi, bentuk
dan volume sampel yang fleksibel, serta dapat menentukan temperatur reaksi dan
temperatur transisi sampel (Steven, 2001).

Prinsip analisis DTA adalah pengukuran perbedaan temperatur yang terjadi


antara material sampel dan pembanding sebagai hasil dari reaksi dekomposisi.
Sampel adalah material yang akan dianalisis, sedangkan material referensi adalah
material dengan substansi yang diketahui dan tidak aktif secara termal. Dengan
menggunakan DTA, material akan dipanaskan pada temperatur tinggi dan
mengalami reaksi dekomposisi. Dekomposisi material ini diamati dalam bentuk
kurva DTA sebagai fungsi temperatur yang diplot terhadap waktu. Reaksi
dekomposisi dipengaruhi oleh efek spesi lain, rasio ukuran dan volume, serta
komposisi materi. Umumnya DTA digunakan pada kisaran temperatur 190-1600
C. Sampel yang digunakan sedikit, hanya beberapa miligram. Hal ini dilakukan
untuk mengurangi masalah gradien termal akibat sampel terlalu banyak yang
menyebabkan berkurangnya sensitivitas dan akurasi instrumen.

Thermogravimetric Analisys (TGA) adalah suatu teknik analisis untuk


menentukan stabilitas termal suatu material dan fraksi komponen volatile dengan
menghitung perubahan berat yang dihubungkan dengan perubahan temperatur.
Seperti analisis ketepatan yang tinggi pada tiga pengukuran antara lain: berat,
temperatur, dan perubahan temperatur. Suatu kurva hilangnya berat dapat
digunakan untuk mengetahui titik hilangnya berat (Steven, 2001). pada Gambar
10.

Gambar 10. Alat TGA/DTA seri 7000 dengan Autosampler

(http://www.siiint.com).

21

Anda mungkin juga menyukai