Anda di halaman 1dari 27

Makalah Kimia Polimer

Review Jurnal

PREPARATION OF ARRAWROOT STARCH NANOPARTICLES BY


BUTANOL-KOMPLEKS PRECIPITATION, AND ITS APPLICATION AS
BIOACTIVE ENCAPSULATION MATRIX

oleh:
Dewanti Oktaviana K (111810301024)
Linda Kartikawati (111810301026)

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS JEMBER
2015
Bab 1. Pendahuluan

Pati merupakan bahan yang melimpah, tidak mengandung racun,


biodegradasi, dapan dimakan dan merupakan bahan yang relatif tidak mahal dan
banyak diaplikasikan dalam bidang industi seperti makanan, tekstil dan farmasi.
Bahan ini banyak digunakan sebagai emulsifier pada makanan, pengganti lemak
dan digunakan pada tablet (Mahkam, 2010). Pati garut merupakan salah satu pati
lokal yang dihasilkan dari umbi akar garut (Maranta arundinaceae) memiliki
keunikan sifat yaitu tingginya kandungan amilosa yaitu sekitar 29,03-31,34%
(Richana et al, 2000). Pati garut merupakan salah satu pati asli lokal yang
dihasilkan dari umbi garut (Maranta arundinacea) memiliki karakteristik unik
dalam hal kandungan amilosa tinggi (29,03-31,34%) (Richana et al., 2000).
Menurut Sri Chuwong dkk. (2005), derajat polimerisasi (DP) dari pati garut alami
memiliki amilopektin rantai pendek sampai menengah, dimana memiliki DP 13-
30 mencapai 68,3% dan pola kristal jenis A. Hizukuri dkk. (1983) juga
melaporkan bahwa amilopektin pati jenis-A diduga mengandung jumlah yang
lebih tinggi daripada rantai bercabang pendek. Namun, seperti pati lainnya, pati
garut asli memiliki beberapa keterbatasan termasuk kelarutan terbatas, viskositas
tinggi, dan ketidakcocokan dengan beberapa polimer hidrofobik (Simi dan
Abraham, 2007).
Untuk meningkatkan kemampuan pati, pati perlu dimodifikasi untuk
meningkatkan karakteristik hidrofobik, kristalinitas dan stabilitas degradasi
enzimatik dan termal. Salah satu modifikasi pati yaitu dengan membuatnya
menjadi nanopartikel. Nanopartikel pati memiliki kelebihan yaitu memiliki luas
permukaan yang lebih tinggi, viskositas rendah walaupun konsentrasinya lebih
tinggi. Penelitian yang dilakukan ini menggunakan butanol untuk mengendapkan
amilosa dengan cara membentuk kompleks antara butanol dan amilosa. Butanol
hanya dapat membentuk kompleks dengan amilosa dan endapan, tapi tidak dengan
amilopektin. Produksi partikel berukuran nano dengan butanol kompleks
membutuhkan pati menjadi lebih pendek dan lebih kristal amilosa, seperti
hidrolisis asam (lintnerization) atau hidrolisis asam-alkohol. Kim et al. (2009);
Kim dan Lim (2010) digunakan amylomaize dekstrin yang diberi asam-alkohol
untuk menghasilkan nanocrystals pati. Hasil dari nanopartikel adalah sangat
rendah.
Pembentukan kompleks adalah tipe V dengan helix tunggal, yang
memiliki potensi sangat besar menjadi nano-pembawa untuk komponen aktif pada
makanan, obat-obatan dan kosmetik (Kim et al., 2009). Sifat-sifat amilosa yang
dapat membentuk kompleks inklusi dengan beberapa molekul yang dibuat
amilosa cocok sebagai pembawa matriks. Di antara molekul yang bisa membuat
kompleks inklusi dengan amilosa adalah iodine, alkohol, asam lemak, aroma,
dimetil sulfoksida (DMSO) (Godet, 1995), serta dapat digunakan untuk senyawa
obat seperti asam salisilat, asam p-aminobenzoic dan ibuprofen.
Bahan aktif herbal seperti andrografolid (AG), yang dihasilkan dari
tumbuh-tumbuhan dari Andrographis paniculata (nama lokal Sambiloto), adalah
salah satu bahan dalam pengobatan tradisional dengan berbagai penggunaan untuk
beberapa obat seperti anti-diabetes, anti-malaria, anti-kanker, anti microba, anti-
oksidan, hepatoprotetives, anti-hipertensi dan imunomodulator. AG rasanya
sangat pahit dan hampir tidak larut dalam air, stabil di dasar dan kondisi asam
dalam sistem pencernaan, serta memiliki waktu paruh yang singkat (t 1/2, 2h) (Lai,
2009). Penggabungan AG ke dalam matriks nano-pati akan meningkatkan
kelarutan dan bioavailabilitas serta melindungi dari kerusakan lingkungan.
Dalam penelitian ini, fraksi kristal tinggi pati garut disiapkan oleh lintnerization
menggunakan HCl diendapkan dengan butanol untuk menghasilkan pati
berukuran nano.
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pati

Pati adalah karbohidrat yang terdiri atas amilosa dan amilopektin. Amilosa
merupakan bagian polimer linier dengan ikatan α-(1→4) unit glukosa. Derajat
polimerisasi amilosa berkisar antara 500-6.000 unit glukosa, bergantung pada
sumbernya. Amilopektin merupakan polimer α-(1→6) unit glukosa, polimer ini
dalam suatu molekul pati jumlahnya sangat sedikit, berkisar antara 4-5%. Namun,
jumlah molekul dengan rantai yang bercabang yaitu amilopektin sangat banyak
dengan derajat polimerisasi 105-3×106 unit glukosa (Jacob dan Delcour,1998).
Amilosa merupakan bagian dari rantai lurus yang dapat memutar dan
membentuk daerah sulur ganda. Pada permukaan luar amilosa yang bersulur
tunggal terdapat hidrogen yang berikatan dengan atom O-2 dan O-6. Rantai lurus
amilosa yang membentuk sulur ganda kristal tersebut tahan terhadap amilase.
Ikatan hidrogen inter- dan intra-sulur mengakibatkan terbentuknya struktur
hidrofobik dengan kelarutan yang rendah. Oleh karena itu, sulur tunggal amilosa
mirip dengan siklodekstrin yang bersifat hidrofobik pada permukaan dalamnya
(Chaplin, 2002).
Struktur granula pati, amilosa dan amilopektin tersusun dalam suatu
cincin-cincin. Jumlah cincin dalam suatu granula pati kurang lebih 16 buah, yang
terdiri atas cincin lapisan amorf dan cincin lapisan semikristal (Hustiany, 2006).
Amilosa merupakan fraksi gerak yang artinya dalam granula pati letaknya tidak
pada satu tempat, tetapi bergantung pada jenis pati. Umumnya amilosa terletak di
antara molekul-molekul amilopektin dan secara acak berada selang-seling diantara
daerah amorf dan kristal (Oates, 1997).

Amilopektin merupakan polisakarida yang tersusun dari monomer


glukosa. Amilopektin merupakan molekul raksasa dan mudah ditemukan karena
menjadi satu dengan dua senyawa penyusun pati, bersama-sama dengan amilosa.
Walaupun tersusun dari monomer yang sama, amilopektin berbeda dengan
amilosa yang terlihat dari karakteristik fisiknya. Secara struktural, amilopektin
terbentuk dari rantai glukosa yang terikat dengan ikatan 1,4-glilosidik sama
dengan amilosa. Namun demikian, pada amilokpektin terbentuk cabang-cabang
(sekitar 20 mata rantai glukosa) dengan ikatan 1,6-glikosidik. Amilopektin tidak
larut dalam air. Produk makanan yang mengandung amilopektik bersifat
merangsang terjadinya proses mekar (puffing) dimana produk makanan yang
berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan,
porus, garing dan renyah. Kebalikannya pati dengan kandungan amilosa tinggi,
cenderung menghasilkan produk yang keras karena proses mekarnya terjadi secara
terbatas (Whistler, 1984).

2.2 Nanopartikel

Nanopartikel adalah partikel berukuran antara 1-1000 nanometer.


Nanopartikel dalam bidang farmasi mempunyai dua pengertian yaitu senyawa
obat yang melalui suatu cara tertentu dibuat berukuran nanometer yang disebut
dengna nanokristal dan senyawa obat dienkapsulasi dalam suatu sistem pembawa
tertentu berukuran nanometer yang disebut dengan nanocarrier (Rachmawati,
2007). Penghantaran nanopartikel dideskripsikan sebagai formulasi suatu partikel
yang terdispersi pada ukuran nanometer atau skala per seribu mikron. Batasan
ukuran partikel yang pasti untuk sistem ini masih terdapat perbedaan karena
nanopartikel pada sistem penghantaran obat berbeda dengan teknologi
nanopartikel secara umum. Beberapa sumber disebutkan bahwa nanopartikel baru
menunjukkan sifat khasnya pada ukuran diameter dibawah 100 nm, namun
batasan ini sulit dicapai untuk sistem nanopartikel sebagai sistem penghantaran
obat. Nanopartikel obat secara umum harus terkandung obat dengan jumlah yang
cukup didalam matriks pada tiap butir partikel, sehinnga memerlukan ukuran yang
relatif lebih besar dibanding nanopartikel non-farmasetik. Meskipun demikian
secara umum tetap disepakati bahwa nanopartikel merupakan partikel yang
memiliki ukurah dibawah 1 mikron. Ukuran ini dapat dikarakterisasi secara
sederhana dan secara visual menghasilkan dispersi yang relatif transparan, serta
perpanjangan lama pengendapan disebabkan karena resultan gaya kebawah akibat
gravitasi sudah jauh berkurang. Hal tersebut sebagai akibat dari berkurangnya
massa tiap partikel dan peningkatan luas permukaan total yang signifikan
menghasilkan interaksi tolak menolak antar partikel yang besar dan muncul
fenomena geran Brown sebagai salah satu karakteristik spesifik partikel pada
ukuran koloidal (Gupta dan Kompella, 2006).

Beberapa kelebihan nanopartikel adalah kemampuan untuk menembus


ruang-ruang antar sel yang hanya dapat ditembus oleh ukuran partikel koloidal,
kemampuan untuk menembus dinding sel yang lebih tinggi, baik melalui difusi
maupun opsonifikasi dan fleksibilitasnya untuk dikombinasi dengan berbagai
teknologi lain sehingga membuka potensi yang luas untuk dikembangkan pada
berbagai keperluan dan target. Kelebihan lain dari nanopartikel adalah adanya
peningkatan afinitas dari sistem karena peningkatan luas pemukaan kontak pada
jumlah yang sama (Kawashima, 2000). Pembentukan nanopartikel dapat dicapai
dengan berbagai teknik yang sederhana. Nanopartikel pada sediaan farmasi dapat
berupa sistem obat dalam matriks seperti nansfer dan nanokapsul, nanoliposom,
nanoemulsi dan sebagai sistem yang dikombinasikan dalam perancah (scaffold)
dan penghantaran transdermal (Martien., et.al, 2012).

Disamping kelebihannya, nanopartikel juga memiliki beberapa


kekurangan antara lain nanopartikel susah dalam penanganan dan penyimpanan
karena mudah teragregasi, nanopartikel tidak cocok untuk obat dengan dosis besar
karena ukurannya yang kecil, nanopartikel dapat memasuki bagian tubuh yang
tidak diinginkan yang dapat menimbulkan akibat yang berbahaya, misalnya dapat
menembus membran inti sel dan menyebabkan kerusakan genetik yang tidak
diinginkan atau mutasi (Rawat et al,. 2006)

2.3 Enkapsulasi

Enkapsulasi merupakan teknik penjeratan bahan inti dalam bahan


pengkapsul tertentu. Keuntungan dari teknik enkapulasi adalah melindungi dan
mengontrol pelepasan bahan aktif. Teknik Coacervation adalah teknik enkapsulasi
yang mudah karena bahan pengkapsul yang digunakan mudah didapat, tidak
membutuhkan peralatan yang mahal dan dapat dilakukan pada suhu ruang. Selain
pemilihan teknik coacervation juga dikarenakan efisiensi enkapsulasi yang tinggi
(Palupi et al., 2014).

Enkapsulasi adalah suatu proses pembungkusan (coating) suatu bahan inti


dengan menggunakan bahan enkapsulasi tertentu, yang bermanfaat untuk
mempertahankan viabilitasnya dan melindungi dari kerusakan akibat kondisi
lingkungan yang tidak menguntungkan (Wu et al., 2000). Pacifico et al. (2001)
menyatakan bahwa untuk komponen yang bersifat peka seperti mikroorganisme
dapat dienkapsulasi untuk meningkatkan viabilitas dan umur simpannya. Bahan
yang umum digunakan untuk enkapsulasi adalah berbagai jenis polisakarida dan
protein seperti pati, alginat, gum arab, gelatin, karagenan, albumin dan kasein.
Penggunaan bahan untuk enkapsulasi perlu dipertimbangkan karena masing-
masing bahan mempunyai karakter yang berbeda dan belum tentu cocok dengan
bahan inti yang akan dienkapsulasi (Desmond et al., 2002).

2.4 Prinsip Enkapsulasi


Enkapsulasi adalah proses entrapment dari suatu senyawa di dalam senyawa
lainnya dalam skala mikro maupn nano. Senyawa yang dienkapsulasi disebut
bahan inti yang berupa zat aktif. Senyawa yang meliputi bahan inti bisa berfungsi
sebagai pelapis maupun membran. Produk dari proses enkapsulasi dinamakan
kapsul. Enkapsulasi memberikan sarana untuk mengubah komponen dalam
bentuk cairan menjadi partikel padat dan melindungi materi dari pengaruh
lingkungan. Perlindungan yang diberikan oleh enkapsulasi dapat mencegah
degradasi karena radiasi cahaya atau oksigen, dan juga memperlambat terjadinya
evaporasi (Risch,1995). Terdapat beberapa teknik enkapsulasi yang dapat
digunakan yaitu pengeringan semprot (spray-drying), pendinginan semprot
(spray-chilling), sferonisasi, dan koaservasi (Rehl et al.,1992).
Pelepasan senyawa aktif dari kapsul dapat melalui berbagai cara yaitu melalui
proses difusi melewati lapisan polimer, erosi dari lapisan polimer atau melalui
kombinasi melalui erosi dan difusi. Umumnya, obat yang dibuat dengan cara ini
lebih banyak dilepaskan melalui difusi membran. Cairan dari saluran pencernaan
berdifusi melalui membran ke dalam sel, kemudian obat akan melalui difusi pasif
dari larutan konsentrasi tinggi di dalam sel kapsul melalui membran ke tempat
berkonsentrasi rendah pada cairan saluran pencernaan. Jadi kecepatan pelepasan
obat ditentukan oleh sifat difusi obat pada membran (Rehl et al.,1992).

2.5 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Enkapsulasi


Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses enkapsulasi ; sifat
fisika-kimia bahan inti atau zat aktif, bahan penyalut yang digunakan, tahap
proses enkapsulasi (tunggal/bertingkat), sifat dan struktur dinding kapsul, kondisi
pembuatan (basah/kering).

1. Sifat Zat Aktif Untuk Mikrokapsul


Zat aktif yang dapat dibuat dalam sistem mikrokapsul dapat berupa zat padat, gas,
ataupun cair dalam ukuran partikel kecil. Sifat-sifat zat aktif dari
mikroenkapsulasi tergantung dari tujuan mikroenkapsulasi tersebut.
2. Komponen Mikrokapsul

1. Bahan Inti ; merupakan bahan spesifik yang akan disalut, dapat berupa zat
padat, cair, ataupun gas. Komposisi bahan inti dapat bervariasi, misalnya pada
bahan inti cair dapat terdiri dari bahan terdispersi dan bahan terlarut, sedangkan
bahan inti padat dapat berupa zat tunggal atau campuran zat aktif dengan bahan
pembawa lain seperti stabilisator, pengencer, pengisi, penghambat atau pemacu
pelepasan bahan aktif. Selain itu, bahan inti yang digunakan sebaiknya tidak larut
atau tidak bereaksi dengan bahan penyalut yang digunakan.
2. Bahan penyalut ; merupakan bahan yang digunakan untuk melapisi inti dengan
tujuan tertentu seperti menutupi rasa dan bau yang tidak enak, perlindungan
terhadap lingkungan, meningkatkan stabilitas, mencegah penguapan, kesesuaian
dengan bahan inti maupun bahan lain yang berhubungan dengan proses
penyalutan serta sesuai dengan metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Bahan
penyalut harus mampu memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif dengan bahan
inti, dapat bercampur secara kimia, tidak bereaksi dengan inti (bersifat inert), dan
mempunyai sifat yang sesuai dengan tujuan penyalutan. Bahan penyalut yang
digunakan dapat berupa polimer alam, semisintetik, maupun sintetik. Jumlah
penyalut yang digunakan antara 1-70%, dan pada umumnya digunakan 3-30%
dengan ketebalan dinding penyalut 0,1-60 mikrometer.
3. Pelarut ; bahan yang digunakan untuk melarutkan bahan penyalut dan
mendispersikan bahan inti. Pemilihan pelarut berdasarkan sifat kelarutan dari
bahan inti atau zat aktif dan bahan penyalut, dimana pelarut yang digunakan
tersebut tidak atau hanya sedikit melarutkan bahan inti tetapi dapat melarutkan
bahan penyalut. Pelarut polar akan melarutkan senyawa yang bersifat polar, dan
pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar. Untuk
melarutkan penyalut juga dapat digunakan pelarut tunggal atau pelarut campuran.
Penggunaan pelarut campuran seringkali memberikan kesulitan dalam proses
penguapan pelarut, misalnya perbedaan kecepatan penguapan antara dua atau
lebih pelarut akan mengakibatkan pemisahan komponen pelarut yang terlalu cepat
sehingga penyalut menggumpal. Untuk menghindari hal tersebut biasanya
digunakan campuran azeptrop, yaitu campuran pelarut dengan komposisi dan
titik didih yang tetap dimana selama proses penguapan komposisi campuran tidak
berubah (Park et al., 1984).

2.6 GPC (Gel Permeation Chromatography)

Kromatografi gel merupakan metode kromatografi baru meliputi


kromatografi eksklusi, kromatografi penyaring gel dan kromatografi permeasi gel.
Kromatografi ini paling mudah dimengerti dan paling mudah dikerjakan.
Kromatografi permeasi gel tidak hanya akan memberikan informasi BM (bobot
molekul rata-rata jumlah Ḿ n), bobot molekul rata-rata berat ( Ḿ w ) dan bobot
molekul rata-rata Z ( Ḿ ) tetapi juga diperoleh informasi mengenai distribusi bobot
molekul. DBM merupakan informasi sebaran bobot molekul suatu bahan polimer.
Oleh karena itu GPC telah banyak digunakan untuk analisis polimer, dengan
demikian dari perubahan BM, DBM dan kurva kromatogramnya dari bahan
sebelum dan sesudah proses, maka dapat diprediksi reaksi-reaksi yang terjadi
(Hendrana et al., 2004).
Kromatografi permeasi gel digunakan pada spesies yang memiliki BM
tinggi (BM > 2000) terutama yang tak terionkan, campuran yang terdiri dari
komponen yang sangat berbeda berat molekulnya dan pemisahan awal yaitu
eksplorasi cuplikan yang tak diketahui. Prinsip kerja dari kromatografi permeasi
gel adalah berdasarkan ada perbedaan ukuran komponen atau BM komponen pada
cuplikan. Analit yang ukurannya lebih kecil akan memasuki pori lebih mudah
dengan waktu retensi yang lebih lama, sedangkan analit yang lebih besar akan
lebih sulit untuk memasuki pori sehingga akan lebih cepat terelusi.

Gambar 1 skema pori vs analit


(Hendrana et al., 2004).
Fase diam yang digunakan pada kromatografi permeasi gel in dibedakan
menjadi 2 jenis yaitu semi rigid dan lunak. Fase diam jenis semi rigid contohnya
styragel poragel, TSK gel. Keuntungan yang diberikan pada fase diam ini adalah
dapat memisahkan sampel polimer yang rumit, sedangka kelemahannya yaitu
waktu analisis yang lebih panjang dan pembuatan kolom yang agak rumit. Fase
diam jenis lunak contohnya spharose dan sphadex, Fase diam ini mudah
menggembung dalam air. Keuntungan dari fase jenis ini adalah dapat memisahkan
polimer dengan rentang bobot yang lebih lebar yaitu 10 2- 2,4. 107 dalton namun
fase diam ini sangat rapuh dan tidak dapat menahan tekanan lebih dari 150 psi
(Hendrana et al., 2004).
2.7 Differential Scanning Calorimetry (DSC)
Analisa termal diferensial adalah teknik dimana suhu dari sampel
dibandingkan dengan material referent inert selama perubahan suhu terprogram.
Suhu sampel dan referent akan sama apabila tidak terjadi perubahan, namun pada
saat terjadinya beberapa peristiwa termal, seperti pelelehan, dekomposisi atau
perubahan struktur kristal pada sampel, suhu dari sampel dapat berada di bawah
(apabila perubahannya bersifat endotermik) ataupun di atas ( apabila perubahan
bersifat eksotermik) suhu referent.

Gambar 2. Metode DSC

Sampel dan referent ditempatkan bersebelahan dalam heating block yang


dipanaskan ataupun didinginkan pada laju konstan; termokopel identik
ditempatkan pada keduanya dan dikoneksikan. Ketika sampel dan referen berada
pada suhu yang sama, output bersih dari pasangan termokopel ini akan sama
dengan nol. Pada saat suatu peristiwa termal berlangsung pada sampel, perbedaan
suhu, ΔT, timbul antara keduanya yang kemudian terdeteksi dari selisih tegangan
dari kedua termokopel. Termokopel ketiga (tidak diperlihatkan pada gambar)
digunakan untuk memonitor suhu heating block dan hasilnya diperlihatkan
sebagai ΔT versus suhu (Gambar 3 d). Sampel dan referen dipertahankan pada
suhu sama selama program pemanasan, dalam hal ini, input panas ekstra ke
sampel ( atau ke referen bila sampel mengalami perubahan eksotermik) yang
diperlukan untuk menjaga keseimbangan, akan diukur. Pada sel DSC lain,
perubahan suhu antara sampel dan referen diukur. Respon yang dihasilkan adalah
kalorimetrik (Tahir, 2009).

2.8 Kelarutan Dan Swelling Power


Suhu merupakan salah satu faktor yang menentukan besarnya kelarutan,
dimana semakin tinggi suhu maka akan semakin tinggi pula nilai kelarutannya.
Kenaikan nilai swelling power dan kelarutan ditentukan oleh lamanya waktu dan
suhu pemanasan yang menyebabkan terjadinya degradasi dari pati sehingga rantai
pati tereduksi dan cenderung lebih pendek sehingga mudah menyerap air. Air
yang terserap pada setiap granula menyebakan nilai swelling power meningkat,
dikarenakan granula-granula yang terus membengkak dan saling berhimpitan
(Hakiim dan Sistihapsari, 2011).
Kandungan amilosa mempengaruhi tingkat pengembangan dan penyerapan
air pati. Semakin tinggi kandungan amilosa, maka kemampuan pati untuk
menyerap air dan mengembang menjadi lebih besar karena amilosa mempunyai
kemampuan untuk membentuk ikatan hidrogen yang lebih besar daripada
amilopektin. Semakin tinggi kadar amilosa pati maka kelarutannya di dalam air
juga akan meningkat karena amilosa memiliki sifat polar (Juliano, 1994).
Suhu gelatinisasi tepung campuran yang medium dalam proses pembentukan
gel memerlukan waktu yang lama dan suhu yang cukup tinggi. Hal ini
menandakan amilopektin yang terkandung pada tepung campuran cukup tinggi.
Kandungan amilopektin yang cukup tinggi pada tepung campuran serta
amilopektin yang memiliki ikatan cabang 1,6 α–glukosa mempunyai sifat sedikit
menyerap air dan sukar larut di dalam air. Tingginya kandungan amilopektin pada
tepung campuran sehingga pada saat pendinginan energi yang diperlukan untuk
membentuk gel tidak cukup kuat untuk melawan kecenderungan molekul amilosa
untuk menyatu kembali. Pada saat dilakukan proses pendinginan, pasta pati yang
telah dipanaskan disertai dengan pangadukan, ini memperlihatkan terjadinya
proses retrogradasi dari molekul-molekul amilosa dan amilopektin dan viskositas
pasta meningkat kembali sedangkan suhu pasta menurun (Hasnelly, 2011).
Setiap jenis pati mempunyai sifat yang berbeda tergantung dari panjang rantai
C-nya, apakah bentuk rantai molekulnya lurus atau bercabang. Pati termasuk
homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Pati mempunyai dua fraksi
yaitu fraksi yang larut dalam air panas namanya amilosa dan fraksi yang tidak
larut dalam air panas namanya amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus
dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedang amilopektin mempunyai cabang dengan
ikatan α-(1,4)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total. Struktur kimia amilosa
dan amilopektin dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3.

Gambar 2. Struktur rantai linier amilosa (Swinkels, 1985)

Gambar 3. Struktur Amilopektin (Swinkels, 1985)


Bab 3. Metodologi

3.1 Bahan

Ekstrak pati garut. Ekstraksi pati pada garut dilakukan dengan prosedur
ektraksi pati dari umbi-umbian. Karakteristik kimia dari pati adalah moisture
11,29%, abu 0,19%, lipid 0,46 %, protein 0,12 %, amilosa 37,23 % dan gula
pereduksi 55,78 ppm.
Andrographolide (AG) diekstrak dari sambiloto (Andrographis
paniculata) daun dikeringkan dengan etanol 70%, menggunakan proses maserasi
selama 24 jam dan kemudian dievaporasi dengan menggunakan rotari evaporator
vakum untuk menghasilkan ekstrak semi padat. Ekstrak kemudian dilarutkan
dengan etanol 70% sampai larut dan total padatan sebesar 20%. Bahan-bahan lain
yang digunakan pada proses ini adalah HCl, 1-butanol, etanol, HCl, NaOH.
Bahan-bahan kimia yang digunakan dari Merck.
Preparasi nanopartikel pati

Nanopartikel pati dihasilkan dengan pengendapan kompleks-butanol dari


hidrolisis asam pati yang telah melewati metode pemisahan yang telah dilakukan
oleh Kim dan Lim (2010) dengan sedikit modifikasi. Lintnerized pada pati
dilakukan dengan menggunakan hidrolisis asam (Jayakody dan Hoover, 2002;
Faridah et al., 2010). Pati garut dihidrolisis dengan larutan asam HCl 2,2 N
dengan perbandingan (1:2) pada suhu 35℃ dan diinkubasi pada shaker water
bath dan dikocok dengan kecepatan 120 rpm selama 2 jam (H2) dan 24 jam
(H24). Sluri atau bubur dinetralkan dengan NaOH 1 N sampai pH menjadi 6,0-7,0
dan kemudian dicuci dengan akuades dan etanol dan dikeringkan pada oven
dengan suhu 40℃ selama semalam.
Konsentrasi 5% dan 10% dari hidrolisis asam pati dilarutkan dengan
akuades panas sebanyak 200 mL dan kemudian diautoklaf pada suhu 121 ℃
selama 20 menit. Larutan didinginkan sampai suhu menjadi 70℃ dan sebanyak
20% n-butanol ditambahkan pada larutan untuk membentuk fase pemisahan
butanol dari larutan pati. Larutan diaduk secara perlahan dengan kecepatan
pengadukan 100 rpm pada suhu 50℃ selama 3 hari dan kemudian disentrifus
dengan kecepata pengadukan 5000 rpm selama 20 menit. Endapan yang
dihasilkan dicuci dengan etanol beberapa menit dan kemudian dikering. Berat
endapan diukur untuk menghitung partikel ukuran nano yang diperoleh. Semua
langkah dilakukan pengulangan sebanyak 3kali dan data yang diperoleh
dinyatakan sebagai rata-rata ± standar deviasi.
3.2 Diagram Alir Penelitian

Pati Garut

Hidrolisis Asam (lintnerized)


variasi waktu inkubasi 2 jam (H2) dan 24 jam (H24) dan variasi konsentrasi HCl 5% (B5) dan 10%

Slurry Pati Garut

Pembentukan endapan kompleks dengan n-butanol

Nanopartikel pati

JSM/6510LA Analytical Scanning Electron Microscope


Morfologi
Uji

GPC (Gel Permeation Chromatograph


Distribusi Berat Molekul

Total Amilosa Kolorimetri

Struktur Kristalin X-ray diffraktometer

likasi pada Matriks enkapsulasi Andrographolida (AG) dari sambiloto

Morfologi (SEM dan TEM)

Uji

Distribusi Ukuran Partikel (FTIR)


3.3 Sifat fisikokimia dari nanopartikel pati garut
Morfologi dari nanopartikel pati ditentukan dengan menggunakan
JSM/6510LA Skening analitik Elektron mikroskop (JEOL) dengan voltase
sebesar 20 kV dan mikrograf. Distribusi ukuran partikel ditentukan dengan
menggunakan Dynamic light Scattering detector (Delsa Nano, C. Beckman
Coulter). Distribusi berat molekul dari nanopartikel pati dielusi dengan Gel
Permeation Chromatography (GPC) menggunakan Toyopearl Gel HW-65S
(Tosoh Co., Japan) dengan ukuran kolom 2,6 cm ID x 100 cm, menurut penelitian
Sunarti et al (2001) dan Ozturk et al (2009). Total amilosa yang diperoleh
ditentukan dengan metode kolorimetri. Sruktur kristal dari pati asli dan
nanopartikel pati diamati dengan menggunakan X-ray diffractometer (Maxima-X,
0
XRD-7000), (Shimadzu, Japan) dengan radiasi Cu-Ka ( λ=1, 4065 A ) yang
dioperasikan pada 35 kV. Jangkauan skaning dari derajat teta (2θ) dari 2-35°.
Kekuatan termal pati diamati dengan menggunakan skening kalorimetri Perkin-
Elmer DSC (Perkin-Elmer Co,.Norwalk, CT).
3.4 Aplikasi sebagai matriks enkapsulasi andrographolide
Nanopartikel pati dengan kemampuan cerna yang paling rendah digunakan
sebagai matriks enkapsulasi untuk andrographolide ekstrak herbal. Proses
enkapsulasi dilakukan dengan 10 gram nanopartikel pati dilarutkan dalam 150 mL
akuades panas dengan suhu 70℃ diaduk dengan menggunakan pengaduk
magnetik selama 30 menit dan kemudian didinginkan selama 1 malam. Hari
berikutnya sebanyak 5 ml ekstrak (total padatan 20%) ditambahkan pada bubur
pati campur dengan kecepatan pengadukan 11.000 rpm selama 10 menit dan
dikeringkan pada suhu 170-180℃. Analisis andrographolide matriks
nanopartikel pati meliputi pengamatan morfologi dengan menggunakan SEM dan
TEM, distribusi ukuran partikel dan spektra FTIR (ABB MB 3000 dengan
jangkauan bilangan gelombang 400-4500 cm-1).
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Morfologi
Linieritas dari pati garut hasil hidrolisis pati dengan rantai pendek dan
kenaikan kristalinitas ketika asam menyerang daerah amorf dan tertinggal di
daerah kristal. Mengikuti Palma-Rodriguez et. al. (2012) hidrolisis asam
menurunkan panjang rantai amilopektin dengan diikuti kenaikan pada rantai
pendek. Hasil tersebut menjelaskan derajat polimerisasi (DP) dari lineritas pati
dari 2 jam dan 24 jam menghasilkan lineritas sebesar 495,35 ± 13,40 dan 103,6 ±
10,03. Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa lineritas tidak dapat mengubah
morfologi dari butiran-butiran pati (Winarti et. al., 2014) tetapi setelah
dikomplekskan dengan butanol menghasilkan morfologi tanpa granular yang
ditunjukkan pada gambar 1 (a-d). Morfologi dari kompleks pati-butanol
menghasilkan partikel bulatan membentuk aglomerasi dan masih saling menempel
antara partikel satu dengan lainnya. Morfologi juga menghasilkan porositas yang
tinggi. Eksistensi pori dalam partikel menunjukkan kemampuan dalam
mengabsorbsi partikel lain seperti zat-zat aktif.

Gambar 1 juga menunjukkan bahwa kompleks pati dari lineritas 24 jam


menyatakan struktur yang lebih lembut atau halus daripada lineritas dengan waktu
2 jam yang dapat dilihat dari profil TEM (Gambar 1 e-f). Selain itu, ukuran rata-
rata partikel juga membuka ukuran yang lebih rendah dapat dilihat pada tabel 1.
DP dan kristalinitas dari linearisasi pati mengasilakan pati yang kompleks.
Mengikuti Kim et.al (2009) dan Kim dan Lim (2010). DP dari pati mempengaruhi
ukuran dari ukuran nano patikel yang dihasilkan dari pengendapan butanol.

4.2 Distribusi Ukuran Partikel


Ukuran partikel dari nano partikel pati disiapkan dari variasil linearitas
pati dari nano partikel menjadi mikro partikel, yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Range partikel yang diberikan dari 78,6 nm sampai lebih dari 538,7 nm.
Meskipun dari kurva distribusi akan ditemukan bahwa ukuran rata-rata partikel
(kumulatif 50%) berukuran nano (kurang dari 300 nm). Partikel ukuran nano dari
dekstrin amilomaize (kurang dari 200 nm) yang juga dijelaskan oleh Kim dan Lim
(2010). Gallant et. al. (1997) menjelaskan bahwa persiapan partikel pati skala
nano mempunyai kristalinitas yang dapat diterima karena mempunyai granul pati
yang tidak dapat dipisahkan dari bloklet kristal dengan skala nano psda jangkauan
diameter dari 20 sampai 500 nm tergantung pada asal muasal tumbuhan dan lokasi
granul.
Para peneliti lainnya mengatakan bahwa nano kristal pati dihasilkan dari
hidrolisis asam selama beberapa hari atau minggu menghasilkan ukuran partikel
kurang dari 100 nm meskipun produk yang dihasilkan sangat rendah (Kim et. al.,
2009; Le Corre et. al., 2012). Sampel disiapkan dari 24 jam menghasilkan
lintneritas dengan ukuran partikel yang lebih rendah daripada dengan lintneritas
selama 2 jam. Juga dikatakan bahwa waktu yang lebih lama dari lintneritas
menghasilkan panjang rantai yang lebih pendek dan berat molekul yang lebih
rendah dengan daaerah kristallisasi yang lebih tinggi.
Indeks polidispersi (PDI) menunjukkan bahwa dispersitas dari nano
partikel pati dengan range 0,361 sampai 0,584. Nilai yang lebih tinggi
mengindikasikan bahwa ukuran lebih bervariasi atau homogenitas berkurang.
Kenaikan PDI juga mengindikasikan bahwa nano partikel pati lebih membentuk
aglomerisasi yang ditunjukkan pada profil SEM dalam Gambar 1 (a-d).

4.3 Distribusi Berat Molekul


Distribusi berat molekul pada pati asli oleh gel Permeation
Chromatography (GPC) ditunjukkan pada distribusi bimodal dengan komposisi
yang saling bergeser tiap fraksi I (FN 15-30) terdiri dari amilopektin dan fraksi II
(FN 30-50) merupkan fraksi amilosa yaitu oligosakarida dengan berat molekul
rendah, antara pati asli dengan pati nano partikel (gambar 2). gambar tersebut
menyatakan bahwa persentase karbohidrat dari fraksi II mengalami kenaikan dari
29,79 % menjadi 56,46 % dan 98, 65 % untuk pati nano partikel disiapkan dari 2
dan 24 jam lintnerisasi. Kompleks butanol disiapkan dari 24 jam lintnerisasi
mengasilkan 1 fraksi (FN 37-50) mengindikasikan bahwa amilopektin (fraksi 1)
terdegradasi menjadi ukuran molekul yang lebih kecil (fraksi amilosa rantai
pendek) selama lintnerisasi dan pengkomplekan butanol. Saibene dan Seetharman
(2010) mengatakan bahwa puncak bergeser ke arah nomor fraksi yang lebih tinggi
dengan kenaikan waktu lintnerisasi, mengindikasikan reduksi dari ukuran
molekular. Selain itu, Mizukami et. al., (1999) mengatakan bahwa fraksi amilosa
mempunyai banyak molekul yang lebih kecil (ukuran sekitar 1-3) daripada
amilosa keseluruhan.

4.4 Kelarutan dan Kekuatan Pengembangan


Kelarutan dan kekuatan pengembangan (SP) dari nano partikel pati
menghasilkan perubahan yang lebih signifikan daripada pati asli dan pati
lintnerisasi yang dapat dilihat pada Table 2. Kelarutan nanopartikel pati pada
temperatur ruang (9,43 – 16,89 %) mengalami kenaikan dibandingkan dengan
pati asli (4,15 ± 0,63%), dan dan lintnerisasi pati (1,91-3,03%) (Winarti et. al.,
2014). Lopez et. al.(2010) mengatakan bahwa modifikasi asam menurunkan
kekuatan pengembangan dari granul pati, mengikuti Parma-Rodriguez et. al.
(2010). Asam yang digabungkan dengan pati pada amilosa dilepaskan dan
menaikkan amilopektin rantai pendek, yang akan mempengaruhi struktur dengan
menghasilkan bayak cabaang tapi rendah akan kemampuan mengembang. Ini juga
menjelaskan penurunan nilai SP.

4.5 Digestibilitas Enzimatik dan Keberadaan Amilosa


Digestibilitas enzimatik dari pati ukuran nano lebih rendah dibandingkan
pati garut asli yang dapat dilihat pada Tabel 3. Lintnerisasi dan pengendapan
butanol mengurangi digestibilitas enzimatik. Meskipun pada Tabel 3 juga
menyatakan lintnerisasi mempengaruhi digestibilitas enzimatik lebih dari
treatment butanol. Pati asli memupunyai kemampuan digestibilitas sebesar
74,12% dan menurun sebesar 71,63 dan 57,12% setelah di lintnerisasi selama 2
jam pada konsentrasi 5 dan 10% ; dan 59,08 dan 53,68% selama lintnerisasi 24
jam pada konsentrasi 5 dan 10%. Fraksi kristalisasi dari lintnerisasi pati
diproduksi selama 24 jam, menghasilkan nilai yang lebih besar dibandingkan
dengan 2 jam lintnerisasi dan menjadi lebih kebal terhadap digesti enzimatik. hasil
lainnya menjelaskan kristalinitas tinggi menaikkan resistansi enzimatik. Daerah
kristalisasi pada amilosa tinggi pati jagung dihidrolisis pada suasana asam selama
24 jam menghasilkan produk yang lebih resistan pada serangan enzim daripada
pati tanpa hidrolisis (Nagahata et. al., 2010).
Kandungan amilosa nanopartikel pati ditampilkan pada Tabel 3. butanol
presipitasi meningkatkan tingkat amilosa, sebagai butanol hanya dibentuk
kompleks dengan amilosa. Selain itu, tingkat hidrolisis mempengaruhi kandungan
amilosa di mana lagi hidrolisis tingkat amilosa cenderung menurun. 24 jam
hidrolisis mungkin mengakibatkan rantai dekstrin terlalu pendek untuk
membentuk kompleks dengan butanol. Godet dkk. (1995) menyebutkan bahwa
rantai dekstrin yang mampu membentuk kompleks dengan butanol harus memiliki
panjang rantai dan lintneritas yang menguntungkan untuk pembentukan
kompleks.

4.6 Pola Difraksi Sinar X dari Nanopartikel Pati Garut


Pati garut asli memiliki tipe A kristalinitas. Jenis kristal ditandai dengan
puncak pada 2 tetha (2θ), pada masing-masing 15 o, 17o, 18o dan 23o, seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 3. Kristalinitas pati garut asli adalah 23,31%. Hidrolisis
asam dan kompleksasi butanol meningkatkan derajat kristalinitas ke 28,36%,
31,29%, 45,12% dan 39,15% masing-masing untuk butanol kompleks dari 2 jam
dan 24 jam lintnerization, pada konsentrasi 5% dan 10%. Jenis kristal bergeser
dari A-tipe untuk menjadi V-jenis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3 seperti
yang terlihat puncak yang kuat di 20o (2 tetha), kecuali untuk pengobatan H2B5
(b). Menurut Osella dkk. (2005) puncak pada 20 o dikaitkan dengan baik-
membentuk struktur ''V". Selain itu, Kim dan Lim (2010) mengatakan bahwa
kompleks pati-butanol dengan pengendapan butanol memiliki tipe V-jenis
amilosa. Selain itu, Ma et al. (2008) menyebutkan bahwa pergeseran tipe kristal
menyebabkan terganggunya ketertiban molekul yang menyebabkan hilangnya
integritas granula pati selama gelatinisasi yang mengarah pada kehancuran A-jenis
kristalinitas. Inklusi molekul di kompleks V-amilosa dapat digunakan untuk
enkapsulasi dan dikendalikan pengiriman berbagai zat dalam farmakologi dan
makanan sistem (Shimoni et al., 2007). Selain itu susunan kristal modified - pati
bisa menjadi penting ketika digunakan sebagai agen encapsulating, karena
kemungkinan untuk menghasilkan keterkaitan antara rantai polimer yang tersisa
dan bahan dinding dengan karakteristik ditingkatkan sebagai encapsulating agen
(Palma-Rodriguez et al., 2012).

4.7 Sifat Termal


Sifat termal dari nanopartikel pati garut dianalisis dengan menggunakan
DSC. Pengobatan hidrolisis asam mungkin memiliki efek pada sifat termal.
Seperti ditunjukkan pada Tabel 4, sampel diobati dengan asam diikuti oleh
butanol curah hujan mengungkapkan suhu yang lebih tinggi onset (Untuk) tapi
suhu yang lebih rendah puncak (Tp) dan entalpi lebih tinggi. Ini mungkin terjadi
karena meskipun lintnerization menghasilkan proporsi yang lebih tinggi dari
bagian kristal, butanol curah hujan berkurang kristalinitas dan diproduksi bagian
yang lebih amorf, oleh karena itu, mengurangi suhu puncak. Selain itu, proses
pengeringan beku mengakibatkan bagian yang lebih tinggi dari daerah amorf.
Entalpi lebih tinggi ditunjukkan dari semua sampel dibandingkan pati asli.
Menurut Le Corre dkk. (2012), beberapa faktor bisa meningkatkan suhu leleh
semi-kristal polimer termasuk peningkatan kristalinitas, kristal lebih sempurna
dan penurunan keberadaan plasticizer.
4.8 Aplikasi sebagai enkapsulasi matriks

Aplikasi sebagai enkapsulasi matriks Pati nanopartikel dengan


pengendapan butanol diterapkan sebagai matriks enkapsulasi untuk ramuan
ekstrak andrographolide menggunakan proses pengeringan semprot. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa morfologi andrographolide menghasilkan bentuk
bulat atau granula tanpa retak atau kerusakan pada permukaan luar dari
nanocapsules, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Produk yang digunakan
matriks yang diberi perlakuan selama 24 jam lintnerization menunjukkan ukuran
yang jauh lebih kecil dan lebih homogen dibandingkan dengan 2 jam. Hasil SEM
terbukti dengan TEM dan distribusi ukuran.
Ukuran partikel rata-rata yang dihasilkan dari matriks diberi perlakuan
dari 24 jam lintnerization, menunjukkan rata-rata ukuran partikel jauh lebih kecil
dan PDI dari itu dari 2 jam lintnerization. Rata-rata ukuran partikel adalah 130,2 ±
36,2 nm dibandingkan dengan 257,4 ± 63,9 nm selama 24 jam dan 2 jam
lintnerization, dengan berbagai ukuran partikel adalah 116,2-541,4 nm dan 152,2-
620,3 nm. Homogenitas partikel yang dihasilkan dari 24 jam lintnerization
menunjukkan jauh lebih tinggi seperti yang ditunjukkan dari bawah PDI (0,309),
dibandingkan dengan 2 jam lintnerization (0,518). Nilai PDI dari
andrographolide matriks nano pati ditunjukkan terutama untuk H24 jam
lintnerization yang mendekati hasil yang ideal PDI untuk matriks seperti yang
diusulkan oleh Danhier dkk. (2009) nilai-nilai PDI sekitar 0,2 mewakili
monodispersitas dalam formulasi farmasi karena menunjukkan distribusi ukuran
monodispersi.

4.9 Spektrum FTIR


Spektrum FTIR pati asli hampir mirip dengan nanopartikel pati yang dihasilkan
oleh kompleks butanol seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Ada beberapa
pita serapan pada 1159, 1082, dan 1014 cm -1, yang dikaitkan dengan
perenggangan (stretching) CO. Andrografolida menunjukkan karbonil pita
regangan pada 1727cm-1 (Lai, 2009) hal ini juga teramati dari spektrum (Gambar
5). Selain itu, ada beberapa pita spektrum yang menunjukkan peregangan getaran
-OH pada 3319-3402 cm-1 karena adanya tiga kelompok -OH. The alifatik
peregangan CH diamati pada 2848-2990 cm-1. Sedangkan = CH2 diamati pada
1674 cm-1 dan CC diamati pada 1031 cm-1 (Shariff et al., 2007).
DAFTAR PUSTAKA

Chaplin, M. 2002. Starch. Htt://www.sbu.ac.uk. [20 November 2015].

Hakiim A, dan Sistihaphasi S. 2011. Modifikasi Fisik-Kimia Tepung Sorgum.

Sumatra: USU Press.

Hasnelly. 2011. Kajian Sifat Fisiko Kimia Formulasi Tepung Komposit. Sumatra:

USU Press.

Hendrana, Sunit. Utama, Marga. Purwanto, Indratmoko Hari. Herwinarni.

Karyaningsih, Ipit. 2004. Analisis Kromatografi Permeasi Gel dari Kopolimer

Cangkok Radiasi Metilmetakrilat pada Karet Alam. Jurnal Sains Materi

Indonesia. Vol 5: 36-40. ISSN:1411-1098

Herawati, Henry. 2011. Potensi Pengembangan Produk Pati Tahan Cerna sebagai

Pangan Fungsional. Bukit Tegalepek: Balai Pengkajian Pertanian Jawa Tengah

Hustiany, R. 2006. Modifikasi Asilasi dan Suksinilasi Pati Tapioka sebagai Bahan

Enkapsulasi Komponen Flavor. Disertasi, Institut Pertanian Bogor

Jacobs, H. And J.A. Delcour.1998. Hydrothermal Modifications of Granular

Starch with Retention of the Granular Structur: Review. J. Agric. Food Chem

46 (8): 2895-2905

Juliano, B.O. 1994. Criteria And Test For Rice Grain Quality. New York: Rice

Chemistry and Technology.

Kawashima, Y. Yamamoto, H. Takeuchi, H. And Kuno, Y. 2000. Mucoadhesive

DL-Lactide/Glycolide Copolymer Nanospheres Coated with Chitosan to


Improve Oral Delivery of Elcatonin. Phamaceutical Development and

Tecnology, 5 (1):77-85

Lehr CM, Bouwstra JA, Kok W, De Boer AG, Tukker JJ, Verhoef JC, Breimer

DD, Junginger HE. Effects of the mucoadhesive polymer polycarbophil on the

intestinal absorption of a peptide drug n the rat. J. Pharm. Pharmacolog, 1992;

44(5): 402-407.

Martien, Ronny. Adhyatmika. Irianto, Iramie D.K. Farida, Verda. Sari, Dian

Purwita. 2012. Perkembangan Teknologi Nanopartikel sebagai Sistem

Penghantaran Obat. Majalah Farmaseutik, Vol 8 No. 1

Oates, C.G. 1997. Towards an understanding of starch granule structure and

hydrolysis Review. Trends Food Sci. Technol. 8: 375-382

Park K, Robinson JR. Bioadhesive polymers as platforms for oral controlled drug

delivery: method to study bioadhesion. Int J Pharm, 1984; 19: 107–127.

Rachmawati, H. Reker, Smit C. Hooge, M.N.L. Loenen-Weemaes A. M.V.

Poelstra K. Beljaars L. 2007. Chemical Modification of Interleukin-10 with

mannose 6-Phosphate Groups Yields a Liver-Selective Cytokine, DMD. 35:

814-821

Swinkels, J.J.M. 1985. Sources Of Starch, Its Chemistry And Physics. New York:

Parentials Library.

Tahir, Iqmal. 2009. Teknik Analisa temal Padatan. Yogyakarta : Universitas

Gajah Mada.

Anda mungkin juga menyukai