Oleh :
Jatmiko Eko Witoyo
(125100601111006)
Yosua
(125100601111007)
(125100601111008)
(125100601111011)
Lanny Ariani
(125100601111013)
Khanza Jasmine
(125100601111015)
Gilang Radhitya P
(125100601111010)
Kelas H
Dosen :
Dewi Maya Maharani,S.TP,M.Sc
1. PENDAHULUAN
Ampas tebu sebagai limbah pabrik gula merupakan salah satu bahan lignoselulosa
yang potensial untuk dikembangkan menjadi sumber energi seperti bioetanol. Konversi bahan
lignoselulosa menjadi bioetanol mendapat perhatian penting karena bioetanol dapat
digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar bensin untuk keperluan transportasi. Bahan
lignoselulosa, termasuk dari ampas tebu terdiri atas tiga komponen utama, yaitu selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Konversi bahan lignoselulosa menjadi etanol pada dasarnya terdiri
atas perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa menjadi gula, fermentasi gula menjadi etanol,
dan pemurnian etanol melalui proses distilasi dan dehidrasi. Biaya produksi etanol masih
cukup tinggi. Oleh karena itu, berbagai penelitian dilakukan untuk memperbaiki proses
produksi mulai dari tahap perlakuan pendahuluan, hidrolisis selulosa, fermentasi gula
menjadi etanol sampai dengan pemurnian etanol. Dengan memerhatikan potensi biomassa
lignoselulosa, khususnya ampas tebu sebagai bahan dasar bioetanol, perlu dilakukan
pengkajian terhadap hasil-hasil penelitian dalam upaya pemanfaatan bahan tersebut.
2. KARAKTERISTIK DAN POTENSI BIOMASSA LIGNOSELULOSA
a. Pengertian Lignoselulosa
Bahan lignoselulosa merupakan biomassa yang berasal dari tanaman dengan
komponen utama lignin, selulosa,dan hemiselulosa. Ketersediaannya yang cukup
melimpah, terutama sebagai limbah pertanian, perkebunan, dan kehutanan,
menjadikan bahan ini berpotensi sebagai salah satu sumber energi melalui proses
konversi, baik proses fisika, kimia maupun biologis. Salah satu proses konversi
bahan lignoselulosa yang banyak diteliti adalah proses konversi lignoselulosa
menjadi etanol yang selanjutnya dapat digunakan untuk mensubstitusi bahan bakar
bensin untuk keperluan transportasi.
b. Komponen Utama Lignoselulosa
Komponen
utama
dalam
bahan
lignoselulosa
adalah
selulosa,
3. TEKNOLOGI
KONVERSIBIOMASSA
LIGNOSELULOSAMENJADI
ETANOL
a. Perlakuan Pendahuluan
Dari pembahasan jurnal tersebut, metode perlakuan pendahuluan (pretreatment)
pada lignoselulosa terbagi menjadi 4 metode yang masing-masing memilki kelebihan
dan kekurangan, antara lain sebagai berikut:
1. Perlakuan pendahuluan secara fisika, contoh: pencacahan secara mekanik,
penggilingan, dan penepungan untuk memperkecil ukuran bahan dan mengurangi
kristalinitas selulosa, dll. Preteatment jenis ini cukup efektif dalam memecah lignin,
akan tetapi dalam pengaplikasiannya dibutuhkan energy cukup besar, sehingga dapat
meningkatkan biaya produksinya.
2. Perlakuan pendahuluan secara kimia, contoh: ozonolisis, hidrolisis asam, hidrolisis
alkali, delignifikasi oksidatif, dan proses organosolv, dll. Dalam aplikasinya,
pretreatment jenis inilah yang paling banyak digunakan karena kelebihannya yang
mudah digunakan, efektif, cepat dan tidak membutuhkan energy yang terlalu besar.
Namun, apabila senyawa kimia yang digunakan dalam pretreatment ini dipakai
secara berlebihan, maka tentunya akan berdampak buruk bagi lingkungan. Hal
tersebut dikarenakan, penggunaan senyawa kimia dapat memicu pembentukan
senyawa toksik. Senyawa toksik sendiri juga dapat menghambat proses hidrolisis
polisakarida pada tahap selanjutnya dalam pretreatment lignin. oleh karena itu, akibat
dampak yang ditimbulkan dari penggunaan pretreatment ini, para peneliti mulai
tergerak untuk mengembangkan metode yang lebih ramah lingkungan.
3. Perlakuan pendahuluan secara fisikokimia, contoh: steam explosion, ammonia fiber
explosion (AFEX), dan CO2 explosion, dll. Pada pretreatment ini adalah gabungan
antara pretreatment fisika dan kimia, di mana memiliki kelebihan yang mirip dengan
jenis pretreatment fisika dan kimia yakni, efektif memecah lignin, mudah efektif, dan
cepat. Sedangkan kelemahannya memerlukan energy yang cukup besar namun masih
di bawah pretreatment fisika. Selain itu, penggunaan senyawa kimianya juga
berdampak buruk bagi lingkungan. Pada pretreatment contoh metode yang sering
digunakan adalah steam explosion.
4. Perlakuan pendahuluan secara biologi, contoh: mikroorganisme jamur pelapuk
coklat, jamur pelapuk putih, dan jamur pelunak untuk mendegradasi lignin dan
hemiselulosa yang ada dalam bahan lignoselulosa, dll. Pretreatment jenis ini mulai
banyak diteliti saat ini. Sebelumnya, pretreatment ini kurang diminati karena
pengaplikasiannya yang membutuhkan waktu lama dalam proses mendegradasi
lignin dan dapat menyebabkan degradasi selulosa dan hemiselulosa sehingga jumlah
selulosa dan hemiselulosa yang dapat dimanfaatkan menjadi berkurang. Walaupun
demikian, pretreatment jenis ini paling banyak diteliti, karena sifatnya yang ramah
terhadap lingkungan. Karena beragamnya bahan lignoselulosa, penelitian proses
perlakuan pendahuluan yang optimal terhadap bahan ini masih terbuka lebar. Bahan
baku yang berbeda akan memerlukan perlakuan pendahuluan yang berbeda pula.
Oleh karena itu, tidak ada satu metode umum yang berlaku untuk perlakuan
pendahuluan semua bahan lignoselulosa. Namun, saran kami, metode yang tepat
untuk digunakan adalah perlakuan pendahuluan ada 2 yakni menggunakan
gelombang microwave dan secara biologi. Penjelasan lebih lanjut, ada pada poin 4.
Ide Cara Peningkatan Kualitas Hasil
b. Sakarifikasi
Sakarifikasi atau hidrolisis adalah proses penguraian pati menjadi gula gula
sederhana seperti glukosa. Hidrolisis selulosa dapat dilakuakn menggunakan larutan
asam atau secara enzimatis, masing masing dengan kelebihan dan kekurangan. Proses
hidrolisis secara enzimatis biasanya berlangsung pada kondisi yang ringan(PH sekitar
4,80 dan suhu 45 50oC) dan tidak menibulkan masalah korosi. Dalam proses ini
digunakan enzim endoglukanase, enzim eksoglukonase, dan beta-glukosidase.Fungsi
enzim endoglukanase adalah untuk memcah selulosa secara acak dan memebentuk ujung
rantai yang bebas. Enzim eksoglukanase berfungsi untuk mendegradasi lebih lanjut
molekul tersebut dengan memindahkan unit unit selobiosa dari ujung rantai yang
bebas. Sedangkan enzim beta-glukosidase merupakan enzim yang menghidrolisis
elobiosa menjadi glukosa. Penggunaan enzim bergantung pada kadar padatan tidak larut
air. Semakin banyak selulase yang digunakan, maka akan semakin tinggi rendemen dan
kecepatan hidrolisis. Proses hidrolisis juga dapat menggunakan aam encer, namun harus
dilakukan pada tekanan tinggi dalam waktu yang singkat. Jika menggunakan asam pekat
maka dilakukan pada suhu yang relatif rendah. Biasanya waktu yang diperlukan untuk
reaksi hirdolisis dengan menggunakan asam pekat memebutuhkan waktu yang lebih lama
di banding dengan penggunaan asam encer.Proses hidrolisis dengan asam dapat
menghasilkan produk sampingan, seperti senyawa furan, fenolik, dan asam asetat, jika
produk sampingan tidak dihilangkan dapat menghambat proses fermentasi. Proses
hidrolisis dengan asam juga dapat memicu degradasi glukosa sehingga rendemen glukosa
dan etanol menurun.
Terdapat juga proses sakarifikasi dan fermentasi secara serentak, penggunaan
mikroba pada proses ini biasanya adalah jamur penghasil enzim selulase, seperti T.
reesei, T. Viride, dan khamir, dengan suhu optimal 38 oC, dengan konsentrasi substrat
biasanya sekitar 10%, dosis enzim 10 20 FPU/g selulosa, dan konsentrasi khamir 1,5
3 g/l, juga membutuhkan waktu selama 72 jam.
Proses
sakarifikasi
dan
fermentasi
serentak
ini
memiliki
beberapa
keunggulan,yaitu :
1. Meningkatkan kecepatan hidrolisis dengan mengkonversi gula yang terbentuk dari
hasil hidrolisis selulosa yang menghambat aktivitas enzim selulase
2. Mengurangi kebutuhan enzim
3. Meningkatkan rendemen produk
4. Mengurangi kebutuhan kondisi steril karena glukosa langsung dikonversi menjadi
etanol
5. Waktu proses lebih pendek
6. Volume reaktor lebih kecil karena hanya digunakan satu reaktor
Namun juga terdapat kekurangan dalam proses sakarifikasi dan fermentasi
serentak ini yaitu:
1.
2.
3.
4.
sebagai produk sampingan. Karena proses ini tidak membutuhkan oksigen, melainkan
khamir yang melakukannya, maka fermentasi etanol digolongkan sebagai respirasi
anaerob (Chairul, 2010). Khamir yang digunakan adalah Saccharomyces cerevisiae dan
bakteri ZymmomonasMobilis. Fermentasi sendiri dilakukan pada suhu 300 C, dan Ph 5.
Berikut ini ada reaksi yang terjadi selama proses fermentasi etanol.
C12H22O11 +H2O + invertase 2 C6H12O6
C6H12O6 + Zymase 2C2H5OH + 2CO2
Pada proses fermentasi glukosa, satu molekul glukosa menghasilkan dua molekul
etanol dan dua molekul karbon dioksida (CO2). Fermentasi hasil hidrolisis komponen
hemiselulosa seperti xilosa menjadi etanol dapat menggunakan khamir Pichia stipitis
atau Candida shehatae (Hahn-Hagerdal et al. 1993). Pada fermentasi xilosa, tiga molekul
xilosa menghasilkan lima molekul etanol, lima molekul CO2, dan lima molekul..
Fermentasi pentosa yang berasal dari hemiselulosa dilakukan pada reaktor terpisah
karena mikrob yang menggunakan pentosa bekerja lebih lambat dalam mengubah
heksosa dan pentosa menjadi etanol dibanding mikrob yang hanya mengubah heksosa
menjadi etanol, serta bersifat lebih sensitif terhadap senyawa inhibitor dan produk etanol
(Cardona dan Sanchez 2007).
Proses fermentasi alkohol dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah
jumlah sel khamir, spesies sel khamir, oksigen, derajat keasaman dan suhu. Etanol dan
CO2 yang terbentuk dapat menghambat proses fermentasi, atau biasa dikenal dengan
end-product inhibition. Selain itu, sel hidup khamir hanya toleran terhadap etanol pada
konsentrasi tertentu. Pada media di mana khamir bekerja mengubah gula menjadi etanol,
jika konsentrasi etanol mencapai 12%, sel khamir akan mati dan proses fermentasi
berhenti. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut, antara lain
dengan mendaur ulang khamir yang terdapat dalam aliran produk untuk meningkatkan
densitas sel dalam reaktor, atau dengan menggunakan teknologi fermentasi kontinu
(Gregg dan Saddler 1995).
d. Pemurnian
Proses pemurnian etanol dapat dilakukan dengan cara kimia dan fisika. Cara
kimia dengan menggunakan batu gamping. Sedangkan cara fisika ditempuh dengan
proses penyerapan menggunakan zeolit sintetis.
Batu gamping adalah batu yang terbuat dari pengendapan cangkang kerang dan
siput, foraminifera atau ganggang. Batu itu berwarna putih susu, abu-abu muda, abu-abu
tua, cokelat, atau hitam, tergantung keberadaan mineral pengotornya. Mineral karbonat
yang umum ditemukan berasosiasi dengan kapur adalah aragonit. Ia merupakan mineral
metastable karena pada kurun waktu tertentu dapat berubah menjadi kalsit. Mineral
lainnya siderit, ankarerit, dan magnesit, tapi ketiganya berjumlah sangat sedikit.Batu
gamping bersifat higroskopis, artinya mempunyai kemampuan untuk menyerap air.
Karena itulah ia mampu mengurangi kadar air dalam bioetanol. Sebelum digunakan
sebaiknya batu gamping ditumbuk hingga jadi tepung agar penyerapan air lebih cepat.
Perbandingannya untuk 7 liter bioetanol diperlukan 2-3 kg batu gamping. Campuran itu
didiamkan selama 24 jam sambil sesekali diaduk. Selanjutnya, campuran diuapkan dan
diembunkan menjadi cair kembali sebagai etanol berkadar 99% atau lebih. Bioetanol
inilah yang bisa dicampur dengan bensin atau digunakan murni.Walaupun prosesnya
sangat mudah, tapi penggunaan batu gamping memiliki beberapa kelemahan. Di
antaranya jumlah etanol yang hilang sangat tinggi, mencapai 30%. alkohol itu tidak dapat
keluar karena terikat pada pori-pori gamping. Akibatnya etanol pun hilang sampai 30%,
Alternatif lain, pemurnian bioetanol dengan zeolit sintetis. Proses pemurnian itu
menggunakan prinsip penyerapan permukaan. Zeolit adalah mineral yang memiliki poripori berukuran sangat kecil. Di alam, zeolit terbentuk dari abu lahar dan materi letusan
gunung berapi. Zeolit juga bisa terbentuk dari materi dasar laut yang terkumpul selama
ribuan tahun.Untuk pemurnian bioetanol, sebaiknya digunakan zeolit sintetis 3A.
Maksudnya zeolit yang berukuran 3 angstrom (1 angstrom = 1,0 x10-10 m red).
Dibandingkan zeolit alam dan sintetis lainnya, zeolit sintetis 3A memiliki beberapa
keunggulan. Di antaranya ruang terbuka pada pori-porinya mencapai 47% lebih banyak,
memiliki kemampuan untuk menukar molekul sodium, dan mampu mengikat air. Partikel
air berukuran 3 angstrom sehingga dapat diserap zeolit. Sedangkan partikel etanol
berukuran lebih besar 4,4 angstrom sehingga tidak bisa diserap oleh zeolit. Karena itu
ketika etanol 95% dilewatkan pada sebuah tabung berisi zeolit, kadar etanol bisa
meningkat karena airnya diikat oleh zeolit. Proses itu terjadi karena pori-pori zeolit
bersifat molecular shieves. Artinya, molekul zeolit hanya bisa dilalui oleh partikelpartikel berukuran tertentu.
Ada beberapa kendala untuk proses pembuatan etanol secara keseluruhan, yaitu
penguasaan teknologi konversi biomassa lignoselulosa menjadi etanol dan biaya
produksi yang masih tinggi. Diperlukan kebijakan pemerintah agar dapat mendorong
pemanfaatan ampas tebu sebagai bahan baku bioetanol, antara lain melalui penelitian dan
pengembangan, pemberian insentif bagi pabrik gula yang memanfaatkan ampas tebu
untuk bioetanol, dan subsidi harga etanol dari biomassa lignoselulosa.
4. POTENSI PENGEMBANGAN
a. Hasil Akhir
Produksi bioetanol dengan menggunakan lignoselulosa ampas tebu merupakan
alternatif yang sangat baik untuk menyelesaikan masalah kebutuhan akan energi untuk
masyarakat. Dimana, lignoselulosa teridiri atas lignin, selulosa dan hemiselulosa.
Ketiganya merupakan struktur penyusun dinding sel pada tumbuhan. Lignoselulosa
berpotensi untuk menghasilkan bioetanol karena pada proses pembuatannya dilakukan
fermentasi, hasil dari fermentasi tersebut adalah CO2 dan etanol yang nantinya dapat
digunakan sebagai bahan campuran premium
Terdapat banyak ide yang bermunculan untuk mengatasi masalah penciptaan
teknologi yang dapat menghasilkan bahan bakar dari bahan-bahan hasil pertanian.
Misalnya jagung, dan singkong bahan-bahan hasil pertanian tersebut berpotensi untuk
dapat menghasilkan bioetanol yang baik. Namun, untuk dapat dikonsumsi masih
bersaing dengan kebutuhan pangan. Maka, perlu adanya gagasan mengenai bahan dasar
bioetanol yang ditad menggunakan bahan pangan. Agar kebutuhan pangan dapat
terpenuhi dan kebutuhan akan energi juga dapat terpenuhi.
Selain bersaing dengan kebutuhan pangan, posisi ampas tebu untuk dijadikan
etanol juga bersaing dengan hasil sampingan industri pertanian lainnya. Namun,
dibandingkan dengan bahan lignoselulosa lain yang banyak tersedia sebagai hasil
samping industri pertanian seperti jerami padi, tandan kosong kelapa sawit, ampas tebu
memiliki kelebihan. Terutama dalam bentuk dan ukuran bahan. Ampas tebu dari pabrik
gula sudah merupakan pastikel yang kecil yang dalam prosesnya tidak lagi
membutuhkan proses perlakuan pendahuluan secara fisika berupa pencacahan atau
penggilingan. Ampas tebu dapat langsung diberikan perlakuan pendahuluan lanjutan
untuk mendegradasi lignin dalam bahan. Namun, masih terdapat beberapa kelemahan
dalam proses produksinya. Dalam proses pengolahannya dilakukan sakarifikasi, yaitu
untuk mengubah selulosa menjadi selobiosa dan kemudian menjadi gula sederhana.
Dalam proses sakarifikasi dibutuhkan enzim yang cukup mahal, sehingga dibutuhkan
beberapa reset untuk mendapatkan enzim yang lebih efisien dalam segi biaya untuk
proses sakarifikasi ini.
Lignoselulosa dari ampas tebu juga memiliki kelebihan dibandingkan dengan
hasil industri pertanian yang mengandung glukosa lainnya. Ampas tebu mampu
menghasilkan 614.827 kL/tahun. Hasil akhir bioetanol dari ampas tebu juga cukup
berpotensi untuk membantu masalah energi dibandingkan dengan bahan lainnya.
Misalnya, Sorgum atau jagung. Selain keduanya merupakan bahan pangan sehingga
kebanyakan masyarakat lebih memilih keduanya untuk dijadikan bahan makanan. Selain
itu, banyak bioetanol yang dihasilkan juga lebih banyak. Bioetanol yang dapat dihasilkan
oleh sorgum adalah sekitar 2500-7000 L/ha, sedangkan jagung dapat menghasilkan
3100-4000 L/ha. Ampas tebu lebih unggul yaitu dapat menghasilkan 6800-8000 L/ha.
Selain itu, berdasarkan penemuan terbaru didapatkan penghasilan bioetanol dari
bakteri termofilik yang dapat menghasilkan enzim lignoselulase dan tahan terhadap suhu
yang tinggi. Terkadang, dalam pembuatan bioetanol dengan limbah pertanian kurang
efisiennya proses terdapat pada keberadaan enzim lignoselulosa yang tahan pada shu
tinggi tidak terdapat pada hasil sampingan dindustri pertanian tersebut. Namun, sebuah
gagasan baru menyebutkan efisiensi pembuatan bioetanol dapat dilakukan dengan
menambahkan bakteri yang tahan padas untuk mengkonversikan selulosa. Bakteri
tersebut diketahui memiliki kemampuan menghasilkan enzim lignoselulosa dan sifatnya
tahan akan suhu yang tinggi. Selain itu, bakteri ini juga unggul untuk menunjang
produksi skala industri. Karena bakteri ini tahan akan suhu yang tinggi serta memiliki
waktu pembelahan yang cepat, pembelahan ini dapat dikultur dengan sistem fermentasi
dengan dilakukannya pengadukan. Enzim yang dihasilkan bakteri pun lebih mudah untuk
dipanen.
b. Ide Cara Peningkatan Kualitas Hasil
Untuk meningkatkan hasil dari proses produksi bioethanol dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut :
1. Proses Pretreatment
a. Menggunakan pretreatment biologi,
Penggunaan pretreatment ini disarankan karena sifatnya yang ramah
lingkungan dan telah banyak diteliti untuk pengembangannya agar leih efektif. Alasan
penggunaan
metode
tersebut
adalah
karena
sifatnya
yang
ramah
penambahan
Trichoderma
menghidrolisis hemiselulosa yang ada di dalam bagas ( ampas tebu) pada produksi
bioethanol. Jika tanpa menggunakan enzyme xylase pada proses hidrolisis
hemiselulosa yang terurai sehingga tidak ada etanol yang terbentuk, sedangkan
apabila menggunakan enzyme xylase pada proses hidrolisis didapatkan konsentrasi
etanol sebesar 3,202 g/L atau 5,6 % per massa bagas dibandingkan tanpa perlakuan
sebesar 2,709 g/L atau 4,7 % per massa bagas.. Sedangkan Menurut Saparianti,dkk
(2004) Peningkatan jumlah dan aktivitas enzim menyebabkan semakin banyak
ikatan penyusun
selulosa
(-1-4-glikosida)
yang terputus
menghasilkan
dikombinasi
agar
produksi
glukosa
menigkat.Perlu
diingat
hidrolisis enzimatik jerami padi dimana produk akhir yang dihasilkan berupa
glukosa.
DAFTAR PUSTAKA
Anita, Sita Haris,Triyani Fajriutami, Fitria, Riksfardini Annisa Ermawar,Dede Heri
YuliYanto, dan
Agustin
Krisna
dan
Indah
Kusumawardini.2012.
Pretreatment
Ampas