1. A. Judul Program
Pengoptimalan kertas HVS bekas dengan menggunakan metode hidrolisis enzim selulase dari trichoderma
viride sebagai penghasil bioetanol
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan
Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti BBM (Prihandana, 2007).
Dimana sumber energi alternatif tersebut dapat digunakan sebagai pengganti BBM yang jumlahnya sangat terbatas.
Kebijakan energi nasional menargetkan pada tahun 2000-2025 sebesar 5% kebutuhan energi nasional harus dapat
dipenuhi melalui pemanfaatan biofuel sebagai energi baru. Salah satu sumber energi alternatif yang dapat digunakan
adalah bioetanol yang dapat dihasilkan dari berbagai tanaman.
Bioetanol dapat dihasilkan dari berbagai tanaman, maupun bahan yang terdapat glukosa. Namun, bahan lain yang
merupakan penghasil selulosa dapat juga digunakan sebagai bioetanol bila dihidrolisis terlebih dahulu menjadi
glukosa. Kertas sebagai material yang mengandung kandungan selulosa yang cukup tinggi, merupakan salah satu
alternatif bahan baku yang potensial untuk dapat dikonversikan menjadi etanol (Taruna dkk, 2010). Kertas bekas
yang telah digunakan untuk aktivitas manusia dapat dimanfaatkan sebagai sumber penghasil etanol.
Konsumsi kertas di Indonesia terus meningkat satu kilogram (kg) per kapita tahun atau sekitar 220 ribu ton. Kertas
yang telah digunakan, biasanya hanya akan dibuang dan menjadi tumpukan sampah yang menimbulkan masalah
baru seperti pembakaran kertas yang dapat menimbulkan efek rumah kaca, menipisnya lapisan ozon, menimbulkan
bau yang tidak sedap, dll.
Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan penggunaan kertas bekas, dilakukan hidrolisis selulosa kertas dengan enzim
selulase dari trichoderma viride menjadi glukosa. Glukosa hasil hidrolisis difermentasi dengan saccharomyces
cereviseae dariyeast untuk menjadi bioetanol. Bioetanol berfungsi sebagai sumber energi alternatif pengganti BBM.
1. C. Perumusan masalah
Proses produksi bioetanol memerlukan bahan yang mengandung glukosa untuk dapat difermentasi. Namun, dalam
kehidupan sehari-hari banyak bahan hasil aktivitas tak terpakai yang dapat diubah menjadi glukosa. Kertas HVS
merupakan bahan penghasil selulosa cukup tinggi yang dapat dihidrolisis menjadi glukosa. Material ini dihidrolisis
dengan enzim selulase dari trichoderma viride. Hidrolisis enzimatis dengan enzim selulase memiliki beberapa
keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses
yang dibutuhkan lebih lunak (suhu rendah, pH netral), dapat dilakukan pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer,
berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relative rendah karena tidak ada bahan
yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007), selain itu, hidrolisis enzimatis ini tidak menggunakan asam sehingga
ramah lingkungan. Trichoderma viride digunakan karena mudah didapatkan dan menghasilkan enzim selulase yang
cukup tinggi.
1. D. Tujuan Program
Penelitian ini bertujuan untuk membuat bioetanol dengan menggunakan selulosa kertas HVS bekas melalui
hidrolisis enzim selulase dari trichoderma viride dan fermentasi glukosa dengan saccharomyces
cereviseae dari yeast.
1. F. Kegunaan Program
1. Memperoleh produk bioetanol sebagai sumber energi alternatif pengganti BBM.
2. Mengurangi limbah kertas HVS hasil pemakaian dalam perkantoran dan kehidupan sehari-hari,
dimana menimbulkan masalah baru seperti pembakaran kertas yang dapat menimbulkan efek
rumah kaca, menipisnya lapisan ozon, menimbulkan bau yang tidak sedap, dll.
3. Salah satu solusi efektif dalam mengatasi krisis atau kelangkaan sumber energi yang terjadi di
Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya.
4. Mengurangi dampak pencemaran dan bahaya lingkungan akibat penggunaan asam pada hidrolisis
selulosa menjadi glukosa.
G. Tinjauan Pustaka
Komposisi kertas HVS sebagian besar terdiri dari selulosa dibandingkan dengan kandungan lignin atau
hemiselulosa. Kandungan selulosa pada kertas HVS, mampu mencapai 90% berat. Makin tinggi kandungan selulosa
pada kertas maka jumlah glukosa yang dihasilkan pada proses hidrolisis akan lebih besar sehingga akan
memungkinkan jumlah etanol yang terproduksi juga akan semakin besar (Taruna,dkk. 2010).
Jumlah etanol yang rendah yang dihasilkan dari pengolahan kertas buram, dikarenakan jumlah lignin yang cukup
besar yang dikandung oleh kertas buram. Lignin merupakan komponen fenolik yang tidak mengandung gugus
glukosa, maka produk degradasi lignin tidak dapat difermentasikan menjadi alkohol (Taruna, dkk.2010).
Komponen Lignoselulosa
Selulosa
Selulosa adalah salah satu komponen utama dari lignoselulosa yang terdiri dari unit monomer D-glukosa yang
terikat pada ikatan 1,4-glikosidik. Selulosa cenderung membentuk mikrofibril melalui ikatan inter dan intra
molekuler sehingga memberikan struktur yang larut. Mikrofibril selulosa terdiri dari 2 tipe, yaitu kristalin dan
amorf.
Selulosa adalah karbohidrat yang paling melimpah dan mudah diperbarui. Akhir-akhir ini, banyak peneliti
mengungkapkan bahwa limbah yang mengandung selulosa dapat digunakan sebagai sumber gula yang murah dan
mudah didapat untuk menggantikan bahan pati dalam proses fermentasi (Graf & Koehler, 2000). Sumber selulosa
yang dapat digunakan diantaranya adalah sisa-sisa produk pertanian dan hasil hutan, kertas bekas, dan limbah
industri (White, 2000).
Hemiselulosa
Hemiselulosa merupakan salah satu penyusun dinding sel tumbuhan selain selulosadan lignin, yang terdiri dari
kumpulan beberapa unit gula atau disebut heteropolisakarida, dan dikelompokkan berdasarkan residu gula utama
sebagai penyusunnya seperti xylan, mannan, galactan dan glucan.Hemiselulosa terikat dengan polisakarida, protein
dan lignin dan lebih mudah larut dibandingkan dengan selulosa.
Lignin
Lignin adalah bagian utama dari dinding sel tanaman yang merupakan polimer terbanyak setelah selulosa. Lignin
yang merupakan polimer aromatik berasosiasi dengan polisakarida pada dinding sel sekunder tanaman dan terdapat
sekitar 20-40% .Komponen lignin pada sel tanaman (monomer guasil dan siringil) berpengaruh terhadap pelepasan
dan hidrolisis polisakarida (Anindyawati, T. 2009).
Selulase
Selulase dapat diproduksi oleh fungi, bakteri, dan ruminansia.Produksi enzim secara komersial biasanya
menggunakan fungi atau bakteri. Fungi yang bisa menghasilkan selulase antara lain genus Tricoderma, Aspergillus,
dan PenicilliumSedangkan bakteri yang bisa menghasilkan selulase adalah Pseudomonas, Cellulomonas, Bacillus,
Micrococcus, Cellovibrio, dan Sporosphytophaga. (Saadahdkk.,2007).
Tricodherma viridae
Trichoderma viride merupakan kelompok fungi tanah sebagai penghasil selulase yang paling efisien (Davidek et al.,
1990). Aplikasi selulase sangat terpakai di dunia industri, dimana enzim ini dapat mengkonversi materi biomassa
suatu tumbuhan seperti selulosa menjadi bioproduk yang berguna seperti gula (glukosa) dan bioetanol.(Rapp et al.
1981; Srivastava et al. 1984; Schmid et al. 1987; Kwon et al. 1992; Saha et al. 1995). Keuntungan fungi tersebut
sebagai sumber selulase adalah menghasilkan selulase lengkap dengan semua komponen-komponen yang
dibutuhkan untuk hidrolisis total selulosa kristal dan protein selulosa yang dihasilkan cukup tinggi.
Trichoderma viride banyak digunakan dalam penelitian karena memiliki beberapa keuntungan, dinataranya adalah:
1. Selulase yang diperoleh mengandung semua komponen-komponen yang diperlukan untuk proses hidrolisis
seluruh kristal selulosa. 2. Protein selulase dihasilkan dalam kualitas sangat tinggi. Dijelaskan oleh Gilbert dan Tsao
(1983), selulase yang dihasilkan oleh Trichoderma viride mengandung komponen terbesar berupa selobiase dan -
1,4-glukan-selobiohidrolase (C1), sementara -1,4-glukan-selobiohidrolase (Cx) terdapat dalam jumlah kecil.
Selulase yang diproduksi mengandung asam-asam amino tertentu, yaitu : 1. Golongan asam amino yang bersifat
asam : aspartat dan glutamat. 2. Golongan asam amino polar : serin, treonin, dan glisin. 3. Sebagian kecil asam
amino dasar. 4. Sebagian kecil golongan asam amino sulfur. Semua enzim ini bersifat hidrolitik dan bekerja baik
secara berturut-turut atau bersamaan. Selobiohidrolase adalah enzim yang mempunyai afinitas terhadap selulosa
tingkat tinggi yang mampu memecah selulosa kristal. Sedangkan endoglukanase bekerja pada selulosa amorf
(Coughalan, 1989). Selanjutnya dijelaskan selobiohidrolase memecah selulosa melalui pemotongan ikatan hidrogen
yang menyebabkan rantai-rantai glukosa mudah untuk dihidrolisis lebih lanjut. Hidrolisa selanjutnya berlangsung
sehingga diperoleh selobiosa dan akhirnya glukosa dilakukan oleh enzim glukonase dan glukosidase.
Keunggulan keunggulan inilah yang menyebabkan Trichoderma viride dapat dimanfaatkan dalam usaha untuk
meningkatkan efesiensi pembuatan bioetanol.
Saccharomyces cereviseae
Saccharomyces cerevisiae dapat memproduksi etanol dalam jumlah besar dan mempunyai toleransi terhadap alkohol
yang tinggi. Selain Saccharomyces cerevisiae, Zymomonas mobilis juga sangat potensial, namun bakteri ini perlu
dikembangkan lebih lanjut, karena toleransinya yang rendah terhadap garam dalam media dan membutuhkan media
yang steril, sehingga menyulitkan untuk aplikasi skala industri (Iida, dkk., 1993; Saroso, 1998; Hepworth, 2005).
Oleh karena itu Ragi (Saccharomyces cerevisiae) adalah mikroorganisme penghasil etanol yang paling dikenal saat
ini. Efisiensi fermentasi dapat ditingkatkan dengan cara mengamobilisasi sel mikroorganisme yang digunakan.
Amobilisasi sel bertujuan untuk membuat sel menjadi tidak bergerak atau berkurang ruang geraknya sehingga sel
menjadi terhambat pertumbuhannya dan subtrat yang diberikan hanya digunakan untuk menghasilkan produk.
Kompleksnya kandungan yang terdapat pada limbah kertas harus diperhatikan. Karena kekompleksan ini bisa
menjadi kendala utama dalam memproduksi selulosa pada limbah kertas. Lignin dan Hemiselulosa pada kertas
menjadi salah satu faktor penghalang utama pada reaksi hidrolisis selulosa (Xiang et.al.,2003). Struktur lignin
sangat kuat karena tersusun dari gugus aromatik yang sangat panjang. Setiap gugus aromatik yang terdapat pada
lignin dihubungkan oleh rantai karbon yang memiliki gugus eter. Akibatnya selulosa dan hemiselulosa sukar diurai
menjadi glukosa. Adanya lignin yang masih menutupi atau melindungi selulosa dan hemiselulosa sehingga enzim
selulase tidak dapat masuk dan berikatan dengan selulosa (Elba, 2006).
Selain komponen lignin dan hemiselulosa, jenis pengotor lainnya yaitu toner, pigmen, kandungan logam pada
kertas, dan beberapa pengotor lainnya, juga akan mempengaruhi jumlah etanol yang dihasilkan. Dengan tingginya
kandungan pengotor pada kertas akan menghambat laju reaksi hidrolisis pada kertas (Taruna dkk.,2010). Jika limbah
kertas langsung memasuki tahap hidrolisis tentu akan sangat mengurangi produksi etanol yang dihasilkan karena
faktor pengotor tersebut. Oleh karena itu, butuh perlakuan awal sebelum proses hidrolisis agar didapatkan selulosa
yang sangat mudah untuk dihidrolisis pada tahap selanjutnya. Selulosa yang mengalami tahap pretreatment akan
menunjukkan laju reaksi hidrolisis yang lebih cepat jika dibandingkan dengan selulosa yang tidak mengalami tahap
pretreatment (Xianget.al.,2003). Dengan adanya tahap perlakuan awal maka struktur lignoselulosa menjadi struktur
yang acak dan relatif lebih terbuka sehingga memudahkan akses enzim selulase dalam menguraikan selulosa
menjadi glukosa (Elba, 2006).
Menurut Hendra Taruna dkk.(2010), ada dua alternatif utama untuk mendapatkan selulosa dari limbah kertas HVS
yang susceptible untuk reaksi hidrolisis. Alternatif pertama dengan merubahnya kembali menjadi pulp dengan
proses alkaline peroxide bleaching. Alternatif kedua adalah dengan hanya merubah struktur selulosa yang kristalin
menjadi amorf dengan penambahan asam sulfat.
Untuk memudahkan proses ini, HVS yang bertinta dan tidak bertinta dipisahkan. Klasifikasi limbah kertas
berdasarkan jenis tinta bertujuan untuk mengetahui efek tinta terhadap jumlah etanol yang dihasilkan (Tarunadkk,
2010).
Ada dua metode yang digunakan untuk proses pretreatment limbah kertas HVS ini yaitu peroxide
pretreatment dan acid pretreatment. Limbah kertas HVS yang mengandung tinta fleksografi berwarna menghasilkan
jumlah etanol lebih tinggi jika dibandingkan dengan kertas yang dicetak dengan elektrofotografi, hal tersebut
mengindikasikan bahwa tinta berwarna mengandung pigmen organik yang lebih mudah terdegradasi pada
proses acid pretreatment. Tinta ini merupakan bahan yang dapat larut dalam larutan alkali sehingga proses
penghilangan tinta dapat dilakukan dengan lebih mudah.
Sedangkan pada proses peroxide bleaching pada suasana basa, hidrogen peroksida akan bereaksi sebagai radikal
OH ataupun ion OOH yang merupakan produk dekomposisi dari hidrogen peroksida (Ensiklopedia, 1995). Radikal
dan ion yang tebentuk akan menyerang gugus aromatik pada lignin dan pada tinta organik, yang umumnya
merupakan senyawaan aromatik yang memiliki ikatan rangkap yang mudah terdekomposisi melalui reaksi oksidasi
ataupun reduksi oleh hidrogen peroksida (Tarunadkk,2010).
Tahap peroxide pretreatment menghasilkan jumlah etanol yang lebih rendah jika dibandingkan dengan pengolahan
limbah kertas HVS dengan menggunakan metodeacid pretreatment. Rendahnya jumlah etanol yang dihasilkan pada
proses peroxide pretreatment diakibatkan terjadinya fiber loss. Terjadinya fiber loss disebabkan adanya reaksi
oksidasi ataupun mekanisme reaksi peeling dan chain scission oleh peroksida yang akan menurunkan jumlah
selulosa yang terhidrolisis. Reaksi peeling dan chain scission terjadi karena terbentuknya oksigen pada peroxide
pretreatment, di mana oksigen ini juga dapat merusak struktur monosakarida sehingga berefek pada penurunan
jumlah etanol yang dihasilkan (Taruna, H., dkk., 2010). Oleh karena itu, metode acid pretreatment lebih mudah
digunakan dan jumlah etanol yang diperoleh lebih banyak daripada metode peroxide pretreatment.Pada acid
pretreatment struktur lignin terdegradasi sehingga selulosa mudah diperoleh.
Hidrolisis Selulosa
Setelah melalui proses pretreatment pada limbah kertas HVS, kemudian dilakukan proses hidrolisis dari selulosa
yang diperoleh dari tahap awal. Hidrolisis selulosa merupakan proses pemutusan ikatan b-1,4-glikosida pada
selulosa. Proses hidrolisis ini merupakan proses penting untuk menghasilkan etanol yang dapat dibuat dari
fermentasi glukosa yang diperoleh dari hasil hidrolisis selulosa. Hidrolisis selulosa dari limbah kertas HVS akan
menghasilkan etanol yang cukup banyak dikarenakan kandungan selulosa pada kertas HVS ini mencapai 90%
(Tarunadkk, 2010).
Proses hidrolisis selulosa dapat dilakukan dengan metode hidrolisis asam dan enzimatis. Secara teoritis, proses
hidrolisis dengan menggunakan asam sulfat dengan konsentrasi yang rendah akan menghasilkan yield glukosa
hingga 50% dalam waktu yang cukup singkat (Xiang et.al.,2003). Rendahnya yield glukosa ini disebabkan oleh
adanya degradasi gula hasil hidrolisis yang terbentuk karena temperatur reaksi yang digunakan sangat tinggi
.Temperatur yang dibutuhkan adalah mencapai 200oC.Degradasi gula tersebut tidak hanya menurunkan konversi
reaksi, namun juga dapat meracuni mikroorganisme pada saat reaksi fermentasi pada pembentukan etanol (Anonim,
2010).
Penggunaan asam pekat untuk proses hidrolisis selulosa dilakukan pada temperatur yang lebih rendah daripada asam
encer.Temperatur reaksi adalah 100oC dan membutuhkan waktu reaksi antara 2 dan 6 jam.Temperatur yang lebih
rendah meminimalisasi degradasi gula.Penggunaan asam pekat ini memiliki keuntungan yaitu konversi gula yang
dihasilkan tinggi bisa mencapai konversi 90% (Badger, 2002).Kekurangan reaksi ini adalah waktu reaksi yang
dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan penggunaan asam sulfat encer dan membutuhkan proses pencucian
yang baik untuk mencapai pH reaksi sebelum ditambahkan mikroba pada proses fermentasi pembentukan etanol.
Penggunaan asam sulfat juga dibutuhkan pada proses netralisasi yang menghasilkan limbah gypsum atau kapur yang
sangat banyak dan dapat mencemari lingkungan (Taherzadeh & Karimi, 2007).
Aplikasi hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan
tahap hidrolisis enzim pada selulosa. Hidrolisis enzimatis memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis
asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH
netral) dapat dilakukan pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer, berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan
biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007),
efisisensi reaksi tinggi karena enzim bersifat selektif sehingga pembentukan produk samping dapat diminimalisasi.
Kelemahan menggunakan enzim memang memerlukan waktu yang lebih lama daripada dengan menggunakan asam
tetapi lebih ramahlingkungan.Waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 72 jam.
Oleh karena itu, jika melihat suatu proses yang mengarah pada Green Chemistrydan hasil yang lebih baik ,metode
hidrolisis dengan menggunakan enzim lebih baik digunakan daripada menggunakan hidrolisis asam.
Proses ini merupakan tahap lanjut dari proses hidrolisis selulosa dengan asam ataupun enzim yang menghasilkan
glukosa. Setelah proses hidrolisis kemudian dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk
mengkonversi menjadi etanol.
Proses hidrolisis dan fermentasi ini akan sangat efisien dan efektif jika dilaksanakan secara berkelanjutan tanpa
melalui tenggang waktu yang lama, hal ini yang sering dikenal dengan istilah Simultaneous Sacharificatian
danFermentation (SSF) (Samsuri dkk., 2007).
SSF yaitu kombinasi antara hidrolisis menggunakan enzim selulase dan yeast S. cerevisiae untuk fermentasi gula
menjadi etanol secara simultan. Proses SSF sebenarnya hampir sama dengan dengan proses yang terpisah antara
hidrolisis dengan enzim dan proses fermentasi, hanya dalam proses SSF hidrolisis dan fermentasi dilakukan dalam
satu reaktor (Takagiet. al, 1977).
Keuntungan dari proses ini adalah polisakarida yang terkonversi menjadi monosakarida tidak kembali menjadi
poliskarida karena monosakarida langsung difermentasi menjadi etanol. Selain itu, dengan menggunakan satu
reaktor dalam prosesnya akan mengurangi biaya peralatan yang digunakan (Samsuridkk., 2007).
H.2.1. Peralatan
Peralatan yang digunakan adalah adalah peralatan gelas, fermentor, destilat, evaporator, gelas beker, pipet tetes.
H.2.2. Bahan-bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah asam pekat, trichoderma viride, yeast/ragi, dan air
Hidrolisis Asam
Penggunaan asam pekat untuk proses hidrolisis selulosa dilakukan pada temperatur yang lebih rendah
daripada asam encer. Temperatur reaksi adalah 100oC dan membutuhkan waktu reaksi antara 2 dan 6 jam.
Temperatur yang lebih rendah meminimalisasi degradasi gula. Penggunaan asam pekat ini adalah memiliki
keuntungan yaitu konversi gula yang dihasilkan tinggi bisa mencapai konversi 90% (Badger, 2002). Kekurangan
reaksi ini adalah waktu reaksi yang dibutuhkan lebih lama dibandingkan dengan penggunaan asam sulfat encer dan
membutuhkan proses pencucian yang baik untuk mencapai pH reaksi sebelum ditambahkan mikroba pada proses
fermentasi pembentukan etanol.
Hidrolisis Enzimatis
Hidrolisis menggunakan enzim secara sederhana dilakukan dengan mengganti tahap hidrolisis asam dengan tahap
hidrolisis enzim pada selulosa. Hidrolisis enzimatis dengan enzim selulase memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan hidrolisis asam, antara lain: tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang
dibutuhkan lebih lunak (suhu rendah, pH netral), dapat dilakukan pada temperatur ruang dan tekanan atmosfer,
berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relative rendah karena tidak ada bahan
yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007), selain itu, hidrolisis enzimatis ini tidak menggunakan asam sehingga
ramah lingkungan.
Setelah proses hidrolisis selulosa dengan asam ataupun enzim yang menghasilkan glukosa kemudian
dilakukan fermentasi menggunakan yeast seperti S. cerevisiae untuk mengkonversi menjadi etanol.
Etanol hasil fermentasi kemudian di destilasi dan dilakukan dehidrasi untuk menghilangkan air.
http://www.indobioethanol.com/
penting !