Anda di halaman 1dari 29

A.

JUDUL :
ISOLASI BAKTERI TERMOFILIK PENDEGRADASI SELULOSA DARI
KOMPOS

B. LATAR BELAKANG
Selulosa merupakan polimer linier glukan dengan struktur rantai yang
seragam. Unit – unit terikat dengan ikatan β – 1,4 glikosidik. Dua unit glukosa yang
berdekatan bersatu dengan mengeliminasi satu molekul air di antara gugus hidroksil
pada karbon 1 dan karbon 4. Selulosa adalah salah satu biopolimer yang melimpah di
alam, bersama dengan lignin pada bahan-bahan yang berasal dari tanaman dan
kompos. Selulosa yang berasal dari tanaman memiliki strukur yang komplek dan
berasosiasi dengan hemiselulosa dan lignin, selulosa yang terdapat pada kompos atau
limbah pertanian mencapai 15-40% dan sulit untuk didegradasi secara alami dan
memerlukan waktu 4-5 bulan (Klemm et al., 2006).
Bakteri selulolitik adalah salah satu mikroorganisme yang mampu
menghasilkan enzim selulase. Fungsi bakteri selulolitik adalah untuk menghidrolisis
selulosa menjadi produk yang lebih sederhana yaitu glukosa (David et al., 2012).
Bahan organik yang mengandung selulosa merupakan substrat bagi pertumbuhan
bakteri selulolitik, sehingga dimungkinkan bakteri selulolitik juga terdapat pada
kompos yang kandungan selulosanya tinggi. Bakteri selulolitik secara alami terdapat
pada lahan pertanian, hutan, kompos, tanaman yang telah melapuk, atau pada serasah
daun (David et al., 2012).
Proses pembuatan kompos terjadi aktifitas mikroorganisme yang merombak
unsur-unsur yang ada pada kompos, mikroorganisme merupakan faktor terpenting
dalam proses pengomposan, mikroorganisme berfungsi untuk merombak bahan
organik menjadi kompos. Selama proses pengomposan bahan organik diubah menjadi
karbondioksida dan air, disertai dengan pembebasan energi oleh mikroba. Sebagian
energi tersebut dipergunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan selnya dan
sebagian lain menyebabkan peningkatan suhu (Yuniwati et al., 2012).

1
Pada pengomposan terjadi 3 proses yang dilakukan oleh mikroorganisme
yaitu mikroorganisme mesofilik dan termofilik, selulosa yang terdapat pada kompos
didegradasi oleh mikroorganisme termofilik menjadi gula-gula yang lebih sederhana
dengan waktu yang cepat dan proses degradasi tidak bertahan lama karna suhu
kompos semakin menurun, suhu yang diperlukan mikrooganisme termofilik antara
45-60oC semakin tinggi suhu kompos maka proses degradasi yang dilakukan semakin
baik. Oleh karena itu perlu dilakukan isolasi bakteri pendegradasi selulosa yang tahan
pada suhu 45-60oC. Mikroorgaisme termofilik merupakan mikroorganisme yang
tahan terhadap suhu tinggi dengan suhu optimum pertumbuhan mencapai lebih dari
60oC. Salah satu pemanfaatan mikoorganisme termofilik yaitu sebagai penghasil
berbagai enzim yang bersifat termostabil. Enzim yang dapat dihasilkan dari
mikroorganisme termofilik antara lain selulase (David et al., 2012).
Karakterisasi bakteri selulolitik termofilik dari kompos diperlukan untuk
mengetahui jumlah bakteri penghasil enzim selulase yang tumbuh pada media CMC.
Langkah kerjanya dengan mengisolasi bakteri selulolitik termofilik dari kompos serta
identifikasi bakteri yang dihasilkan menggunakan indikator congo red.
Penelitian yang dilakukan oleh Faesal et al., (2017) tentang seleksi efektifitas
bakteri decomposer terhadap limbah tanaman jagung, didapatkan hasil isolasi bakteri
yaitu Bacillus sp., Pseudomonas sp., Eschericia sp. dan Micrococcus sp. Penelitian
yang dilakukan oleh Sizova et al., (2011) tentang degradasi selulosa dan xylan dari
biokompos didapatkan hasil aktifitas selulosa yang cukup signifikan pada jam ke-60
pertumbuhan bakteri mencapai titik puncaknya.
Temesi Recycling merupakan tempat penampungan akhir pembuangan
sampah dan diolah menjadi kompos, salah satu bahan utamanya adalah sampah
organik dan batok kelapa, selain didaerah temesi sampel kompos juga diambil di
Desa Curahdami dengan bahan utama pembuatan kompos adalah kotoran sapi dan
jerami. Berdasarkan penelitian sebelumnya tentang isolasi bakteri selulolitik dari
bahan tersebut menunjukkan adanya aktifitas bakteri selulolitik.

2
C. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah bakteri-bakteri yang diisolasi dari kompos mempunyai kemampuan
mendegradasi selulosa pada suhu 37 0C dan 55 0C?
2. Bagaimanakah kemampuan isolat dalam mendegradasi selulosa?

D. TINJAUAN PUSTAKA
D.1 Kompos
Kompos adalah bahan organik yang dibusukkan pada suatu tempat yang
terlindung dari matahari dan hujan, diatur kelembabannya dengan menyiram air bila
terlalu kering. Untuk mempercepat perombakan dapat ditambah kapur, sehingga
terbentuk kompos dengan C/N rasio rendah yang siap untuk digunakan. Bahan untuk
kompos dapat berupa sampah atau sisa – sisa tanaman tertentu (jerami dan lain - lain)
(Roidah, 2013).
Bahan organik yang dapat digunakan sebagai kompos dapat berasal dari
limbah hasil pertanian dan non pertanian (limbah kota dan limbah industri). Limbah
hasil dari pertanian antara lain berupa sisa tanaman (jerami dan brangkasan), sisa
hasil pertanian (sekam, dedak padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan blotong).
Limbah kota atau sampah organik kota biasanya dikumpulkan dari pasar atau sampah
rumah tangga dari daerah pemukiman serta taman-taman kota. Kompos dapat
diperkaya dengan kotoran sapi yang merupakan sumber unsur hara makro dan mikro
yang lengkap (Widarti et al., 2015)
Kompos mengalami tiga tahap proses pengomposan yaitu pada tahap pertama
penghangatan (tahap mesofilik), mikroorganisme hadir dalam bahan kompos secara
cepat dan temperatur meningkat. Mikroorganisme mesofilik hidup pada temperatur
10-45oC dan bertugas memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas
permukaan bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Pada tahap
kedua yaitu tahap termofilik, mikroorganisme termofilik hadir dalam tumpukan
bahan kompos. Mikroorganisme termofilik hidup pada tempratur 45-60oC dan
bertugas mengkonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat. Mikroorganisme ini berupa Actinomycetes dan jamur

3
termofilik. Sebagian dari Actinomycetes mampu merombak selulosa dan
hemiselulosa. Kemudian proses dekomposisi mulai melambat dan temperatur puncak
dicapai. Setelah temperatur puncak terlewati, tumpukan mencapai kestabilan, dimana
bahan lebih mudah terdekomposisikan. Tahap ketiga yaitu tahap pendinginan dan
pematangan. Pada tahap ini, jumlah mikroorganisme termofilik berkurang karena
bahan makanan bagi mikroorganisme ini juga berkurang, hal ini mengakibatkan
organisme mesofilik mulai beraktivitas kembali. Organisme mesofilik tersebut
akan merombak selulosa dan hemiselulosa yang tersisa dari proses sebelumnya
menjadi gula yang lebih sederhana, tetapi kemampuanya tidak sebaik organisme
termofilik. Bahan yang telah didekomposisi menurun jumlahnya dan panas yang
dilepaskan relatif keci (Dharmayanti et al., 2013).

D.2 Selulosa
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman
dibangun oleh unit-unit D-glukosa dengan ikatan glukosida 1,4. Ikatan-ikatan ini
membentuk mikrofibril selulosa yang tidak larut dalam air. Bagian selulosa yang
mudah dihidrolisir disebut bagian amorf selulosa menurut Gaol et al., (2013).
Selulosa adalah polimer yang tersusun dari unit-unit D-anhidro glukopyranosa yang
terikat melalui ikatan glikosida β-1-O-4. Gambar 1 menunjukkan struktur dasar
selulosa. Jumlah unit-unit glukosa yang menyusun selulosa atau biasa disebut derajat
polimerisasi (degree of polymeritation) sekitar 8000-10000 dalam setiap kayu.
Selulosa dibentuk dari hasil fotosintesis. Pada proses fotosintesis, air (H2O)
yang diperoleh dari dalam tanah dibawa oleh xylem bagian luar (kayu gubal) dan
karbondioksida (CO2) yang diperoleh dari udara dipadukan menjadi glukosa
(C6H12O6) dan oksigen (O2) dengan bantuan sinar matahari. Selanjutnya glukosa
tersebut diangkut ke pusat-pusat pengolahan yang terletak pada pucuk cabang dan
akar (meristem ujung) dan ke lapisan kambium yang menyelubungi batang utama,
cabang dan akar. Kemudian dalam suatu proses kompleks, glukosa mengalami
modifikasi kimia dengan dilepaskannya satu molekul air (H 2O), dan terbentuk
andhidrit glukosa (C6H10O). Dua unit anhidrid glukosa kemudian saling

4
bersambungan ujung-ujungnya membentuk selobiosa, selanjutnya selobiosa
membentuk polimer berantai panjang yang disebut selulosa yang merupakan polimer
tersusun dari unit pengulangan dari selobiosa (Gaol et al., 2013).

Gambar 1 Struktur Dasar Selulosa (Gaol et al., 2013).

Selulosa bersifat tahan terhadap oksidasi, tidak larut air, alkohol, alkali encer,
asam mineral dan eter. Degradasi selulosa dapat terjadi selama proses pemasakan
pulp oleh larutan alkali dan asam pekat. Dalam produksi bioetanol, selulosa
dipertahankan supaya sedikit mungkin mengalami kerusakan selama proses pulping.
Semakin tinggi kandungan selulosa suatu bahan diharapkan menghasilkan rendemen
etanol yang tinggi (Gaol et al., 2013).
Berdasarkan derajat polimerisasi dan kelarutan dalam senyawa natrium
hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis yaitu :
1. Selulosa-α (Alpha Cellulose) adalah selulosa berantai panjang, tidak larut
dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi
600-1500. Selulosa-α dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat
kemurnian selulosa. Selulosa-α merupakan kualitas selulosa yang paling
tinggi (murni). Selulosa α > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai
bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak, sedangkan
selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri
kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka
semakin baik mutu bahannya. Struktur selulosa-α disajikan pada Gambar 2.

5
Gambar 2. Rumus Struktur selulosa-α (Gaol et al., 2013).

1. Selulosa-β (Betha Cellulose) adalah selulosa berantai pendek, larut dalam


larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15-90, dapat
mengendap bila dinetralkan. Struktur selulosa-β dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Rumus Struktur selulosa-β (Gaol et al., 2013).

2. Selulosa-γ (Gamma cellulose) adalah sama dengan selulosa β, tetapi derajat


polimerisasinya kurang dari 15.

D.3 Mikroba Kompos


Mikroorganisme merupakan faktor terpenting dalam proses pengomposan,
karena mikroorganisme merombak bahan organik menjadi kompos. Selama proses
pengomposan bahan organik diubah menjadi karbondioksida dan air, disertai dengan
pembebasan energi oleh mikroba. Sebagian energi tersebut dipergunakan oleh
mikroorganisme untuk pertumbuhan selnya dan sebagian lain menyebabkan
peningkatan suhu (Zaccardelli et al., 2013).
Mikroorganisme mesofilik yang hidup pada temperatur rendah (10-45 oC)
berfungsi untuk memperkecil ukuran partikel bahan organik sehingga luas permukaan
bahan bertambah dan mempercepat proses pengomposan. Sementara itu, bakteri

6
termofilik yang hidup pada temperatur tinggi (45-65oC) yang tumbuh dalam waktu
terbatas berfungsi untuk mengonsumsi karbohidrat dan protein sehingga bahan
kompos dapat terdegradasi dengan cepat (Sizova et al., 2011).
Mikroorganisme kelompok mesofililik dan thermophilik melakukan proses
pencernaan secara kimiawi, dimana bahan organik dilarutkan dan kemudian
diuraikan. Cara kerjanya yaitu dengan mengeluarkan enzim yang dilarutkan ke dalam
selaput air (water film) yang melapisi bahan organik, enzim tersebut berfungsi
menguraikan bahan organik menjadi unsur-unsur yang diserap. Karena terjadi
dipermukaan bahan, maka proses penguraian ini akan mengakibatkan semakin
luasnya permukaan bahan. Selanjutnya permukaan yang semakin luas ini akan
mempercepat proses perkembangbiakan mikroorganisme. Demikian seterusnya,
semakin besar populasi mikroorganisme, semakin cepat pula proses pembusukan
(Rochaeni et al., 2008).
Semua organisme hidup termasuk fungi memerlukan nutrien untuk
mendukung pertumbuhannya. Nutrien berupa unsur-unsur atau senyawa kimia dari
lingkungan digunakan sel sebagai konstituen kimia penyusun sel. Secara umum,
nutrien yang diperlukan dalam bentuk karbon, nitrogen, sulfur, fosfor, kalium,
magnesium, natrium, kalsium, nutrien mikro (besi, mangan, kobalt, molibdenum) dan
vitamin. Karbon menempati posisi yang unik karena semua organisme hidup
memiliki karbon sebagai salah satu senyawa pembangun tubuh (Gandjar et al., 2006).
Mikroba pengurai adalah sejenis mikroba yang berperan dalam proses
pengomposan, terutama dalam mengurai atau memecah material organik. Dalam
proses pembuatan kompos, peran mikroba dekomposer sangat penting, terutama
untuk memecah dinding selulose tanaman atau bahan organik yang akan dikompos.
Selulosa merupakan penyusun utama dinding sel tanaman, yang berikatan dengan
polisakarida lain, seperti hemiselulose, pektin, dan lignin (Sulistyorini, 2005).
Pada kompos terdapat banyak mikroba dekomposer yang berperan dalam
penguraian selulosa secara alami, baik dari jenis jamur (fungi), actinomycetes dan
bakteri, baik aerob maupun anaerob. Beberapa jenis fungi yang termasuk dalam
mikroba selulolitik antara lain Trichoderma sp., Penicillium sp., Aspergillus sp.,

7
Myrothecium sp, dan Alternaria sp. Sedangkan dari kelompok actinomycetes antara
lain Micromonospora, Streptomyces, Thermoacinomycetes, Thermopolyspora, dan
Thermonospora. Jenis bakteri aerob yang berperan dalam penguraian selulosa
tanaman antara lain Bacillus sp., Cyptopharga sp., Pseudomonas sp, dan
Sporocyptopharga sp. Sedangkan bakteri dekomposer dalam kelompok anaerob
seperti Clostridium sp, dan Ruminococcus sp (Anindyawati, 2010).
Proses penguraian bahan baku kompos, mikroba selulolitik mengeluarkan
enzim selulase yang berperan dalam mempercepat proses hidrolisis selulosa dan
polisakarida lain. Penguraian bahan-bahan tersebut akan merombak sifat fisik materi,
dan melepaskan beberapa unsur hara, seperti Nitrogen, Phosphat, Kalium, dan Sulfur.
Unsur hara yang dihasilkan dari proses penguraian ini akan dimanfaatkan oleh
mikroorganisme untuk mendukung metabolisme tubuhnya. Dengan demikian,
aktivitas mikroorganisme akan meningkat, sehingga proses penguraian dan
perombakan bahan-bahan organik akan berlangsung semakin cepat. Proses
penguraian ini akan menghasilkan karbon, yang sebagian dilepas dalam bentuk gula
sederhana, sementara sisa karbon dilepas ke udara dalam bentuk CO 2. Dengan
demikian, kandungan C (karbon) dalam bahan organik menjadi berkurang, dan
kondisi tersebut secara otomatis akan menurunkan C/N rasio (Anindyawati, 2010).

D.4 Peranan Mikroorganisme Selulolitik


Mikroorganisme yang mampu menghidrolisis selulosa dinamakan
mikroorganisme selulolitik (perombak selulosa) yang dapat berupa jamur, bakteri,
aktinomicetes maupun protozoa. Terdegradasinya selulolsa oleh mikroorganisme
selulolitik ini menghasilkan serat. Seperti yang diutarakan Zimmermann (2004),
bahwa serat alam berlignoselulosa yang berasal dari kayu dan non-kayu (bambu,
sisal, kenaf, rami, dan lain-lain) merupakan bahan baku terbesar ketersediaanya di
muka bumi. Proses penguraian selulosa sangat bergantung pada keberadaan
mikroorganisme seperti bakteri pendegradasi selulosa. Bakteri memiliki peranan
penting dalam proses dekomposisi bahan organik. Aktivitas bakteri mampu
meningkatkan ketersediaan unsur hara melalui proses mineralisasi karbon dan

8
asimilasi nitrogen (Blum, 1988). Contoh mikroorganisme selulolitik antara lain
adalah Chaetonium sp., Cythophaga sp., Clostridium sp. (bakteri) dan Streptomyces
sp (aktinomicetes) (Azhari, 2000). Selulosa merupakan substansi utama dalam proses
enzimatis. Kecepatan degradasi enzimatis juga dipengaruhi oleh struktur selulosa.
Degradasi selulosa berlangsung melalui hidrolisis rantai polisakarida menjadi
molekul sederhana, yang menghasilkan oligosakarida maupun monomer glukosa atau
produk degradasi separti asam-asam organik maupun alkohol (Idam et al., 2016).
Salah satu mikroba yang dapat merombak (dekomposer) selulosa adalah
bakteri. Bakteri selulolitik merupakan bakteri yang memiliki kemampuan
menghidrolisis kompleks selulosa menjadi oligosakarida yang lebih kecil dan
akhirnya menjadi glukosa dengan menggunakan enzim selulase (Ibrahim, 2007).
Selulolitik merupakan proses pemecahan selulosa menjadi senyawa atau unit-unit
glukosa yang lebih kecil (Saratale, 2012). Menurut Galbe (2007) bahwa
mikroorganisme tersebut dapat mendegradasi selulosa karena menghasilkan enzim
dengan spesifikasi berbeda yang saling bekerjasama. Enzim tersebut akan
menghidrolisis ikatan (1,4)-ß-D-glukosa pada selulosa. Hidrolisis sempurna selulosa
akan menghasilkan monomer selulosa yaitu glukosa dan hidrolisis tak sempurna
akan menghasilkan disakarida dari selulosa yang disebut selobiosa.
Mikroorganisme selulolitik seperti jamur, bakteri dan actinomicetes banyak
ditemukan pada tanah-tanah pertanian, hutan dan jaringan hewan atau tumbuhan
(kompos) yang membusuk. Beberapa diantaranya diketahui dapat dengan mudah dan
cepat merombak selulosa seperti diketahui bahwa penambahan inokulasi pada
pembuatan kompos adalah bagian dari usaha untuk mempercepat pengomposan
(Azhari, 2000).

D.5 Degradasi Selulosa


Degradasi adalah suatu reaksi perubahan kimia atau peruraian suatu senyawa
atau molekul menjadi senyawa atau molekul yang lebih sederhana. Misalnya,
penguraian polisakarida selulosa menjadi monosakarida (glukosa). Proses penguraian
selulosa secara alami memerlukan bantuan mikroorganisme (bakteri selulolitik) yang

9
mengeluarkan enzim selulase. Selulosa dihidrolisis oleh enzim selulase dengan
memotong ikatan 1,4 β glukosida pada rantai panjang selulosa. Selulosa pada
lingkungan aerobik akan terurai menjadi glukosa dan karbondioksida yang akan
bergabung ke dalam sel yang sedang tumbuh, sedangkan selulosa pada lingkungan
anaerobik akan terurai menjadi alkohol dan asam organik (Gaol et al., 2013).
Bakteri memiliki kemampuan untuk mendegradasi selulosa dan kemampuan
ini dimiliki oleh hampir semua bakteri pendegradasi selulosa baik secara aerob
maupun anaerob, sebagian besar spesies bakteri aerob ditemukan di dalam tanah.
Beberapa bakteri pada kondisi aerob yang mampu untuk mendegradasi selulosa
diantaranya Acinetobacter junii, A. amitratus, A. cellulolyticus, Anoxybacillus sp.,
Bacillus subtilis, B. pumilus, B. licheniformis, B. (Hongli et al., 2015).
Penelitian tentang bakteri selulolitik telah banyak dilakukan. penelitian
tentang isolasi bakteri selulolitik pada kompos, ditemukan bakteri selulolitik, dengan
adanya zona bening pada media CMC, dan diidentifikasi berdasarkan morfologi,
fisiologi, dan biokimia, ditemukan bakteri jenis Bacillus, (Sharma et al., 2013).
Penelitian pada limbah organik yang diisolasi untuk mengetahui aktifitas bakteri
selulolitik menghasilkan bakteri yang tergolong dalam kelompok Bacillus sp. Yang
memiliki indeks selulolitik (IS) sebesar 1.95 (Zahidah dan Shovitri, 2013)
Secara alami, bakteri mampu menghidrolisis selulosa baik secara anaerob
maupun aerob. Bakteri selulolitik dapat mendegradasi senyawa selulosa dan akan
menghasilkan air dan karbondioksida pada kondisi aerob, sedangkan pada kondisi
anaerob akan menghasilkan molekul hidrogen dan senyawa methan, bakteri
selulolitik anaerob dapat diklasifikasikan menjadi bakteri mesofil pembentuk spora,
bakteri mesofil bukan pembentuk spora dengan bentuk bacill atau coccus dan bakteri
termofil yang menghasilkan spora. Bakteri anaerob banyak ditemukan di alam adalah
anggota genus Clostridium. Sebagian jenis anaerob dapat memecah selulosa pada
temperatur 60–65°C. Mikroba ini terdistribusi secara luas di alam dan dapat
ditemukan dalam intestinum binatang, sungai dan tanah lumpur (Eaton dan Hale,
1993).

10
D.6 Isolasi dan Skrining Bakteri Selulolitik
Isolasi adalah mengambil mikroorganisme yang terdapat di kompos dan
menumbuhkannya dalam suatu medium buatan. Prinsip dari isolasi mikroba adalah
memisahkan satu jenis mikroba dengan mikroba lainnya yang berasal dari campuran
bermacam-macam mikroba. Hal ini dapat dilakukan dengan menumbuhkannya dalam
media padat sel-sel mikroba akan membentuk suatu koloni sel yang tetap pada
tempatnya. Isolasi bakteri atau biakan yang terdiri dari satu jenis mikroorganisme
(bakteri) dikenal sebagai biakan murni atau biakan aksenik. Biakan yang berisi lebih
dari satu macam mikroorganisme (bakteri) dikenal sebagai biakan campuran, jika
hanya terdiri dari dua jenis mikroorganisme, yang dengan sengaja dipelihara satu
sama lain disebut sebagai biakan dua-jenis (David et all., 2011)
Bakteri yang terdapat pada kompos diisolasi dengan mencampurkan kompos
dan NaCl yang bertujuan untuk memisahkan bakteri yang terdapat pada kompos dan
ditanam kedalam media agar untuk menumbuhkan bakteri diperlukan waktu 2 hari
atau lebih dengan suhu berkisar antara 37oC sampai 55oC. Uji bakteri selulolitik
(penghasil selulase) secara kualitatif dilakukan untuk mengetahui kemampuan isolat
bakteri dalam menghasilkan enzim selulase. Duza (2013) menyatakan bahwa analisis
kualitatif aktivitas bakteri selulolitik dapat dilakukan pengukuran zona bening yang
terbentuk disekitar koloni, dengan pengujian degradasi medium yang ditambahkan
congo red menunjukkan adanya kemampuan kualitatif selulolitik isolat dengan
terbentuk zona bening di sekitar koloni.
Uji bakteri selulolitik secara kualitatif (screening) menggunakan media padat
Carboxil Methil Cellulosa (CMC agar) dengan metode inokulasi. Pengujian adanya
aktivitas selulolitik ditunjukan dengan adanya zona bening pada media CMC agar
setelah diberi pewarna congo red. Congo red berinteraksi kuat dengan ikatan β - 1,4 -
glikosidik dalam CMC. Zona bening yang terbentuk dapat dilihat dengan pencucian
menggunakan NaCl 1 M. Congo red merupakan garam natrium dari benzidinediazo –
bis – 1 – naphthylamine – 4 asam sulfonat (C 32H22N6Na2O6S2) sehingga pewarna ini
akan larut dan tercuci oleh garam natrium lain, seperti NaCl. Dengan demikian, zona
bening yang terbentuk akan tampak jelas. Uji screening bakteri selulolitik adalah

11
perbandingan antara diameter zona bening dengan diameter koloni atau pengurangan
antara diameter koloni dan diameter zona bening (Sudiana et al., 2002).
Daerah bening menunjukkan adanya aktivitas hidrolitik oleh enzim
ektraseluler selulase yang diekskresi oleh isolat-isolat bakteri. Produk hidrolisis
tersebut berupa gula sederhana monosakarida dan tidak terjadi ikatan kompleks
dengan iodin. Sedangkan warna kehitaman menunjukkan sisa selulosa yang tidak
terhidrolisis sehingga terjadi pembentukan selulosa - iodin (Kasana et al., 2008)
Pengamatan karakteristik makroskopis morfologi koloni pada media
pertumbuhan bakteri yaitu bentuk koloni berupa bulat (circular), berbenang
(filamenthous), tak teratur (irreguler), serupa akar (rhizoid), dan serupa kumparan
(spindle). Permukaan koloni berupa rata (flat), timbul datar (raised), melengkung
(convex), dan membukit. Tepikoloni dapat berupa utuh (entire), berombak (undulate),
berbelah (lobate), bergerigi (serrate), berbenang (felamenthous), keriting (curled) dan
warna koloni bakteri berupa keputih - putihan, kelabu, kekuning-kuningan atau
hampir bening (Beffa et al., 1996).
Bakteri gram positif maupun gram negatif akan dihasilkan warna yang sama
(ungu), akan tetapi jumlah kristal violet yang diserap oleh bakteri gram negatif lebih
sedikit, karena tebal dinding sel bakteri gram negatif sebesar 2 - 7 nm tersusun dari
peptidoglikan dan memiliki membrane luar dengan tebal 7 - 8 nm sehingga jika
dibandingkan dengan bakteri gram positif yang memiliki dinding sel sebesar 20 – 80
nm, gram negatif jauh lebih kecil (Preskott et al., 1999).
D.6.1 CMC (Carboxyl Methyl Cellulosa)
Carboxy Methyl Cellulose (CMC) memiliki rumus molekul C6H16 NaO8
bersifat biodegradable, tidak berwarna, tidak berbau, tidak beracun, berbentuk butiran
atau bubuk yang larut dalam air namun tidak larut dalam larutan organik, stabil pada
rentang pH 3-10 dan mengendap pada pH kurang dari 3, serta tidak bereaksi pada
senyawa organik (Gupta et al., 2011).

12
D.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan
D.7.1. Suhu
Suhu mempengaruhi laju pertumbuhan, mempengaruhi jumlah total
pertumbuhan, merubah proses-proses metabolik tertentu serta morfologi (bentuk luar)
sel. Kisaran suhu bagi mikroba terbagi 3 tahap yaitu suhu minimum, suhu maksimum
dan suhu optimum. Suhu pertumbuhan optimum adalah suhu inkubasi yang
memungkinkan pertumbuhan tercepat selama periode waktu yang singkat, yaitu
antara 12 s/d 24 jam (Anindyawati, 2010).
D.7.2. pH
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas
mikroorganisme. Kisaran pH yang baik yaitu sekitar 6,5 -7,5 (netral). Oleh karena itu,
dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk
menaikkan pH (Indriani et al., 2007).
Pengomposan dapat terjadi pada kisaran pH yang optimum untuk proses
pengomposan berkisar antara 6,5 sampai 7,5. pH kotoran ternak umumnya berkisar
antara 6,8 hingga 7,4. Proses pengomposan sendiri akan menyebabkan perubahan
pada bahan organik dan pH bahan itu sendiri. Sebagai contoh, proses pelepasan asam,
secara temporer atau lokal, akan menyebabkan penurunan pH (pengasaman),
sedangkan produksi amonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan
meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang sudah matang
biasanya mendekati netral (Indriani et al., 2007).
D.7.3 Karbon
Unsur karbon sangat penting bagi pertumbuhan mikroba. Sumber karbon
bakteri dengan bakteri lain tidak sama dan unsur karbon diperlukan oleh semua
makhluk hidup mulai bakteri sampai dengan manusia. Telah diketahui bahwa berat
unsur karbon merupakan setengah dari berat kering bakteri.

D.8 Metode Cawan Gores Kuadran (Strike Plate)


Prinsip metode ini, yaitu mendapatkan koloni yang benar-benar terpisah dari
koloni yang lain, sehingga mempermudah proses isolasi. Cara ini dilakukan dengan

13
membagi cawan petri menjadi 3-4 bagian. Ose steril yang telah disiapkan dilekatkan
pada sumber isolat, kemudian menggoreskan ose tersebut pada cawan berisi media
steril. Goresan dapat dilakukan 3-4 kali membentuk garis horisontal di satu sisi
cawan. Ose disterilkan lagi dengan api bunsen, setelah kering ose tersebut digunakAn
untuk menggores goresan sebelumnya pada sisi cawan kedua. Langkah ini
dilanjutkan hingga keempat sisi cawan tergores (Plezar., 2006).

D.9 Uji Biokimia dan Uji Morfologi


Uji biokimia merupakan suatu cara yang dilakukan untuk mengidentifikasi
dan mendeterminasi biakan murni suatu jenis bakteri hasil isolasi melalui sifat-sifat
fisiologisnya, terdapat beberapa karakter biokimia yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi bakteri antara lain: meliputi uji katalase, uji urease, uji produksi
H2S, uji Voges Proskauer, uji indol, uji merah metil, uji sitrat, uji pewarnaan gram
dan uji morfologi yang diamati meliputi bentuk, warna, permukaan, ukuran, dan
pinggiran koloni (Mallesh, 2008),
D.9.1 Uji Pewarnaan Gram
pewarnaan gram tersebut akan menghasilkan warna merah dan ungu atau biru.
Bakteri yang diwarnai dengan pewarnaan gram ini dibagi menjadi dua kelompok,
yaitu bakteri Gram Positif dan Bakteri Gram Negatif. Bakteri Gram positif akan
mempertahankan zat pewarna kristal violet sehingga akan terlihat berwarna ungu di
bawah mikroskop. Sedangkan bakteri gram negatif akan kehilangan zat pewarna
kristal violet setelah dicuci dengan alkohol, dan pada saat diberi zat pewarna safranin
akan tampak berwarna merah. Perbedaan warna ini disebabkan oleh perbedaan dalam
struktur kimiawi dinding selnya (Sharma, 2013).
D.9.2 Uji Katalase
Uji katalase merupakan pengujian terhadap bakteri untuk mengetahui apakah
bakteri tersebut merupakan bakteri aerob, anaerob fakultatif, atau anaerob obligat dan
digunakan untuk mengetahui kemampuan mikroorganisme untuk menguraikan
hidrogen peroksida dengan menghasilkan enzim katalase. Bakteri yang memerlukan
oksigen manghasilkan hidrogen peroksida (H2O2) yang sebenarnya beracun bagi

14
bakteri sendiri. Namun dapat tetap hidup dengan adanya anti metabolit tersebut
karena dapat menghasilkan enzim katalase yang mengubah hidrogen peroksida
menjadi air dan oksigen (Sharma, 2013)
D.9.3 Uji Urease
Uji urease adalah untuk mengetahui apakah bakteri mempunyai enzim urease
yang dapat menguraikan urea membentuk amoniak. Media urea berisi indikator
phenol red. Interpretasi hasil negatif (-) tidak terjadi perubahan warna media menjadi
pink/merah jambu, artinya bakteri tidak memecah urea membentuk amoniak. Positif
(+) tidak terjadi perubahan warna media menjadi pink/merah jambu, artinya bakteri
memecah urea membentuk amoniak (Sharma, 2013)
D.9.4 Uji Produksi H2S
Pembentukan H2S positif ditandai dengan adanya endapan berwarna hitam,
endapan ini terbentuk karena bakteri mampu mendesulfurasi asam amino dan
methion yang akan menghasilkan H2S, dan H2S akan bereaksi dengan Fe+ yang
terdapat pada media dan menghasilkan endapan hitam (Sharma, 2013)
D.9.5 Uji Voges Proskauer
Uji VP dengan hasil negatif, karena tidak terbentuk warna merah pada
medium setelah ditambahkan α-napthol dan KOH, artinya hasil akhir fermentasi
bakteri ini bukan asetil metil karbinol (asetolin) (Sharma, 2013)
Uji ini digunakan untuk mengidentifikasi mikroorganisme yang melaksanakan
fermentasi 2,3-butanadiol. Bila bakteri memfermentasi karbohidrat menjadi 2,3-
butanadiol sebagai produk utama, akan terjadi penumpukan bahan tersebut dalam
media pertumbuhan. Penambahan 40% KOH dan 5% larutan alphanaphtol dalam
ethanol dapat menentukan adanya asetoin (asetilmetilkarbonil), suatu senyawa
pemuka dalam sintesis 2,3-butanadiol. Pada penambahan KOH, adanya asetoin
ditunjukan adanya perubahan warna kaldu menjadi merah muda. Perubahan warna ini
diperjelas dengan penambahan larutan alpha-naphtol. Perubahan warna kaldu biakan
lebih jelas pada bagian yang berhubungan dengan udara, karena sebagian 2,3-
butanadiol dioksidasikan kembali menjadi asetoin sehingga memperjelas hasil reaksi.

15
Berdasarkan hal ini tabung yang berisi kaldu dikocok sehingga berbuih, kemudian
dibuka tutup tabungnya dan dimiringkan di atas meja (Sharma, 2013)
Uji Voges-Proskauer sebenarnya merupakan uji tidak langsung untuk
mengetahui adanya 2,3-butanadiol dan selalu didapatkan secara serentak, sehingga uji
VP absah untuk menentukan adanya 2,3-butanadiol (Sharma, 2013)
D.9.6 Uji Indol
Uji indol bertujuan untuk menentukan kemampuan bakteri dalam memecah
asam amino triptofan. Asam amino triptofan merupakan komponen asam amino yamg
terdapat di dalam protein sehingga asam amino ini dengan mudah dapat digunakan
oleh mikroorganisme akibat penguraian protein. Hasil uji indol yang diperoleh negatif
apabila tidak terbentuk lapisan (cincin) berwarna merah muda pada permukaan
biakan, artinya bakteri tidak dapat membentuk indol dari asam amino triptofan
sebagai sumber energi sedangkan pada uji positif bakteri memiliki enzim triptofanase
yang dapat menghidrolisis asam amino jenis triptofan yang memiliki gugus samping
indol sehingga indol akan bereaksi dengan reagen uji dan membentuk rosindol yang
berwarna merah (Sharma, 2013)
D.9.7 Uji methyl red
Uji methyl red (MR) dilakukan untuk mengetahui apakah bakteri dapat
membentuk asam campuran dan asam yang sedemikian banyaknya sehingga dapat
mengubah indikator metil merah menjadi merah. Beberapa jenis bakteri dapat
membentuk asam tetapi tidak cukup banyak untuk dapat mengubah warna indikator.
Bakteri seperti Escherichia coli dapat memberikan hasil pengujian positif karena
dapat menurunkan pH sampai di bawah 5,0. Sebaliknya Klebsiella aerogenes
mengadakan dekarboksilasi dan kondensasi asam piruvat untuk membentuk
asetilmetilkarbinol, sehingga pH meningkat, dan bila ditambahkan metil merah
warnanya menjadi kuning, yang berarti hasil pengujian negatif. Pengujian seharusnya
jangan dilakukan sebelum biakan berumur dua hari pada suhu 37oC atau tiga hari
pada suhu 30oC. Metil merah berwarna merah pada lingkungan dengan pH 4,4 dan
berwarna kuning dalam lingkungan dengan pH 6,2 (Sharma, 2013).
D.9.8 Uji Sitrat

16
Uji sitrat digunakan untuk melihat kemampuan mikroorganisme
menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon dan energi. Untuk uji ini
digunakan medium Simmon’s citrate agar yang merupakan medium sintetik dengan
trinatrium sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon, amonium (NH 4+) sebagai
sumber nitrogen dan brom timol biru sebagai indikator pH. Bila mikroorganisme
mampu menggunakan sitrat, maka asam akan dihilangkan dari medium biakan,
sehingga menyebabkan peningkatan pH dan mengubah warna medium dari hijau
menjadi biru. Perubahan warna dari hijau menjadi biru menunjukkan bahwa
mikroorganisme mampu menggunakan sitrat sebagai satu-satunya sumber karbon,
sedangkan pada medium sitrat koser kemampuan menggunakan sitrat ditunjukkan
oleh kekeruhan yang menandakan adanya pertumbuhan mikroba. Dalam medium
Simmon’s citrate agar (SCA) digunakan trinatrium sitrat sebagai sumber karbon. Bila
trinatrium sitrat ini dapat diuraikan maka amonium dihidrogenfosfat turut terurai dan
akan melepaskan NH4+ sehingga menyebabkan medium menjadi alkalis, dan indikator
brom timol biru berubah dari hijau menjadi biru (Sharma, 2013).

D.10 Manfaat Pembuatan Kultur Stok


Kultur stok merupakan kunci utama dalam mikrobiologi dan fitopatologi
karena identifikasi, penelitian, dan pelatihan yang efektif memerlukan sumber
mikroorganisme yang dapat dipercaya. Kultur stok mempunyai peranan yang
mendasar dalam perkembangan mikrobiologi dengan memberikan informasi bahwa
seluruh mikroba yang telah dideskripsi atau diketahui ciri-cirinya telah tersimpan
dengan baik dan aman untuk keperluan saat ini atau penelitian selanjutnya. Kultur
stok tidak hanya tempat menyimpan, tetapi juga merupakan pusat informasi tentang
organisme dan cara penyimpanannya dan juga sebagai pusat kegiatan penelitian dan
pelatihan tentang identifikasi dan sistematika mikroba. Nomen-klatur atau pemberian
nama mikroorganisme dan klasifikasinya sangat tergantung pada pemeliharaan
biakan asal (type culture) yang akan digunakan sebagai acuan bagi pengkajian
taksonomi atau identifikasi organisme yang baru ditemukan. Kultur stok merupakan
landasan bagi para ahli mikrobiologi dalam upaya mempertahankan stabilitas nomen-

17
klatur dan klasifikasi mikroba. Isolat yang penting sebaiknya perlu disimpan dalam
satu atau lebih koleksi biakan, guna menjamin agar strain yang telah dikarakterisasi
dengan baik atau diketahui ciri-cirinya yang khusus dapat disimpan dengan kondisi-
nya yang tidak berubah, sehingga dapat digunakan sebagai acuan, pembanding atau
bahan penelitian selanjutnya (Mahmud, 2001).

E. HIPOTESIS
1. Bakteri yang diisolasi dari kompos mempunyai kemampuan mendegradassi
selulosa pada suhu 30 0C dan 55 0C
2. Isolat mempunyai kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi selulosa

F. TUJUAN PENELITIAN
1. Untuk mengisolasi bakteri-bakteri yang berpotensi mendegradasi selulosa dari
kompos pada suhu 30 0C dan 55 0C
2. Untuk mengetahui kemampuan isolat dalam mendegradasi selulosa

F. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi secara ilmiah kepada
pembaca bahwa bakteri yang diisolasi dari kompos mempunyai kemampuan dalam
mendegradasi selulosa. Isolat yang diperoleh dari tiap kompos mempunyai
kemampuan yang berbeda dalam mendegradasi selulosa. Isolat yang didapatkan
diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai agen biologi dalam pembuatan bioaktivator.

H. METODE PENELITIAN

H.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorim Bioindustri dan Lingkungan
Fakultas Teknologi Pertanian dan Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Teknologi
Pertanian Universitas Udayana. Waktu pelaksanaan dimulai dari bulan Maret–Mei
2018.

18
H.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: Erlenmeyer, pipet,
tabung reaksi, cawan petri, shaker, vortex, autoclave, laminar air flow, jarum ose,
cawan petri, botol sampel, botol pengencer, kulkas, timbangan analitik, labu ukur,
magnetik stirer, bunsen, gelas objek, pipet tetes, inkubator, sendok tanduk, hot plate.
Sumber kompos yang digunakan pada penelitian ini yaitu kompos yang
diambil dari 2 lokasi berbeda yaitu 1 kompos di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)
Temesi, Kabupaten Gianyar, dan 1 kompos di Desa Karangmelok Kabupaten
Bondowoso, kompos yang dipilih berdasarkan komposisi dan lama waktu
penyimpanan, selain itu kompos yang digunakan untuk penelitian ini adalah kompos
yang tidak adanya campuran bakteri lain seperti EM4 dan lain sebagainya. Bahan
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : KH2PO4, (NH4)2SO4, MgSO4.7H2O,
FeSO4, NaCl, yeast extract, CaCl2.2H2O, CMC (Carboxil Methil Cellulosa), agar,
Congo red, kertas filter (Whatman no. 1), Hydrogen Peroxide (H2O2), Urea Base,
Sulfide Indole motili (SIM) Agar, MR-VP broth, reagen VP A (yang mengandung
naphtol), reagen VP B (yang mengandung KOH), medium tryptop broth, reagen
Kovac’s, methyl red, simmon’s sitrat agar, kalbol kristal violet, lugol, safranin.

19
H.3 Prosedur Penelitian

Pembuatan media

Pengambilan sampel kompos

Isolasi bakteri

Pemurnian isolat

Skrining bakteri selulolitik

Uji filter paperase

Isolat terbaik

Uji morfologi dan biokimia

Gambar 5. Diagram Alir Penelitian

H.3.2 Pembuatan Media Selulosa


Pembuatan media selulolitik padat untuk isolasi bakteri dan skrining yang
berpotensi mendegradasi selulosa yaitu media agar yang telah disediakan terdiri dari
KH2PO4, 1,36 g; (NH4)2SO4, 1,0 g; MgSO4.7H2O, 0.2 g; FeSO4 0.01 g; NaCl 2,0;
yeast extract 1,0 g; CaCl2.2H2O, 5 g; 0.5% CMC agar 15 g; dalam satuliter aquades
pada pH 6.8-7.2. Setelah itu diaduk, sambil diatur pH netral dan disterilisasi dengan
suhu 121oC selama 15 menit. Media didinginkan sampai suhu 50oC. Kemudian
pembuatan media selulosa cair sama seperti pembuatan medium selulolitik padat di
atas dengan melarutkan medium selulolitik padat, akan tetapi tidak ada penambahan
agar KH2PO4, 1,36 g; (NH4)2SO4, 1,0 g; MgSO4.7H2O, 0.2 g; FeSO4 0.01 g; NaCl 2,0;
yeast extract 1,0 g; CaCl2.2H2O, 5 g; 0.5% CMC dalam satu liter aquades pada pH
6.8-7.2 (Shajahan et al., 2016).

20
H.3.1 Pengambilan Sampel Kompos
Pengambilan kompos dilakukan secara komposit pada kedalaman 10-15 cm,
dipilih secara acak ditempat pengolahan kompos dengan menggunakan sekop dan
dilakukan dari 4 penjuru mata angin (barat, timur, utara, dan selatan) masing masing
berjarak 1 m. Kriteria kompos yang diambil yaitu kompos yang masih baru dan suhu
berkisar antara 55-600 C agar bakteri yang akan diisolasi bisa tumbuh dan kompos
harus steril dari penambahan mikroba seperti EM4 dan lain sebagainya, sample yang
sudah diambil kemudian disimpan pada suhu 3-5oC serta diusahakan tidak terpapar
sinar matahari. Hal-hal yang perlu diperhatikan saat pengambilan sampel agar tidak
terjadi kontaminasi yaitu pada saat pengambilan sample harus menggunakan sarung
tangan, masker dan dalam keadaan aseptis (Ed-har, 2013).

H.3.3 Isolasi Bakteri


Sampel ditimbang sebanyak 10g kemudian dimasukkan kedalam botol yang
sudah berisi 90ml NaCl (0,85%) steril. Kocok selama 2 menit beri label pada botol
pengenceran 10-1 setelah dikocok, pindahkan 1ml sampel kompos ke tabung reaksi
yang berisi 9ml larutan NaCl (0,85%) steril. Larutan tadi di vortex dan beri label
pengenceran 10-2. Pengenceran dilakukan sampai pada pengenceran 10-6. Suspensi
sample pada pengenceran 10-3 sampai 10-6 diambil sebanyak 0,1ml dipindahkan
dengan pipet mikro dan diteteskan dibagian tengah cawan petri pada media/medium
selulolitik yang telah disiapkan sebelumnya secara aseptis. Selanjutnya disebar
dengan batang gelas bengkok steril (sebelumnya cuci dulu dengan menggunakan
alkohol 70% dengan cara memasukkan gelas bengkok kedalamnya kemudian
sterilkan dengan api) setelah diperkirakan dingin baru digunakan. Setiap cawan petri
diberi label, pemberian label berguna sebagai tanda agar memudahkan membedakan
cawan yang satu dengan yang lainnya. Inkubasi cawan petri secara terbalik dan
kemudian diinkubasi pada suhu 55oC selama 4 hari, kriteria pemilihan isolat terdiri
dari lima koloni yaitu bentuk koloni, warna koloni, elevesi koloni, tepian koloni, dan
struktur dalam (Dar et al., 2015). Isolat yang menunjukkan morfologi yang berbeda

21
diinokulasi pada medium padat yang sama dengan menggunakan metode gores
kuadran dan diinkubasi pada suhu 50oC selama 2x24 jam (Lv and Yu, 2012)

H.3.4 Pemurnian Isolat


Isolasi bakteri dilakukan dengan menggunakan metode gores kuadran yaitu
memindahkan koloni yang tumbuh secara terpisah dan berbeda secara fisik (warna
dan bentuk) dengan jarum ose pada medium selulolitik padat yang baru dan
diinkubasikan pada suhu 50oC selama 2 x 24 jam (Lv and Yu, 2012).

H.3.5 Pembuatan Kultur Stok


Koloni yang terpisah pada kuadran terakhir dipindahkan kembali pada
medium selulolitik padat yang baru setelah tumbuh, koloni yang terpisah diinokulasi
pada tabung reaksi yang sudah berisi medium selulolitik cair dan diinkubasi pada
suhu 50oC selama 2 x 24 jam di shaker dengan kecepatan 100 rpm. Setelah tumbuh,
sebanyak 1ml dipindahkan ke dalam tabung yang telah berisi 1ml larutan glycerol
40% (sebagai kultur stok).

H.3.6 Uji Skrining Bakteri Selulolitik


Media yang digunakan untuk pengujian aktivitas selulosa adalah media agar
CMC 1%. Sebanyak satu ose isolat bakteri ditanamkan dengan metode titik pada
media agar dan kemudian media agar diinkubasi sekitar 4-5 hari atau 96 jam pada
suhu 50°C. Selanjutnya, dilakukan pewarnaan media agar menggunakan larutan
Congo red 0.1% selama 15 - 30 menit. selanjutnya dibilas dengan NaCl 1 M. Hasil
(+) ditunjukkan dengan adanya zona bening akibat adanya degradasi selulosa oleh
bakteri selulolitik. Indeks zona bening merupakan rasio antara diameter zona bening
dengan diameter koloni (Nugraha et al., 2014) (Lv and Yu, 2012).
I= Dzona bening – Dkoloni
Dkoloni
H.3.7 Uji Filter Paperase
Bakteri diremajakan pada medium selulolitik cair pada tabung reaksi
kemudian diinkubasi pada suhu 50°C kecepatan 150 rpm pada shaker. Isolat yang

22
telah diremajakan diinokulasi ke Erlenmeyer yang berisi 150ml medium selulolitik
yang mengandung CMC 1%, dan diinkubasi pada suhu 50°C selama 72 jam dan
digojog dengan kecepatan 150 rpm. Setelah itu, disentrifugasi (6.000 rpm selama 15
menit, pada suhu 4°C) pengulangan dilakukan sebanyak 2 kali kemudian dilakukan
pencucian dengan NaCl 0,85% OD diatur menjadi 5 dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 660nm (OD660nm) (Gupta, et al., 2012) (Lv and Yu, 2012).
Sebanyak 1ml sel isolate diinokulasikan pada 20ml medium filter paper yang
tidak mengandung CMC dan Agar. Media filter paper berisi kertas filter (Whatman
no. 1) kering dengan ukuran 1 x 6 cm2. Diinkubasi pada suhu ruang selama 10 hari
digojog diatas shaker dengan kecepatan 100 rpm (Wen-Jing et al., 2005). Setelah
diinkubasi, kertas filter dicuci dan masing-masing media disentrifugasi.
Kertas Whatman no.1 yang sudah selesai diinkubasi pada shaker dicuci
menggunakan aquades, kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 103oC selama
beberapa jam dan kemudian ditimbang hingga didapat berat konstan. Hasil dari
selisih antara kertas filter sebelum diinkubasi dengan setelah inkubasi menunjukkan
tingkat degradasi selulosa dari isolat yang diuji.

Keterangan:

a:

b:

Media filter paper cair disentrifugasi dengan kecepatan 14.000 rpm selama 10
menit pada suhu 4oC (Duza & Mastan 2013). Supernatan (enzim kasar) diuji aktivitas
exoglukonase (avicelase). Enzim kasar sebanyak 250 µl ditambahkan dengan 250
mikroliter larutan 1% avicel selulosa pada buffer sodium sitrat (pH 5.4) dan
diinkubasi pada suhu 40oC selama 2 jam. Reaksi dihentikan dengan menambahkan 75

23
µl asam dinitrosalisik (DNS) (Dar, et al., 2015). Gula yang dibebaskan ditentukan
dengan mengukur absorbansi pada 540 nm. Produksi selulase ditentukan dengan
menggunakan kurva kalibrasi glukosa. Satu unit (IU) enzim aktivitas dinyatakan
sebagai jumlah enzim, yang diperlukan untuk melepaskan 1 μmol glukosa per menit
(Huang et al., 2012; Duza & Mastan 2013; Dar, et al., 2015).
Konsentrasi glukosa dikonversi dalam satuan IU/ml:

1 IU = 1 µmol/menit glukosa yang dihasilkan


= 0,18 mg/menit glukosa
Sehingga,

Aktifitas Selulosa = µmol/menit ml (IU/ml).

H.3.8 Uji Morfologi dan Biokimia

H.3.8.1 Uji pewarnaan gram


Cara pewarnaan gram yaitu, pertama teteskan pewarna kristal violet selama
satu menit di atas film pada gelas objek. Kemudian bilas dengan akuades dengan cara
membilas gelas objek pada posisi miring. Kemudian keringkan setelah kering tetesi
dengan lugol selama satu menit lalu bilas kembali dengan akuades dan keringkan.
Setelah kering hilangkan warna pada gelas objek dengan menggunakan alkohol 95%
selama 10–20 detik lalu bilas dengan akuades dan keringkan kembali. Kemudian
warnai dengan larutan safranin selama 20 detik lalu bilas dengan akuades dan
keringkan dengan kertas serap atau tisu. Setelah pewarnaan selesai, siapkan cover
glass dan bersihkan dengan menggunakan kapas atau tisu yang sudah di beri alkohol

24
70%. Kemudian letakkan cover glass di atas bakteri yang telah di warnai dan lakukan
pengamatan di bawah mikroskop (Sharma, 2013).

H.3.8.2 Uji Katalase


Kultur stok diambil menggunakan jarum ose secara aseptis dari agar miring
dengan memijarkan ose dan mendinginkannya. Biakan digoreskan pada cawan petri
yang bertujuan untuk meratakan sel dan tidak bertumpuk. Kultur mikroba kemudian
ditetesi 1-2 tetes H2O2 3% agar aktivitas katalase pada mikroba dapat diketahui.
Cawan petri ditutup kembali agar tidak ada kontaminasi dan memaksimalkan
mikroba untuk merombak H2O2. Diamati ada tidaknya gelembung-gelembung kecil.
Uji positif ditandai dengan terbentuknya gelembung oksigen di sekitar koloni bakteri
Uji negatif ditandai dengan tidak terbentuknya gelembung-gelembung oksigen di
sekitar koloni bakteri (Sharma, 2013).

H.3.8.3 Uji Urease


Inokulasi biakan pada media urea agar miring dengan mikroorganisme
diinkubasi pada suhu 35oC selama 24 jam. Diamati perubahan yang terjadi dengan
indikator positif jika terjadi perubahan warna dari kuning menjadi merah keunguan
(Sharma, 2013).

H.3.8.4 Uji produksi H2S


Isolat bakteri diinokulasikan kedalam medium Sulfide Indole Motili (SIM)
Agar, kemudian diinkubasi 37°C selama 24-48 jam. Hasil positif (terbentuknya H2S)
ditandai dengan perubahan warna medium menjadi hitam (Sharma, 2013).

H.3.8.5 Uji Voges Proskauer


Media MR-VP sebanyak 5 mL dimasukkan ke dalam tabung reaksi
diinokulasi bakteri pada kaldu MR-VP diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam.
Ditambahkan 10 tetes larutan KOH 40% dan 15 tetes larutan α-naftol, dikocok dan
dibiarkan 30 menit, Uji positif jika kaldu berwarna merah dan uji negatif jika kaldu
tidak mengalami perubahan warna setelah penambahan reagen (Sharma, 2013).

25
H.3.8.6 Uji Indol
Cara pengujiannya yaitu medium tripton cair dimasukkan ke dalam tabung
reaksi sebanyak 5 mL diinkubasi selama 24 jam pada suhu 35oC, kemudian
ditambahkan beberapa tetes reagen Kovacs perhatikan warna yang terbentuk pada
media (Sharma, 2013)

H.3.8.7 Uji methyl red


Langkah-langkah yang digunakan dalam uji methyl red adalah sebagai berikut
menyiapkan kaldu MR-VP, lalu dimasukkan 5 mL kaldu MR-VP dalam tabung reaksi
dan diinokulasikan biakan bakteri ke dalam kaldu MR-VP diinkubasi pada suhu 37 oC
selama 48 jam atau pada suhu 30 oC selama 72 jam. Setelah 72 jam, ditambahkan
reagen metil merah 5 tetes (Sharma, 2013).

H.3.8.8 Uji Sitrat


cara pengujian sebagai berikut biakan diinokulasi pada media Simmon sitrat
agar dengan inokulum yang tipis dan diinkubasi pada suhu 35 oC selama 48 jam
(Sharma, 2013).

26
DAFTAR PUSTAKA

Anindyawati, T. 2010. Potensi Selulose dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah


Pertanian untuk Pupuk Organik. Berita Selulosa. 45 (2):70-77.

Beffa, T., M. Blanc, P.F. Lyon, G. Vogt, M. Marchiani, J.L. Fischer and M. Aragno,
1996. Isolation of thermus strains from hot composts (60-80°C). Applied
Environ. Microbiol. 65: 1723-1727.

David, M., Charbonneau., Meddeb-Mouelhi, F., Boissinot, M., Sirois, M and


Beauregard, M. 2011. Identification of Thermophilic Bacterial Strains
Producing Thermotolerant Hydrolytic Enzymes from Manure Compost.
Indian J Microbiol. 52(1): 41-47.

Dharmayanti, N.K.S., Supadma, A.A.N., dan Arthagama, I.D.M. 2013. Pengaruh


Pemberian Biourine dan Dosis Pupuk Anorganik (N,P,K) Terhadap Beberapa
Sifat Kimia Tanah Pegok dan Hasil Tanaman Bayam (Amaranthus sp.). E-
Jurnal Agroekoteknologi Tropika. 2 (3).

Duza, M.B, dan Mastan, S.A., 2013. Isolation, characterization and screening of
enzyme producing bacteria from different soil samples. International Journal
of pharma and bio sciences, 4 (2):813-824.

Dar, M.A., Pawar, K.D., Jadhav J.P., dan Pandit R.S. 2015. Isolation of Cellulolytic
Bacteria from the Gastro-intestinal Tract of Achatina Fulica (Gastropoda:
Pulmonata) and their Evaluation for Cellulose Biodegradation. International
Biodeterioration & Biodegradation. 98. 73–80.

David, M., Charbonneau., Medded-mouelhi, F., Boissinot, M., Siros, M., and
Beauregard, M. 2012. Identification of Thermophilic Bacterial Strains

27
Producing Thermotolerant Hydrolytic Enzymes from Manure Compost.
Indian J Microbiol. 52(1): 41-47.

Eaton R.A., and Hale M.D.C. 1993. Wood decay, Pest and Protection. London:
Chapman and Hale.

Faesal. Dj, N., dan Soenartiningsih. 2017. Seleksi Efektifitas Dekomposer terhadap
Limbah Tanaman Jagung. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan.
1(2):105-114.

Gupta, P., Samant, K., and Sahu, A. 2011. Isolation of Cellulose-Degrading Bacteria
and Determination of Their Cellulolytic Potensial. International Journal of
Microbiologi. 10:5

Gaol, M.R.L.L., Sitoru, R., Yanthi, S., Surya, I., dan Manurung, R. 2013.pembuatan
Selulosa Asetat dari Selulosa Tandan Kosong Kelapa Sawit. Jurnal Teknik
Kimia USU. 2(3):33-39.

Hong-li, Z. YangXiao. Dong-mei, X. Lu, X. Kai-zhong, T. Xing-yao, X. Yun, L.


Xiaou-jun, S. 2015. Isolation, Identification and Characterization of
Cellulose-Degradation Bacteria from Fresh Cow Dung and Fermentation
Biogas Slurry. Journal of Microbiology and Biotechnology. 4(3):30-37.

Indriani, Y. H. 2007. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta.

Idham., Sudiarso., Aini, N., and Nuraini, Y. 2016. Isolation and Identification on
Microorganism Decomposers of Palu Local Cow Manure of Central Sulawesi,
Indonesia. Journal of Degraded and Mining Land Management. 3 (4):625-
629.

Klemm, D., Schuman, D., Kramer, F., Hebler, N., Hornung, M., Schmauder, H.P.,
and Marsch, S. 2006. Nanocelluloses as Innovative Polymers in Research and
Aplication. Adv Polym Sci. Springer Berlin Heidelberg. 205. 49-96

Lv, W., and Yu, Z. 2012 Isolation and Characterization of Two Thermophilic
Cellulolytic Strains of Clostridium Thermocellum From a Compost Sample.
Journal of Applied Microbiology. 114. 1001-1007

Mallesh, S.B. 2008. Plant Growth Promoting Rhizobacteria, Their Characterization


and Mechanisms in The Suppression of Soil Borne Pathogens of Coleus and
Ashwagandha. [Dissertation]. University of Agricultural Science, Dharwad.

Plezar. 2006. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta : UI Press

28
Roidah, I.S. 2013. Manfaat Penggunaan Pupuk Organik untuk Kesuburan Tanah.
Jurnal Universitas Tulungagung Bonorowo. 1 (1).

Sulistyorini, L. 2010. Pengelolaan Sampah Dengan cara Menjadikannya Kompos.


Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2(1):77-84.

Shajahan, S., Moorthy, I.G., Sivakumar, N and Selvakumar, G. 2017. Statistical


Modeling and Optimization of Cellulase Production by Bacillus
Licheniformis NCIM 5556 Isolated from the Hot Spring, Maharashtra, India.
Journal of King Saud University-science. 29: 302-310

Sizova, M.V., Isquierdo, J.A., Panikov, N.S., and Lynd, L.R. 2011. Cellulose- and
Xylan-Degrading Thermophilic Anaerobic Bacteria from Biocompost.
Environmental Microbiology. 7(7):2282-2291.

Sharma, N., Buragohain, P., Tandon, D., and Kaushal, R. 2013. Comparative study of
potential cellulolytic and xylanolytic bacteria isolated from compost and their
optimization for industrial use. Journal of Agroalimentary Processes and
Technologies. 19(3):284-297.

Supartha, I.N.Y., Wijana, G., dan Adnyana, G.M. 2012. Aplikasi Jenis Pupuk
Organik pada Tanaman Padi Sistem Pertanian Organik. E-Jurnal
Agroekoteknologi Tropika. ISSN: 2301-6515, Vol. 1, No. 2.

Widarti, B.N., Wardhini, W.K., dan Sarwono, E. 2015. Pengaruh Rasio C/N Bahan
Baku Pada Pembuatan Kompos Dari Kubis Dan Kulit Pisang. Jurnal Integrasi
Proses. 5(2):75-80.

Yuwono, D. 2005. Pupuk Organik. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yuniwati, M., Iskarima, F., dan Padulemba, A. 2012, Optimasi Kondisi Proses
Pembuatan Kompos Dari Sampah Organik Dengan Cara Fermentasi
Menggunakan Em4. Jurnal Teknologi. 5(2):172-181.

Zaccardelli, M., Nicola, F.D., Villecco, D., dan Scotti, R. 2013. The Development
and Suppressive Activity of Soil Microbial Communities Under Compost
Amendment. Jurnal of Soil Scient and Plant Nutrition. 13(3):730-742.

29

Anda mungkin juga menyukai