Anda di halaman 1dari 6

Mengenal Thermochemical Conversion, Teknologi Pengubah Biomassa Menjadi Bahan

Bakar Alternatif

Ifana Futramsyah Harahap


Dec 2, 2018 · 3 min read

Ketergatungan manusia akan bahan bakar berbasis fosil harus segera dihentikan. Bahan bakar
berbasis fosil merupakan energi yang tidak terbarukan karena perlu waktu yang lama untuk
dapat terbentuk. Selain tidak terbarukan, bahan bakar fosil juga menghasilkan emisi gas karbon
yang mencemari lingkungan dan berperan dalam pembentukan efek rumah kaca. Sehingga
perlu adanya energi alternatif pengganti, untuk mengurangi sedikit demi sedikit
ketergantungan kita akan bahan bakar fosil.

Biomassa sebagai salah bahan yang melimpah, memiliki potensi untuk dijadikan energi.
Menurut Kementerian ESDM potensi sumber daya biomassa Indonesia jika dikembangkan
dapat mencapai 50 Giga Watt (GW), sehingga memiliki prospek yang bagus untuk
dikembangkan. Biomassa adalah bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis,
baik berupa produk maupun buangan. Contoh biomassa antara lain : tanaman, pepohonan,
rumput-rumputan, limbah pertanian dan limbah ternak. Dengan berbagai macam proses
biomassa dapat diubah menjadi energi. Umumnya biomasssa yang digunakan sebagai bahan
bakar adalah biomassa dengan nilai ekonomis rendah seperti limbah pertanian dan limbah
peternakan.

Salah satu teknologi yang dapat mengubah biomassa menjadi energi adalah teknologi
Thermochemical Conversion. Thermochemical conversion (TCC) adalah proses dekomposisi
material organik dengan suhu dan tekanan tinggi yang mengubah bahan organik menjadi
bentuk lain seperti arang, biofuel dan gas sintetik (Singh and Agarwal 2018) . Terdapat empat
alternatif proses TCC antara lain : Gasification, Pyrolisis, Direct Liquefaction dan Combustion.
TCC bekerja dengan rentang waktu yang cepat, rentang waktu detik, menit atau jam. Dengan
beberapa langkah pengolahan biomassa dapat dikonversi menjadi bahan bakar minyak atau
gas. Alternatif proses TCC yang digunakan akan menentukan jenis produk yang dihasilkan.
Proses Thermochemical Conversion

Pyrolysis adalah proses pembakaran biomassa dengan suhu tinggi (diatas 500°C) dengan
kontak oksigen yang sedikit (Singh and Agarwal 2018). Kandungan yang ada pada biomassa
akan dipisahkan dengan metode penghancuran oleh panas untuk diambil kandungan energinya.
Hasil dari proses pyrolisis antara lain :

a) Bio-char. Produk tersebut terbentuk dari sisa pembakaran tidak sempurna karbon biomassa
yang dapat digunakan sebagai bahan bakar dan penyubur lahan pertanian

b) Bio-oil. Produk tersebut terbentuk dari hasil kondensasi uap proses yang dapat digunakan
sebagai bahan bakar kendaraan bermotor

c) Synthetic gas. Produk tersebut tersusun atas hidrogen, karbon dioksida (CO2), karbon
monoksida (CO), dan metana (CH4) yang dapat digunakan sebagai bahan bakar pembakaran
industri

Gasification adalah proses konversi energi secara dengan penguraian biomassa yang dilakukan
di dalam suatu alat yang disebut gasifer reaktor, penguraian tersebut dilakukan dengan cara
pemanasan dengan suhu sekitar 900°C. Bahan baku yang biasanya digunakan adalah limbah
pertanian dan kayu. Produk yang dihasilkan dari proses gasifikasi adalah Syngas (CO2, CO,
Hidrogen, dan CH4. Syngas yang dihasilkan dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk proses
pembakaran dalam pembangkitkan listrik.

Direct Liquifaction adalah proses hidrolisis komponen lignoselulosa pada biomassa yang
mengkonversi biomassa menjadin minyak (bio-oil). Reaksi biasanya melibatkan katalis
homogen dan / atau heterogen untuk meningkatkan kualitas produk dan hasil. Karbon dan
hidrogen dari bahan organik, seperti biomassa, gambut atau batubara peringkat rendah (lignit)
secara termo-kimia diubah menjadi senyawa hidrofobik dengan viskositas rendah dan
kelarutan tinggi. Tergantung pada kondisi pengolahan, bahan bakar dapat digunakan sebagai
diproduksi untuk mesin berat, termasuk laut dan kereta api atau ditingkatkan menjadi bahan
bakar transportasi seperti solar, bensin atau bahan bakar jet.
Proses yang ada pada teknologi Thermochemical Conversion akan menentukan jenis produk
yang dihasilkan. Pyrolysis dan gasification merupakan proses yang umumnya banyak
digunakan saat ini. Proses tersebut dapat mengubah bahan biomassa menjadi bahan bakar
seperti bio-oil, char dan syngas. Dengan melihat banyaknya potensi biomassa yang dimiliki
Indonesia, maka proses pada teknologi Thermochemical Conversion perlu digunakan dan
dikembangkan untuk menghasilkan energi alternatif yang dapat mengurangi ketergatungan kita
akan energi fosil

• Liquification merupakan proses perubahan wujud dari gas ke cairan dengan proses
kondensasi, biasanya melalui pendinginan, atau perubahan dari padat ke cairan dengan
peleburan, bisa juga dengan pemanasan atau penggilingan dan pencampuran dengan
cairan lain untuk memutuskan ikatan. Pada bidang energi liquification tejadi pada
batubara dan gas menjadi bentuk cairan untuk menghemat transportasi dan
memudahkan dalam pemanfaatan.
Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber
bahan organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa,
lignin dan beberapa bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada
dinding sel tanaman. Susunan dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding
primer (P) serta dinding sekunder (S) yang terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan
sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding sekunder utama (S2) dan dinding sekunder
bagian dalam (S3)
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa
pada dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al.
2002). Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf.
Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa
(Taherzadeh 1999). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen
yang berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen
tanaman tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi
terhadap serangga dan patogen (Orth et al. 1993).
Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan
hambatan utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril
selulosa oleh lignin membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras. Efisiensi
pemanfaatan selulosa sebagai sumber energi bagi ternak ruminansia sangat tergantung pada
kemampunan ternak untuk memutus ikatan yang memproteksi selulosa dari serangan enzim
selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim
selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada substrat dilarutkan, dihilangkan atau
dikembangkan terlebih dahulu.
Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tak spesifik karena lignin mempunyai
struktur acak dengan berat molekul yang tinggi. Lignin biasanya terakumulasi selama proses
degradasi lignoselulosa. Lignin selain dapat digedradasi oleh sekelompok mikroorganisme,
dalam konsisi lingkungan tertentu dapat juga didegradasi oleh faktor abiotik seperti dengan
senyawa alkali (Blanchette et al. 1991) atau radiasi ultra violet (Vähätalo et al. 1999), namun
hanya kapang pelapuk putih yang mampu mendegradasi lignin secara efektif (Blanchette
1995). Degradasi lignin oleh bakteri seperti Streptomyces sp. (Crawford et al. 1983) dan
Actinomycetes (Kirk dan Farrell 1987) terjadi seperti oksidasi yang dilakukan oleh kapang
pelapuk putih, namun bakteri hanya mampu mendegradasi sebagian kecil molekul lignin.
Spesies kapang yang mampu mendegradasi lignin dapat dikelompokkan menjadi white-rot,
brown-rot dan soft-rot fungi.
White-rot fungi terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat
mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Tingkat
dan laju pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara spesies
white-rot fungi (Adaskaveg et al. 1995). Kapang ini ada yang mampu mendegradasi lignin
secara selektif dan ada pula yang non selektif (Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang
pelapuk putih selektif (contoh: Ceriporiopsis subvermispora, Dichomitus squalens,
Phanerochaete chrysosporium, Phlebia radiata), lignin dan hemiselulosa didegradasi lebih
banyak dibanding selulosa, sedangkan kapang non selektif (contoh: Trametes versicolor and
Fomes fomentarius), mendegradasi semua komponen lignoselulosa dalam jumlah yang sama
(Rayner dan Boddy 1988; Blanchette 1995; Hatakka 2001).
Brown-rot fungi terutama termasuk dalam kelas Basidiomycetes. Kapang ini mendegradasi
selulosa dan hemiselulosa sangat efeisien dengan mekanisme yang berbeda dari organisme lain
yang melibatkan reaksi non enzimatik dan tanpa enzim eksoglukonase (Blanchette 1995).
Keberadaan lignin memacu degradasi selulosa oleh brown-rot fungi meskipun lignin
didegradasi dalam tingkat yang lebih kecil terutama pada lamela tengah dinding sel yang kaya
lignin (Tuomela 2002; Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang Polyporus ostreiformis
mampu menghasilkan enzim MnP and LiP, tetapi kemampuannya dalam degradasi lignin lebih
rendah dibanding P. chrysosporium (Dey et al. 1994).
Soft-rot fungi terutama hanya terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim bagi
kapang pelapuk dari kelas basiodiomycetes seperti lingkungan yang terlalu basah atau terlalu
kering (Blanchette et al. 1991, Blanchette 1995). Kapang ini juga mempunyai tingkat toleransi
yang lebih baik terhadap temperatur, pH dan keterbatasan oksigen dibanding kapang pelapuk
lain.
Enzim lignoselulolitik terdiri dari sekumpulan enzim yang terbagi dalam dua kategori yaitu
hidrolitik dan oksidatif. Enzim hidrolitik mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dan setiap
enzim bekerja terhadap substrat yang spesifik. Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik
dan bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin. Enzim
pendegradasi lignin ini secara umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan
peroxidase (Perez et al. 2002) yang terdiri dari lignin peroxidase (LiP) dan manganese
peroxidase (MnP) (Chahal dan Chahal 1998). Ketiga enzim ini bertanggung jawab terhadap
pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk dengan berat molekul rendah pada
kapang pelapuk putih (Akhtar et al. 1997). Tidak semua kapang pelapuk putih menghasilkan
ketiga jenis enzim sekaligus. T. versicolor dan P.chrysosporium hanya menghasilkan LiP and
MnP (meskipun penelitian Srivivasan et al. (1995) menunjukkan bahwa P. chrysosporium
BKM-F1767 menunjukkan aktivitas enzim menyerupai laccase), sedangkan C. subvermispora
hanya menghasilkan MnP and laccase, dan Phlebia ochraceofulva hanya menghasilkan LiP and
laccase.

Lignoselulosa merupakan komponen utama tanaman yang menggambarkan jumlah sumber bahan
organik yang dapat diperbaharui. Lignoselulosa terdiri dari selulosa, hemiselulosa, lignin dan beberapa
bahan ekstraktif lain. Semua komponen lignoselulosa terdapat pada dinding sel tanaman. Susunan
dinding sel tanaman terdiri dari lamela tengah (M), dinding primer (P) serta dinding sekunder (S) yang
terbentuk selama pertumbuhan dan pendewasaan sel yang terdiri dari lamela transisi (S1), dinding
sekunder utama (S2) dan dinding sekunder bagian dalam (S3)
Selulosa merupakan komponen utama penyusun dinding sel tanaman. Kandungan selulosa pada
dinding sel tanaman tingkat tinggi sekitar 35-50% dari berat kering tanaman (Lynd et al. 2002).
Selulosa mengandung sekitar 50-90% bagian berkristal dan sisanya bagian amorf.
Jumlah hemiselulosa biasanya antara 15 dan 30 persen dari berat kering bahan lignoselulosa
(Taherzadeh 1999). Lignin sulit didegradasi karena strukturnya yang kompleks dan heterogen yang
berikatan dengan selulosa dan hemiselulosa dalam jaringan tanaman. Lebih dari 30 persen tanaman
tersusun atas lignin yang memberikan bentuk yang kokoh dan memberikan proteksi terhadap
serangga dan patogen (Orth et al. 1993).
Struktur berkristal serta adanya lignin dan hemiselulosa disekeliling selulosa merupakan hambatan
utama dalam menghidrolisis selulosa. Kristalisasi selulosa dan pengerasan fibril selulosa oleh lignin
membentuk suatu senyawa lignoselulosa yang keras. Efisiensi pemanfaatan selulosa sebagai sumber
energi bagi ternak ruminansia sangat tergantung pada kemampunan ternak untuk memutus ikatan
yang memproteksi selulosa dari serangan enzim selulase. Selulosa dan hemiselulosa pada
lignoselulosa tidak dapat dihidrolisis oleh enzim selulase dan hemiselulase kecuali lignin yang ada pada
substrat dilarutkan, dihilangkan atau dikembangkan terlebih dahulu.
Degradasi lignin membutuhkan enzim ekstraseluler yang tak spesifik karena lignin mempunyai
struktur acak dengan berat molekul yang tinggi. Lignin biasanya terakumulasi selama proses degradasi
lignoselulosa. Lignin selain dapat digedradasi oleh sekelompok mikroorganisme, dalam konsisi
lingkungan tertentu dapat juga didegradasi oleh faktor abiotik seperti dengan senyawa alkali
(Blanchette et al. 1991) atau radiasi ultra violet (Vähätalo et al. 1999), namun hanya kapang pelapuk
putih yang mampu mendegradasi lignin secara efektif (Blanchette 1995). Degradasi lignin oleh
bakteri seperti Streptomyces sp. (Crawford et al. 1983) dan Actinomycetes (Kirk dan Farrell 1987)
terjadi seperti oksidasi yang dilakukan oleh kapang pelapuk putih, namun bakteri hanya mampu
mendegradasi sebagian kecil molekul lignin. Spesies kapang yang mampu mendegradasi lignin dapat
dikelompokkan menjadi white-rot, brown-rot dan soft-rot fungi.
White-rot fungi terdapat pada kelompok Basidiomycetes dan Ascomycetes. Kapang ini dapat
mendegradasi lignin secara lebih cepat dan ekstensif dibanding mikroorganisme lain. Tingkat dan laju
pengurangan polisakarida dan lignin dari substrat dapat berbeda diantara spesies white-rot fungi
(Adaskaveg et al. 1995). Kapang ini ada yang mampu mendegradasi lignin secara selektif dan ada pula
yang non selektif (Blanchette 1995; Hatakka 2001). Kapang pelapuk putih selektif (contoh:
Ceriporiopsis subvermispora, Dichomitus squalens, Phanerochaete chrysosporium, Phlebia radiata),
lignin dan hemiselulosa didegradasi lebih banyak dibanding selulosa, sedangkan kapang non
selektif (contoh: Trametes versicolor and Fomes fomentarius), mendegradasi semua komponen
lignoselulosa dalam jumlah yang sama (Rayner dan Boddy 1988; Blanchette 1995; Hatakka 2001).
Brown-rot fungi terutama termasuk dalam kelas Basidiomycetes. Kapang ini mendegradasi selulosa
dan hemiselulosa sangat efeisien dengan mekanisme yang berbeda dari organisme lain yang
melibatkan reaksi non enzimatik dan tanpa enzim eksoglukonase (Blanchette 1995). Keberadaan lignin
memacu degradasi selulosa oleh brown-rot fungi meskipun lignin didegradasi dalam tingkat yang lebih
kecil terutama pada lamela tengah dinding sel yang kaya lignin (Tuomela 2002; Blanchette 1995;
Hatakka 2001). Kapang Polyporus ostreiformis mampu menghasilkan enzim MnP and LiP, tetapi
kemampuannya dalam degradasi lignin lebih rendah dibanding P. chrysosporium (Dey et al. 1994).
Soft-rot fungi terutama hanya terdapat pada daerah dengan lingkungan yang ekstrim bagi kapang
pelapuk dari kelas basiodiomycetes seperti lingkungan yang terlalu basah atau terlalu kering
(Blanchette et al. 1991, Blanchette 1995). Kapang ini juga mempunyai tingkat toleransi yang lebih baik
terhadap temperatur, pH dan keterbatasan oksigen dibanding kapang pelapuk lain.
Enzim lignoselulolitik terdiri dari sekumpulan enzim yang terbagi dalam dua kategori yaitu hidrolitik
dan oksidatif. Enzim hidrolitik mendegradasi selulosa dan hemiselulosa dan setiap enzim bekerja
terhadap substrat yang spesifik. Enzim oksidatif merupakan enzim non-spesifik dan bekerja melalui
mediator bukan protein yang berperan dalam degradasi lignin. Enzim pendegradasi lignin ini secara
umum terdiri dari dua kelompok utama yaitu laccase (Lac) dan peroxidase (Perez et al. 2002) yang
terdiri dari lignin peroxidase (LiP) dan manganese peroxidase (MnP) (Chahal dan Chahal 1998). Ketiga
enzim ini bertanggung jawab terhadap pemecahan awal polimer lignin dan menghasilkan produk
dengan berat molekul rendah pada kapang pelapuk putih (Akhtar et al. 1997). Tidak semua kapang
pelapuk putih menghasilkan ketiga jenis enzim sekaligus. T. versicolor dan P.chrysosporium hanya
menghasilkan LiP and MnP (meskipun penelitian Srivivasan et al. (1995) menunjukkan bahwa P.
chrysosporium BKM-F1767 menunjukkan aktivitas enzim menyerupai laccase), sedangkan C.
subvermispora hanya menghasilkan MnP and laccase, dan Phlebia ochraceofulva hanya menghasilkan
LiP and laccase.

Selulosik etanol adalah biofuel yang dihasilkan dari kayu, rumput, atau dapat dimakan bagian
non-tanaman. Ini adalah jenis biofuel yang diproduksi dari lignoselulosa , bahan struktural
yang terdiri dari banyak massa tanaman. Lignoselulosa terdiri terutama dari selulosa ,
hemiselulosa , dan lignin . brangkasan Jagung , switchgrass , miskantus , woodchips dan produk
sampingan dari rumput dan pemeliharaan pohon adalah beberapa bahan selulosa yang lebih
populer untuk produksi etanol. Produksi etanol dari lignoselul.osa memiliki keunggulan bahan
baku yang melimpah dan beragam dibandingkan dengan sumber-sumber seperti gula jagung
dan tebu, tetapi membutuhkan sejumlah besar pengolahan untuk membuat monomer gula
tersedia bagi mikroorganisme yang biasanya digunakan untuk memproduksi etanol melalui
fermentasi

Switchgrass dan miskantus merupakan bahan biomassa utama yang dipelajari hari ini, karena
produktivitas tinggi per hektar. Selulosa, bagaimanapun, adalah terkandung dalam hampir
setiap tumbuhan alami, bebas-tumbuh, pohon, dan semak, di padang rumput hutan, dan bidang
di seluruh dunia tanpa usaha pertanian atau biaya yang diperlukan untuk membuatnya tumbuh.

Menurut US Department of Energy studi dilakukan oleh Argonne National Laboratory dari
Universitas Chicago , salah satu manfaat dari etanol selulosa adalah bahwa itu mengurangi gas
rumah kaca emisi (GRK) sebesar 85% dari bensin reformulasi. Sebaliknya, pati etanol
(misalnya, dari jagung), yang paling sering menggunakan gas alam untuk menyediakan energi
untuk proses tersebut, mungkin tidak mengurangi emisi gas rumah kaca di semua tergantung
pada bagaimana berbasis bahan baku tepung yang dihasilkan.

Anda mungkin juga menyukai