Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

Pemanfaatan Limbah Dari Pati Kulit Singkong


Menjadi Plastik Mudah Terurai
(Biodegradabel)

Disusun Oleh
Hamdan
(04131811006)

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS KHAIRUN
TERNATE
2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Plastik merupakan salah satu kemasan yang tidak dapat dipisahkan dari
masyarakat. Harganya yang murah menjadikan plastik menjadi salah satu
kemasan yang sangat disukai oleh masyarakat. Bahan baku utama pembuat plastik
berasal dari minyak bumi, yang keberadaannya semakin menipis karena terlalu
sering digunakan.
Banyaknya plastik yang kita gunakan mengakibatkan terjadinya
penumpukan limbah dan menjadi penyebab pencemaran dan kerusakan
lingkungan hidup karena plastik tidak mudah terurai dan dihancurkan dengan
cepat dan alami oleh mikroba penghancur di dalam tanah. Hal ini menyebabkan
kemasan plastik tersebut tidak dapat dipertahankan penggunaannya secara meluas
karena akan menambah persoalan lingkungan dan kesehatan di waktu mendatang.
Oleh karena itu, perlu untuk membuat plastik yang ramah lingkungan serta mudah
terurai oleh mikroba yang ada di dalam tanah. Salah satunya dengan
menggunakan plastik biodegradabel.
Plastik biodegradabel adalah plastik yang dapat terurai oleh aktivitas
mikroorganisme menjadi hasil berupa air dan gas karbondioksida, setelah habis
terpakai dan dibuang ke lingkungan tanpa meninggalkan sisa yang beracun.
Plastik biodegradabel terbuat dari material yang dapat diperbaharui yaitu
dari senyawa-senyawa yang terdapat pada tumbuhan dan hewan. Salah satu bahan
yang bisa digunakan untuk membuat plastik biodegradabel adalah dengan
menggunakan pati kulit singkong.
Kulit singkong merupakan limbah yang berasal dari tanaman singkong
(Manihot Esculenta Cranz) yang sudah diolah menjadi berbagai jenis produk.
Setiap kilogram singkong biasanya dapat menghasilkan 15-20% kulit umbi.
Kandungan pati kulit singkong yang cukup tinggi, memungkinkan digunakan
sebagai pembuatan film plastik biodegradabel. Potensi tersebut dapat digunakan
sebagai peluang untuk memberikan nilai tambah pada kulit singkong sebagai
bahan dasar dalam pembuatan kemasan plastik ramah lingkungan.
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang
terdiri dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (besarnya
perbandingan amilosa dan amilopektin ini berbeda-beda tergantung jenis
patinya. Kandungan amilosadan amilopektin pati kulit singkong adalah
15/73.

1.2 Tujuan
1. Untuk mengetahui cara membuat plastik biodegradble dari pati kulit
singkong.
2. Untuk memanfaatkan limbah kulit singkong.
3. Untuk mengetahui pengaruh suhu dan pH terhadap karakteristik plastik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Plastik Biodegradabel


Plastik biodegradable adalah plastik yang dapat digunakan seperti
layaknya plastik konvensional, namun akan hancur terurai oleh aktivitas
mikroorganisme menjadi air dan karbondioksida setelah habis terpakai dan
dibuang ke lingkungan (Anita et al., 2013).

Gambar 1. Plastik biodegradable


Plastik biodegradable terbuat dari material yang dapat diperbaharui yaitu
senyawa-senyawa yang terdapat pada tumbahan dan hewan. Plastik biodegradable
memiliki waktu urai lebih cepat dari plastik konvensional karena terurai oleh
aktivitas mikroorganisme menjadi hasil akhir air dan gas karbondioksida
(Normiyanti dan Hendrasarie, 2011).
Berdasarkan bahan baku yang dipakai plastik biodegradable dibagi
menjadi dua kelompok yaitu kelompok dengan bahan baku petrokimia dan
kelompok dengan bahan baku produk tanaman seperti pati dan selulosa
(Firdaus 2004; Anita et al., 2013).
Pati adalah karbohidrat yang merupakan polimer glukosa yang terdiri
dari amilosa dan amilopektin dengan perbandingan 1:3 (besarnya perbandingan
amilosa dan amilopektin ini berbeda-beda tergantung jenis patinya. Kandungan
amilosadan amilopektin pati kulit singkong adalah 15/73 (Cui, S.W. 2005;
Anita et al., 2013).
Pembentukan film plastik dari pati, pada prinsipnya merupakan gelatinasi
molekul pati. Pembuatan film berbasis pati pada dasarnya menggunakan prinsip
gelatinasi. Dengan adanya penambahan sejumlah air dan dipanaskan pada suhu
yang tinggi maka akan terjadi gelatinasi. Gelatinasi mengakibatkan ikatan amilosa
akan cenderung saling berdekatan karena adanya ikatan hidrogen. Proses
pengeringan akan mengakibatkan penyusutan sebagai akibat lepasnya air
sehingga gel akan membentuk film yang stabil (Cui, S.W. 2005; Anita et al.,
2013).

2.2 Singkong
Singkong memiliki kandungan pati sebesar 32,4% (Hidayat, 2009;
Pulungan, 2019). Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2015 mencapai
21.801.415 ton menurut Badan Pusat Statistika Provinsi Jawa Timur (2015).
Produksi singkong di Jawa Timur pada tahun 2015 sebesar 3.161.573 ton. Lima
kabupaten penghasil singkong terbesar di Jawa timur pada tahun 2015 yaitu
Ponorogo mencapai 416.638 ton, Pacitan 319.964 ton, Malang 360.322 ton,
Trenggalek 298.195 ton, dan Tuban 123.545 ton. Hal tersebut tentunya sangat
mendukung penggunaan komoditas lokal sebagai bahan pembuatan plastik
biodegradable. Selain singkong, kulit singkong juga memiliki kandungan
karbohidrat yang bisa diambil patinya. Kandungan karbohidrat pada kulit
singkong sebesar 4,55% (Hidayat, 2009; Pulungan, 2019). Keberadaan kulit
singkong mencapai 15% dari berat singkong (Lebot, 2009; Pulungan, 2019), maka
kulit singkong yang dihasilkan pada tahun 2013 sebesar 3.270.212,25 ton. Kulit
singkong yang dianggap sebagai limbah selama ini hanya dibuang dan
dimanfaatkan sebagai makanan ternak, padahal selain itu kulit singkong yang
kaya pati sangat berpotensi sebagai bahan baku plastik (Munthoub, 2011;
Pulungan, 2019).
BAB III
METODE PELAKSANAAN

3.1 Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pati kulit singkong
putih. Kulit singkong putih diperoleh di penjual gorengan singkong di Tabanan
yang menghasilkan kulit 15 kg/hari. Bahan lainnya yaitu asam asetat
(CH3COOH) 1%, gliserol (C3H8O3)99%, dan aquades.
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah baskom, kain saring,
blender, saringan/ayakan 60 mesh, Hot plate strirer, magnetic strirer, oven Merk
Labo Model DO 2116, cetakan Teflon (Maxim) diameter 20cm, gelas beaker 100
ml (Herma), gelas beaker 250 ml (Herma), timbangan analitik (ohaus pioneer),
desikator, pipet tetes, pot plastik, thermometer, pH meter bA dan alat uji mekanik
plastik berdasarkan ASTM D695-90.

3.2 Metode Penelitian


Metode penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
Kelompok (RAK) faktorial dengan dua faktor. Faktor pertama yaitu suhu pada
proses gelatinisasi pati kulit singkong yang terdiri dari 2 taraf yaitu :
S1 = 70 ± 1o C dan S2 = 75 ± 1o C

Faktor kedua yaitu pH yang terdiri dari 4 taraf yaitu :


P1 = 4, P2 = 5, P3 = 6 dan P4 = 7
Kedua faktor tersebut menghasilkan 8 perlakuan kombinasi, dengan 3
kelompok berdasar waktu percobaan sehingga terdapat 24 unit percobaan. Data
yang diperoleh dianalisis keragamannya dan dilanjutkan dengan uji perbandingan
berganda Duncan.
Penelitian ini dilakukan dengan metode eksperimen (percobaan) yang
terdiri dari dua tahap yaitu pembuatan pati kulit singkong dan pembuatan plastik.

3.3 Prosedur Pembuatan


3.3.1 Pembuatan Pati Kulit Singkong
Pembuatan pati kulit singkong dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1. Kulit singkong dicuci sampai bersih.
2. Kulit singkong yang sudah bersih ditambahkan air (1:4) untuk
mempermudah proses penghancuran.
3. Kemudian dihaluskan dengan blender sehingga diperoleh bubur/pulp kulit
singkong basah.
4. Selanjutnya, dilakukan pemerasan dan penyaringan dengan kain saring.
Cairan yang diperoleh berupa air pati ditampung dalam baskom dan
diendapkan selama 12 jam untuk memperoleh endapan pati.
5. Setelah terdapat endapan pada baskom tersebut, antara air dan endapan
dipisahkan, di bagian atas endapan dibuang sehingga diperoleh endapan
pati berwarna putih.
6. Kemudian endapan pati yang diperoleh dikeringkan dengan oven
pengering pada suhu 70o C sampai kadar air maksimal 11%.
7. Setelah itu diayak dengan ayakan 60 mesh sehingga diperoleh pati kulit
singkong yang halus.

3.3.2 Pembuatan Plastik


Pembuatan plastik dari pati kulit singkong dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
1. Menimbang pati kulit singkong sebanyak 4 gram dan ditambah 100 ml
larutan asam cuka pH sesuai perlakuan.
2. Campuran ditambah gliserol 1,5 gram dan diaduk hingga homogen.
3. Kemudian dipanaskan di atas waterbath sambil diaduk pada suhu sesuai
perlakuan selama 10 menit terbentuk gel. Gel pati yang dihasilkan dituang
pada cetakan Teflon dengan diameter 20 cm.
4. Selanjutnya, dimasukkan pada oven pengering pada suhu 65o C selama 5
jam.
5. Setelah film terbentuk, Teflon yang masih terdapat film plastik
dikeluarkan dari oven dan didiamkan dalam suhu kamar selama 24 jam.
6. Selanjutnya, film plastik diambil dari Teflon dan siap diuji.

Berikut adalah diagram alir proses pembuatan plastik dari pati kulit
singkong sebagai berikut:
Pati kulit singkong

Penimbangan 4 gram pati

100 ml larutan asam Pencampuran dan pengadukan


cuka dengan pH pati dan larutan asam cuka

Gliserol Pengadukandan pemanasan pada suhu sesuai


1,5 gram perlakuan sampai berbentuk gel

Pencetakan pada cetakan teflon diameter 20 cm

Pengeringan pada oven suhu 65o C selama 5 jam

Pengangkatan cetakan dan diletakkan pada suhu kamar selama 24 jam

Pelepasan plastik dari cetakan

Pelepasan plastik dari cetakan


Analisis
Bioplastik pati kulit singkong Kuat tarik, Elongation
Elastisitas, Biodegradasi

Gambar 3. Diagram alir pembuatan plastik dari pati singkong (Putra et al., 2019).

3.4 Prosedur Analisa


3.4.1 Kekuatan Tarik (Tensile strength) (Gibson,1994)
Uji Kekuatan tarik atau tensile strength dilakukan dengan menggunakan
alat yang mengacu pada ASTM D 695-90. Adapun cara pengujian yaitu:
1. Sampel dipotong sepanjang 8 cm dengan lebar 3 cm
2. Selanjutnya, sampel dipasang di ragum uji tarik kemudian dial gauge
diatur pada keadaan 0.
3. Setelah itu, dial gauge dihidupkan, handel diputar perlahan kekanan,
sampai sampel putus.
4. Kemudian data berupa gaya yang dikeluarkan dapat dilihat dial gaugle.

Berikut ini rumus perhitungan tensile strength:


𝜎 = F/A
Keterangan:
𝐹 = Gaya yang diperlukan (N)
A = Luas Pemukaan (mm2)
𝜎 = Tensile Strength (N/mm2)

3.4.2 Perpanjangan Saat Putus Bioplastik (Elongation at break)


(Gibson,1994)
Uji perpanjangan atau elongation dilakukan dengan menggunakan alat uji
tarik mengacu pada standar ASTM D 695-90. Adapun cara pengujian yaitu:
1. Sampel dipotong sepanjang 8 cm dengan lebar 3 cm.
2. Selanjutnya, sampel dipasang di ragum uji tarik dimana sampel yang diuji
sepanjang 4,46 cm.
3. Kemudian dial gauge diatur pada keadaan 0.
4. Setelah itu, dial gauge dihidupkan, handel diputar kekanan, sampai sampel
putus.
5. Kemudian, dicatat perubahan panjang pada sampel.

Berikut ini rumus perhitungan elongasi (%):


Perpanjangan film (mm)
Elongaasi (%) = X 100 %
Panjang awal film (mm)

3.4.3 Elastisitas (Modulus Young) (Gibson,1994)


Modulus young (Elastisitas) diperoleh dari perbandingan antara kuat tarik
dengan elongasi. Berikut ini rumus perhitungan modulus young elastisitas):
Kuat tarik (MPa)
Elastisitas (MPa) =
Elongasi (%)
3.4.4 Kemampuan Biodegradasi (Harnis dan Darni, 2011)
Sifat biodegradable film diuji dengan cara mengubur plastik dalam tanah
kompos dengan kedalaman 10 cm (Ardi, 2009). Pengujian biodegradable
dilakukan dengan proses penguburan plastik selama 1 minggu kemudian diamati
setiap 24 jam. Hasil terbaik didapat dari perlakuan yang lebih awal ter- degradasi.
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh Suhu dan pH Terhadap Plastik


4.1.1 Kuat Tarik Bioplastik
Berdasarkan hasil penelitian keragaman pengaruh suhu dan pH pada
proses pembuatan bioplastik pati kulit singkong berpengaruh sangat nyata
(p<0,01) terhadap kekuatan tarik. Pada hasi peneitian terlihat kekuatan tarik 75˚C
dan pH5 memiliki nilai 1.181 MPa. Kekuatan tarik terendah terdapat pada sampel
dengan suhu 70˚C dan pH4 dengan nilai 0.878 MPa.
Plastik biodegradable dari pati kulit singkong tidak memenuhi nilai
kekuatan tarik berdasarkan standar plastik internasional (ASTM5336) untuk
plastik PLA dari Jepang yang memiliki nilai minimum 2.050 Mpa, tetapi
memenuhi standar plastik Inggris untuk PC plastik yang memiliki nilai minimal
sebesar 190 MPa (Averous, 2009). Dalam penelitian Purwanti (2010) juga
disimpulkan bahwa film dari kitosan murni memiliki nilai kuat tarik lebih tinggi
jika dibandingkan dengan kitosan yang telah dicampur bahan lain tetapi nilai
elongasi yang dihasilkan lebih rendah. Bioplastik dengan kekuatan tarik yang
tinggi akan mampu melindungi produk yang dikemasnya dari gangguan mekanis
dengan baik.

4.1.2 Perpanjangan Saat Putus


Perpanjang saat putus (elongation at break) atau proses pemanjangan
merupakan perubahan panjang maksimum pada saat terjadi peregangan hingga
sampel film terputus. Pada umumnya adanya penambahan plasticizer dalam
jumlah lebih besar akan menghasilkan nilai persen pemanjangan suatu film
semakin lebih besar. Tanpa penambahan plasticizer, amilosa dan amilopektin akan
membentuk suatu film dan struktur dengan satu daerah kaya amilosa dan
amilopektin. Interaksi antara molekul-molekul amilosa dan amilopektin
mendukung formasi film, menjadikan film pati jadi rapuh dan kaku (Kristiani,
2015).
Data penelitian menunjukkan bahwa perpanjangan saat putus tertinggi
didapat pada sampel dengan suhu 70˚C dan pH4 dengan nilai 20,992%.
Perpanjangan saat putus terendah terdapat pada sampel dengan suhu 75˚C dan
pH5 dengan nilai 13,591%. Nilai perpanjangan tertinggi saat putus lebih besar
dibandingkan penelitian yang dilakukan Harsojuwono et al (2017), sebesar
10,32%.
Hasil penelitian ini sudah memenuhi standar plastik internasional
(ASTM5336) yang menetapkan nilai elongation at break kurang dari 500% untuk
PCL dari Inggris, meskipun untuk standar PLA dari Jepang belum terpenuhi,
tetapi sudah mendekati batas nilai maksimal elongation at break-nya sebesar 9%.

4.1.3 Elastisitas
Data penelitian menunjukkan bahwa elastisitas tertinggi terdapat pada
sampel dengan suhu 75˚C dan pH5 dengan nilai 8,744 MPa. Elastisitas terendah
terdapat pada sampel dengan suhu 70˚C dan pH4 dengan nilai 4,197 MPa. Hasil
nilai dari penelitian ini memiliki nilai jauh lebih kecil dari pada penelitian yang
dilakukan Harsojuwono et al (2017), memiliki nilai elastisitas sebesar 6629,47
MPa. Elastisitas yang tinggi akan berpengaruh terhadap produk yang akan
dikemas untuk keutuhan produk (Harsojuwono et al, 2017).

4.1.3 Ketebalan
Data penelitian menunjukkan bahwa ketebalan tertinggi terdapat pada
sampel dengan suhu 75˚C dan pH 5 dengan nilai 111,667%. Sementara untuk
suhu dan pH lainnya memiliki hasil yang bervariasi. Hasil penelitian ini lebih
tinggi jika dibandingkan pada penelitian yang dilakukan oleh Harsojuwono et al,
(2017), yang menunjukan nilai pengembangan berkisar 9,91% – 11,28%.
Ketebalan film dipengaruhi oleh banyaknya total padatan dalam larutan dan
ketebalan cetakan. Dengan cetakan yang sama, film yang terbentuk akan lebih
tebal apabila volume larutan yang dituangkan ke dalam cetakan lebih banyak.
Demikian juga dengan total padatan yang akan membentuk film menjadi lebih
tebal dengan jumlah yang lebih banyak. Ketebalan bioplastik tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap kuat tarik dan persen pemanjangan. Yang
mempengaruhi kuat tarik dan persen pemanjangan adalah komposisi dari film
bioplastik tersebut (Harsojuwono et al, 2017).
4.1.4 Biodegradasi
Proses biodegradabilitas dapat terjadi dengan proses hidrolisis (degradasi
kimiawi), bakteri/jamur, enzim (degradasi enzimatik), oleh angin dan abrasi
(degradasi mekanik), cahaya (fotodegradasi). Proses ini juga dapat dilakukan
melalui proses secara anaerobik dan aerobik.
Pada penelitian ini uji biodegradasi dilakukan dengan cara mengubur
sampel kedalam tanah dengan kedalaman 10 cm dalam waktu 7 hari. Berdasarkan
hasil analisis yang dilakukan dengan cara mengubur bioplastik di dalam tanah
dengan kedalaman 10 cm maka diperoleh data T70pH4 dan T75pH7 umur
degradasi selama 5 hari. T70pH5 dan T75pH5 umur degradasi selama 3 hari,
T70pH6 umur degradasi selama 2 hari, T70pH7, T75pH4 dan T75pH6 umur
degradasi selama 4 hari. Berdasarkan hasil analisis, untuk hasil terbaik degradasi
bioplastik yaitu bioplastik dengan perlakuan T70pH6.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Perlakuan interaksi antara suhu dan pH memiliki pengaruh sangat nyata
pada kuat tarik bioplastik (p<0,01) dan elasisitas (p<0,01). Perlakuan suhu dan pH
pada perpanjangan saat putus berpengaruh nyata (p<,0,05), perlakuan ketebalan
berpengaruh tidak nyata (p>0,05), biodegradasi terbaik didapat pada perlakuan
T70pH6 pada pembuatan bioplastik dari bahan pati kulit singkong.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada sampel bioplastik pati kulit
singkong terbaik terdapat pada perbandingan suhu 75˚ dan pH5 dengan
karakteristik kuat tarik sebesar 1,181Mpa, perpanjangan saat putus sebesar
13,591%, elastisitas sebesar 8,744Mpa dan degradasi terbaik didapat pada
pengujian sampel S1P3 yang terdegradasi selama 2 hari.

5.2 Saran
Berdasarkan penelitian disarankan untuk menggunakan perbandingan suhu
pemanasan 75˚ C dan pH 5 untuk melarutkan bahan, sehingga akan mendapatkan
hasil bioplastik pati singkong yang paling optimum.
DAFTAR PUSTAKA

Anita, Z., Akbar, F., dan Harahap, H. 2013. Pengaruh Penambahan Gliserol
Terhadap Sifat Mekanik Film Plastik Biodegradasi Dari Pati Kulit
Singkong. Jurnal Teknik Kimia USU, 2 (2): Hal 37-41.

Normiyanti, A., & N. Hendrasarie. 2011. Pemanfaatan Limbah Padat Tapioka


sebagai Bahan Baku Plastik Mudah Terurai (Biodegradable). Hal 88-96.

Putra, D. M. D. P., Harsojuwono, B. A., dan Hartiati, A. 2019. Jurnal Rekayasa


dan Manajemen Agroindustri Studi Suhu dan Ph Gelatinasi Pada
Pembuatan Bioplastik Dari Pati Kulit Singkong. Jurnal Rekayasa dan
Manajemen Agroindustr.i Vol. 7, No. : Hal 441-44.

Pulungan, M. H., Hidayat, N., Wafa, A., dan Wardina, K. 2018. Pendayagunaan
Pati Singkong dan Tepung Kulit Singkong sebagai Bahan Pembuatan
Plastik Biodegradable (Kajian Rasio Pati Singkong dan Tepung Kulit
Singkong). In Prosiding Seminar Nasional Kulit, Karet dan Plastik. Vol.
7, No. 1: Hal 41-54.

Anda mungkin juga menyukai