HIPERMETROPIA
Disusun Oleh:
Donna Patandianan
112022031
Pembimbing:
Dinding lateral dan medial dari rongga orbita bersudut 45° dari satu sama lain. Aksis
orbita membentuk sudut 22,5° dengan dinding lateral dan medial, yang umumnya dianggap
23°. Ketika mata melihat lurus ke depan dengan kepala tegak (posisi primer), aksis visual
membentuk sudut 23° dengan aksis orbita, dimana aksi dari otot ekstraokuler bergantung
pada posisi bola mata saat kontraksi otot.
Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus dan otot levator
palpebra superior. Nervus kranialis VI (abdusen) menginervasi otot rektus lateralis, nervus
kranialis IV (troklearis) menginervasi otot oblikus superior, sedangkan nervus kranialis III
(okulomotorius) menginervasi otot levator palpebra superior, rektus medialis, rektus inferior
dan oblikus inferior.
Rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan inferior. Otot rektus superior
diinervasi oleh nervus kranialis III dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang
muskularis lateralis. Aksi utama otot rektus superior adalah elevasi pada posisi primer,
dengan aksi sekunder berupa adduksi dan intorsi. Pada kondisi dimana bola mata abduksi
23°, aksis visual dan orbital bertemu, dan pada kondisi ini otot rektus superior hanya bisa
elevasi, posisi ini optimal dalam mengecek fungsi dari otot rektus superior. Begitu juga jika
di adduksi 67°, posisi aksis visual dan orbital akan membentuk 90° dan pada posisi ini otot
rektus superior hanya berfungsi sebagai intortor. Otot rektus inferior diinervasi oleh nervus
kranialis III ramus inferior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis
medialis dan arteri infraorbitalis. Aksi utama rektus inferior pada posisi primer adalah
depresi, dengan aksi sekunder berupa adduksi dan ekstorsi. Sama konsepnya dengan rektus
superior, jika mata di abduksi 23° maka rektus inferior hanya berfungsi sebagai depressor,
yang merupakan posisi optimal untuk menilai fungsi dari otot rektus inferior. Dan pada
adduksi 67°, rektus inferior hanya bisa ekstorsi.
Gambar 3. (a) posisi rektus superior; (b) abduksi 23°; (c) adduksi 67°
Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus troklearis dan divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi primer, otot oblikus superior membentuk
sudut 51° dari aksis visual. Aksi primer oblikus superior adalah intorsi, dengan aksi sekunder
berupa depresi dan abduksi. Ketika bola mata di adduksi 51°, aksis visual akan bertemu
dengan garis tarikan otot oblikus superior, dimana pada posisi ini, merupakan posisi terbaik
untuk menilai fungsi otot superior oblikus karena hanya bisa berfungsi sebagai depressor.
Walaupun aksi dari otot oblikus superior adalah abduksi pada posisi primer, efek utama dari
kelemahan otot oblikus superior adalah kegagalan depresi saat adduksi. Pada abduksi 39°,
oblikus superior hanya dapat melakukan intorsi. Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus
kranialis III ramus inferior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis
medialis dan arteri infraorbitalis. Aksi utama dari oblikus inferior adalah ekstorsi, dengan
aksi sekunder berupa elevasi dan abduksi. Pada adduksi 51°, oblikus inferior bekerja sebagai
elevator, dan pada abduksi 39°, berfungsi untuk ekstorsi.
Gambar 4. (a) posisi oblikus superior; (b) adduksi 51°; (c) abduksi 39°
Fisiologi Gerakan Bola Mata1
Fisiologi gerakan bola mata dibagi menjadi gerak monokular (-duksi) dan gerak
binokular (-versi, -vergen). Gerakan bola mata mengikuti posisi dari gaze, yaitu posisi
gerakan bola mata yang terdiri dari posisi primer, elevasi, depresi, dan posisi cardinal.
Duksi adalah gerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick, yang terdiri dari
adduksi, abduksi, elevasi, depresi, intorsi, dan ekstorsi. Evaluasi klinis gerakan duksi adalah
dengan menutup mata sebelahnya dan pasien diminta untuk mengikuti gerakan target pada
setiap posisi gaze. Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata pada arah yang berlawanan, contohnya rektus medialis dan lateralis.
Sedangkan sinergis adalah otot yang sama dengan agonis, dan membantu menggerakkan bola
mata ke arah yang sama, contohnya oblikus inferior sebagai sinergis rektus superior pada
elevasi.
Gambar 5. Axes of Fick
Versi adalah gerakan kedua mata secara simultan pada arah yang sama, seperti
dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dan righting reflexes (dekstrosikloversi,
levosikloversi), sedangkan vergen adalah gerakan kedua mata simultan pada arah yang
berlawanan, seperti konvergen (adduksi kedua bola mata), dan divergen (gerakan bola mata
ke arah luar dari posisi konvergen). Yoke muscles atau sinergis kontralateral digunakan untuk
menggambarkan dua otot pada mata berbeda yang berpasangan dan menjadi penggerak
utama setiap bola mata pada posisi cardinal. Setiap otot ekstraokuler memiliki yoke muscles
pada mata sebelahnya. Hukum Hering menyatakan bahwa inervasi sepadan dan simultan
akan mengalir ke yoke muscles pada arah gaze yang diinginkan.
Gambar 6. Hukum Hering mengenai inervasi sepadan pada yoke muscles
Interpretasi visual oleh otak adalah respons yang dipelajari, yang dimulai pada hari
kelahiran dan berlanjut hingga usia sekitar lima hingga delapan tahun. Saraf optik
dipasangkan saraf kranial, yang dikenal juga sebagai saraf kranial II. Mereka dianggap
sebagai bagian dari sistem otak, dan ditutupi seperti otak, oleh pia, arachnoid dan dura mater.
Tidak seperti saraf perifer di seluruh tubuh, mereka tidak beregenerasi jika terluka atau sakit
sehingga kerusakan akan mengakibatkan hilangnya penglihatan sebagian atau seluruhnya.3
Retina dibawa sepanjang saraf optik ke kiasma optik, duduk tepat di atas kelenjar
hipofisis, di mana serabut saraf optik yang membawa informasi visual dari bidang visual kiri
dan kanan bersilangan sebagian, sehingga semua informasi dari bidang visual kanan dikelola
oleh sistem visual kiri otak, dan informasi dari bidang visual kiri diproses oleh sistem visual
kanan otak. Nukleus genikulatum lateral adalah 'pos pementasan' di talamus otak di mana
informasi mengenai gerakan, warna dan kecerahan atau kegelapan diproses. Radiasi optik
menghubungkan nukleus genikulatum lateral dengan korteks visual di lobus oksipital otak, di
mana penglihatan ditafsirkan dalam lima area.3 Kerusakan pada setiap bagian dari jalur visual
akan mengakibatkan hilangnya persepsi visual dalam pola yang dapat dikenali yang akan
memberikan indikasi kepada ahli saraf mengenai area otak yang mengalami kerusakan.3
Gambar 7. Jalur Penglihatan3
Amblyopia
Amblyopia adalah penurunan visus yang terjadi baik unilateral atau bilateral
walaupun dengan koreksi terbaik, tanpa kelainan struktur yang tampak pada mata atau lintasa
visus bagian belakang.1 Kelainan ini dianggap sebagai akibat dari gangguan perangsangan
terhadap perkembangan fungsi visual pada tahap awal kehidupan.1
Total prevalensi amblyopia di dunia diperkirakan berada pada angka 3,4% dan 1,2%
memiliki resiko kehilangan penglihatan secara permanen.4,5 World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa 1,3% - 3,6% anak mengalami kehilangan penglihatan yang
disebabkan oleh amblyopia.6
Diagnosis Amblyopia1,2,10
Anamnesis:
o Mata tampak tidak bekerja secara bersamaan
o Salah satu mata sering bergerak ke arah dalam atau luar
o Tampak sulit memperkirakan jarak
o Sering memicingkan mata/menutup salah satu mata ketika melihat
o Sering memiringkan kepala agar dapat melihat dengan lebih jelas
o Riwayat kelahiran pasien
o Pemakaian kacamata dalam keluarga
o Strabismus, amblyopia dalam keluarga
Pemeriksaan Fisik:
o Tidak ditemukannya kelainan fisik/lesi pada pemeriksaan mata eksternal
o Pemeriksaan Crowding Phenomenon
o Tes ketajaman penglihatan pada pre-verbal children:
Fixation and following
Comparison
Fixation behaviour
Preferential looking
Diagnosa Banding
Strabismus13
Ptosis Kongenital14
Sindrom monofiksasi14
Merupakan gangguan penglihatan binokular subnormal tanpa bifiksasi.
Memiliki gejala strabismus dengan sudut yang kecil, supresi penglihatan sentral
kurang dari 3 derajat, dan fusi perifer. Kondisi ini merupakan suatu keadaan idiopatik
atau sekunder karena ada kelainan mata lainnya, seperti lesi makula, anisometropia,
atau strabismus yang terkoreksi sebagian.
Tatalaksana Amblyopia
o Oklusi pada mata yang normal, dimana mata ambliopik dipaksa untuk bekerja
Pada pasien yang lebih muda, makin sering dilakukan maka makin
signifikan perbaikannya tetapi makin tinggi juga resiko terjadinya
amblyopia pada mata yang normal. Oleh karena itu sangat penting
untuk monitoring ketajaman penglihatan selama pengobatan.
Semakin baik ketajaman penglihatan sebelum oklusi, makin singkat
waktu yang dibutuhkan.
Oklusi lebih lanjut tidak memberikan efek lagi jika tidak ada
perkembangan dalam 6 bulan pertama oklusi efektif.
Ketidakpatuhan menjadi halangan utama dalam pengobatan ini.
o Penalization (penalisasi), dimana mata yang baik diburamkan dengan
sikloplegik (atropine). Pengobatan jenis ini digunakan pada amblyopia yang
sedang (6/24 atau lebih baik). Penalisasi sendiri biasanya digunakan pada
pasien yang ketidakpatuhannya tinggi pada terapi oklusi.
Prognosis Amblyopia1
Kesimpulan
Amblyopia adalah penurunan visus yang terjadi baik unilateral atau bilateral
walaupun dengan koreksi terbaik, tanpa kelainan struktur yang tampak pada mata atau lintasa
visus bagian belakang. Total prevalensi amblyopia di dunia diperkirakan berada pada angka
3,4% dan 1,2% memiliki resiko kehilangan penglihatan secara permanen. Penyebab
amblyopia antara lain adalah kelainan refraksi, perbedaan kualitas refraksi antar bola mata,
strabismus, dan hambatan masuknya cahaya ke dalam mata. Patofisiologi terjadinya
amblyopia diduga disebabkan karena rangsangan pada fovea yang tidak adekuat pada periode
kritis dan interaksi abnormal binokuler. Keberhasilan penatalaksanaan amblyopia tergantung
pada usia penderita, kedalaman amblyopia serta kepatuhan penderita dan keluarga. Semakin
dini amblyopia terdiagnosis akan semakin ringan amblyopia tersebut dan semakin singkat
waktu yang diperlukan untuk penanganannya.
Daftar Pustaka
1. Suhardjo SU, Agni AN, Nugroho A. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata FK
UGM. Yogyakarta; 2007
6. BIRCH, Eileen E. Amblyopia and binocular vision. Progress in retinal and eye
research.2013;33: 67-84.
7. Thacker P. Amblyopia Management. Delhi J Ophthalmol [Internet]. 2016;26(4):277–98.
Available from: http://dx.doi.org/10.7869/djo.191
8. Maurer D, McKEE SP. Classification and diversity of amblyopia. Vis Neurosci [Internet].
2018;35(E012). Available from: http://dx.doi.org/10.1017/s0952523817000190
9. Yuliana J. Aspek Klinis Ambliopia. Cermin Dunia Kedokteran. 2022 Jan 4;49(1):19-22.
10. Rodge HY, Lokhande S. Refractive error in children. Int J Curr Res Rev [Internet].
2020;12(23):185–8. Available from: http://dx.doi.org/10.31782/ijcrr.2020.122307
11. Körtvélyes J, Bankó É, Andics A, Rudas G, Németh J, Hermann P, et al. Visual cortical
responses to the input from the amblyopic eye are suppressed during binocular viewing. Acta
Biol Hung. 2012;63(Suppl 1):65–79.
12. Arnold RW, O'Neil JW, Cooper KL, et al. Evaluation of a smartphone photoscreening
app to detect refractive amblyopia risk factors in children aged 1–6 years. Clin Ophthalmol.
2018; 12:1533-1537.
13. Cadet N, Huang PC, Superstein R, Koenekoop R, Hess RF. The effects of the age of
onset of strabismus on monocular and binocular visual function in genetically identical twins.
Can J Ophthalmol. 2018;53(6):609-613.