Anda di halaman 1dari 16

REFERAT

HIPERMETROPIA

Disusun Oleh:

Donna Patandianan

112022031

Pembimbing:

dr. Werlinson Tobing, Sp.M(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD TARAKAN JAKARTA
PERIODE 26 DESEMBER 2022 – 28 JANUARI 2023
Anatomi Otot Ekstraokuler1,2

Dinding lateral dan medial dari rongga orbita bersudut 45° dari satu sama lain. Aksis
orbita membentuk sudut 22,5° dengan dinding lateral dan medial, yang umumnya dianggap
23°. Ketika mata melihat lurus ke depan dengan kepala tegak (posisi primer), aksis visual
membentuk sudut 23° dengan aksis orbita, dimana aksi dari otot ekstraokuler bergantung
pada posisi bola mata saat kontraksi otot.

Gambar 1. (a) aksis orbital; (b) aksis visual

Otot ekstraokuler terdiri atas empat otot rektus, dua otot oblikus dan otot levator
palpebra superior. Nervus kranialis VI (abdusen) menginervasi otot rektus lateralis, nervus
kranialis IV (troklearis) menginervasi otot oblikus superior, sedangkan nervus kranialis III
(okulomotorius) menginervasi otot levator palpebra superior, rektus medialis, rektus inferior
dan oblikus inferior.

Gambar 2. Anatomi Otot Ekstraokular penampang lateral mata kiri


Rektus horisontalis terdiri atas rektus medialis dan lateralis, yang berasal dari anulus
zinn. Otot rektus medialis diinervasi oleh nervus kranialis III (okulomotorius) ramus inferior
dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis medialis. Aksi otot rektus
medialis pada posisi primer adalah adduksi, yaitu gerak bola mata ke arah nasal atau rotasi ke
dalam. Otot rektus lateralis diinverasi oleh nervus kranialis VI (abdusen) dan divaskularisasi
oleh arteri oftalmika cabang muskularis lateralis dan arteri lakrimalis. Aksi otot rektus
lateralis pada posisi primer adalah abduksi, yaitu gerakan bola mata ke arah temporal atau
rotasi ke luar.

Rektus vertikalis terdiri dari otot rektus superior dan inferior. Otot rektus superior
diinervasi oleh nervus kranialis III dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang
muskularis lateralis. Aksi utama otot rektus superior adalah elevasi pada posisi primer,
dengan aksi sekunder berupa adduksi dan intorsi. Pada kondisi dimana bola mata abduksi
23°, aksis visual dan orbital bertemu, dan pada kondisi ini otot rektus superior hanya bisa
elevasi, posisi ini optimal dalam mengecek fungsi dari otot rektus superior. Begitu juga jika
di adduksi 67°, posisi aksis visual dan orbital akan membentuk 90° dan pada posisi ini otot
rektus superior hanya berfungsi sebagai intortor. Otot rektus inferior diinervasi oleh nervus
kranialis III ramus inferior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis
medialis dan arteri infraorbitalis. Aksi utama rektus inferior pada posisi primer adalah
depresi, dengan aksi sekunder berupa adduksi dan ekstorsi. Sama konsepnya dengan rektus
superior, jika mata di abduksi 23° maka rektus inferior hanya berfungsi sebagai depressor,
yang merupakan posisi optimal untuk menilai fungsi dari otot rektus inferior. Dan pada
adduksi 67°, rektus inferior hanya bisa ekstorsi.
Gambar 3. (a) posisi rektus superior; (b) abduksi 23°; (c) adduksi 67°

Otot oblikus superior diinervasi oleh nervus troklearis dan divaskularisasi oleh arteri
oftalmika cabang muskularis lateralis. Pada posisi primer, otot oblikus superior membentuk
sudut 51° dari aksis visual. Aksi primer oblikus superior adalah intorsi, dengan aksi sekunder
berupa depresi dan abduksi. Ketika bola mata di adduksi 51°, aksis visual akan bertemu
dengan garis tarikan otot oblikus superior, dimana pada posisi ini, merupakan posisi terbaik
untuk menilai fungsi otot superior oblikus karena hanya bisa berfungsi sebagai depressor.
Walaupun aksi dari otot oblikus superior adalah abduksi pada posisi primer, efek utama dari
kelemahan otot oblikus superior adalah kegagalan depresi saat adduksi. Pada abduksi 39°,
oblikus superior hanya dapat melakukan intorsi. Otot oblikus inferior diinervasi oleh nervus
kranialis III ramus inferior dan divaskularisasi oleh arteri oftalmika cabang muskularis
medialis dan arteri infraorbitalis. Aksi utama dari oblikus inferior adalah ekstorsi, dengan
aksi sekunder berupa elevasi dan abduksi. Pada adduksi 51°, oblikus inferior bekerja sebagai
elevator, dan pada abduksi 39°, berfungsi untuk ekstorsi.

Gambar 4. (a) posisi oblikus superior; (b) adduksi 51°; (c) abduksi 39°
Fisiologi Gerakan Bola Mata1

Fisiologi gerakan bola mata dibagi menjadi gerak monokular (-duksi) dan gerak
binokular (-versi, -vergen). Gerakan bola mata mengikuti posisi dari gaze, yaitu posisi
gerakan bola mata yang terdiri dari posisi primer, elevasi, depresi, dan posisi cardinal.

Gambar 4. Sembilan posisi diagnostic gaze.

Duksi adalah gerakan monokuler bola mata mengitari axes of Fick, yang terdiri dari
adduksi, abduksi, elevasi, depresi, intorsi, dan ekstorsi. Evaluasi klinis gerakan duksi adalah
dengan menutup mata sebelahnya dan pasien diminta untuk mengikuti gerakan target pada
setiap posisi gaze. Pasangan agonis-antagonis adalah pasangan otot di satu mata yang
menggerakkan bola mata pada arah yang berlawanan, contohnya rektus medialis dan lateralis.
Sedangkan sinergis adalah otot yang sama dengan agonis, dan membantu menggerakkan bola
mata ke arah yang sama, contohnya oblikus inferior sebagai sinergis rektus superior pada
elevasi.
Gambar 5. Axes of Fick

Versi adalah gerakan kedua mata secara simultan pada arah yang sama, seperti
dekstroversi, levoversi, elevasi, depresi, dan righting reflexes (dekstrosikloversi,
levosikloversi), sedangkan vergen adalah gerakan kedua mata simultan pada arah yang
berlawanan, seperti konvergen (adduksi kedua bola mata), dan divergen (gerakan bola mata
ke arah luar dari posisi konvergen). Yoke muscles atau sinergis kontralateral digunakan untuk
menggambarkan dua otot pada mata berbeda yang berpasangan dan menjadi penggerak
utama setiap bola mata pada posisi cardinal. Setiap otot ekstraokuler memiliki yoke muscles
pada mata sebelahnya. Hukum Hering menyatakan bahwa inervasi sepadan dan simultan
akan mengalir ke yoke muscles pada arah gaze yang diinginkan.
Gambar 6. Hukum Hering mengenai inervasi sepadan pada yoke muscles

Interpretasi visual oleh otak adalah respons yang dipelajari, yang dimulai pada hari
kelahiran dan berlanjut hingga usia sekitar lima hingga delapan tahun. Saraf optik
dipasangkan saraf kranial, yang dikenal juga sebagai saraf kranial II. Mereka dianggap
sebagai bagian dari sistem otak, dan ditutupi seperti otak, oleh pia, arachnoid dan dura mater.
Tidak seperti saraf perifer di seluruh tubuh, mereka tidak beregenerasi jika terluka atau sakit
sehingga kerusakan akan mengakibatkan hilangnya penglihatan sebagian atau seluruhnya.3

Retina dibawa sepanjang saraf optik ke kiasma optik, duduk tepat di atas kelenjar
hipofisis, di mana serabut saraf optik yang membawa informasi visual dari bidang visual kiri
dan kanan bersilangan sebagian, sehingga semua informasi dari bidang visual kanan dikelola
oleh sistem visual kiri otak, dan informasi dari bidang visual kiri diproses oleh sistem visual
kanan otak. Nukleus genikulatum lateral adalah 'pos pementasan' di talamus otak di mana
informasi mengenai gerakan, warna dan kecerahan atau kegelapan diproses. Radiasi optik
menghubungkan nukleus genikulatum lateral dengan korteks visual di lobus oksipital otak, di
mana penglihatan ditafsirkan dalam lima area.3 Kerusakan pada setiap bagian dari jalur visual
akan mengakibatkan hilangnya persepsi visual dalam pola yang dapat dikenali yang akan
memberikan indikasi kepada ahli saraf mengenai area otak yang mengalami kerusakan.3
Gambar 7. Jalur Penglihatan3

Amblyopia

Amblyopia adalah penurunan visus yang terjadi baik unilateral atau bilateral
walaupun dengan koreksi terbaik, tanpa kelainan struktur yang tampak pada mata atau lintasa
visus bagian belakang.1 Kelainan ini dianggap sebagai akibat dari gangguan perangsangan
terhadap perkembangan fungsi visual pada tahap awal kehidupan.1

Total prevalensi amblyopia di dunia diperkirakan berada pada angka 3,4% dan 1,2%
memiliki resiko kehilangan penglihatan secara permanen.4,5 World Health Organization
(WHO) menunjukkan bahwa 1,3% - 3,6% anak mengalami kehilangan penglihatan yang
disebabkan oleh amblyopia.6

Penyebab amblyopia adalah:7

 Kelainan refraksi (hipermetropia, myopia, astigmatisme)


 Perbedaan kekuatan refraksi mata kanan dan kiri
 Mata Juling
 Hambatan masuknya cahaya ke dalam mata (ptosis, katarak, kekeruhan kornea)

Berdasarkan penyebabnya, amblyopia digolongkan menjadi:2,8,9

 Strabismik: amblyopia yang diduga disebabkan oleh kompetisi atau terhambatnya


interaksi antara neuran yang membawa input yang tidak menyatu dari kedua mata,
sehingga terjadi dominasi pusat penglihatan oleh mata yang terfiksasi dan penurunan
respon terhadap input dari mata yang tidak berfiksasi. Penurunan respon dari mata
yang berdeviasi ini diduga merupakan faktor utama munculnya amblyopia strabismic,
dengan faktor tambahan seperti pengaburan bayangan fovea. Kondisi ini terjadi
karena usaha inhibisi untuk menghilangkan diplopia dan confusion yang terjadi.
 Anisometropik: amblyopia yang disebabkan karena kelainan refraktif antar mata
yang menyebabkan bayangan pada satu retina tidak focus, jika bayangan di fovea
pada kedua mata berlainan bentuk dan ukuran, maka akan sulit untuk terjadinya fusi,
terlebih pada fovea mata yang lebih ametropik, karena menghalangi pembentukan
bayangan (formed vision).
 Deprivasi stimulus: amblyopia yang disebabkan karena adanya opasitas/kekeruhan
media (contoh: katarak) atau ptosis yang menutupi pupil.
 Ametropik bilateral: amblyopia yang disebabkan karena kelainan refraksi tinggi
yang simetris pada kedua mata, umumnya pada hipermetropi.
 Meridional: amblyopia yang disebabkan oleh kaburnya penglihatan pada 1 meridian.
Kondisi ini disebabkan oleh astigmatisme yang tidak terkoreksi (umumnya >1 D)
pada usia muda.

Patofisiologi terjadinya amblyopia diduga disebabkan karena rangsangan pada fovea


yang tidak adekuat pada periode kritis (perkembangan ketajaman penglihatan dari
20/200 (6/60) hingga 20/20 (6/6) pada saat lahir sampai usia 3-5 tahun), dan adanya
interaksi binokuler yang abnormal baik dalam bentuk kompetisi atau inhibisi. Kondisi
ini menyebabkan perbedaan bayangan yang sampai di korteks visual sehingga terjadi
penurunan tajam penglihatan.1,10,11

Diagnosis Amblyopia1,2,10
 Anamnesis:
o Mata tampak tidak bekerja secara bersamaan
o Salah satu mata sering bergerak ke arah dalam atau luar
o Tampak sulit memperkirakan jarak
o Sering memicingkan mata/menutup salah satu mata ketika melihat
o Sering memiringkan kepala agar dapat melihat dengan lebih jelas
o Riwayat kelahiran pasien
o Pemakaian kacamata dalam keluarga
o Strabismus, amblyopia dalam keluarga
 Pemeriksaan Fisik:
o Tidak ditemukannya kelainan fisik/lesi pada pemeriksaan mata eksternal
o Pemeriksaan Crowding Phenomenon
o Tes ketajaman penglihatan pada pre-verbal children:
 Fixation and following

Pemeriksaan menggunakan benda berwarna cerah yang menarik


perhatian (umumnya wajah). Metode ini untuk menilai apakah bayi alert
secara visual.

 Comparison

Menilai apakah ada preferensi unilateral terhadap tindakan oklusi pada


mata.

 Fixation behaviour

Menilai apakah ada preferensi unilateral jika tampak manifestasi


juling. Dengan cara menutup mata dominan sementara bayi focus terhadap
suatu target. Fiksasi kemudian dinilai sentral atau non-sentral, steady atau
unsteady. Kemudian oklusi dibuka dan dinilai kemampuan
mempertahankan fiksasi. Jika fiksasi langsung kembali, kemungkinan ada
gangguan ketajaman penglihatan. Jika fiksasi dipertahankan sampai
adanya kedipan, ketajaman penglihatan mungkin bagus.

 Preferential looking

Bayi ditampilkan stimulus berupa bentuk – bentuk / gambar dan


penilai menilai gerakan matanya dalam fiksasi tanpa penilai tahu dimana
posisi stimulus. Tes yang sering digunakan adalah Teller and Keeler
acuity cards dan Cardiff acuity cards.

Gambar 7. Cardiff Acuity Cards

o Tes pada verbal children: dilakukan pada jarak 3 - 4 meter untuk


meningkatkan kepatuhan anak
 Usia 2 tahun: crowded Kay pictures
 Usia 3 tahun keatas: Keeler logMAR
Gambar 5.2 (a) Crowded Kay Pictures; (b) Keeler logMAR

o Neutral Density Filter Test: untuk membedakan amblyopia fungsional dan


organic. Filter densitas netral dengan densitas yang cukup untuk menurunkan
tajam penglihatan mata normal dari 20/20 (6/6) menjadi 20/40 (6/12)
ditempatkan di depan mata yang amblyopik. Bila pasien menderita ambliopia,
tajam penglihatan dengan NDF tetap sama dengan visus semula atau sedikit
membaik. Jika ada ambliopia organik, tajam penglihatan menurun dengan
nyata bila digunakan filter, misalnya 20/100 (6/30) menjadi hitung jari atau
lambaian tangan. Keuntungan tes ini bisa digunakan untuk screening secara
cepat sebelum, dikerjakan terapi oklusi, apabila penyebab ambliopia tidak
jelas.
 Pemeriksaan Penunjang:

Photoscreening adalah pemeriksaan penunjang yang berguna untuk


mendeteksi resiko amblyopia pada anak – anak yang tidak kooperatif/pre-
verbal. Pada photoscreening, refleks merah pada kedua mata diambil dengan
foto digital dan dinilai tanda – tanda kelainan refraksi yang tidak terkoreksi,
opasitas/kekeruhan, atau asimetris. Pengambilan foto bisa dilakukan lewat
aplikasi hp yang tersedia, dengan sensitivitas 65% dan spesifisitas 83%.12

Diagnosa Banding
 Strabismus13

Merupakan kondisi deviasi kedudukan bola mata. Strabismus dibagi menjadi 2


klasifikasi yaitu yang masih bisa dikontrol oleh mekanisme fusi sehingga mata tetap
terlihat pada kedudukan yang lurus (strabismus laten) dan yang tidak dapat terkontrol
oleh fusi sehingga mata terlihat pada kedudukan yang abnormal (strabismus
manifest). Gejala strabismus seperti mata juling ke dalam atau luar, gerakan mata
tidak sinkron, memicingkan satu mata, penglihatan yang dobel, atau mata cepat lelah.
Bila kondisi ini dibiarkan maka bisa terjadi gangguan fusi sehingga menyebabkan
amblyopia sebagai salah satu komplikasi.

 Ptosis Kongenital14

Merupakan kondisi turunnya posisi kelopak mata sampai menutup pupil,


sehingga dapat mengganggu pandangan. Kondisi ini terjadi pada tahun pertama
kehidupan, bisa terjadi secara idiopatik atau disebabkan sindrom blefarofimosis,
kelumpuhan saraf kranial III, sindrom horner, atau tumor.

 Sindrom monofiksasi14
Merupakan gangguan penglihatan binokular subnormal tanpa bifiksasi.
Memiliki gejala strabismus dengan sudut yang kecil, supresi penglihatan sentral
kurang dari 3 derajat, dan fusi perifer. Kondisi ini merupakan suatu keadaan idiopatik
atau sekunder karena ada kelainan mata lainnya, seperti lesi makula, anisometropia,
atau strabismus yang terkoreksi sebagian.

Tatalaksana Amblyopia

Sebelum melakukan pengobatan terhadap amblyopia, sangat penting untuk


memastikan bahwa ada atau tidaknya kelainan organic pada fundus. Penyakit organic dan
amblyopia dapat muncul bersama dan patching mungkin masih bisa diindikasikan. Periode
sensitif dimana ketajaman penglihatan pada mata amblyopik dapat diperbaiki biasanya 7 – 8
tahun pada amblyopia strabismic dan lebih lama pada anisometric amblyopia dengan fungsi
binokuler yang masih baik.

Pengobatan amblyopia antara lain2

o Oklusi pada mata yang normal, dimana mata ambliopik dipaksa untuk bekerja
 Pada pasien yang lebih muda, makin sering dilakukan maka makin
signifikan perbaikannya tetapi makin tinggi juga resiko terjadinya
amblyopia pada mata yang normal. Oleh karena itu sangat penting
untuk monitoring ketajaman penglihatan selama pengobatan.
 Semakin baik ketajaman penglihatan sebelum oklusi, makin singkat
waktu yang dibutuhkan.
 Oklusi lebih lanjut tidak memberikan efek lagi jika tidak ada
perkembangan dalam 6 bulan pertama oklusi efektif.
 Ketidakpatuhan menjadi halangan utama dalam pengobatan ini.
o Penalization (penalisasi), dimana mata yang baik diburamkan dengan
sikloplegik (atropine). Pengobatan jenis ini digunakan pada amblyopia yang
sedang (6/24 atau lebih baik). Penalisasi sendiri biasanya digunakan pada
pasien yang ketidakpatuhannya tinggi pada terapi oklusi.

Prognosis Amblyopia1

Keberhasilan penatalaksanaan amblyopia tergantung pada usia penderita, kedalaman


amblyopia serta kepatuhan penderita dan keluarga. Semakin dini amblyopia terdiagnosis akan
semakin ringan amblyopia tersebut dan semakin singkat waktu yang diperlukan untuk
penanganannya.

Kesimpulan

Amblyopia adalah penurunan visus yang terjadi baik unilateral atau bilateral
walaupun dengan koreksi terbaik, tanpa kelainan struktur yang tampak pada mata atau lintasa
visus bagian belakang. Total prevalensi amblyopia di dunia diperkirakan berada pada angka
3,4% dan 1,2% memiliki resiko kehilangan penglihatan secara permanen. Penyebab
amblyopia antara lain adalah kelainan refraksi, perbedaan kualitas refraksi antar bola mata,
strabismus, dan hambatan masuknya cahaya ke dalam mata. Patofisiologi terjadinya
amblyopia diduga disebabkan karena rangsangan pada fovea yang tidak adekuat pada periode
kritis dan interaksi abnormal binokuler. Keberhasilan penatalaksanaan amblyopia tergantung
pada usia penderita, kedalaman amblyopia serta kepatuhan penderita dan keluarga. Semakin
dini amblyopia terdiagnosis akan semakin ringan amblyopia tersebut dan semakin singkat
waktu yang diperlukan untuk penanganannya.
Daftar Pustaka

1. Suhardjo SU, Agni AN, Nugroho A. Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Ilmu Penyakit Mata FK
UGM. Yogyakarta; 2007

2. Bowling B. Kanski’s clinical ophthalmology: A systematic approach. 8th ed. London,


England: W B Saunders; 2015.

3. Field D, Tillotson J, Whittingham E. Eye emergencies the practitioner’s guide. 2 nd ed.


England: m&k publishing;2015

4. Mostafaie A, Ghojazadeh M, Hosseinifard H, Manaflouyan H, Farhadi F, Taheri N,


Pashazadeh F. A systematic review of Amblyopia prevalence among the children of the
world. Rom J Ophthalmol. 2020 Oct-Dec;64(4):342-355. doi: 10.22336/rjo.2020.56. PMID:
33367172; PMCID: PMC7739017.

5. Syahmalya, M. A. (2022). Ambliopia : Prevalensi, Faktor Resiko, Klasifikasi, dan Terapi:


Indonesia. Jurnal Medika Hutama, 3(04 Juli), 2883-2892.

6. BIRCH, Eileen E. Amblyopia and binocular vision. Progress in retinal and eye
research.2013;33: 67-84.
7. Thacker P. Amblyopia Management. Delhi J Ophthalmol [Internet]. 2016;26(4):277–98.
Available from: http://dx.doi.org/10.7869/djo.191

8. Maurer D, McKEE SP. Classification and diversity of amblyopia. Vis Neurosci [Internet].
2018;35(E012). Available from: http://dx.doi.org/10.1017/s0952523817000190

9. Yuliana J. Aspek Klinis Ambliopia. Cermin Dunia Kedokteran. 2022 Jan 4;49(1):19-22.

10. Rodge HY, Lokhande S. Refractive error in children. Int J Curr Res Rev [Internet].
2020;12(23):185–8. Available from: http://dx.doi.org/10.31782/ijcrr.2020.122307

11. Körtvélyes J, Bankó É, Andics A, Rudas G, Németh J, Hermann P, et al. Visual cortical
responses to the input from the amblyopic eye are suppressed during binocular viewing. Acta
Biol Hung. 2012;63(Suppl 1):65–79.

12. Arnold RW, O'Neil JW, Cooper KL, et al. Evaluation of a smartphone photoscreening
app to detect refractive amblyopia risk factors in children aged 1–6 years. Clin Ophthalmol.
2018; 12:1533-1537.

13. Cadet N, Huang PC, Superstein R, Koenekoop R, Hess RF. The effects of the age of
onset of strabismus on monocular and binocular visual function in genetically identical twins.
Can J Ophthalmol. 2018;53(6):609-613.

14. Yen KG. Medscape 2018. Amblyopia. Available At:


https://emedicine.medscape.com/article/1214603-differential

Anda mungkin juga menyukai