Anda di halaman 1dari 2

Bhairawa Tantra

Bhairawa Tantra merupakan produk dari suatu agama dan paham tertentu yang bersifat sinkretisme. 1 Tantrayana atau Bhairawa
Tantra menghasilkan ritual-ritual amoral dan membangkitkan kegelapan peradaban selama beberapa abad. 2 Disebut Tantrayana sebab
aliran yang awalnya lahir dari golongan Çakta ini menggunakan kitab suci yang dinamakan Tantra sebagai pegangan. Kitab ini berisi
berbagai hal tentang keagamaan dan ritual atau pemujaan yang bersifat sihir dan ghaib. Mantra, jampi, simbol-simbol mistik, dan
pernik mistik lainnya memegang peranan penting dalam usaha manusia untuk mencapai persatuan dirinya dengan Tuhan. 3
Aliran ini juga sering dinamakan Bhairawatantra karena pemujaanya yang ditujukan kepada Dewa Siwa. Pada umumnya dalam
Trimurti, Siwa dipandang sebagai Mahadewa (Dewa Tertinggi), Maheçwara (Maha Kuasa), dan Mahakala (Sang Waktu). Sebagai
dewa waktu, Siwa dianggap sebagai dewa yang sangat berkuasa sebab waktulah yang sesungguhnya mengadakan, melangsungkan,
dan membinasakan. Pemujaan terhadap Siwa senantiasa disertai dengan permohonan, harapan, dan serati dengan rasa takut yang
sangat. Siwa juga dianggap sebagai Mahaguru dan Mahayogi yang menjadi teladan dan pemimpin bagi para petapa. Secara khusus
Siwa juga dipuja sebagai Bhairawa sebagai salah satu aspek perwujudannya yang siap membinasakan kehidupan dan segala yang
ada.4
Bhairawa Tantra merupakan bentuk sinkretisme dari Siwa-Budha dan berfungsi untuk menjaga kewibawaan penguasa. Cara
pandang utama dari aliran ini adalah dengan memperturutkan hawa nafsu maka kecenderungan jiwa pada akhirnya akan lebih mudah
diarahkan untuk menjauhi nafsu-nafsu tersebut. Menurut ajaran ini, orang hendaknya jangan menahan nafsu, bahkan sebaiknya
manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. 5
Bentuk ritualnya meliputi apa yang dikenal dengan sebutan ma-lima atau pancamakara. Ritual Ma-lima tersebut terdiri dari
matsiya (ikan), mamsa (daging), mada (minuman keras), mudra (ekstase melalui tarian yang terkadang bersifat erotis atau melibatkan
makhluk halus hingga “kerasukan”, juga berarti sikap tangan yang dianggap melahirkan kekuatan gaib), dan maithuna (seks bebas). 6
Dalam bentuk yang paling esoterik, pemujaan yang bersifat Tantrik memang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya
meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. 7 Ada juga ritual seks bebas dan minum minuman
keras yang dilakukan ditempat peribadatan berupa lapangan (padang) bernama Lemah Citra atau Setra. Ritual tersebut dilakukan
untuk mendapatkan çakti. Oleh karena itu aliran ini juga sering disebut sebagai saktiisme. Sisa-sisa ajaran ini di Jawa masih dapat
dijumpai dalam apa yang disebut dengan istilah kasekten atau kesaktian.8
Bhairawa melakukan pemujaan pada malam hari dengan mempersembahkan tumpukan mayat manusia yang dibakar kepada para
dewa. Semakin menyengat bau mayat yang terbakar semakin menyenangkan bagi mereka, sebab bau tersebut disetarakan denga
wangi sepuluh ribu bunga yang membawa keselamatan bagi mereka. Biasanya manusia-manusia yang masih hidup dikorbankan pula.
Korban tersebut ditelentangkan, kemudian seorang pendeta akan menusukkan pisau besar ke perut korban dan mengirisnya ke arah
tulang rusuk bagian bawah. Jantungnya kemudian diambil dan darahnya diperas ke dalam sebuah gelas tengkorak atau bejana lainnya
untuk selanjutnya diminum sampai habis. Proses menuang dan meminum darah ini dilakukan berulangkali. Sang pendeta yang
mengalami kondisi trance kemudian menari-nari sambil bersuara histeris. Upacara keagamaan yang mengerikan ini biasanya diringi
ritual persetubuhan dengan para perempuan. Secara rinci ritual ini meliputi perilaku antara lain bersemadi, menari-nari, mengucapkan
mantra-mantra, membakar jenazah, memakan daging jenazah, minum darah, tertawa-tawa, dan mengeluarkan bunyi seperti banteng
serta termasuk persetubuhan.9
Adanya ritual persetubuhan (maithuna) dalam Bhairawa Tantra mungkin didasarkan kepada pandangan sebagian agama yang
hidup di Indonesia saat itu, yang memandang hubungan kelamin mempunyai arti mistik. Hubungan seksual bukan hanya terjadi dalam
keluarga antara suami-istri, melainkan juga hubungan seksual dalam upacara keagamaan. Praktik persetubuhan ini dimaknai sebagai
simbol kemakmuran dan kesuburan, seperti pengharapan agar hujan turun, hasil panen melimpah, ternak berkembang, atau
dimaksudkan untuk pertahanan secara magis. Dalam upacara mahavarata, seorang murid (brahmacarin) bersetubuh dengan
perempuan pelacur (punmcali) di dalam ruangan berkorban. Perempuan dalam kondisi bermantra juga telah dianggap menjelma
menjadi tempat korban. Dengan demikian hubungan seksual dianggap sebagai manifestasi ibadah kurban.
Friedrich Martin Schnitger, sarjana ilmu purbakala dalam penelitiannya pada 1935 di sebuah Candi di Padang Lawas, Batak
sebelah Selatan, mengungkapkan bahwa keberadaan sekte Bhairawa turut mempengaruhi kanibalisme di sana. Perlu diketahui
keberadaan kaum kanibal ini masih dapat dijumpai hingga awal abad ke-20. Candi-candi tersebut dibangun secara tidak serentak
selama masa antara abad XI sampai XIV.10

1
Pencampuran elemen-elemen atau kepercayaan-kepercayaan yang saling bertentangan
2
Widji Saksono, Mengislamkan Tanah Jawa: Telaah Atas Metode Dakwah Walisongo. (Penerbit Mizan, Bandung, 1995). Hal.223-224)
3
Drs. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2. Cetakan V. (Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1988). Hal. 34
4
Drs. Soekmono, Pengantar Sejarah … Ibid. Hal. 29).
5
Dr. Prijohutomo, Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89
6
Prof. Dr. H. M. Rasjidi,  Islam dan Kebatinan. (Jajasan Islam Studi Club Indonesia, Jakarta, 1967). Hal. 68
7
Paul Michel Munoz, Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi,
Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448).
8
Prof. Dr. Koentjoroningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Cetakan XXI. (Penerbit Djambatan, Jakarta, 2007).
Hal. 347
9
Friedrich Schnitger, Reruntuhan … Hal. 257-258; Ny. Dra. S. Soeleiman, Peninggalan … Hal. 22. Lihat P.J. Zoetmulder,
Manunggaling Kawula Gusti: Pantheisme dan Monisme dalam Sastra Suluk Jawa. Cetakan III. Terjemahan dari Pantheism en
Monism in de Javaansche Soeloek-Literatuur oleh Dick Hartoko. (PT Gramedia, Jakarta, 1995). Hal. 279).
10
Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut. Diterjemahkan dari La Formation d’un
Paysage Ethnique: Batak & Malais de Sumatra Nord-Est oleh Saraswati Wardhany. (Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta,
2010). Hal. 55. Friedrich Schnitger, Reruntuhan Kerajaan Tak Bernama. Dalam Anthony Reid. Sumatera … Hal. 258. Lihat Ny.
Dra. S. Soeleiman, Peninggalan-peninggalan Purbakala di Padang Lawas, dalam Jurnal AMERTA No. 2. (Dinas Purbakala
Republik Indonesia, Jakarta, 1954). Hal. 21).

Anda mungkin juga menyukai