Anda di halaman 1dari 3

Nama : Alifia Anisya

NIM : 22/510066/PBI/01917
Fakultas/Program Studi : Biologi / Magister Biologi
Mata Kuliah : Nutrisi dan Metabolisme
Dosen Pengampu : Dra. Rarastoeti Pratiwi, M.Sc., Ph.D.

ESSAY
Kasus Malnutrisi di Sumatera Selatan

Gizi merupakan komponen penting yang memiliki peran sentral dalam


mencapai 13 dari 17 tujuan Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi
suatu acuan dalam kerangka pembangunan dan perundingan antar negara di dunia.
Salah satu tujuan dari SDGs yang melibatkan gizi sebagai salah satu pilar utama yaitu
zero hunger dimana target dari tujuan ini adalah mengakhiri semua bentuk malnutrisi
yang terjadi pada anak usia di bawah 2 tahun (Baduta) dan anak usia di bawah 5 tahun
(Balita) di tahun 2030 mendatang. Oleh karena itu, melalui perbaikan gizi harus
dimulai dari sedini mungkin agar banyak tujuan SDGs lain yang dapat tercapai dalam
rangka memajukan persatuan bangsa.
Indonesia masih menghadapi masalah malnutrisi hingga saat ini, mulai dari
balita hingga manula. Beban-beban malnutrisi yang dihadapi oleh Indonesia saat ini
yakni meliputi gizi buruk, kelaparan terselubung, dan obesitas yang dapat mengancam
kelangsungan hidup bersama, proses tumbuh dan kembang anak, serta perkembangan
kemajuan bangsa. Kementrian Kesehatan RI menyatakan bahwa 3 dari 10 balita
menderita stunting untuk di usia mereka, 1 dari 10 anak terlalu kurus (wasting) untuk
di usia mereka, serta 2 dari 10 anak mengalami obesitas.
Malnutrisi didefinisikan sebagai keadaan akibat kurangnya penyerapan atau
asupan nutrisi yang menyebabkan perubahan komposisi tubuh (penurunan massa
bebas lemak) dan massa sel tubuh yang menyebabkan penurunan fungsi, fisik, dan
mental serta gangguan hasil klinis dari penyakit. Malnutrisi dapat dibagi ke dalam 4
jenis yakni kurang gizi meliputi wasting, stunting, kekurangan berat badan,
Kwashiorkor, dan Marasmus, lalu malnutrisi terkait mikronutrien seperti defisiensi
mikronutrien dan kelebihan mikronutrien, kemudian obesitasm dan yang terakhir
penyakit tidak menular yang berhubungan dengan diet.
Angka malnutrisi di Provinsi Sumatera Selatan sendiri bahkan dapat
dikatakan cukup tinggi bahkan melebihi dari angka secara nasional bedasarkan data
RISKESDAS pada tahun 2018. Angka malnutrisi yang tinggi di Sumatera Selatan ini
disebabkan oleh beberapa faktor langsung dan tidak langsung, faktor langsung seperti
minimnya pengetahuan dan praktik dalam pengasuhan anak yang tidak memadai,
serta faktor tidak langsung meliputi ketahanan pangan, lingkungan kesehatan,
lingkungan pemukiman seperti sanitasi, kebersihan air, dan kondisi bangunan, serta
ljngkungan dan sosial sekitarnya seperti pola pemberian makan, higienitas makanan,
Masalah mengenai gizi pada balita dapat menjadi masalah yang cukup besar
sebab memiliki kaitan yang erat dengan indikator-indikator kesehatan umum seperti
angka penyakit dan kematian bayi dan balita yang tinggi. Apabila melihat sisi yang
lebih jauh lagi, kualitas sumber daya manusiadapat terancam oleh gizi yang buruk
pada bayi dan balita di masa mendatang. Balita dengan status gizi buruk dapat sangat
berpengaruh dalam menghambat pertumbuhan fisik, mental maupun kemampuan
berpikir yang dapat menurunkan produktivitas kerja. Balita yang menjadi penderita
gizi buruk dapat mengalami penurunan IQ hingga 10%. Keadaan-keadaan tersebut
dapat memberikan petunjuk bahwa sebenarnya gizi buruk akan berdampak pada
menurunnya kualitas sumber daya manusia.
Berdasarkan penetapan BAPPENAS tahun 2020, Kabupaten Ogan Ilir
merupakan salah satu dari 6 daerah di provinsi Sumatera Selatan berada di zona
merah stunting pada balita dengan prevalensi kejadian stunting yaitu 43,90% lebih
tinggi dibandingkan dengan angka nasional sebesar 30,8 % berdasarkan data
RISKESDAS tahun 2018. Menurut data dari DINKES Kabupaten Ogan Ilir, kasus ibu
hamil pada tahun 2019 dengan risiko KEK (Kurang Energi Kronis) paling tinggi
berada di wilayah kerja puskesmas Tebing Gerinting yakni sebanyak 72 kasus.
Persentase dari BBLR (Berat Badan Bayi Lahir) cukup rendah yakni sebesar 1,1%
dari 9.812 bayi menjadi 112 bayi yang baru lahir kemudian ditimbang. Jumlah bayi
dengan persentase BBLR paling besar berada di wilayah Puskesmas Tanjung Batu
sebanyak 23 kasus.
Apabila melihat dari faktor sosial-ekonomi, setiap keluarga pasti memiliki
masalah gizi yang berbeda-beda juga. Misalnya, pada keluarga yang berkecukupkan
dan tinggal di perkotaan, masalah gizi yang biasanya sering dihadapi merupakan
masalah kelebihan gizi, defisiensi makronutrien, dan berujung kepada obesitas yang
memliki resiko tinggi untuk menjadi rawan terhadap semua penyakit. Sedangkan pada
keluarga dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah, maka akan sering berhadapan
dengan masalah kekurangan gizi seperti stunting, wasting, dan kekurangan berat
badan. Resiko penyakit yang mengancam keluarga ini adalah penyakit kwarshiorkor
dan marasmus.
Kasus Kwashiorkor diduga terjadi pada tahun 2020 di Kecamatan Gelumbang,
Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan dimana ditemukan 2 orang anak yang
berada dalam sebuah rumah peninggalan orang tuanya yang sudah meninggal. Mereka
ditemukan dalam keadaan kurus kering dan tidak terurus dengan sebagaimana
baiknya anak-anak pada umurnya. Kondisi kwashiorkor ditandai dengan edema atau
pembengkakan di bagian bawah kulit (umumnya dimulai dari kaki) yang disebabkan
oleh banyaknya cairan di dalam jaringan tubuh. Selain kondisi tersebut, pengidap
kwashiorkor biasanya memiliki badan yang sangat kurus dengan rambut seperti
jagung dan kering bahkan dapat berubah warna menjadi putih atau kuning kemerahan.

Anda mungkin juga menyukai