Pada siang yang ditinggalkan, untuk sore yang penuh rintik membasahi
sudut-sudut keterasingan. Datang sekumpulan orang yang merayap laman
pesakitan kota. Mereka terbentuk dari satu pemikiran dan keyakinan yang sama.
Berjalan melalui pintu-pintu stadion dan memenuhinya. Merangkai hulu ledak
ambisi dari tribun ke tribun, merasuk kedalam sukma siapapun yang bergulat di
dalam lapangan. orang-orang itu merelakan waktu dan beban-beban dalam diri
mereka untuk sekejap hilang dan menggantinya dengan gelora semangat yang
tersemat dan mengudara bersama dengan lusinan kalimat-kalimat penuh tanda
seru dan tanda tanya. Merekalah yang menyalakan titik-titik api diantara pesta-
pesta kecil yang terselenggara secara alami di kurva.
Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota saya, Solo,
atau dari tetangga serahim mataram, Yogyakarta. Masyarakat Solo dan
Yogyakarta memiliki karakteristik yang cenderung lebih kalem dan
lemah lembut. Karakter ini tertuang dalam cara-cara kritikan yang
lebih menjurus ke pola-pola yang lebih elegan. Misalnya, Pasoepati
(Pendukung Persis Solo) Tribun Selatan atau yang lebih dikenal
sebagai Mboergadoel pernah membentangkan banner bertuliskan
“Sido Liga 1” atau dalam bahasa indonesia “Jadi Liga 1?”. Pun juga
dengan B6 Surakartans yang pernah mengkritik permainan Persis solo
asuhan Jackson F. Thiago dengan sebuah banner bertuliskan “Wes
Pokoke Awuren!” atau dalam bahasa Indonesia “Udah, Lu awur aja
deh!”.
3. Nama besar
Manusia telah mengenal popularitas sejak tahap awal kehidupannya.
Popularitas muncul secara natural dalam lingkungan seseorang. Hal
ini sesuai dengan istilah primus inter pares, sebuah istilah kuno yang
berarti hal pertama dari sejenisnya. Artinya, sesuatu yang populer
muncul di dalam lingkungan yang memiliki derajat yang sama, namun
sesuatu menunjukkan kelebihannya sehingga itu menjadi berbeda
dengan lainnya dan mendapat perhatian. Dalam Sepakbola, nama
besar dapat diukur oleh prestasi dari sebuah klub. Klub yang sudah
malang melintang mengarungi kerasnya Liga dan berhasil
menorehkan prestasi.
a) Kualitas personal
Dalam hal ini, klub yang memiliki kualitas permainan yang
dianggap baik akan pula dengan sendirinya mendapatkan
penggemar. Dan bisa juga penggemar dari klub tersebut
memiliki rasa bangga tersendiri terhadap klub mereka.
b) Kedekatan Sosial
Saya akan mengambil contoh Riverside Forest dan Persipa Pati.
Kedua klub ini kini dikelola oleh suporternya sendiri.
Pendekatan-pendekatan secara sosiologis dan emosi ini
mempermudah keterkaitan popularitas mereka. Meski pada
dasarnya praktek pengelolaan klub secara swadaya masih
memiliki kendala yang juga tak main-main. Misalnya pada
aspek finansial dan pendanaan yang cukup terbatas.
e) Kepemilikan materi.
Johor Darul Ta‟zim, sebuah klub megabintang asal Malaysia
yang dimiliki oleh sultanya sendiri memiliki popularitas yang
cukup tinggi. Bahkan di negri ini sebagian akan mengenal JDT
sebagai salah satu klub yang memiliki fasilitas terlengkap di
Asia.
Namun, bagi saya, saya memandang klub ini seperti sedang aji
mumpung dengan keadaan yang ada. Dengan menggaet keadaan
sepakbola sebuah wilayah dengan polesan-polesan tertentu agar dapat
menarik minat. Sebab bagi saya, Sepakbola tidak melulu soal
kegemilangan. Sepakbola adalah perihal cinta. Maka tak heran jika
klub-klub ini disebut sebagai klub „Siluman‟ karena mereka tidaklah
berasal dari tempat yang semestinya dan dalam proses
pembentukanya pun melibatkan kepentingan
.
Dari ketiga Faktor yang bisa didapatkan diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa alasan populer yang dapat disebutkan
meskipun pada kenyataanya cukup sulit untuk membedah kesimpulan pasti dari
faktor-faktor tersebut. Supporter merupakan sebuah entitas yang memiliki masa
besar dan setiap masa memiliki arah pemikiranya sendiri. Kita mungkin bisa
menarik kesimpulan dengan faktor kuantitatif atau kualitatif serupa penelitian-
penelitian ataupun jurnal pada umumnya. Namun, supporter selalu memiliki
dinamikanya dan pasang surutnya tersendiri. Dalam artian lain, pengumpulan
sampel populer dari tiap kepala hanya akan berpengaruh pada satu atau dua
periode saja, sebab bisa saja terjadi sebuah perubahan atau pergolakan besar
yang dapat dengan mudahnya mematahkan hal-hal tersebut. Diperlukan waktu
yang cukup lama untuk memberikan sampel data paling sayarat.
Sebuah hal yang sah-sah saja mendukung tim yang anda cintai berlaga di
lapangan dengan skema fanatisme yang tertuang di sudut tribun. Namun, pada
prakteknya fanatisme bukan lagi menjadi kunci bahasa komprehensi. Lebih ke
ekstrimisme dan pertarungan harga diri. Maka Tak jarang fanatisme
mengalahkan logika dan rasa kemanusiaan. Nyawa bukan lagi hal yang harus
dibayar mahal dan bahkan setara dengan harga sebuah tiket pertandingan.
Faktanya banyak supporter yang memupuk ambisi, melestarikan kebencian dari
sebuah tragedi. Hingga pada akhirnya kebencian itu tertuai dalam nohta hitam;
Landasan yang cukup skeptis untuk kembali menuai gesekan.
Beberapa kasus lain adalah seksisme terhadap perempuan yang juga ingin
ikut andil dalam sepakbola. Mungkin masih teringat dalam memori kita tentang
komentator yang beberapa waktu lalu mengomentari sekumpulan supporter
perempuan yang berdiri di salah satu sudut tribun dengan kalimat 'ada yang
bulat tapi bukan tekad'. Secara langsung ini adalah tindakan seksisme yang
dibungkus dengan jenaka agar tidak terlalu menonjolkan sisi pelecehanya.
Tidak cuma itu, banyak juga pelecehan seksual terhadap wanita di tribun yang
selalu penuh sesak.
Menghidupi sepakbola tidak hanya butuh cinta, ada logika dan nalar
kritis didalamnya. Biar suatu hari, anak cucu melihat generasi sepakbola yang
gemilang. Memperbaiki ekosistemnya memerlukan hati, kejujuran, dan tindakan
yang berani. Mencintai sepakbola meski kusut, adalah kesetiaan, cinta, dan
dedikasi terhadap sepakbola itu sendiri.
Pada saat ini pula suporter harus saling melengkapi. Menggenggam erat
kembali apa yang mulai renggang, merangkul kembali apa yang mulai lepas.
Mengepal dalam satu tujuan, satu passion yang sama dari penderitaan dan
kesenangan yang sama pula. Berdiri menantang kutukan yang selama ini
melekat pada sepakbola negri tercinta. Saling menebar respect dan cinta dijalan
yang mereka lalui, dengan lawan yang mereka hadapi, dan kawan yang mereka
rangkul.
Mungkin ada kalanya kita harus pay respect dengan BCS karena
kreatifitasnya, Atau dengan Arema sebagai pelopor supporter fanatik, Atau
dengan Bonek yang dengan loyalitasnya mengembalikan nama Persebaya, Atau
dengan Bobotoh dan Jakmania dengan militansinya, Atau dengan Solo-
Semarang yang tetap adem ayem setelah 'bergojek ria', Atau dengan seluruh
supporter indonesia yang menebarkan cinta di seluruh pelosok Nusantara. Ada
kalanya fanatisme harus ditanggapi dengan logika. Tak harus kita
mengedepankan egoisme dialegtis yang memaksa semua fakta di lapangan
adalah retorika dan kontradiksi. Semua manusia diajarkan untuk memanusiakan
manusia lain.
“Drop the borders, break the walls. Together as one. Born to live it and
let go.”
Tapi ini hanyalah reka ulang dari masa lalu. Suka atau tidak suka, terima
atau tidak terima, adalah sebuah fakta yang menyatakan bahwa pendukung
singo edan ini mengalami kemunduran secara spesifik. Faktor dualisme klub
membelah porsi kefanatikan mereka dan melahirkan ego yang membutakan.
Satu sama lain memiliki pemikiran dan tak jarang memiliki kepentingan. Hal ini
yang mendasari perpecahan di malang selama beberapa tahun terakhir. Mereka
mungkin bisa mengatakan bahwa malang masih baik-baik saja. Namun tidak
dengan hatinya, tidak pula dengan realitanya.
Tim-tim DIY pada 2006 saat terjadi gempa jogja dapat menjadi contoh.
Saat itu PSS, PSIM, PERSIBA sedang bagus2nya. Namun mereka milih untuk
tidak ikut kompetisi dan menyertai rakyatnya! Malang? Memaksakan semua
kehendak demi menyelesaikan kompetisi! Padahal korban butuh keadilan. Usut
tuntas akan terjadi jika semua pihak sadar dan mengakui.
Di saat kritis seperti ini, berbicara mengenai kebanggaan atau harga diri
serasa tidak relevan. Sebab, mendahulukan apa yang dibanggakan dibanding
rasa empati dan kemanusiaan adalah sebuah tanda tanya besar. Pahami pula
mengenai perbedaan entitas dan identitas. Layaknya klub sepakbola, klub
merupakan entitas. Sebab klub dilahirkan dari proses-proses yg ditampung oleh
sebuah PT. Di era sekarang, klub adalah perkakas bisnis. Ia bisa berjalan tanpa
suporter sekalipun. Yang penting keuangan lancar, bisnis jalan. Entitas seperti
klub bisa bertukar rupa sesuai dengan waktu. Dan membela entitas bermasalah
adalah kekeliruan fatal. Sementara itu, identitas adalah hal yang lahir atas
esensi. Immanuel kant misalnya, yang mendeskripsikan sebuah entitas justru
bergantung pada identitas. Karena identitas merupakan kunci unique (Primary
key) yang dimiliki entitas itu sendiri. Sekarang mana yang harus dibela?
Identitas atau entitas? Sekarang mana yang harus didahulukan? Klub atau
kemanusiaan? Pilih sendiri jika kalian adalah manusia!