Anda di halaman 1dari 26

SEDERET RANGKULAN MANUSIA SEPAKBOLA

Sebuah Jurnal Bebas Sepakbola Indonesia Edisi Ke-2


Sederet Rangkulan Manusia Sepakbola Indonesia

Pada siang yang ditinggalkan, untuk sore yang penuh rintik membasahi
sudut-sudut keterasingan. Datang sekumpulan orang yang merayap laman
pesakitan kota. Mereka terbentuk dari satu pemikiran dan keyakinan yang sama.
Berjalan melalui pintu-pintu stadion dan memenuhinya. Merangkai hulu ledak
ambisi dari tribun ke tribun, merasuk kedalam sukma siapapun yang bergulat di
dalam lapangan. orang-orang itu merelakan waktu dan beban-beban dalam diri
mereka untuk sekejap hilang dan menggantinya dengan gelora semangat yang
tersemat dan mengudara bersama dengan lusinan kalimat-kalimat penuh tanda
seru dan tanda tanya. Merekalah yang menyalakan titik-titik api diantara pesta-
pesta kecil yang terselenggara secara alami di kurva.

Sebagian orang menyebutnya kegilaan yang disengaja, sebab mereka


memberikan apapun demi apa yang mereka sebut sebagai kebanggaan,
kecintaan tulus yang tak perlu dipertanyakan kepada sepakbola. Dan teriak
parau itu berpaling dari segala kemungkinan, panas dan hujan, jauh dan
merekat, gelap dan terang, hitam dan putih, haru dan kecewa, serta hidup dan
mati. Hidup sebagai titik-titik kecil diantara pasir dan mati sebagai angka yang
suatu hari tak lagi dipedulikan. Mereka mengemban jawaban atas penyebutan
apa yang pantas untuk mereka; Supporter sejati sepakbola.

Émile Durkheim mendeskripsikan bahwa suporter merupakan dukungan


dari satu orang atau lebih yang diberikan kepada sesuatu dalam sebuah
pertandingan dengan rasa loyal dan rasa cinta terhadap sebuah tim kesayangan.
Pada dasarnya, entitas berupa supporter yang merupakan komunal memiliki
cara tersendiri dalam mendukung. Dukungan ini terlalu organik jika harus
diteliti lebih lanjut perihal apa yang mendasari atau bagaimana ssebuah
supporter mulai mendukung tim kebanggaanya. Hal ini tak lepas dari
transformasi sosial yang terjadi dalam lingkup sebuah wilayah yang terjadi
secara alami. Sehingga cukup sulit mendapatkan validasi secara empiris
mengenai pola-pola dukungan tersebut. Ada beberapa faktor yang mendasari,
diantaranya:

1. Konstelasi sosial dalam geografis.


Masyarakat yang hidup dalam lingkup suatu wilayah memiliki corak
sosialnya tersendiri. Surabaya misalnya, kota ini terkenal dengan sifat
keras yang mungkin merupakan turunan dari pejuang-pejuang
Indonesia pada masa mempertahankan kemerdekaan. Ini diperkuat
pula dengan letak geografis mereka yang berdekatan dengan Madura
yang pula terkenal dengan para carok, figur pendekar pemberani dari
tanah pulau garam. Adalah sebuah hal yang biasa bila para pendukung
dari jawa timur bila menyanyikan sebuah chants atau nyanyian yang
lugas dan membakar semangat. Bonek (Pendukung Persebaya
Surabaya) membuat chants dengan salah satu penggalan liriknya “Tak
ada kata ragu, tak ada kata mundur, sebab mundur adalah
pengkhianatan!”. Tak heran pula mereka sering menggunakan kata
“Jancok”. Jancok sendiri bukanlah sebuah umpatan. Jika menarik
simpul sejarahnya, kata “Jancok” terinspirasi dari sebuah tulisan di
tank milik NICA pada masa pertahanan kemerdekaan, “JAN COOX”
(Dalam pelafalan belanda: Yankok, Pelafalan Indonesia: Jancok). Kata
“Jancok” sendiri di Jawa timur bisa menjadi pisau bermata dua.
Seorang teman dekat akan menggunakan kata tersebut sebagai tanda
persahabatan yang lumrah. Namun juga bisa menusuk siapapun jika
pemaknaanya memang dijadikan untuk umpatan.

Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di kota saya, Solo,
atau dari tetangga serahim mataram, Yogyakarta. Masyarakat Solo dan
Yogyakarta memiliki karakteristik yang cenderung lebih kalem dan
lemah lembut. Karakter ini tertuang dalam cara-cara kritikan yang
lebih menjurus ke pola-pola yang lebih elegan. Misalnya, Pasoepati
(Pendukung Persis Solo) Tribun Selatan atau yang lebih dikenal
sebagai Mboergadoel pernah membentangkan banner bertuliskan
“Sido Liga 1” atau dalam bahasa indonesia “Jadi Liga 1?”. Pun juga
dengan B6 Surakartans yang pernah mengkritik permainan Persis solo
asuhan Jackson F. Thiago dengan sebuah banner bertuliskan “Wes
Pokoke Awuren!” atau dalam bahasa Indonesia “Udah, Lu awur aja
deh!”.

Faktor keberadaan keraton Mataram yang kini terbelah menjadi 4


(Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta, Praja Mangkunegaran,
dan Psayaalaman) yang meliputi wilayah Jogja dan Solo begitu kental
akan keluhuran dan adat sopan santun terhadap norma-norma adaptif
dalam budaya bermasyarakat juga telah mempengaruhinya.
Brajamusti (Pendukung PSIM Jogja) membentangkan sebuah tulisan
penuh makna yakni “Suradhira Jayaningrat Lebur Dening Pangestuti”.
Tulisan ini merupakan ungkapan dari pujangga keraton yang kurang
lebih berarti “Segala Kekayaan, Kejayaan dan Ketamakan Lebur
Dalam Belas Kasih”. Pun jua dengan Pasoepati yang pernah membuat
koreo 3D yang menampilkan gambaran bangunan kraton serta sebuah
spanduk bertuliskan “Mulat Sarira Hangrasa Wani” yang kurang lebih
berarti “Berani Dan Mawas Diri”. Ungkapan ini bersumber dari Raden
Mas Said , Raja Mangkunegara pertama yang berjuluk “Pangeran
Sambernyawa”. Julukan “Sambernyawa” ini pun dijadikan sebagai
julukan resmi Persis Solo.
2. Sejarah, Pengalaman, dan Timbulnya Kecintaan

Pena hitam mencatat berbagai keadaan yang menaunginya dan


menjadikanya serpihan sejarah. Faktor sejarah mempengaruhi
dukungan dari supporter dalam periode yang lebih panjang. Biasanya,
dukungan ini merupakan turunan dari generasi-generasi sebelumnya
yang telah mencintai sepakbola. Ini adalah pergerakan sosial yang
mengalami inherritance atau pewarisan terhadap kultur dan secara
langsung mencatat bahwa kegemaran terhadap sepakbola telah
mengalami konsistensi yang mengakar, menembus usia, melintasi
generasi dan tentunya mewarisi perasaan emosional terhadap entitas
sebagai tolak ukur alami yang telah dan akan dirasakan oleh manusia
sebagai makhluk sosial.

Saya pribadi telah mengalami inherritance tersebut. Dimulai dari


kakek yang telah mencintai klub sepakbola di solo semenjak zaman
galatama dimana tim yang bermain kala itu adalah Arseto. Arseto
sendiri didirikan oleh putra mantan presiden Soeharto, Sigid
Harjoyudanto. Tim berkostum biru muda tersebut sempat bermarkas
di Solo dan menjadikan stadion Sriwedari sebagai homebase. Arseto
sempat mengalami masa kejayaan saat kompetisi galatama digelar.
Bahkan menjadi salah satu klub Indonesia di masa itu yang berhasil
menembus partai semi-final Liga Champions Asia pada musim 1992-
1993. Sayang, kerusuhan dan krisis ekonomi moneter yang berujung
pada penggulingan rezim Soeharto pada tahun 1998 turut memporak
porandakan tim Arseto. Arseto yang didirikan oleh putra seorang
rezim menjadi tumbal atas hal kelam tersebut. Tim dibubarkan hingga
batas waktu yang tidak ditentukan. Dan hingga kini tim tersebut
seperti hilang ditenggelamkan lautan waktu, kian tak menentu dan
perlahan memudar dari fatamorgana dunia walau nampak serpihan-
serpihan ingatan tersendiri bagi warga Solo.

Setelah Arseto, tim-tim saling menetap dan hengkang di kota solo.


Pelita Jaya dan Persijatim pernah mencicipi gairah sepakbola kota ini.
Kendati demikian, Kakek tidak memandatkan hatinya pada klub-klub
itu. Hingga akhirnya, sebuah entitas asli kota solo yakni Persis Solo
yang menyimpan segudang sejarah dan telah mengenyam perjalanan
panjang dalam mengarungi Liga Indonesia kembali naik ke
permukaan dan mendapatkan dukungan penuh dari Pasoepati dan
masyarakat solo, tak terkecuali sang Kakek. Dengan kata lain,
Pasoepati telah mengakhiri perjalanan panjang dimana ia akan
menempatkan hatinya, mendukung klub yang telah lama berdiri dan
menjadi entitas asli dari Solo sendiri setelah sebelumnya mendukung
klub „pindahan‟ dari Ibukota.

Kecintaan ini menurun kepada Ayah saya. Berbeda dengan sang


kakek, ia telah tergabung dalam barisan Pasoepati semenjak jaman
pelita dan persijatim sebelum akhirnya melabuhkan hatinya kepada
Persis Solo. Ayah saya sendiri merupakan saksi hidup kerusuhan
Mandala Krida Yogyakarta pada 4 Juni 2000 yang melahirkan
kebencian dan rivalitas antara Pasoepati dan Brajamusti. Ia juga
menjadi pelsaya sejarah away kediri pada partai pamungkas perebutan
juara divisi utama antara Persis Solo dan Persebaya Surabaya. Ia
bercerita kepada saya bahwa final kala itu benar-benar mencekam.
Kerusuhan antara Pasoepati dan Bonek menghentikan laga selama 17
menit, tepatnya pada menit ke-52 babak kedua. Penonton mulai
memasuki lapangan. Terjadi saling lempar batu, botol, balok kayu
bahkan papan iklan yang ada di sentel ban. Diluar, situasi semakin
tidak terkendali. Beberapa unit kendaraan dibakar, tembakan
peringatan beberapa kali diletupkan oleh aparat keamanan, dan
beberapa supporter yang terluka langsung dievsayaasi menuju rumah
sakit terdekat. Kerusuhan inilah yang menginisiasi permusuhan
Pasoepati dan Bonek.

Sebagai tambahan informasi, Antara Supporter Persis Solo dan


Persebaya, Serta yang terbaru Persis Solo dan PSIM Jogja kini telah
berdamai dan sepakat untuk mengakhiri rivalitas tersebut.

Ayah adalah seorang yang loyal terhadap sesuatu. Kecintaanya


terhadap Persis itu sendiri sebenarnya masih menembus urat nadinya
hingga kini meski ia telah menyatakan gantung syal dan berfokus pada
keluarganya. Namun nyatanya, kecintaan itu beregenerasi kepada
saya. Saya telah diajaknya pergi menonton Persis sejak kecil. Pertama
kali saya merasakan euforia Stadion Manahan adalah kala saya duduk
di bangku kelas 1 SD. Saya menjadi saksi kecil kegembiraan
Pasoepati saat Greg Nwokolo C.S. berhasil melibas lawan-lawannya,
termasuk saat menggunduli Persebaya 5-0. Masa kecil saya juga
menjadi saksi kerusuhan manahan saat Persis takluk di kandang
sendiri (Untuk kalah lawan tim apa, mohon maaf saya tak ingat
dengan itu). Intinya keributan itu melahirkan beberapa memori dan
ketsayatan karena manahan kala itu benar-benar kacau dan rusak. Saya
mengingat 2 batu jatuh persis di depan kaki kecil saya. Kakak saya
yang juga ikut menonton kala itu terlibat bsaya hantam dengan
suporter lain. Ayah saya berusaha mengamankan saya dari benda-
benda yang beterbangan termasuk batu, botol minuman kaca, dan
balok-balok kayu yang dilemparkan begitu saja. Sampai di luar area
stadion, tambah kacau lagi. Posisi stadion yang berdekatan dengan
Polres membuat angkatan kepolisian dengan mudahnya menerjunkan
pasukan. Alih-alih meredam, mereka justru memukuli siapapun yang
ada di depan mereka. Entah itu pelsaya kerusuhan atau hanya cari
aman. Pokoknya, melihat orang pakai baju merah auto pukul.
Untunglah Ayah saya dan kakak yang menggendong saya kala itu
berhasil di loloskan dengan alasan membawa anak kecil.

Situasi itu terkenang dalam memoar saya. Namun sebetulnya, dari


situasi itulah kecintaan saya terhadap klub lokal mulai merebak
layaknya bunga-bunga yang bermekaran dalam hati, mencengkram
jantung dan meggoyahkan perasaan emosional. Dari perasaan itulah
kemudian menjadikan klub sebagai rasa bangga yang tidak memiliki
tolak ukur apapun. Kebanggaan yang datang dari kondisi sulit, dan
terkadang melahirkan pilu tak berkesudahan. Namun jua menjadikan
setiap pertemuan adalah kabar yang berwara dan menyampaikanya
menjadi sepetak tempat untuk merayakan kesenduan dan rasa penat.
Kemenangan yang diraih dari derai-derai air mata. Cinta tak
terkondisikan yang datang begitu saja tanpa memberi aba-aba. Muncul
dari timut laut, tenggara, barat laut dan barat daya. Memberikan opsi
bagi kita bahwa setiap pijakan di tribun memiliki maknanya tersendiri.
Kita mungkin bangga akan sesuatu yang memang hanya dimiliki
untuk kita. Namun pernahkah anda merasakan kebanggaan yang dapat
dimiliki oleh banyak orang? merasakan semangat yang sama dari
segala penjuru kota? Muncul dari titik-titik terdasar, menaungi
kalimat-kalimat yang tertuang dalam suara meski itu kering dan
parau? Mengawal dalam segala kondisi termasuk pula dalam situasi
terburuk? Saya rasa satu hal yang akan menjawabnya “Cinta sejati tak
lahir dari kalimat-kalimat hipokrisi, Cinta sejati tertanam saat ia
mengenal obyeknya. Dalam sejarah bertalu dan kejadian-kejadian
yang tak sepersekian detikpun terlewatkan”.

3. Nama besar
Manusia telah mengenal popularitas sejak tahap awal kehidupannya.
Popularitas muncul secara natural dalam lingkungan seseorang. Hal
ini sesuai dengan istilah primus inter pares, sebuah istilah kuno yang
berarti hal pertama dari sejenisnya. Artinya, sesuatu yang populer
muncul di dalam lingkungan yang memiliki derajat yang sama, namun
sesuatu menunjukkan kelebihannya sehingga itu menjadi berbeda
dengan lainnya dan mendapat perhatian. Dalam Sepakbola, nama
besar dapat diukur oleh prestasi dari sebuah klub. Klub yang sudah
malang melintang mengarungi kerasnya Liga dan berhasil
menorehkan prestasi.

Kita mengambil sample populer 4 Tim yang menjadi kiblat


pesuporteran di Indonesia yakni Persija, Persib, Persebaya dan Arema.
4 klub tersebut memiliki popularitas tertinggi diantara klub-klub lain
yang juga berkiprah di Liga. Secara empiris, Popularitas klub ini
termasuk kedalam Perceived Popularity. Istilah ini menggambarkan
popularitas diantara klub-klub karena hal menonjol yang mereka
punya. Arema misalnya, saya memiliki seorang teman dari cirebon
yang menggilai Arema. Alasanya, apalagi kalau bukan prestasinya.
Saya juga memiliki seorang teman yang lahir dan besar di Sukoharjo,
Jawa Tengah. Ia sangat mengidolakan klub Persija Jakarta, sampai-
sampai ia bergabung dengan komunitas Jakmamania Sukoharjo.
Adapun kawan se-kampus saya yang berasal dari magelang mencintai
klub Persib Bandung semenjak Persib menjuarai ISL pada tahun 2014.
Dan yang terakhir, mahasiswa asal tegal yang kini satu tongkrongan
dengan saya menyukai Persebaya, karena ia telah menyaksikan sendiri
bagaimana Bonek datang berduyun-duyun ke stadion Manahan solo
dalam kompetisi pramusim Piala Presiden 2018 kala itu.

Popularitas ini mendapatkan sebuah landasan teoritis bagus dari


Snyder dalam dalam jurnal Pemecahan Konflik Interpersonal Yang
Populer oleh Vivi Gusrini R Pohan yang membagi lima atribut dasar
popularitas dimana atribut kelima merupakan popularitas yang
diberikan (ascribed). Atribut-atribut tersebut yaitu:

a) Kualitas personal
Dalam hal ini, klub yang memiliki kualitas permainan yang
dianggap baik akan pula dengan sendirinya mendapatkan
penggemar. Dan bisa juga penggemar dari klub tersebut
memiliki rasa bangga tersendiri terhadap klub mereka.

b) Kedekatan Sosial
Saya akan mengambil contoh Riverside Forest dan Persipa Pati.
Kedua klub ini kini dikelola oleh suporternya sendiri.
Pendekatan-pendekatan secara sosiologis dan emosi ini
mempermudah keterkaitan popularitas mereka. Meski pada
dasarnya praktek pengelolaan klub secara swadaya masih
memiliki kendala yang juga tak main-main. Misalnya pada
aspek finansial dan pendanaan yang cukup terbatas.

c) Prestasi yang baik.


Persija yang telah memenangi Liga 11x memiliki basis
penggemar yang tersebar di penjuru nusantara. Ini
menginisiasikan prestasi juga akan mempengaruhi pendekatan
terhadap penggemar dan dengan sendirinya menaika arus
popularitas menuju permukaan

d) Bergabung dalam linkup yang teratas.


Liga 1 yang berisikan materi pemain-pemain berbintang akan
lebih mudah mendapatkan penggemar dibandingkan Liga 2 dan
Liga 3. Ini juga didasari oleh label bintang dari pemain itu
sendiri.

e) Kepemilikan materi.
Johor Darul Ta‟zim, sebuah klub megabintang asal Malaysia
yang dimiliki oleh sultanya sendiri memiliki popularitas yang
cukup tinggi. Bahkan di negri ini sebagian akan mengenal JDT
sebagai salah satu klub yang memiliki fasilitas terlengkap di
Asia.

Faktor-faktor lain dapat diidentifikasikan dalam kecerdikan


manajemen pemasaran. Klub-klub yang memanfaatkan faktor ini
biasanya merupakan klub-klub yang masih berusia belia. Dan seperti
sebelumnya, klub-klub ini dimotori oleh seseorang yang memiliki
finansial kuat. Bali United dan Borneo misalnya. Kedua klub ini
memiliki cerita yang sedikit unik. Bali United merupakan tim
pindahan dari Kalimantan yakni Putra Samarinda atau Pusam yang
telah memiliki basis penggemar tersendiri. Setelah terjadi konflik
kepentingan dari Persisam dan Pusam yang sebelumnya merupakan
dua tim yang merger, Pusam memutuskan hengkang dari kota
Samarinda. Ia telah menjual lisensinya dan memindahkanya ke Bali
(Red: Pembahasan soal jual beli lisesnsi akan dibahas di Bab
selanjutnya). Persisam akhirnya mati suri, dan kini dikelola oleh askot
Samarinda. Pusam berganti nama menjadi Bali United, dan
mendapatkan atensi penuh dari publik Bali. Bali United
bertranformasi menjadi kekuatan lain di Liga Indonesia dengan
segudang pemain bintangnya. Dari situlah kemudian timbul dukungan
dari masyarakat Bali yang cenderung adaptif dalam memberikan
dukungan pada sebuah tim, setelah sebelumnya mereka telah
mendukung Persegi Gianyar dan Perseden Denpasar yang prestasinya
masih terbilang stagnan.

Publik Samarinda tak kehilangan arah. Kendati demikian, alih-alih


membangkitkan Persisam, Seorang pengusaha yakni Nabil Husein
justru menciptakan tim baru dengan mengsayaisisi tim Perseba Super
Bangkalan dari Pulau Madura. Lagi-lagi, jual beli lisensi
diperlihatkan. Kecerdikan manajemen ini terlihat kala Perseba
mengubah namanya menjadi Pusamania Borneo FC dan menyamakan
warna kostum menjadi oranye, warna yang identik dengan kota
Samarinda. Pusamania (Pendukung Tim Samarinda) sendiri telah
memakai warna tersebut. Dan penggunaan nama Pusamania cukup
mempengaruhi antusiasme warga Samarinda.

Namun, bagi saya, saya memandang klub ini seperti sedang aji
mumpung dengan keadaan yang ada. Dengan menggaet keadaan
sepakbola sebuah wilayah dengan polesan-polesan tertentu agar dapat
menarik minat. Sebab bagi saya, Sepakbola tidak melulu soal
kegemilangan. Sepakbola adalah perihal cinta. Maka tak heran jika
klub-klub ini disebut sebagai klub „Siluman‟ karena mereka tidaklah
berasal dari tempat yang semestinya dan dalam proses
pembentukanya pun melibatkan kepentingan

.
Dari ketiga Faktor yang bisa didapatkan diatas dapat kita tarik
kesimpulan bahwa terdapat beberapa alasan populer yang dapat disebutkan
meskipun pada kenyataanya cukup sulit untuk membedah kesimpulan pasti dari
faktor-faktor tersebut. Supporter merupakan sebuah entitas yang memiliki masa
besar dan setiap masa memiliki arah pemikiranya sendiri. Kita mungkin bisa
menarik kesimpulan dengan faktor kuantitatif atau kualitatif serupa penelitian-
penelitian ataupun jurnal pada umumnya. Namun, supporter selalu memiliki
dinamikanya dan pasang surutnya tersendiri. Dalam artian lain, pengumpulan
sampel populer dari tiap kepala hanya akan berpengaruh pada satu atau dua
periode saja, sebab bisa saja terjadi sebuah perubahan atau pergolakan besar
yang dapat dengan mudahnya mematahkan hal-hal tersebut. Diperlukan waktu
yang cukup lama untuk memberikan sampel data paling sayarat.

Faktor-faktor tersebut mempengaruhi psikologis orang-orang dengan


masa yang sedemikian banyak. Dan juga melahirkan sebuah hantu baru
bernama “Fanatisme”. Secara umum, Fanatisme adalah Sebuah hal yang cukup
lazim dikalangan pendukung sepakbola, baik yang berkerumun membentuk satu
golongan atau yang 'Memerdekakan diri' sebagai bentuk independensial. Bagi
yang membentuk golongan, mereka akan larut dalam fanatisme itu. Entah
dengan cara apa mereka menyebut diri mereka; sebagian menutup diri dan
mengenakan pakaian serba hitam ala-ala tifosi italia, dengan suara lantang,
berjingkrak-jingkrak sepanjang pertandingan dan menyebut diri mereka Ultras.
Sebagian lagi mereka mencoba untuk mempertahankan kultur lama, yang
merupakan sayalturasi budaya supporter lokal dengan barrasbravas di amerika
latin, mereka menyebut diri mereka Mania. Ada pula yang lebih bersikap
tertutup, berpakaian santai dan cukup mahal demi menghindari tangkapan
aparat dan sesekali melantangkan chants, mereka menyebut diri mereka sebagai
Casual/Hooligans. (Sebetulnya casual hanya cara berpakaian, cultur asli mereka
sebenarnya mengadobsi budaya sepakbola Inggris tentang Hooliganisme). Dan
mereka semua melebur dalam fanatisme itu.

Sebuah hal yang sah-sah saja mendukung tim yang anda cintai berlaga di
lapangan dengan skema fanatisme yang tertuang di sudut tribun. Namun, pada
prakteknya fanatisme bukan lagi menjadi kunci bahasa komprehensi. Lebih ke
ekstrimisme dan pertarungan harga diri. Maka Tak jarang fanatisme
mengalahkan logika dan rasa kemanusiaan. Nyawa bukan lagi hal yang harus
dibayar mahal dan bahkan setara dengan harga sebuah tiket pertandingan.
Faktanya banyak supporter yang memupuk ambisi, melestarikan kebencian dari
sebuah tragedi. Hingga pada akhirnya kebencian itu tertuai dalam nohta hitam;
Landasan yang cukup skeptis untuk kembali menuai gesekan.

Bangga dengan gengsi, rivalitas dan pengsayaan posisi. Pada


kenyataannya siapapun yang lari pada saat itu pula menjadi bahan bully-an. Dan
lebih brengseknya, media massa menjadi pematik sumbu paling radiatif sesaat
setelah ledakan itu terjadi. Dan mereka meraih untung dari sekedar notifikasi,
endorsment, exposure, Kenaikan 'loader' laman mereka, yang tak jarang
memasang iklan PP judi.

Tak jarang kita mendengar untaian kalimat rasisme. Secara teknis


memang beberapa kalimat ini bukan termasuk rasisme. Namun dari dasar
supporter sendiri, beberapa menyebut tim kebanggaan mereka adalah ras. Jika
kita telisik lebih dalam, sejujurnya ini bukan rasisme. Tapi bagi saya pribadi,
hal ini justru lebih parah dari sekedar rasisme. Pernahkah anda mendengar
kalimat 'Dibunuh saja?'. Dan beberapa supporter melantangkan chants itu
dengan suka ria. Saya tidak pernah menyebutkan supporter mana. tapi yang
jelas, hampir semua supporter pernah menyanyikanya.

Bayangkan bilamana Sepakbola Indonesia dibangun diatas nisan-nisan


supporter yang telah lama tinggal. Sepenggal lirik ini saya rasa terlalu
berlebihan, jika saja anak-anak yang terlibat dalam gerakan persuporteran itu
ikut melantangkan chant 'Dibunuh saja', apakah masih relevan kita memakai
slogan 'Sepakbola adalah hiburan bagi segala kalangan'?

Beberapa kasus lain adalah seksisme terhadap perempuan yang juga ingin
ikut andil dalam sepakbola. Mungkin masih teringat dalam memori kita tentang
komentator yang beberapa waktu lalu mengomentari sekumpulan supporter
perempuan yang berdiri di salah satu sudut tribun dengan kalimat 'ada yang
bulat tapi bukan tekad'. Secara langsung ini adalah tindakan seksisme yang
dibungkus dengan jenaka agar tidak terlalu menonjolkan sisi pelecehanya.
Tidak cuma itu, banyak juga pelecehan seksual terhadap wanita di tribun yang
selalu penuh sesak.

Menghidupi diri, menghidupkan nurani. Menjadikan sepakbola sebagai


ladang hiburan bukan kala yang mudah. Selalu ada kontradiksi baik di akar
rumput persuporteran itu sendiri atau dengan pihak manajemen yang melola
tim. Setiap supporter memiliki keinginan untuk membanggakan tim yang
mereka dukung. Tanpa kehadiran supporter pun, sebuah tim tidak akan ada
harganya. Namun selalu ada kontradiksi antara supporter dan manajemen.

Supporter ingin manajemen profesional, berproses pada pengembangan


tim sehingga tim dapat menjadi juara. Tapi tak menutup kemungkinan,
kelicikan manusia bisa terjadi di mana saja. Dan dalam manajemen itu pun
sering terjadi. Seperti memberikan janji kepada supporter lalu meninggalkan
begitu saja. Yang mereka cari? Ya uang dan kuasa.

Mencintai sepakbola meskipun takdir dan kenyataannya begitu brutal.


Statement yang sedikit sensitif untuk mengungkapkannya. Tapi, beberapa orang
akan selalu mencintai sepakbola sekalipun kusut. Saya tertarik membahas
kalimat ini, "Fatum Brutum Amorfati", sebuah ungkapan dari Frederich
Nietzche yang kurang lebih berarti "Mencintai hidup walaupun berat dan
menyakitkan". Indeks ini pula berlangsung di siklus sepakbola, terlebih di
Indonesia. Dibalik seberapa bobrok federasi, seberapa banyak darah yang harus
tercurah dari tubuh supporter, seberat apa semiotika fanatisme, dan seberapa
banyak tumpukan argumen orang-orang tentang olahraga ini yang memicu
gesekan yang lebih panjang. Nyatanya sepakbola masih hidup hingga saat ini.

Ekosistem sepakbola sepertinya harus dikritisi dengan nalar dan logika.


Agar suatu saat sepakbola bisa menjadi sesuatu yang dapat sedikit dibanggakan
oleh masyarakat umumnya. Banyak argumen mengenai sepakbola, beberapa
diantaranya selalu menyebut pengaruh buruknya. Itu karena mereka sendiri
mengkonsumsi berita yang buruk oleh media. Jika, perdamaian 2 supporter
diliput lalu diekspos oleh pemangku laman berita. Apakah ada yang tertarik
membaca? Konsumerisme ini yang mendoktrin opini masyarakat menjadi
babagan yang buruk untuk dilihat. Namun juga dari sisi akar rumput mestinya
juga melsayakan pergerakan dan refleksi. Banyak juga yang terlalu mudah
tersulut emosi, atau bahkan menyebarkan provikasi saat laga dimulai.

Menghidupi sepakbola tidak hanya butuh cinta, ada logika dan nalar
kritis didalamnya. Biar suatu hari, anak cucu melihat generasi sepakbola yang
gemilang. Memperbaiki ekosistemnya memerlukan hati, kejujuran, dan tindakan
yang berani. Mencintai sepakbola meski kusut, adalah kesetiaan, cinta, dan
dedikasi terhadap sepakbola itu sendiri.

Pasca fanatisme, hantu baru lahir dalam skema rivalitas. Membicarakanya


membutuhkan sedikit kehati-hatian, kita tak pernah tau apa yang ada didalam
pikiran orang-orang yang mungkin saja bersebrangan. Sedikit perlu akal sehat
untuk menghadapi rivalitas. Untuk sekedar menghindari perbacotan di kolom
komentar, hingga menggiring opini hanya jika caption diketik dengan majas
yang terlalu profan. Saya tidak pernah peduli dengan ideologi apa yang kalian
bawa kedalam stadion, atau apapun itu. Sama sekali tidak peduli. Apalagi di era
postmodern segala sesuatu dapat diperdebatkan. Persetan dengan semua itu.
Yang saya tau, saya hanya ingin menikmati sepakbola meskipun penuh dengan
kekacauan. Tentunya bersama pedagang asongan yang menawarkan esteh tawar
5 ribuan.

Seburuk apapun kalian berivalitas, tetaplah menjadi manusia ketika tidak


ada match. Rivalitas, fanatisme, atau apapun itu cukup dibawa saat match saja.
Selebihnya, jadilah manusia dengan kesibukanya. Tidak perlu sakit pantat untuk
menunjukan seberapa tangguh kalian dihadapan rival. Karena saya sendiri tak
mampu menbayangkan, suatu saat anak-anak saya merayakan sepakbola yang
dibangun diatas nisan supporter yang telah lama tinggal. Membebaskan pikiran,
opini, menjadi negasi, atau tendensi. Karena sepakbola adalah milik kita semua.
Dan kita semua berdikari diatasnya

Pada saat ini pula suporter harus saling melengkapi. Menggenggam erat
kembali apa yang mulai renggang, merangkul kembali apa yang mulai lepas.
Mengepal dalam satu tujuan, satu passion yang sama dari penderitaan dan
kesenangan yang sama pula. Berdiri menantang kutukan yang selama ini
melekat pada sepakbola negri tercinta. Saling menebar respect dan cinta dijalan
yang mereka lalui, dengan lawan yang mereka hadapi, dan kawan yang mereka
rangkul.

Mungkin ada kalanya kita harus pay respect dengan BCS karena
kreatifitasnya, Atau dengan Arema sebagai pelopor supporter fanatik, Atau
dengan Bonek yang dengan loyalitasnya mengembalikan nama Persebaya, Atau
dengan Bobotoh dan Jakmania dengan militansinya, Atau dengan Solo-
Semarang yang tetap adem ayem setelah 'bergojek ria', Atau dengan seluruh
supporter indonesia yang menebarkan cinta di seluruh pelosok Nusantara. Ada
kalanya fanatisme harus ditanggapi dengan logika. Tak harus kita
mengedepankan egoisme dialegtis yang memaksa semua fakta di lapangan
adalah retorika dan kontradiksi. Semua manusia diajarkan untuk memanusiakan
manusia lain.

“Drop the borders, break the walls. Together as one. Born to live it and
let go.”

Sepakbola Selamanya, Bukan Segalanya.

“...Dan bahkan kau akan mengenal pemaknaan semenjak hentakan kaki-


kaki itu mengulurkan batas. Sebab bagiku, tak segala hal mampu menggenapi
beban-beban di atas pundak ku".

Sama halnya saat kita menjumpai pembicaraan-pembicaraan sentimentil,


olahraga ini pula mempermainkan emosi yang tak terkondisikan oleh waktu,
tenaga dan batas wajar yang semestinya dikehendaki. Pada beberapa lini masa,
emosi dari pemaknaan akan olahraga ini menciptakan konstruksi komunitas
sosial dengan masa yang cukup masif. Hal ini juga menelurkan cetak biru
sebagai wadah representatif suatu wilayah, entitas sosial yang menonjol,
ideologi politik, atau konstelasi masyarakat.

Sama halnya saat kita mulai memaknai batas wajar, pemaknaan-


pemaknaan tersebut akan menemui titik paling akhir dalam perjalananya.
Sebagai hiburan yang dapat dijangkau oleh siapapun yang mampu
memahaminya meskipun negri ini menghadirkan sepakbola yang lapuk.
Memaknai olahraga ini tak hanya membutuhkan pengorbanan. Namun juga
relevansi terhadap dimana kita berpijak. Sebagai tonggak pemaknaan yang lebih
konsekuen dan searah dengan budaya bermasyarakat pada umumnya. Pun jua
batasan-batasan relatif pada kemanusiaan. Yang terkadang menggugurkan belas
kasih menjadi sebuah kabar kematian. Dan deretan korban yang hanya menjadi
catatan, bias yang kita temui saat kita menjejaki sepakbola yang gila di negri
ini.

Terberkatilah rentetan diam yang berdesakan keluar menuju labirin-


labirin sendu. Menjelma api-api yang bersahutan dari sudut-sudut tribun.
Mereka menamai api-api ini dengan sebutan-sebutan familiar. Ada yang
menamainya sebagai passion dan hiburan, ada pula yang menganggapnya
sebagai bagian dari harga diri. Segala hal yang mereka relakan tersemat dalam
nama sebuah klub. Mereka mengorbankan sederet materil yang tak sedikit.
Bayangkan, dalam kompetisi Liga 1 saja ada 18 klub yang bertanding. Ketika
terjadwal pertandingan away, mereka rela merogoh kocek yang cukup dalam
dan sejenak melepaskan diri dari pekerjaan atau studi mereka. Menempuh
perjalanan berkilo-kilometer dari tempat asal menuju kandang lawan demi
mendukung kebanggaan mereka.

Namun, hal tersebut masih terlalu rendah dengan pengorbanan-


pengorbanan lain yang jauh lebih ekstrem. Ada sebuah entitas yang bahkan rela
mereka korbankan demi harga diri tersebut: Nyawa. Dengan ini pula, saya
menaruh rasa curiga terhadap kecintaan setiap orang kepada sepakbola. Apakah
ini yang disebut dengan chauvinisme? Ah, rasanya terlalu naif untuk
menggaungkan itu. Tapi yang pasti, hilangnya nyawa seseorang hanya karena
sepakbola adalah prestasi terburuk yang pernah diraih oleh suporter itu sendiri.
Semua ini terjadi akibat rivalitas buta yang telah diturunkan oleh generasi ke
generasi. Memupuk kebencian dan menormalisasi kematian. Hal yang
semestinya tak dapat kita relakan begitu saja demi pengakuan dan gengsi yang
bercampur aduk dalam sekumpulan organisme yang cukup banyak.

Dan rasa-rasanya memang seharusnya kita saling menyudahi. sebab tak


satupun penyesalan terasa setimpal. Yang mati meninggalkan seutas duka, yang
hidup tinggal menggarisbawahinya. Namun yang saya tau, pengakuan ini tidak
berbalas apapun melainkan berkabung dan berkabung. Terus menerus bertalu
hingga tak ada lagi yang mampu menuding, mengaburkan orang-orang yang
merelakan mereka yang diharuskan pergi.

Lalu, bayangkan semua berlalu menjadi angka. Bahkan kematian


sekalipun tak lebih dari kurva yang tiap tahun tak pernah mengalami penurunan.
Rivalitas ini membiarkan apapun terasa terik, namun menyudahinya bukan pula
kita dapatkan jawaban terbaik. Melampaui sudut dan kemungkinan terdasar,
Hingga sampailah kita bermukim dibawah kalimat "Sepakbola menyatukan
kita" yang kini serupa ayat usang yang lama tinggal. Berserakan di bawah
peron-peron kota dan gemerlap yang melampaui jangkauan mata manusia. Dan
tentu semakin tak dipedulikan

Kita lekang membicarakannya sampai mulut berbusa. Dan penyesalan-


penyesalan itu tertangguhkan oleh waktu. Kedepannya, mari sama-sama sepakat
bahwa lingkaran ini harus memiliki titik untuk menyudahi. Sebab, tak ada lagi
kabar duka yang harus direpetisi.

“Aku membayangkan sepakbola dengan hal-hal indah di dalamnya. Orang-


orang yang membentangkan bendera, membunyikan tabuhan bass drum,
bernyanyi selama 90 menit tanpa henti, seorang ayah yang membawa keluarga
kecilnya, ikut merayakan gelora sepakbola yang sama-sama kita suarakan
sebagai sebuah tontonan yang menarik. Namun, kenyataan memukulku saat
mengetahui bahwa olahraga ini juga menghadiran ratusan kematian yang tak
terhindarkan. Aku lebih memilih untuk tak mengenal sepakbola jika memang itu
konsekuensinya. Sebab aku menginginkan sebuah hiburan, bukan rentetan duka
yang suatu waktu kalian lupakan”.
Kala Malang Memadam

Ada hal-hal yang perlu dibicarakan perihal Malang, Arema dan


Aremania. Tentu, perihal memori masa lalu. Malang berditaksi dalam animo
dan gelora yang sedemikian hebatnya. Tak ada yang menyangkal kedewasaan
Arema dan Aremania ketika mereka dapat menerima kekalahan, Berbaur
dengan suporter lain hingga menelurkan persaudaraan, bahkan segudang
predikat supporter terbaik pun pernah mereka rasakan.

Tapi ini hanyalah reka ulang dari masa lalu. Suka atau tidak suka, terima
atau tidak terima, adalah sebuah fakta yang menyatakan bahwa pendukung
singo edan ini mengalami kemunduran secara spesifik. Faktor dualisme klub
membelah porsi kefanatikan mereka dan melahirkan ego yang membutakan.
Satu sama lain memiliki pemikiran dan tak jarang memiliki kepentingan. Hal ini
yang mendasari perpecahan di malang selama beberapa tahun terakhir. Mereka
mungkin bisa mengatakan bahwa malang masih baik-baik saja. Namun tidak
dengan hatinya, tidak pula dengan realitanya.

Malang memadam seiring dengan dinamika sepakbola. Badai dualisme


yang tak kunjung padam dan egosentris mereka dalam menanggapi banyak hal
telah menyeret jauh kamajuan mereka. Maju satu langkah, mundur 20 langkah.
Itu fakta.

Malang terperangkap dalam gelora masa lalu yang menidurkan. Malang


belum benar-benar sembuh dari rasa sakit yang mereka dera. Namun yang saya
yakini, mereka merindukan masa lalu yang begitu luas pada masa sekarang
yang begitu sempit. Sedemikian sempit untuk menyatukan persepsi, terlalu
sempit untuk berkata bahwa „Malang sedang baik-baik saja‟.
Malang Berkarat

Seorang reporter dari Inggris pernah berkata demikian “Sepakbola


Indonesia adalah bom waktu yang suatu ketika dapat meledak”. Dan terjadilah
Tragedi Kanjuruhan yang meledak pada 1 Oktober 2022.

Beberapa kemenangan tidak layak untuk dirayakan. Beberapa empati


melahirkan sabda kekecewaan. Malang dan jatuh berserakannya cinta. Selepas
asap-asap mengepul di udara. Dan pendar-pendar lilin diiringi doa tak serta
merta menemukan jalanya.

Seandainya Arema Fc mau mengakui kesalahan. Dan bila saja mereka


paham apa yang semestinya dilakukan. Ketika empati dan nurani terhadap
korban lebih diutamakan dibanding mengikuti kompetisi beserta bualan-bualan
yang merepotkan. Tagar #UsutTuntas tidak akan terbenam begitu saja.

Sayang, malang bukan hanya perihal Tragedi Kanjuruhan. Malang


terjebak dalam kasat mata kesadaran. Malang belum benar-benar pulih dalam
kerancuan dan pecah menjadi puing-puing ego yang membutakan. Diiringi
dengan Iwan Budianto, dan segenap jajaran manajemen yang salah langkah
dalam mengambil keputusan. Dengan Liga 1 yang diapaksa jalan dan Liga 2
serta liga 3 yang berhenti di persimpangan seolah-olah telah mencoreng muka
mereka sendiri dan memperlihatkan ke seluruh penjuru Nusantara bahwa
Malang benar-benar berada dalam permasalahan.

Mala angkusha iswara. Tuhan menghancurkan kebatilan. Namun,


bayangkan bila kebatilan kita ciptakan dari jemari kita sendiri. Akankah kita
memohon pada Tuhan untuk menghukum diri kita?

Rasanya kecewa, sebuah tim yang mendapatkan rangkulan dari seluruh


suporter di Indonesia justru menjadi biang huru hara hingga kini. Malu?
Seharusnya iya. Sekarang izinkan aku bertanya, Hasrat apa yang bertahan
hingga kini untuk mendukung tim semacam itu? Adalah sedikit empati dalam
benakmu wahai Arema FC?

Namun, bilamana api-api lahir dari kemustahilan. Sejenis api yang


bersahutan lewat kesia-siaan. Biarkan api-api itu bermekaran layaknya bunga di
tiap-tiap penjuru. Yang menolak kedatangan tim nir-empati ditanah mereka.
Perihal resiko, biarkan mereka menanggungnya sendiri.

Tim-tim DIY pada 2006 saat terjadi gempa jogja dapat menjadi contoh.
Saat itu PSS, PSIM, PERSIBA sedang bagus2nya. Namun mereka milih untuk
tidak ikut kompetisi dan menyertai rakyatnya! Malang? Memaksakan semua
kehendak demi menyelesaikan kompetisi! Padahal korban butuh keadilan. Usut
tuntas akan terjadi jika semua pihak sadar dan mengakui.

Malang pula terperangkap dalam penjara generasi. Secara klise, mereka


gagal menelurkan generasi muda yang atraktif dan progresif. Justru, generasi
dibawahnya diwarisi dengan nilai-nilai kebencian dan perpecahan. Demi sebuah
logo yang mereka sebut dengan kebanggaan.

Lagipula, Berapa harga sebuah kebanggaan bila dapat ditukar dengan


rentetan kematian?

Relevansi terhadap majas-majas berupa kebanggaan layaknya diukir


menjadi nohta sakral yang secara eksklusif dibuat sendiri oleh manusia.
Kebanggaan-kebanggaan itu merupakan bentuk perasaan emosional, namun
juga sering disalahartikan sebagai patokan yang menghajar batas kemanusiaan.

Tidak, kebanggaan yang diciptakan bukanlah bentuk keluhuran. Dari


untaian Aristoteles, kita patut belajar bahwa keutamaan bukan saja sekadar nilai
atributif, seberapa pun tingkat keluhuran itu, tetapi juga sebagai perspektif dan
teori yang memiliki bobot ilmiah tertentu dan dipahami secara rasional. Ia
bukan sekadar menjadi objek yang disematkan, tetapi juga menjadi teori
keutamaan, alat analisis, cara pandang dan sudut pandang yang berkontribusi
memecahkan problem moral tertentu dan berdialog dengan cara pandang yang
berbeda. Begitu pula dalam sepakbola, nilai keluhuran yang ditelurkan pada
majas berupa "Kebanggaan" Atau "Harga diri" Lebih banyak menjadi
pelampiasan emosional belaka, tanpa memandang aspek rasional.

Di saat kritis seperti ini, berbicara mengenai kebanggaan atau harga diri
serasa tidak relevan. Sebab, mendahulukan apa yang dibanggakan dibanding
rasa empati dan kemanusiaan adalah sebuah tanda tanya besar. Pahami pula
mengenai perbedaan entitas dan identitas. Layaknya klub sepakbola, klub
merupakan entitas. Sebab klub dilahirkan dari proses-proses yg ditampung oleh
sebuah PT. Di era sekarang, klub adalah perkakas bisnis. Ia bisa berjalan tanpa
suporter sekalipun. Yang penting keuangan lancar, bisnis jalan. Entitas seperti
klub bisa bertukar rupa sesuai dengan waktu. Dan membela entitas bermasalah
adalah kekeliruan fatal. Sementara itu, identitas adalah hal yang lahir atas
esensi. Immanuel kant misalnya, yang mendeskripsikan sebuah entitas justru
bergantung pada identitas. Karena identitas merupakan kunci unique (Primary
key) yang dimiliki entitas itu sendiri. Sekarang mana yang harus dibela?
Identitas atau entitas? Sekarang mana yang harus didahulukan? Klub atau
kemanusiaan? Pilih sendiri jika kalian adalah manusia!

Penangkapan Sam Ambon, Pembelaan terhadap AFC, dan rentetan


kejadian yang terjadi belakangan ini juga bagian dari pelampiasan emosional.
Sayang, hal ini tidak dibarengi dengan implikasi dari argumentasi rasional dan
tindakan preventif. Ibarat api sudah menyala, dipadamkan, lalu bergejolak lagi.
Terus menerus bertalu menjadi peristiwa yang seolah abadi. Dibarengi dengan
kebutaan egosentris, Fallacy yang disebabkan oleh "Usia" dan peng-aku-aku-an
oleh segelintir orang. Respect? Saya mengurungkan hal itu. Saya lebih memilih
untuk berfikir secara naratif. Hal ini akan mencegah terjadinya tumpang tindih
argumentasi yang tidak ada habisnya. Keteledoran logika karena sebutan
panutan, suporter terbaik, guru besar atau narasi apapun itu sudah jelas TIDAK
RELEVAN. Dan hal apapun yang tidak relevan yang dibawa di masa sekarang
akan menjadi boomerang. Saya mengira bahwa Tragedi itu akan membawa
kembali arema kedalam persatuan untuk menuntut keadilan bagi saudaranya.
Ternyata ini malah menjadi pembuka tabir perihal apa yang sesungguhnya
terjadi di Malang. Perihal pengkelasan berdasarkan usia, perpecahan, dan
tentunya regenerasi yang gagal. Seperti ungkapan Soe Hok Gie, Gie menuliskan
bahwa "Generasi muda ditugaskan untuk melenyapkan generasi Tua yang
meracau".
Kepada ambon dan jeruji di hadapanya

Ada api-api yang menyalakan remang dan rucita

Adapun diantaranya sejenak memadam

Perihal kematian yang layak diperjuangkan

Perihal rapuh dan pecah

Beberapa hal ditenggelamkan temaram

Beberapa hal lahir atas kemustahilan

Diantaranya merekahkan kesadaran

Bermekaran dan direkam menjadi bentuk-bentuk harapan

Sampai di titik padam penghabisan

Lelah berkecamuk dengan api tak berkesudahan

Jemari-jemari biarlah tetap erat bergandengan

Suara-suara jangan lekang bersahutan

Anda mungkin juga menyukai