Anda di halaman 1dari 15

Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

HUM ANIORA

VOLUM E 26 No. 2 Juni 2014 Halaman 149-163

ARTIKULASI IDENTITAS W ONG SOLO1


DI EKS ENKLAVE SURAKARTA: KONSTRUKSI
BAHASA DAN PEM ERTAHANANNYA

Sulistyowati*

ABSTRACT
Culturally Kotagede and Imogiri consist of the ex enclave regions of Surakarta which are
called Kotagede SK and Imogiri SK. The community of the ex Surakarta enclave is also known as
Wong Solo. This article describes the existence of Wong Solo in Surakarta ex enclave in maintaining
its identities. The label of priyayi, courteous, alus, glamorous, and umuk attached to Wong Solo
articulated through language practices and material culture. Historical and sociocultural
perspective used to describe the verbal expression as identity markers and narratives elicited
through etnographic work. It is assumed that the romanticism of the elite, class consciousness,
and awareness of the preservation of tradition dominate retention Wong Solo. Cultural agencies,
Surakarta and Yogyakarta Palace in the historical affinity presented by abdi dalem juru kunci of the
kings of Mataram cemetery become binding factor of Wong Solo identity in Surakarta ex enclave.

Keywords: ex Surakarta enclave, identity markers, verbal expression, retension of identity, Wong Solo

ABSTRAK
Kotagede dan Imogiri secara kultural terdiri atas daerah-daerah eks enklave Surakarta yang
disebut Kotagede SK dan Imogiri SK. Masyarakat eks enklave Surakarta tersebut dikenal pula
sebagai Wong Solo. Artikel ini mendeskripsikan eksistensi Wong Solo di eks enklave Surakarta
tersebut dalam mempertahankan identitasnya. Label priyayi, sopan, alus, glamor, dan umuk yang
melekat pada Wong Solo diartikulasikan melalui aktivitas berbahasa dan budaya materi. Perspektif
historis dan sosiokultural dimanfaatkan untuk menjelaskan ekspresi verbal yang menjadi pemarkah
identitas dan narasi-narasi yang dijaring melalui kerja etnografis. Diasumsikan bahwa romantisme
kelompok elite, kesadaran kelas, dan kesadaran pelestarian tradisi mendominasi pemertahanan
identitas Wong Solo. Agensi kultural, Keraton Surakarta dan Yogyakarta dalam pertalian historis
yang dipresentasikan abdi dalem juru kunci makam raja-raja Mataram menjadi faktor pengikat
identitas Wong Solo di eks enklave Surakarta.

Kata Kunci: eks enklave Surakarta, ekspresi verbal, pemarkah identitas, pemertahanan identitas,
Wong Solo

* Jurusan Sastra Nusantara, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

149
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

PENGANTAR mengaktualisasikan dirinya melalui simbol-simbol.


Batas simbolis dapat ditampilkan melalui gaya
Surakarta, yang dikenal pula dengan
hidup, pakaian, tradisi, seni, dan bahasa. Simbol
istilah Solo atau Sala, dan Yogyakarta, dua
yang paling mudah diamati adalah pakaian.
pusat kebudayaan Jawa yang masing-masing
Pakaian tradisional pria gaya Surakarta dikenal
menampilkan keunikan yang berbeda. Perbedaan
dengan istilah beskap, sedangkan gaya Yogyakarta
tersebut terlihat pada simbol-simbol yang dimiliki,
disebut peranakan. Tutup kepala (blangkon) bagian
baik yang kasat mata (tangible) maupun tidak kasat
belakang bawah (bagian tengkuk) gaya Surakarta
mata (intangible). Bahasa yang digunakan oleh
berbentuk pipih, sedangkan gaya Yogyakarta
pendukung budaya tersebut dalam hal ini bahasa
berbentuk mondholan (bulatan). Kain gaya
Jawa merupakan salah satu simbol yang menandai
Surakarta lebih dominan berwarna dasar coklat,
perbedaan itu. Bahasa Jawa yang digunakan di
Yogyakarta dominan dengan warna dasar putih.
Surakarta dikenal dengan nama dialek Surakarta
Dalam berkain, garis tepi atau warna putih pada
(Solo), sedangkan yang digunakan di Yogyakarta
tepi kain (sèrèdan) gaya Yogyakarta diperlihatkan,
dinamakan dialek Yogyakarta. Kedua dialek
sedangkan dalam gaya Surakarta garis tepi tersebut
tersebut dianggap sebagai dialek bahasa Jawa
dilipat ke dalam (disembunyikan). Perilaku tersebut
standar karena menempati peringkat teratas dalam
dapat dimaknai sebagai bentuk keterbukaan atau
status hierarkis dan secara bertahap diterima sebagai
kelugasan dan keterselubungan.
varian yang paling halus, paling jlimet (canggih),
paling berkembang dengan pesat, serta paling Istilah Wong Solo menjadi bermakna apabila
mampu mengekspresikan esensi budaya Jawa. disandingkan dengan Wong Yogja atau Wong Yoja2.
Wijana (2005:157) menjelaskan bahwa pemilihan Demikian juga sebaliknya, seperti dikemukakan
bahasa Jawa dialek Solo-Yogya sebagai bahasa Ahimsa-Putra, (2004:5) bahwa Yogyakarta
Jawa standar dipengaruhi oleh faktor status sosial, menjadi bermakna bilamana disandingkan dengan
jumlah penutur, serta fungsi yang diperankan oleh “lawan”nya yang sekaligus juga pasangannya,
bahasa tersebut. Diungkapkan pula bahwa pada yakni Surakarta karena nama Yogyakarta baru
masa lampau, Solo (Surakarta) dan Yogyakarta mencuat setelah palihan nagari, ketika kerajaan
adalah pusat kerajaan besar Kasunanan Surakarta Mataram yang semula satu kemudian pecah
dan Kasultanan Ngayogyakarta. Persepsi ini sama menjadi dua, untuk menyelesaikan konflik yang
sekali bersifat politis dan tidak mencerminkan berkepanjangan di antara pewaris tahta kerajaan.
superioritas esensial yang melekat pada dialek. Hal Kontestasi kultural keduanya tampak dalam budaya
ini dapat ditelusuri kembali pada dominasi bahasa material ataupun budaya perilaku. Wong Solo
Jawa secara politis oleh Sultan Mataram dan diikuti terkenal umuk ‘suka pamer’, sedangkan Wong
Sultan Yogyakarta dan Sunan Solo, serta raja di Yogja dikenal dengan glembuk-nya ‘suka merayu’
Pura Mangkunegaran dan Pakualaman (lih.Quinn, (Kartodirdjo, 1993:82-83; Hudayana, 2011:5).
2012:69; Soemarsono dan Partana, 2002:28). Dalam aktivitas berbahasa, ekspresi verbal inggih
dan injih merupakan varian yang membedakan
Dua kebudayaan besar tersebut saling
identitas keduanya. Untuk mengungkapkan “ya”,
berkontestasi dalam memperlihatkan identitas
Wong Solo menggunakan nggih atau inggih,
kelompoknya, termasuk pendukung kebudayaan
sedangkan Wong Yogja memakai injih.
Surakarta -lebih akrab disebut dengan Wong
Solo- yang berada di wilayah eks enklave, yaitu Fenomena kultural ini membentuk
Kotagede dan Imogiri. Secara historis kultural identitas kelompok tersebut bukan saja dalam
Kotagede dan Imogiri memiliki pertalian dengan batas geografis, tetapi juga simbolis yang
dua keraton, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan membedakannya dengan kelompok lain (Abdullah,
Kasunanan Surakarta. Abdi dalem juru kunci 2006:13). Sekelompok orang yang berada dalam
makam sebagai representasi dua keraton tersebut lingkungan budaya yang lain mengalami proses

150
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

sosial budaya yang melibatkan dua hal. Pertama, suatu kelompok atau etnis dapat mengidentifikasi
pada tataran sosial terjadi proses dominasi dan kelompok lain melalui tuturan yang digunakan,
subordinasi budaya yang dinamis. Kedua, pada sekalipun simbol yang digunakan terlihat sama.
tataran individual terlihat proses resistensi di Gejala sosial dipandang dari kacamata orang-
dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang yang terlibat di dalamnya dan dijelaskan
orang di dalam konteks sosial budaya tertentu berdasarkan pandangan-pandangan mereka
(Abdullah, 2006:41-42). Melalui aksen, bunyi, (Ahimsa-Putra, 1985:104). Menurut Bussman,
kosa kata, dan pola-pola wacana penutur suatu etnolinguistik memadukan metode dan teori
bahasa mengidentifikasi dirinya dan diidentifikasi etnologi dan linguistik yang mengkaji hubungan
sebagai anggota suatu masyarakat tutur dan bahasa dan etnis berdasarkan aspek-aspek
masyarakat wacana. Dalam keanggotaan kelompok sosiokultural dalam suatu masyarakat. Aspek-
tersebut digambarkan kekuatan dan kebanggaan aspek etnolinguistik suatu bahasa yang digunakan
personal dalam memaknai kepentingan sosial dan oleh masyarakat tutur dapat dilihat dari sudut
keberlangsungan historis dalam penggunaan bahasa pandang komunikasi, identitas, dan realitas
yang sama (Kramsch, 1998:65-66). sosial. Aspek-aspek tersebut di antaranya dapat
Secara ideologis, Wong Solo dinilai diamati melalui sistem pengklasifikasian, pola-
menjunjung tinggi sopan santun, tata tentrem, pola pikir, dan kearifan lokal suatu etnis yang
tepa salira, tata krama, guyup rukun, dan gotong tercermin dalam konsep dan dituangkan melalui
royong. Menggarisbawahi apa yang dikemukakan bahasa yang digunakan (Djawanai, 2008:1).
Smith-Hefner (1983:52-53), tata tentrem berarti Melalui pemahaman ini diharapkan bahwa bahasa
segala sesuatu yang berada pada tempat yang yang memiliki kelenturan atau fleksibilitas dapat
tepat. Bertutur dengan benar, disertai kerendahan memberi peran dalam upaya mengukuhkan
hati dan pengendalian diri, membantu dalam identitas masyarakat tuturnya.
mencapai tata tentrem. Rukun atau harmoni Perangkat dialektologi yang berupa daftar
tercapai ketika seseorang bertindak dalam tata cara kosa kata Swadesh dimanfaatkan sebagai piranti
tertentu sesuai dengan status mereka. Aturan-aturan untuk membantu menjawab permasalahan di
yang mengarahkan seseorang bersikap konsisten atas dengan pendekatan etnografis. Kode-kode
terhadap posisinya dinamakan tata krama. Cara yang berupa ekspresi verbal (kata ataupun frasa)
mencapai harmoni dan kesopanan dalam interaksi yang memiliki kekuatan makna sebagai pembeda
personal yaitu tepa salira, yaitu menempatkan diri identitas disusun dalam daftar tanyaan untuk
sendiri pada tempat orang lain. diobservasi ranah persebaran penggunaannya oleh
Stereotipe yang melekat pada Wong Solo penutur di daerah-daerah eks enklave. Penjaringan
adalah orangnya halus. Bahasanya pun dianggap data sebagaimana dikemukakan Geertz (1973:6)
lebih halus. Untuk memotret identitas Wong Solo bahwa dalam penelitian etnografis harus dibuat
yang berada di eks enklave Surakarta, yaitu di thick descriptions (pelukisan mendalam) yang
daerah Kotagede dan Imogiri Yogyakarta, muncul menggambarkan kejamakan struktur-struktur
beberapa pertanyaan mendasar, bagaimanakah konseptual yang kompleks, termasuk asumsi-
eksistensi Wong Solo di wilayah eks enklave; asumsi yang tidak terucap dan taken-for-granted
bagaimana identitas Wong Solo diartikulasikan (yang dianggap sebagai kewajaran) mengenai
melalui bahasa, dan upaya pemertahanan identitas kehidupan. Melalui wawancara mendalam (indepth
tersebut dipengaruhi oleh faktor apa saja. Tulisan interview) diperoleh wacana-wacana naratif yang
ini akan mengungkap aspek-aspek kebahasaan berupa pengalaman-pengalaman individu pada
dan non-kebahasaan terhadap Wong Solo yang saat hidup di masa enklave (Kotagede SK dan
dianggap selalu berbeda dengan Wong Yogya. Imogiri SK), serta kondisi kekinian. Cerita-cerita
Perspektif etnolinguistik memberi ruang bagaimana ini menjadi indeks bagaimana penutur bahasa

151
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

Jawa di eks enklave Surakarta mengonstruksi dan kalau di sana gendhuk, ndhuk... Kalau anak
merefleksikan identitas sosial dan budayanya. kecil di sana laki-laki lik, kalau sini le. Kalau
Benwell & Stokoe (2006:141) menyambungkan lik... lik..., kelik itu berarti anak cilik gitu.
antara naratif dan identitas yang dieksplorasi dalam Penutur mengidentifikasi leksikon-leksikon
teks-teks yang diderivasi dari materi-materi publik, pada tuturan (1) yang memarkahinya sebagai Wong
seperti biografi atau otobiografi, majalah, program Solo, melalui konstruksi bentuk tegun no untuk
televisi dan radio, mitos dan legenda, serta teks- mempertegas tuturan. Demikian pula bentuk sapaan
teks dan informasi kultural. Bahasa yang digunakan kekerabatan gendhuk untuk anak perempuan dan
oleh anggota-anggota kelompok sosial berhubungan kelik untuk anak laki-laki, yang sering disingkat
erat dengan identitas kelompok tersebut. Bahasa ndhuk dan lik.
berfungsi sebagai alat identifikasi diri masing- Penyebutan istilah Yogya, dengan Yogja atau
masing kelompok. Yoja juga menjadi fitur pembeda. Seperti diakui
oleh Pak Kandar (74 tahun), Wong Solo yang
EKSPRESI VERBAL SEBAGAI PEM ARKAH menjadi abdi dalem Yogyakarta, “Ingkeng mboten
IDENTITAS ical menika nèk ngarani Yoja. Priyantun Sala nèk
Variasi-variasi tutur dapat digunakan sebagai ngarani Yoja menika Yogja. Nanging nèk omong,
pemarkah identitas. Variabel struktur suara seperti “Kula menika saking Yoja”, lha kuwi mesthi Yoja
aksen, tekanan suara, volume, kecepatan, intonasi, asli.” (Yang tidak bisa hilang apabila menyebut
membedakan penutur satu dengan penutur lain, Yogya. Orang Sala apabila menyebut Yogya adalah
di samping perbedaan leksikon dan gramatikal. Yogja. Kalau mereka berbicara, “Saya dari Yoja”,
Perbedaan-perbedaan tersebut mengekspresikan berarti Yogya asli). Penggunaan Yoja juga dapat
perbedaan emosi, kekuasaan, otoritas, gender, dilihat pada tuturan (2).
identitas sosial, atau kunci sebuah interpretasi dan Seperti telah disinggung di atas, varian inggih
mengiringi perbedaan tindak tutur atau genre (van dan injih menjadi fitur pembeda wong Solo dan
Dijk, 2008:160). wong Yogya. Seorang penjual batik, Hj. Sarjuni
Bahasa Jawa Solo dilihat berdasarkan aspek (65 tahun), orang Imogiri YK di makam Pajimatan
bunyi, memiliki varian bunyi [ε] dan [I] untuk (makam raja-raja di Imogiri) menceritakan
vokal /i/, misalnya putih ‘putih’, dilafalkan [putIh] bagaimana pandangannya tentang injih dan inggih,
atau [putεh]; getih ‘darah’, dilafalkan [gətIh] atau (2) ...Menawi Solo utawi bagongan rak inggih,
[gətεh]; varian [ə] dan [a] untuk vokal /a/, misalnya menawi Yoja rak injih. Kula injih. Kaliyan
ingkang ‘yang’ dilafalkan [iŋkəŋ] atau [iŋkaŋ]; Kanjeng Ratu Hemas menika kula rak asring
pun timbali. Njih, sok komunikasi kaliyan Ibu
pangèran ‘gelar bangsawan’, dilafalkan [pəŋεran]
Ratu Hemas.
atau [paŋεran]. Varian-varian bunyi tersebut
ditemukan pada penutur di eks enklave. Adapun ‘...Kalau Solo atau bagongan4 yaitu
inggih, sedangkan Yogya itu injih. Saya
pemarkah yang berbentuk leksikon, diungkapkan (menggunakan) injih. Kanjeng Ratu Hemas
seorang penutur, Pak Kandar (74 tahun) sebagai (permaisuri Sultan HB X) sering memanggil
berikut. saya. Ya, sering berkomunikasi dengan Ibu
Ratu Hemas.’
(1) Sekarang bahasa logatnya, logatnya ya, dulu
saya ya Wong Solo, ibu saya juga Solo ya, ibu Pengakuan atas pembedaan ini tidak hanya
saya juga, logatnya itu kalau di sana itu kalau dilakukan oleh penutur bahasa Jawa di eks enklave.
berbicara sok pakai no. Ya no! Ora no! Ha’a Sebuah blog yang ditulis oleh gadis Jawa Yogya
no! Ha’a ya...rénéa! Dialog bahasa seperti
ngundang, memanggil anak kecil, kalau di yang merasa kehilangan identitas ke-Jawa-annya
sana3 lik, ndhuk, kalau di sini dhénok. Kalau karena tidak bisa menggunakan bahasa Jawa
anak perempuan kecil nok. Nok... nok... nok... dengan baik, khususnya penggunaan inggih dan

152
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

injih. “dudu wong Jawa” atau bukan orang Jawa. Sikap


yang selalu mengiyakan dan tidak pernah menolak
(3) “Aku orang Jogja. Aseli. Bokap aseli dari
Jogja, uda beberapa turunan tinggal di Jogja. tersebut dimaksudkan untuk menjaga harmoni
[…] Orang bapakku aja, sewaktu aku sma, dengan cara menyenangkan atau memuaskan
menegur aku dengan tajam, hanya karena orang lain sekalipun mungkin tidak mudah untuk
aku bilang “nggih, inggih” dengan orang tua. dilaksanakan. Oleh karena itu, kata inggih secara
Harusnya “njih, injih”...5 kultural menunjukkan sikap mengiyakan yang
‘Saya orang Jogja asli. Bapak asli dari Jogja, memuat konsep harmoni. “Hormat” (urmat atau aji)
sudah beberapa turunan tinggal di Jogja. [...] yang direpresentasikan dalam bentuk penggunaan
Bapak saya, sewaktu saya SMA, menegur
bahasa alus dan menjaga “harmonisasi sosial”
saya dengan tajam, hanya karena saya bilang
“nggih, inggih” (ya) dengan orang tua. adalah dua nilai yang mengikat orang Jawa dalam
Harusnya “njih, injih”...’ etika Jawa (Geertz, 1989:146).
Tuturan-tuturan di atas mengukuhkan bentuk Dalam variasi sintaktik, sing dan olèhé juga
inggih dan injih sebagai penanda identitas. Pada menjadi pemarkah yang dominan, sebagaimana
tuturan (2) penutur menegaskan perbedaan Solo dinarasikan oleh Pak Kandar (74 tahun),
dan Yogyakarta dengan ungkapan Menawi (4) Riki menika nggih wonten dhaérah lèr peken,
Solo inggih, menawi Yoja injih ‘Kalau Solo nak ngarani sing, sing nggawa sapa? Malah
inggih, kalau Yogyakarta injih. Diikuti dengan lé nggawa sapa? Mbok menawi nalurèkken
penjelasan Kula injih ‘Saya [menggunakan] menapa dos pundi. Lé nggawa piyé? Sing
nggawa piyé? Rumiyin kula nggih mboten
injih’ yang menunjukkan identitas penutur nggatosaken, sareng kula gadhah simah, o lha
sebagai orang Yogya, apalagi diperkuat dengan wong Karanganyar.
informasi kedekatan hubungannya dengan
‘Di sini ada daerah di utara pasar, kalau
Keraton Yogyakarta (Gusti Kanjeng Ratu Hemas, menyebut sing ‘yang’, sing nggawa
permaisuri Sultan Yogyakarta) sekalipun penutur sapa? Yang membawa siapa? Justru, lé
bukan abdi dalem. Demikian juga pada tuturan nggawa sapa? Barangkali melestarikan
(3), penggunaan nggih, inggih oleh orang Yogya atau bagaimana. Lé nggawa piyé? ‘Cara
dianggap sebagai sebuah kesalahan berbahasa membawanya bagaimana?’, Sing nggawa
piyé? Dulu saya tidak memperhatikan, setelah
dengan penegasan korektif “harusnya njih, injih”.
mempunyai istri, o karena orang Karanganyar.’
Kedua tuturan tersebut menunjukkan terjadinya
polarisasi kelas dalam masyarakat bahwa Sing dalam bahasa Jawa standar berarti
penggunaan inggih atau injih itu dilakukan (diikuti) ‘yang’ (agen/pelaku), sedangkan lé/olèhé berarti
oleh orang kebanyakan. ‘cara’ seperti juga bahasa Jawa Yogya. Namun,
Kedua bentuk inggih dan injih yang berarti ‘ya’ bahasa Jawa Solo menukar makna kedua
menunjukkan sikap akomodatif dan merefleksikan bentuk, seperti pada tuturan (4), sing nggawa
sikap hidup orang Jawa yang selalu menjaga piyé? ‘Cara membawanya bagaimana?’, lé
harmoni dan prinsip rukun. Adat kebiasaan orang nggawa sapa? ‘Yang membawa siapa?’. Pada
Jawa untuk cenderung mengatakan inggih ‘ya’ ini kalimat Mbok menawi nalurèkken ‘mungkin
seperti diungkapkan oleh Houben (1994:219), […] melestarikan’ menandakan bahwa ada upaya
the institution or wishes of Javanese. […] the chiefs untuk mempertahankan identitas Solo melalui
and the ordinary people just say inggih (yes). Orang penggunaan bentuk sing dan olèhé.
Jawa cenderung mengatakan “ya” atau ya (ngoko), Dalam konteks yang berbeda, Pak Atmosudiro
inggih (krama). Berkata ya atau inggih seolah- (80 tahun) menceritakan pengalamannya terkait
olah menjadi wajib bagi orang Jawa. Apabila aktivitas kultural di daerah eks enklave khususnya
mengatakan ora atau mboten ‘tidak’ kepada aktivitas di makam raja-raja di Imogiri dan
seseorang akan dianggap “ora njawani” atau bagaimana sing digunakan, terlihat pada tuturan (5)

153
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

berikut. membutuhkan kebaikan darinya. Adapun gertak


diekspresikan dengan cara memprovokasi lawannya
(5) Nèk nguras bengi okèh pengunjung dha
ngalap berkah. [...] Nèk nguras bengi, sing agar ketakutan, yaitu ditekan menggunakan
ngisèni ésuk. Pasaréan sing ning Solo tengen kekuatan fisik ataupun nonfisik sehingga mengalah
Sultan Agung, kulon dhéwé Sultan X wis (Hudayana, 2011:5).
pantok, wis ora ana lapangan menèh.
Wong Solo mengekspresikan dan menampilkan
‘Kalau menguras malam hari banyak dirinya dengan cara umuk, baik secara verbal
pengunjung mencari berkah. [...] Kalau maupun nonverbal. Umuk dijadikan cara
menguras malam hari, mengisinya pagi
harinya. Makam Solo di sebelah kanan Sultan mengekspresikan diri untuk memperlihatkan
Agung, paling barat adalah Sultan X sudah identitas individu ataupun kelompok. Hal ini sejalan
habis, tidak ada lapangan lagi.’ dengan pernyataan Kim dan Co (2007:326) bahwa
orang mengekspresikan identitas diri mereka
Sing dalam bahasa Jawa Solo memiliki dua
melalui kata-kata, pilihan-pilihan, ataupun tindakan.
makna, yaitu ‘yang’ dan ‘cara’. Makna pertama
Individu menampilkan benda yang dimiliki,
terlihat pada Pasaréan sing ning Solo, sedangkan
perilaku, dan nilai-nilai yang merefleksikan
makna kedua terdapat pada Nèk nguras bengi sing
identitas personal untuk membedakan dirinya
ngisèni ésuk. Leksikon nèk atau nak ‘kalau’ sebagai
dengan yang lain sehingga menampakkan keunikan
penanda hubung yang produktif digunakan dalam
atau keunggulannya. Melalui kata-kata yang
tuturan ngoko juga menjadi pemarkah lingual
digunakan, seperti juga diungkapkan oleh van Dijk
bahasa Jawa Solo.
(2008:172) bahwa penutur menunjukkan identitas
sosial, relasi partisipan, adaptasi dengan pendengar,
UM UK SOLO mood, emosi dan nilai, opini, sikap, pengetahuan,
dan jenis situasi (in)formal ataupun institusional,
Suatu masyarakat memiliki karakter atau
ketika mereka bertutur atau berinteraksi. Bagi
kepribadian yang menjadi identitasnya. Glembuk
masyarakat Solo termasuk masyarakat eks
Yogya atau bujuk Mataram, umuk Solo, dan gertak
enklave di berbagai lapisan sosial, umuk memiliki
Semarang merupakan labelisasi pada masyarakat
kekuatan prestisius, ya iki aku ‘inilah saya’ untuk
Jawa. Glembuk Yogya atau bujuk Mataram untuk
menampakkan identitasnya secara material
orang Yogya atau keturunan Mataram, umuk
ataupun nonmaterial. Sebagai contoh, ekspresi
Solo untuk orang di wilayah Solo atau Surakarta,
yang dinarasikan oleh bupati juru kunci Surakarta,
dan gertak Semarang untuk orang Semarang
K.P.H. Suryo Negoro bahwa sebagai seorang
(Kartodirdjo, 1993:82-83). Glembuk berarti
bupati dirinya adalah pengayom warganya dalam
‘rerimuk supaya gelem, bujuk’ (membujuk supaya
arti penguasa secara kultural bahkan terhadap
mau) (Poerwadarminta, 1939:150). Umuk berarti
bangsawan Yogyakarta.
‘ngajèni awaké (barang darbèkké) ngungkuli
samesthiné’ (menghargai dirinya/barang miliknya (6) Ngaten, kula aturaken sareng kula mlebet
melebihi yang semestinya) (Ibid.:439). Umuk mriki alhamdulillah rasanipun Yoja kaliyan
dapat diartikan suka pamer, omong besar, atau Sala menika mboten wonten bédanipun,
bèntenipun. Sebab Ngarsa Dalem, HB X
menonjolkan diri sendiri. Adapun gertak berarti rawuh wonten ngajengan, monumen batik,
‘getak atau panyentak‘ (bentakan) (Ibid.:145). menika rak siti mriki, kok mboten kersa
Glembuk ditampilkan dengan cara bersikap salaman. Lha sekretarisipun mundhut priksa,
mengalah, rendah hati, sopan, menonjolkan “Kanjeng Pengèran Suryo Negoro, [...],
niat baik, sedangkan umuk ditampilkan dengan menika leresipun Sala menapa Yoja?” “Lhoh,
kok Penjenengan mundhut ngaten menika
memamerkan kelebihan harta, pangkat, derajat, kersanipun menapa? Maknanya apa?” Kula
kebaikan, guna memancing lawan mau mengalah aturaken menapa ingkang leres. Kula menika
karena posisinya lemah, bergantung, dan mboten tèdhèng aling-aling, kula menika

154
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Sala, ning.... [...]. Kula wonten ngriki menika yang memiliki kedudukan, bahkan peran yang
mboten lepat, mboten lepat. Kula menika penting, yaitu kula menika terus terang kémawon
ngimpi men mboten, kok pun dhawuhi wonten nggadhahi Yogja. Keunggulannya diekspresikan
mriki kaliyan Sinuwun PB XII. Kula menika
terus terang kémawon nggadhahi Yogja. dengan sampun, sampun aja nyembah. Sikap
Sinten? Inggih Gusti Bendara Pengèran Harya nyembah ‘menyembah’ hanya dilakukan oleh
Tepasana. Lha Eyang. Lajeng nyembah. kawula terhadap gusti yang memiliki kedudukan
“Sampun, sampun, aja nyembah.” Waged tinggi, sebaliknya bentuk bahasa ngoko, aja
kempal saé malih sareng kula wonten mriki, ‘jangan’ biasanya digunakan oleh raja kepada
kulina sanget kaliyan bangsawan Jogja. kawulanya. Pengakuan secara tegas dan eksplisit
‘Begini, saya sampaikan, begitu saya masuk terhadap identitas Solo dan penyatuan kembali
di sini, alhamdulillah, rasanya Yogya dan Solo atas peran yang dilakukan oleh bupati juru kunci,
itu tidak ada bedanya. Sebab Ngarsa Dalem6,
HB X datang di depan, monumen batik, itu waged kempal saé malih sareng kula wonten mriki,
kan tanah sini, kok tidak mau salaman. Lalu merupakan salah satu bentuk umuk yang menjadi
sekretarisnya bertanya, “Kanjeng Pangeran fitur penanda identitas Wong Solo.
Suryo Negoro, [...], itu sebenarnya Solo Sikap umuk tokoh atau pemimpin juga
atau Yogya?” “Anda bertanya seperti itu
mempengaruhi kawulanya, seperti yang dituturkan
maksudnya apa? Maknanya apa?” Saya
sampaikan yang sebenarnya. Saya tidak oleh Pak Kandar (74 tahun), yang memberi
menutup-nutupi, saya ini Solo, tetapi....[...]. penilaian terhadap abdi dalem Solo yang umuk.
Saya di sini tidak salah, tidak salah. Saya
bermimpi saja tidak, diminta di sini oleh (7) […] Piyayi7 Sala, abdi dalem Sala kok nggih
umuk-umuk. Tapi kalau umuknya tidak hanya
Sinuwun PB XII. Saya ini terus terang saja
sekedar ming bebasan, tapi bener-bener masih
memiliki Yogya. Siapa? Yaitu G.B.P.H.
dilakukan. Mbokmenawi nggih pengaruh
Tepasana. Lha Eyang. Lalu menyembah.
saking kanjengipun, bupati juru kunci.
“Jangan, jangan menyembah.” Bisa bersatu
Menika rak ngetingal-ngetingaken salanipun,
kembali setelah saya di sini, sangat sering
ngetingalaken nggènipun tesih wayah dalem
bergaul dengan bangsawan Yogya.’
kaping X.
Kalimat-kalimat pada narasi di atas sarat ‘[…] Priayi (orang) Solo, abdi dalem Solo kok
dengan ekspresi umuk. Ungkapan sareng kula ya umuk-umuk (suka pamer). Umuknya bukan
mlebet mriki memerlihatkan bahwa situasi sekedar dalam perumpamaan, tetapi benar-
(perseteruan/gap antara Yogyakarta dan Surakarta) benar masih dilakukan. Mungkin pengaruh dari
menjadi baik, “sejak saya masuk sini”. Diikuti kanjengnya, (atasannya), bupati juru kunci. Ini
menunjukkan Solonya, menunjukkan bahwa
kalimat berikutnya, sebab Ngarsa Dalem, [...] masih cucu Sunan ke X.’
HB X rawuh wonten ngajengan, [...] menika rak
siti mriki, kok mboten kersa salaman menyatakan Pada tuturan (7) digambarkan sikap umuk
bahwa Sultan Yogyakarta enggan untuk bersalaman orang Solo yang bukan hanya diekspresikan
dengan bupati juru kunci makam sewaktu datang secara verbal tetapi juga nonverbal, umuknya
ke museum batik yang berada wilayah eks enklave tidak hanya sekedar ming bebasan, tapi bener-
yang secara kultural di bawah kekuasaannya. bener masih dilakukan. Sikap ini juga dipengaruhi
Ditambah dengan pertanyaan sekretaris yang oleh pimpinannya yang senantiasa menunjukkan
mempertanyaan identitasnya seolah-olah orang identitas keSoloannya, ngetingal-ngetingaken
tidak mengenal dirinya. Hal ini menyebabkannya salanipun, ngetingalaken nggènipun tesih wayah
untuk menunjukkan identitasnya secara tegas dalem kaping X. Ekspresi tersebut memperkuat
dengan kula menika mboten tèdhèng aling- deskripsi pada narasi (6), kula menika Sala. […]
aling, kula menika Sala. Dengan repetisi kula nggadhahi Yogja. […] Inggih Gusti Bendara
wonten ngriki menika mboten lepat, mboten Pengèran Harya Tepasana.
lepat menunjukkan identitasnya sebagai orang Gambaran sikap umuk secara nonverbal

155
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

terlihat pada narasi (8), yakni cara berpenampilan karena bersifat dinamis, ditempatkan secara kultural
di depan umum, berpakaian bagus sekalipun tidak dan historis, serta dikonstruksikan dalam interaksi
makan, nèng ngomah ra isa ngliwet, diundangi dengan orang lain dan struktur institusional, dibuat
golèk pakaian nyéwa sing apik. Kebanggaan kembali secara berkelanjutan dan situasional
diri diekspresikan melalui benda-benda prestise, (Benwell & Elizabeth Stokoe, 2008:138). Bahasa
pakaian atau mobil. Benda-benda prestise oleh yang bersifat dinamis menjadi ciri pokok identitas
Khalil (2000:39) dikatakan dapat menjadikan manusia, sebagaimana dikemukakan Spolsky
seseorang suka pamer karena benda-benda tersebut (1999:181), ”language is a central feature of
memberi nilai kesombongan dan kebangganan diri human identity. When we hear someone speak, we
atas orang lain yang tidak memiliki kemampuan itu. immediately make guesses about gender, education
(8) Nèk Wong Solo kuwi istilahé sok umuk. level, age, profession, and place of origin. Beyond
Riyin lho kathah gebyar, membanggakan this individual matter, a language is a powerful
diri. Nuwun sèwu lho nèng ngomah ra isa symbol of national and ethnic identity”. Pilihan-
ngliwet, diundangi golèk pakaian nyéwa sing pilihan kode bahasa atau ragam-ragam bahasa
apik. Dadiné ora nduwé mobil isa nyéwa. Di dapat menandai identitas sosial. Namun, baik
antaranya, nèk Jogja sak ontenipun. Orang
identitas maupun penggunaan bahasa bukan hal
Solo kan umuk, kan senang diwah, nèk Jogja
menunduk, merendahkan diri. Misal gadhah yang tetap. Keduanya bersifat dinamis tergantung
mobil, tapi merendahkan diri. Nuwun sèwu pada waktu dan tempat (Gibson, 2004:3). Bahasa
mboten tékna kula tiyang Jogja lho. dan komponen-komponennya berfungsi sebagai
‘Kalau orang Solo itu istilahnya suka pamer. pemarkah identitas dan pemarkah tutur yang
Dahulu suka glamor, membanggakan diri. digunakan untuk mengidentifikasi diri masing-
Maaf, di rumah tidak bisa menanak nasi, kalau masing kelompok, tidak hanya antara Wong Solo
diundang, mencari pakaian dan menyewa yang dan Wong Yogja, melainkan juga wong ningrat
bagus. Jadi, tidak punya mobil bisa menyewa. dengan orang kebanyakan. Dialog atau tuturan
Di antaranya, kalau Jogja apa adanya. Orang
Solo itu umuk, senang dipuji, kalau Jogja yang diucapkan oleh individu-individu dapat
menunduk, merendahkan diri. Misalnya, punya memunculkan interpretasi tentang identitas mereka
mobil tetapi merendahkan diri. Maaf, bukan yang dipengaruhi oleh suara, aksen, dan ciri
karena saya orang Jogja.’ lain bagaimana mereka bertutur. Demikian juga
Umuk secara konotatif dapat dimaknai Stockwell (2007:34) yang memberikan batasan
positif dan negatif. Pada narasi (6), umuk yang bahwa identitas dikonstruksi melalui fitur-fitur
dilakukan seorang pemimpin atas prestasi atau linguistik dan individual tampak melalui bahasa
keberhasilan yang diraih merupakan sikap umuk secara sosial.
yang bermakna positif. Namun, sikap umuk
pada tuturan (8) seperti dinarasikan oleh Pak
FAKTOR-FAKTOR PENGIKAT IDENTITAS
Suyatno (65 tahun) lebih dimaknai negatif, yaitu
kebanggaan diri yang cenderung mengarah pada Eksistensi Wong Solo di wilayah eks enklave
sikap pompous ‘menyombongkan diri’. Deskripsi Surakarta dipengaruhi oleh beberapa faktor atau
tersebut mendukung pendapat Khalil (2000:59) konteks sosiohistoris yang melekat pada kelompok
bahwa orang yang sombong dan tidak berusaha sosial tersebut. Faktor-faktor tersebut meliputi
meletakkan kedudukannya, dia mengejar rasa eksistensi makam raja-raja mataram, romantisme
hormat yang terdistorsi dalam bentuk simbol- kelompok elite, kesadaran kelas, dan kesadaran
simbol hormat, seperti cara berjalan, gerakan, dan pelestarian tradisi.
harta yang dimiliki. Wilayah eks enklave dengan dikeluarkannya
Melalui narasi-narasi tertentu, identitas Perda DIY No. 1 Tahun 1958, masuk ke dalam
ditampakkan, diartikulasikan dan diperjuangkan wilayah Yogyakarta. Namun, di kedua wilayah

156
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

tersebut terdapat daerah yang tetap dikelola oleh mempersilakan tamu untuk duduk di depan
Keraton Surakarta dan Yogyakarta, yaitu makam pintu seraya menyembah sebelum membuka
raja-raja Mataram di Kotagede dan Imogiri. pintu dorong.
Keberadaan makam raja-raja Mataram di Kotagede Tata aturan yang berlaku di lingkungan
dan Imogiri merupakan faktor utama yang menjaga kanjengan Surakarta memberi gambaran sebuah
keberlangsungan tradisi dan budaya Surakarta bentuk pemertahanan nilai kultural dalam
dan Yogyakarta. Di kompleks makam raja-raja konteks perilaku yang masih kental. Sekalipun
baik Hastarengga (Kotagede) maupun Pajimatan kelenturan dan dinamika terjadi karena pada saat
(Imogiri) hidup para abdi dalem keraton Surakarta menghadap bupati, tamu tidak bersimpuh di lantai
dan Yogyakarta. Kelompok abdi dalem adalah tetapi duduk di atas kursi sejajar dengan bupati.
pendukung kebudayaan kedua keraton tersebut. Dinamika tersebut juga tercermin pada pernyataan
Para abdi dalem juru kunci yang merupakan yang disampaikan oleh sang bupati, “sejarah
pegawai keraton yang masing-masing di bawah harus kita ketahui, harus kita mengerti, harus kita
pimpinan seorang bupati8 keraton, yaitu bupati sadari” pada saat mengawali cerita. Perbedaan
juru kunci makam Surakarta dan bupati juru kunci yang dipertahankan menurutnya juga merupakan
makam Yogyakarta. Tempat kediaman bupati juru bagian dari sejarah, sebagaimana diungkapkan,
kunci berada di Imogiri yang dikenal dengan nama “Sik marakké ora isa dadi siji, Sala pancèn ya
ndalem kanjengan wétan dan ndalem kanjengan Sala, durung ana Yoja wis ana Sala, Yoja iki
kilèn9. Sehari-hari bupati juru kunci makam kangmase karo PB II,” (Yang menyebabkan tidak
Surakarta berdiam di ndalem kanjengan kilèn, bisa menyatu, Sala memang ya Sala, sebelum ada
sebaliknya bupati juru kunci makam Yogyakarta Yogya sudah ada Sala, Yogya adalah kakak PB II).
tidak mendiami ndalem kanjengan wétan
Perilaku keseharian para abdi dalem Surakarta
tetapi rumah bangsawan di lingkungan keraton
pada saat bertugas di makam mengikuti tata cara
Yogyakarta (Sulistyowati dkk., 2009:20).
keraton, misalnya dalam hal pakaian. Busana
Situasi tersebut berdampak pada aktivitas menjadi simbol identitas yang senantiasa melekat
kultural yang dilakukan para abdi dalem. Di ndalem pada para abdi dalem Surakarta (Wong Solo)
kanjengan para abdi dalem juru kunci melakukan sekalipun para abdi dalem tersebut bukan berasal
tugas caos (menghadap/berjaga) secara bergantian dari kelompok sosial yang tinggal di daerah eks
layaknya di keraton. Berikut ilustrasi pada saat enklave. Bahkan terjadi juga pergantian identitas
penulis mendatangi ndalem kanjengan untuk abdi dalem, dari abdi dalem Yogyakarta bertukar
bertemu bupati juru kunci makam Surakarta. menjadi abdi dalem Surakarta ataupun sebaliknya.
Memasuki ndalem kanjengan, seorang abdi Salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang
dalem dengan sikap ngapurancang memberi tertarik untuk menjadi abdi dalem Surakarta adalah
hormat kepada tamu yang datang sembari “keglamoran” sebagai simbol Surakarta yang
membukakan pagar. Kemudian dengan
posisi kedua tangan mengepal dan ibu jari tercermin dari bebungah atau gaji yang diperoleh
menunjuk, mempersilakan tamu duduk di dari keraton.
pendapa. Setelah tamu duduk di kursi, abdi Burke dan Jan E. Stets (2009:3)
dalem bersimpuh di lantai di hadapan tamu, mengemukakan bahwa identitas adalah seperangkat
seraya berujar, “Punten dalem sèwu, ingkang
pun kersakaken nandalem menapa?” (Mohon makna yang mengidentifikasi siapa dan kapan
maaf, apa maksud kedatangan Anda?) Setelah seseorang yang mengisi peran tertentu dalam
mendapat jawaban, abdi dalem lalu menghadap masyarakat atau anggota kelompok tertentu.
bupati untuk melaporkan kehadiran tamu yang Orang dapat memiliki identitas ganda karena
akan marak (menghadap). Setelah mendapat peran dan kedudukan yang dimainkan. Identitas
izin dari bupati, abdi dalem mengantarkan
menggolongkan individu-individu menurut
tamu untuk menghadap bupati. Abdi dalem
posisinya dalam masyarakat dan eksistensinya

157
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

dalam konteks struktur sosial. Seseorang yang mboten wonten. Rumiyin wilayahipun
memiliki status dan kedudukan tertentu dalam dhateng Surakarta, namung yen ngagem
kelompok sosial akan memilih bahasa yang busana nyampingan, guru menika nggih tetep
Surakarta, ngagem beskap panjang ngaten,
digunakan untuk menunjukkan status yang beskap pethak lajeng udhengipun Ngayoja.
dimilikinya. Bahasa secara jelas mengekspresikan Menika suwargi Pak Mantri Seda Asmara
pesan sosial, karenanya variasi penggunaan bahasa sebatanipun Dèn Bèi Mantri. Lenggahipun
dirasa sebagai indikasi variasi sosial yang lebih luas. nggih celak kecamatan. Menika pengaruh Sala
Di antara elit tradisional Jawa, priyayi, yang tinggal saèstu.
di pusat istana penggunaan tingkat tutur menjadi ‘[...] oleh karena itu bahasa itu ngoko, ngoko
hal yang utama. Kemampuan untuk menggunakan alus, krama, krama madya, krama inggil. Ini
bahasa alus atau tingkatan bahasa Jawa paling pelajaran dari sekolah. Sekolahnya ya sekolah
di wilayah Surakarta. Materi pelajarannya gaya
sopan sebagai pemarkah status priyayi. Seperti
Surakarta. Distrik masuk wilayah Surakarta.
halnya diungkapkan Errington (1981:54) mengenai Kecamatan Krasak sebelah barat adalah
seorang priyayi, it is precisely among the traditional Surakarta yang termasuk wilayah kawedanan.
elite, in fact, that presuppositions of use of the Sekarang yang Yogya tidak ada. Dahulu
speech levels, are not readily isolable because wilayah Surakarta, tetapi kalau memakai
busana kain, beskap putih, ikat kepalanya
relations between holders of clearly-marked,
Yogya. Itu almarhum Pak Mantri Seda
socially defined status are so explicit. Asmara, sebutannya Den Bei Mantri. Tinggal
Masyarakat tutur bahasa Jawa di eks enklave di dekat kecamatan. Ini betul-betul pengaruh
Solo.’
dikelompokkan atas golongan priyayi dan
nonpriyayi. Golongan priyayi adalah golongan Errington (1988:46) mengemukakan bahwa di
elite yang meliputi pegawai pemerintah, abdi bawah pemerintahan Paku Buwana X (1893-1939)
dalem, dan golongan saudagar (orang kaya), Surakarta mencapai kecemerlangan. Pada saat itu
sedangkan golongan nonpriyayi adalah golongan perbedaan status dan korelasi interaksional sangat
pekerja dan buruh seperti dikemukakan oleh tajam dalam masyarakat priyayi. Gaya tuturan dan
van Mook (1972:20-21). Kelompok elite selalu etika berbahasa sangat berpengaruh dalam pola
menjaga statusnya melalui bahasa yang digunakan. interaksi antara bangsawan dan kelompok elite.
Diakuinya oleh tiga orang abdi dalem bahwa Romantisme kelompok elite tradisional Surakarta
bahasa yang halus merepresentasikan tingkat sosial pada masa pemerintahan PB X memperkukuh
penuturnya. “Solo itu yang lebih sepuh dibanding identitasnya sebagai wong Solo.
Yogya sehingga dari segi bahasa maka bahasa Jawa (10) Nèk sing takkenal ki ping X kuwi, nggawa
Solo yang lebih halus. Namun demikian, karena karangan bunga wé puluhan. Nèk udu Senèn
mereka terbiasa bergaul bersama-sama maka dari utawa Jemuwah nèk arep nyekar ning saréan
segi bahasa mereka mengatakan bahwa tidak ada ki kudu ijin bupati. Kono ki sing kuwasa bupati
jurukunci. Kuwi duwé andhahan tingkat
perbedaan, sama saja, hanya mungkin berbeda
wedana nganti tekan jajar. Bupati juru kunci,
sedikit dari segi dialeknya.” Dipertegas oleh Pak wedana, mantri, jajar kuwi Surakarta. Nèk
Kandar (74 tahun) dalam hal penguasaan bahasa Yogja aku ra apal. Nèk Solo ki bupatine saka
halus, Solo, putra dalem, Pangeran Harya Suryo
Negoro putra ping X, ning wis seda. Sing saiki
(9) [...] pramila basa menika ngoko, ngoko alus, putrané Suryo Negoro, jenengé ya nunggak
krama, krama madya, krama inggil. Menika semi Pangeran Suryo Negoro. Nèk bukak
wucalan saking sekolahan. Sekolahanipun pendhak Senèn Jemuwah. Nèk dha sowan
nggih sekolahan wilayah Surakarta. Wucalan ngabektèn yèn mènèhi kas sing nampa ya juru
menika cara Surakarta. Nggestrikan mlebet kunci sing dha caos, mbuh sakedharé. Nèk sing
tlatah Surakarta. Kecamatan Krasak ingkeng dha tirakat isa kabul kuwi dha nganakké apa
kilèn menika Surakarta ingkeng ketelah kuwi jenengé apa? Caos dhahar.
kawedanan. Samenika ingkeng Ngayoja

158
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

‘Yang saya kenal itu PB X, membawa dalem Sala kok nggih umuk-umuk.
karangan bunga saja puluhan. Kalau bukan
‘Keadaan saat ini, berhubung di sini ini
Senin atau Jumat apabila akan berziarah harus
Yogyakarta dan Solonya tetap hidup. Ini
izin bupati. Di situ yang berkuasa bupati juru
terlihat dari adanya makam keraton Yogya dan
kunci. Itu punya bawahan tingkat wedana
Solo, yang tidak bisa menyatukan rasa. Sebab
sampai jajar. Bupati juru kunci, mantri,
demikian, yang mudah saja, priyayi (orang)
wedana, jajar itu Surakarta. Kalau Yogya saya
Solo, abdi dalem Solo kok ya umuk-umuk
tidak hafal. Kalau bupati Solo dari Solo putra
(suka pamer).’
dalem, Pangeran Harya Suryo putra PB X,
tetapi sudah meninggal. Yang sekarang putra Adanya makam keraton Yogya dan Surakarta
Suryo Negoro, namanya juga sama, Pangeran menyebabkan budaya Surakarta dan Yogya dapat
Suryo Negoro. Kalau buka tiap Senin Jumat.
tetap hidup berdampingan, kawontenan samenika
Pada waktu berziarah kalau memberi kas
yang menerima para juru kunci yang sedang rèhné ngriki menika Ngayoja kaliyan Salanipun
bertugas piket, sekedarnya. Kalau yang tetep gesang. Menika ketingal saking wontenipun
berihtiar bisa terkabul menyelenggarakan apa pesaréan kraton Yogja dan Sala […]. Pada tuturan
itu namanya? Caos dhahar.’ (11), penutur Solo (abdi dalem Solo) yang beralih
Narasi berbahasa Jawa ngoko di atas menjadi abdi dalem Yogyakarta, merasakan adanya
diungkapkan oleh Pak Atmosudiro (80 tahun), perbedaan karakter yang sangat menonjol antara
mantan lurah yang berkuasa selama 32 tahun Wong Solo dan Wong Yogja, yaitu sikap umuk
di salah satu wilayah eks enklave Surakarta di yang dianggap tidak bisa menyatukan rasa di antara
Imogiri. Sebagai bukti pengabdian dan ketaatannya keduanya.
terhadap raja dan pemimpinnya, diungkapkan nèk “Each member of community must be placed
sing takkenal ki ping X kuwi, bahwa yang dikenal (within the status hierarchy) and must make his
adalah PB X. Diakui bahwa masa pemerintahan PB behavior conform to his position” (Wolff and
X adalah masa keemasan bagi keraton Surakarta11. Poedjosoedarmo, 1982:18). Hofstede (2008:17)
Dalam narasi tersebut dijumpai istilah-istilah mengemukakan bahwa kelas sosial dihubungkan
tertentu, seperti sowan ngabektèn, caos, caos dengan kesempatan pendidikan dan pekerjaan
dhahar sebagai bentuk-bentuk halus yang biasanya atau profesi seseorang. Pendidikan dan pekerjaan
digunakan di lingkungan keraton. Penggunaan adalah sumber kekuatan dalam pembelajaran
bentuk ngoko dalam penceritaan tersebut kultural. Kriteria untuk menempatkan seseorang
dipengaruhi oleh partisipan tutur yang lebih junior ke dalam suatu kelas lebih bersifat kultural: simbol
status dan usianya. Ketidaktahuan penutur terhadap memainkan peran yang penting, seperti aksen
struktur pemerintahan keraton Yogyakarta, nèk dalam sebuah bahasa, penggunaan kata, serta cara
Yogja aku ra apal menunjukkan bahwa identitas penyampaiannya. Dalam berbahasa tidak bisa
keSoloannya sangat kuat. dilepaskan dari hubungan sosial antara pembicara
dan pendengar dalam hubungan kedudukan
Pemertahanan identitas Solo dan Yogya
dan keakraban. Kedudukan (status) ditentukan
di kalangan abdi dalem dirasakan cukup kental
oleh banyak hal, seperti kekayaan, keturunan,
hingga saat ini. Seperti dituturkan oleh Pak Kandar
pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan
(74 tahun), Wong Solo yang menjadi abdi dalem
kebangsaan, demikian halnya dengan gaya bicara
Yogyakarta.
dipengaruhi oleh tingkat keakraban partisipan.
(11) Kawontenan samenika rèhné ngriki menika Geertz (1994:333) juga menegaskan bahwa
Ngayoja kaliyan Salanipun tetep gesang. kalangan priyayi adalah golongan yang “tahu
Menika ketingal saking wontenipun pesaréan aturan”, memaksudkannya dengan formalitas
kraton Yogja dan Sala yang kita itu tidak
membawakan diri, pengendalian ekspresi, dan
bisa menyatukan rasa menika. Sebab ngaten
menika, ingkeng gampil, piyayi Sala, abdi disiplin diri secara jasmani, yakni kesadaran yang
konstan tentang diri sendiri sebagai obyek persepsi

159
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

orang lain dan karenanya wajib menampilkan mengakui bahwa daerah Kotagede dan Imogiri
gambaran yang menyenangkan dan alus. Anderson memiliki kedekatan dengan keraton Yogyakarta dan
(2006:50-51) menjabarkan kehalusan priyayi, Surakarta. Kelompok abdi dalem ataupun nonabdi
mencakup tiga hal, yakni kehalusan jiwa yang dalem memiliki kesadaran adanya tradisi yang perlu
berarti control diri, kehalusan penampilan berarti dijaga kelestariannya. Peninggalan-peninggalan
kecantikan dan keanggunan, kehalusan sikap keraton, baik materi maupun nonmateri seperti
berarti kesopanan dan sensitivitas. Kualitas makam, pakaian, bangunan, ataupun kesenian dan
priyayi ditentukan oleh tingkat kehalusannya. bahasa dipertahankan. Upaya ini terjadi di kedua
Dalam pikiran orang Jawa tradisional, kehalusan wilayah, Kotagede dan Imogiri. Di Kotagede,
adalah manifestasi kekuasaan. Sikap tersebut berdasarkan wawancara dengan informan, Lurah
diaktualisasikan dalam bahasa yang sopan dan tidak Jagalan, dituturkan,
langsung. (12) Ciri khas masyarakat enklave adalah rasa
Wilayah Imogiri secara geografis dibatasi gotong royong dan kepemilikan terhadap
wilayahnya itu lebih besar. Rasa materialistik
sungai Opak yang membagi wilayah menjadi dua, ini berbeda. Kalau kita di sini rasané sanajan
yang dikenal dengan istilah wetan kali (wilayah sangat nampak sekali sehingga kegiatan-
di sebelah timur sungai Opak) dan kulon kali kegiatan sosial masyarakat kawasan
(wilayah di sebelah barat sungai Opak). Pembatasan selalu di tempat kami. Begitu juga sistem
wilayah geografis ini memberi batas kultural kelas pemerintahannya juga sangat berbeda. Mereka
dengan lurah dan pamongnya PNS. Kami kan
sosial. Kelompok sosial yang berada di wetan kali
tidak. Kami kan mekanisme pamong desa kan
memposisikan dan diposisikan memiliki kelas pilihan, coblosan sehingga orang-orang yang
yang lebih tinggi daripada kulon kali. Wilayah di dipilih bukan pilihan masyarakat dan nggak
sebelah timur sungai Opak adalah wilayah yang orang guyup penggerak masyarakat tidak bisa.
dekat dengan makam Pajimatan atau makam Mereka akan tersisih sendiri. Kesenian asli
raja. Ekspresi wetan kali dan kulon kali memberi enklave ya selawatan, wayang kulit gagrag
Ngayoja karena pada saat ditinggal kita masuk
identifikasi sosial yang berbeda. Wetan kali enklave de jurenya, de faktonya seperti itu.
mengacu kepada kelompok sosial yang berstatus Setiap saat kita di Ngayoja. Jadi pengaruh
tinggi karena mayoritas didominasi oleh para abdi Ngayoja sangat kuat. Tradisinya nguri-urinya
dalem yang merefleksikan kelompok bangsawan sangat kuat. Kita harus memancing mereka.
atau priyayi yang selalu berinteraksi dengan raja Kami berada di tengah-tengah di situs itu. Di
enklave yang masuk kotamadya ibarat rumah,
atau keluarga raja. Penempatan kelas ini bersifat
mereka emperan, kami yang di dalam, kami
kolektif, dibuktikan sekalipun seorang individu setiap saat menitik perjalanan itu dari kosep
bukan berstatus sosial tinggi namun menganggap toponim, nama-nama tempat keberadaan, kami
bahwa kelasnya lebih tinggi daripada kelompok berada di dalam keraton. Sebelum ada Solo dan
kulon kali. Ekspresi verbal ”O, lha karang wong Yogya, Kotagede sudah ada tahun 1574. Yang
kulon kali” (O, memang orang barat sungai) di sini masuk Surakarta, saudagar, pedagang,
bakul-bakul, kerajinan emas perak lebih
dituturkan oleh kelompok wetan kali terhadap banyak ke sini. Kirab budaya yang diberi nama
kelompok kulon kali apabila terdapat sikap atau Kirab Budaya Ambengan Ageng Gunungan
perilaku yang kurang subasita (kurang beretika atau Nguras Jagang Mesjid Sendhang Selirang
kurang bertata krama). Tata krama yang dimaksud menampilkan dua kadipaten, Surakarta dan
adalah dalam hal bertutur, bersikap, dan juga dalam Yogyakarta.
aspek-aspek lain yang dinilai lebih rendah, misalnya Pada narasi (12) dikemukakan bahwa di
dalam hal selera makanan, pakaian, termasuk diksi Kotagede dilakukan upaya pelestarian budaya
dan tuturan yang dianggap kasar. keraton baik Surakarta maupun Yogyakarta.
Masyarakat di daerah eks enklave Surakarta Masyarakat di eks enklave memiliki semangat
khususnya, Kotagede dan Imogiri pada umumnya kegotongroyongan (guyup) yang tinggi.

160
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Kegiatan pelestarian tradisi juga dilakukan di enklave Surakarta masih eksis hingga saat ini.
Imogiri melalui kegiatan Kirab budaya tahunan Sebagian besar dari mereka adalah generasi tua
yang menampilkan kesenian-kesenian asli Imogiri, dan lebih didominasi oleh kelompok abdi dalem
sebagaimana diungkapkan oleh K.P.H. Suryo yang notabene merepresentasikan masyarakat
Negoro, bupati juru kunci Surakarta. keraton Surakarta. Indikator yang paling mudah
(13) Dengan adanya kirab budaya kelihatan kalau membedakan Wong Solo dengan Wong Yogya
pemerintah sini yang diwakili dikuasai oleh adalah pakaian atau ageman karena dapat dikenali
Pak Camat sudah menunjukkan satu. Dados dan terlihat. Namun, bahasa sebagai sesuatu yang
tiap malem Sabtu, menawi badhé priksa lembut, tidak terlihat tetapi dapat dirasakan oleh
benjing malem Sabtu Sura (Jadi, setiap malam
pemiliknya. Bahasa yang digunakan oleh Wong
Sabtu, kalau ingin tahu besok malam Sabtu
Sura) itu pawai budaya segala kesenian di Solo sering tidak disadari oleh penuturnya. Melalui
Kecamatan Imogiri dipentaskan masuk sini narasi-narasi yang diujarkan oleh para penutur
pintu wetan kulon semua tamu masuk sini dan atas interpretasi terhadap narasi tersebut
termasuk Bu Bupati. Akhir-akhir ini semua dapat dikenali ciri-ciri kebahasaan yang menandai
hamba pemerintah naik kuda tapi berhenti identitas Wong Solo yang halus namun suka umuk
medhun turun di pintu wetan e pintu kulon
naik di pintu wetan tidak berani masuk naik ‘omong besar atau suka pamer’.
kuda. Saya mementaskan gejog lesung dan Tingkat kehalusan bahasa Wong Solo dapat
ditarikan mudi-mudi sini, terus tarian kreasi dilihat melalui tingkat tutur atau undha usuk bahasa
baru dari anak SMP 1 SMP 2. Ini lepas dari yang digunakan baik krama andhap maupun
Sala, asli sini (dituturkan dengan intonasi
sedikit meninggi, sewaktu ditanyakan apakah krama inggil, seperti bentuk takaturi, mundhut
kesenian tersebut asli Solo) dikerjakan oleh priksa, sowan ngabekten. Variasi kebahasaan
orang penduduk sini mboten Sala. Kothekan lain terlihat pula pada variasi bunyi, leksikal, dan
kok Mbak, Sala mboten wonten kothèkan. Kéné sintaktik. Varian bunyi [ə] seperti pada kata ingkeng
gamelan ora duwé. Nèk Yoja itu ambilnya (ingkang) ‘yang’, pengèran (pangeran), bentuk
siwur pusaka itu untuk nguras kong-kong
ringkas gusti pangeran ‘gelar kebangsawanan’.
yang berada di sapit urang setiap 1 Sura mesthi
dikuras dicuci, Jogja Sala sama. Variasi leksikal, misalnya gendhuk ‘sapaan anak
perempuan’, injih ‘ya’, jiglok ‘tiba’, nèk ‘kalau’.
Kegiatan kirab budaya sebagai upaya Pada tataran sintaktik terdapat penggunaan sing
pemertahanan identitas Surakarta dan Yogyakarta yang memiliki kesepadanan makna dengan olèhé
di eks enklave, Kotagede dan Imogiri lebih yang berarti ‘cara melakukan’.
menonjolkan budaya materi dalam bentuk kesenian.
Umuk sebagai label Wong Solo di eks enklave
Di Kotagede lebih didominasi oleh kesenian
Surakarta ditampilkan secara verbal dan nonverbal.
Yogyakarta, sedangkan di Imogiri menampilkan
Melalui ujaran-ujaran dan perilaku Wong Solo
kesenian asli Imogiri dalam bentuk kreasi baru
mengekspresikan keunggulan, kehalusan, dan
perpaduan budaya Surakarta dan Yogyakarta.
keglamorannya. Sikap pamer atau umuk ini dapat
Pembedaan dua identitas lebih terlihat pada
dimaknai positif dan negatif bagi masyarakat di luar
busana tradisional yang digunakan. Narasi di atas
kelompoknya. Umuk sebagai sebuah apresiasi atas
menunjukkan kekuasaan keraton Surakarta dengan
prestasi bermakna positif, sedangkan umuk sebagai
ekspresi bahwa para tamu berkuda tidak berani
sebuah kesombongan diri yang mengarah pada
masuk naik kuda. Demikan juga halnya dengan alat
arogansi berkonotasi negatif.
musik kothekan, yang bukan alat musik asli Solo
karena musik Solo adalah gamelan. Faktor-faktor yang mempengaruhi eksistensi
Wong Solo di eks enklave antaranya lain,
SIM PULAN
keberadaan kompleks makam raja-raja Mataram
Wong Solo atau priyayi/piyayi Solo di eks di Kotagede dan Imogiri; romantisme kelas elite;

161
Humaniora, Vol. 26, No. 2 Juni 2014: 149-163

kesadaran kelas; dan upaya pelestarian tradisi. Abdi 8 Kepangkatan dalam struktur pemerintahan
dalem juru kunci makam dan tokoh masyarakat keraton.
menjadi agen pelestarian budaya dan pemertahanan 9 Ndalem kanjengan berarti rumah tempat
identitas Wong Solo. Hal ini didorong oleh kuatnya tinggal kanjeng. Kanjeng adalah sapaan gelar
pengabdian rakyat terhadap rajanya. untuk bupati juru kunci makam yang memiliki
gelar lengkap Kan(g)jeng Pangèran Harya
Catatan: (K.P.H.). Wétan ‘timur’ dan kulon ‘barat’
mensubstitusi Surakarta dan Yogyakarta.
1 Wong Solo dimaknai sebagai individu atau
10 Bupati yang dimaksud adalah bupati juru
kelompok sosial yang tinggal di daerah
kunci makam, pimpinan yang mengepalai
eks enklave Surakarta sebagai pendukung
abdi dalem juru kunci berpangkat bupati.
kebudayaan Surakarta.
11 Simbol kecemerlangan pada masa PB X dapat
2 Wilayah eks enklave Surakarta lebih dikenal
dilihat pada kompleks makam raja Surakarta
dengan nama Imogiri SK atau Kotagede SK.
khususnya makam PB X yang terlihat glamor.
SK adalah singkatan dari kata Surakarta,
berkebalikan dengan YK yang merupakan
singkatan dari kata Yogyakarta. DAFTAR RUJUKAN
3 Di sana merujuk pada daerah Surakarta, Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan
sedangkan di sini merujuk pada daerah Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Yogyakarta. Pelajar.
4 Bahasa Jawa yang digunakan di keraton
Ahimsa-Putra, H.S. (1985). “Etnosains dan
khususnya Keraton Yogyakarta, sedangkan di
Etnometodologi: Sebuah Perbandingan”.
Keraton Surakarta dikenal dengan nama basa
Masyarakat Indonesia. Tahun XII, No.2, 103-
kedhaton.
133.
5 Blog ditulis oleh anak muda Jogja dengan
____. (2004). Budaya Yogyakarta, Budaya Jawa,
bahasa gaul. Oleh karena itu, penulisannya
Budaya Nasional, dan Budaya Global: Adakah
pun tidak mengikuti kaidah bahasa
Benang Merahnya? Makalah disampaikan
Indonesia. http://restlessangel.wordpress.
dalam Dialog Kebudayaan Nasional,
com/2007/10/21/bahasa-jawa-bahasa-yang-
“Kontinum Kebudayaan Jogja – Kebudayaan
paling-gak-demokratis/. Diakses pada 12
Jawa – Kebudayaan Nasional: Perspektif
Desember 2013, pukul 16:30.
Global”, Universitas Negeri Yogyakarta,
6 Sebutan untuk Sultan Yogyakarta adalah Yogyakarta.
Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem, sering
Anderson, Benedict R. O’G. (2006). Language
disingkat Ngarsa Dalem, sedangkan
sebutan Sunan Surakarta adalah Sahandhap and Power: Exploring Political Cultures in
Sampeyan Dalem, sering disingkat dengan Indonesia. Jakarta: Equinox.
Sinuwun Kaping... . Yang pertama berarti ‘di Benwell, Bethan & Elizabeth Stokoe. (2006).
depan kaki’, sedangkan yang kedua berarti ‘di Discourse and Identity. Edinburgh: Edinburgh
bawah kaki’. Dari ekspresi tersebut tampak University Press.
bahwa Surakarta menduduki posisi yang Djawanai, Stephanus. (2008). An Ethnolinguistic
lebih tinggi. Investigation of Classificatory System, Pattern
7 Kata piyayi yang merupakan varian dari of Thought, and Local Wisdom of Traditional
priyayi dalam penggunaannya mengalami Peasants and Fisherman in the Provinces of
perluasan makna, yaitu berarti orang secara Yogyakarta, and Central and East Java. Faculty
umum bukan hanya golongan bangsawan. of Cultural Sciences, Gadjah Mada University,

162
Sulistyowati - Artikulasi Identitas Wong Solo di Eks Enklave Surakarta

Yogyakarta. Language and Literature dalam Foulcher,


Errington, J. Joseph. (1981). Changing Speech et.al. (ed.), Words in Motion: Language and
Level among a Traditional Javanese Elite Discourse in Post-New Order Indonesia.
Group. University of Chicago. Singapore: NUS Press.
____. (1988). Structure and Style in Javanese: Poerwadarminta, W.J.S. (1939). Baoesastra Djawa.
A Semiotic View of Linguistic Etiquette. Batavia: Wolters’ Uitgevers-Maatschappij
Philadelphia: University of Pennsylvania Press. N.V.
Geertz, C. (1973). The Interpretation of Culture. Smith-Hefner, Nancy Joan. (1983). Language and
New York: Basic Book. Social Identity: Speaking Javanese in Tengger.
Michigan: The University of Michigan.
____. (1983). Abangan, Santri, Priyayi dalam
Masyarakat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Spolsky, B. (1999). Second-language Learning.
Jaya. Dalam J. Fishman (Ed.), Handbook of
Gibson, Karl. (2004). English Only Court Cases Language and Ethnic Identity (hlm. 181-192).
Involving The U.S.j Workplace: The Myths Of Oxford: Oxford University Press.
Language Use And The Homogenization Of Stockwell. Peter. (2007). Sociolinguistics: A
Bilingual Workers’ Identities. Dalam Second Resource Book for Students. London:
Language Studies, 22 (2), Spring 2004, 1-60. Routledge Taylor & Francis Group.
Hofstede, Geert. (1994). Cultures and Sulistyowati dkk. (2009). Redefinisi Ketenangan
Organizations: Software of the Mind. London: Hidup Abdi Dalem di Tengah Dunia Modern:
Harper Collins Publishers. Studi Keseharian Abdi Dalem Juru Kunci
Hudayana, Bambang. (2011). Glembuk, Strategi Makam Imogiri dalam Menyikapi Perubahan
Politik dalam Rekrutmen Elite Penguasa Zaman. Laporan Penelitian. Fakultas Sastra
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
di Desa Pulungsari Yogyakarta. Jurnal
Sumarsono dan Partana. (2002). Sosiolinguistik.
Humaniora, 23, 1-13.
Yogyakarta: Sabda bekerja sama dengan
Kartodirdjo, Sartono. (1993). Pembangunan
Pustaka Pelajar.
Bangsa tentang Nasionalisme, Kesadaran, dan
van Dijk, Teun A. (2008). Discourse and Context:
Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya
Media. A Sociocognitive Approach. Cambridge:
Cambridge University Press.
Kim, Heejung S. dan Deeborah Ko. (2007). Culture
van Mook, H.J. (1972). Kuta Gede. Djakarta:
and Self-Expression. Dalam Sedikides,
Bharata.
Constantine and Spencer, Steven J. (eds.) Self.
Wijana, I Dewa Putu. (2005). Pemertahanan Dialek
New York: Psychology Press.
Banyumas terhadap Dominasi Dialek Solo-
Kramsch, Claire. (1998). Language and Culture. Yogya. Jurnal Humaniora, 17, 125-224.
Oxford: Oxford University Press. Wolff, John U., dan Soepomo Poedjosoedarmo.
Quinn, George. (2012). Emerging from Dire Straits: (1982). Communicative Codes in Central Java.
Post-New Order Developments in Javanese Seri Linguistik VIII.

163

Anda mungkin juga menyukai