Anda di halaman 1dari 7

RESENSI BUKU MOLUKU KIE RAHA

(Seri Puisi Esai Indonesia Provinsi Maluku Utara)

Jefrey Oxianus Sabarua


Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara

I. IDENTITAS BUKU

Judul : Gaung Moluku Kie Raha (Seri Puisi Esai


Indonesia Provinsi Maluku Utara)
Pengarang : Alyn Wulandary, Ebin Eyzer Danius, Evi Rianty
Dias, Indra Bagus Susila, Reza Fajar Bagus
Putra Pattikupa, Ricardo Freedom Nanuru
Pengantar : Cherly Salawane, S.Si., M.Pd
Hak Penerbitan : Denny J.A. rights@cerahbudayaindonesia
Tim Editor : NIa Samsihono (ketua), Anwar Putra Bayu
(anggota), Dhenok Kristianti (anggota), F.X.
Purnomo (anggota), Gunoto Saparie (anggota)
Handry T.M. (anggota), Isbedy Stiawan Z.S.
(anggota)
Koordinator Wilayah : Fatin Hamama (Wilayah Indonesia Barat), Nia
Samsihono (Wilayah Indonesia Tengah), Sastri
Sunarti (Wilayah Indonesia Timur)
Finalisasi dan Publikasi : Agus R. Sarjono, Jamal D. Rachman, Monica
Anggi JR
Desain Grafis : Danny Fadriyana, Priyo Sudarto
Penerbit : Cerah Budaya Indonesia
Tahun/cetakan : Cetakan Pertama Tahun 2018
ISBN : 978-602-5896-15-6
Tebal : 105 + xxi halaman
Nama Peresensi : Jefrey Oxianus Sabarua
II. SELAYANG PANDANG BUKU MOLUKU KIE RAHA

Gaung Moluku Kie Raha, merupakan sebuah buku yang berisikan kumpulan
cerita tentang Provinsi Maluku Utara, yang dikemas dalam bentuk puisi esai hasil
karya Alyn Wulandary, dkk (2018). Sentuhan Dani Fadriyana dan Priyo Sudarto
dalam mendesain buku ini sangat inspiratif dan kreatif dengan menampilkan burung
bidadari sebagai ikon Provinsi Maluku Utara, pada sampul depan buku. Identitas lain
yang ditampilkan dalam buku ini adalah pantai dan perahu, yang menandakan
bahwa Provinsi Maluku Utara merupakan daerah maritim. Para penulis berasal dari
berbagai latar belakang berbeda yang meliputi, akademisi, praktisi, dan mahasiswa.
Dengan demikian, setiap puisi esai memiliki warna tersendiri berdasarkan latar
belakang dan wawasan serta pengalaman yang dimiliki.

Buku puisi esai Gaung Moluku Kie Raha, sangat direkomendasikan untuk
dibaca oleh seluruh kalangan, khususnya masyarakat Maluku Utara. Hal ini
dikarenakan buku Gaung Moluku Kie Raha merupakan salah satu buku antologi
puisi esai yang mengupas kisah tentang beberapa kisah masa lampau di Provinsi
Maluku Utara yang meliputi kisah tentang Nuku, Putra Tidore (karya, Alyn
Wulandary); Merajut Merah Putih (karya, Ebin Eyzer Danius); Merah Darah Maluku
Utara (karya, Evi Rianty Dias); Elegi Lelaki Sofifi (karya, Indra Bagus Susila); Sang
Buron Jelita (karya, Reza Fajar Bagus Putra Pattikupa); Impian Masa Kecil Kuabang
(karya, Ricardo Freedom Nanuru).

Alyn Wulandary merupakan seorang Akuntan yang juga aktivis berdarah


Tidore yang lahir di Jayapura pada tahun 1993. Ia juga merupakan seorang
pemerhati sastra. Ketertarikannya pada sastra memicunya untuk mencoba merangkai
kata demi kata dalam sebuah puisi esai yang berjudul ‘Nuku, Putra Tidore’. Penulis
ke dua adalah seorang Pendeta yang juga merupakan dosen di Universitas Hein
Namotemo yang merupakan salah satu kampus swasta di Halmahera Utara, dan pada
saat ini baru menyelesaikan studi doktoral di bidang ilmu filsafat pada Universitas
Gajah Mada Yogyakarta. Beliau adalah Pdt. Ebin Eyzer Danius, M.Th, lahir di
Sulawesi Tenggara pada tahun 1976. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan
kemanusiaan seperti pendampingan pengungsi pada saat peristiwa berdarah tahun
1999-2002, kemudian bersama rekan-rekannya membentuk forum pemuda di Tobelo
yang fokus pada trauma healing. Ketertarikannya pada sastra yang menjadi
motivasinya untuk mencoba menulis pengalaman hidupnya pada saat konflik dalam
bentuk puisi esai. Penulis selanjutnya ialah Evi Rianty Dias. Seorang dara asal ambon
yang sedang menimba ilmu di Universitas Soegiyapranata pada bidang psikologi ini,
tertarik pada dunia menulis semenjak ia masih duduk di bangku SMA, serta banyak
bergaul dengan para seniman dan sastrawan muda di kota Yogyakarta. Ia juga
merupakan seorang aktivis yang menyukai pramuka dan palang merah serta
olahraga. Penulis ke empat adalah Indra Bagus Susila. Indra merupakan seorang pria
kelahiran Blora tahun 1979, yang menggeluti bidang notaris dan advocat, dan
memiliki hobi membaca dan menulis. Ketertarikannya terhadap sastra memicunya
menulis puisi esai ‘Elegi Lelaki Sofifi’. Penulis berikutnya adalah Reza Fajar Bagus
Putra Pattikupa, merupakan seorang mahasiswa jurusan Akuntansi di Universitas
Dian Nuswantoro Semarang. Ketertarikannya menulis puisi esai dengan judul ‘Sang
Buron Jelita’ disebabkan hobi yang dimilikinya dalam menulis puisi dan artikel serta
bermain band dan futsal. Penulis terakhir dengan judul puisi esai ‘Impian Masa Kecil
Kuabang’ adalah seorang akademisi di Universitas Halmahera yang sedang
melanjutkan studi doktoral dibidang filsafat pada Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
Menulis dan membaca merupakan kegemarannya semenjak ia masih dijenjang S1.
Beliau merupakan salah satu putra ambon yang lahir pada tahun 1979. 13 tahun
berada di Halmahera membuat Ricardo memahami beberapa kisah masa lampau
yang terjadi di Halmahera. Hal inilah yang mendorong ia untuk menulis puisi esai
tentang kehidupan salah seorang aktivis yang ada di Kao.

III. BAGIAN ISI

A. Ringkaran Singkat Puisi Esai

Nuku, Putra Tidore, mengisahkan tentang seorang pemuda kelahiran tidore


yang gigih berjuang mengusir penjajah dari tanah tidore. Ia adalah Sultan Nuku
Muhamad Amirudin, putra ke dua dari Sultan Jamaluddin dari kerajaan Tidore.
Sultan Nuku merupakan sosok pemuda yang memiliki keyakinan kuat serta iman
yang teguh. Hal ini tercermin dalam setiap pergerakkannya yang menghindari
pertikaian dan pertumpahan darah sehingga ia mengambil sikap untuk menggunakan
pendekatan persuasif dengan para penjajan dalam bentuk diplomasi. Pergerakan
demi pergerakan dilakukan meluas hingga ke lautan pasifik dengan membawa misi
menjalin hubungan baik. Hingga pada akhirnya pergerakan Sultan Nuku
membuahkan hasil yang manis, masyarakat tidore terbebas dari penjajahan.
Perjuangan inilah yang menjadikan Sultan Nuku sebagai primadona masyarakat
Tidore, dan hingga kini beliau menjadi inspirator bagi kaum muda dalam membangun
Tidore.

Merajut Merah Putih mengkisahkan tentang sebuah refleksi hidup dalam


keberagaman. Karya ini mengangkat kisah tentang pengalaman hidup seseorang yang
bernama Menas, dimana ia menjani kehidupannya pada masa-masa mencekam yaitu
konflik berdarah yang terjadi di Maluku Utara pada tahun 1999. Puisi esai ini
mengajarkan sebuah arti kebersamaan dalam keberagaman yang jika dijalin dengan
baik, maka akan menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam bermasyarakat.
Hal ini diperjelas dengan mengangkat kisah berdarah pada tahun 1999 yang melanda
Maluku Utara, dimana pertikaian, penjarahan dan pembunuhan terjadi tanpa
memandang usia. Sekejap kebersamaan yang terjalin harmonis menjadi mencekam,
takut, gelisah, tertekan, dan berada dalam kondisi yang tidak nyaman. Tragedi ini
merenggut 3.000 jiwa, dan sekitar 100.000 penduduk meninggalkan tempat
tinggalnya, dan menempati beberapa pos pengungsian yang telah disiapkan. Kondisi
saat itu merupakan sebuah fenomena kemanusiaan yang menyebabkan hilangnya
kedamaian dan persatuan. Berdasarkan fenomena tersebutlah maka penulis
mengangkat judul Merajut Merah Putih yang secara semantic menyatakan bahwa
melalui kejadian ini, masyarakat dapat memaknai arti dari kemerdekaan
sesungguhnya.

Kisah Merah Darah Maluku Utara, mengungkap tragedy yang terjadi akibat
ekploitasi lahan oleh perusahan tambang emas asing, yang terkesan mengabaikan
dampak lingkungan dan diskriminatif. Kejadian bermula pada saat PT Nusa
Halmahera Minerals (NHM) yang merupakan perusahaan penambangan yang
ditunggangi oleh bangsa asing, menduduki daerah Makian yang terletak di dekat
gunung Kie Besi untuk dijadikan lahan pertambangan emas. Namun dalam
perjalanannya, perusahaan tersebut (NHM red.) mengabaikan dampak limbah hasil
pengolahan tambang terhadap lingkungan sekitar, sehingga mengakibatkan
pencemaran lingkungan. Disamping itu pula, perekrutan karyawan yang berasal dari
warga sekitar tidak diakomodir dengan baik, sehingga menimbulkan kecemburuan
social pada warga setempat. Dampak ini diwujudkan dengan pergerakan warga yang
melakukan perlawanan kepada pihak NHM. Namun apa daya, perlawanan warga
mental begitu saja. Pemerintah daerah dalam hal ini sebagai pelindung masyarakat,
malah berpihak pada perusahaan asing. Seolah-olah, mata dan hati mereka (pemda
red.) tertutup oleh tumpukan rupiah dan dollar yang disuguhkan oleh PT NHM. Tidak
sampai disitu, intimidasi dan kesewenangan datang dari pihak kesultanan ternate
dengan ‘pasukan kuningnya’ yang ditugaskan untuk mengamankan perusahaan
asing tersebut. Ironis memang, tapi apa mau dikata, harta duniawi melebihi
segalanya. Kesewenangan, intimidasi dan penganiayaan terjadi begitu saja bagaikan
seonggok daging yang tak memiliki arti sama sekali.

Cerita klasik terkait otorisasi birokrasi kembali terkuak lewat judul Elegi
Lelaki Sofifi. Dalam puisi esai ini, penulis mengisahkan tentang sisi kemanusiaan
yang tersisihkan akibat penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi
Maluku Utara di daerah Sofifi, dalam rangka pembuatan taman dan lahan terbuka
hijau (RTH). Sebut saja namanya adalah Djakaria seorang perantau yang mengalami
penggusuran tersebut. Kisah memilukan yang dialami Djakaria disebabkan oleh tidak
adanya konpensasi yang diberikan oleh pemerintah provinsi terhadap dirinya,
padahal Djakaria sudah menempati lokasi tersebut semenjak orang tuanya datang
merantau ke Maluku Utara.

Puisi esai berjudul Sang Buron Jelita mengisahkan tentang sekelumit kasus
korupsi yang terjadi di Provinsi Maluku Utara yang diperankan oleh seorang wanita
cantik mantan pejabat yang ternyata ayahnya juga seorang pejabat tinggi di daerah
tersebut. Hal menarik lainnya dalam puisi esai ini adalah ternyata ayah dari wanita
cantik tersebut seorang koruptor juga. Sehingga alur ceritra di dalamnya
mengisahkan tentang seorang anak dan ayah yang mengisi Daftar Pencarian Orang
(DPO).

Puisi esai ke enam yang berjudul Impian Masa Kecil Kuabang, mengisahkan
tentang seorang tokoh masyarakat Kao yang juga adalah seorang pejuang lingkungan
yang dengan gigih memerangi pencemaran lingkungan di Maluku Utara, khususnya
di daerah Teluk Kao Halmahera Utara. Beliau bernama Kuabang. Sosok pria
berpendirian teguh yang tetap mempertahankan prinsip hidup, walaupun dalam
perjalanannya mengalami berbagai hambatan, bahkan harus mengurus anak-
anaknya sendiri karena ditinggal oleh istri tercinta, ia tetap berjuang.

B. TANGGAPAN

Puisi esai Moluku Kie Raha merupakan suatu karya sastra yang memadukan
antara realitas dan estetika dalam mengungkap suatu tradisi dan perjalanan hidup
masyarakat Maluku Utara pada masa lampau. Para penulis yang juga sebagai
pemerhati sastra berusaha semaksimal mungkin mengeksplor kisah - kisah masa
lampau yang mulai terlupakan oleh sebagian masyarakat Maluku utara. Usaha
kreatif yang dituangkan dalam buku ini, patut diberikan apresiasi oleh seluruh
kalangan masyarakat, khususnya masyarakat di Provinsi Maluku utara.

Gaya bahasa yang digunakan oleh para penulis juga sangat beragam yang
meliputi gaya bahasa perbandingan, penegasan, sindiran, dan gaya bahasa
pertentangan, dengan tetap memperhatikan aspek kejujuran, kesantunan, dan
keindahan. Antologi puisi esai pada buku berjudul Moluku Kie Raha (Seri Puisi Esai
Indonesia Provinsi Maluku Utara) ini mengisahkan tentang sekelumit kisah yang
terjadi di Provinsi Maluku Utara. Ke enam puisi esay terbagi dalam dua aliran sastra
yaitu aliran determinisme dan realisme. Aliran determinisme diungkapkan melalui
puisi esai yang berjudul Merah darah Maluku Utara, Elegi Lelaki Sofifi, dan Sang
Buron Jelita. Ketiga puisi esai ini mengisahkan nasib buruk yang dialami tokohnya
akibat kekuasaan dan birokrasi yang tidak memihak pada rakyat sehingga
mengakibatkan kecemburuan sosial dan diskriminasi, serta karma yang datang
menghampiri. Aliran berikut yang mewarnani puisi esai ini adalah aliran realisme,
pada puisi esai yang berjudul Nuku, Putra Tidore; Merajut Merah Putih; dan Impian
Masa Kecil Kuabang. Ketiga puisi esai ini mengisahkan tentang realita yang terjadi
pada perjuangan seseorang dalam memperjuangkan kebersamaan dan keutuhan
dalam gejolak yang terjadi. Objektifitas penulisi tergambar dari isi puisi yang secara
gamblang mengungkapkan peristiwa yang terjadi dengan menyandingkan peristiwa-
peristiwa penting dan bersejarah yang mewarnani Provinsi Maluku Utara.

Kelebihan dari buku ini adalah sebagian besar penulis secara langsung
maupun tidak, memiliki hubungan emosional dengan setiap daerah yang menjadi
objek dalam puisi esainya masing-masing, sehingga narasi yang dibangun dalam
puisi esai ini, menghadirkan visualisasi masa lampau yang nyata dalam benak
pembaca. Sebagian besar diksi yang digunakan pula mudah untuk dipamahi oleh
semua kalangan pembaca. Penempatkan momentum atau fenomena yang terdapat
dalam puisi esai ini juga menjadi daya tarik tersendiri bagi pembaca, karena seolah-
olah narasi yang dibangun berinteraksi langsung dengan pembaca. Kelemahan dari
buku ini terletak pada clue yang berperan sebagai penjelas dalam setiap istilah-istilah
dan narasi asing atau daerah yang dimunculkan dalam puisi esai ini kurang
diperhatikan oleh sebagian para penulis sehingga terdapat beberapa celah atau
bagian yang menjadi ambigu.

IV. SIMPULAN

Puisi esai merupakan gabungan cerita fiksi dan realitas. Fiksi digunakan
sebagai sarana dalam menyampaikan fakta yang diramu dengan unsur keindahan
sehingga menyentuh hati nurani pembaca. Sedangkan fakta digunakan dalam
mengulas kembali kejadian masa lampau yang benar-benar terjadi dan disertai oleh
data-data sebagai penunjang. Puisi esai mengemukakan isi batin seseorang atau
tokoh yang dituangkan melalui larik-larik puitis, dengan mengaitkan konteks, data
dan fakta. Hal tersebut tergambar sangat jelas dalam puisi-puisi esai yang terdapat
dalam buku Gaung Moluku Kie Raha, dimana para penulis berusaha menghadirkan
data dan fakta yang terjadi pada waktu silam dalam kemasan sastra. Kepekaan para
penulis dari sisi jurnalistik dan sastra membuat buku Gaung Moluku Kie Raha
menjadi kumpulan dokumentasi masa lalu yang patut diberikan apresiasi yang tinggi,
baik oleh kalangan masyarakat, akademisi, maupun birokrasi.

Anda mungkin juga menyukai