Mencintai Indonesia
Widi Suharto
2018
Tosa Poetra
Penulis
Pendidik di SMP Plus Sunan Kalijaga, Trenggalek
Ketua Lembaga Literasi dan Penerbit Sembilan Mutiara
‘Tapi lama-kelamaan,
dengan perjalanan waktu,
topeng itu masih utuh
melekat di mukanya.’
Resmiyati
Penulis buku Membelah Bulan
St.Sri Emyani
Budayawan dan Sastrawan dari Panggul-Trenggalek
2 Mei 2012
21 Mei 2013
16 Juni 2013
25 November 2013
Merdeka
Indonesia
moga-moga aman
tidak ada penyandraan teroris cinta
termasuk bencana asmara
bedebah putus cinta
dan belenggu rindu
Awas
Mereka, kejamnya melebihi separo bumi
Dunia ini akan aman dan abadi
bila tidak tercemar pundi-pundi
yang dihadiahkan petakanya
termasuk limbahnya
Merdeka
Merdeka
4 Januari 2014
26 Maret 2014
Anak-anakku
Besuk, selama tiga hari
hidupmu merasa terhakimi
Belajarmu selama tiga tahun
ditentukan hanya dengan tiga hari.
Tidak adil memang,
tapi itu kenyataan yang harus kamu hadapi
Tidak ada yang bisa kamu sebut
selain Tuhan dan Ibu Bapak
Bapak-Ibu guru tidak akan membantu
dalam bentuk apapun kecuali doa dan suport dari jauh
Ini bukan tantangan
melainkan ujian persiapan
dalam menghadapi diri sendiri,
lingkungan dan masa depan
Jadilah kamu kebanggaan orang-orang tersayang
Jadilah kamu jembatan dalam merangkai mimpi
Jadilah kamu anak panah yang melesat menuju sasaran
Tak ada rintangan tak mampu dilewati
Tak ada halangan tak dapat diloncati
Jalan itu jalan biasa, terbuat jejak dahulu kala
Sekali lagi, bukan jalan istimewa.
Orang-orang sebelum kamu juga melawati jalan itu-
itujuga
dan akan dilewati adik-adikmu.
Sepanjang-panjang.
Selama-lamanya.
12 April 2014
Ini kangen
kutitipkan
pada hembusan pagi,
teracik semangat
untuk merengkuhnya.
kudengar
riuh
suara arus mudik,
sudah kesekian kalinya
Tidak...
aku tidak akan menangis
kali ini,
cukup satu tanyaku
Tuhan...
"Giliran mudikku kapan ...?"
22 Juli 2014
Terakhir ini
terasa cuwa dan kosong
Tak tersisa
setelah para sepuh itu
satu-satunya
diambilnya pula
17 Agustus 2014
10 November 2014
November 2014
12 Juni 2015
28 Juni 2015
2 Juli 2015
Piuuuh
Apalagi ini,
Ibu-ibu pada nonton sinetron
dikerubuti anak anaknya sepulang ngaji
khusu' berjamaah tahiyatul tivi
bakdiyatul telenovela korea Jepang dan hindi.
9 Juli 2015
9 Juli 2015
1 Oktober 2015
27 Oktober 2015
Kau menangis, ya
Kau terluka, ya
Kau berduka, ya
Kau bersedih, ya
Baik, baik.
Kau ulang tahun Indonesia
Inilah anak-anak turunmu.
Semua berhulu bin Indonesia
Macam-macam perangainya
Warna warni keinginannya
Berbagai-bagai sifatnya
Anak cucu Indonesia
Bernama Indonesia
bin Indonesia
28 Oktober 2015
4 Desember 2015
Tahun enam-puluhan
Bumi terpanggang matahari
mahasiswa riuh berdemo
sebuah media memberitakan
“Seorang bayi lahir
kemudian mati
karena tahu
lahir di Indonesia”
Demo semakin panas
Meletuslah
tak kan seorang pun
mengharapkannya
Kemudian Indonesia tutup buku
pemerintahan berganti orde baru
26 Maret 2016
21 April 2016
21 April 2016
23 April 2016
Oktober 2016
11 November 2016
Sumpah
Sayup-sayup dari jauh terdengar
suara kidung menyanyikan maskumambang
bumi yang bunting malam ini
merasakan nyeri sampai hulu hati
bukan sekedar mimpi di ujung malam
bila besuk matahari lebih hinggap di puck-pucuk maoni
embun yang menetes menjilma senyum rerumputan
tanah basah menggelar haribaan
berita lara akan tersiar sampai penjuru langit
bahwa ada sepotong doa yang tersangkut
jaring-jaring kelam masa lalu
dan sunyi merenda hari yang akan dilalui
Sumpah, ucapan ulang tahun ini
sebagai bingkisan tanda duka dari kami
generasi tanggung pada ibunya sendiri
dengan satu harapan
Semoga doa setulus air kali membawa beban
yang bukan kehendaknya sendiri ini
diganti senyum Tuhan mencium wangi
27 November 2017
Di tengah-tengah paceklik
rasa kebangsaan
puisi ini lahir dari tangan dingin
seorang ibuguru sekolah dasar.
Dia yang tak lekang
dari derasnya airmata prihatin
ingin menebus nestapa
dunia pendidikan
yang tercerabut dari
akar budaya bangsa
lewat anak- anak didiknya
yang dirasakan sebagai
anak kandung sendiri.
Dari getaran merah putih
yang berkibar
dia memandang langit.
Ia melihat pelangi.
Ia melihat merah Surabaya
saat revolusi.
Arek-arek Surabaya
memuntahkan darahnya.
Surabaya memerah.
Sungai Brantas mengalirkan merah.
Sungai Mas mengalirkan merah.
Jembatan merah,
pelabuhan perak kemerah- merahan.
Ia melihat harapan.
Ia melihat lembayung timur
menguarkan cahaya,
perak kemudian kuning.
Berduyun-duyunlah anak-anak menggelar
bagai tikar saga nusantara.
Berderak-derak mereka
mengambil langkah seribu
menanam benih pohon Indonesia.
Ia melihat hutan yang ranum dengan
kuning melingkar pada
pinggulnya yang semampai.
Jantungnya bergetar mendengar puisi Sang Fajar, ...
Jika aku melihat wajah anak-anak di desa-desa.
Dengan mata yang bersinar-sinar
(berteriak) Merdeka, Merdeka. Merdeka!
Aku bukan lagi melihat mata manusia.
Berselendangkan pelangi
ia menari-nari di atas hijau Tanah Saba.
Tanah yang pernah disebut-sebut sebagai
14 Februari 2018_Angel