STUNTING
Oleh
Nama: KAMELIA
NPM: 154011507
Pembimbing
Mengetahui,
Katua Program Studi D III Kebidanan
Politeknik Karya Husada
(Dr.Bd.Nurhandayani,S.ST,M.Kes)
SATUAN ACARA PENYULUHAN
A. LATAR BELAKANG
Disini kita akan membahas mengenai tentang apa itu stunting dimana program
pemerintah juga ada membahas mengenai masalah stunting yang ada di
Indonesia, mungkin masyarakat atau ibu-ibu banyak yang belum tahu apa itu
stunting disini saya akan menjelaskan secara singkat apa itu stunting “ Stunting
adalah dimana kondisi serius pada anak yang ditandai dengan tinggi badan
anak dibawah rata-rata atau anak sangat pendek serta tubuhnya tidak
bertumbuh dan berkembang dengan baik sesuai usianya dan berlangsung dalam
waktu lama”.
B. TUJUAN INSTRUKSIONAL UMUM (TIU)
Setelah mengikuti pertemuan ini masyarakat atau ibu-ibu dapat memahami
dan mengetahui ciri-ciri stungting pada anak-anak dan factor apa saja yang
menyebabkan terjadinya stunting.
C. TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS (TIK)
Pada akhir pertemuan ini masyarakat atau ibu-ibu dapat:
1. Menjelaskan pengertian dari stunting
2. Menyebutkan apa saja ciri-ciri dari stunting
3. Menjelaskan factor apa saja yang menyebabkan stunting
4. Mengetahui makanan apa saja yang harus dikonsumsi untuk mencegah
terjadinya stunting
D. MATERI PENYULUHAN
1. Definisi stunting
2. Permasalahan Stunting di Indonesia
3. Prevalensi stunting
4. Penyebab Stunting
5. Patofisiologi stunting
6. Pencegahan dan penanggulangan stunting
E. METODE
Ceramah
Tanya jawab
F. MEDIA
Power point
Leaflet
G. PROSES PELAKSANAAN
NO Materi Kegiatan
H. EVALUASI
Waktu untuk memulai acara, persiapan alat, persiapan media, kelengkapaan jumlah
mahasiswa, kelengkapan alat yang digunakan
1. Evaluasi proses
Bagaiamana berlansungnya proses pembelajaran, ada hambatan atau tidak,
keaktifan masyarakat atau ibu-ibu saat proses pembelajaran, tanya jawab bisa
hidup atau tidak.
2. Evaluasi hasil
Dengan memberikan pertanyaan secara lisan berbentuk pertanyaan esai/ terbuka
sebanyak 5 pertanyaan.
3. Salah satu ibu maju untuk menjelaskan secara singkat factor penyebab stunting
I. SUMBER
1. Dari buku Epidemiologi Stunting// penullis: dr.Aryu Candra, M.Kes
//Cetakan 1:2020
2. Warta-Kesmas//Edisi 02/2018
Lampiran
J. MATERI
Latar belakang
Disini kita akan membahas mengenai tentang apa itu stunting dimana
program pemerintah juga ada membahas mengenai masalah stunting yang ada di
Indonesia, mungkin masyarakat atau ibu-ibu banyak yang belum tahu apa itu
stunting disini saya akan menjelaskan secara singkat apa itu stunting “ Stunting
adalah dimana kondisi serius pada anak yang ditandai dengan tinggi badan anak
dibawah rata-rata atau anak sangat pendek serta tubuhnya tidak bertumbuh dan
berkembang dengan baik sesuai usianya dan berlangsung dalam waktu lama”.
PENDAHULUAN
1. Definisi stunting
Masalah malnutrisi di Indonesia merupakan masalah kesehatan yang
belum bisa diatasi sepenuhnya oleh pemerintah. Hal ini terbukti dari data-data
survei dan penelitian seperti Riset Kesehatan Dasar 2018 yang menyatakan
bahwa prevalensi stunting severe (sangat pendek) di Indonesia adalah 19,3%,
lebih tinggi dibanding tehun 2013 (19,2%) dan tahun 2007 (18%). Bila dilihat
prevalensi stunting secara keseluruhan baik yang mild maupun severe (pendek
dan sangat pendek), maka prevalensinya sebesar 30,8%. Hal ini menunjukkan
bahwa balita di Indonesia masih banyak yang mengalami kurang gizi kronis
dan program pemerintah yang sudah dilakukan selama bertahun-tahun belum
berhasil mengatasi masalah ini.1
Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari
normal berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan salah satu
jenis pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseorang.
Adanya stunting menunjukkan status gizi yang kurang (malnutrisi) dalam
jangka waktu yang lama (kronis). Diagnosis stunting ditegakkan dengan
membandingkan nilai z skor tinggi badan per umur yang diperoleh dari grafik
pertumbuhan yang sudah digunakan secara global. Indonesia menggunakan
grafik pertumbuhan yang dibuat oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 2005 untuk menegakkan diagnosis stunting.2 Berdasarkan Keputusan
Menteri Kesehatan RI tahun 2010 maka gizi kurang dikategorikan seperti
dalam tabel di bawah ini .Tabel 1. Kategori status gizi berdasarkan indeks
antropometri
Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia
mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun
2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%)
sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita
stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan
proporsi paling sedikit di Asia
Tengah (0,9%).4
Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization
(WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi
tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-
rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.
Gambar 2. Prevalensi balita stunting di Asia
Sumber: Child stunting data visualizations dashboard, WHO,
2018
Berdasarkan diagram di atas dapat diketahui bahwa prevalensi stunting
di Indonesia dibandingkan negara lain di Asia menempati posisi tertinggi ke-3
setelah Timor Leste dan India. Prevalensi stunting di Indonesia lebih tinggi
dibandikan Bangladesh dan Myanmar yang pendapatan perkapita penduduknya
lebih rendah dibandingkan Indonesia.5 Hal ini menunjukkan bahwa status
ekonomi negara belum tentu mempengaruhi status gizi penduduknya.
Berdasarkan data riskesdas dari tahun 2007 hingga tahun 2018 terdapat
penurunan balita sangat pendek (stunting berat) sebesar 6,4 %. Namun
prevalensi balita pendek atau stunting mengalami peningkatan sebesar 1,3%.
Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun
2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya
yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar
19%. Provinsi dengan prevalensi tertinggi balita sangat pendek dan pendek
pada usia 0-59 bulan tahun 2017 adalah Nusa Tenggara Timur, sedangkan
provinsi dengan prevalensi terendah adalah Bali.
A. Faktor Genetik
Banyak penelitian menyimpulkan bahwa tinggi badan orang tua sangat
mempengaruhi kejadian stunting pada anak.
Salah satunya adalah penelitian di kota Semarang pada tahun 2011
menyimpulkan bahwa Ibu pendek (< 150 cm) merupakan faktor risiko stunting
pada anak 1-2 th. Ibu yang tubuhnya pendek mempunyai risiko untuk memiliki
anak stunting 2,34 kali dibanding ibu yang tinggi badannya normal. Ayah
pendek (< 162 cm) merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th. Ayah
pendek berisiko mempunyai anak stunting 2,88 kali lebih besar dibanding ayah
yang tinggi badannya normal.7
Sebuah metaanalisis pada tahun 2016 juga menyimpulkan bahwa tinggi badan
orang tua mempengaruhi kejadian stunting pada anak. Hasil penelitian tersebut
menyebutkan tinggi badan ibu <145 cm berisiko memiliki anakpendek 2,13
kali dibanding ibu dengan TB normal. Tinggi badan ibu 145150 cm memiliki
risiko memiliki anak stunting 1,78 kali dibanding ibu normal, sedangkan TB
ibu 150-155 cm berisiko memiliki anak stunting 1,48 kali dibanding ibu
normal.
Tinggi badan orangtua sendiri sebenarnya juga dipengaruhi banyak
faktor yaitu faktor internal seperti faktor genetik dan faktor eksternal seperti
faktor penyakit dan asupan gizi sejak usia dini. Faktor genetik adalah faktor
yang tidak dapat diubah sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang dapat
diubah. Hal ini berarti jika ayah pendek karena gen-gen yang ada pada
kromosomnya memang membawa sifat pendek dan gen-gen ini diwariskan
pada keturunannya, maka stunting yang timbul pada anak atau keturunannya
sulit untuk ditanggulangi. Tetapi bila ayah pendek karena faktor penyakit atau
asupan gizi yang kurang sejak dini, seharusnya tidak akan mempengaruhi
tinggi badan anaknya. Anak tetap dapat memiliki tinggi badan normal asalkan
tidak terpapar oleh faktor-faktor risiko yang lain.
B. Status Ekonomi
Status ekonomi kurang dapat diartikan daya beli juga rendah sehingga
kemampuan membeli bahan makanan yang baik juga rendah. Kualitas dan
kuantitas makanan yang kurang menyebabkan kebutuhan zat gizi anak tidak
terpenuhi, padahal anak memerlukan zat gizi yang lengkap untuk pertumbuhan
dan perkembangannya. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa orangtua
dengn daya beli rendah jarang memberikan telur, daging, ikan atau kacang-
kacangan setiap hari. Hal ini berarti kebutuhan protein anak tidak terpenuhi
karena anak tidak mendapatkan asupan protein yang cukup. Anak sering diasuh
oleh kakak atau neneknya karena ibu harus bekerja membantu suami atau
mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Usia kakak yang masih terlalu muda
atau nenek yang terlalu tua membuat kurangnya pengawasan terhadap anak.
Anak sering bermain di tempat yang kotor dan memasukkan benda-benda kotor
ke dalam mulut yang dapat membuat anak menjadi sakit
Pengetahuan pengasuh tentang gizi juga mempengaruhi kejadian
stunting pada anak. Orangtua terkadang tidak mengetahui makanan apa yang
diberikan kepada anak setiap hari. Pada kelompok status ekonomi cukup
dimana pengasuhan anak dilakukan sendiri oleh ibu juga ditemukan masalah
yaitu nafsu makan anak yang kurang. Anak tidak suka masakan rumah, tetapi
lebih suka makanan jajanan. Anak juga tidak mau makan sayur atau buah-
buahan. Orangtua tidak mau memaksa karena jika dipaksa anak akan
menangis. Kurangnya konsumsi sayur dan buah akan menimbulkan defisiensi
mikronutrien yang bisa menyebabkan gangguan pertumbuhan.
Pada kelompok status ekonomi kurang maupun status ekonomi cukup
masih banyak dijumpai ibu yang memiliki pengetahuan rendah di bidang gizi.
Walaupun mereka rutin ke posyandu, namun di posyandu mereka jarang
memperoleh informasi tentang gizi. Informasi tentang gizi justeru diperoleh
dari tenaga kesehatan yang mereka datangi pada saat anak sakit, itupun hanya
sedikit. Informasi dari media massa maupun media cetak juga tidak banyak
diperoleh karena ibu tifk gemar membaca artikel tentang kesehatan.
Status ekonomi kurang seharusnya tidak menjadi kendala dalam pemenuhan
kebutuhan gizi keluarga karena harga bahan pangan di negara kita sebenarnya
tidak mahal dan sangat terjangkau. Jenis bahan makanan juga sangat bervariasi
dan dapat diperoleh di mana saja. Namun karena pengetahuan akan gizi yang
kurang menyebabkan banyak orangtua yang beranggapan bahwa zat gizi yang
baik hanya terdapat dalam makanan yang mahal. Membuat masakan yang
bergizi dan enak rasanya memang membutuhkan kreativitas dan kesabaran.
Keterbatasan waktu terkadang membuat orangtua lebih senang membelikan
makanan jajanan daripada memasak sendiri. Pada makanan jajanan sering
ditambahkan zat-zat aditif yang bisa membahayakan kesehatan. Selain itu
makanan jajanan kebersihan dan keamanannya sangat tidak terjamin.
C. Jarak Kelahiran
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa jarak kelahiran dekat (< 2 th)
merupakan faktor risiko stunting pada anak 1-2 th. Anak yang memiliki jarak
atau selisih umur dengan saudaranya <2 th mempunyai risiko menjadi stunting
10,5 kali dibanding anak yang memiliki jarak ≥2 th atau anak tunggal. Pada
analisis multivariat diperoleh hasil anak dengan jarak kelahiran dekat (<2 th)
berisiko menjadi stunting 18 kali dibandingkan anak tunggal sedangkan anak
yang memiliki jarak kelahiran ≥ 2 th memiliki risiko menjadi stunting 4,6 kali
dibanding anak tunggal.7 Penelitian yang dilakukan Andrea M Rehman dkk
yang menyimpulkan bahwa mempunyai paling sedikit satu orang saudara
kandung merupakan faktor risiko
stunting pada anak <3 th (OR 2.00, 95% CI 1.14-3.51).
Jarak kelahiran mempengaruhi pola asuh orangtua terhadap anaknya.
Jarak kelahiran dekat membuat orangtua cenderung lebih kerepotan sehinga
kurang optimal dalam merawat anak. Hal ini disebabkan karena anak yang
lebih tua belum mandiri dan masih memerlukan perhatian yang sangat besar.
Apalagi pada keluarga dengan status ekonomi kurang yang tidak mempunyai
pembantu atau pengasuh anak. Perawatan anak sepenuhnya hanya dilakukan
oleh ibu seorang diri, padahal ibu juga masih harus mengerjakan pekerjaan
rumah tangga yang lain. Akibatnya asupan makanan anak kurang diperhatikan.
Jarak kelahiran kurang dari dua tahun juga menyebabkan salah satu anak,
biasanya yang lebih tua tidak mendapatkan ASI yang cukup karena ASI lebih
diutamakan untuk adiknya. Akibat tidak memperoleh ASI dan kurangya asupan
makanan, anak akan menderita malnutrisi yang bisa menyebabkan stunting.
Untuk mengatasi hal ini program Keluarga Berencana harus kembali
digalakkan. Setelah melahirkan, ibu atau ayah harus dihimbau supaya secepat
mungkin menggunakan alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan. Banyak
orangtua yang enggan menggunakan kontrasepsi segera setelah kelahiran
anaknya, sehingga terjadi kehamilan yang sering tidak disadari sampai
kehamilan tersebut sudah menginjak usia beberapa bulan.
Jarak kehamilan yang terlalu dekat, selain kurang baik untuk anak yang baru
dilahirkan juga kurang baik untuk ibu. Kesehatan ibu dapat terganggu karena
kondisi fisik yang belum sempurna setelah melahirkan sekaligus harus merawat
bayi yang membutuhkan waktu dan perhatian sangat besar. Ibu hamil yang
tidak sehat akan menyebabkan gangguan pada janin yang dikandungnya.
Gangguan pada janin dalam kandungan juga akan mengganggu pertumbuhan
sehingga timbullah stunting.
D. Riwayat BBLR
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara
riwayat BBLR dengan kejadian stunting pada anak 1-2 th Ada riwayat BBLR
merupakan faktor risiko
stunting pada anak 1-2 th. Hasil analisis pada penelitian tersebut juga
menunjukkan bahwa anak yang mempunyai riwayat BBLR akan berisiko
menjadi stunting 11,88 kali dibanding anak yang tidak mempunyai riwayat
BBLR. Pada analisis multivariat diketahui anak yang mempunyai riwayat
BBLR berisiko menjadi stunting 3 kali dibanding anak yang tidak mempunyai
riwayat BBLR (OR=3;CI:1,2-7,7). Hasil penelitian lainnya antara lain
penelitian yang dilakukan oleh Adel El Taguri dkk. Adel El Taguri
menyimpulkan bahwa bahwa riwayat BBLR mempengaruhi kejadian stunting
pada anak 1-2 th (p <0,05; OR:1,58; 95%CI:1,09-2,29).10 Demikian juga
Andrea M Rehman dkk menyimpulkan bahwa riwayat BBLR dan underweight
pada usia 6 bulan merupakan faktor risiko stunting (OR=1,75; 95%CI:1,05-
2,93).
Berat badan lahir rendah menandakan janin mengalami malnutrisi di
dalam kandungan sedangkan underweight menandakan kondisi malnutrisi yang
akut. Stunting sendiri terutama disebabkan oleh malnutrisi yang lama. Bayi
yang lahir dengan berat badan kurang dari normal (<2500 gr) mungkin masih
memiliki panjang badan normal pada waktu dilahirkan. Stunting baru akan
terjadi beberapa bulan kemudian, walaupun hal ini sering tidak disadari oleh
orangtua. Orang tua baru mengetahui bahwa anaknya
stunting umumnya setelah anak mulai bergaul dengan temantemannya
sehingga terlihat anak lebih pendek dibanding teman-temannya. Oleh karena
itu anak yang lahir dengan berat badan kurang atau anak yang sejak lahir berat
badannya di bawah normal harus diwaspadai akan menjadi stunting. Semakin
awal dilakukan penanggulangan malnutrisi maka semakin kecil risiko menjadi
stunting.
b. Asupan Kalsium
Kalsium merupakan mineral utama yang menyusun tulang. Pada anak
dalam masa pertumbuhan, kekurangan kalsium menyebabkan pertumbuhan
tulang terhambat sedangkan pada dewasa kekurangan kalsium menyebabkan
pengeroposan tulang atau osteoporosis. Hasil penelitian menyatakan bahwa
defisiensi kalsium berhubungan dengan kejadian stunting. Salah satunya
penelitian yang dilakukan di kota Pontianak yang menyimpulkan bahwa
Asupan protein, kalsium, dan fosfor signifikan lebih rendah pada anak stunting
dibandingkan pada anak tidak stunting usia 24-59 bulan.16 Penelitian di Afrika
Selatan pada anak usia 2-5 th juga menyimpulkan bahwa asupan kalsium dan
vitamin D yang tidak adekuat, yang kemungkinan disebabkan karena kurang
minum susu setelah disapih berhubungan dengan kejadian stunting.
Penelitian di Mongolia juga menyatakan bahwa semua anak yang menjadi
subjek penelitian mengalami defisiensi kalsium. Pemerikasaan serum kalsium
menunjukkan >50% subjek mengalami hipokalsemia.
c. Asupan Seng
Seng diperlukan oleh manusia dan hewan untuk mmelakukan fungsi
fisiologis, seperti pertumbuhan, kekebalan tubuh, dan reproduksi. Defisiensi
seng menyebabkan anoreksia, gangguan pertumbuhan, dermatitis, gangguan
pengecapan, dan hipogonadisme. Meskipun pada hewan percobaan sudah
terbukti bahwa kekurangan seng menyebabkan anoreksia namun hubungan
antara defisiensi seng dan anoreksia pada manusia masih belum jelas.
Diperkirakan seng meningkatkan nafsu makan melalui rangsangan pada saraf
vagus yang kemudian mempengaruhi pusat nafsu makan di hipotalamus.22
Prevalensi defisiensi seng pada balita di Indonesia belum diketahui dengan
pasti, namun diperkirakan cukup tinggi mengingat pola makan balita di
Indonesia yang belum sesuai dengan anjuran pedoman gizi seimbang.
Banyak hasil penelitian menyatakan bahwa defisiensi seng
berhubungan dengan kejadian stunting. Salah satunya sebuah metaanalisis yang
menyatakan bahwa kekurangan seng, menyebabkan penurunan pertumbuhan
linear 0,19 cm (95% CI 0,08-0,30).24 Hasil penelitian lain menyebutkan
bahwa Suplementasi seng selama 6 bulan meningkatkan skor Z berat badan per
umur. Sedangkan untuk, skor Z tinggi badan per umur pada kelompok
suplementasi seng lebih tinggi dibandingkan dengan plasebo, dan kadar serum
seng meningkat pada kelompok stunting ringan.
5. Patofisiologi Stunting
A. Fisiologi Pertumbuhan
Hampir setengah abad yang lalu Neel dan Schull1 berpendapat bahwa,
“konsep genetik harus menjadi bagian integral dari armamentarium dari ahli
epidemiologi modern ”. "Genetika epidemiologis" yang dibayangkan Neel dan
Schull telah dikenal sebagai epidemiologi genetik. Pendiri Internasional
Genetic Epidemiology Society (IGES) pada tahun 1992, James V. Neel, secara
ringkas mendefinisikan epidemiologi genetik sebagai, “Studi komponen
genetik dalam fenomena biologis yang kompleks ” Dari perspektif ini,
epidemiologi genetik pertumbuhan dan perkembangan dapat dianggap sebagai
studi dasar-dasar genetik dari ukuran, konformasi, dan status kematangan
individu selama masa kanak-kanak. Di sini termasuk mengukur besarnya
pengaruh genetik pada pertumbuhan dan perkembangan fenotip, memeriksa
bagaimana pengaruh-pengaruh genetik itu beroperasi dari waktu ke waktu,
mengidentifikasi dan melokalisasi polimorfisme genetik spesifik yang
berkontribusi pada variasi dalam pertumbuhan dan perkembangan, dan
menjelaskan bagaimana faktor genetik dan lingkungan berinteraksi selama
pertumbuhan dan perkembangan.28
Adanya pengaruh genetik terhadap kejadian stunting sudah dibuktikan
oleh banyak penelitian. Salah satunya penelitian tahun 2011 menyimpulkan
bahwa tinggi badan anak perempuan dipengaruhi oleh tinggi badan ayah.7
Selain itu sebuah metaanalisis juga menyimpulkan bahwa tinggi badan
orangtua berhubungan dengan tinggi badan ayahnya.7
Sebagian besar dari apa yang kita ketahui tentang kontrol genetik pada
pertumbuhan dan perkembangan berasal dari studi berbasis keluarga, di mana
korelasi antara kerabat dan antara individu yang tidak terkait untuk suatu sifat
seperti perawakan atau berat badan diukur. Jika variasi satu sifat sebagian besar
di bawah kendali genetik, maka individu yang terkait (dalam satu keluarga atau
intrafamily) akan lebih banyak yang serupa untuk sifat tersebut dibandingkan
individu yang tidak terkait. Sebaliknya, jika variasi dalam suatu sifat hanya
sebagian kecil ditentukan oleh gen, maka individu yang terkait mirip atau dapat
menyerupai satu sama lain dalam jumlah hanya sedikit dibandingkan individu
yang tidak terkait.28
Melalui pemeriksaan korelasi antara pasangan kerabat yang berbeda,
heritabilitas dapat dihitung. Konsep heritabilitas merupakan pusat pemahaman
sifat kontrol genetik untuk sifat apa pun. Warisan sifat adalah ukuran tingkat
kontrol genetik fenotip, mulai dari 0% (tidak ada efek genetik) hingga 100%
(efek genetik lengkap). Heritabilitas adalah estimasi tingkat populasi, khusus
untuk populasi tertentu di lingkungan tertentu, dan ini kadang-kadang bisa
menjadi pertimbangan penting ketika membandingkan
perkiraan heritabilitasdi seluruh populasi.28
Secara umum heritabilitas lebih bermanfaat dalam mengkarakterisasi efek
genetik dari sifat-sifat yang terusmenerus didistribusikan, seperti tinggi badan
atau berat badan. Warisan sifat-sifat kuantitatif tersebut kemungkinan akan
dipengaruhi oleh sejumlah gen dengan efek kecil hingga sedang. Karena itulah,
sifat kuantitatif sering disebut sebagai poligenik. Namun, tidak semua gen yang
mempengaruhi suatu sifat cenderung memberikan kontribusi yang sama
terhadap varian fenotipik dari sifat tersebut. Sangat sulit untuk
mengidentifikasi gen yang hanya menjelaskan sebagian kecil dari varian
fenotipik suatu sifat (mis., 5% atau kurang), mungkin lebih praktis untuk
merujuk sebagian besar sifat kuantitatif sebagai oligogenik, artinya
kemungkinan bahwa beberapa gen dengan efek yang diidentifikasi dari
berbagai tingkat bersama-sama bertanggung jawab untuk sebagian besar
kontribusi genetik pada varian fenotipik suatu sifat.
C. Stunting familial
Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai familial
short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua maupun pola
pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola pertumbuhan
anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan bermanifestasi setelah
usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental high (MPH) 0,5
saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. Perawakan pendek familial
ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan
pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau salah satu
orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3.
D. Kelainan patologis
Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak
proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit
infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan,
hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi
IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang
seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom
Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter.
Gambar 6. Bagan aktor-faktor yang mempengaruhi tinggi badan
B. Pendidikan Gizi
Saat ini Indonesia dihadapkan pada Beban Gizi Ganda atau sering disebut
Double Burden, yang artinya pada saat kita masih terus bekerja keras mengatasi
masalah Kekurangan Gizi seperti kurus, stunting, dan anemia, namun pada saat yang
sama juga harus menghadapi masalah kelebihan gizi atau obesitas.
Gizi buruk adalah salah satu hal yang menjadi masalah global, termasuk di Indonesia.
Pemenuhan gizi yang belum tercukupi baik sejak dalam kandungan hingga bayi lahir
dapat menyebabkan terjadinya berbagai masalah kesehatan, baik pada ibu maupun
bayinya.
Salah satu gangguan kesehatan yang berdampak pada bayi yaitu:
stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik. Stunting dapat terjadi sebagai
akibat kekurangan gizi terutama pada saat 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
Salah satu cara mencegah stunting adalah pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan
kepada ibu hamil. Upaya ini sangat diperlukan, mengingat stunting akan berpengaruh
terhadap tingkat kecerdasan anak dan status kesehatan pada saat dewasa. Akibat
kekurangan gizi pada 1000 HPK bersifat permanen dan sulit diperbaiki.
Anak stunting penyebab utamanya asupan gizi. Tak satupun penelitian yang
mengatakan keturunan memegang faktor yang lebih penting dari pada gizi dalam hal
pertumbuhan fisik anak. Masyarakat, umumnya menganggap pertumbuhan fisik
sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan. Pemahaman keliru itu kerap menghambat
sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan upaya mencukupi
kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia dua tahun.
Sosialisasi terus dilakukan. Meski demikian, diperlukan juga kemauan
masyarakat untuk dapat menerima hal tersebut, diikuti dengan kesadaran akan
kewajiban menjaga kesehatan. Saat ini, jumlah anak balita di Indonesia sekitar 22,4
juta. Setiap tahun, setidaknya ada 5,2 juta perempuan di Indonesia yang hamil. Dari
mereka, rata- rata bayi yang lahir setiap tahun berjumlah 4,9 juta anak. Tiga dari 10
balita di Indonesia mengalami stunting atau memiliki tinggi badan lebih rendah dari
standar usianya.
Tak hanya bertubuh pendek, efek domino pada balita yang mengalami
stunting lebih kompleks. Selain persoalan fisik dan perkembangan kognitif, balita
stunting juga berpotensi menghadapi persoalan lain di luar itu. Stunting bukan berarti
gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak yang begitu kurus. Yang sering
kali terjadi, anak yang mengalami stunting tidak terlalu kentara secara fisik. Anak
atau balita stunting umumnya terlihat normal dan sehat. Namun jika ditelisik lebih
jauh ada aspek-aspek lain yang justru jadi persoalan. Tidak hanya kognitif atau fisik,
anak yang mengalami stunting cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang
tidak optimal.
Misalnya kalau anak lain bisa tumbuh ke atas, dia justru tumbuh ke samping.
Ini kemudian yang berisiko terhadap penyakit tidak menular di Indonesia seperti
diabetes atau obesitas. Tak hanya itu, suatu saat, balita yang mengalami stunting akan
tumbuh menjadi manusia dewasa dan bekerja. Sayangnya, faktor stunting yang
dialami sejak kecil kerap kali menyulitkan mereka untuk mendapatkan pekerjaan
karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki.
Upaya Konkrit Pemerintah Menangani Permasalahan Gizi. Komitmen pemerintah
dalam upaya percepatan perbaikan gizi telah dinyatakan melalui Perpres Nomor 42
Tahun 2013, tanggal 23 Mei 2013, tentang Gerakan Nasional (Gernas) Percepatan
Perbaikan Gizi yang merupakan upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat
melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara
terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat dengan
prioritas pada Seribu Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK). Melalui penetapan
strategi utama Gernas Percepatan Perbaikan Gizi yaitu:
a.Menjadikan perbaikan gizi sebagai arus utama pembangunan sumber daya manusia,
sosial budaya, dan perekonomian.
b.Peningkatan kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia di semua sektor baik,
pemerintah maupun swasta.
c.Peningkatan intervensi berbasis bukti yang efektif pada berbagai tatanan yang ada di
masyarakat.
d.Peningkatan partisipasi masyarakat untuk penerapan norma-norma sosial yang
mendukung perilaku sadar gizi.
Dalam mengatasi permasalahan gizi terdapat dua solusi yang dapat dilakukan,
yaitu dengan intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik diarahkan untuk
mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung masalah gizi, sedangkan intervensi
sensitif diarahkan untuk mengatasi akar masalahnya dan sifatnya jangka panjang.
Intervensi sensitif salah satunya meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dari
orang tua atau keluarga tentang hal-hal yang berkaitan dengan gizi, serta kurangnya
pengetahuan masyarakat dalam pengolahan bahan makanan, misalnya ikan. Ikan di
sekitar mereka banyak, tetapi tidak mereka konsumsi. Karena kebanyakan dari
mereka hanya bisa memasak ikan dengan digoreng dan dibakar saja, sehingga anak-
anak merasa lebih cepat bosan makan menu ikan.
Kegiatan intervensi spesifik yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan dalam
penanggulangan masalah gizi antara lain:
a.Pemberian Tablet Tambah Darah untuk remaja putri, calon pengantin, ibu hamil
b.Promosi ASI Eksklusif
c.Promosi Makanan pendamping-ASI
d.Promosi makanan berfortifikasi termasuk garam beryodium
e.Promosi dan kampanye Tablet Tambah Darah
f.Suplemen gizi mikro (Taburia)
g.Suplemen gizi makro (PMT)
h.Kelas Ibu Hamil
i. Promosi dan kampanye gizi seimbang dan perubahan perilaku
j.Pemberian obat cacing
k.Tata Laksana Gizi Kurang/ Buruk
l.Suplementasi vitamin A
m.Jaminan Kesehatan Nasional
Selain itu salah satu upaya promotif preventif dalam rangka menanggulangi berbagai
masalah gizi dan kesehatan tersebut, Kementerian Kesehatan telah mencanangkan Gerakan
Masyarakat Hidup Sehat (GERMAS) dengan fokus pada 3 (tiga) kegiatan yaitu
meningkatkan aktifitas fisik, konsumsi sayur dan buah, dan deteksi dini penyakit.
Penanggulangan Stunting Sebagai Tanggung Jawab Bersama Pemerintah telah
berupaya melakukan advokasi tingkat tinggi yang berkelanjutan dan kabar baiknya adalah
bahwa saat ini gizi menjadi salah satu prioritas nasional.
alam kondisi kesehatan fisik dan psikis, serta pendidikan yang baik. [15.13, “Remaja
merupakan masa yang sangat berharga bila mereka berada d Maka itu penanganan masalah
remaja termasuk di dalamnya
masalah kesehatan, akan sangat membutuhkan keterlibatan multi disiplin ilmu, lintas
program, lintas sector, dan masyarakat.” Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI dalam
paparan yang disampaikan oleh Plt.
Dirjen Kesehatan Masyarakat Kemenkes, dr. Pattiselano Robert Johan, MARS, pada
Seminar Kesehatan dan Gizi Remaja di Kantor Kementerian Kesehatan, Selasa pagi (15/5).
Seminar yang mengangkat tema “Edukasi dan Kampanye Kesehatan dan Gizi Remaja
Menuju Generasi Tinggi, Cerdas dan Berprestasi” ini dihadiri pula oleh Duta Besar Kanada
dan Duta Besar Australia, serta Yayasan Mitra Pangan, Gizi, dan Kesehatan Indonesia
(MPGKI).
Menurut UU Perlindungan Anak, remaja adalah seseorang yang berusia antara 10-18
tahun, dan merupakan kelompok penduduk Indonesia dengan jumlah yang cukup besar
(hampir 20% dari jumlah penduduk). Remaja merupakan calon pemimpin dan pengerak
pembangunan di masa depan. Pada masa remaja terjadi apa yang dinamakan growth spurt
atau pertumbuhan cepat dan pubertas. Pada fase tersebut, terjadi pertumbuhan fisik disertai
perkembangan mental-kognitif, psikis, juga terjadi proses tumbuh kembang reproduksi yang
mengatur fungsi seksualitas. Masa remaja seringkali dianggap sebagai periode hidup yang
paling sehat.
Faktanya, pertumbuhan fisik pada remaja tidak selalu disertai dengan kematangan
kemampuan berpikir dan emosional. Selain itu, di masa remaja juga terjadi proses pengenalan
jati diri. Kegagalan dalam proses pengenalan diri ini bisa menimbulkan berbagai masalah.
Remaja mudah dipengaruhi oleh teman sebaya dan media sosial sehingga rawan terpengaruh
oleh perilaku yang tidak sehat, atau mendapatkan informasi kesehatan dan gizi yang tidak
benar (hoax). Misalnya, mengikuti pola diet selebritis, mengonsumsi jajanan yang sedang hits
namun tidak bergizi, atau kurang beraktivitas fisik karena terlalu sering bermain games
sehingga malas gerak (mager). Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School
Health Survey tahun 2015, antara lain: tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja
kurang mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi makanan
berpenyedap (75,7%). Diantara remaja itu juga kurang melakukan aktivitas fisik (42,5%).
Apabila cara konsumsi ini berlangsung terus menerus dan menjadi kebiasaan pola makan
tetap para remaja, maka akan meningkatkan risiko terjadinya penyakit tidak menular.
Remaja sebenarnya memiliki kemampuan untuk membuat pilihan terkait pola makan
dan perilaku hidup yang sehat, serta bagaimana menjadi pribadi yang bermanfaat. Namun
permasalahan pada remaja sangat kompleks, seperti masalah prestasi di sekolah, pergaulan,
penampilan, menyukai lawan jenis, serta masalah kesehatan seperti kekurangan zat besi
(anemia), memiliki tinggi badan yang pendek atau disebut stunting, kurus atau kurang energi
kronis dan kegemukan atau obesitas. Sebagai pemilik masa depan bangsa Indonesia dan
sebagai agen perubahan di jaman sekarang, remaja perlu mendapatkan banyak informasi
kesehatan dan gizi yang benar agar tidak terkena hoaks.
Sedangkan untuk menunjang kesehatan, banyak yang bisa dilakukan seperti rajin beraktivitas
fisik (bersepeda, berolahraga), rajin makan sayur, buah dan ikan hingga menjadi remaja
millenial yang terus bergerak.
Remaja kurang zat besi (anemia)
Salah satu masalah yang dihadapi remaja Indonesia adalah masalah gizi mikronutrien,
yakni sekitar 12% remaja laki-laki dan 23% remaja perempuan mengalami anemia, yang
sebagian besar diakibatkan kekurangan zat besi (anemia defisiensi besi). Anemia di kalangan
remaja perempuan lebih tinggi dibanding remaja laki-laki. Anemia pada remaja berdampak
buruk terhadap penurunan imunitas, konsentrasi, prestasi belajar, kebugaran remaja, dan
produktivitas. Selain itu, secara khusus anemia yang dialami remaja putri akan berdampak
lebih serius, mengingat mereka adalah para calon ibu yang akan hamil dan melahirkan
seorang bayi, sehingga memperbesar risiko kematian ibu melahirkan, bayi lahir premature,
dan berat bayi lahir rendah (BBLR).
Anemia dapat dihindari dengan konsumsi makanan tinggi zat besi, asam folat, vitamin
A, vitamin C dan zink, dan pemberian tablet tambah darah (TTD). Pemerintah
memiliki program rutin terkait pendistribusian TTD bagi wanita usia subur (WUS),
termasuk remaja dan ibu hamil.
Remaja harus sadar tinggi badan
Remaja Indonesia banyak yang tidak menyadari bahwa mereka memiliki
tinggi badan yang pendek atau disebut stunting. Rata-rata tinggi anak Indonesia lebih
pendek dibandingkan dengan standar WHO, yaitu lebih pendek 12,5cm pada laki- laki
dan lebih pendek 9,8cm pada perempuan. Stunting ini dapat menimbulkan dampak
jangka pendek, di antaranya penurunan fungsi kognitif, penurunan fungsi kekebalan
tubuh, dan gangguan sistem metabolisme tubuh yang pada akhirnya dapat
menimbulkan risiko penyakit degeneratif, seperti diabetes melitus, jantung koroner,
hipertensi, dan obesitas. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan stunting
menjadi salah satu prioritas nasional guna mewujudkan cita-cita bersama yaitu
menciptakan manusia Indonesia yang tinggi, sehat, cerdas, dan berkualitas.
Remaja kurus atau kurang energi kronis (KEK)
Remaja yang kurus atau kurang energi kronis bisa disebabkan karena kurang
asupan zat gizi, baik karena alasan ekonomi maupun alasan psikososial misalnya
penampilan. Kondisi remaja KEK meningkatkan risiko berbagai penyakit infeksi dan
gangguan hormonal yang berdampak buruk di kesehatan. KEK dapat dicegah dengan
mengonsumsi makanan bergizi seimbang.
Kegemukan atau obesitas
Pola makan remaja yang tergambar dari data Global School Health Survey
tahun 2015, antara lain: tidak selalu sarapan (65,2%), sebagian besar remaja kurang
mengonsumsi serat sayur buah (93,6%) dan sering mengkonsumsi makanan berpenyedap
(75,7%). Selain itu, remaja juga cenderung menerapkan pola sedentary life, sehingga kurang
melakukan aktifitas fisik (42,5%). Hal-hal ini meningkatkan risiko seseorang menjadi gemuk,
overweight, bahkan obesitas. Obesitas meningkatkan risiko penyakit tidak menular seperti
hipertensi, penyakit kardiovaskuler, diabetes mellitus, kanker, osteoporosis dan lain-lain yang
berimplikasi pada penurunan produktivitas dan usia harapan hidup. Pada prinsipnya,
sebenarnya obesitas remaja dapat dicegah dengan mengatur pola dan porsi makan dan
minum, perbanyak konsumsi buah dan sayur, banyak melakukan aktivitas fisik, hindari
stress, dan cukup tidur.
Data WHO dari seluruh dunia menunjukkan bahwa sebanyak 178 juta anak
balita diperkirakan mengalami masalah terhambatnya pertumbuhan fisik dan otak
akibat menderita stunting. Perlu diketahui, stunting merupakan permasalahan gizi
kronis yang disebabkan oleh kekurangan gizi dalam kurun waktu yang lama akibat
asupan makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi. Biasanya masalah stunting
ini mulai terjadi saat bayi masih berada dalam kandungan dan akan mulai terlihat saat
anak menginjak usia dua tahun.
Mungkin sebagian dari kita masih asing dengan istilah stunting padahal
stunting harus diwaspadai terutama oleh ibu hamil dan anak balita. Anak-anak yang
menderita stunting akan mengalami pertumbuhan fisik yang lambat serta
perkembangan otak yang tidak maksimal. Hal ini berdampak pada kemampuan
mental dan belajar anak yang menjadi kurang maksimal. Bahkan prestasi belajar
mereka cenderung buruk dibandingkan anak lainnya. Efek jangka panjang stunting
adalah meningkatkan risiko hipertensi, diabetes, hingga kematian akibat infeksi.
Penyebab Stunting
Masalah stunting ini memang sangat menghantui para orang tua yang memiliki anak
usia balita. Stunting disebabkan oleh kombinasi beberapa factor yang berkembang
dalam jangka panjang, di antaranya:
1. Kekurangan gizi kronis dalam jangka panjang
2. Retardasi pertumbuhan intrauterine
3. Kebutuhan protein tidak tercukupi sesuai proporsi total kalori
4. Adanya perubahan hormon akibat stres
5. Sering mengalami infeksi pada awal kehidupan anak
Gejala Stunting
Untuk mengantisipasi terjadinya stunting pada buah hati sebaiknya kita mengetahui
gejala stunting sedini mungkin. Dengan demikian dapat dilakukan upaya
penyembuhan dan pencegahan agar tidak semakin parah dan membahayakan anak.
Gejala stunting yang perlu diketahui antara lain:
1.Anak memiliki tubuh lebih pendek dibandingkan anak seusianya
2.Proporsi tubuh yang cenderung nomal namun anak terlihat lebih kecil dari usianya
3.Berat badan yang rendah untuk anak seusianya
4.Pertumbuhan tulang anak yang tertunda
Pencegahan Stunting
Setelah memahami apa itu stunting, penyebab dan gejalanya, kita bisa melakukan
upaya pencegahan agar tidak terjadi pada buah hati kita. Berikut beberapa cara
pencegahan stunting.
1.Memenuhi kebutuhan gizi anak yang sesuai pada 1000 hari pertama kehidupan
anak.
2.Pemenuhan kebutuhan asupan nutrisi bagi ibu hamil.
3.Konsumsi protein pada menu harian untuk balita usia di atas 6 bulan dengan kadar
protein sesuai dengan usianya.
4.Menjaga kebersihan sanitasi dan memenuhi kebutuhan air bersih.
5.Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya stunting adalah dengan rutin membawa
buah hati anda untuk mengikuti posyandu minimal satu bulan sekali.
Anak-anak usia balita akan ditimbang dan diukur berat badan serta tingginya
sehingga akan diketahui secara rutin apakah balita tersebut mengalami stunting atau
tidak. Itulah penjelasan mengenai menciptakan generasi anti stunting yang perlu
diketahui oleh para orangtua. Dengan memperhatikan kebutuhan asupan nutrisi bua
hati sejak dalam kandungan hingga 1000 hari pertama kehidupan maka kita bisa
mencegah buah hati dari stunting. Sehingga anak- anak pun tumbuh dengan baik baik
secara fisik maupun mental.
K. LEMBAR SOAL
1. Jelaskan pengertian stunting?
2. Faktor apa saja yang mempengaruhi stunting?
3. Bagaimana cara pencgehan stunting?
4. Apa penyebab dari stunting?
5. Apa saja gejala stunting?
L. Jawaban
1. Stunting adalah kondisi tinggi badan seseorang yang kurang dari normal
berdasarkan usia dan jenis kelamin. Tinggi badan merupakan salah satu jenis
pemeriksaan antropometri dan menunjukkan status gizi seseoran.
2. Faktor Genetik, Status ekonomi, Jarak kelahiran, Riwayat BBLR, Anemia pada
ibu, Hygiene dan sanitasi lingkungan, dan Defisiensi zat gizi.
3.
Memenuhi kebutuhan gizi anak yang sesuai pada 1000 hari pertama
kehidupan anak.
Pemenuhan kebutuhan asupan nutrisi bagi ibu hamil.
Konsumsi protein pada menu harian untuk balita usia di atas 6 bulan
dengan kadar protein sesuai dengan usianya.
Menjaga kebersihan sanitasi dan memenuhi kebutuhan air bersih.
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya stunting adalah dengan
rutin membawa buah hati anda untuk mengikuti posyandu minimal satu
bulan sekali
4.
Kekurangan gizi kronis dalam jangka panjang
Retar dasi pertumbuhan intrauterine
Kebutuhan protein tidak tercukupi sesuai proporsi total kalori
Adanya perubahan hormon akibat stres
Sering mengalami infeksi pada awal kehidupan anak
5.
Anak memiliki tubuh lebih pendek dibandingkan anak seusianya
Proporsi tubuh yang cenderung nomal namun anak terlihat lebih kecil
dari usianya
Berat badan yang rendah untuk anak seusianya
Pertumbuhan tulang anak yang tertunda
Hari/ Tanggal :
Tema :
Gedung Atlanta Lt. 5 No. 28 Jl. Margonda Raya Pondok Cina-Depok 16424 Jawa Barat
Jl. Raya Lenteng Agung Rukan Tanjung Mas Raya Blok B1 No.7
Kel. Tanjung Barat Kec. Jagakarsa, Jakarta Selatan
Telp : (021) 27801509 / 27801261 / 27801235
Fax : (021) 27801529
Email : khj@khj.ac.id
Website : www.khj.ac.id