Anda di halaman 1dari 13

SATUAN ACARA PENYULUHAN

Topik : Stunting dan Moringa Oleifera


Sub Topik : Pencegahan stunting dengan moringa oleifera
Sasaran : Masyarakat Dusun IV, Desa Manusak
Hari/Tanggal : Selasa, 21 Juli 2020
Tempat : Rumah RW 04, Dusun IV
Waktu : 30 Menit
Penyuluh :

A. Tujuan
1. Tujuan Instruksi Umum
Setelah diberikan penyuluhan diharapkan sasaran dapat memahami
tentang pencegahan stunting dengan moringa oleifera
2. Tujuan Instruksi Khusus
Setelah diberikan penyuluhan selama 30 menit diharapkan sasaran dapat
menjelaskan :
 Definisi stunting
 Penyebab stunting
 Ciri-ciri stunting
 Dampak stunting
 Pencegahan stunting
 Pencegahan stunting dengan moringa oleifera
B. Materi
a. Definisi stunting
b. Penyebab stunting
c. Ciri-ciri stunting
d. Dampak stunting
e. Pencegahan stunting
f. Pencegahan stunting dengan moringa oleifera
C. Metode
Ceramah dan Tanya Jawab
D. Media
Leaflet
E. Evaluasi
 Apa pengertian stunting?
 Apa saja yang dapat menyebabkan stunting?
 Apa ciri-ciri anak stunting?
 Bagaimanakah pencegahan stunting dengan moringa oleifera?

F. Strategi Pelaksanaan
KEGIATAN

Tahap Kegiatan Edukasi Kegiatan Peserta Waktu


Pendahulua  Perkenalan Perkenalan 5 menit
n Penyampaian Tujuan &
media yang digunakan
Pelaksanaan  Pembahasan : Mendengar, 15 menit
a. Definisi stunting memperhatikan
b. Penyebab stunting
c. Ciri-ciri stunting
d. Dampak stunting
e. Pencegahan stunting
f. Pencegahan stunting
dengan moringa
oleifera

Tanya Memberi kesempatan Memberi pertanyaan 3 menit


Jawab kepada sasaran untuk kepada penyuluh
bertanya Mendengar dan
 Menjawab pertanyaan memperhatikan
Penutup Mengevaluasi dengan Menjawab pertanyaan 5 menit
mengajukan pertanyaan dengan benar dan
tepat
Mendengar dan mem- 2 menit
 Salam Penutup perhatikan

G. Rujukan

A, D, Krisnadi. (2015). Kelor Super Nutrisi. Jakarta: Pusat Informasi dan


Pengembangan Tanaman Kelor Indonesia
Budi, Setiawan. (2018). Faktor-Faktor Penyebab Stunting Pada Anak Usia
Dini. Bekasi: Yayasan Rumah Komunitas Kreatif

MATERI PENYULUHAN
1. Definisi
Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak balita akibat dari
kekurangan gizi kronis sehingga anak terlalu pendek untuk usianya.
Kekurangan gizi terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal
setelah bayi lahir, akan tetapi kondisi stunting ini nampak setelah bayi berusia
2 tahun. Balita pendek (stunted) dan sangat pendek (severely stunted) adalah
balita dengan panjang badan (PB/U) atau tinggi badan (TB/U) menurut
umurnya dibandingkan dengan standar baku WHO-MGRS (Multicentre
Growth Reference Study) (Setiawan, 2018).
Definisi stunting menurut Kementrian Kesehatan adalah anak balita stunted
apabila nilai z-scorenya kurang dari -2 SD (standar deviasi) dan severaly
stunted apabila kurang dari -3 SD. Stunting atau kerdil adalah kondisi dimana
balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan
dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan < - 2 SD
atau kurang dari minus dua standar deviasi, median standar pertumbuhan anak
dari WHO (Pusat Data & Informasi Kemenkes RI, 2018).
Pendek diidentifikasi dengan membandingkan tinggi seorang anak dengan
standar tinggi anak pada populasi yang normal sesuai dengan usia dan jenis
kelamin yang sama. Anak dikatakan pendek (stunting) jika tingginya berada
dibawah -2 SD dari standar WHO (Trihono, 2015).

Gambar 2.1 Gambaran anak normal dan anak stunting (TNP2K, 2017)
2. Penyebab Stunting
Stunting terutama disebabkan karena kekurangan gizi dan gangguan
kesehatan jangka panjang sebelum lahir dan atau setelah lahir. Pengaruh faktor
genetik dalam kejadian stunting hanya berperan sekitar 20-30% (Setiawan,
2018). Beberapa penyebab stunting :
1. Stunting disebabkan oleh asupan gizi anak yang tidak tercukupi, biasanya
sudah terjadi sejak dalam kandungan ketika ibu hamil kurang mendapat
asupan gizi yang berkualitas, serta kurang pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan, serta setelah ibu
melahirkan.
2. Kondisi stunting bisa juga terjadi ketika asupan gizi kurang baik saat anak
masih dibawah dua tahun. Asupan gizi yang baik sejak masa dalam
kandungan ditambah dua tahun pertama atau 1000 hari pertama anak
sangat penting.
3. Pemberian air susu ibu (ASI) tidak lancar dan makanan pendamping ASI
(MPASI) kurang berkualitas dapat menyebabkan stunting.
4. Masih kurangnya akses ke makanan bergizi, hal ini dikarenakan harga
makanan bergizi yang masih tergolong mahal (faktor ekonomi).
5. Kurangnya akses ke air bersih dan sanitasi.
Stunting disebabkan oleh faktor multidimensi, tidak hanya disebabkan oleh
faktor gizi buruk. Intervensi yang paling tepat untuk dapat menurunkan
prevalensi stunting perlu dilakukan pada 1000 hari pertama kehidupan.
Menurut Kemenkes & Bank Dunia (2017), beberapa faktor penyebab
digambarkan sebagai berikut :
1. Praktek pengasuhan yang kurang baik, termasuk kurang pengetahuan ibu
mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta
setelah ibu melahirkan. Beberapa fakta dan informasi yang ada
menunjukkan bahwa 60% dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan air
susu ibu (ASI) secara eksklusif, dan 2 dari 3 anak tidak mndapatkan
makanan pendamping air susu ibu (MP-ASI), yang harus mulai
diperkenalkan ketika bayi berusia diatas 6 bulan, selain berfungsi untuk
mengenalkan jenis makanan baru bagi bayi, MP-ASI juga berfungsi
mencukupi kebutuhan nutrisi tubuh bayi yang tidak lagi dapat disokong
oleh ASI, serta dapat membentuk daya tahan tubuh dan perkembangan
sistem imunologis anak terhadap makanan maupun minuman (Setiawan,
2018).
2. Masih terbatasnya akses ke pelayanan ANC (Antenatal Care), PNC (Post
Natal Care) dan pembelajaran dini yang berkualitas. Informasi yang
dikumpulkan dari publikasi Kemenkes dan Bank Dunia menyatakan
bahwa tingkat kehadiran anak di posyandu semakin menurun dari 79% di
2007 menjadi 64% di 2013 dan anak belum mendapat akses yang memadai
ke layanan imunisasi. Fakta lain adalah 2 dari 3 ibu hamil belum
mengkonsumsi suplemen besi yang memadai serta masih terbatasnya
akses ke layanan pembelajaran dini yang berkualitas (Setiawan, 2018).
3. Masih kurangnya akses keluarga/rumah tangga ke makanan bergizi, hal ini
dikarenakan harga makanan bergizi di Indonesia masih tergolong mahal,
menurut beberapa sumber (Riskesdas 2013 dan SDKI 2012), komoditas
makanan di Jakarta 94% lebih mahal, serta harga buah dan sayuran yang
mahal, sehingga terbatasnya akses ke makanan bergizi di Indonesia juga
dicatat telah berkontribusi pada 1 dari 3 ibu hamil yang mengalami anemia
(Setiawan, 2018).
4. Kurang air bersih dan sanitasi
Data yang diperoleh dilapangan menunjukkan bahwa 1 dari 5 rumah
tangga di Indonesia masih buang air besar (BAB) diruang terbuka, serta 1
dari 3 rumah tangga belum memiliki akses ke air minum bersih (Setiawan,
2018).
Menurut Direktur Gizi Masyarakat Ir. Doddy (2018), tentang peran
Kementrian Kesehatan terhadap permasalahan stunting, ada beberapa
determinan penting pada stunting, yaitu :
1. Bayi tidak diberi ASI Eksklusif
2. Kelahiran prematur
3. Bayi lahir pendek
4. Kurangnya akses ke pelayanan kesehatan
5. Ibu yang berpostur pendek
6. Pendidikan ibu yang rendah
7. Status sosio-ekonomi rumah tangga yang rendah
8. Akses jamban dan air minum yang tidak memadai
3. Ciri – Ciri Stunting
Berdasarkan survey Kementrian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (2017), ciri-ciri stunting pada anak yaitu :
1. Tanda pubertas terlambat
2. Performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar
2. Pertumbuhan gigi terlambat
3. Usia 8-10 tahun anak menjadi lebih pendiam, tidak banyak melakukan eye
contact
4. Pertumbuhan melambat
5. Wajah tampak lebih muda dari usianya

4. Dampak Stunting
Menurut WHO, dalam (Pusat Data & Informasi kemenkes RI, 2018),
dampak yang ditimbulkan stunting dibagi menjadi dampak jangka pendek dan
jangka panjang.
1. Dampak jangka pendek
a. Peningkatan kejadian kesakitan dan kematian
b. Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal
c. Peningkatan biaya kesehatan
2. Dampak jangka panjang
a. Postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek
dibandingkan pada umumnya)
b. Meningkatnya resiko obesitas dan penyakit lainnya
c. Menurunnya kesehatan reproduksi
d. Kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa
sekolah
e. Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal
Dampak buruk stunting yaitu terjadi gangguan jumlah, kualitas dan
kerusakan sel, jaringan dan organ tubuh (gangguan tumbuh kembang),
gangguan jumlah, kualitas dan kerusakan sel, jaringan atau organ yang sulit
diperbaiki dan gangguan kemampuan belajar, mudah terkena infeksi dan sakit
serta pendek usia (Setiawan, 2018).
Menurut Direktur Gizi Masyarakat Ir. Doddy (2018), tentang peran
Kementrian Kesehatan terhadap permasalahan stunting, ada beberapa pada
dampak dari stunting yaitu 3G :
1. Gagal tumbuh : berat lahir rendah, kecil, pendek, kurus, daya tahan
rendah, mudah sakit
2. Gagal kembang : gangguan kognitif, lambat menyerap pengetahuan, nilai
sekolah dan keberhasilan pendidikan menurun
3. Gangguan metabolisme : beresiko gemuk dan terkena penyakit tidak
menular
5. Pencegahan Stunting
Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals
(SDGs) yang termasuk tujuan pembangunan untuk menghilangkan kelaparan
dan segala bentuk malnutrisi. Berdasarkan peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia
Sehat Dengan Pendekatan Keluarga, upaya yang dilakukan untuk menurunkan
prevalensi stunting diantaranya sebagai berikut :
1. Ibu hamil dan bersalin
a. Intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan
b. Mengupayakan jaminan mutu antenatal care terpadu
c. Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan
d. Menyelenggarakan program pemberian makan tinggi kalori, protein,
dan mikronutrien (TKPM)
e. Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular)
f. Pemberantasan cacingan
g. Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) kedalam
buku KIA
h. Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusui Dini (IMD) dan ASI
eksklusif
i. Penyuluhan dan pelayanan KB
2. Balita
a. Pemantauan pertumbuhan balita
b. Menyelenggarakan pemberian makanan tambahan untuk balita
c. Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak
d. Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal
3. Anak usia sekolah
a. Melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)
b. Menguatkan kelembagaan tim pembina UKS
c. Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS)
d. Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba
4. Remaja
a. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok dan tidak mengkonsumsi narkoba
b. Pendidikan kesehatan reproduksi
5. Dewasa muda
a. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB)
b. Deteksi dini penyakit menular dan tidak menular
c. Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak
merokok/mengkonsumsi narkoba
6. Pencegahan stunting dengan moringa oleifera
Salah satu penyebab stunting adalah faktor gizi buruk, faktor ini
bisa berhubungan langsung dengan ketahanan pangan keluarga yang
merupakan faktor yang mempengaruhi dan menentukan kualitas dan
kuantitas makanan dengan jumlah dan mutu yang memadai. Akibat gizi
yang tidak seimbang menyebabkan Kurang Energi Protein (KEP), kurang
vitamin A, gangguan akibat kekurangan yodium dan anemia gizi besi.
Masalah gizi kronis yang berlangsung lama dalam hal ini masalah stunting
sangat penting untuk dilakukan penanganan dan pencegahan dengan
memberikan asupan nutrisi tambahan.
Asupan nutrisi tambahan bisa didapat dari daun kelor (moringa)
yang mengandung zat-zat gizi yang berlimpah, seperti 4 kali lipat vitamin
A pada wortel, vitamin C 7 kali lebih tinggi dari jeruk, sedangkan daun
segar mengandung 220 mg vitamin C, jika dengan pemberian makan yang
dicampur dengan daun kelor maka sama dengan mengkonsumsi bahan
makanan kaya gizi. Daun kelor di Asia dan Afrika direkomendasikan
sebagai suplemen yang kaya zat gizi untuk ibu menyusui dan anak pada
masa pertumbuhan, dimana salah satu penyebab stunting adalah faktor gizi
ibu hamil (Mauliyah, 2016).
Daun kelor di Filipina sangat terkenal dan dapat berfungsi
meningkatkan jumlah produksi ASI pada ibu menyusui sehingga
mendapat julukan Mother’s Best Friendl, hal ini disebabkan karena daun
kelor mengandung unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan oleh ibu
hamil, seperti beta carotene, thiamin (B1), Riboflavin (B2), niacin (B3),
kalsium, zat besi, fosfor, magnesium, seng, dan vitamin C, sebagai
alternatif untuk meningkatkan status gizi ibu hamil (Syarifah, 2015).
Daun kelor dapat digunakan sebagai bahan perangsang ASI,
disebabkan karena daun kelor dapat meningkatkan produksi ASI karena
daun kelor mengandung fitosterol yang dapat meningkatkan produksi ASI
bagi wanita yang sedang menyusui dan mengatasi masalah anemia pada
anak-anak dan ibu hamil. Ekstrak daun kelor mengandung Fe 5,49 mg/100
g, sitosterol 1,15%/100 g dan stigmasetol 1,52 %/100 g, serta kelor
mengandung zat besi yang menjadi kebutuhan ibu hamil dan ibu menyusui
untuk asupan zat besi yang cukup (Sormin & Nuhan, 2018).
Menurut standar WHO jumlah kandungan gizi pada daun kelor
memenuhi kebutuhan gizi harian bagi anak-anak sebesar 42% protein, 125
% calcium, 61% magnesium, 41% potassium, 71% zat besi, 310% vitamin
A, dan 22% kebutuhan vitamin C harian, serta kebutuhan ibu hamil
sebesar 21% protein, 84% calcium, 54% magnesium, 22% potassium,
94% zat besi, 162% vitamin A, dan 9% kebutuhan vitamin C harian
(Kusnadi, 2015).
Salah satu intervensi penanganan stunting adalah pemberian
makanan tambahan dengan konsumsi daun kelor. Hasil riset ilmiah
modern membuktikan bahwa daun kelor adalah salah satu sumber pangan
nabati yang kaya akan kandungan gizi karhohidrat, protein, vitamin dan
mineral, sehingga salah satu pencegahan dan penanganan stunting adalah
dengan menambahkan daun kelor kedalam makanan yang akan
dikonsumsi. Konsentrasi protein, mineral dan berbagai vitamin serta asam
amino yang tinggi pada daun kelor menjadikan ibu hamil, ibu menyusui
dan anak memperoleh kebutuhan gizi yang ideal (Hidayatus, 2017). CWS
(Church World Services) suatu lembaga yang mensponsori penelitian
mengenai pohon kelor secara intensif, telah merekomendasikan
penggunaan daun kelor sebagai nutrisi tambahan bagi ibu dan anak dengan
cara menambahkan satu sendok atau lebih daun kelor kedalam makanan
sebelum disajikan (Hidayatus, 2017).
Daun kelor (moringa oleifera) memiliki asupan gizi yang tinggi.
Tanaman kelor mengatasi malnutrisi (kekurangan gizi) bagi anak-anak dan
ibu-ibu hamil atau menyusui. Daun kelor memiliki dampak positif terbesar
bagi anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui, terlebih dibutuhkan oleh
anak stunting dan dianjurkan untuk mengkonsumsi tiga sendok makan 25
g serbuk daun kelor setiap hari dan ibu hamil atau ibu menyusui harus
mengkonsumsi 6 sendok makan 50 g (Kusnadi, 2015).
Pemanfaatan daun kelor sebagai asupan gizi untuk mengatasi
malnutrisi terutama bagi balita, ibu hamil dan ibu menyusui, daun tanaman
kelor dapat dikonsumsi dalam kondisi segar, dimasak atau disimpan dalam
bentuk tepung selama beberapa bulan tanpa pendinginan dan tanpa terjadi
kehilangan nilai gizi. Proses pengolahan daun kelor menjadi tepung akan
dapat meningkatkan nilai kalori, kandungan protein, kalsium, zat besi dan
vitamin A. Hal ini disebabkan karena pada saat proses pengolahan daun
kelor menjadi tepung akan terjadi pengurangan kadar air yang terdapat
dalam daun kelor.
Selain pemanfaatan secara tradisional, daun tanaman kelor dapat
dikembangkan menjadi produk pangan modern seperti tepung kelor,
kerupuk kelor, kue kelor, dan teh daun kelor. Hal ini didukung oleh hasil
penelitian Rudianto et all, (2014) bahwa produk biskuit moringa oleifera
memenuhi standar SNI pembuatan biskuit dan dapat dikonsumsi untuk
memenuhi kebutuhan gizi serta dapat dipertimbangkan sebagai suplemen
nutrisi untuk kasus malnutrisi. Daun kelor dapat dicampur dengan bahan
lain menjadi tepung komposit yang terbuat dari kedelai, kacang hijau,
bayam merah, dan daun kelor yang memiliki kandungan protein dan
energi yang memadai untuk dijadikan bahan dasar produk diet tinggi
kalori, tinggi protein (Hidayatus, 2017).
Daun tanaman kelor dimanfaatkan sebagai sayuran untuk menu
sehari-hari, daun yang masih segar dipetik dan langsung dimasak dalam
bentuk sayur bening, bisa dicampur dengan santan, kacang hijau, terong,
daun kemangi dan dihidangkan dengan nasi untuk menu sehari-hari, dan
dikonsumsi dengan batas tidak boleh lebih dari 4 jam setelah dipetik dan
dimasak tidak boleh dalam waktu yang lama karena akan menghancurkan
beberapa vitamin yang terkandung didalam daun kelor, sehingga ibu bisa
mengimplementasikan pengolahan daun kelor untuk konsumsi dirumah
tangga sehari-hari (Wahyudi, 2017).

Anda mungkin juga menyukai