Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Masalah dalam Kebidanan Komunitas”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kebidanan Komunitas
II.Adapun makalah ini telah kami usahakan semaksimal mungkin dan tentunya dengan
bantuan berbagai pihak, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk
itu kami tidak lupa menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam pembuatan makalah ini.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusunan bahasanya maupun segi lainnya. Oleh karena itu dengan
lapang dada dan tangan terbuka kami membuka selebar-lebarnya bagi pembaca yang
ingin memberi saran dan kritik kepada kami sehingga kami dapat memperbaiki makalah
ini.

P
adng,12septm
br2019

penyus
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Kebidanan berasal dari perawatan yang diberikan kepada ibu melahirkan oleh ibu
lain dari komunitas atau keluarganya sendiri. Walaupun profesionalisasi kebidanan
dengan registrasi bidan sudah ada, sebagian besar berdasarkan pada
komunitas.Mayoritas persalinan dirumah, dengan perbandingan antara persalinan
di rumah sakit mengalami perubahan selama setengah abad terakhir. Hal ini
menyebabkan terjadinya pemisahan antara kebidanan di rumah sakit dan kebidanan
komunitas,ketika bidan berada di rumah sakit, mereka diorganisasikan berdasarkan
model asuhan kebianan,oleh karena itu perawatan yang diberikan semakin terpecah-
pecah.
Selain itu, karena asuhanmaternitas menjadi semakin bersifat teknis dan
medis,semakin sulit pula bagi bidan untuk bidan berpraktik secara otonom.
Akibatnya, potensi terciptanya hubungan yang kontinu antara bidan dan ibu semakin se
dikit, dan kemampuan bidan untuk menggunakan semua keterampilan dan
pengetahuannya dan menatalaksanakan perawatan juga semakin kecil(Frase M Diane
and Cooper A Margaret, 2009).
Masalah kerusakan lingkungan hidup manusia di bumi telah diketahui secara umum
dan berdampak merugikan kesehatan ibu dan bayi sehingga mengakibatkan
kematian.Masalah kebidanan komunitas terdiri dari kematian ibu dan bayi, kehamilan
remaja, unsafe abortion, berat badan lahir rendah (BBLR), tingkat kesuburan, asuhan
antenatal (ANC)yang kurang di komunitas, pertolongan persalinan non-
kesehatan,sindrom
pramenstruasi, perilaku dan social budaya yang berpengaruh pada pelayanan kebidanan
yangkomprehensif dan menyeluruh kepada semua lapisan masyarakat. Bidan dapat
mengetahuikebutuhan pelayanan kebidanan (Syafrudin, 2009).
Faktor yang mempengaruhi kesehatan ibu dan anak sangat luas dan rumit.Dampaknya
muncul jauh sebelum kehamilan dan akan terus berlanjut setelah pemulanganwanita dari
layanan maternitas. Oleh karena itu, layanan kesehatan komunitas dan
social berperan penting dalam siklus kehidupan keluarga di banyak
masyarakat (Frase M Dianeand Cooper A Margaret, 2009).
Menurut McCharty dan Maine (1992) dalam kerangka konsepnya
mengemukakan bahwa peran determinan sebagai landasan yang melatarbelakangi dan
menjadi penyebablangsung dan tidak langsung dari identifikasi kematian ibu dan bayi,
kehamilan remaja,unsafe abortion, BBLR, dan tingkat kesuburan yang ada di komunitas
(Syafrudin, 2009).
Setiap menit, setiap hari, dimanapun di dunia, seorang ibu meninggal dunia
akibatkomplikasi yang muncul selama masa hamil dan persalinan, sebagian besar
kematian initidak bisa dihindari (Varney et al, 2007).
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. MASALAH KEBIDANAN DI KOMUNITAS


1. Kematian Ibu dan Bayi
1.1. Kematian ibu
Kematian ibu adalah jumlah kematian ibu pada masa kehamilan, melahirkan
dan nifas per 100.000 kelahiran hidup.Kematian ibu adalah kematian yang terjadi
pada ibu selama masa kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya
kehamilan,tanpa melihat usia dan lokasi kehamilan oleh setiap penyebab yang
berhubungan dengan atau diperberat oleh kehamilan atau penanganannya tetapi
bukan oleh kecelakaan atau incidental (faktor kebetulan).
AKI tersebut sudah jauh menurun, namun masih jauh dari target yang
diharapkan. Sedangkan untuk target SDGs AKI yaitu sebesar 70/100.000 KH
Angka kematian ibu dikatakan masih tinggi karena Jumlah kematian ibu yang
meninggal mulai saat hamil hingga 6 minggu setelah persalinan per 100.000
persalinan tinggi.
Angka kematian ibu tinggi adalah angka kematian yang melebihi dari angka
target nasional. Tingginya angka kematian, berarti rendahnya standar kesehatan dan
kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan, dan mencerminkan besarnya masalah
kesehatan.
Menurut MDG‟s tahun 2015, target untuk AKI yaitu sebesar 102/100.000
KH. Menurut SDKI tahun 2012 angka kematian ibu masih tinggi mencapai 359 per
100.000 KH. Kematian ibu disebabkan oleh :
1.1.1. Penyebab tidak langsung
a. Perdarahan(42%)
b. tekanan darah yang tinggi saat hamil (eklampsia) (13%)
c. Infeksi(10%)
d. persalinan macet dan komplikasi keguguran(11%)
e. Keterlambatan pengambilan keputusan di tingkat keluarga
1.1.2. Penyebab tidak langsung.
a. Pendidikan ibu-ibu terutama yang ada di pedesaan masih rendah.
b. Sosial ekonomi dan sosial budaya Indonesia yang mengutamakan bapak
dibandingkan ibu.
c. “4 terlalu” dalam melahirkan, yaitu terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering
dan terlalu banyak.
d. “3 terlambat”, yaitu terlambat mengambil keputusan, terlambat untuk
dikirim ke tempat pelayanan kesehatan dan terlambat mendapatkan
pelayanan kesehatan.

1.2. Kematian bayi


Angka Kematian Bayi merupakan salah satu indikator yang sangat penting untuk
mengukur keberhasilan program berbagai penyebab kematian maupun program
kesehatan ibu dan anak sebab angka kematian bayi ini berkaitan erat dengan tingkat
kesehatan ibu dan anak.Adapun target Angka Kematian Bayi menurut MDG‟s tahun
2015 adalah 23/1.000 kelahiran hidup.
Kematian bayi adalah kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi
belum berusia tepat 1 tahun. Berdasarkan perhitungan BPS tahun 2007 sebesar 27/1000
kelahiran hidup. Adapun target AKB pada SDG’s 2030 sebesar 12/1000 kelahiran
hidup. Penyebab kematian bayi meliputi :
1.2.1. Gangguan perinatal (34,7%)
1.2.2. Sistem pernapasan (27,6 %)
1.2.3. Diare (9,4%)
1.2.4. Sistim pencernaan (4,3%)
1.2.5. Tetanus (3,4%)
Sedangkan penyebab langsung kematian bayi adalah :
a. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR)
b. kekurangan oksigen (asfiksia).
c. hipotermia (kedinginan)
d. imaturitas
e. infeksi.
f. Trauma kelahiran
g. Cacat bawaan/kelainan kongenital
h. Penyakit yang berhubungan dengan prematuritas dan dismaturitas.
1.3. Upaya Memperbaiki AKI dan AKB
1.3.1. AKI
a. Pencegahan
 Keluarga berencana.
 Pemeriksaan kehamilan dan pelayanan rujukan.
 Perbaikan pelayanan gawat darurat
 Perbaikan jaringan pelayanan kesehatan
1.3.2. AKB
 Perbaikan keadaan social dan ekonomi.
 Kerjasama yang erat antara ahli obstetri, ahli kesehatan anak, ahli kesehatan
masyarakat, dokter umum, dan perawat kesejahteraan ibu dan anak.
 Pemeriksaan postmortem terhadap sebab-sebab kematian perinatal.
 Pendaftaran kelahiran dan kematioan janin serta kematian bayi secara
sempurna.
 Perbaikan kesehatan ibu dan pengawasan antenatal yang baik, antara lain
memperbaiki keadaan gizi ibu dan menemukan high risk mothers untuk
dirawat dan diobati.
 Ibu dengan high risk pregnancy hendaknya melahirkan di rumah sakit yang
mempunyai fasilitas yang cukup.
 Perbaikan teknik diagnosis gawat-janin.
 Persediaan tempat perawatan yang khusus untuk berat-badan lahir rendah.
 Perbaikan resusitasi bayi yang lahir dengan asfiksia dan perbaikan dalam
teknik perawatan bayi baru lahir terutama bayi premature.
 Penyelidikan sebab-sebab intrauterine undernutrition.
 Pencegahan infeksi secara sungguh-sungguh, dll.

2. Kehamilan Remaja
2.1. Pengertian
Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada remaja yang berumur di
bawah 17 tahun. Kehamilan remaja merupakan masalah sosial masyarakat dan
masalah dalam bidang obstetri. (Kepaniteraan Klinik Obstetri dan Ginekologi: 44).
Kehamilan remaja adalah kehamilan yang terjadi pada wanita usia antara 14 –
19 tahun baik melalui proses pra nikah atau nikah. Menurut ciri-ciri
perkembangannya, masa remaja di bagi menjadi tiga tahap yaitu masa remaja awal
10-12 th, masa remaja tengah 13-15 th, masa remaja akhir 16-19 th (Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, 2001)
2.2. Dampak-dampak Kehamilan pada Remaja
2.2.1. Faktor psikologis yang belum matur
a. Alat reproduksinya masih belum siap menerima kehamilan sehingga dapat
menimbulkan berbagai bentuk komplikasi
b. Remaja berusia muda yang sedang menuntut ilmu akan mengalami putus
sekolah sementara atau seterusnya, dan dapat kehilangan pekerjaan yang baru
dirintisnya
c. Perasaan tertekan karena mendapat cercaan dari keluarga, teman, atau
lingkungan masyarakat.
d. Tersisih dari pergaulan karena dianggap belum mampu membawa diri
e. Mungkin kehamilannya disertai kecanduan obat-obatan, merokok, atau
minuman keras
2.2.2. Faktor fisik
a. Mungkin kehamilan ini tidak diketahui siapa ayah sebenarnya
b. Kehamilan dapat disertai penyakit hubungan seksual sehingga memerlukan
pemeriksaan ekstra yang lebih lengkap
c. Tumbuh kembang janin yang belum matur dapat menimbulkan abortus,
persalina prematur, dapat terjadi komplikasi penyakit yang telah lama
dideritanya.
d. Saat persalinan sering memerlukan tindakan medis operatif
e. Hasil janin mengalami kelainan kongenital atau BBLR
f. Kematian maternal dan pernatal pada kehamilan remaja lebih tinggi
dibandingkan dengan usia reproduksi sehat (20-35 tahun).
2.3. Langkah-langkah untuk mengendalikan masalah kehamilan remaja adalah sebagai
berikut.
2.3.1. Sebelum terjadi Kehamilan
a. Menjaga kesehatan reproduksi dengan jalan melakukan hubungan seksual
yang bersih dan aman.
b. Menghindari multipartner (umumnya sulit dihindari)
c. Menggunakan alat kontrasepsi, diantaranya kondom, pil, dan suntikan
sehingga terhindar dari kehamilan yang tidak diinginkan
d. Memberi pendidikan seksual sejak dini
e. Meningkatkan iman dan taqwa kepada Tuhan YME sesuai ajaran agama
masing-masing
f. Segera setelah hubungan seksual menggunakan KB darurat penginduksi
haid atau misoprostol dan lainnya.
g. Setelah terjadi kehamilan. Setelah terjadi konsepsi sampai nidasi,
persoalannya makin sulit karena secara fisik hasil konsepsi dan nidasi
mempunyai beberapa ketetapan sebagai berikut.
h. Hasil konsepsi dan nidasi merupakan hak untuk hidup dan mendapatkan
perlindungan

3. Unsafe Abortion
3.1. Pengertian
Unsafe abortion adalah pengguguran kandungan yang dilakukan dengan tindakan
yang tidak steril serta tidak aman secara medis. Peran bidan dalam menangani unsafe
abortion adalah memberikan penyuluhan pada klien tentang efek-efek yang ditimbulkan
dari tindakan unsafe abortion. Jika terminasi kehamilan dilakukan secara illegal maka
akan mengakibatkan perdarahan, trauma, infeksi dengan mortalitasnya 1/3 AKI serta
adanya kerusakan fungsi alat reproduksi. Dampak jangka panjang dari terminasi
kehamilan yang illegal adalah PID/penyakit radang panggul yang menahun, infertilitas
dan kehamilan ektopik terganggu/KET.
WHO memperkirakan di seluruh dunia setiap tahun terjadi 20 juta kejadian aborsi
yang tidak aman (unsafe abortion) (WHO, 1998). Sekitar 13% dari jumlah total
kematian ibu di seluruh dunia diakibatkan oleh komplikasi aborsi yang tidak aman. 95%
(19 dari setiap 20 tindak aborsi tidak aman) di antaranya terjadi di negara-negara
berkembang (Safe Motherhood 200; 28(1)).
Di Indonesia diperkirakan sekitar 2-2,5 juta kasus gugur kandung terjadi setiap
tahunnya. Sebagian besar masih dilakukan secara sembunyi sehingga menimbulkan
berbagai bentuk komplikasi ringan sampai meninggal dunia.Sekalipun UU kesehatan
No. 23 tahun 1992 telah ada tetapi masih sulit untuk dapat memenuhi
syaratnya.Pelaksanaan gugur kandung yang lebih liberal akan dapat meningkatkan
sumber daya manusia karena setiap keluarga dapat merencanakan kehamilan pada saat
yang optimal. Akibat beratnya syarat yang harus dipenuhi dari UU Kesehatan No. 23
Tahun 1992, masyarakat yang memerlukan terminasi kehamilan akhirnya mencari jalan
pintas dengan minta bantuan dukun dengan risiko tidak bersih dan tidak aman.
Pertolongan terminasi kehamilan yang dilakukan secara illegal/sembunyi dengan
fasilitas terbatas, dan komplikasinya sangat besar (yaitu perdarahan-infeksitrauma) dan
menimbulkan mortalitas yang tinggi. Terminasi kehamilan yang tidak dikehendaki
merupakan fakta yang tidak dapat dihindari sebagai akibat perubahan perilaku seksual
khususnya remaja, sehingga memerlukan jalan pemecahan yang rasional dan dapat
diterima masyarakat.
Untuk memenuhi kebutuhan remaja dapat dilakukan upaya promotif dan
preventif dengan memberikan pendidikan seksual yang sehat, termasuk menghindari
kehamilan, menyediakan metode KB khusus untuk remaja,memberikan penjelasan
tentang KB darurat dan menyediakan sarana terminasi kehamilan. Menyediakan sarana
terminasi kehamilan dianggap menjunjung hak asasi manusia karena menentukan nasib
kandungan merupakan hak asasi perempuan. Tempat yang memenuhi syarat terminasi
kehamilan sesuai dengan UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 hanya rumah sakit
pemerintah sehingga pelaksanaan terminasi kehamilan berjalan bersih dan aman dengan
tujuan fungsi dan kesehatan reproduksi remaja dipertahankan.
3.2. Alasan Wanita Tidak Menginginkan Kehamilannya
a. Alasan kesehatan, dimana ibu tidak cukup sehat untuk hamil.
b. Alasan psikososial, dimana ibu tidak sendiri tidak punya anak lagi.
c. Kehamilan di luar nikah.
d. Masalah ekonomi, menambah anak akan menambah beban ekonomi.
e. Masalah sosial, misalnya khawatir adanya penyakit turunan.
f. Kehamilan yang terjadi akibat perkosaan.
g. Kegagalan pemakaian alat kontrasepsi.
3.3. Ciri – Ciri Unsafe Abortion
a. Dilakukan oleh tenaga medis atau non medis
b. Kurangnya pengetahuan baik pelaku ataupun tenaga pelaksana
c. Kurangnya fasilitas dan sarana
d. Status ilegal
3.4. Dampak
a. Dampak sosial : Biaya lebih banyak, dilakukan secara sembunyi - sembunyi.
b. Dampak kesehatan : Bahaya bagi ibu bisa terjadi perdarahan dan infeksi.
c. Dampak psikologis : Trauma
3.5. Peran Bidan Dalam Mencegah Unsafe Abortion
a. Sex education
b. Bekerja sama dengan tokoh agama dalam pendidikan keagamaan
c. Peningkatan sumber daya manusia,Penyuluhan tentang abortus dan bahayanya.
4. Berat Badan Lahir Rendah (BBLR)
4.1. Pengertian
Istilah premature telah diganti menjadi Berat Badan Lahir Rendah oleh WHO
sejak 1960, hal ini dikarenakan tidak semua bayi dengan berat kurang dari 2500
gram pada waktu lahir adalah bayi yang premature (Budjang RF, 1999).
Menurut Saifuddin (2001) Bayi Berat Lahir Rendah ialah bayi baru lahir yang
berat badannya saat lahir kurang dari 2500 gram (sampai dengan 2499
gram).Menurut Depkes RI (1996) Bayi Berat Lahir Rendah ialah bayi yang lahir
dengan berat lahir 2500 gram atau kurang, tanpa memperhatikan lamanya kehamilan
ibunya.
4.2. Klasifikasi
Dari pengertian tersebut bayi BBLR dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu :
4.2.1. Prematuritas Murni : Masa gestasinya kurang dari 37 minggu dan berat
badannya sesuai dengan berat badan untuk masa gestasi itu atau biasa
disebut neonatus kurang bulan sesuai masa kehamilan (NKB-SMK).
4.2.2. Dismaturitas : Bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan
seharusnya untuk masa gestasi itu. Berarti bayi mengalami retardasi
pertumbuhan intrauterine dan merupakan bayi yang kecil untuk masa
kehamilannya. (Alatas dan Hasan, 1985).

Menurut Saifuddin, AB (2002 : 376), BBLR dibedakan dalam


a. Bayi berat lahir rendah (BBLR), berat lahir 1500 – 2500 gr
b. Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR), berat lahir < 1500 gr
c. Bayi berat lahir ekstrim rendah (BBLER), berat lahir < 1000gr.
4.3. Etiologi Bayi Berat Lahir Rendah

Menurut manuaba, IBG (1998 : 326), factor yang dapat menyebabkan


terjadinya persalinan preterm / BBLR adalah :
4.3.1. Dari ibu

a. Toksemia gravidarum yaitu pre eklamsia


b. Kelainan bentuk uterus (uterus bikornis, inkompeten servik)
c. Tumor (mioma uteri)
d. Ibu yang menderita penyakit, antara lain :
 Akut dengan gejala panas tinggi (tyfus abdominalis, malaria)
 Kronis (TBC, penyakit jantung, gromerulonefritis)
 Trauma pada masa kehamilan antara lain trauma fisik maupun trauma
psikologis (stres)
 Usia ibu saat hamil < 20 tahun / > 35 tahun
 Plasenta (plasenta previa, solusi plasenta)
4.3.2. Dari janin

a. Inkontabilitas darah ibu dan janin


b. Insufisiensi plasenta
c. Infeksi (TORCH)
d. Cacat bawaan
e. KPD dan hidramnion
f. Gemeli
4.4. Tanda dan Gejala BBLR

Secara umum, gambaran klinis dari bayi BBLR adalah sebagai berikut :
a. Berat kurang dari 2500 gr
b. Panjang kurang dari 45cm
c. Lingkar dada kurang dari 30cm
d. Lingkar kepala kurang dari 33cm
e. Umur kehamilan kurang dari 37 minggu
f. Kepala lebih besar
g. Kulit tipis, transparan, rambut lanugo banyak, lemak kurang.
h. Otot hipotonik lemah
i. Pernapasan tak teratur dapat terjadi apnea
j. Ektremitas : paha abduksi, sendi lutut/kaki fleksi-lurus
k. Kepala tidak mampu tegak
l. Pernapasan 40-50 kali/menit
m. Nadi 100-140 kali/menit
4.5. Penanganan Bayi Berat Lahir Rendah
4.5.1. Mempertahankan suhu dengan ketat
4.5.2. Bayi Berat Lahir Rendah mudah mengalami hipotermia, oleh sebab itu
suhu tubuhnya harus dipertahankan dengan ketat.
4.5.3. Mencegah infeksi dengan ketat Dalam penanganan Bayi Berat Lahir
Rendah harus memperhatikan prinsip-prinsip pencegahan infeksi karena
sangat rentan. Salah satu cara pencegahan infeksi yaitu dengan mencuci
tangan sebelum memegang bayi.
4.5.4. Pengawasan nutrisi/ASI
4.5.5. Refleks menelan dari bayi dengan berat lahir rendah belum sempurna
oleh karena itu.
4.5.6. pemberian nutrisi harus dilakukan dengan cermat.
4.5.7. penimbangan ketat

5. Tingkat kesuburan
Tingkat kesuburan yg mana sumbernya adalah PUS (pasangan usia subur)
merupakan salah satu masalah kebidanan komunitas yang perlu mendapatkan
perhatian karena dengan tingginya tingkat fertilitas tanpa diiringi oleh tingkat
pengetahuan sistem reproduksi akan meningkatkan AKI & AKB.
Pada pasangan infertilitas dan perubahan perilaku seksual dapat mengakibatkan
fungsi tuba fallopii berkurang maka dapat dilakukan :
5.1. Jika terjadi fibrosis fimbriae maka dengan tuboplasi kemungkinan berhasil 10%.
5.2. Jika Assisted Reproductive Technologi dilakukan dengan :
a. Pada tuba yang baik dapat dilakukan GIFT atau ZIFT
b. Pada tuba yang tidak berfungsi dapat dilakukan : konsepsi di luar diikuti
dengan nidasi, surrowgate mother, atau dengan nidasi dalam akuarium.
5.3. Pengertian infertilitas
Infertilitas adalah kegagalan dari pasangan suami-istri untuk
mengalami kehamilan setelah melakukan hubungan seksual, tanpa kontrasepsi, selama
satu tahun (Sarwono,497).
Ketidaksuburan (infertil) adalah suatu kondisi dimana pasangan suami istri belum
mampu memiliki anak walaupun telah melakukan hubungan seksual sebanyak 2 – 3
kali seminggu dalam kurun waktu 1 tahun dengan tanpa menggunakan alat kontrasepsi
jenis apapun (Djuwantono,2008, hal: 1).
5.4. Secara medis infertile dibagi menjadi dua jenis, yaitu:
5.4.1. Infertile primer
Berarti pasangan suami istri belum mampu dan belum pernah
memiliki anak setelah satu tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali
perminggu tanpa menggunakan alat kontrasepsi dalam bentuk apapun.
5.4.2. Infertile sekunder
Berrti pasangan suami istri telah atau pernah memiliki anak
sebelumnya tetapi saat ini belum mampu memiliki anak lagi setelah satu
tahun berhubungan seksual sebanyak 2 – 3 kali perminggu tanpa
menggunakan alat atau metode kontrasepsi jenis apapun.
5.5. Etiologi
Sebanyak 60% – 70% pasangan yang telah menikah akan memiliki anak
pada tahun pertama pernikahan mereka. Sebanyak 20% akan memiliki anak pada
tahun ke-2 dari usia pernikahannya. Sebanyak 10% - 20% sisanya akan memiliki
anak pada tahun ke-3 atau lebih atau tidak pernah memiliki anak.
Infertilitas tidak semata-mata terjadi kelainan pada wanita saja. Hasil
penelitian membuktikan bahwa suami menyumbang 25-40% dari angka kejadian
infertil, istri 40-55%, keduanya 10%, dan idiopatik 10%. Hal ini dapat menghapus
anggapan bahwa infertilitas terjadi murni karena kesalahan dari pihak wanita/istri.
Berbagai gangguan yang memicu terjadinya infertilitas antara lain :
5.5.1. Pada wanita
a. Gangguan organ reproduksi
a) Infeksi vagina sehingga meningkatkan keasaman vagina akan
membunuh sperma dan pengkerutan vagina yang akan
menghambat transportasi sperma ke vagina.
b) Kelainan pada serviks akibat defesiensi hormon esterogen yang
mengganggu pengeluaran mukus serviks. Apabila mukus sedikit di
serviks, perjalanan sperma ke dalam rahim terganggu. Selain itu,
bekas operasi pada serviks yang menyisakan jaringan parut juga
dapat menutup serviks sehingga sperma tidak dapat masuk ke
rahim
c) Kelainan pada uterus
d) Kelainan tuba falopii akibat infeksi yang mengakibatkan adhesi
tuba falopii dan terjadi obstruksi sehingga ovum dan sperma tidak
dapat bertemu.
b. Gangguan ovulasi
c. Kegagalan implantasi
d. Endometriosis
e. Faktor immunologis
Apabila embrio memiliki antigen yang berbeda dari ibu, maka tubuh
ibu memberikan reaksi sebagai respon terhadap benda asing. Reaksi ini
dapat menyebabkan abortus spontan pada wanita hamil.
a) Lingkungan
Paparan radiasi dalam dosis tinggi, asap rokok, gas ananstesi, zat
kimia, dan pestisida dapat menyebabkan toxic pada seluruh bagian
tubuh termasuk organ reproduksi yang akan mempengaruhi
kesuburan.
5.5.2. Pria
Ada beberapa kelainan umum yang dapat menyebabkan infertilitas pada pria yaitu:
a. Abnormalitas sperma; morfologi, motilitas
b. Abnormalitas ejakulasi; ejakulasi rerograde, hipospadia
c. Abnormalitas ereksi
d. Abnormalitas cairan semen; perubahan pH dan perubahan komposisi
kimiawi
e. Infeksi pada saluran genital yang meninggalkan jaringan parut sehingga
terjadi penyempitan pada obstruksi pada saluran genital
f. Lingkungan; Radiasi, obat-obatan anti kanker.

5.6. Faktor-faktor infertilitas yang sering ditemukan


Factor-faktor yang mempengaruhi infertilitas pasangan sangat tergantung pada
keadaan local, populasi dan diinvestigasi dan prosedur rujukan.
5.6.1. Faktor koitus pria
5.6.2. Faktor ovulasi
5.6.3. Faktor serviks
5.6.4. Faktor tuba-rahim
5.6.5. Faktor peritoneum
5.7. Penatalaksanaan infertilitas
5.7.1. Wanita
a. Pengetahuan tentang siklus menstruasi, gejala lendir serviks puncak dan
waktu yang tepat untuk coital
b. Pemberian terapi obat, seperti
a) Stimulant ovulasi, baik untuk gangguan yang disebabkan oleh
supresi hipotalamus, peningkatan kadar prolaktin, pemberian tsh .
b) Terapi penggantian hormon
c) Glukokortikoid jika terdapat hiperplasi adrenal
d) Penggunaan antibiotika yang sesuai untuk pencegahan dan
penatalaksanaan infeksi dini yang adekuat
c. GIFT ( gemete intrafallopian transfer )
d. Laparatomi dan bedah mikro untuk memperbaiki tuba yang rusak secara
luas
e. Bedah plastic misalnya penyatuan uterus bikonuate,
f. Pengangkatan tumor atau fibroid
g. Eliminasi vaginitis atau servisitis dengan antibiotika atau kemoterapi
5.7.2. Pria
a. Penekanan produksi sperma untuk mengurangi jumlah antibodi
autoimun, diharapkan kualitas sperma meningkat
b. Agen antimikroba
c. Testosterone Enantat dan Testosteron Spionat untuk stimulasi
kejantanan
d. HCG secara i.m memperbaiki hipoganadisme
e. FSH dan HCG untuk menyelesaikan spermatogenesis
f. Bromokriptin, digunakan untuk mengobati tumor hipofisis atau
hipotalamus
g. Klomifen dapat diberikan untuk mengatasi subfertilitas idiopatik
h. Perbaikan varikokel menghasilkan perbaikan kualitas sperma
i. Perubahan gaya hidup yang sederhana dan yang terkoreksi.
Seperti, perbaikan nutrisi, tidak membiasakan penggunaan celana
yang panas dan ketat
j. Perhatikan penggunaan lubrikans saat coital, jangan yang
mengandung spermatisida.
5.8. Pencegahan infertilitas
a. Berbagai macam infeksi diketahui menyebabkan infertilitas terutama infeksi
prostate, buah zakar, maupun saluran sperma. Karena itu, setiap infeksi
didaerah tersebut harus ditangani serius (Steven RB,1985).
b. Beberapa zat dapat meracuni sperma. Banyak penelitihan menunjukan
pengaruh buruk rokok terhadap jumlah dan kualitas sperma (Steven
RB,1985).
c. Alcohol dalam jumlah banyak dihubungkan dengan rendahnya kadar
hormone testosterone yang tentunya akan menganggu pertumbuhan sperma
(Steven RB,1985).
d. Berperilaku sehat (Dewhurst,1997).
5.9. Peran bidan dan solusi:
a. Memberikan penyuluhan pada PUS tentang sistem reproduksi dalam
kehidupan suami istri.
b. Meningkatkan peran serta kedua pasangan untuk dapat saling bekejasama
dalam menangani masalah infertilitas.

6. Pertolongan persalinan oleh tenaga non kesehatan


6.1. Pengertian
Pertolongan persalinan oleh tenaga non kesehatan yaitu
proses persalinan yang dibantu oleh tenaga non kesehatan yang biasa dikenal
dengan istilah dukun bayi.
Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan non-medis seringkali
dilakukan oleh seseorang yg disebut sbgai dukun beranak, dukun bersalin.Pada
dasarnya dukun bersalin diangkat berdasarkan kepercayaan masyarakat
setempat/merupakan pekerjaan yang sudah turun temurun dari nenek moyang
atau keluarganya & biasanya sudah berumur ± 40 tahun ke atas (Prawirohardjo,
2005).
Cara-cara Pertolongan Oleh Tenaga Nonmedis Tak berbeda dengan
seorang bidan,dukun beranak melakukan pemeriksaan kehamilan melalui indra
raba (palpasi).Biasanya perempuan yang mengandung, sejak mengidam sampai
melahirkan selalu berkonsultasi kepada dukun, bedanya dibidan perempuan yg
mengandunglah yang datang ketempat praktek bidan untuk berkonsultasi.
Sedangkan dukun ia sendiri yang berkeliling dari pintu ke pintu memeriksa ibu
yang hamil.

Sebagian besar masyarakat indonesia masih mempercayai tenaga non


kesehatan. Salah satu kasus kesehatan yang masih banyak terjadi di indonesia
adalah persalinan dengan pertolongan oleh dukun bayi. Kenyataannya, hampir
semua masyarakat indonesia baik yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan
lebih senang ditolong oleh dukun. Hal tersebut disebabkan oleh tradisi dan adat
istiadat setempat (Kusumandari, 2010)
Persentase persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terlatih (cakupan
Pn) di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 88,64%. Angka ini telah berhasil
memenuhi target Renstra Kementerian Kesehatan Tahun 2012 sebesar 88%.
Capaian indikator ini dalam 9 tahun terakhir menunjukkan kecenderungan
peningkatan, yaitu dari 74,27% pada tahun 2004 menjadi 88,64% pada tahun
2012.
Secara nasional indikator ini memang telah berhasil memenuhi target
Renstra tahun 2012, namun demikian masih terdapat kesenjangan antar provinsi.
Provinsi dengan cakupan tertinggi adalah DI Yogyakarta sebesar 98,62%, diikuti
oleh Kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka Belitung masing-masing sebesar
97,95%. Sedangkan Provinsi Papua memiliki capaian terendah sebesar 43,54%
diikuti oleh Papua Barat sebesar 65,15%, dan Nusa Tenggara Timur sebesar
69,41%. dapat diketahui bahwa terdapat 17 provinsi (51,5%) dengan capaian
melebihi target Renstra 2012 sebesar 88%. Sedangkan 16 provinsi lainnya
memiliki capaian di bawah Renstra 2012 (SDKI, 2012).
Kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan tempat/fasilitas
persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi
terhadap turunnya risiko kematian ibu. Demikian pula dengan tempat/fasilitas,
jika persalinan dilakukan di fasilitas kesehatan, juga akan semakin menekan
risiko kematian ibu. Oleh karena itu, kebijakan Kementerian Kesehatan adalah
seluruh persalinan harus ditolong oleh tenaga kesehatan dan diupayakan
dilakukan di fasilitas kesehatan.

6.2. Etiologi:
1. Kebiasaan/ perilaku/ adat istiadat yang tidak menunjang.
a. Keluarga yaitu adanya kebiasaan keluarga yang memutuskan atau
memaksa calon orang tuamengenai siapa yang akan
menolong persalinan
b. Masyarakat, yaitu adanya kebiasaan masayarakat yang lebih
mempercayai penolong persalinan pada tenaga non medis (dukun)
2. Sarana kesehatan.
3. Keadaan sosial ekonomi yang masih belum memadai.
4. Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat.
5. Status dalam masyarakat.
6. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penyuluhan kesehatan dan
petugas kesehatan yang masih rendah.
6.3. Faktor-faktor Penyebab Mengapa Masyarakat Lebih Memilih Penolong Bersalin
Dengan tenaga Kesehatan Non-medis
1. Kemiskinan
Tersedianya berbagai jenis pelayanan public serta persepsi tentang
nilai dan mutu pelayanan merupakan faktor penentu apakah rakyat akan
memilih kesehatan atau tidak. Biasanya, perempuan memilih berdasakan
penyedia layanan tersebut, sementara laki-laki menentukan pilihan mereka
berdasarkan besar kecilnya biaya sejauh dijangkau oleh masyarakat miskin.
Sekitar 65% dari seluruh masyarakat miskin yang diteliti
menggunakan penyesia layanan kesehatan rakyat seperti bidan di desa,
puskesmas atau puskesmas pembantu (pustu), sementara 35% sisanya
menggunakan dukun beranak yang dikenal dengan berbagai sebutan.
Walaupun biaya merupakan alasan yang menentukan pilihan masyarakat
miskin, ada sejumlah faktor yang membuat mereka lebih memilih layanan
yang diberikan oleh dukun. Biaya pelayanan yang diberikan oleh bidan di
desa untuk membantu persalinan lebih besar daripada penghasilan RT
miskin dalam satu bulan. Disamping itu, biaya tersebut pun harus dibayar
tunai. Sebaliknya, pembayaran terhadap dukun lebih lunak secara uang
tunai dan ditambah barang. Besarnya tariff dukun hanya sepersepuluh atau
seperlima dari tariff bidan dea. Dukun juga bersedia pembayaran mereka
ditunda atau dicicil(Suara Merdeka, 2003).
2. Masih langkanya tenaga medis di daerah-daerah pedalaman
Sekarang dukun di kota semakin berkurang meskipun sebetulnya
belum punah sama sekali bahkan disebagian besar kabupaten, dukun
beranak masih eksis dan dominant. Menurut data yang diperoleh Dinas
Kesehatan Jawa Barat jumlah bidan jaga di Jawa Barat sampai tahun 2005
ada 7.625 orang. Disebutkan pada data tersebut, jumlah dukun di perkotaan
hanya setengah jumlah bidan termasuk di kota Bandung. Namun, di 9
daerah (kabupaten) jumlah dukun lebih banyak (dua kali lipat) jumlah
bidan. Malah di Jawa Barat masih ada 10 kabupaten yang tidak ada bidan
(Ketua Mitra Peduli/Milik Jabar).
3. Kultur budaya masyarakat
Masyarakat kita terutama di pedesaan, masih lebih percaya kepada
dukun beranak daripada kepada bidan apalagi dokter. Rasa takut masuk
rumah sakit maih melekat pada kebanyakan kaum perempuan. Kalaupun
terjadi kematian ibu atau kematian bayi mereka terima sebagai musibah
yang bukan ditentukan manusia
Selain itu masih banyak perempuan terutama muslimah yang tidak
membenarkan pemeriksaan kandungan, apalagi persalinan oleh dokter atau
para medis laki-laki. Dengan sikap budaya dan agama seperti itu,
kebanyakan kaum perempuan di padesaan tetap memilih dukun beranak
sebagai penolong persalinan meskipun dengan resiko sangat tinggi.
4. Pengaruh tingkat pendidikan ibu hamil terhadap pemilihan penolong
persalinan
Tingkat pendidikan ibu juga berpengaruh pada pemilihan penolong
persalinan dan perawatan selama kehamilan. Pada penelitian yang diadakan
di lima-peru pelayanan kesehatan dipengaruhi oleh tingkat pendidikan,
sebanyak 82 % wanita berpendidikan memilih pelayanan kesehatan
(NAKES) dan wanita tidak berpendidikan yang memilih tenaga NAKES
hanya 62% (Kusumandari, 2010).

6.4. Masalah Yang Dapat Ditimbulkan Apabila Persalinan Ditolong Oleh Non-medis
Menurut sinyalemen Dinkes AKI cenderung tinggi akibat pertolongan
persalinan tanpa fasilitas memadai, antara lain tidak adanya tenaga bidan apalagi
dokter obsgin. Karena persalinan masih ditangani oleh dukun beranak atau
peraji, kasus kematian ibu saat melahirkan masih tetap tinggi. Pertolongan gawat
darurat bila terjadi kasus perdarahan atau infeksi yang diderita ibu yang
melahirkan, tidak dapat dilakukan.
Penelitian menunjukkan bahwa kebanyakan orang lebih memilih untuk
menggunakan dukun beranak. Sementara itu, definisi mereka tentang mutu
pelayanan berbeda dengan definisi standar medis. Kelemahan utama dari mutu
pelayanan adalah tidak terpenuhinya standar minimal medis oleh para dukun
beranak, seperti dengan praktek yang tidak steril(memotong tali pusat dengan
sebilah bambu dan meniup lubang hidung bayi yang baru lahir dengan mulut).
Riwayat kasus kematian ibu dan janin dalam penelitian ini menggambarkan
apa yang terjadi jika dukun beranak gagal mengetahui tanda bahaya dalam masa
kehamilan dan persalinan serta rujukan yang terlambat dan kecacatan janin pun
bisa terjadi dari kekurangtahuan dukun beeranak akan tanda-tanda bahaya
kehamilan yang tidak dikenal(Suara Merdeka, 2003).
Selain itu, pertolongan persalinan oleh dukun sering menimbulkan kasus
persalinan, diantaranya kepala bayi sudah lahir tetapi badannya masih belum
bisa keluar atau partus macet, itu disebabkan karena cara memijat dukun bayi
tersebut kurang profesional dan hanya berdasarkan kepada pengalaman.
6.5. Usaha Untuk Menjalin Kerjasama Antara Tenaga Medis dan Non-medis Dalam
Menolong Persalinan.
a. Kerjasama antar bidan dan pemerintah dengan tenaga kesehatan non-
medis sangat diperlukan dalam meningkatkan mutu pelayanan
kesehatan. Kerjasama yang bisa dilakukan seperti misalnya : dalam
pemberian pelatihan kepada para tenaga kesehatan nonkesehatan
/keikut sertaan pemerintah sangat penting untuk menunjang
sukesnya pelatihan dengan pemberian bantuan alat-alat untuk
menolong persalinan seperti gunting tali pusat, sehingga infeksi saat
pemotongan tali pusat bisa diturunkan.
b. Pelayanan yang Dapat Diberikan Oleh Tenaga Non-medis
 Dukun mau mendatangi setiap ibu hamil untuk
melakukan pemeriksaan kehamilan. Dukun mematok
harga murah, kadang bisa disertai/ diganti dengan sesuatu
barang misalnya beras, kelapa,dan bahan dapur lainnya.
Dukun beranak dapat melanjutkan layanan untuk 1-44
hari pasca melahirkan dengan sabar memanjakan ibu dan
bayinya misalkan dia mencuci dan membersihkan ibu
setelah melahirkan.
 Dukun menemani anggota keluarga agar bisa beristirahat
dan memulihkan diri, sebaliknya bidan seringkali tidak
bersedia saat dibutuhkan/bahkan tidak mau datang saat
dipanggil.
6.6. Penanganan
1. Dengan diadakan program penempatan bidan di desa yang bertujuan untuk
menurunkan tingkat kematian ibu hamil, bayi dan balita. Kecuali hal-hal
yang berhubungan dengan adat dan kebiasaan masyarakat setempat, dengan
menjalin hubungan kemitraan antara keduanya.
2. Dalam meningkatkan mutu pelayanan kita bisa melakukan pelatihan-
pelatihan kepada dukun sehingga para dukun diharapkan bisa mengetahui
tentang tanda-tanda bahaya kehamilan dan persalinan. Selain itu kemitraan
antara bidan dan dukun bayi sangat diperlukan.
3. Kemitraan adalah suatu bentuk kerja sama antara bidan dengan dukun
dimana setiap kali ada pasien yang hendak bersalin, dukun akan memanggil
bidan. Pada saat pertolongan persalinan tersebut ada pembagian peran antara
bidan dengan dukunnya. Selain pada saat persalinan ada juga pembagian
peran yang dilakukan pada saat kehamilan dan masa nifas, tetapi memang
yang lebih banyak diutarakan adalah kerjasama pada saat persalinan.
4. Penyediaan pelayanan kegawatdaruratan yang berkualitas dan sesuai
standar, antara lain bidan desa di polindes/pustu, puskesmas PONED
(Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Dasar), Rumah sakit PONEK
(Pelayanan Obstetri Neonatal Emergency Kualitas) 24 jam.
5. Mencegah terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan dan penanganan
komplikasi keguguran, antara lain dalam bentuk KIE untuk mencegah
terjadinya 4 terlalu, pelayanan KB berkualitas pasca persalinan dan pasca
keguguran, pelayanan asuhan pasca keguguran, meningkatkan partisipasi
aktif pria.
6. Pemantapan kerjasama lintas program dan sektor, antara lain dengan jalan
menjalin kemitraan dengan pemda, organisasi profesi (IDI, POGI, IDAI,
IBI, PPNI), Perinasia, PMI, LSM dan berbagai swasta.
7. Peningkatan partisipasi perempuan, keluarga dan masyarakat, antara lain
dalam bentuk meningkatkan pengetahuan tentang tanda bahaya, pencegahan
terlambat 1 dan 2, serta menyediakan buku KIA (Ambarwati, 2011).
7. Penyakit menular seksual (PMS)
PMS adalah penyakit yang dapat ditularkan melalui hubungan kelamin atau kontak
intim ( Jan Tambayong,2000:195).
Selain itu ada pendapat lain “Penyakit menular seksual sering terjadi
selama kehamilan, khususnya dalam masyarakat kota karena penyalahgunaan obat dan
prostitusi (Karwati, 2011:28).
7.1. Angka kejadian PMS
a. Angka kesakitan sifillis pada tahun 1996 adalah 4,71 per 100.000 penduduk.
b. Gonokokus pada tahun 1996 tahun 1996, angka kesakitannya 11,1 per
100.000 penduduk.
c. AIDS :
a) Laki-laki : 64,6 %
b) Perempuan : 31,9 %
c) Lain-lain : 3,5 %
d) Usia 20-29 thn : 45,74 %
e) Usia 30-39 thn : 27,71 %
f) Usia 40-49 thn : 9,35 %
g) Usia < 1 thn : 0,33 %
h) Usia 1-4 thn : 0,33 % (Dewi Pujiati,2011:29)
7.2. Ciri-ciri PMS
1) Penularan penyakit tidak selalu harus melalui hubungan kelamin. Penyakit
dapat terjadi pada orang-orang yang belum pernah melakukan hubungan
kelamin
2) Sebagian penderita adalah akibat korban keadaan diluar kemampuan
mereka, dalam arti mereka sudah berusaha sepenuhnya untuk tidak
mendapat penyakit, tetapi kenyataan masih juga terjangkit (Adhi Jduanda,
2007 : 361).
i)
7.3. Epidemiologi PMS
1. Banyak kasus yang tidak dilaporkan, karena belum ada UU yang
mengharuskan melaporkan setiap kasus baru PMS yang ditemukan.
2. Bila ada laporan, sistem pelaporan yang berlaku belum seragam.
3. Fasilitas diagnostik yang ada sekarang ini kurang sempurna sehingga
seringkali terjadi salah diagnostic dan penanganannya.
4. Banyak kasus yang asimtomatik (tanpa gejala yang khas) terutama penderita
wanita.
5. Pengontrolan terhadap PMS ini belum berjalan baik (Adhi Jduanda, 2007 :
361)
7.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi meningkatnya PMS
1. Perubahan demografik secara luar biasa
a. Peledakan jumlah penduduk
b. Pergerakan masyarakat yang bertambah, dengan berbagai alasan,
misalnya: pekerjaan, liburan, pariwisata, rapat, kongres atau seminar
c. Kemajuan sosial ekonomi
d. Perubahan sikap dan tindakan akibat perubahan-perubahan demografi
diatas, terutama dalam bidang agraris dan moral.
e. Kelalaian beberapa negara dalam pemberian kesehatan dan
pendidikan seks khususnya
7.5. Macam-macam PMS
Penyakit menular seksual yang sering terjadi di lingkungan masyarakat,
dintaranya yaitu :
1) GONORRHOE
Gonore adalah penyakit seksual yang paling sering terjadi
disebabkan oleh bakteri Neisseria Gonorrhoeae, kokus gram negative kecil
berbentuk ginjal yang tersusun berpasangan.(Karwati, 2011:32).
2) KLAMIDIA TRACHOMATIS
Clamidia trachomatis merupakan penyakit menular seksual yang
paling sering dijumpai pada orang dewasa dan remaja, paling sering
dijumpai pada wanita yang aktif secara seksual diantara usia 12 dan
19tahun (Sri Mujiati,2011:34)
3) HERPES SIMPLEKS / GENITALIS

Virus herpes simpleks adalah anggota dari keluarga virus herpes DNA
dan ditularkan lewat kontak mukokutaneus yang intim (Neville F. Hacker ,
2001: 199). Herpes simpleks adalah infeksi akut oleh virus herpes simplek (
V. Herpes Hominls) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel
berkelompok di atas kulit yang eritematosa di daerah muka kutan (Arif
Mansjoer jilid II, 2000 : 151). Sedangkan virus herpes genitalia adalah virus
herpes simpleks tipe I dan II (M. William Schwarts, 2004 : 701)
4) SIFILLIS
Sifilis adalah suatu penyakit sistemik yang disebabkan oleh
treponema pallidum (Dewi Pujiati,2011:33).
5) KANDIDOSIS VAGINAL

Kandidosis vaginal adalah penyakit jamur yang yang bersifatakut


atau sub akut pada vagina danatau vulva dan disebabkan oleh kandida,
biasanya oleh C. albicans.
6) AIDS
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kumpulan
gejala penyakit akibat menurunnya system kekebalan tubuh secara bertahap
yang disebabkan oleh infeksi Human Immunodefisiency Virus (HIV) (Arif
Mansjoer jilid 2, 2000 : 162).
7) ULKUS MOLE
Ulkus mole adalah penyakit infeksi pada kelamin yang akut,
setempat, disebabkan oleh haemopilus ducrey.(Arif Mansjoer jilid 2, 2000 :
158)
8) KONDILOMA AKUMINATA

Kondiloma akuminata adalah vegetasi oleh virus papiloma humanus


(VPH) tipe tertentu, bertangkai dan permukaannya berjonjot (Arif Mansjoer
jilid 2, 2000 : 157).

Anda mungkin juga menyukai