Anda di halaman 1dari 11

STATUS ANAK ZINA

Tidak dapat dipungkiri lagi, musibah perzinaan sudah mulai merebak di


negara ini. Kebejatan dan kenistaan tindak perzinaan telah dikaburkan dengan
istilah yang berkonotasi lain. WIL (Wanita Idaman Lain), PIL (Pria Idaman
Lain), PSK (Penjaja Seks Komersial), Gadis Pendamping dan yang sejenisnya
mengesankan permasalahan ini dianggap ringan oleh sebagian kalangan.
Ditambah lagi, syari’at Islam secara umum dan hukuman bagi para pezina
khususnya tidak dilaksanakan. Kondisi-kondisi ini mendukung tersebarnya
wabah buruk ini di tengah kaum muslimin.
Perzinaan yang mewabah ini menimbulkan berbagai problematika social yang
menyakitkan. Tidak hanya pada kedua pelakunya saja, namun juga pada anak
yang lahir melalui hubungan haram tersebut. Predikat “anak zina” sudah
cukup menyebabkan si bocah menderita kesedihan mendalam. Apalagi bila
menengok masalah-masalah lain yang mesti ia hadapi di kemudian
hari. Seperti penasaban, warisan, perwalian dan masalah-masalah sosial
lainnya yang tidak mungkin ia hindari.
Nasab Anak Zina
Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib anak
mulâ’anah[1] yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya. Sebab,
nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak.[2] Nabi Shallallahu’alaihi wa
Sallam menyatakan tentang anak zina:
‫كَانُوا َم ْن أ ُ ِّمه أل َ ْهل‬
(Anak itu) untuk keluarga ibunya yang masih ada…[3]
Beliau Shallallahu’alaihi wa sallam juga menasabkan anak mulâ’anah kepada
ibunya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu pernah menuturkan:
‫صلى النبي أَن‬
َ ُ‫علَيْه للا‬
َ ‫سل َم‬ َ َ‫ َو ْام َرأَته َر ُجل بَيْنَ ال‬، ‫ َولَدهَا م ْن فَا ْنتَفَى‬، َ‫ بَ ْينَ ُه َما فَفَرق‬، َ‫َواَ ْل َحق‬
َ ‫عنَ َو‬
َ‫با ْل َم ْرأَة ْال َولَد‬
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam mengadakan mulâ’anah antara seorang
lelaki dengan istrinya. Lalu lelaki itu mengingkari anaknya tersebut dan Nabi
Shallallahu’alaihi wa sallam memisahkan keduanya dan menasabkan anak
tersebut kepada ibunya.[4]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah ketika menjelaskan konsekuensi hukum
dari sebuah mula’aanah antara seorang suami dengan istrinya menyatakan:
“Hukum keenam adalah terputusnya nasab anak dari sisi sang bapak. Karena
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan untuk tidak dipanggil
anak tersebut dengan nasab bapak. Inilah yang benar dan merupakan pendapat
mayoritas Ulama”.[5]
Syaikh Mushthafâ al’Adawi hafizhahullah mengatakan : “Inilah pendapat
mayoritas ulama, nasab anak tersebut terputus dari sisi bapaknya. Sebab,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam menetapkan agar tidak dinasabkan
kepada bapaknya. Inilah pendapat yang benar”[6]
Senada dengan pendapat di atas, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn
rahimahullah mengatakan: “Anak zina diciptakan dari sperma tanpa
pernikahan. Maka dia tidak dinasabkan kepada seorang pun, baik kepada
lelaki yang menzinainya atau suami wanita tersebut apabila ia bersuami.
Alasannya, ia tidak memiliki bapak yang syar’i (melalui pernikahan yang sah,
red)”.[7]
Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status ibunya,
dapat dikategorikan menjadi dua:
1. Si ibu berstatus sebagai istri orang.
Seorang wanita bersuami yang terbukti selingkuh (baca : berbuat zina)
kemudian melahirkan anak dari hubungan haram tersebut, maka tidak
lepas dari dua keadaan:
Sang suami tidak mengingkari anak tersebut atau mengakui sebagai
anaknya.
Yakni, apabila seorang wanita yang bersuami melahirkan seorang anak
dan sang suami tidak mengingkari anak tersebut, maka anak tersebut
adalah anaknya, walaupun ada orang yang mengklaim itu adalah hasil
selingkuhan dengannya, Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda
dalam sebuah hadits dari Aa’isyah Radhiyallahu anhuma :

َ ‫ ل ْلف َراش‬، ‫ْال َح ْج ُر َول ْل َعاهر‬


ُ‫الولَد‬
Anak yang lahir adalah milik pemilik ranjang (suami) dan pezinanya
mendapatkan kerugian[8]
Yang dimaksud dengan kata al-firâsy di sini adalah lelaki yang memiliki
istri atau budak wanita yang sudah pernah digaulinya. Dalilnya adalah
sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu,
Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam pernah bersabda :
ُ‫صاحب ْال َولَد‬
َ ‫ْالف َراش ل‬
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami)[9]
Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menyatakan:
“Ketika seorang wanita telah menjadi firâsy, baik sebagai istri atau budak
wanita, kemudian dia melahirkan seorang anak, maka anak itu menjadi
milik pemilik firâsy.[10]Beliau rahimahullah menambahkan: “Dengan
adanya kepemilikan firâsy ini, maka keserupaan fisik atau pengakuan
seseorang dan lainnya sudah tidak dianggap”[11]
Sang suami mengingkarinya
Apabila suami mengingkari anak tersebut, maka si wanita (sang istri) tidak
lepas dari dua keadaan :
Ia mengakui kalau itu memang hasil perselingkuhan atau terbukti dengan
persaksian yang sesuai syari’at. Jika seperti ini keadaannya, maka si
wanita dijatuhi hukum rajam dan status anaknya adalah anak zina serta
nasabnya dinasabkan ke ibunya.
Wanita itu mengingkari kalau anak yang lahir sebagi hasil perselingkuhan.
Maka, solusi dari syariat, pasangan suami istri itu saling melaknat
(melakukan proses mulâ’anah). Lalu mereka berdua dipisahkan dan ikatan
pernikahan kedua insan ini terputus untuk selama-lamanya. Anak yang
diperselisihkan ini menjadi anak mulâ’anah bukan anak zina. Meski bukan
anak zina, namun tetap dinasabkan kepada ibunya.
2. Bukan berstatus sebagai istri orang
Apabila wanita tersebut tidak memiliki suami, baik janda atau belum
pernah menikah secara sah sama sekali, kemudian melahirkan anak, maka
anak tersebut berada dalam dua kondisi :
Bila tidak ada seorang lelaki pun yang pernah menzinainya meminta anak
tersebut dinasabkan kepada dirinya, maka si anak tidak dinasabkan kepada
lelaki manapun. Nasab anak itu dihubungkan ke ibunya.
Ada lelaki yang mengaku telah menzinai wanita tersebut dan mengklaim
anak tersebut anaknya. Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat :
Pendapat pertama : Menyatakan anak tersebut tidak dinasabkan kepada
lelaki yang mengaku itu.
Ini merupakan pendapat madzhab al-`aimah al-arba’ah (Imam madzhab
yang empat yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan
Imam Ahmad rahimahumullah)[12] dan pendapat Ibnu Hazm
rahimahullah[13]. Pendapat ini dirajihkan oleh Ibnu Qudamah
rahimahullah dalam al-Mughni.
Dasar pendapat ini adalah:
1. Sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam:

َ ‫ ل ْلف َراش‬، ‫ْال َح ْج ُر َول ْلعَاهر‬


ُ‫الولَد‬

Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya
mendapatkan kerugian[14]
Dalam hadits yang mulia ini, Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam tidak
menasabkan sang anak kepada selain suami ibunya. Ini berarti
menasabkan anak zina tersebut kepada lelaki pezina menyelisihi
kandungan hadits ini.
2. Hadits Abdullah bin ‘Amru yang berbunyi:

َ َ‫ل َر ُجلَ ق‬
َ‫ام‬ ََ ‫ل يَا فَقَا‬ ََ ‫س ْو‬ َ َ‫ي فُالَنًا إهن‬
ُ ‫للاه َر‬ َْ ‫عاه َْرتَُ ا ْبنه‬ َ ‫ي بهأ ُ ه ِّم هَه‬
َْ ‫ل ْال َجا ههلهي هَة فه‬ ََ ‫ل فَقَا‬
َُ ‫س ْو‬ ُ ‫للاه َر‬
َ ‫ص لى‬ َ َُ‫للا‬
‫علَ ْي هَه‬ َ
‫م‬ ‫ل‬
َ َ َ َ‫س‬ ‫و‬ َ ‫ل‬
َ َ َ
‫ة‬ ‫ْو‬
َ ‫ع‬ ‫د‬
‫ه‬ ‫هي‬ ‫ف‬ َ
‫م‬ َ
‫َ ه ه‬‫ال‬‫س‬ْ ‫إل‬ ْ ‫ا‬ َ
‫َب‬‫ه‬ َ ‫ذ‬ َ
‫ر‬
ُ ‫م‬
ْ َ ‫أ‬ َ
‫ة‬
‫ه‬ ‫هي‬‫ل‬ ‫ه‬
‫ه‬ ‫ا‬ ‫ج‬َ ْ
‫ال‬ َ
‫د‬
ُ َ ‫ل‬ ‫و‬
َ ْ
‫ال‬ َ
‫اش‬‫ه‬ ‫هر‬ ْ
َ ‫ال َح ْج َ َ ه‬.
‫ف‬‫هل‬ ‫ل‬ َ
‫هر‬‫ه‬ ‫ا‬ ‫ع‬ ْ
‫هل‬ ‫ل‬ ‫و‬ َ
‫ر‬
ُ ْ

Seorang berdiri seraya berkata: “Wahai Rasulullah! Sungguh si Fulan


ini adalah anak saya, saya telah menzinahi ibunya dizaman Jahiliyah.”
Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam menjawab: “Tidak ada
pengakuan anak dalam islam. Masa jahiliyah sudah hilang. Anak
adalah milik suami wanita (al-Firâsy) dan pezina mendapatkan
kerugian.[15]
3. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :
َ‫عاة َ ال‬ َ ‫عى َم ْن اإل ْسالَم فى ُم‬
َ ‫سا‬ َ ‫ص َبته لَحقَ فَقَدْ ْال َجاهلية فى‬
َ ‫سا‬ َ ‫عى َو َمن ب َع‬ َ ‫غيْر م ْن َولَدًا اد‬
َ
‫ث فَالَ ر ْشدَة‬ُ ‫ث َوالَ يَر‬ ُ ‫ُور‬
َ ‫ي‬
Tidak ada perzinahan dalam islam, siapa yang berzina di zaman
jahiliyah maka dinasabkan kepada kerabat ahli warisnya (Ashabah)
dan siapa yang mengklaim anak tanpa bukti, maka tidak mewarisi dan
tidak mewariskan.[16]
4. Hadits Abdullah bin ‘Amru Radhiyallahu anhu yang berbunyi :
‫ النبى إن‬-‫وسلم عليه للا صلى‬- ‫ضى‬ َ َ‫عى الذى أَبيه َب ْعدَ ا ْست ُ ْلحقَ ُم ْست َْل َحق ُكل أَن ق‬ َ ْ‫عاهُ لَهُ يُد‬
َ ‫اد‬
ُ‫ضى َو َرثَتُه‬ َ َ
َ َ‫صابَ َها يَ ْو َم يَ ْمل ُك َها أ َمة م ْن َكانَ َم ْن ُكل أن فَق‬ َ ْ
َ ‫ْس ا ْست َل َحقَهُ ب َمن لَحقَ فَقَدْ أ‬ َ ‫مما لَهُ َولَي‬
ُ َ
‫يراث منَ قَ ْبلهُ قس َم‬ ْ
َ ‫ش ْىء الم‬ َ
َ ‫يراث م ْن أد َْركَ َو َما‬ َ
َ ‫س ْم ل ْم م‬ َ ْ
َ ‫الذى أَبُوهُ َكانَ إذَا يُل َح ُق َوالَ نَصيبُهُ فَلهُ يُق‬
ْ
‫عى‬َ ْ‫عاه ََر ُحرة م ْن أ َ ْو يَ ْمل ْك َها لَ ْم أ َ َمة م ْن َكانَ َوإ ْن أ َ ْنك ََرهُ لَهُ يُد‬ َ ‫ث َوالَ به ي ُْل َح ُق الَ فَإنهُ ب َها‬ ُ ‫َوإ ْن يَر‬
َ‫عى الذى َكان‬ َ ْ‫عاهُ ه َُو لَهُ يُد‬َ ‫أ َ َمة أ َ ْو َكانَ ُحرة م ْن ز ْن َية َولَدُ فَ ُه َو اد‬.
Sungguhnya Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam ingin memutuskan
permasalahan setiap anak yang dinasabkan kepada seseorang setelah
(meninggal) bapak yang dinasabkan kepadanya tersebut diakui oleh ahli
warisnya. Lalu beliau memutuskan bahwa semua anak yang lahir dari
budak yang berstatus miliknya (sang majikan) pada waktu digauli
(hubungan suami istri), maka si anak dinasabkan kepada yang meminta
penasabannya dan anak tersebut tidak memiliki hak sedikitpun dari
warisan dibagikan sebelum (dinasabkan) padanya dan warisan yang belum
dibagikan maka ia mendapatkan bagiannya. Tidak dinasabkan (kepada
sang bapak) apabila bapak yang dinasabkan tersebut mengingkarinya.
Apabila dari budak yang tidak dimilikinya atau dari wanita merdeka yang
dizinahinyanya, maka anak tersebut tidak dinasabkan kepadanya dan tidak
mewarisi walaupun orang yang dinasabkan tersebut yang mengklaimnya,
karena ia anak zina baik dari wanita merdeka atau budak sahaya.[17]
Ibnu al-Qayyim menyatakan: Hadits ini membantah pendapat Ishaaq dan
yang sepakat dengannya.[18]
5. Sabda Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam :

َ ‫ زنَا َولَدُ فَ ْال َولَدُ أ َ َمة أ َ ْو ب ُحرة‬، َ‫ث ال‬


‫عاه ََر َر ُجل أَيُّ َما‬ ُ ‫ث َوالَ َير‬
ُ ‫ي ُْور‬

Siapa saja yang menzinahi wanita merdeka atau budak sahaya maka
anaknya adalah anak zina, tidak mewarisi dan mewariskan.[19]
6. Ibnu Qudâmah rahimahullah menyampaikan alasannya bahwa anak zina
tidak dinasabkan kepada bapaknya apabila tidak diminta penasabannya.
Ini menunjukkan bahwa anak itu tidak dianggap anak secara syar’i
sehingga tidak dapat dinasabkan kepadanya sama sekali.[20]
Pendapat kedua : Menyatakan anak tersebut dinasabkan kepada pezina
apabila ia meminta penasabannya.
Inilah pendapat Ishâq bin Rahuyah rahimahullah, ‘Urwah bin az-Zubeir
rahimahullah, Sulaiman bin Yasâr rahimahullah dan Syeikh al-Islam Ibnu
Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan : Ada dua pendapat ulama dalam
masalah pezina yang meminta anak zinanya dinasabkan kepadanya apabila
wanita yang dizinahinya tidak bersuami. Nabi Shallallahu’alaihi wa
Sallam bersabda:

َ ‫ ل ْلف َراش‬، ‫ْال َح ْج ُر َول ْل َعاهر‬


ُ‫الولَد‬
Anak yang lahir adalah milik pemilik kasur (suami) dan pezinanya
dihukum.
Nabi Shallallahu’alaihi wa sallam menjadikan anak tersebut milik suami
(al-Firaasy) bukan pezina. Apabila wanita itu tidak bersuami (al-Firâsy)
maka tidak masuk dalam hadits ini.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah berargumen dengan perbuatan Khalifah
Umar bin Al-Khaththâb sebagaimana diriwayatkan imam Mâlik dalam al-
Muwaththa’ dengan lafadz:
ُ َ‫ – ْالخَطاب بْن‬z – َ‫ط َكان‬
‫ع َم َر أَن‬ ُ ‫عاهُ ْم ب َمن ْال َجاهلية أ َ ْوالَدَ يُل ْي‬
َ ‫ اإل ْسالَم في اد‬.
Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu dahulu menasabkan anak-anak
jahiliyah kepada yang mengakuinya (sebagai anak) dalam Islam.[22]
Demikian juga ia berargumen dengan qiyas (analogi), karena bapak adalah
salah satu pasangan berzina tersebut. Apabila dinasabkan kepada ibunya
dan mewarisinya serta adanya nasab antara anak tersebut dengan kerabat
ibunya padahal ia berzina dengan lelaki (bapaknya) tersebut. Anak itu ada
dari air kedua pasangan tersebut dan berserikat padanya dan keduanya
sepakat itu adalah anaknya, lalu apa yang mencegah dinasabkan anak
tersebut kepada bapaknya, apabila selainnya tidak mengakuinya? Ini
adalah qiyas murni.[23]
Yang râjih Wallahu A’lam adalah pendapat jumhûr dengan keshahihan
dalil kedua dan keempat yang menguatkan pendapat jumhûr.
Setelah membahas perbedaan pendapat dalam masalah ini dan
menyampaikan hadits keempat dari pendapat pertama, Ibnul Qayyim
rahimahullah menyatakan : Apabila hadits ini shahîh maka wajib
berpendapat dengan kandungan hadits ini dan mengambilnya. Apabila
hadits ini tidak shahih maka pendapat (yang rajah-pent) adalah pendapat
Ishâq rahimahullah dan orang-orang yang bersamanya.[24]
Anak Zina dan Warisan.
Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan hukum
waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama terputus dari sang
bapak.[25] Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah bagian dari
konsekwensi nasabnya.
1. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya ada
dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan (Asbâb al-
Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan secara syar’i kepada
lelaki yang telah menzinahi ibunya maka konsekuensinya adalah tidak ada
waris-mewarisi diantara keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut
tidak bisa mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya.
Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari anak
hasil perbuatan zinanya.
2. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka tetap ada
saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-anak yang lain dari
ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya, maka ia masuk dalam
keumuman firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
‫ظ مثْ ُل للذكَر أَ ْو َالد ُك ْم في ّللاُ يُوصي ُك ُم‬ ِّ ‫سا ًء ُكن َفإ ْن ْاأل ُ ْنث َ َييْن َح‬ َ ‫ت ََركَ َما ثُلُثَا فَلَ ُهن ا ْثنَتَيْن َف ْوقَ ن‬
‫َت َوإ ْن‬ ْ ‫ف فَلَ َها َواحدَة ً كَان‬ ُ ‫ص‬ ْ ِّ‫ُس م ْن ُه َما َواحد ل ُك ِّل َوألَبَ َويْه الن‬ ُ ‫سد‬ُّ ‫لَ ْم فَإ ْن َولَد لَهُ َكانَ إ ْن ت ََركَ مما ال‬
َ َ َ َ ُ
‫ث فَِل ِّمه أبَ َواهُ َو َورثهُ َولد لهُ يَ ُك ْن‬ ُ ‫ُس فَِل ُ ِّمه إ ْخ َوة لهُ َكانَ فَإ ْن الثل‬
ُ ُّ َ ُ ‫سد‬ ُّ ‫َوصية بَ ْعد م ْن ال‬
َ ُ ُ َ َ َ َ ْ َ
‫ضة نَفعًا لك ْم أق َربُ أيُّ ُه ْم تد ُْرونَ ال َوأ ْبنَا ُؤك ْم آبَا ُؤك ْم دَيْن أ ْو ب َها يُوصي‬ُ َ ْ ً َ ‫ّللاَ إن ّللا منَ فَري‬
َ‫علي ًما َكان‬ َ ‫َحكي ًما‬
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-
anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua
orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak
perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk
dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),
Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-
pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-
anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. [an-Nisâ/4:
11]
Dia berhak mendapatkan warisan dari sang ibu karena ia dinasabkan
kepada ibunya dan nasab merupakan salah satu sebab diantara sebab-sebab
pewarisan. Dalam hal ini status anak zina sama dengan anak mulâ’anah
yang dijelaskan dalam hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu
yang menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
memutuskan perkara mulâ’anah. Sahl bin Sa’ad Radhiyallahu anhu
mengatakan :
ُ ‫َت ْال ُمتَالَعنَيْن َبيْنَ يُفَرقَ أ َ ْن‬
ْ ‫سنةً فَكَان‬
‫َت‬ ْ ‫ َحامالً َوكَان‬، ‫عى ا ْبنُ َها َو َكانَ َح ْملَ َها فَأ َ ْنك ََر‬َ ْ‫ إلَ ْي َها يُد‬، ‫ثُم‬
ُ
‫يراث فى السُّنة َج َرت‬ ْ َ
َ ‫ يَرث َ َها أ ْن الم‬، ‫ث‬ َ ‫ض َما م ْنهُ َوتَر‬ َ ‫ لَ َها ّللاُ فَ َر‬.
Maka menjadi sunnah memisahkan dua orang yang melakukan mulâ’anah
padahal sang wanita tersebut dalam keadaan hamil. Sang suaminya
mengingkari kehamilannya dan anaknya dinasabkan kepada wanita
tersebut. Kemudian berlakulah sunnah dalam warisan bahwa anak tersebut
mewarisi harta wanita tersebut dan wanita tersebut mewaris harta anaknya
tersebut sesuai dengan ketetapan Allah.[26]
Ibnu Quddâmah rahimahullah berkata : “Seorang lelaki apabila melakukan
mulâ’anah terhadap istrinya dan menolak anaknya serta hakim telah
memisahkan antara keduanya, maka anak tersebut lepas darinya dan
terputuslah hak waris mewaris dari sisi lelaki yang melakukan mulâ’anah
ini. Ia tidak mewarisinya dan juga tidak seorangpun ahli waris
(‘Ashabah)nya. Dia hanya diwarisi oleh ibunya dan dzawu al-Furudh (ahli
waris yang mendapatkan bagian-bagian tertentu-red) dari arah ibu. Juga
waris mewaris antara pasangan suami istri tersebut putus dan kami tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini.[27]
Mahramkah Anak Zina dengan Keluarga Lelaki yang Menzinai Ibunya?
Telah lalu dijelaskan menurut pendapat yang rajih (lebih kuat) bahwa anak
zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinahi ibunya.
Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahram bagi keluarga
lelaki tersebut, sebab status mahram didapatkan dengan tiga sebab yaitu nasab,
persusuan dan perkawinan. Ketiga sebab ini tidak ada pada anak zina. Oleh
karena itu ia bukanlah mahram bagi lelaki tersebut, saudara dan anak-anak
lelaki tersebut yang dilahirkan dari pernikahan yang sah. Konsekwensinya
seluruh hukum-hukum yang berhubungan dengan kebolehan melihat, khalwat
dan safar dilarang diantara mereka.
Bolehkan Lelaki Tersebut Menikahi Anak Hasil Perbuatan Zinanya?
Permasalahan ini pernah ditanyakan kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah dan beliau menjawab:
Menurut mayoritas ulama besar kaum muslimin, ia tidak boleh menikahinya
sampai-sampai imam Ahmad rahimahullah mengingkari adanya perbedaan
pendapat dalam hal ini dikalangan salaf. Beliau rahimahullah mengatakan :
“Siapa yang berbuat demikian (menikahi anak hasil perbuatan zinanya-red)
maka dihukum bunuh. Disampaikan kepada beliau rahimahullah sebuah
pendapat dari imam Mâlik bahwa beliau membolehkannya, maka imam
Ahmad rahimahullah mendustakan penukilan dari imam Mâlik rahimahullah
tersebut. Pengharaman hal ini adalah pendapat Abu Hanifah rahimahullah dan
pengikutnya, Ahmad rahimahullah dan pengikutnya, Mâlik dan mayoritas
pengikutnya dan juga merupakan pendapat banyak pengikut madzhab Syafi’i.
Beliau rahimahullah juga mengingkari berita bahwa imam Syafi’i berpendapat
yang berbeda dengan ini. Para ulama mengatakan : “Imam Syafi’i hanya
mengatakan anak perempuan dari susuan bukan anak hasil perbuatan
zina.[Majmû’ fatâwâ 32/143]
Ibnu Taimiyah rahimahullah juga ditanya tentang seorang yang menzinahi
seorang wanita, lalu lelaki tersebut meninggal dunia. Apakah anak dari lelaki
yang berzina tersebut diperbolehkan menikahi wanita yang dizinai ayahnya?
Beliau menjawab : Ini dilarang dalam madzhab Abu Hanîfah, Ahmad dan
salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Mâlik dan dalam pendapat kedua
beliau membolehkan. Dan ini juga madzhab Syâfi’i. [Majmû’ Fatâwâ 32/143]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana nasib
anak mulâ’anah yang dinasabkan kepada ibunya, bukan ke bapaknya.
Sebab, nasab kedua anak ini terputus dari sisi bapak
2. Nasab anak hasil selingkuh atau perzinaan, apabila ditinjau dari status
ibunya, dapat dikategorikan menjadi dua:
a. Si ibu berstatus sebagai istri orang
b. Bukan berstatus sebagai istri orang
3. Hukum warisan anak zina dalam semua keadaannya sama dengan
hukum waris anak mulâ’anah karena nasab mereka sama-sama
terputus dari sang bapak. Masalah waris mewaris bagi anak zina adalah
bagian dari konsekwensi nasabnya.
a. Anak zina dengan lelaki yang menzinahi ibunya.
Hubungan waris mewaris antara seorang anak dengan bapaknya
ada dengan keberadaan salah satu diantara sebab-sebab pewarisan
(Asbâb al-Irts) yaitu Nasab. Ketika anak zina tidak dinasabkan
secara syar’i kepada lelaki yang telah menzinahi ibunya maka
konsekuensinya adalah tidak ada waris-mewarisi diantara
keduannya. Dengan demikian, anak zina tersebut tidak bisa
mendapatkan harta warisan dari orang tersebut dan kerabatnya.
Begitu juga lelaki tersebut, tidak bisa mendapatkan harta waris dari
anak hasil perbuatan zinanya.
b. Anak Zina dengan ibunya
Sedangkan antara anak hasil perbuatan zina dengan ibunya maka
tetap ada saling mewarisi. Anak hasil zina ini sama seperti anak-
anak yang lain dari ibunya tersebut. Karena ia adalah anaknya,
maka ia masuk dalam keumuman.
4. Anak zina terputus nasab dan hak warisnya dari lelaki yang menzinahi
ibunya. Dengan dasar ini maka anak zina tersebut bukanlah mahram
bagi keluarga lelaki tersebut, sebab status mahram didapatkan dengan
tiga sebab yaitu nasab, persusuan dan perkawinan.

Daftar pustaka :
Syamhudi, Kholid, 2008, majalah As-Sunnah Edisi 09. Solo: Yayasan Lajnah
Istiqomah Surakarta https://almanhaj.or.id/3354-status-anak-zina.html,
diakses pada 14 Maret 2023 pukul 10.27.

Anda mungkin juga menyukai