Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan pasar modal di Indonesia telah memperlihatkan kemajuan


seiring dengan perkembangan ekonomi Indonesia. Menurut Rijanto dalam Anoraga
(2001:97), perkembangan pasar modal dipengaruhi oleh partisipasi yang aktif, baik
dari perusahaan yang akan menjual sahamnya maupun pihak-pihak lain yang
terlibat dalam kegiatan pasar modal. Hal tersebut dibuktikan dengan semakin
banyaknya perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, bertambahnya
jumlah emiten sebanyak 55 perusahaan pada tahun 2019. Selain itu juga sepanjang
tahun 2019, investor di pasar modal Indonesia tumbuh signifikan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Seluruh investor tumbuh 53,04% yang terdiri dari
investor saham, reksa dana dan surat berharga negara (www.cnbcindonesia.com, 30
Desember 2019). Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) selaku Self
Regulatory Organization (SRO) yaitu Inarno Djajadi memprediksi bahwa
perkembangan pasar modal di Indonesia akan terus mengalami peningkatan
(www.denotasi.com, 26 Maret 2019).

Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka


panjang yang dapat diperjualbelikan baik dalam bentuk utang atau modal sendiri,
baik yang diterbitkan pemerintah maupun perusahaan swasta. Pasar modal juga
merupakan pasar tempat pertemuan dan melakukan transaksi antara pihak-pihak
pencari dana (emiten) dengan pihak yang kelebihan dana (surplus fund). Investor
dapat melakukan investasi di beberapa perusahaan melalui pembelian surat-surat
berharga yang ditawarkan atau diperdagangkan di pasar modal (Hermuningsih,
2012).

1
2

Di pasar modal, sekuritas yang paling populer adalah sekuritas saham.


Saham merupakan surat bukti bahwa kepemilikan atas aset-aset perusahaan yang
menerbitkan saham, dengan adanya kepemilikan saham ini, investor mempunyai
hak atas pendapatan dan kekayaan perusahaan setelah dikurangi dengan kewajiban
perusahaan (Tandelilin, 2001:18). Dengan semakin tingginya volume perdagangan
saham dan melonjaknya jumlah saham yang ditransaksikan, akan dapat mendorong
perkembangan pasar modal di Indonesia. Seiring dengan perkembangan tersebut,
maka kebutuhan akan informasi dalam pengambilan keputusan investasi di pasar
modal juga meningkat.

Perusahaan yang diminati para investor untuk berinvestasi yaitu perusahaan


manufaktur khususnya dibagian sektor industri barang konsumsi yang sangat
digemari oleh masyarakat. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
menyatakan, selama lima tahun terakhir (2015 – Triwulan I 2020) realisasi investasi
di sektor manufaktur mencapai Rp 1.348,9 triliun. Sektor utama yang paling
diminati ialah industri makanan yang investasinya mencapai Rp 293,2 triliun atau
setara dengan USD 21,4 miliar dengan persentase total investasi sebanyak 21,7
persen (www.liputan6.com, 27 Mei 2020). Perusahaan sektor industri barang
konsumsi mampu mempertahankan pertumbuhan positif, bahkan di tengah krisis
keuangan global saat keadaan ekonomi negara industri menurun. Hal ini
dikarenakan perusahaan sektor industri barang konsumsi memegang peranan
penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Salah satu kebutuhan pokok dari
masyarakat adalah kebutuhan masyarakat dalam mengonsumsi produk makanan,
minuman, dan obat-obatan yang selalu meningkat. Berdasarkan kenyataan tersebut,
banyak yang menganggap bahwa perusahaan makanan dan minuman mampu
bertahan dan akan terus berkembang sehingga akan mendapatkan keuntungan
(return).

Return adalah hasil (keuntungan atau kerugian) yang diperoleh dari suatu
investasi saham atau jual beli saham di pasar modal. Return merupakan salah satu
faktor yang memotivasi investor untuk berinvestasi dan juga merupakan imbalan
atas keberanian investor dalam menanggung risiko atas investasi yang dilakukan
(Tandelilin, 2017:113). Memperoleh keuntungan (return) yang tinggi adalah tujuan
investor dalam melakukan investasi (Verawati, 2014). Return saham sangat erat
3

kaitannya dengan harga saham, karena ketika harga saham meningkat maka return
saham yang akan diperoleh investor juga meningkat, yang artinya return saham
bernilai positif atau capital gain. Hal tersebut tentunya memberikan dampak baik
bagi perusahaan, karena perusahaan akan memperoleh laba yang tinggi. Namun
sebaliknya, ketika harga saham menurun maka investor akan mengalami kerugian,
artinya return saham yang akan diperoleh investor bernilai negatif atau mendapat
capital loss (Putri ,2019).

Menurut Brigham & Houston (2012:125) investor mempunyai tujuan utama


dalam menanamkan dananya ke dalam perusahaan yaitu untuk mencari pendapatan
atau tingkat kembalian investasi (return) baik berupa pendapatan dividen (dividend
yield) maupun pendapatan dari selisih harga jual saham terhadap harga belinya
(capital gain). Yield merupakan komponen return yang mencerminkan aliran kas
atau pendapatan yang diperoleh secara periodik dari suatu investasi. Yield
ditunjukkan oleh besarnya dividen yang kita peroleh ketika berinvestasi.
Sedangkan, capital gain sebagai komponen kedua dari return merupakan kenaikan
(penurunan) harga suatu surat berharga (bisa saham maupun surat utang jangka
panjang), yang bisa memberikan keuntungan (kerugian) bagi investor. Dengan kata
lain, capital gain (loss) bisa juga diartikan sebagai perubahan harga sekuritas
(Tandelilin, 2017:114). Para investor seringkali menginginkan keuntungan dengan
segera sehingga mereka lebih menginginkan keuntungan dalam bentuk capital gain
dibandingkan dividen yield, karena tidak semua perusahaan membagikan dividen
secara periodik kepada pemegang saham (Hartono, 2017).
4

Berikut adalah data return saham pada sektor industri barang konsumsi
sebanyak 37 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada periode
2014-2018, adalah sebagai berikut :

Tabel 1.1
Return Saham Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi
Periode 2014-2018

Rata-
Return Saham
rata
No Kode
Return
2014 2015 2016 2017 2018
Saham
1 ADES -31,25% -26,18% -1,48% -11,50% 3,95% -13,29%
2 AISA 83,77% -42,24% 60,74% -75,53% -64,71% -7,59%
3 ALTO -38,25% -7,67% 1,54% 17,58% 3,09% -4,74%
4 BTEK -17,11% 42,86% -31,67% -88,62% 7,14% -17,48%
5 BUDI -1,83% -41,12% 38,10% 8,05% 2,13% 1,06%
6 CEKA 29,31% -10,00% 100,00% -4,44% 6,59% 24,29%
7 DLTA 2,63% -98,67% -3,85% -8,20% 19,83% -17,65%
8 DVLA -23,18% -23,08% 35,00% 11,68% -1,02% -0,12%
9 GGRM 44,52% -9,39% 16,18% 31,14% -0,21% 16,45%
10 HMSP 10,82% 36,93% -95,93% 23,50% -21,56% -9,25%
11 ICBP 28,43% 2,86% -36,36% 3,79% 17,42% 3,23%
12 IIKP 51,82% 10,03% -31,70% -86,85% -27,27% -16,80%
13 INAF 132,03% -52,68% 2685,71% 26,07% 10,17% 560,26%
14 INDF 4311,76% -23,33% 53,14% -3,79% -2,30% 867,10%
15 KAEF 148,31% -40,61% 216,09% -1,82% -3,70% 63,65%
16 KICI -0,74% -6,72% -52,00% 42,50% 66,08% 9,82%
17 KLBF 46,40% -27,87% 14,77% 11,55% -10,06% 6,96%
18 LMPI -18,60% -35,43% 19,47% 23,70% -13,77% -4,93%
19 MBTO -34,43% -30,00% 32,14% -27,03% -6,67% -13,20%
20 MERK -15,34% -95,77% 35,79% -7,61% -49,41% -26,47%
21 MLBI -0,42% -31,38% 43,29% 16,38% 17,00% 8,98%
22 MRAT -24,73% -40,57% 0,96% -1,90% -13,11% -15,87%
23 MYOR -19,62% 45,93% -94,61% 22,80% 29,70% -3,16%
24 PSDN -4,67% -14,69% 9,84% 91,04% -25,00% 11,31%
25 PYFA -8,16% -17,04% 78,57% -8,50% 3,28% 9,63%
26 RMBA -8,77% -1,92% -5,10% -21,49% -17,89% -11,04%
27 ROTI 35,78% -8,66% 26,48% -20,31% -5,88% 5,48%
28 SIDO -12,86% -9,84% -5,45% 4,81% 54,13% 6,16%
29 SKBM 102,08% -2,58% -32,28% 11,72% -2,80% 15,23%
30 SKLT 66,67% 23,33% -16,76% 257,14% 36,36% 73,35%
31 STTP 85,81% 4,69% 5,80% 36,68% -13,99% 23,80%
32 TBLA 60,64% -32,45% 94,12% 23,74% -29,39% 23,33%
33 TCID 47,27% -5,85% -24,24% 43,20% -3,63% 11,35%
34 TSPC -11,85% -38,92% 12,57% -8,63% -22,78% -13,92%
35 ULTJ -17,33% 6,05% 15,84% -71,66% 4,25% -12,57%
36 UNVR 24,23% 14,55% 4,86% 44,07% -18,78% 13,79%
37 WIIM -6,72% -31,20% 2,33% -34,09% -51,38% -24,21%
Sumber : www.idx .co.id (data diolah)
5

Berdasarkan Tabel 1.1 di atas dapat dilihat bahwa selama tahun 2014-2018
masing-masing perusahaan mengalami fluktuasi return saham, yang artinya
perusahaan tersebut belum bisa memperoleh tingkat return yang paling optimal
seperti yang diharapkan investor. Selama tahun 2014-2018 nilai return saham yang
bernilai positif dimiliki oleh 20 perusahaan sektor industri barang konsumsi,
sedangkan nilai return saham bernilai negatif dimiliki oleh 17 perusahaan sektor
industri barang konsumsi. Artinya, 54% perusahaan sektor industri barang
konsumsi mengalami keuntungan (capital gain) dan 46% perusahaan sektor
industri barang konsumsi mengalami kerugian yang besar. Kerugian yang terjadi
tersebut salah satunya dikarenakan harga saham perusahaan sektor industri barang
konsumsi mengalami penurunan dari tahun sebelumnya, akibatnya return saham
juga ikut menurun yang artinya return saham bernilai negatif atau mendapatkan
capital loss. Dengan demikian, keuntungan (capital gain) yang diperoleh juga
semakin kecil sehingga tidak sesuai dengan harapan investor. Pada saat
berinvestasi, investor harus benar-benar menyadari bahwa ketika akan memperoleh
keuntungan tentunya juga akan mengalami kerugian. Maka dari itu, return sangat
penting karena sebagai salah satu daya tarik bagi investor untuk menanamkan
modalnya pada suatu perusahaan atas investasi yang dilakukannya dan juga sebagai
acuan investor dalam memperoleh keuntungan maupun kerugian (Putri, 2019).

Kenaikan dan penurunan return saham menunjukkan kepercayaan investor


untuk melakukan transaksi di pasar modal. Salah satu faktor yang dapat mendukung
tingkat return saham yang baik dapat dilihat dari kinerja perusahaan. Menurut
Budiman (2018) kinerja perusahaan digunakan sebagai dasar pertimbangan untuk
pengambilan keputusan bagi pihak investor. Pengambilan keputusan investasi,
dapat dilakukan dengan menganalisis nilai saham yang merupakan langkah
mendasar yang harus dilakukan oleh investor sebelum melakukan investasi.
Analisis fundamental merupakan teknik analisis saham yang didasarkan pada
kinerja dan prospek bisnis dari sebuah perusahaan. Sebagai seorang investor saham,
dokumen utama yang membantu menganalisis saham dalam pengambilan
keputusan investasi yaitu laporan keuangan.
6

Laporan keuangan merupakan suatu dokumen yang menggambarkan


kondisi keuangan perusahaan dalam periode tertentu. Laporan keuangan umumnya
terdiri dari lima bagian, yaitu : 1. Neraca, 2. Laporan Laba Rugi, 3. Laporan
Perubahan Ekuitas, 4. Laporan Arus Kas dan 5. Catatan atas Laporan Keuangan
(Budiman, 2018:3). Laporan keuangan digunakan untuk mengukur kinerja serta
memprediksi prospek perusahaan di masa yang akan datang dengan menggunakan
harga saham serta ukuran yang sering digunakan dalam analisis fundamental yaitu
rasio keuangan (Efrizon, 2019).

Rasio keuangan adalah suatu kajian yang melihat perbandingan antara


jumlah-jumlah yang terdapat pada laporan keuangan dengan mempergunakan
formula yang dianggap representatif untuk digunakan. Rasio menggambarkan suatu
hubungan atau perimbangan (mathematical relationship) antara suatu jumlah
tertentu dengan jumlah yang lain, dan dengan menggunakan alat analisa berupa
rasio ini akan dapat menjelaskan atau memberi gambaran kepada penganalisa
tentang baik atau buruknya keadaan suatu perusahaan (Putri, 2019). Rasio keuangan
sangat kuat dalam memprediksi return saham masa depan dan memiliki daya
prediksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan rasio lainnya (Kheradyar, 2011).
Menurut Budiman (2018) analisis fundamental mampu memberikan gambaran
kesehatan perusahaan serta potensi saham yang akan diinvestasikan. Dalam analisis
fundamental, rasio keuangan yang paling dominan dijadikan perhatian investor
karena dianggap dapat mempresentasikan analisis tentang kondisi kinerja keuangan
suatu perusahaan terdiri dari rasio pertumbuhan penjualan, return on equity (ROE),
debt to equity ratio (DER), price earning ratio (PER), dan price to book value
(PBV). Dengan melakukan lima rasio keuangan tersebut, dapat menilai apakah
sebuah perusahaan memiliki kinerja yang baik atau tidak, serta analisis ini lebih
rasional dalam mempertimbangkan saham tersebut layak atau tidak layak untuk
diinvestasi.

Penjualan perusahaan merupakan patokan bagi investor maupun pemilik


untuk melihat berkembanganya perusahaan (Manurung, 2007:93). Sebelum
investor memutuskan untuk membeli saham, investor perlu melihat bagaimana
pertumbuhan penjualan suatu emiten. Pertumbuhan penjualan sangat penting bagi
sebuah perusahaan, dimana omzet penjualan merupakan ujung tombak dari suatu
7

perusahaan. Pertumbuhan penjualan merupakan perbandingan penjualaan tahun


yang bersangkutan dengan penjualan tahun sebelumnya. Jika pertumbuhan
penjualan per tahun selalu menunjukkan perkembangan yang positif atau terus
meningkat dari tahun ke tahun berarti emiten tersebut memiliki prospek untuk
berkembang di masa datang dan hal ini merupakan salah satu penyebab investor
percaya pada emiten atau perusahaan. Kenaikan harga saham proporsional dengan
pertumbuhan penjualan, jika nilai perbandingan semakin besar dapat dikatakan
bahwa tingkat pertumbuhan penjualan perusahaan semakin baik sehingga akan
meningkatkan harga saham. Semakin tinggi harga saham tersebut, maka return
saham yang dibagikan pada pemegang saham dalam suatu perusahaan akan
meningkat (Budiman, 2018).

Gambar 1.1
Grafik Perubahan Pertumbuhan Penjualan dan Return Saham pada PT.
Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2018
8

Berdasarkan gambar 1.1 di atas, PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.
(ICBP) pada periode 2015-2016 pertumbuhan penjualan mengalami kenaikan
sebesar 0,029 atau 2,9%, akan tetapi return saham mengalami penurunan sebesar
0,393 atau 39,3%. Begitupun pada periode 2016-2017 pertumbuhan penjualan
mengalami penurunan sebesar 0,053 atau 5,3%, akan tetapi return saham
mengalami kenaikan sebesar 0,402 atau menjadi 40,2%. Hal tersebut tidak sesuai
dengan teori Budiman (2018) yang dimana jika pertumbuhan penjualan mengalami
kenaikan maka nilai return saham akan naik, begitupun sebaliknya.

Menurut Kasmir (2015) rasio profitabilitas merupakan rasio untuk menilai


kemampuan perusahaan dalam mencari keuntungan. Rasio ini juga memberikan
ukuran tingkat efektivitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh
laba yang dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi, sehingga bahwa
penggunaan rasio ini menunjukkan efisiensi perusahaan. Return on equity (ROE)
merupakan ukuran kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuntungan
dengan menggunakan modal sendiri, sehingga return on equity (ROE) ini sering
disebut sebagai rentabilitas modal sendiri. Jika perusahaan dapat menghasilkan laba
yang tinggi, maka permintaan saham akan meningkat dan selanjutnya akan
berdampak pada meningkatnya harga saham perusahaan. Menurut Kasmir (2017)
semakin tinggi rasio return on equity (ROE) menunjukkan semakin efektif
perusahaan dalam menggunakan modal sendiri untuk menghasilkan laba. Dengan
demikian, kinerja yang ditunjukkan oleh perusahaan juga semakin baik sehingga
akan meningkatkan daya tarik investor terhadap perusahaan. Peningkatan daya tarik
ini menjadikan perusahaan tersebut semakin diminati investor, karena tingkat
return on equity (ROE) yang semakin tinggi sehingga mengakibatkan harga saham
perusahaan akan meningkat dan return saham juga meningkat, oleh karena itu
return saham bernilai positif.
9

Gambar 1.2
Grafik Perubahan Return On Equity (ROE) dan Return Saham pada PT.
Darya Varia Laboratoria Tbk. Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2018

Berdasarkan gambar 1.2 di atas, PT. Darya Varia Laboratoria Tbk. (DVLA)
pada periode 2016-2017 rasio return on equity (ROE) mengalami kenaikan sebesar
0,004 atau 0,04%, akan tetapi return saham mengalami penurunan sebesar 0,233
atau 23,3%. Begitupun pada periode 2017-2018 rasio return on equity (ROE)
mengalami kenaikan sebesar 0,022 atau 2,2%, akan tetapi return saham mengalami
penurunan sebesar 0,127 atau 12,7%. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori Kasmir
(2017) yang dimana jika return on equity (ROE) mengalami kenaikan maka nilai
return saham akan naik, begitupun sebaliknya.
10

Menurut Budiman (2018:44) analisis utang memberikan kita gambaran


tentang tingkat kesehatan keuangan perusahaan, serta kekuatan struktur permodalan
perusahaan. Dalam analisis utang dapat menggunakan rasio debt to equity ratio
(DER) yaitu membandingkan total utang perusahaan dengan total ekuitas atau dana
dari pemegang saham. Debt to equity ratio (DER) adalah suatu rasio keuangan yang
menunjukan proporsi relatif antara utang dan ekuitas yang digunakan untuk
pendanaan perusahaan. Semakin tinggi nilai debt to equity ratio (DER) maka
semakin kecil jumlah modal pemilik perusahaan yang dapat dijadikan sebagai
jaminan utang, sehingga tingkat risiko perusahaan semakin besar karena bisa saja
mengalami kegagalan keuangan. Hal ini membawa dampak pada menurunnya
harga saham di bursa, sehingga return saham juga akan menurun yang berarti return
saham bernilai negatif (Hery, 2018).

Gambar 1.3
Grafik Perubahan Debt to Equity Ratio (DER) dan Return Saham pada PT.
Siantar Top Tbk. Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di
Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2018
11

Berdasarkan gambar 1.3 di atas, PT. Siantar Top Tbk. (STTP) pada periode
2014-2015 rasio debt to equity ratio (DER) mengalami penurunan sebesar 0,182
atau 18,2% yang seiring dengan penurunan pada return saham sebesar 0,811 atau
81,1%. Begitupun pada periode 2015-2016 rasio debt to equity ratio (DER)
mengalami kenaikan sebesar 0,097 atau 9,7% yang seiring dengan kenaikan pada
return saham sebesar 0,011 atau 1,1%. Hal tersebut tidak sesuai dengan teori Hery
(2018) yang dimana jika debt to equity ratio (DER) mengalami kenaikan maka nilai
return saham akan turun atau bernilai negatif, begitupun sebaliknya.

Menurut Budiman (2018:47) tujuan analisis harga saham adalah untuk


menentukan apakah harga saham dari sebuah perusahaan menarik untuk
diinvestasikan atau tidak. Price earning ratio (PER) adalah rasio yang digunakan
untuk melihat bagaimana pasar menghargai kinerja saham suatu perusahaan
terhadap kinerja perusahaan. Semakin tinggi price earning ratio (PER)
menunjukkan prospek harga saham dinilai semakin tinggi oleh investor terhadap
pendapatan per lembar sahamnya, sehingga price earning ratio (PER) yang
semakin tinggi juga menunjukkan semakin mahal saham tersebut terhadap
pendapatan per lembar sahamnya. Perusahaan yang memiliki price earning ratio
(PER) yang tinggi biasanya memiliki peluang tingkat pertumbuhan yang tinggi,
yang menyebabkan ketertarikan investor untuk membeli saham perusahaan yang
kemudian dapat meningkatkan harga saham, sehingga peningkatan harga saham
yang terjadi akan direspon positif oleh para investor karena mereka akan
memperoleh capital gain yang merupakan salah satu komponen return saham,
sehingga price earning ratio (PER) akan memiliki pengaruh positif terhadap return
saham (Husnan, 2009:75).
12

Gambar 1.4
Grafik Perubahan Price Earning Ratio (PER) dan Return Saham pada PT.
Wilmar Cahaya Indonesia Tbk. Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2018

Berdasarkan gambar 1.4 di atas, PT. Wilmar Cahaya Indonesia Tbk.


(CEKA) pada periode 2015-2016 rasio price earning ratio (PER) mengalami
penurunan sebesar 0,55 atau 55% akan tetapi return saham mengalami kenaikan
sebesar 1,10 atau 110%. Begitupun pada periode 2016-2017 rasio price earning
ratio (PER) mengalami kenaikan sebesar 3,93 atau 393%, akan tetapi return saham
mengalami penurunan sebesar 1,04 atau 104%. Hal tersebut tidak sesuai dengan
teori Husnan (2009) yang dimana jika price earning ratio (PER) mengalami
kenaikan maka nilai return saham akan naik, begitupun sebaliknya.
13

Price to book value (PBV) menggambarkan seberapa besar pasar


menghargai nilai buku suatu saham (Darmadji, 2009:101). Perusahaan yang telah
berjalan dengan baik umumnya rasio price to book value (PBV) mencapai di atas
satu yang menunjukkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai bukunya
(Husnan, 2006). Price to book value (PBV) menunjukkan seberapa jauh suatu
perusahaan mampu menciptakan nilai perusahaan yang relatif terhadap jumlah
modal yang dinvestasikan, semakin tinggi price to book value (PBV) maka
mencerminkan pasar semakin percaya dengan prospek perusahaan kedepannya.
Semakin besar rasio price to book value (PBV), maka saham tersebut menarik bagi
investor sehingga harga saham akan meningkat. Harga saham sangat erat kaitannya
dengan return saham, karena ketika harga saham meningkat maka return saham
yang akan diperoleh investor juga meningkat (Budiman 2018:49).

Gambar 1.5
Grafik Perubahan Price to Book value (PBV) dan Return Saham pada PT.
Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi
yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2014-2018
14

Berdasarkan gambar 1.5 di atas, PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.
(ICBP) pada periode 2014-2015 rasio price to book value (PBV) mengalami
kenaikan sebesar 1,743 atau 174,3% akan tetapi return saham mengalami
penurunan sebesar 0,255 atau 25,5%. Begitupun pada periode 2016-2017 price to
book value (PBV) mengalami penurunan sebesar 2,123 atau 212,3% akan tetapi
return saham mengalami kenaikan sebesar 0,402 atau 40,2%. Hal tersebut tidak
sesuai dengan teori Budiman (2018) yang dimana jika price to book value (PBV)
mengalami kenaikan, maka nilai return saham akan naik, begitupun sebaliknya.

Banyak penelitian yang telah dilakukan namun terdapat beberapa perbedaan


tentang variabel-variabel yang dipilih dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda.
Penelitian yang dilakukan oleh Andriasari, Miyasto, & Mawardi (2016)
menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan berpengaruh positif terhadap return
saham. Hal ini sejalan dengan penelitian Muslih & Fitriah (2019) menyatakan
bahwa pertumbuhan penjualan memiliki arah positif dan berpengaruh terhadap
return saham. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Audina
& Ulfha (2018) menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan memiliki pengaruh
yang negatif dan tidak signifikan terhadap return saham.

Penelitian yang dilakukan oleh Latifah & Pratiwi (2019) menyatakan bahwa
return on equity (ROE) berpengaruh positif signifikan terhadap return saham. Hal
ini sejalan dengan penelitian Sadikin, Yulianto, & Dahniar (2019) menyatakan
bahwa return on equity (ROE) berpengaruh positif signifikan terhadap return
saham. Hasil tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Nurmasari
(2018) menyatakan bahwa return on equity (ROE) secara parsial tidak berpengaruh
signifikan terhadap return saham dan penelitian Mangantar & Baramuli (2018)
menyatakan bahwa secara parsial return on equity (ROE) tidak berpengaruh
signifikan terhadap return saham.

Penelitian yang dilakukan oleh Nurmasari (2018) yang menyatakan bahwa


debt to equity ratio (DER) secara parsial berpengaruh negatif signifikan terhadap
return saham dan secara simultan berpengaruh signifikan terhadap return saham
dan penelitian Wahyu & Permata (2019) menyatakan bahwa debt to equity ratio
(DER) berpengaruh negatif signifikan terhadap return saham. Hasil tersebut
15

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramdoni & Gantino (2019) bahwa
debt to equity ratio (DER) tidak berpengaruh terhadap return saham dan penelitian
Sadikin, Yulianto, & Dahniar (2019) menyatakan bahwa debt to equity ratio (DER)
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap return saham.

Penelitian yang dilakukan oleh Malintan & Rio (2012) menyatakan bahwa
price earning ratio (PER) berpengaruh positif terhadap return saham. Hal ini
sejalan dengan penelitian Mutia & Martaseli (2018) menyatakan bahwa price
earning ratio (PER) berpengaruh terhadap return saham. Hasil tersebut berbeda
dengan penelitian yang dilakukan oleh Situmeang & Dini (2019) secara parsial
price earning ratio (PER) tidak berpengaruh positif dan tidak signifikan terhadap
return saham dan penelitian Ramdoni & Gantino (2019) menyatakan bahwa price
earning ratio (PER) tidak berpengaruh terhadap return saham.

Penelitian yang dilakukan oleh Dwialesi & Darmayanti (2016) menyatakan


bahwa Price to Book Value (PBV) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
return saham. Hal ini sejalan dengan penelitian Saraswati (2019) menyatakan
bahwa price to book value (PBV) berpengaruh terhadap return saham. Hasil
tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Azizah, Hariani, &
Dianawati (2019) menyatakan bahwa price to book value (PBV) secara parsial tidak
berpengaruh terhadap return saham.
Berdasarkan latar belakang dan fenomena yang telah diuraikan di atas
beserta hasil penelitian terdahulu yang menunjukkan inkonsistensi satu dengan
yang lainnya, sehingga menyebabkan munculnya research gap, maka penulis
tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut yang akan dituangkan dalam
laporan tugas akhir dengan judul “Pengaruh Pertumbuhan Penjualan, Return
On Equity (ROE), Debt to Equity Ratio (DER), Price Earning Ratio (PER), Dan
Price to Book Value (PBV) terhadap Return Saham (Studi Empiris pada
Perusahaan Sektor Industri Barang Konsumsi yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode 2014-2018)”.
16

1.2 Identifkasi Masalah


Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah diuraikan di atas, maka
masalah yang teridentifikasi pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018 adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Pertumbuhan Penjualan perusahaan sektor industri barang


konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.
2. Tingkat Return On Equity (ROE) pada perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.
3. Tingkat Debt to Equity Ratio (DER) pada perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.
4. Tingkat Price Earning Ratio (PER) pada perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.
5. Tingkat Price to Book Value (PBV) pada perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.
6. Return Saham pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2014-2018.

1.3 Pembatasan Masalah


Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas serta
mempertimbangkan berbagai keterbatasan yang ada, maka penulis hanya
membatasi penelitian yang berfokus pada pengaruh pertumbuhan penjualan, return
on equity (ROE), debt to equity ratio (DER), price earning ratio (PER), dan price
to book value (PBV) terhadap return saham pada perusahaan sektor industri barang
konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2014-2018.
17

1.4 Perumusan Masalah


Berdasarkan pada batasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:

1. Apakah Pertumbuhan Penjualan berpengaruh terhadap Return Saham pada


perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2014-2018.
2. Apakah Return On Equity (ROE) berpengaruh terhadap Return Saham pada
perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek
Indonesia periode 2014-2018.
3. Apakah Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh terhadap Return Saham
pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2014-2018.
4. Apakah Price Earning Ratio (PER) berpengaruh terhadap Return Saham
pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2014-2018.
5. Apakah Price to Book Value (PBV) berpengaruh terhadap Return Saham
pada perusahaan sektor industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa
Efek Indonesia periode 2014-2018.
6. Apakah Pertumbuhan Penjualan, Return On Equity (ROE), Debt to Equity
Ratio (DER), Price Earning Ratio (PER), dan Price to Book Value (PBV)
secara simultan berpengaruh terhadap Return Saham pada perusahaan sektor
industri barang konsumsi yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode
2014-2018.

Anda mungkin juga menyukai