Windy Joana. H| 2
Sahabat
Word can’t say how much I want you to be mine.
Windy Joana. H| 4
dengan Tama hanya bisa mengangguk, segala yang diucapkan
Tama adalah kebenaran bagi Windy.
Windy bisu, Windy hidup dalam diam sepanjang
hidupnya, tapi seorang Tama selalu mengerti apapun tentang
Windy tanpa harus Windy ungkapkan. Hanya satu hal yang tidak
Tama mengerti…yaitu perasaan Windy padanya.
Gadis kecil yang selalu dia antar dan jemput dengan
sepedanya itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang
mengagumi Tama. Windy menyukai Tama, menyayangi, dan
mencintainya, meskipun Tama tidak mengerti itu.
Mungkin Tama hanya menganggap Windy tetangganya,
yang harus ia antar kesekolah pagi-pagi dengan sepeda birunya dan
menjemputnya jika pukul 14.00 siang, Adik kecil yang harus ia
lindungi jika sekelompok orang menghinanya.
Yah, tidak lebih dari pada itu.
"Oi oper ke sini oi!"
"Tama tangkap!"
Ah, lihatlah Tama. Di mata Windy Tama Seperti pemeran
buku komik yang selalu ia baca mewujudkan dirinya di
hadapannya sekarang.
"Tama fighting!"
"Wah kak Tama, gila dia ganteng banget." Windy
mengalihkan pandangannya pada sekelompok anak perempuan
Windy Joana. H| 5
yang memuja-muji Tama dengan teriakannya yang memekkakan
telinga.
Windy kesal.
Windy iri.
Windy juga ingin meneriakkan nama Tama dan memberi
semangat padanya. Tapi itu hanya harapan Windy, Angan-angan
semata. Nama Tama tidak pernah bisa ia sebutkan.
"Windy!" Panggilan Tama mengakhiri lamunan Windy,
Windy melihat Tama penuh peluh dengan nafas yang tidak
karuan—Windy terburu-buru mengambil handuk kecil dan botol
air minum dan memberikan padanya.
Tama terkekeh, matanya membentuk bulan sabit, giginya
yang rapi menambah nilai seni senyumannya. Tama kemudian
mengacak pelan rambut Windy.
"Aduh, Pinternya." Windy hanya bisa memamerkan
cengiran khasnya begitu mendengar pujian Tama.
Lapangan basket sore itu hampir kosong, hanya ada Mark
anak kelas satu yang bertugas memungut bola serta Windy dan
Tama yang duduk di sebuah bangku kayu tepat di pinggir lapangan
menikmati angin sepoi-sepoi di bawah langit yang mulai
menguning sore itu.
"Windy laper?" Windy menggeleng, Haruskah Windy
bilang kalau ia bahkan sudah kenyang melihat tawa Tama?
"Mau langsung pulang?"
Windy Joana. H| 6
Tidak Tama, bisakah kita lebih lama disini? Aku mohon.
Tama sudah lama mengenal Windy, Bahkan dari ekpresi
Windy dia sudah tahu gadis itu belum ingin pulang.
"Gak mau pulang yah? Terus mau apa?"
Windy merogoh tasnya yang berisi buku catatan dan
pulpen kecil berwarna pink—kedua item itu Tama yang
membelikannya, katanya hadiah, Tama bahkan punya buku catatan
yang sama berwarna biru padahal dia tidak memerlukan catatan itu
untuk berkomunikasi. Kata Tama jika ada sesuatu yang ingin
Windy katakan Windy harus menulisnya di sana, di buku catatan
pinknya
"Just stay here, with you." Tulis Windy.
"Hehe tapi ini udah sore, Windy cantik pulang yuk?" Ajak
Tama lembut. Tapi Windy menggeleng sekali lagi sembari
melengkungkan bibir kebawah sehingga membuat Tama yang tadi
sudah bangkit kembali duduk di tempatnya.
"Kok gak mau? Terus windy maunya apa? Hem?"
"Pengen pacaran sama Tama."
Entahlah, suasana sore ini begitu mendukung dan Windy
pikir semesta mendukungnya untuk menyatakannya. Ah, itu
bahkan bukan pernyataan cinta, kalimat yang ditulis Windy hanya
terlihat seperti godaan yang jahil. Tapi bagaimanapun Windy
sudah Menyatakan kalau ia begitu menginginkan Tama. Bukan
Windy Joana. H| 7
sekedar sebagai pria yang peduli padanya, tapi sebagai pria
tempatnya berbagi perasaan dan kasih. Jadi pacarnya.
"Me?" Tama menunjuk dirinya sendiri. "Tapi Windy—"
Windy meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri dan menutup
matanya rapat. Jujur saja Windy tidak siap mendengar jawaban
atau melihat gerakan bibir Tama saat menjawabnya.
Tama menyingkirkan jari Windy lembut, mengenggam
jemari Windy dan meletakkannya di atas pahanya, Tama juga
mengelus pipi Windy sehingga membuat Windy membuka
kelopak matanya perlahan.
Di sana Tama tersenyum, Senyuman Tama yang manis
bahkan matanya mengikuti lengkungan senyuman di bibirnya. Dan
mata Tama bagaikan danau yang tenang di tengah pegunungan,
memandangnya menghilangkan dahaga, membuat nyaman entah
mengapa, dan membuat Windy ingin tetap memandang pupil
kecoklatan itu.
"Windy, I can't. You know i'm your best friend. Kakak sudah
janji sama diri kakak sendiri buat jagain kamu, Tapi sebagai
sahabat kamu. Mungkin kamu mengartikan lain rasa sayang kakak
ke kamu. Tapi perasaan kakak ke kamu sekedar perhatian seorang
sahabat pria kepada sahabat wanitanya. Tidak lebih."
Bodoh, jangan menangis. Runtuk Windy saat air matanya
jatuh tanpa permisi tatkala Tama menyelesaikan kalimatnya.
Windy Joana. H| 8
Sebenarnya Windy sudah menduga jawaban Tama, Gadis
cacat seperti Windy tidak akan pernah mendapatkan pria
sempurna tanpa kekurangan seperti Tama. Windy kemudian sadar
Tama bukannya tidak mengerti perasaan Windy padanya, ia
mengerti hanya saja Tama tidak memiliki perasaan yang sama
sehingga mengabaikannya.
Windy kemudian menghapus air matanya kasar dan
bangkit meninggalkan Tama yang kini sudah berteriak memanggil
namanya. "Windy mau kemana? Kakak anterin!"
Masih adakah perempuan yang ingin di antar pulang oleh
pria yang menolaknya? Pakai otak mu Tama!
"Windy!"
Stop calling my name.
"Kakak anterin, Naik!" Tama menarik lembut tangan
Windy sambil mengeluarkan nada tegas dari bibirnya, sementara
Windy sibuk menyeka air matanya. Windy malu tentu saja, lalu
mengapa Tama terus mengejarnya? Windy hanya ingin menangis
sendiri di perjalanan pulangnya tanpa Tama.
"Naik, kakak gak bakal biarin kamu pulang sendiri."
Masih adakah perempuan yang ingin di antar pulang oleh
pria yang menolaknya? Jawabannya ada dan itu adalah Windy.
"Gak ada yang akan berubah Windy, kakak bakal terus
nganterin dan jemput kamu. Jadi jangan pulang sendiri, bahaya!"
Tama Jangan memanggil dirimu sendiri 'kakak' karena pada
Windy Joana. H| 9
kenyataanya Tama dan Windy lahir di tahun yang sama. Hanya
karena kau lebih tinggi dan selalu menjaga Windy itu bisa merubah
status mu jadi kakak Windy.
Apakah menjadi kakak Windy menjadi salah satu teknik
Tama menolak Windy secara halus? Seperti pria-pria pemberi
harapan palsu yang selalu Windy baca di situs novel online?
Kakak adik zone itu lebih menyakitkan Tama, Percayalah!
Begitu sepeda biru Tama berhenti di depan rumah Windy,
Windy bergegas turun dan berlari, tapi sayang Tama kembali
menahan pergelangan tangannya.
"Don't cry," Tama pengusap mata Windy yang sembab
dengan ibu jarinya lembut, sementara Windy terus menunduk.
"Kakak gak pernah mau liat kamu sedih apalagi nangis. Kakak juga
sayang kok Wind sama kamu," Tiba-tiba Tama mengangkat dagu
Windy dan mengecup keningnya.
Jantung Windy rasanya ini akan meledak. Bagaimana bisa
Tama meletakkan bibirnya dengan sangat lembut di kening
Windy? Dia mengecupnya, Tama mengecup kening Windy!
"Sebagai sahabat."
Tama jika kau menganggap Windy hanya sebagai sahabat
jangan membuat gesture seolah-olah kau memandang Windy lebih
dari sahabat. Karena tidak ada sahabat laki-laki yang mengecup
kening sahabat perempuannya begitu lama, sama seperti yang kau
lakukan kepada Windy.
Windy Joana. H| 10
Mati Muda
Saving the person you loved isn’t stupid. It isn’t
even a choice. – Koe no katachi
Windy Joana. H| 11
karena sekolahnya mampu mengajari murid bisu, buta, bahkan
yang sedikit bermasalah dengan mentalnya.
Sekolah menengah luar biasa, tempat orang berkebutuhan
khusus. Orang-orang normal melihat sekolah Windy seperti
tempat kumpulan orang-orang tidak berguna, begitulah yang
mereka katakan.
"Kamu bukan anak sinikan? Mau ngapain disini?" Tanya
seorang siswi perempuan begitu melihat Windy yang berdiri
meragu di depan gerbang sekolah Tama, tapi Windy bersyukur
siswi perempuan itu menanyakan tujuannya meski dengan nada
sedikit tidak bersahabat.
Windy berusaha tersenyum dan menuliskan sesuatu
dibuku catatan pink-nya. "Aku ingin bertemu Tama. Pratama Langit
Hadiputera kelas 2 ipa2."
"Ah, Tama? Dia lagi ada praktek tambahan di lab
belakang kayaknya udah hampir selesai, kalau kamu mau nungguin
di sini aja, kalau kamu mau nyamperin lurus aja lewat gedung
tengah yang baru di bangun, pas di belakang gedung itu labnya."
Siswi ini menunjukkan jalan ke sana.
Setelah Windy pikir-pikir siswi ini lumayan baik, dari
sekian banyak siswi yang melewati Windy mereka hanya
memandang Risih. Sedangkan siswi ini mencoba membantu
Windy, meski Windy tahu dia juga siswi ini sedikit risih tapi
setidaknya dia jauh lebih baik.
Windy Joana. H| 12
“Terimakasih, semoga berlimpah cahaya.” Tulis Windy yang
hanya dibalas anggukan lemah dan senyum singkat siswi yang
membantunya.
Sekolah Tama terdiri dari tiga gedung yang berjejer ke
belakang, gedung pertama terdapat ruangan guru dan beberapa
kelas serta lapangan bola dan basket, gedung tengah masih dalam
tahap renovasi, dan ruangan paling belakang adalah tempat
beberapa Lab, baik kimia, biologi ataupun lab bahasa.
Windy sudah menunggu 15 menit tapi Tama tidak
kunjung menampakkan batang hidungnya, sehingga dengan malas
Windy menyeret kakinya untuk menyusulnya ke gedung belakang.
Ini sudah jam pulang sekolah, Windy berharap ia tidak menemui
banyak orang di dalam sana. Windy selalu risih ditatap dengan
mata yang memicing dan sinis padahal gadis itu sama sekali tidak
memiliki masalah apapun dengan mereka.
Windy melewati lapangan basket sembari mengabaikan
beberapa tatapan miring orang-orang yang melihatnya, Windy
tetep memegang tali ranselnya dan berjalan ke gedung yang masih
dalam tahap renovasi itu.
Tunggu, Itu Tama. Dia berada di tengah lorong gedung
yang tengah di renovasi sembari berbicara dengan seorang pria,
tidak lama kemudian Tama menyadari kehadiran Windy yang
berdiri beberapa meter darinya.
Windy Joana. H| 13
"Windy~" Tama melambaikan tangannya kepada gadis
bisu itu yang dibalas lambaian tangan pelan oleh Windy.
Windy sudah lelah berdiri digerbang menunggunya dan
Tama malah asik dengan temannya. Dasar pria—makhluk seperti
mereka tidak pernah peka.
"Ya udah gue duluan kalau gitu Tam." Pamit teman Tama
yang berlalu meninggalkan Tama disana sendirian.
“Oke bro. Makasih ya.” Kini pandangan Tama beralih
pada Windy yang sudah memasang tampang cemberutnya.
"Windy, sini!"
Windy sebal. Pria itu! Seharusnya kau yang kesini, bukan aku
yang harusnya ke sana. Hhhh tapi mau bagaimana lagi?
Windy berjalan dengan wajah yang di tekuk dan bibir yang
di manyunkan, sementara Tama dengan tidak pekanya malah
memainkan handponenya dengan satu tangan yang di masukkan di
saku baju lab berwarna putih yang melekat di badannya.
Windy kesal, saking kesalnya gadis itu mendongkakakan
kepalanya ke atas dan mengirup udara sebanyak-banyaknya dan
saat itu pula Windy melihat sebuah beton baja yang biasa
digunakan untuk penyangga sebuah bangunan akan jatuh tepat ke
arah Tama berdiri.
TAMA AWAS!
Tuhan ijinkan aku berteriak sekarang, aku mohon sekali ini saja.
Windy Joana. H| 14
Ah, persetan. Tama tidak akan selamat jika Windy hanya
terus berharap sampai ia bersuara. Yang dipikirkan Windy
sekarang hanya berlari, berlari menyelamatkan Tama, Tamanya.
Windy berlari sekuat tenaga, sementara Beton penyangga itu sudah
hampir jatuh.
BRAK!
Syukurlah tepat waktu, Windy berhasil mendorong Tama
hingga ia terlempar. Tapi betapa bodohnya Windy karena Tama
malah terbentur beton yang lain, kepalanya berdarah, sepertinya
Tama kehilangan kesadarannya. Setidaknya terbentur lebih baik
dari pada tertimpa, karena terimpa Beton adalah sesuatu yang
paling menyakitkan yang pernah Windy alami.
Beton itu menekan tulang belakang hingga tulang leher
Windy sehingga terdengar bunyi retak yang Windy yakin dari
tulangnya sendiri. Darah keluar dari mulut dan hidung Windy,
kepalanya tergelak di lantai kotor penuh debu sembari menatap
samar Tama yang masih menutup matanya.
Kumohon buka mata mu, kumohon Tama kau harus baik-baik
saja, kau harus.
"Uhuk uhuk!" Windy terbatuk mengeluarkan banyak
darah, gadis itu bahkan tidak bisa lagi menarik nafasnya, dadanya
mulai sesak, Windypun mulai menangis teringat ayah dan ibunya.
Maaf aku harus berakhir seperti ini, meski aku berharap ini bukan
akhirku tapi sepertinya Tuhan berkata lain, Ayah, Ibu, Tama.
Windy Joana. H| 15
Windy pernah membaca buku Soe Hok Gie dengan Tama
waktu itu katanya nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, dan
kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial
adalah umur tua, rasa-rasanya memang begitu, bahagialah
ia yang mati muda.
Windy rasa ia bahagia, dan kebahagiaannya akan
bertambah jika ayah dan ibunya ikhlas, serta Tama-nya selamat
tidak kurang satu apapun, kehidupannya harus berlanjut.
"Wi…Windy,"
Tama?
"Windy." Tama melafalkan nama Windy pelan, meski
matanya tidak berbuka. Windy mengulas senyuman perpisahannya,
bahagia, sakit, dan lega menjadi satu kala Tama sadar dan
melafalkan namanya. Nama Windy.
Telinga Windy berdengung hebat, tak ada lagi nafas yang
mampu ia hembuskan. Sementara Tubuh Tama semakin samar di
mata Windy, gadis itu merentangkan tangan berusaha menggapai
raga Tama, namun padangannya makin buram…buram… hingga
Tama tak terlihat lagi.
“Tama, selamat tinggal. Tama baik-baik saja, Tama ku hidup
dan ia baik-baik saja. Yah, aku bahagia mati muda.☺”
Windy Joana. H| 16
Penyesalan
There is a voice that doesn’t use words. Listen -
Djaluddin Rumi.
Windy Joana. H| 17
"Kok Tama gak bisa lihat apa-apa yah ma? Ah, itu gak
penting. Windy mana ma? Windy gimana? Dia baik-baik ajakan?"
Cecar Tama.
Lelaki ini bahkan tidak memperdulikan matanya yang
tidak bisa melihat objek apapun, ia malah mengingat gadis yang
menyelamatkannya, gadis yang tertimpa beton untuknya.
"Ma? Mama masih disitukan?"
"Iya nak, Mama disini."
"Windy mana Ma? Dia dirawat disini jugakan sama Tama?
Terus mana Windy ma?" Desak Tama.
"Windy—" ibu Regina menggigit bibirnya sendiri. Ia
merasa tidak sanggup mengatakan kalau gadis kecil yang ia anggap
anaknya sendiri itu sudah tidak ada di dunia, apalagi
mengatakannya pada Tama.
Tama yang selalu melindungi Windy sejak kecil, yang
menjadi satu-satunya teman dekat gadis bisu itu. Tama sahabat
Windy, dan Tama putranya yang pernah ia dapati memandang
Windy dari kejauhan sambil tersenyum.
"Ma, sekali lagi Tama tanya Windy mana? Kenapa Mama
diam? Windy gak apa-apakan Ma? Dia baik-baik ajakan?" Mata
Tama mulai berkaca-kaca.
Manusia mana yang baik-baik saja setelah ditimpa beton
yang berlipat-lipat kali beratnya dari berat badannya sendiri? Tidak
ada, secara logika Tama sudah tahu Windy tidak akan selamat.
Windy Joana. H| 18
Tapi disisi lain, Tama masih berharap gadis bisu itu hidup. Tama
tidak ingin hidup dalam penyesalan karena Tama ingat betul
bagaimana Windy menyelamatkannya.
"MAMA, MANA WINDY? MANA MA? WINDY
BAIK-BAIK AJA. KENAPA MAMA NANGIS? KENAPA?"
Tama histeris karena hanya mendapat jawaban air mata dari
ibunya.
"Hhhhhh Windy udah gak ada nak, Windy sudah tenang.
Tama harus ikhlas ya nak ya?" Ibu Regina mencoba menenangkan
Tama yang lepas kendali.
"Enggak mungkin. Bawa aku ke Windy sekarang Ma.
Bawa Tama ke Windy sekarang!" Tama mencoba melepaskan
jarum infus di tangannya, ia kemudian bangkit dari tempat
tidurnya dan hendak pergi. Sampai Tama sadar, ia masih belum
melihat objek apapun sedari tadi.
“Tama! Tenang nak, tenang. Kamu gak apa-apa? Hem?”
"Ma," Panggilnya lirih. "Tama gak liat apa-apa."
Kaki Pratama Langit Hadiputra seakan melemah, Tama
tumbang dari bangkitnya. Tanpa suara Tama menangis,
mengeluarkan air mata dari matanya yang tidak dapat melihat
apapun.
Ia buta, itu yang Tama sadari.
Windy Joana. H| 19
Windy tidak pernah tahu kalau ternyata arwah sepertinya
juga dapat menangis tersendu-sendu. Mungkin bedanya
tangisannya kali ini tidak didengar siapa-siapa, tidak seperti waktu
ia hidup dulu. Gadis itu meruntuki kebodohannya karena
membuat Tama kehilangan penglihatannya.
Sedari tadi arwah yang masih lengkap dengan seragam
sekolahnya itu menangis melihat Tama. Semua salahnya, salahnya.
Ia menyalahkan dirinya sendiri ribuan kali.
"Makan yah nak?" Bujuk ibu Tama yang sudah
beberapakali mengarahkan sendok yang penuh makanan kedepan
bibir tipis Tama. Tapi Tama mematung, dia bahkan tidak
membuka mulutnya satu incipun.
"Dikit aja nak, Windy bakal sedih ngeliat kamu kayak
gini," Arwah Windy mengangguk, dia sedih melihat Tama seperti
ini. Meskipun Windy yakin akibat kesedihan Tama itu adalah
karena Tama kehilangan penglihatannya, bukan karena kehilangan
Windy.
"Hhhhhhh Tama nyesel Ma." Tiba-tiba Tama terisak,
kedua tangannya yang kokoh menutupi wajahnya yang memerah
karena air mata.
"Itu kecelakaan sayang, gak ada yang perlu kamu sesali."
Tama menganggap ibunya selalu benar, tapi kali ini ibunya salah.
Tama punya banyak penyesalan yang tidak bisa diungkapkan
sehingga membuat dadanya sakit.
Windy Joana. H| 20
Tama menyesal tidak dapat melihat indahnya dunia lagi.
Andai Tama tahu ia akan kehilangan penglihatannya, ia akan
berlama-lama menatap Wajah teduh ibunya, gagah tegap badan
Ayahnya, bahkan ia akan menghabiskan bermenit-menit menatap
coklat, anjing kesayangannya.
Tama menyesal karena tidak dapat melindungi Windy
seperti yang seharusnya ia lakukan. Dan Tama menyesal karena
tidak mengungkapkan sesuatu yang terpendam dihatinya dan
terpatri di kepalanya sejak lama.
"Tama sayang Windy ma, sayang banget. Terus kenapa
Windy ninggalin Tama? Kenapa?" Arwah gadis bisu itu
mematung, kata sayang terdengar kembali ambigu di telinganya.
Sampai akhirnya dia tersenyum miris, sangat miris.
Windy juga sayang sama Tama. Banget. Tama juga sahabat
terbaik yang Tuhan kirim buat Windy
Bukankah Tama pernah bilang ia menyanyangi Windy
sebagai sahabat? Itu yang Windy yakini. Namun pernyataan sayang
Tama yang terakhir tidak bermakna demikian. Dia menyayangi
Windy. Rasa sayang seorang laki-laki ke seorang perempuan.
Ya, Tama memiliki rasa yang sama. Manusia bodoh. Lalu
kenapa ia tidak mengungkapkannya? Semuanya sudah terlambat
bahkan jika itu diungkapkan sekalipun.
Windy Joana. H| 21
Aku Sakit
I say sorry a lot, because I feel like everything is
my fault – Anonymous.
Windy Joana. H| 22
"Kamu mulai minggu depan homeschooling. Mama udah
daftarin, gurunya khusus buat kamu." Ibu Regina mengusap
kepala putranya lembut. Sebenarnya ia sedih, Tama tidak dapat
menjalani kehidupan layaknya anak-anak seusianya. Ya, tapi
setidaknya ibu Regina telah berusaha agar Tama tetap mendapat
pendidikan yang layak meski ia sekarang sedikit berbeda.
"Hm." Responnya singkat, Tama hanya menggumam.
Rasanya Ibu Regina kehilangan putranya yang banyak
bicara, cerewet dan penurut itu. Yang ada sekarang hanya Tama
pemuda depresi yang berbicara seperlunya.
"Kamu kok jadi gini sih nak? Mama tahu kamu sedih
karena Windy—"
"Akh Windy Windy Windy, Windy terus! Aku capek ma.
Mama gak tahu betapa merasa bersalahnya aku karena ngebunuh
Windy? Karena ngebiarin Windy mati karena aku dan di depan
mata ku sendiri?" Tama berteriak melepas segala yang mengganjal
di hatinya. Tama merasa frustasi, bersalah. Ia takut, dan ia sedih.
"Tama," Ibu Regina lirih.
"Hhhhhh cukup Ma. Keluar dari kamar Tama sekarang.
Tama pengen sendiri." Usirnya.
Ibu Regina mengangguk, ia mengusap pelan bahu
putranya kemudian berlalu meninggalkan Tama sendiri.
Ah, sebenarnya Tama tidak sendiri, perempuan yang
masih lengkap dengan seragam dan darah kering di lengannya itu
Windy Joana. H| 23
mendengar semuanya. Ia terpatung, bahkan sampai tak sanggup
lagi menangis. “Segitu muaknya kamu denger nama aku Tam?”
Sementara si pelaku yang memporak-porandakan hati
Windy itu duduk di tepi kasurnya ia menunduk dan menutupi
tangis dengan tangannya.
"Hhhhh kenapa aku masih belum ikhlas bahkan sampai
detik ini Windy?" Windy menatap Tama penuh tanya. Gadis itu
ikut terduduk di sebelah Tama, Tangannya mencoba menyentuh
pundak pria itu. Tapi nihil, Windy tidak dapat menjangkaunya.
Tama bukan jangkauannya. Harusnya Windy sadar kalau ia dan
Tama berbeda alam.
“Maafin aku Tam. ngehancurin hidup kamu yang Indah gak ada
dalam rencana aku sama sekali.” Sekali lagi gadis itu hanya bisa
bergumam dalam hatinya. Bahkan jika ia bisa berbicarapun Tama
tak akan pernah bisa mendengarnya.
Tama mengusap air matanya, perlahan ia mengangkat
kepalanya. Mata, pipi dan hidungnya memerah. Pemuda itu
bahkan tidak pernah menangis separah ini dalam hidupnya.
Windy heran, karena baru sedetik tadi Tama menangis
tersedu sekarang pemuda itu tersenyum. Tersenyum, tapi air
matanya tetap jatuh sekuat apapun ia menahannya.
"Sekarang kamu gimana Wind? Aku kangen. Hhhh."
Tanya Tama entah pada siapa sambil terisak pedih.
Aku sakit ngeliat kamu kayak gini Tam.
Windy Joana. H| 24
Mengingat
They saiy love hurts, but they wrong. Love didn’t
hurt me. Lose you did it – Anonymous
Windy Joana. H| 25
tongkat dan berjalan-jalan disekitar rumahnya. Tama pindah atas
saran psikiater agar dapat lebih tenang, dan bisa melupakan.
Iya, Windy juga sangat mengharapkan hal yang sama.
"Hati-hati, ingat sebentar sore kita mau ke dokter!" Teriak
Ibu Regina yang seketika menghentikan langkah Tama.
"Udalah Ma, Tama udah gak ada harapan," Tolak Tama
dengan penuh rasa pesimis disetiap kata yang di ucapkannya.
Ibu Regina menghampiri Tama dan mengelus kepalanya
lembut. "Nak, kata dokter Azka kamu bisa melihat lagi, kalau
kamu rajin kontrol, dan kamu—"
"Menerima donor kornea mata, Tama tahu Ma."
Potongnya. Ibu Regina sedikit tersentak namun tetap tersenyum,
Meski senyum hangatnya itu tidak bisa dilihat oleh Tama putranya.
"Tama pergi dulu." Tama melangkahkan kakinya
perlahan, dengan tongkat menjadi petunjuknya agar tidak
menabrak atau tersandung sesuatu dijalan.
Tama sudah menghapal di luar kepala jalanan ke tepi
danau favoritnya, dan Windy hanya bisa mengikutinya sambil
menatap wajah tampan Tama yang tetap tidak berubah walau dia
sudah tidak bisa melihat sendiri ketampanan itu.
Sekelompok remaja tanggung kadang menjahili Tama di
jalan, Tama kadang dipaksa berputar-putar agar pusing dan
kehilangan arah. Tapi Windy tidak bisa berbuat apa-apa, Windy
pernah melihat seorang hantu yang bisa menyentuh objek, namun
Windy Joana. H| 26
saat Windy mencobanya ia gagal. Windy hanya seorang pendatang
baru yang tidak punya teman didunia per-hantuan ini, dia tidak
tahu harus meminta tolong atau berbagi dengan siapa.
"Eh buta, haha pusingkan lo?" Anak-anak nakal itu
tertawa, dan emosi Windy sudah sampi keubun-ubun. Tama
terlihat kelimpungan, anak-anak nakal itu pergi setelah puas
menjahilinya. Tama sudah perlahan bangkit dan mencoba
menemukan arahnya.
"Kalau tiang listrik ini di sini, berarti tiga langkah lagi ada
belokan di sebelah kiri." Tama menghitung langkahnya.
"Ehm? Gak ada belokan? Berarti gue salah arah, gue
musti muter balik." Tama bermonolog. Tama terlihat mencoba
tersenyum walau Windy tahu sekarang kepalanya sedang sakit,
dan langkahnya masih gontai.
Maafkan aku Tama, ini salah ku. Bisakah aku dimaafkan?
Tama sampai di tepi danau, ia terlihat menikmati bunyi
angin yang bergesekan dengan daun atau dengan air disana. Ia
memejamkan matanya, berusaha menikmati kegelapan yang
memang sudah tercipta walau tanpa ia harus menutup mata.
“It will be nice if you here, Wind."
Ya, it will be nice Tam.
"Ciye lagi ngeliatin si tampan, aduh Wind dia ganteng
banget sih. Ngidam apa dulu mamanya?" Itu bukan Windy yang
berbicara, melainkan hantu cerewet ber-tag nama Rasti di
Windy Joana. H| 27
seragamnya yang mengklaim dirinya sendiri sebagai teman Windy.
Katanya hanya Windy satu-satunya yang ia punya didunia
perhantu-an ini. Padahal Windy tidak tahu dia siapa, yang Windy
tahu Rasti punya pacar yang berbeda dunia. Iya, pacarnya manusia.
Tapi manusia itu bisa melihat mereka yang tidak terlihat, hem
hubungan yang menarik.
"Elah, di tatap mulu," Rasti menggunakan tangannya
menyentuh bahu Tama lalu kembali menghilang.
"Siapa?" Tama berbalik, Sehingga Windy yang sedari tadi
berada beberapa sentimeter di belakangnya kini berhadapan
langsung dengan wajah tampan Tama. "Siapa disana?" Tanyanya
kembali. Tiba-tiba angin yang cukup keras berhembus, menampar
wajah Tama dan Windy.
"Windy?" Panggil Tama.
Windy tersentak.
"Kamu tahu gak? Kenapa kamu di kasi nama Windy sama
Tante sama Om?" Tama yang sibuk dengan keripik kentang ditangannya.
Windy menggeleng sebagai jawaban, Windy tidak pernah tahu sejarah
namanya dan tidak tertarik dengan pembahasan itu.
"Kata Om sama Tante, dasar nama kamu itu ' Wind' yang
artinya angin, kamu lahir memberi kesejukan, dan kata tante kamu lahir
pas angin lagi kencang-kencangnya. Makanya kamu dikasi nama Windy"
Windy memamerkan rolling eyes-nya pada Tama sembari menerka-nerka
dari mana Tama mendengar atau mengarang cerita aneh itu?
Windy Joana. H| 28
"Aku serius Wind, jadi
setiap ada angin yang bertiup
entah pelan ataupun keras, aku
akan mengingat kamu."
-Tama-
Windy Joana. H| 29
Masih Ada?
When lip are silent, the heart has a thousand
tongue - Djalaludin Rumi.
Windy Joana. H| 30
Dimulai dari Tama mulai mandiri. Tama berfikir
bagaimana kalau Ibunya sedang ada urusan mendesak dan yang
lainnya? Tentu saja mau tidak mau Tama lah yang harus bergerak.
Tama tidak mungkin berdiam diri dan kelaparan di dalam rumah
bukan?
"Yakin Ma, jangan khawatir. Mana uangnya?" Ibu Regina
meletakkan selembar uang berwarna biru di tangan Tama.
Sebenarnya Ibu Regina tahu harga dari belanjaan Tama, dia hanya
terlewat khawatir sehingga memberikan uang lebih.
Ibu Regina sedikit takut karena pernah suatu hari Tama
berbelanja dan hanya membawa sedikit uang dan hampir dipukuli
hingga putranya itu mengaku ia buta, ia tidak melihat berapa
nominal uang kertas yang dipegangnya. Syukurlah waktu itu ada
tetangga yang mengenali Tama dan membayarkan sisa belajaan
Tama, sekarang Ibu Regina tidak ingin mengambil resiko, ia lebih
memilih memberi uang lebih meskipun Tama kadang ditipu
dengan kembalian yang kurang dari seharusnya.
"Kembaliannya Tama belikan apa saja yang pengen Tama
makan." Ibu Regina salah satu ibu terbaik, dengan dukungan
terhebat, Tama beruntung memilikinya.
"Wah, Thank's Mom." Mata Tama berbinar, andai mata
Indah itu bisa melihat maka akan menjadi lebih Indah.
Windy mengikuti Tama dari belakang, terkadang Windy
berjalan di sampingnya. Tama yang sekarang, nampak lebih ceria
Windy Joana. H| 31
dan hidup. Mungkin benar kata hantu gadis yang yang berdiri di
jembatan penyebrangan yang selalu di lewati Windy. Katanya
'sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa seiring
berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati. Lalu apa?
Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian kita.'
Rasa-rasanya itu benar, mungkin Tama sudah di titik
perlahan-lahan melupakan setelah puas menangisi Windy tapi
tidak apa-apa Windy lebih senang melihat Tama mulai baik-baik
saja seperti sekarang dari pada terus depresi memikirkan Windy.
Tama terduduk memakan lolipop rasa melon kesukaannya
di sebuah kursi Taman tidak jauh dari minimarket tadi. Lihat
rahang yang bentuknya luar biasa itu, bibir yang Indah, hidung
mancung, dan bulu mata lentiknya.
Dan satu lagi yang Windy suka dari Tama.
JAKUNNYA.
Ah, seharusnya Hantu tidak boleh punya pikiran yang tidak-
tidak Windy.Sadar Windy sadar. Windy memukul kepalanya berkali-
kali sampai sesosok hantu perempuan yang bernama Rasti itu
datang lagi. Hhhh kenapa dia tidak pernah bosan mengajak ku berteman.
"Hi Windy😀." Hantu Rasti itu menyapa Windy dengan
senyuman manis yang dipaksakan sehingga terkesan creepy karena
wajah dan bibir pucatnya. Windy melambaikan tangan kepadanya
berharap ia mendekat. Tapi Rasti malah memasang ekspresi
bodoh dengan wajahnya.
Windy Joana. H| 32
"Aaa? Apa Wind? Gue gak ngerti" Rasti menggaruk
kepalanya sembari mengangkat satu alisnya. Windy meletakkan
satu jari di bibir dan dan menggerakan tangan ke kiri dan ke
kanan, kemudian menyilangkan lengannya. Sebagai kode mulutnya
itu tidak bisa mengeluarkan kata apapun, i life on silent forever.
"Ja-jadi elo bi-bisu?" Rasti setengah tidak percaya dengan
fakta yang Windy beritahu. Windy berpikir, Jadi selama ini hantu
cerewet ini mengira ia bisa berbicara? Seandainya bisa Windy tidak
akan mengabaikannya.
"Pantes aja elo gak pernah nyahut waktu gue panggil"
Iyaiyalah Rasti , aku tuna wicara.
Windy tetap melambaikan tangannya ke Rasti berharap ia
mendekat sehingga Windy bisa menanyakan sesuatu padanya.
"Wind, bentar ya," Dalam sekejap Rasti menghilang dari
hadapan Windy dan muncul di tengah-tengah antara Windy dan
Tama membawa sebuah buku dan pulpen yang entah dia curi dari
mana. "Ini Wind, Tulis aja apa yang mau elo omongin" Windy
mendelik, menatap tajam kearah Rasti.
Kenapa dia terlalu jahil untuk ukuran seorang hantu?
"Udah, ga apa-apa gue cuma pinjem. entar gue balikin."
Rasti menyengir dengan tidak tahu diri.
Tama memasang earphonenya dan menikmati semilir angin
dan lolipop rasa melonnya tanpa pernah tahu ada dua hantu di
sampingnya yang saling berdebat karena sebuh buku dan alat tulis.
Windy Joana. H| 33
Windy mencoba meraih alat tulis yang disodorkan Rasti,
tapi nihil ia tidak bias memeganya. Rasti berdecih, “Ck, dasar anak
baru!” Windy memamerkan senyum bodohnya. Tentu saja Windy
belum bisa memegang sebuah objek, meski ia sudah dua tahun
menyandang status sebagai arwah penasaran.
“Bentar,” Rasti meraih tangan Windy, tangan yang sama
pucatnya, sama dinginnya, sama-sama mati. Rasti dengan perlahan
memindahkan buku tulis itu ketangan Windy, pelan.
“Feel it.” Rasti berbisik, Windy sedang mencoba
mengingat bagaimana rasanya memegang buku, tekturnya, baunya,
dan— “Berhasil!” Ucapan Rasti membuat Windy membuka mata,
bola matanya hampir jatuh saat ia benar-benar melihat dan
merasakan buku itu ada di tangannya, di pegangnya.
Tanpa membuang waktu Windy membuka buku catatan
itu dan menuliskan beberapa kalimat di sana.
“Pacar kamu mana?”
Rasti mengerjap "Pacar? Gue gak punya pacar." Rasti
menggeleng dengan ekspresi lugunya.
Jadi yang kemarin bersamanya siapa? Aku pikir dia pacarnya.
"Oh jangan-jangan maksud elo Yudha? Dia bukan cowok
gue Wind, boro-boro dia mau jadi temen gue aja gue udah senang
banget." Lalu kemudian Rasti berceloteh panjang tentang Yudha.
Windy Joana. H| 34
Yudha pria manis yang ternyata kesepian karena dianggap
aneh, ya Tentu aneh karena Yudha bisa berbicara dan melihat
sebuah dunia yang orang lain tidak dapat melihatnya.
Windy terseyum saat mendengar berbagai macam cerita
Rasti dan Yudha ini. Meski Windy tidak habis pikir mengapa yang
berbeda selalu dipandang aneh? Windy bisu dan dia aneh, Tama
buta dan dia aneh, Yudha bisa melihat hantu dan dia aneh.
Apakah aneh sudah mengalami pergeseran makna? Justru
yang menurut Windy aneh itu adalah orang-orang yang tidak bisa
membuka pemikirannya karena sebuah perbedaan kecil,
bagaimana bisa otak sempit mereka kemudian menerima
perbedaan yang besar?
“Kamu beruntung, dia bisa ngeliat kamu” Tulis Windy yang
seketika membuat tawa Rasti pudar. Rasti menatap Tama dan
Windy bergantian. Mungkin Rasti mengerti bagaimana perasaan
Windy dan Tama, atau dia hanya kasian melihat hantu stalker bisu
dengan manusia buta ini.
Windy rasa hantu Rasti ini punya sisi hangat yang baik,
Windy suka 'mengobrol' dengannya.
“Kamu tahu nama ku dari mana?”
Windy memang memakai seragam, sama seperti Rasti
tapi seragam Windy tidak memiliki tag name seperti miliknya. Dan
yah, Windy penasaran bagaimana Rasti bisa tahu namanya.
Sementara ia tidak pernah bisa menyebutkannya.
Windy Joana. H| 35
"Gue tahu dari buku kecil yang dibawa Tama, di situ ada
nama elo sama foto elo," Rasti mengakui beberapa kali mengikuti
Tama mungkin saat Windy keluar, atau pergi ketempat-tempat
yang tidak pernah bisa ia kunjungi saat hidup dulu.
Windy seketika cemburu karena ada hantu lain yang
mengikuti Tama, tapi kecemburuannya ia redam, lagipula kata
Rasti ia mengikuti Tama karena penasaran tentang Windy. Hantu
perempuan yang tidak pernah menyahut saat ia sudah
mengucapkan 1458 kata.
Tunggu, Buku kecil?
Brak! Sebuah buku kecil berwarna biru terjatuh dari saku
Tama—Hey itu kembaran catatan kecil pink milik Windy semasa
dia hidup—Tama berusaha memungutnya. Dan benar saja, disana
ada nama dan foto Windy.
Sejak kapan ada Windy di sana? Setahu Windy Tama
belum sampai tahap bisa menulis dengan baik dan Indah setelah
dia kehilangan penglihatannya. Dan foto Windy yang beberapa
tahun lalu dikutip Tama saat gadis itu baru masuk sekeloh
menengah, Windy yang bahagia karena suka dengan warna
seragam barunya sehingga menari berputar-putar.
Kenapa Tama menempel itu di catatan kecilnya?
Tunggu, Tama buta. Dia tidak akan bisa melihat foto yang
di tempel di sana. Hanya satu jawaban yang masuk akal, Tama
menempel foto dan menulis nama Windy sebelum dia buta.
Windy Joana. H| 36
Tapi? Kenapa? Bukannya Tama— Suara tongkat berjalan
Tama menginterupsi acara perkenalan Windy dan Rasti, juga
membuyarkan khayalan tidak masuk akal hantu bisu itu.
Kenapa pikiran ku selalu mengatakan Tama menganggap
ku special? Lebih dari sekedar tetangga yang di sayangi seperti adik sendiri.
Aku merasa dia.. mungkin mencintai ku.
“Aku harus pergi.” Windy bangkit mengikuti Tama dan
melambaikan tangan ke Rasti sebagai tanda perpisahan.
Bagaimana ini? Kenapa Windy merasa Tama juga punya
rasa yang sama terhadapnya? Tama mengingat Windy, dia belum
melupakannya. Dan Tama menyimpan foto dan menulis nama
Windy di catatan kecilnya.
Ah, Tama kau susah di tebak.
Apa hantu tidak bisa punya kemampuan membaca pikiran
manusia? Windy ingin sekali memilikinya sekarang. Windy ingin
tahu, apakah di hati Tama masih ada Windy?
Windy Joana. H| 37
Bantu Aku
Tak mungkin bersama kekasih pujaan, tak
mungkin rasakan dan hidup kembali
[Suti- Sara wijayanto]
Windy Joana. H| 38
Tama masuk ke kamarnya setelah ikut dengan pak Hadi
ayahnya untuk sekedar jogging ringan di pagi hari. Setidaknya Tama
tidak terkurung seharian dirumah, meski terkadang saat ia ikut
ayahnya akan sedikit kerepotan karenanya.
Brak! Tama tersentak saat sebuah benda jatuh dari
mejanya, bukannya ia tidak sadar hal ini sering terjadi akhir-akhir
ini—benda terjatuh tanpa sebab—tapi Tama tidak melihat, Tama
mengira itu hanya kucing atau tikus, namun intensitasnya akhir-
akhir ini bertambah.
“Mungkin aku yang salah taruh,” Tama menggapai-gapai
sebuah buku tebal berhuruf brailer yang terjatuh dari mejanya dan
meletakkannya kembali ketempat yang semula.
“Oi, gila lo ya? Kalau elo kayak gitu yang ada si Tama
takut sama elo Windy.” Tiba-tiba hantu pucat yang mengaku
dirinya bernama Rasti itu muncul dihadapan Windy. Mungkin saat
awal berteman dengan Rasti Windy akan kaget, namun sekarang
ia sudah biasa dengan wajah pucat pasih hantu cerewet itu.
“Aku ingin berbicara denga Tama, Aku ingin meminta maaf,”
Sekarang tanpa dicatat pun Rasti sudah mengerti apa yang ingin
Windy ucapkan, mereka bicara dari hati ke hati. Menakjubkan
memang dunia per-hantuan ini.
“Aduh ya ampun, cini kakak Rasti peluk.” Rasti
membawa Windy kepelukannya, hantu itu merasakan semburat
kesedihan Windy. Hidup jadi manusia berat, mati lalu jadi hantu
Windy Joana. H| 39
juga berat karena segala perasaan bersalah dan menyesal akan
selalu menghinggapi mereka yang mati.
“Eh, ngomong-ngomong. Windy temenin gue yah?
Kesekolah Yudha, kita ngeceng dia sana— beuh banyak brondong
ganteng. Gimana?” Goda Rasti yang sama sekali tidak membuat
Windy tertarik.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanan Tama.”
“Uduh, susah deh ngomong sama Setan stalker cogan kayak
elo, liat aja nanti pokonya elo musti nemenin gue.” Windy
melengkungkan bibir bawahnya, bukannya tidak mau menemani
Rasti namun sekarang ini dia amat lelah dan tanpa tenaga
sementara berpindah tempat membutuhkan energi yang banyak,
Windy tidak akan sanggup melakukannya sekarang.
“Elo capek? Tenang gue tebengin.” Rasti memegang
tangan Windy lalu sedetik kemudian berpindah ke sekolah Yudha.
Windy terheran, Rasti adalah hantu yang memiliki energi
tidak terbatas seperti manusia. Manusia sering kehabisan energi
tapi dengan tidur dan makan energi itu akan terisi kembali— tapi
bagaimana mungkin? Rasti itu hantu, Windy bahkan melihat
sendiri Rasti menembus tembok bersamanya.
“Eh, itu Yudha. Yudhaaaaaaa~” Rasti berlari kecil
menghampiri pria tampan yang di akuinya sebagai temannya itu.
Yudha terkadang risih karena Rasti ini berisik tapi Yudha sangat
Windy Joana. H| 40
sopan dan baik kepada Windy, mungkin karena Windy hanya
sekedar melambaikan tangan atau tersenyum manis pada Yudha.
Yudha bisa melihat mereka yang tidak terlihat, kata orang
Yudha itu indigo,populasi anak Indigo di Indonesia hanya 0,3
persen dari jumlah penduduk itupun yang terdaftar di komunitas
mereka. Yudha memang memancarkan warna Indigo campuran
warna nila dan ungu dari auranya, awal menjadi hantu Windy tidak
bisa melihat aura manusia atau makhuk halus sepertinya. Namun
lama kelamaan Windy bisa melihatnya dengan Jelas.
“Tunggu, kalau Yudha bisa melihat ku, dia pasti bisa membantu
ku dengan Tama.” Pikiran itu segera terlintas di kepala Windy.
Windy berjalan pelan ke arah Yudha dan Rasti yang
sedang duduk disalah satu kursi taman.
“Eh, ini Windy, sampai lupa gue bawa Windy ke sini.”
“Ck, temen sendiri dilupain. Duduk Wind,” Yudha
menggeser tempat duduknya agar Windy bisa duduk di tengah,
namun baru beberapa detik Windy duduk disampingnya hantu itu
berbisik ketelinga Yudha.
“Yudha, tolong bantu aku.” Windy memang bisu, namun
Yudha bisa berkomunikasi dengannya tanpa suara sama seperti
Windy berkomunikasi dengan Rasti sekarang.
“Aku tidak bisa mencampuri urusan orang yang sudah
mati Wind. Satu lagi, kata Rasti kamu sudah lama mati. Kenapa
kamu belum menyebrang?”
Windy Joana. H| 41
Windy bangkit, ia berjalan mundur.
“Aku bisa bantu kalau kamu mau nyebrang Windy, kamu
tidak boleh terlalu lama di sini,” Windy semakin berjalan mundur,
ia menggeleng beberapa kali menolak tawaran Yudha itu.
“Elo apa-apaan sih Yud? Windy jadi takut, biarin aja dia
menyelesaikan urusan dia. Dia mungkin bukannya tidak mau
menyebrang, mungkin dia tidak bisa menyebrang Yudha.” Dengan
samar Windy mendengar percakapan antara Rasti dan Yudha,
Windy duduk berjongkok memikirkan nasibnya.
Banyak hantu yang dikenalnya sudah menyebrang ke alam
mereka yang seharusnya, hantu di dekat trotoar, hantu di depan
salon, hantu di belakang gereja. Mereka semua sudah menyebrang.
Windy memikirkan banyak hal, bagaimana kalau dia sudah
menyebrang? Dia bahkan belum meminta maaf secara langsung
dengan Tama, mengatakan bahwa ia mencintai Tama— tidak,
tidak— Windy tidak akan mau menyebrang jika Tama masih
hidup dalam kegelapan yang ia ciptakan.
“HAH?” Windy berbalik saat mendengat sebuah suara
yang tersentak kaget karena melihat sesuatu.
“Kakak Windy kan? Temennya kak Tama? Kenapa kakak
di sini? Bukannya kakak sudah mati?”
Dia melihat ku, pria itu. Ternyata selain Yudha di kota ini ada
manusia lain yang bisa melihat ku. Yudha tidak mungkin membantu ku,
tapi dia— “Mark, Tolong bantu kakak.”
Windy Joana. H| 42
Roh Jahat
Silent isn’t empty, it is full of answer. - Anonymous
stalker Tama, tapi juga jadi stalker Mark anak SMA kelas XII, dulu
dia adik kelas Tama, Mark juga satu club basket dengan Tama.
Tentu Windy mengetahuinya, Windy sering menemani Tama
latihan basket. Seingat Windy, Mark masih kelas X saat dia
meninggal, Mark yang rajin memungut bola basket setelah latihan.
Itu yang Windy ingat.
“Kak, please jangan muncul tiba-tiba,” Mark memegang
dadanya sendiri pasalnya ia baru saja bangun tidur dan wajah
Windy sudah ada tepat dihadapannya.
“Bantu kakak, bantu kakak.”
Mark mengucek matanya lalu menghela nafas kasar,
tidurnya hanya dua jam hari ini. Setiap kali Mark ingin tidur Windy
selalu menganggunya, entah menggoyangkan tempat tidurnya atau
menjatuhkan benda-benda.
“Aku gak bisa kak Wind, please pergi yah.” Mohon Mark,
Windy menggeleng.
“Aku tidak mau Tama hidup dalam kegelapan selamanya.”
Windy Joana. H| 43
“Mark gak bisa apa-apa kak.”
Windy mendekat ke arah Mark, sangat tiba-tiba mata
hantu bisu itu menatap tepat kemata Mark dan seketika Mark
seperti memasuki dimensi waktu yang diciptakan Windy.
“Windy, Rem Wind, Rem.”
“Hahaha jatoh kan, apanya yang luka?”
“Sudah makan Windy?”
“Wah, Windy cantik pakai seragam. Cocok.”
“Kakak juga sayang sama kamu sebagai sahabat”
TAMA AWAS!
“MAMA, MANA WINDY? MANA MA? WINDY
BAIK-BAIK AJA. KENAPA MAMA NANGIS? KENAPA?”
“Kamu sekarang gimana Wind?”
Sakit Tam.
“Setiap angin bertiup entah pelan ataupun keras. Aku akan
mengingat kamu”
“Mama, Tama gak bisa lihat apa-apa.”
Setetes air mata lolos dari pipi Mark, ia merasakan apa
Windy rasakan segala perasaan sayangnya ke Tama, segala
penyesalannya, Mark merasakannya. Tiba-tiba hatinya sakit,
jantungnya mencelos. Bagaimana bisa ada kisah setragis ini terjadi
pada orang yang pernah kenal dengannya?
“Aku ingin Tama melihat, aku ingin Tama mengingat, dan aku
ingin Tama memberi ku maafnya.”
Windy Joana. H| 44
“Hhhhhhhhh.” Mark semakin terisak, ia tidak pernah
menghadapi keadaan seperti tadi. Dia mana ia seakan diajak masuk
kesebuah dimensi waktu, menjelajah masa lalu, bukan hanya itu
Mark merasakan semua yang Windy rasakan.
“Jangan menangis Mark, Maafkan aku.”
Windy mengambil langkah mundur kesudut kamar Mark,
ia terduduk lalu memeluk lututnya, menyembunyikan wajah sedih
dan menyesalnya disana.
Mark mulai menyeimbangkan emosinya, pemuda itu
menyeka sisa air matanya lalu kembali mencari keberadaan Windy
yang masih dengan posisi yang sama di sudut kamarnya.
“Kak Wind,” Windy mengangkat wajahnya.
“Kakak secinta itu sama kak Tama?” Windy mengangguk.
Windy bahkan menyerahkan nyawanya hanya demi
menyelamatkan Tama, pertanyaan itu tak perlu mendapat jawaban
lagi.
Mark bergerak dari tempatnya, berjongkok mensejejerkan
posisinya dengan Windy. Tak lama Mark meletakkan telapak
tangannya di atas kepala Windy, dan seakan mengelusnya pelan.
“Mark bisa bantu apa kak?”
Windy Joana. H| 45
Sekali lagi Windy menggantungkan harapannya untuk
mendapat maaf Tama, Maaf yang tidak pernah ia dapat karena
telah mengancurkan hidup indah seorang Pratama langit
hadiputra.
Sekarang seperti biasa, saat sabtu Tama akan berjalan
sendiri ke danau favoritnya, mencari angin. Entah mengapa di
tengah angin Tama selalu menemukan Windy disana karena itu
jika Tama rindu ia akan ketempat ini.
Tama menutup matanya, meski dengan mata terbukapun
ia hanya melihat kegelapan tapi dengan menutup mata Tama lebih
merasa dekat dengan Windy.
“Hi, Tama. Apa kabar?”
Windy tersenyum manis, berdiri disamping Tama. Windy
rindu, sudah empat hari ia tidak mengunjungi Tama saat ia sibuk
membujuk Mark.
“Kenapa kamu sangat suka dengan angin Tam?”
Tama merentangkan tangannya, menerima setiap deruan
angin yang datang, kala angin melewati sela jarinya Tama percaya
Windy mengenggamnya. Kala angin menerpa tubuh kurusnya
Tama percaya Windy memeluknya.
Tama merindu pada Windy.
“Kok gambarnya dua? Cowok itu cuma sendiri loh bro.”
Mark duduk disamping Yudha yang asik dengan buku gambar dan
pensilnya, melukis sketsa kebersamaan Windy dan Tama.
Windy Joana. H| 46
“Ah, gue—” Yudha kelagapan, “Gue cuma berimajinasi.
Kayaknya bagus kalau ada cewek di samping cowok itu.” Yudha
memamerkan gigi rapinya, dan Mark tertawa mengejek karena
baru saja dibohongi Yudha.
“Berarti imajinasi kita sama, karena gue juga ngeliat dia,”
Yudha melotot dan menatap Mark tidak percaya.
“Termasuk cewek di samping lo.” Mark melambaikan
tangan ke Rasti yang kini tersenyum manis.
“Wah dia juga ngeliat aku, dia bisa ngeliat hantu hua. Hi,
nama aku Rasti. Kamu?” Rasti bersemangat menghampiri Mark.
“Genit!” Decih Yudha.
“Hi, aku Mark.” Mark melambai singkat ke Rasti lalu
kembali memandangi Tama dan Windy yang berdiri tidak jauh di
hadapan mereka. “Dia minta bantuan gue, si cewek itu,” Mark
Windy, “Dan gue mau bantuin dia.” Mark membuka kaleng cola
miliknya lalu meneguknya.
Yudha menghela nafas mendengar pernyataan itu. “Kita
tidak boleh mencampuri urusan arwah yang sudah meninggal.
Kecuali membantu dia menyebrang ke alam seharusnya.”
“Dia punya penyesalan, dia tidak bisa menyebrang
selamanya kalau penyesalannya tidak hilang. Bukannya dia tidak
mau menyebrang, dia tidak bisa menyebrang,” Balas Mark.
“Nahkan gue bilang juga apa, Windy itu baik Yudha dia
hantu yang penurut. Dia tidak mungkin belum menyebrang karena
Windy Joana. H| 47
maunya sendiri, dia belum bisa menyebrang. Bwek!” Rasti
menjulurkan lidahnya.
“Dia sudah mati sekitar dua tahun yang lalu atau lebih.
Aku sempat memastikan tanggal kematiannya, sepertinya
waktunya tidka banyak. Mungkin 30 atau 40 hari lagi.” Ujar Mark.
Konon, setelah hari ke 1000 kepergiannya, arwah yang
sudah mati tidak akan pernah bisa menyebrang lagi ke surga atau
apapun kalian menyebutnya. Ia akan tetap di dunia,
bergentayangan. Dan 1000 hari berikutnya, dia tidak akan jadi
energi postitif tapi perlahan menjadi negatif, kalian biasa
menyebutnya roh jahat.
Jika penyesalan Windy tidak juga selesai dalam 270 hari.
Arwah gadis yang masih setia duduk di samping Tama, menikmati
angina mendera wajah dan rambutnya itu akan bernasib demikian.
Menjadi roh jahat.
Windy Joana. H| 48
Disamping Mu
It’s like you’re screaming but no one can hear -
Anonymous
Windy Joana. H| 49
Rasti memasang wajah kesalnya, rasanya dia ingin sekali
memukul kepala Yudha sekarang. Karena itu artinya cintanya pada
pemuda itu sama mustahilnya dengan kisah Tama dan Windy.
Mark masih meneguk colanya dengan santai.
“Dia pengen kak Tama melihat lagi, katanya dia yang
membuat kak Tama buta.” Tidak memperdulikan ucapan Mark—
Yudha sudah bergerak menuju lokasi tempat Tama berdiri
berdampingan dengan Windy meski Rasti beberapa kali
menghalangi jalannya.
“Katanya jangan ikut campur sama urusan mereka,
sekarang malah dia yang ikut campur.” Mark mengumam dan
menghela nafas kasar melihat tindakan Yudha.
“Hey, Kamu siapa?” Tama tersentak saat Yudha dengan
kasar menarik lengan kurusnya. Windy terkejut sedangkan Rasti
memijat keningnya tidak habis pikir dengan tindakan Yudha.
“Udah Yud, ih apa-apaan sih?” Protes Rasti. Emosi
Yudha yang kadang meledak-ledak memang kadang
memusingkannya. Tapi Yudha tidak peduli ia tetap menganggap
tindakannya ini benar.
“Dia di sini di samping mu, memandang mu,” Yudha
tidak ingin menyelesaikan penyesalan Windy, Yudha ingin Windy
tahu kalau cintanya dengan Tama kini tidak ada gunanya. Windy
harus berhenti berharap dengan Tama, dan menyebrang.
Windy Joana. H| 50
Yudha ingin menunjukkan kalau kehadiran Windy di
sebelah Tama itu adalah sebuah gangguan yang menakutkan bagi
seorang manusia.
“Di…dia siapa maksud kamu? Kamu siapa?” Tama sudah
terbiasa dijahili para remaja yang tahu ia buta, tapi suara Yudha
sama sekali tidak pernah didengarnya diantara banyaknya suara
remaja yang menganggunya apalagi Yudha mengatakan sesuatu
yang terdengar aneh.
Disampingnya? Tama merasa sendiri sejak tadi, tidak ada
satu orangpun disampingnya.
“Perempuan, rambut hitam sebahu. Tidak rambutnya
lebih panjang, berponi—” Windy melotot ke arah Yudha, ia
beberapakali menyilangkan tangannya agar Yudha tidak
melanjutkan celotehannya. “Dia memakai seragam sekolah penuh
darah di tangan kanannya,” Sambung Yudha.
“Apa maksud kamu? Ha?” Tama berteriak, seandainya
bisa Tama akan menarik kerah baju Yudha sekarang.
“Dia punya tahi lalat di pipinya, dan dia Tuna wicara.”
“CUKUP!” Tama menutup kedua telinga dengan
tangannya, rasa sesak menyeruak ke rongga dadanya.
Entah siapa pria didepannya ini, entah dia memang
mengetahui Tama dan Windy sebelumnya atau tidak. Tapi ciri-ciri
yang disebutkannya tepat seperti Windy, dihari terakhir ia bertemu
dengan Tama, hari kematiannya.
Windy Joana. H| 51
“Hhhhhh Windy sudah mati, sudah mati!” Tama melemah,
ia terduduk diatas rumput yang menghapar, air matanya jatuh lagi
mengingat Windy.
“Yudha cukup, kamu membuat Tama menangis. Aku tidak mau
ini Yudha!” Protes Windy.
“Bukannya dia penyesalan kamu? Dia bilang Tama adalah
cinta kamu yang tidak pernah sampai,” Yudha menunjuk Mark
yang masih duduk ditempatnya.
“Windy, kamu harus menyebrang. Cinta kamu dengan
Tama tidak akan berhasil!”
“Bukan cinta ku kepada Tama yang jadi penyesalan ku Yudha,
jika kamu tidak ingin membantu ku tolong jangan membuat dia takut.”
Windy menunjuk Tama yang masih bergetar, entah kaget atau
mungkin penyesalan dan depresinya dua tahun yang lalu kembali
merasuki jiwanya yang kacau.
“Waktu mu tinggal 30 hari Windy, apa kamu ingin tetap
disini?” Windy menggeleng, tidak lama air mata lolos dari pelupuk
mata indahnya. Windy juga ingin menyebrang, tapi tidak bisa!
Gerbang untuknya tidak akan bisa terbuka jika segala
penyesalannya tidak selesai didunia ini.
“Hentikan omong kosong kamu, siapapun kamu. Aku
mohon!” Tama mendengar semuanya, Tama pikir pria didepannya
ini gila, dia ingin Tama semakin tertekan dengan semua yang dia
ucapkan.
Windy Joana. H| 52
“Saya tidak pernah menyampaikan omong kosong. Kamu
tahu sendiri saat kamu mendengar ciri-ciri Windy bukan?”
Tantang Yudha.
“Lalu mau kamu apa?” Tama bangkit meski kakinya
masih bergetar karena shock tadi.
“Tidak ingin apa-apa, hanya ingin menyadarkan hantu
bisu yang bodoh ini tentang cinta omong kosong antara dia dan
kamu, sehingga dia bisa menyebrang dan tidak menganggu mu
terus menerus.” Yudha menatap Windy galak.
“Nama ku Yudha, dan aku bisa melihat Windy.”
“Kamu… bisa melihat Windy? Windy? Benar-benar
Windy?” Tama bertanya beberapa kali agar lebih nyakin dengan
apa yang diucapkan Yudha.
“Iya, dia samping mu.”
Perlahan-lahan Tama berbalik jari-jarinya bergetar hebat,
bibirnya digigit untuk menahan tangisnya yang hampir pecah.
Diraihnya udara tanpa rasa di sampingnya. Kata pemuda yang
menyebut dirinya Yudha, Windy ada disana.
“Windy, kamu benar-benar disini?” Tanya Tama dalam hati.
Windy Joana. H| 53
Rencana Mark
You hear but are you listening? You exist but are
you living? You look, but do you see? – Koe no
Katachi
Windy Joana. H| 54
Windy masih enggan menemui Tama—Windy tidak mau
Tama takut padanya, Ia hanya ingin memaafkannya dengan cara
Windy, membuat Tama melihat kembali.
“Mark, kamu dari mana? Aku sudah tiga hari disini, aku
kesepian dan aku hanya punya waktu 27 hari lagi, aku harus bagaimana?”
“Oh my God kak, calm. Aku baru dateng.” Windy selalu
kagum dengan cara Mark melafalkan bahasa inggris dengan baik,
mungkin karena ayahnya berkebangsaan Amerika.
Ah, lupakan soal itu yang penting Mark sudah disini!
“Jadi kak Windy ngapain tiga hari ini?” Windy
menggeleng, ia tidak melakukan apa-apa. Hanya terduduk di meja
belajar Mark dan kadang menggerakkan buku dan benda apa saja
yang ada disana.
“Ish, kalah sama aku.” Mark berdecih, sungguh
kepergiannya selama tiga hari benar-benar menghasilkan banyak
informasi.
“Memang kamu kemana Mark? Apa yang kamu lakukan?”
“Bentar Mark ceritain, Mark mandi dulu.” Mark
melempar tas ransel di punggungnya dan langsung masuk ke
kamar mandi, ia butuh air hangat.
“Mark, ceritakan pada ku!”
“Aaaaaaaaaaaaaa Kak Windy ngapain ikut masuk?”
“Ups, Maaf.”
Windy Joana. H| 55
Mark mengikuti Tama yang rutin ke rumah sakit di kota,
Mark dan Tama dulu memang tinggal disana sampai Tama pindah
karena ingin menyembuhkan lukanya kehilangan Windy, dan Mark
pindah karena ikut dengan orang tuanya. Siapa sangka mereka
akan bertemu lagi dengan keadaan yang seperti ini?
“Kak Tama. Hey,” Mark mencoba sok akrab dengan
Tama yang duduk disalah satu ruang tunggu di rumah sakit itu.
“Si..siapa yah? Maaf saya gak bisa lihat,” Tama mencoba
tersenyum kearah Mark, matanya memandang ke arah lain, tentu
saja karena hanya ada kegelapan di mata indah itu.
“Saya Mark, adik kelas kak Tama, junior kak Tama juga di
klub basket sekolah.” Tama menepuk tangannya seakan dia sudah
tahu siapa pria yang tengah mengajaknya berbicara.
“Ya ampun Mark, apa kabar? Sudah kelas berapa
sekarang” Tama terdengar excited, selama Tama mengalami
kebutaan Tama mengobrol hanya dengan orang tuanya dan guru
privatenya, kehadiran teman lamanya seperti Mark membuat
suasana hatinya membaik.
“Hehe udah kelas 12 kak, bentar lagi lulus. Kak Tama
ngapain disini?” Mark berbasa-basi.
“Eh, ada temen Tama ternyata,” ” Kehadiran ibu Regina
menganggu reuni Tama dan Mark.
“Siang tante saya Mark, juniornya kak Tama dulu.”
Windy Joana. H| 56
“Ah gitu. Ya udah Mark tante titip Tama ya nak, mau
nebus obat dulu sebentar.” Pamitnya.
“Iya tante silahkan.”
Sepeninggal ibu Regina Tama diajak mengenang masa lalu
oleh Mark, Tama bahkan tertawa kala Mark menceritakan
beberapa kejadian lucu di klub bola basket sekolahnya yang lama
kala Mark dan Tama masih disana.
“Haha iya kakak inget banget teman kamu yang kulitnya
agak coklat itu karena takut ijin jadi pipis di celana.” Tama
menepuk-nepuk paha Mark sebagai pelampiasan tawanya.
“Ya, aib emang dia tuh kak.” Tambah Mark.
“Kakak jadi rindu mereka semua, semenjak kakak buta
kakak tidak pernah lagi ketemu mereka.” Tiba-tiba suasana ceria
yang tercipta menjadi sedikit mellow, Mark tentu bisa
membayangkan betapa hancurnya jadi Tama kala itu. Dan tentu
saja Mark tahu ini adalah sumber penyesalan Windy.
Menghancurkan kehidupan Tama yang indah.
“Kakak pasti bisa ngeliat lagi, Mark yakin.” Mark
tersenyum sembari merangkul Tama, meyakinkan teman lamanya
itu meski ia sendiripun ragu.
“Iya, kata dokter Azka juga begitu, tapi kakak belum
dapat donor koronea mata yang cocok.”
“Akan ada kok kak, sabar aja. Mark pengen banget kak
Tama ngeliat lagi.” Windypun demikian kak Tama.
Windy Joana. H| 57
Pertemuan Mark dan Tama berakhir singkat, setidaknya
Mark sudah tahu kendala utama Tama yakni ‘kornea mata yang
cocok’, Mark juga sudah tahu dokter ahli yang menangani Tama,
satu lagi yang ia belum tahu.
Dimana ia akan mendapat kornea mata untuk Tama?
“Eh, udah dateng? Ya ampun Raras kambuh lagi Ra.”
“Koma lagi dia? Dasar Rasti! Hobby banget bikin
sahabatnya khawatir, Yuk Git”
Mark menoleh mendengar percakapan dua perempuan
yang dilewatinya tadi, Mark tertarik dengan satu nama yang
mereka sebutkan.
Rasti ?
Koma?
“Wah dia juga ngeliat aku, dia bisa ngeliat hantu hua. Hi, nama
aku Rasti. Kamu?”
Windy Joana. H| 58
Rindu
Die just isn’t die anymore. It’s an ecape.- Windy
Windy Joana. H| 59
“Ke.. emmm, supermarket mau beli lolipop, Lolipop melon
Tama habis Ma.” Tama sengaja berbohong ke ibunya agar ibunya
itu tidak khawatir, padahal sebenarnya Tama ingin ke danau lagi,
Ibunya sudah melarang agar ia tidak kesana lagi setelah pulang
dalam keadaan yang kacau beberapa hari lalu.
Tapi ada sesuatu yang membuat Tama penasaran,
Tentang Yudha pria yang bilang kepadanya kalau ia bisa melihat
Windy. Sudah empat hari Tama selalu ke danau, berharap Yudha
ada disana, tapi nihil. Tama tidak pernah bertemu dengannya lagi.
“Mudah-mudahan dia disana, aku harus bertemu dia
bagaimana pun.” Tama mengguman sembari membelah jalanan
yang penuh misteri di depannya, hanya gelap, Tama hanya bisa
merabanya.
Kebiasaan Tama tidak hilang hanya gara-gara hari itu,
Tama masih suka menikmati angin. Angin yang selalu
mengingatkannya tentang Windy.
“Loh, Tam. Kok kesini? Katanya mau kesupermarket? Kamu
bohong yah sama tante Regina?” Windy mendengus sebal, pasalnya
Tama sejak kecil mengajarinya untuk tidak berbohong terlebih lagi
kepada orang tua tapi sekarang malah panutannya itu yang
melakukannya.
“Kamu gak boleh bohong, lagian kenapa sih kamu suka sekali
tempat ini Tam?”
“Hhhh apa dia tidak datang lagi?” Tama bermonolog.
Windy Joana. H| 60
Windy tersentak.
“Siapa yang tidak datang? Kamu mencari siapa Tama?”
“Dia juga tidak bilang dia sekolah dimana, harusnya hari
itu aku bisa bertanya padanya,” Tama menyesal karena tidak bisa
mengorek informasi dari Yudha hari itu.
Tama menarik nafasnya dalam-dalam dan bergumam…
“Windy, I wanna see you.” Mata Windy membulat, ia tidak
percaya dengan apa yang didengarkannya barusan.
“Tama bilang dia ingin melihat ku? Aku?”
“Entah dia berbohong atau Windy benar-benar ada saat
itu, tapi aku akan senang jika ia berkata jujur.” Tama kembali
merentangkan kedua tangannya saat angin bertiup.
“Windy, Tama Rindu.”
“Kamu? Kamu Rindu? Tama. Apa kamu tidak takut pada ku?
Aku ini hantu Tama?” Windy mengelilingi pria yang masih
merentangkan tangannya itu. Sungguh Windy berharap ia tidak
salah dengar kali ini. Tama benar-benar merindukannya.
Dan yang paling penting Tama tidak takut padanya.
“Apa dia bisa bantu kalau akau bilang aku ingin bicara
dengan Windy?” Tama mengacak rambutnya frustasi.
“Tapi bukannya itu terdengar sedikit gila?”
Segala hal dalam cinta perlu kegilaan Tama karena pada
hakikatnya cinta itu memang gila, cinta dan kegilaannya yang
membuat Romeo dan Juliet mati bersama, dan cinta dan
Windy Joana. H| 61
kegilaannyapun terlibat di kisah Bandung Bondowoso dan Roro
Jongrang yang minta dibuatkan candi dalam waktu satu malam.
Berbicara dengan arwah mungkin akan menjadi contoh
cinta dan kegilaannya selanjutnya.
Windy Joana. H| 62
Mark melanjutkan langkahnya, meninggalkan Windy yang
masih terpatung di tempatnya, Apa salah dia senang karena Tama
ternyata memiliki rindu yang sama dengannya?
“Lagi pula Kak Windy bisu, bagaimana ceritanya kak
Tama bisa bicara sama Kak Windy?”
Yah, itu memang salah sejak awal Windy. Tama buta, dan Windy
bisu. Bagaimana bisa takdir menguji mereka seberat ini?
Windy Joana. H| 63
Apa Sesal Mu?
Sometime two people have to fall apart, to realise
how much they need each other – Anonymous.
Windy Joana. H| 64
“Bukan kamu Tama tapi yang ku ajak bicara. Dia bukan
Windy, dia hantu lain. Eh, duduk.” Yudha mengarahkan Tama
agar duduk di sampingnya, sebuah kursi berwarna putih yang
tadinya diduduki Yudha dan Rasti .
“Terimakasih, Jadi kamu benar bisa melihat mereka?”
“Iya, saya bisa melihatnya,” Yudha tersenyum. Yudha
memiliki keturunan bisa melihat sesuatu yang tidak kasat mata,
ayah dan pamannya serta beberapa saudaranyapun juga bisa
melihat hal yang sama. Mungkin keturunan.
Ada keheningan saat Tama dan Yudha duduk bersama,
sedangkan Rasti hanya bernyanyi kecil menghilangkan
kebosanannya. “Dear God the only thing I ask of you—”
“Mana ada hantu nyanyi lagu avenged?” Protes Yudha.
Rasti menyengir dan melanjutkan nyanyiannya sedangkan Tama
tertawa kecil mendengarnya. “Hantu itu nyanyi lagu Avenged?”
“Hhhh iya. Gaulkan?”
“Iya. Gaul banget.” Yudha menikmati mata hari sore di
langit yang sudah mulai menguning, sedangkan Tama hanya bisa
menikmati angin yang berhembus disana sembari membayangkan
apa yang Yudha lihat sekarang.
“Yudha, boleh saya tanya Windy dimana sekarang?”
Tama memulai pembicaraan mereka
“Saya tidak tahu Tam, semenjak kejadian itu saya tidak
pernah bertemu Windy lagi. Rasti juga, Rasti itu teman Windy,
Windy Joana. H| 65
dia juga hantu dia sedang tes vokal sekarang.” Yudha melirik Rasti
yang asik bermain-main dengan ilalang-ilang yang ditiup angin.
“Haha Windy punya teman? Ah, saya senang
mendengarnya.” Tama tertawa ringan. Windy termasuk orang
yang pemilih dalam berteman, mungkin karena dia sedikit minder
dengan keadaannya tapi selama Windy hidup temannya memang
hanya Tama. Mendengar Windy punya teman rasanya senang
sekaligus melegakan untuk Tama.
Windy-nya beradaptasi dengan baik.
“Kamu dekat dengan Windy semasa hidupnya?”
“Sangat” Tama menjawab cepat, “Sekarang Windy
bagaimana? Saya ingin bertemu, banyak yang saya ingin katakan
pada Windy.”
“Seperti yang saya bilang, saya tidak pernah melihat
Windy lagi setelah hari itu. Tapi satu yang perlu Tama tahu, Windy
itu dalam keadaan yang tidak baik sekarang,” Yudha menepuk
tangan Tama yang masih mengenggam tongkat berjalannya.
Tama menoleh ke arah suara Yudha.
“Apa maksud kamu? Tidak baik bagaimana?”
Yudha menghelas nafas berat, “Dia mungkin masih punya
21 atau 20 hari untuk bisa menyebrang. Arwah seperi Windy tidak
boleh selamanya di dunia kita Tama, Mereka harus menyebrang
ketempat seharusnya.”
“Ke surga maksud kamu?”
Windy Joana. H| 66
“Surga, akhirat, atau apapun kalian menyebutnya. Itu
rahasia Tuhan.” Ada beberapa hal yang diketahui manusia, tapi
sisanya itu rahasia Tuhan. Yudha hanya memberitahu apa yang dia
ketahui.
“Kenapa Windy belum menyebrang kalau begitu?” Tama
penasaran, Jika memang seperti itu aturannya harusnya Windy
tidak boleh berada disini.
“Dia tidak bisa menyebrang sebelum menyelesaikan
penyesalannya, hantu memang terkadang seperti itu. Tapi dalam
kasus Windy baik, sehingga dia memiliki energi postif. Ada juga
yang hantu yang memiliki dendam yang terlalu dalam, berniat
membalasnya, energi yang dihasilkannya negatif dan dia selamanya
tidak akan bisa menyebrang,” Yudha menjelaskan.
“Dalam kasus Windy dia masih bisa menyebrang Tama,
masih ada beberapa hari sebelum hari ke 1000 kematiannya. Jika
lewat dari itu Windy akan terjebak disini dan perlahan berubah
menjadi energi negatif selamanya.” Sambung Yudha dengan nada
meyakinkan, Tama menelan salivanya kasar.
Tama kira segala urusan akan selesai jika seseorang sudah
meninggal, tapi Tama salah. Urusan yang sebenarnya baru dimulai
saat seseorang sudah meninggal, sama seperti Windy. Seakan gadis
itu dipaksa memilih menjadi orang baik atau jahat.
“Jika Windy jadi negatif, maksudnya bagaimana?”
Windy Joana. H| 67
“Kalian biasanya menyebutnya roh jahat, dia akan
selamanya di dunia sampai kiamat, saya tidak tahu selanjutnya itu
rahasia Tuhan yang pasti itu tidak akan baik Tama.”
“Jadi—”
“Satu-satunya jalannya adalah menyelesaikan penyesalan
Windy, hingga dia bisa menyebrang dan pergi dengan tenang.”
Potong Yudha yang sudah menebak arah pertanyaan Tama.
“Apa penyesalan Windy sebenarnya?”
“Penyesalannya yang pertama Cintanya yang tidak sampai
pada kamu, dan penyesalannya yang kedua membuat kamu
kehilangan penglihatan kamu Tam.”
Windy Joana. H| 68
Kehilangan Lagi
Can’t you hear my silent word? - Windy
Windy Joana. H| 69
“Mungkin karena Rasti belum terlalu lama mati,”
Windy tidak yakin dengan jawabannya, jika memang
benar Rasti adalah arwah yang baru meninggal mengapa dia bisa
memegang benda lebih cepat dari Windy, memiliki energi yang
sepertinya sangat besar, dan masih banyak kejanggalan lain.
“Atau mungkin dia tidak bisa menyebrang sama seperti ku?”
“Shhhh.” Mark mengetuk-ngetuk pulpen di tangannya ke
meja belajar di hadapannya, Windy yang cukup dekat dengan Rasti
pun tidak yakin dengan yang ia ucapkan, segala kemungkinan
sekarang sedang berputar di kepala Mark.
“Kakak nemuin Rasti deh, jangan takut sama Yudha, dia
pasti ga akan minta kakak menyebrang lagi. Aku bosen ngeliat
kakak di kamar aku, aku butuh sendiri kak.” Mark menarik kedua
ujung bibirnya tersenyum terpaksa, mengusir Windy secara halus.
Windy mengambil ancang-ancang memukul Mark tapi
diurungkannya dan langsung menghilang karena menghargai
pemuda yang dianggapnya akan menolongnya itu.
Setelah Windy pergi, Mark kembali sibuk dengan
pikirannya. Mereka ulang kembali adegan di rumah sakit kala ia
membuntuti Tama. Rasti… Nama itu.
“Iya, Rasti tidak bisa menyebrang karena dia masih
hidup, dan dia bisa jadi salah satu kunci kita agar kamu
menyebrang Windy.”
Windy Joana. H| 70
“Hey, Kok disini?” Windy melambai dan berlari kecil ke
arah Rasti. dalam perjalanan ke rumah Yudha, Windy melihat
Rasti terduduk disebuah café, Windy bersyukur karena ia tidak
akan bertemu Yudha.
“Windy Rindu.” Windy memamerkan giginya yang rapi.
“Muka gue emang ngangenin sih, adu adu cini peyuk kakak
Rasti.” Narsis Rasti. Rasti adalah perempuan penuh percaya diri,
Windy yakin semasa hidup Rasti banyak memiliki teman.
Melepas pelukan kangen keduanya, Windy jadi penasaran
mengapa Rasti ada disisni, di sebuah café? Mungkin ini café
langganan Rasti selama hidup, pikirnya.
“Senang yah ngeliat mereka berdua senyum dan ketawa
kayak gini?” Rasti menatap dua orang perempuan yang tengah
mengobrol akrab sembari mencicipi kue yang dipesannya.
Windy menangangguk, dulu ia juga ingin punya teman
perempuan tempatnya berbagi cerita, cerita tentang Tama. Tapi
apa mau dikata teman Windy hanya Tama, dan ceritanya tentang
Tama hanya Windy simpan untuk dirinya sendiri.
“Tapi gue akan sedih ngeliat mereka menangis dan
khawatir sama gue” Rasti berubah menjadi sendu, matanya
berkaca-kaca berusaha menahan tangisnya.
“Memangnya mereka siapa?”
Rasti mengusap matanya yang berair lalu mengulas
senyum. “Sahabat ku Wind, dia Inggita dan dia Sarah.”
Windy Joana. H| 71
Windy tidak tahu pasti perasaan Rasti sekarang ini,
mungkin Rasti sedih kehilangan teman-temannya, untuk hal itu
Windy mengerti, ia juga sakit kehilangan Tama.
“Aku menemui mereka untuk yang terakhir, melihat tawa
mereka. Aku juga senang kamu disini, kamu juga teman ku Wind.”
“Kamu mau kemana Rasti ? Apa maksudnya?”
“Hehe, ketempat yang jauh.”
“Kamu mau menyebrang?”
“Iya, sudah waktunya.”
Rasti hanya tersenyum dengan wajah pucatnya, Windy
telah memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan dan heran
dengan begitu banyak kebetulan.
Apakah ini juga kebetulan kala Mark memintanya
menemui Rasti hari ini? Bukan itu yang penting, sekarang Windy
sedih karena harus kehilangan lagi.
Windy Joana. H| 72
Kemana Rasti?
It’s a beautiful life, stay by my side even just a
minute. - Yudha
Windy Joana. H| 73
membukan sejenak mata batin Tama, tapi Tama buta. Mau
berbicara dengan Windy? Windy bisu. Windy melihat Yudha
kebingungan meminta jawaban dari keinginan Tama.
“Mana tangan elo?” Tama mengulurkan tangannya.
“Windy sini.” Yudha melambaikan tangannya ke arah
Windy, meminta Windy mendekat ke arah Tama.
“Saya tidak bisa membuka mata batin kamu, dan Windy
juga diluar kemampuannya untuk bisa berbicara dengan kamu.
Tapi kamu bisa merasakannya,” Yudha menarik pergelangan
tangan Tama dan Windy, telapak tangan mereka bersentuhan
dengan bantuan Yudha.
Rasanya menakjubkan bisa menyentuh Tama, air mata
Windy jatuh begitu saja, seakan rindunya menguap begitu saja,
Tama yang dirindukannya kini disentuhnya, Takjub itulah yang
dirasakan Windy.
“Tama, Ini Windy.”
Tama gugup dan terdiam, telapak tangannya tadi hangat,
sampai Yudha menariknya suhu ditelapak tangannya seketika
dingin, mungkin karena bersentuhan dengan Windy. Roh tanpa
wadah. “Kata Windy, Tama ini Windy.”
Air mata Tama jatuh kala ia menarik senyumannya,
hatinya sakit, dan rindu memenuhi relungnya.
“Windy, ini kakak Wind. Kamu gimana?” Tama berbicara
seceria mungkin meski air matanya tidak berhenti untuk jatuh.
Windy Joana. H| 74
“Katanya Windy sakit ngeliat Tama yang sekarang,
Windy mau Tama kayak dulu.” Yudha menjadi penerjemah
diantara mereka.
“Tama yang sekarang itu karena Tama sendiri bukan
karena Windy, ini salah Tama, Tama minta maaf.” Windy
menggeleng dengan keras, ia makin terisak kala mendengar
permintaan maaf Tama.
“Harusnya Windy yang minta maaf.” Ucap Yudha yang
masih setia menjadi penghubung dua insan ini.
“Kata Yudha kamu tidak boleh disini terus Windy, kakak
senang Windy disini tapi tempat Windy bukan disini. Windy anak
yang baikkan hem?” Tama berbicara seakan Windy benar-benar di
hadapannya.
“Tapi Windy tidak bisa menyebrang kalau Tama masih
tidak bisa melihat apa-apa.” Yudha mengambil nafas sejenak lagi
menatap Windy, “Tapi Wind, Tama tidak bisa berbuat apa-apa.”
Ujar Yudha ke Windy.
“Tapi aku ingin Tama melihat, lalu aku akan tenang Yudha.”
“Windy, Kakak juga mau melihat lagi. Kakak mau
melanjutkan hidup, tapi tidak semudah itu. Menunggu donor
kornea tidak hanya setahun-dua tahun Windy butuh bertahun-
tahun. Tama ikhlas dengan keadaan Tama sekarang, yang harus
Windy tahu ini bukan karena Windy.”
Windy Joana. H| 75
Yudha merasa bersalah telah beberapa kali melontarkan
kalimat tajamnya pada Windy, seandainya dia tahu dua makhluk
beda dunia di hadapannya ini hanya perlu saling bicara seperti ini
tentulah Yudha akan senang hati membantunya.
“Windy bilang dia cinta sama kamu Tam.” Mata Windy
membulat, karena dia tidak pernah bilang apa-apa sedrai tadi.
Tama tersenyum. “Kakak juga cinta sama Windy, Maaf
karena kakak tidak pernah bilang. Karena dulu kita masih muda
Wind masih terlalu jauh dari pembahasa seperti itu. Itu juga yang
kakak sesali, tidak pernah bilang kakak cinta sama kamu sebelum
kamu perg.i” jawaban Tama membuat beban tak kasat mata di
punggung Windy hilang.
Cinta tidak pernah tahu waktu, tiba-tiba datang begitu
saja. Tergantung yang merasakannya mau mengungkap atau
memendamnya. Tapi dari cerita Windy dan Tama, Yudha tahu
cinta itu harus di ungkapkan sebelum salah satu diantara yang
merasakan cinta itu pergi untuk selamanya.
“Windy kamu tidak ketemu Rasti hari ini?” Windy
memukul jidatnya sendiri, bagaimana bisa ia lupa tujuannya ke
rumah Yudha?!
“Aku lupa Yudha, Tapi Rasti menghilang. Katanya dia akan
menyebrang karena itu aku bergegas mencari kamu.”
Windy Joana. H| 76
Jalannya
When you lose someone and it still hurts. That’s
when you know, the love was real - Anonymous
Windy Joana. H| 77
Mereka menangis, saat itu aku sadar aku harus hidup, tapi hidup
ku tidak membuat aku senang.”
Mark menatap Rasti dengan tatapan penuh tanya, disaat
Windy sangat ingin hidup kembali, Rasti seakan malah ingin mati.
“Tapi aku heran bagaimana bisa, kamu punya kehendak
seenaknya untuk masuk dan keluar dari raga kamu?”
Rasti tertawa, “Hebat kan?” Godanya. Mark ikut tertawa
Rasti tidak bisa untuk diajak berbicara serius lebih dari sepuluh
menit. “Aku bertemu seseorang yang mengaku dirinya malaikat,
dia bilang aku punya waktu 1000 hari untuk menentukan mau
hidup atau mati? Dalam kurun waktu itu aku bebas untuk masuk
atau keluar raga ku, tapi hanya sepuluh kali aku sudah
menggunakan delapan kesempatan. Dan aku masih belum bisa
memilih sampai sekarang.”
“Apa karena Yudha?” Rasti mengangguk.
Yudha seseorang yang selalu dikaguminya sejak lama dan
Rasti baru bisa dekat dengannya saat ia telah menjadi arwah tanpa
raga dan itu sebuah keajaiban.
“Katanya kalau aku memilih mati, aku akan diberi waktu
1000 hari lagi jadi arwah, lalu menyebrang. Tapi kalau aku memilih
hidup aku akan melupakan segala yang terjadi, aku tidak akan
mengingat percakapan kita, mengingat Windy dan mengingat
Yudha.”
“Pilih hidup Rasti.” Sela Mark.
Windy Joana. H| 78
“Kenapa? Seharusnya kamu menyuruh aku untuk memilih
mati, agar korena ku bisa digunakan Tama, dan Windy
menyebrang. Dan aku bisa tetap bersama Yudha setidaknya 1000
hari.” Mark tersenyum lalu membelah rambutnya sendiri dengan
kedua tangannya lalu menghela nafas kasar.
“Setidaknya kalau kamu hidup kamu bisa
memperjuangkan Yudha, orang tua dan sahabat-sahabat kamu
juga tidak akan merasakan sakitnya kehilangan kamu.”
“Tapi Windy—”
“Kak Windy biarlah jadi urusan ku, kamu harus hidup.
Tempat mu bukan disini…Rasti.”
Windy Joana. H| 79
“Sedih, Rasti benar-benar menyebrang.”
“Kan sudah seharusnya,” Balas Mark.
“Mark tahu Rasti mau menyebrang?”
Mark mengangguk. “Tahu, Mark yang pertama diberi
tahu.” Tentu Mark tahu tapi Rasti bukan menyebrang ke surga tapi
menyebrang dari alam roh ke alam manusia.
“Tapi teman Rastikan Windy dan Yudha.” Windy makin tidak
terima, Windy memanyunkan bibirnya merasa tidak dianggap
padahal dia sudah sedih setengah mati.
“Rasti tidak ingin kalian sedih kehilangan dia, tolong
ikhlaskan saja. Sekarang Rasti itu sudah bahagia.” Mark mencoba
mengacak puncak kepala Windy namun hanya seperti mengacak
udara. Hampa. “Ayo masuk, kak Windykan masih punya Mark.”
Mungkin Mark salah, karena tujuan utamanya adalah
membantu Windy menyebrang, menyelesaikan penyesalannya.
Tapi ia tidak akan tega membunuh satu nyawa yang terlalu baik.
Rasti memilih jalan yang terbaik untuk tetap hidup.
Windy Joana. H| 80
Merindukanmu
Sometime I keep my feelings to my self.
Windy Joana. H| 81
Rasti menggeleng, Tangannya yang masih penuh dengan
alat kesehatan perlahan mengapus air mata di wajah ibunya.
“Enggak, Sekarang Rasti gak akan kemana-mana Ma, Rasti akan
disini terus sama mama.”
Rasti kembali, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
dunianya yang seharusnya. Dengan begitu nama seorang Yudha
hanya jadi bunga mimpi baginya.
Windy Joana. H| 82
“Mark, Kamu pernah jatuh cinta?”
Pemuda itu mengangguk lalu tersenyum malu-malu
mengingat masa-masa beberapa tahun yang lalu saat Mark
mengagumi sebuah senyuman yang membuat malam-malamnya
tidak nyenyak karena pemilik senyum tersebut telah mencuri
hatinya.
“Wah, Ayo cerita sama kakak. Gadis seperti apa dia? Apa dia
cantik?” Sekali lagi Mark mengangguk, mata yang cantik, bulu mata
yang lentik serta betapa anggunnya gadis itu melintas dalam
benaknya.
“Cantik? Tidak juga. Dia hem manis. Senyumnya indah.”
Windy antusias, Tama satu-satunya teman Windy biasanya
hanya bercerita tentang basket dan Teman-temannya. Untuk
pertama kalinya seorang pria berbagi cerita tentang perempuan
yang disukainya padanya karena itu Windy ingin jadi pendengar
yang baik bagi Mark.
“Rambutnya sebahu, Dia sering mengikatnya.”
“Oh, ya? Dia pasti perempuan sangat manis. Kamu sudah bilang
kalau kamu mencintainya?” Windy dan rasa penasarannya.
“Iyalah. Emangnya Mark itu kak Tama yang baru bilang
cinta kalau semunya udah telat.”
“Ck.” Windy berdecak sebal, Mark malah tertawa.
“Jadi apa kalian pacaran?”
Mark menggeleng.
Windy Joana. H| 83
“Shhh, Agak sulit sebenarnya tentang kami ini apa? Tapi
kak Windy jangan khawatir aku sama dia pasti bakal bareng-
bareng. Tapi bukan sekarang.”
Windy mengangguk, Tangannya ingin sekali mengacak
rambut Mark jika bisa. “Lagi pula kamu masih kecil, Belajar saja dulu.”
“Eh, Kak Windy meninggal pas seumuran aku. Jadi
jangan sok nasehatin, Kita ini seumuran.” Protes Mark.
Windy menatapnya jutek.
“Tidak, aku kakak mu. Kalau aku hidup aku sudah seumuran
dengan Tama.” Windy menjulurkan lidahnya.
“Eh, iya kalau dipikir-pikir ngapain Mark manggil Kakak?
Harus panggil Windy aja ya?” Mark menjetikkan jarinya lalu
membentuk senyuman jahil diwajahnya.
“Eh, Windy.” Panggil Mark sok akrab membuat mata
Windy membulat sempurna.
“Aaaaa tidak mau, Aku kakak, aku lebih tua!” Dan kini
hantu itu duduk dilantai kamar Mark sambil menendang-nendang
kakinya lucu.
“Hahahaha. Iya, iya kak. Ampun becanda doang.”
Candaan dua makhluk berbeda alam itu berakhir saat Mark
berkonsentrasi dengan PR Matematikanya dan Windy yang
mejelajah kamar Mark yang tidak luas itu.
Windy Menatap susunan buku pelajaran Mark serta
komik-komik yang ingin sekali hantu itu baca. Windy mencoba
Windy Joana. H| 84
dengan sekuat tenaga menarik dan membuka komik itu, Hingga
tidak sengaja menarik buku lain.
‘Indigo bisa dilatih dan dipelajari’
Dalam sekejap Windy menatap punggung Mark, manik
Windy berulang-ulang memandang buku itu dan Mark bergantian.
Windy sepelan mungkin mencoba membuka buku itu agar tidak
mendapat perhatian dari Mark, di sampul awal sebelum kata
pengantar ada sebuah tulisan.
Windy Joana. H| 85
Misteri Mark
Isn’t it scary? What a smile can hide - Anonymous
Windy Joana. H| 86
“Ayolah Wind, lima menit,” Bujuk Yudha hingga akhirnya
Windy mengangguk. Semenjak kejadian Rasti yang menghilang
dan interaksi pertamanya dengan Tama setelah sekian lama, Yudha
baru menemui Windy lagi. Berkali-kali Yudha mencari Windy di
rumah Tama namun tidak menemui hantu bisu itu.
Windy sengaja menghindar karena tahu Yudha akan
menangis dan menanyakan hal yang sama.
“Dimana Rasti ?”
Windy menggeleng. Sungguh Windy tidak tahu, Windy
hanya bertemu terakhir kali dengan Rasti di sebuah café dan Ia
hanya berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal.
“Apa katanya Windy?”
“Dia menyebrang.”
“Kenapa?”
“Karena sudah waktunya, Kamu selalu menyuruh ku menyebrang
Yudha. Dan aku pikir kamu sudah tahu kalau arwah itu cepat atau
lambat akan menyebrang begitu pula Rasti” Jawab Windy.
“Tapi Rasti belum mati Windy!” Nada suara Yudha
meningkat, mulut Windy terbuka mendengarnya.
“Apa maksudnya dengan Rasti belum mati? Dia arwah Yudha!”
Sudah sejak lama Yudha tahu bahwa Rasti bukan arwah
orang yang sudah meninggal, semuanya terlihat saat aura dan
energi Rasti berbeda dengan hantu lain yang dilihatnya. Sudah
berkali-kali Yudha memancing Rasti agar memperlihatkan
Windy Joana. H| 87
jasadnya namun hantu cerewet itu selalu mengalihkannya. Seakan
ia benci kehidupannya manusianya. Hingga akhirnya Yudha
menyerah dan menganggap Rasti hanya arwah biasa.
“Dia masih hidup, Tapi aku tidak tahu dia dimana.
Menyebrang dalam kasusnya bukan menyebrang ke surga tapi
menyebrang kedunia seharusnya ia berada."
Windy menutup mulutnya tidak percaya, Jadi selama ini
Windy berteman dengan manusia? Meskipun dalam bentuk arwah
Windy masih tidak menyangkanya. Perasaan kehilangan Rasti
seketika hilang bergantikan rasa senang dihatinya.
“Rasti hidup. Dia hidup? Hhhhh.” Air mata bahagia keluar
dari pipi Windy.
“Kamu senang?” Windy mengangguk. Andai bisa tentu
saja Windy berharap bernasib sama seperti Rasti , bisa hidup
kembali. Meski pada kenyataannya itu tidak mungkin.
“Apa kamu tidak senang Yudha?”
“Iya, aku kehilangan dia. Dan aku gak tahu dimana harus
mencari Rasti.” Kini gurat kesedihan hadir di raut wajah Yudha,
lingkaran hitam dibawah matanya membuat Windy makin prihatin.
Bisa saja Windy bungkam apalagi mengingat perlakuan tidak
menyenangkan Yudha beberapa waktu yang lalu. Namun karena
patut diingat pula Yudhalah yang membuat Windy bisa menyentuh
Tama, dan berkomunikasi dengannya.
Windy Joana. H| 88
“Terakhir kali, aku menemuinya disebuah café. Dia melihat dua
perempuan sahabatnya bercengkrama.”
“Sahabatnya? Hantu?” Yudha memiringkan kepalanya,
Matanya menyipit mendengar pernyataan Windy.
Windy menggeleng
“Manusia, Namanya Inggita dan Sarah. Teman Rasti.”
“Kamu harus membawa ku ke sana Windy!”
Anggukan Windy akhirnya merekahkan senyum Yudha,
Anggaplah itu sebagai balasan kebaikan Yudha karena telah
menjadi penghubung antara dia dengan Tama.
“Tapi, Yudha. Boleh aku bertanya?”
“Tentu.”
“Apakah kau bisa melihat hantu sejak kecil?”
Yudha mengangguk, Kemampuannya adalah gift turun
temurun yang diwariskan garis keturunan ayahnya. Kalau Yudha
punya anak nantipun salah satu diantaranya pasti akan memiliki
kemampuan seperti Yudha.
“Apa kau mengenal seseorang yang sebelumnya tidak bisa melihat
mereka, Namun karena sesuatu dan lain hal ia bisa melihatnya? Misalnya
dilatih?” Windy penasaran. Buku Mark kembali diingatnya.
“Tidak. Lagipula untuk orang-orang ingin melatih
kemampuan seperti itu Windy? Aku saja beberapa kali berusaha
menutupnya karena merasa cukup terganggu,” Windy mengetuk-
ngetukkan jemari lentiknya ke pipinya sendiri, Sembari
Windy Joana. H| 89
menimbang-nimbang apakah ia harus menceritakan tentang Mark
dengan Yudha. “Ngapain kamu tiba-tiba nanya begitu Windy?”
“Itu—"
“Udah selesai ngomongnya? Udah bel nih.” Baru saja
Windy ingin bercerita namun kedatangan Mark menginterupsinya.
“Ah, Iya. Udah kok,” Yudha menarik senyumannya dan
melambaikan tangannya kearah Windy. “Ingat, temenin gue!”
Windy menaikkan jempolnya hingga punggung Yudha menjauh.
Mark menatap keduanya binggung, Bukannya Yudha tidak
begitu suka dengan kak Windy yah? Gumam Mark didalam hati.
“Mau kemana kak sama kak Yudha?” Tanya Mark
penasaran yang hanya dibalas senyum aneh oleh Windy.
“Ih, kepo. Udah masuk sana!”
Windy menghilang, Mark mengatupkan giginya sebal.
“Dasar setan!” Tutupnya sebelum menggeleng keras dan
masuk ke arah kelasnya. Sementara hantu bisu itu muncul kembali
dikamar Mark saat pemiliknya itu disekolah, dengan segala energi
yang dimilikinya Windy kembali membuka buku bersampul hitam
itu melihat catatan-percatatan yang ditulis disetiapa awal babnya.
Windy Joana. H| 90
Tunggu Aku
Don’t trust everything you see. Even salt looks like
sugar – Anonymous
Windy Joana. H| 92
vietnam drip yang dipesannya, sedangkan Windy sibuk menopang
dagunya dan menatap Tama lekat-lekat.
“Benar-benar tampan!”
Yudha berdecih mendengar pujian Windy yang tidak bisa
didengar siapapun kecuali dirinya itu. “Apa aku harus
memberitahunya?” Yudha menunjuk Tama.
Windy menggeleng, Tentu Yudha tidak perlu
memberitahu Tama tentang gumamannya.
“Beritahu apa? Windy bilang sesuatu?” Sambar Tama.
“Ah, enggak-enggak Windy duduk diem di samping kamu
kok.” Yudha mengarahkan tangan Tama memegang sedotan dan
mendekatkan gelas kopinya divdekat Tama hingga pemuda itu
meminumnya.
“Wah, kopinya enak!” Puji Tama, mata indahnya berbinar.
“Sayang banget Windy gak bisa ngerasain,” Tama
berbalik, seolah ia benar-benar bisa melihat Windy yang duduk di
dekatnya. Tama menggoyang-goyangkan sedotannya ke arah
Windy. “Enak loh Wind kopinya,” Goda Tama. “Sayang kamu gak
bisa ngerasain.” Ucap Tama sendu kemudian.
“Bisa kok”
Mata Yudha membulat, Tangannya menutup mulutnya
sendiri kala Yudha melihat Windy memajukan badannya dan
terlihat seperti mencicipi sisa kopi di bibir Tama, meski Tama
Windy Joana. H| 93
tidak merasakan apa-apa tentu saja. Tapi Windy sudah memerah
dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya sendiri.
“Dasar hantu nakal!”
“Windy ngapain Yud?” Tama berbalik ke arah Yudha
begitu mendengar pemuda itu bersuara.
“Eh? Enggak kok, Gak apa-apa.”
Satu jam berlalu saat tiga orang berbeda alam itu duduk di
meja yang sama, langit di luar mulai menggelap tanda petang
sudah datang namun orang yang ditunggu Yudha tidak kunjung
datang. Yah, Yudha menunggu Inggita dan Sarah yang kata Windy
teman Rasti.
“Dia bukan?” Yudha menunjuk dua perempuan yang
masuk ke café namun dijawab gelengan oleh Windy.
“Nunggu siapa sih Yud?” Tama penasaran karena Yudha
sudah bertanya tujuh kali dengan pertanyaan yang sama kepada
Windy. “Temannya teman, Windy kenal mereka.” Jawab Yudha
yang masih gelisah menatap pintu masuk café.
“Oh.” Tama hanya mengangguk, meski tidak paham
dengan maksud Yudha. “Gak apa-apakan Tam disini dulu?”
“Gak apa-apa kok, Santai aja Yud.”
Windy mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke atas meja,
Kepalanya menempel sempurna di sana, matanya sesekali menatap
pintu masuk café seperti Yudha namun beberapa kali pula ia
mencuri pandang manatap Tama. Rasanya seperti mimpi bisa
Windy Joana. H| 94
dekat kembali dengan Tama seperti ini, Windy tersenyum namun
kemudian kembali memasang wajah sedih mengingat ia tinggal
memiliki beberapa hari lagi sebelum hari ke 1000nya.
Windy ingin menyebrang, Tentu saja. Windy sudah ikhlas
akan kematiannya, ia tidak keberatan sama sekali namun Tama
harus melihat sehingga penyesalannya berakhir dan Windy pun
akan menyebrang dengan tenang. Puas memandangi Tama, Windy
kembali memutar kepalanya ke arah pintu masuk dan mendapati
sesuatu yang mengejutkan. Windy sampai bangkit dari tempat
duduknya.
“Kenapa Windy? Mereka berdua orangnya?”
Windy mengangguk.
“Loh, kok mereka dateng sama Mark?” Heran Yudha.
“Mark?” Tama mendengar nama yang familiar itu juga
menegakkan badannya. Dipikiran Windy sekarang hanyalah apa
hubungan Rasti , kedua sahabatnya Inggita dan Sarah serta Mark?
Apa ini ada hubungannya dengan kemampuan Indigo yang
dimiliki Mark? Windy mengingat catatan di bab ketiga buku Mark.
Windy Joana. H| 95
Menunggu
In our waiting, God is working- Anonymous
Windy Joana. H| 97
“Aku disini Tam,” Yudha memegang tangan Tama.
“Hehe maaf, kan ga lihat.”
“Ya udah, aku temenin Tama dulu kalau begitu,” Yudha
baru akan bangkit namun Mark buru-buru menahannya.
“Mark aja, kebetulan Mark juga mau ke Toilet kak Tam.”
Ujar Mark yang membuat Yudha terduduk kembali di kursinya.
“Oh ya udah sama Mark aja kalau gitu.” Jawab Tama
setuju. Mark dengan pelan menggandeng Tama ke arah toilet,
Mark bahkan melontarkan beberapa lelucon tentang toilet sekolah
lama mereka sehingga Tama tertawa. Namun saat pengguna toilet
terakhir meninggalkan Tama dan Mark hanya berdua di dalam
sana, Mark mulai melakukan aksinya. Perlahan ia mendekat ke
arah Tama dengan ekspersi wajah yang seketika berubah.
Sayangnya Tama tidak bisa melihat wajah ramah Mark jadi datar
tanpa sebuah senyuman.
“Kak, ada yang mau aku omongin, ini penting.”
“Apa Mark?”
“Tentang Windy.”
“Windy?”
“Mark juga bisa melihat Kak Windy seperti Yudha.”
Windy Joana. H| 98
Mark dan Tama meninggalkan Yudha dengan dua orang
gadis yang menurut penuturan Windy adalah sahabat Rasti , arwah
yang setahun belakangan ini selalu menemaninya. Bisa dibilang
Yudha kehilangan, ada sebuah ruang kosong di hatinya saat
menyadari paginya tidak di bangunkan suara bising Rasti, siangnya
tanpa omelan Rasti, dan malamnya tanpa senandung merdu
seorang Rasti .
“Hem,” Yudha berdehem seolah meminta perhatian dari
Inggita dan Sahra. “Maaf, Sekali lagi perkenalkan saya Yudha.”
“Hallo,” Inggita menyapanya canggung dan Yudha hanya
bisa memamerkan senyumannya, berharap suasana canggung ini
dapat berubah.
“Maaf kalau saya lancang, Tapi boleh saya bertanya satu
hal?” Inggita dan Sarah saling bertatapan.
“Bo.. leh,” Ucap Inggita ragu.
“Kalian kenal dengan seseorang yang bernama Rasti ?”
Lidah Inggita dan Sarah kelu kala nama itu disebut
Yudha. Tentu saja mereka berdua tahu siapa Rasti, sahabat mereka
yang kini terbaring disebuah rumah sakit dan tentu saja mereka
tahu siapa Yudha bagi seorang Rasti.
“Kenal. Yudha kenal… Sama Rasti?”
Windy Joana. H| 99
Windy pernah membaca buku bahwa ada segelintir orang
yang akan memilih ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk
menghilangkan streesnya, seperti puncak gunung, pantai dan atap
paling atas sebuah gedung pencakar langit.
Namun semenjak jadi arwah, kala ia kalut tentang nasib
Tama atau dirinya sendiri, Windy akan berdiri di tengah-tengah
sebuah jembatan penyebrangan, melihat kendaraan yang berlalu
lalang di bawahnya. Selain itu biasanya di jembatan penyebrangan
ini ada sesosok hantu yang selalu memberinya wejangan, kata
mutiara, atau apapun kalian menyebutnya.
'Sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa
seiring berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati.
Lalu apa? Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian
kita.' Itulah kalimat yang diucapkannya kala Windy bertemu
terakhir kali dengannya.
“Apa dia sudah menyebrang?” Hampir 30 menit Windy
berdiri disini namun tidak menemukan sosok hantu yang ia
maksud, Windy kembali mengedarkan pandangannya ke arah
bawah jembatan lalu kembali menatap langit. Ah, mengapa segala
yang bercahaya nampak indah dimata hantu bisu itu?
“Kamu disini?” Windy menengok keatas mendapati hantu
yang sejak tadi dicarinya duduk menggoyang-goyangkan kakinya di
atas jembatan penyebrangan itu.
mendapatkan izin dari wali atau orang tua Mark dokter di Eye center
rumah sakit besar itu langsung melakukan tindakan. Apalagi
sebuah surat yang ditemukan di saku Mark menyebutkan dengan
gamblang ia akan mendonorkan kedua kornea matanya untuk
Seorang yang bernama Pratama Langit hadiputra.
Pengangkatan bola mata jenasah calon donor
dilaksanakan kurang dari enam jam sejak calon donor dinyatakan
meninggal, dan dalam waktu 24 jam sudah harus di cangkokkan ke
calon resipennya dalam hal ini Tama.
Tama yang memang sudah tahu akan menerima donor
setelah Mark memberitahunya, namun Tama tidak pernah tahu
pendonornya adalah Mark sendiri. Hari itu Tama hanya
menyampaikan kalau akan ada pendonor bahkan Mark meminta
dokter Azka yang menangani Tama untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium lengkap.
“Ya ampun Yudha apa lagi sih? Gak puas kamu mutih-
mutihin rambut ku kayak begini?” Protes Tama saat Yudha
menariknya ke sebuah sudut yang sudah Yudha siapkan dengan
banyak kamera.
Bagaimana Tama tidak protes? Yudha menyuruhnya jadi
Jack Forst sehari dalam acara bakti amal yang di selenggarakan
kampus Yudha untuk anak-anak berkebutuhan khusus, meski
-FIN-