Anda di halaman 1dari 135

Prolog

Seharusnya tidak ada yang harus


seorang Windy sesali dalam hidupnya yang
cukup singkat, kecuali Windy tidak bisa
mengatakan aku minta maaf dan aku mencintaimu kepada Tama
secara langsung. Perasaan cinta itu selain dipedam juga tidak
mampu Windy utarakan, dan perasaan bersalah itu menguap,
mustahil mengatakannya sekarang.
Menghancurkan hidup Tama yang indah dan nyaris
sempurna tidak pernah ada dalam rencana kehidupan Windy.
Memandang Tama dengan tongkat sebagai mata kedua
ditangannya selalu membuat Windy sakit.
Windy sudah mati, Tapi setiap hari melihat Tama dalam
kegelapan terkadang membuat jantung Windy yang sudah tidak
berdetak mencelos dan sakit. Bukankah segala sesuatu yang terjadi
pada Tama itu semua karena Windy? Salah Windy?
Andai saja hari itu, Windy tidak mendorong Tama terlalu
keras, Mungkin... Entah sejak kapan Windy menjadi benci dengan
kata 'mungkin', setelah mengucapkan akan ada sesuatu yang indah
di benak Windy. Tapi setelah kalimat dengan kata mungkin
sebagai awalannya itu berakhir Windy tahu itu tidak akan pernah
terjadi.
“Tama awas!” Andai bibir Windy ini bisa mengucapkan
kalimat pendek itu, mungkin Tama akan mendengarkannya dan
berlari sebelum beton itu jatuh. Tapi sayang Tuhan terlalu
menyayangi Windy.
Kata ibu Windy seseorang yang menyangi mu tidak akan
pernah memberikan semua yang kau mau secara sempurna. Dan
Tuhan tidak pernah memberikan anugrah suara pada Windy,
Karena itu Windy tidak bisa meneriakkan peringatan pada Tama,
tidak pernah bisa mengucapkan terimakasih setelah Tama
mengantar Windy pulang dengan sepedanya.Windy bahkan tidak
bisa menyebut nama Tama yang indah, Pratama Langit Hadiputra.
Tapi ada yang patut Windy syukuri, Beton itu tidak
menimpah tubuh Tama, Windy memang tidak bisa berteriak tapi
Windy bisa berlari kencang dan mendorong tubuh Tama tepat
waktu.Setidaknya Tama tidak mati, Seperti Windy.
"Kepalanya mengalami benturan keras dan mengguncang
seluruh komponen kepala dan organ di dalamnya, Termasuk bola
mata. Maaf karena mengatakan ini tapi mungkin saudara Tama
akan kehilangan kedua penglihatannya."
Ini salah Windy, salah Windy Tam.
Lalu sekarang Windy bisa apa? Windy hanya sesosok
arwah yang punya banyak penyesalan sehingga tidak bisa tenang.

Windy Joana. H| 2
Sahabat
Word can’t say how much I want you to be mine.

Windy menyatukan dua telunjuknya


dan menekan-nekannya, terkadang Windy mengigit bibirnya
sendiri karena pria yang tengah memboncengnya diatas sepeda
berwarna biru ini selalu membuat jantung Windy tidak berdetak
karuan. Jangankan menatap wajahnya, menatap punggungnya
seperti ini saja membuat darah Windy berdesir hebat.
Ah, Tama entah mengapa pemuda itu selalu sukses
membuat pipi Windy merona entah karena apa.
"Tungguin kakak latihan basket dulu gak apa-apakan
Wind?” Windy langsung mengangguk cepat karena ini artinya
waktu Windy akan sedikit lebih lama bersama Tama hari ini—
Jangan lupa kalau Windy akan melihat Tama bermain basket.
Windy selalu suka saat Tama memakai baju basket
berwarna orange dengan pinggiran hitam disetiap ujungnya, kulit
Tama terlihat lebih cerah saat memakainya, seperti matahari itu yang
selalu Windy ucapkan didalam hatinya.
Memandangi pria tampan yang sedang bermain basket
sembari duduk di bangku pinggir lapangan dan memberinya air
Windy Joana. H| 3
minum dan handuk kecil ketika selesai, bukankah itu impian kecil
setiap gadis yang memiliki kekasih?
Windypun seorang gadis yang memiliki mimpi yang sama.
Meskipun Tama bukan kekasih Windy, dia hanya tetangga Windy.
Ayah dan ibu Windy selalu menitipkan Windy pada Tama. Windy
bahkan lupa sejak kapan ia dan Tama selalu bersama, Seingatnya
saat giginya copot untuk pertama kali Tama sudah ada disana,
Bersamanya, Menjadi teman Windy, satu-satunya.
Tama itu teman masa kecil Windy, mereka selalu bersama
sejak dulu, bersama belajar naik sepeda, bersama bermain kasti
dan memecahkan kaca jendela ibu Aulia tetangga mereka, Tama
dan Windy kecil bagai charger dan smartphonenya tidak bisa berpisah,
dan selalu saling mengisi.
Saat memasuki usia sekolah Windy dan Tama kecil mulai
terpisah. Yah tentu saja karena Tama harus bersekolah di sekolah
normal seperti anak lain dan Windy harus bersekolah di tempat
anak berkebutuhan khusus. Meski Windy sempat menangis karena
tidak ingin bersekolah disana, ia ingin dengan Tama, masuk ke
sekolah yang sama dengan Tama.
Tapi Tama berkata, “Wind, gak apa-apa. Windy kesekolah
aja, kata Mama Windy itu special jadi sekolahnya beda dengan Tama.
Tapikan pulang sekolah Tama bias jemput Windy, kita naik sepeda, pulang
sama-sama.” Windy anak kecil polos yang tidak ingin berpisah

Windy Joana. H| 4
dengan Tama hanya bisa mengangguk, segala yang diucapkan
Tama adalah kebenaran bagi Windy.
Windy bisu, Windy hidup dalam diam sepanjang
hidupnya, tapi seorang Tama selalu mengerti apapun tentang
Windy tanpa harus Windy ungkapkan. Hanya satu hal yang tidak
Tama mengerti…yaitu perasaan Windy padanya.
Gadis kecil yang selalu dia antar dan jemput dengan
sepedanya itu sudah tumbuh menjadi gadis remaja yang
mengagumi Tama. Windy menyukai Tama, menyayangi, dan
mencintainya, meskipun Tama tidak mengerti itu.
Mungkin Tama hanya menganggap Windy tetangganya,
yang harus ia antar kesekolah pagi-pagi dengan sepeda birunya dan
menjemputnya jika pukul 14.00 siang, Adik kecil yang harus ia
lindungi jika sekelompok orang menghinanya.
Yah, tidak lebih dari pada itu.
"Oi oper ke sini oi!"
"Tama tangkap!"
Ah, lihatlah Tama. Di mata Windy Tama Seperti pemeran
buku komik yang selalu ia baca mewujudkan dirinya di
hadapannya sekarang.
"Tama fighting!"
"Wah kak Tama, gila dia ganteng banget." Windy
mengalihkan pandangannya pada sekelompok anak perempuan

Windy Joana. H| 5
yang memuja-muji Tama dengan teriakannya yang memekkakan
telinga.
Windy kesal.
Windy iri.
Windy juga ingin meneriakkan nama Tama dan memberi
semangat padanya. Tapi itu hanya harapan Windy, Angan-angan
semata. Nama Tama tidak pernah bisa ia sebutkan.
"Windy!" Panggilan Tama mengakhiri lamunan Windy,
Windy melihat Tama penuh peluh dengan nafas yang tidak
karuan—Windy terburu-buru mengambil handuk kecil dan botol
air minum dan memberikan padanya.
Tama terkekeh, matanya membentuk bulan sabit, giginya
yang rapi menambah nilai seni senyumannya. Tama kemudian
mengacak pelan rambut Windy.
"Aduh, Pinternya." Windy hanya bisa memamerkan
cengiran khasnya begitu mendengar pujian Tama.
Lapangan basket sore itu hampir kosong, hanya ada Mark
anak kelas satu yang bertugas memungut bola serta Windy dan
Tama yang duduk di sebuah bangku kayu tepat di pinggir lapangan
menikmati angin sepoi-sepoi di bawah langit yang mulai
menguning sore itu.
"Windy laper?" Windy menggeleng, Haruskah Windy
bilang kalau ia bahkan sudah kenyang melihat tawa Tama?
"Mau langsung pulang?"

Windy Joana. H| 6
Tidak Tama, bisakah kita lebih lama disini? Aku mohon.
Tama sudah lama mengenal Windy, Bahkan dari ekpresi
Windy dia sudah tahu gadis itu belum ingin pulang.
"Gak mau pulang yah? Terus mau apa?"
Windy merogoh tasnya yang berisi buku catatan dan
pulpen kecil berwarna pink—kedua item itu Tama yang
membelikannya, katanya hadiah, Tama bahkan punya buku catatan
yang sama berwarna biru padahal dia tidak memerlukan catatan itu
untuk berkomunikasi. Kata Tama jika ada sesuatu yang ingin
Windy katakan Windy harus menulisnya di sana, di buku catatan
pinknya
"Just stay here, with you." Tulis Windy.
"Hehe tapi ini udah sore, Windy cantik pulang yuk?" Ajak
Tama lembut. Tapi Windy menggeleng sekali lagi sembari
melengkungkan bibir kebawah sehingga membuat Tama yang tadi
sudah bangkit kembali duduk di tempatnya.
"Kok gak mau? Terus windy maunya apa? Hem?"
"Pengen pacaran sama Tama."
Entahlah, suasana sore ini begitu mendukung dan Windy
pikir semesta mendukungnya untuk menyatakannya. Ah, itu
bahkan bukan pernyataan cinta, kalimat yang ditulis Windy hanya
terlihat seperti godaan yang jahil. Tapi bagaimanapun Windy
sudah Menyatakan kalau ia begitu menginginkan Tama. Bukan

Windy Joana. H| 7
sekedar sebagai pria yang peduli padanya, tapi sebagai pria
tempatnya berbagi perasaan dan kasih. Jadi pacarnya.
"Me?" Tama menunjuk dirinya sendiri. "Tapi Windy—"
Windy meletakkan telunjuknya di bibirnya sendiri dan menutup
matanya rapat. Jujur saja Windy tidak siap mendengar jawaban
atau melihat gerakan bibir Tama saat menjawabnya.
Tama menyingkirkan jari Windy lembut, mengenggam
jemari Windy dan meletakkannya di atas pahanya, Tama juga
mengelus pipi Windy sehingga membuat Windy membuka
kelopak matanya perlahan.
Di sana Tama tersenyum, Senyuman Tama yang manis
bahkan matanya mengikuti lengkungan senyuman di bibirnya. Dan
mata Tama bagaikan danau yang tenang di tengah pegunungan,
memandangnya menghilangkan dahaga, membuat nyaman entah
mengapa, dan membuat Windy ingin tetap memandang pupil
kecoklatan itu.
"Windy, I can't. You know i'm your best friend. Kakak sudah
janji sama diri kakak sendiri buat jagain kamu, Tapi sebagai
sahabat kamu. Mungkin kamu mengartikan lain rasa sayang kakak
ke kamu. Tapi perasaan kakak ke kamu sekedar perhatian seorang
sahabat pria kepada sahabat wanitanya. Tidak lebih."
Bodoh, jangan menangis. Runtuk Windy saat air matanya
jatuh tanpa permisi tatkala Tama menyelesaikan kalimatnya.

Windy Joana. H| 8
Sebenarnya Windy sudah menduga jawaban Tama, Gadis
cacat seperti Windy tidak akan pernah mendapatkan pria
sempurna tanpa kekurangan seperti Tama. Windy kemudian sadar
Tama bukannya tidak mengerti perasaan Windy padanya, ia
mengerti hanya saja Tama tidak memiliki perasaan yang sama
sehingga mengabaikannya.
Windy kemudian menghapus air matanya kasar dan
bangkit meninggalkan Tama yang kini sudah berteriak memanggil
namanya. "Windy mau kemana? Kakak anterin!"
Masih adakah perempuan yang ingin di antar pulang oleh
pria yang menolaknya? Pakai otak mu Tama!
"Windy!"
Stop calling my name.
"Kakak anterin, Naik!" Tama menarik lembut tangan
Windy sambil mengeluarkan nada tegas dari bibirnya, sementara
Windy sibuk menyeka air matanya. Windy malu tentu saja, lalu
mengapa Tama terus mengejarnya? Windy hanya ingin menangis
sendiri di perjalanan pulangnya tanpa Tama.
"Naik, kakak gak bakal biarin kamu pulang sendiri."
Masih adakah perempuan yang ingin di antar pulang oleh
pria yang menolaknya? Jawabannya ada dan itu adalah Windy.
"Gak ada yang akan berubah Windy, kakak bakal terus
nganterin dan jemput kamu. Jadi jangan pulang sendiri, bahaya!"
Tama Jangan memanggil dirimu sendiri 'kakak' karena pada

Windy Joana. H| 9
kenyataanya Tama dan Windy lahir di tahun yang sama. Hanya
karena kau lebih tinggi dan selalu menjaga Windy itu bisa merubah
status mu jadi kakak Windy.
Apakah menjadi kakak Windy menjadi salah satu teknik
Tama menolak Windy secara halus? Seperti pria-pria pemberi
harapan palsu yang selalu Windy baca di situs novel online?
Kakak adik zone itu lebih menyakitkan Tama, Percayalah!
Begitu sepeda biru Tama berhenti di depan rumah Windy,
Windy bergegas turun dan berlari, tapi sayang Tama kembali
menahan pergelangan tangannya.
"Don't cry," Tama pengusap mata Windy yang sembab
dengan ibu jarinya lembut, sementara Windy terus menunduk.
"Kakak gak pernah mau liat kamu sedih apalagi nangis. Kakak juga
sayang kok Wind sama kamu," Tiba-tiba Tama mengangkat dagu
Windy dan mengecup keningnya.
Jantung Windy rasanya ini akan meledak. Bagaimana bisa
Tama meletakkan bibirnya dengan sangat lembut di kening
Windy? Dia mengecupnya, Tama mengecup kening Windy!
"Sebagai sahabat."
Tama jika kau menganggap Windy hanya sebagai sahabat
jangan membuat gesture seolah-olah kau memandang Windy lebih
dari sahabat. Karena tidak ada sahabat laki-laki yang mengecup
kening sahabat perempuannya begitu lama, sama seperti yang kau
lakukan kepada Windy.

Windy Joana. H| 10
Mati Muda
Saving the person you loved isn’t stupid. It isn’t
even a choice. – Koe no katachi

Setahu Windy, Tama tidak punya

banyak teman. Hanya beberapa orang dari klub basketnya dan


teman-teman sekelasnya saja. Sisanya dia hanya punya Windy satu-
satunya teman perempuannya. Kadang Windy bingung mengapa
Tama begitu betah berteman dengannya.
Windy tidak bicara apa-apa, ia tidak bisa memberikan
saran atau petuahnya saat Tama punya masalah, Windypun hanya
menggeleng dan mengangguk. Mungkin karena itu Tama betah.
Bukankah pria tidak suka perempuan bawel dan banyak bicara?
Tapi anehnya saat disuruh memacari gadis bisu, pria-pria itu akan
menolak mentah-mentah. Aneh bukan?
Windy juga gadis yang sangat penurut, buktinya hari ini
saat Tama bilang tidak bisa menjemput Windy dan menyuruh
gadis bisu itu ke sekolahnya agar kami bisa pulang bersama Windy
benar-benar kesana. Meski Windy tahu aku akan mendapat
pandangan miring karena seragam sekolah yang ia gunakan.
Seragam SLB, kata orang sekolah Windy itu sekolah luar biasa

Windy Joana. H| 11
karena sekolahnya mampu mengajari murid bisu, buta, bahkan
yang sedikit bermasalah dengan mentalnya.
Sekolah menengah luar biasa, tempat orang berkebutuhan
khusus. Orang-orang normal melihat sekolah Windy seperti
tempat kumpulan orang-orang tidak berguna, begitulah yang
mereka katakan.
"Kamu bukan anak sinikan? Mau ngapain disini?" Tanya
seorang siswi perempuan begitu melihat Windy yang berdiri
meragu di depan gerbang sekolah Tama, tapi Windy bersyukur
siswi perempuan itu menanyakan tujuannya meski dengan nada
sedikit tidak bersahabat.
Windy berusaha tersenyum dan menuliskan sesuatu
dibuku catatan pink-nya. "Aku ingin bertemu Tama. Pratama Langit
Hadiputera kelas 2 ipa2."
"Ah, Tama? Dia lagi ada praktek tambahan di lab
belakang kayaknya udah hampir selesai, kalau kamu mau nungguin
di sini aja, kalau kamu mau nyamperin lurus aja lewat gedung
tengah yang baru di bangun, pas di belakang gedung itu labnya."
Siswi ini menunjukkan jalan ke sana.
Setelah Windy pikir-pikir siswi ini lumayan baik, dari
sekian banyak siswi yang melewati Windy mereka hanya
memandang Risih. Sedangkan siswi ini mencoba membantu
Windy, meski Windy tahu dia juga siswi ini sedikit risih tapi
setidaknya dia jauh lebih baik.

Windy Joana. H| 12
“Terimakasih, semoga berlimpah cahaya.” Tulis Windy yang
hanya dibalas anggukan lemah dan senyum singkat siswi yang
membantunya.
Sekolah Tama terdiri dari tiga gedung yang berjejer ke
belakang, gedung pertama terdapat ruangan guru dan beberapa
kelas serta lapangan bola dan basket, gedung tengah masih dalam
tahap renovasi, dan ruangan paling belakang adalah tempat
beberapa Lab, baik kimia, biologi ataupun lab bahasa.
Windy sudah menunggu 15 menit tapi Tama tidak
kunjung menampakkan batang hidungnya, sehingga dengan malas
Windy menyeret kakinya untuk menyusulnya ke gedung belakang.
Ini sudah jam pulang sekolah, Windy berharap ia tidak menemui
banyak orang di dalam sana. Windy selalu risih ditatap dengan
mata yang memicing dan sinis padahal gadis itu sama sekali tidak
memiliki masalah apapun dengan mereka.
Windy melewati lapangan basket sembari mengabaikan
beberapa tatapan miring orang-orang yang melihatnya, Windy
tetep memegang tali ranselnya dan berjalan ke gedung yang masih
dalam tahap renovasi itu.
Tunggu, Itu Tama. Dia berada di tengah lorong gedung
yang tengah di renovasi sembari berbicara dengan seorang pria,
tidak lama kemudian Tama menyadari kehadiran Windy yang
berdiri beberapa meter darinya.

Windy Joana. H| 13
"Windy~" Tama melambaikan tangannya kepada gadis
bisu itu yang dibalas lambaian tangan pelan oleh Windy.
Windy sudah lelah berdiri digerbang menunggunya dan
Tama malah asik dengan temannya. Dasar pria—makhluk seperti
mereka tidak pernah peka.
"Ya udah gue duluan kalau gitu Tam." Pamit teman Tama
yang berlalu meninggalkan Tama disana sendirian.
“Oke bro. Makasih ya.” Kini pandangan Tama beralih
pada Windy yang sudah memasang tampang cemberutnya.
"Windy, sini!"
Windy sebal. Pria itu! Seharusnya kau yang kesini, bukan aku
yang harusnya ke sana. Hhhh tapi mau bagaimana lagi?
Windy berjalan dengan wajah yang di tekuk dan bibir yang
di manyunkan, sementara Tama dengan tidak pekanya malah
memainkan handponenya dengan satu tangan yang di masukkan di
saku baju lab berwarna putih yang melekat di badannya.
Windy kesal, saking kesalnya gadis itu mendongkakakan
kepalanya ke atas dan mengirup udara sebanyak-banyaknya dan
saat itu pula Windy melihat sebuah beton baja yang biasa
digunakan untuk penyangga sebuah bangunan akan jatuh tepat ke
arah Tama berdiri.
TAMA AWAS!
Tuhan ijinkan aku berteriak sekarang, aku mohon sekali ini saja.

Windy Joana. H| 14
Ah, persetan. Tama tidak akan selamat jika Windy hanya
terus berharap sampai ia bersuara. Yang dipikirkan Windy
sekarang hanya berlari, berlari menyelamatkan Tama, Tamanya.
Windy berlari sekuat tenaga, sementara Beton penyangga itu sudah
hampir jatuh.
BRAK!
Syukurlah tepat waktu, Windy berhasil mendorong Tama
hingga ia terlempar. Tapi betapa bodohnya Windy karena Tama
malah terbentur beton yang lain, kepalanya berdarah, sepertinya
Tama kehilangan kesadarannya. Setidaknya terbentur lebih baik
dari pada tertimpa, karena terimpa Beton adalah sesuatu yang
paling menyakitkan yang pernah Windy alami.
Beton itu menekan tulang belakang hingga tulang leher
Windy sehingga terdengar bunyi retak yang Windy yakin dari
tulangnya sendiri. Darah keluar dari mulut dan hidung Windy,
kepalanya tergelak di lantai kotor penuh debu sembari menatap
samar Tama yang masih menutup matanya.
Kumohon buka mata mu, kumohon Tama kau harus baik-baik
saja, kau harus.
"Uhuk uhuk!" Windy terbatuk mengeluarkan banyak
darah, gadis itu bahkan tidak bisa lagi menarik nafasnya, dadanya
mulai sesak, Windypun mulai menangis teringat ayah dan ibunya.
Maaf aku harus berakhir seperti ini, meski aku berharap ini bukan
akhirku tapi sepertinya Tuhan berkata lain, Ayah, Ibu, Tama.

Windy Joana. H| 15
Windy pernah membaca buku Soe Hok Gie dengan Tama
waktu itu katanya nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, dan
kedua adalah dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial
adalah umur tua, rasa-rasanya memang begitu, bahagialah
ia yang mati muda.
Windy rasa ia bahagia, dan kebahagiaannya akan
bertambah jika ayah dan ibunya ikhlas, serta Tama-nya selamat
tidak kurang satu apapun, kehidupannya harus berlanjut.
"Wi…Windy,"
Tama?
"Windy." Tama melafalkan nama Windy pelan, meski
matanya tidak berbuka. Windy mengulas senyuman perpisahannya,
bahagia, sakit, dan lega menjadi satu kala Tama sadar dan
melafalkan namanya. Nama Windy.
Telinga Windy berdengung hebat, tak ada lagi nafas yang
mampu ia hembuskan. Sementara Tubuh Tama semakin samar di
mata Windy, gadis itu merentangkan tangan berusaha menggapai
raga Tama, namun padangannya makin buram…buram… hingga
Tama tak terlihat lagi.
“Tama, selamat tinggal. Tama baik-baik saja, Tama ku hidup
dan ia baik-baik saja. Yah, aku bahagia mati muda.☺”

Windy Joana. H| 16
Penyesalan
There is a voice that doesn’t use words. Listen -
Djaluddin Rumi.

Pelan-pelan Tama mencoba membuka


matanya, semua inderanya bangkit. Hidungnya dapat mencium
bau obat-obatan khas ruangan rumah sakit, kulitnya dapat
merasakan tusukan jarum infus di pembuluh darahnya, telinganya
dapat mendengar percakapan ibunya dengan seorang dokter.
Tapi satu indera yang tidak dapat ia rasakan.
"Ma," Tama meraba-raba nakas di sampingnya.
Prang! Namun sayang, tangan Tama malah mengenai vas
bunga di nakasnya dan membuat vas kaca yang terisi bunga mawar
putih itu terjatuh berserakan dilantai.
"Tama, kamu udah bangun nak?" Ibu Regina Nyonya
Hadiputra, Ibunda Tama menangis haru, hatinya ngilu karena
putra satu-satunya itu harus cacat karena sebuah kecelakaan.
"Ma?" Tama masih mencoba menggapai-gapai apa yang
ada di hadapannya sampai ibunya mengenggam tangannya.
"Mama disini nak, di sini. Tama mau apa na? Mama
ambilin." Ibu Regina sesak menahan tangisnya.

Windy Joana. H| 17
"Kok Tama gak bisa lihat apa-apa yah ma? Ah, itu gak
penting. Windy mana ma? Windy gimana? Dia baik-baik ajakan?"
Cecar Tama.
Lelaki ini bahkan tidak memperdulikan matanya yang
tidak bisa melihat objek apapun, ia malah mengingat gadis yang
menyelamatkannya, gadis yang tertimpa beton untuknya.
"Ma? Mama masih disitukan?"
"Iya nak, Mama disini."
"Windy mana Ma? Dia dirawat disini jugakan sama Tama?
Terus mana Windy ma?" Desak Tama.
"Windy—" ibu Regina menggigit bibirnya sendiri. Ia
merasa tidak sanggup mengatakan kalau gadis kecil yang ia anggap
anaknya sendiri itu sudah tidak ada di dunia, apalagi
mengatakannya pada Tama.
Tama yang selalu melindungi Windy sejak kecil, yang
menjadi satu-satunya teman dekat gadis bisu itu. Tama sahabat
Windy, dan Tama putranya yang pernah ia dapati memandang
Windy dari kejauhan sambil tersenyum.
"Ma, sekali lagi Tama tanya Windy mana? Kenapa Mama
diam? Windy gak apa-apakan Ma? Dia baik-baik ajakan?" Mata
Tama mulai berkaca-kaca.
Manusia mana yang baik-baik saja setelah ditimpa beton
yang berlipat-lipat kali beratnya dari berat badannya sendiri? Tidak
ada, secara logika Tama sudah tahu Windy tidak akan selamat.

Windy Joana. H| 18
Tapi disisi lain, Tama masih berharap gadis bisu itu hidup. Tama
tidak ingin hidup dalam penyesalan karena Tama ingat betul
bagaimana Windy menyelamatkannya.
"MAMA, MANA WINDY? MANA MA? WINDY
BAIK-BAIK AJA. KENAPA MAMA NANGIS? KENAPA?"
Tama histeris karena hanya mendapat jawaban air mata dari
ibunya.
"Hhhhhh Windy udah gak ada nak, Windy sudah tenang.
Tama harus ikhlas ya nak ya?" Ibu Regina mencoba menenangkan
Tama yang lepas kendali.
"Enggak mungkin. Bawa aku ke Windy sekarang Ma.
Bawa Tama ke Windy sekarang!" Tama mencoba melepaskan
jarum infus di tangannya, ia kemudian bangkit dari tempat
tidurnya dan hendak pergi. Sampai Tama sadar, ia masih belum
melihat objek apapun sedari tadi.
“Tama! Tenang nak, tenang. Kamu gak apa-apa? Hem?”
"Ma," Panggilnya lirih. "Tama gak liat apa-apa."
Kaki Pratama Langit Hadiputra seakan melemah, Tama
tumbang dari bangkitnya. Tanpa suara Tama menangis,
mengeluarkan air mata dari matanya yang tidak dapat melihat
apapun.
Ia buta, itu yang Tama sadari.

Windy Joana. H| 19
Windy tidak pernah tahu kalau ternyata arwah sepertinya
juga dapat menangis tersendu-sendu. Mungkin bedanya
tangisannya kali ini tidak didengar siapa-siapa, tidak seperti waktu
ia hidup dulu. Gadis itu meruntuki kebodohannya karena
membuat Tama kehilangan penglihatannya.
Sedari tadi arwah yang masih lengkap dengan seragam
sekolahnya itu menangis melihat Tama. Semua salahnya, salahnya.
Ia menyalahkan dirinya sendiri ribuan kali.
"Makan yah nak?" Bujuk ibu Tama yang sudah
beberapakali mengarahkan sendok yang penuh makanan kedepan
bibir tipis Tama. Tapi Tama mematung, dia bahkan tidak
membuka mulutnya satu incipun.
"Dikit aja nak, Windy bakal sedih ngeliat kamu kayak
gini," Arwah Windy mengangguk, dia sedih melihat Tama seperti
ini. Meskipun Windy yakin akibat kesedihan Tama itu adalah
karena Tama kehilangan penglihatannya, bukan karena kehilangan
Windy.
"Hhhhhhh Tama nyesel Ma." Tiba-tiba Tama terisak,
kedua tangannya yang kokoh menutupi wajahnya yang memerah
karena air mata.
"Itu kecelakaan sayang, gak ada yang perlu kamu sesali."
Tama menganggap ibunya selalu benar, tapi kali ini ibunya salah.
Tama punya banyak penyesalan yang tidak bisa diungkapkan
sehingga membuat dadanya sakit.

Windy Joana. H| 20
Tama menyesal tidak dapat melihat indahnya dunia lagi.
Andai Tama tahu ia akan kehilangan penglihatannya, ia akan
berlama-lama menatap Wajah teduh ibunya, gagah tegap badan
Ayahnya, bahkan ia akan menghabiskan bermenit-menit menatap
coklat, anjing kesayangannya.
Tama menyesal karena tidak dapat melindungi Windy
seperti yang seharusnya ia lakukan. Dan Tama menyesal karena
tidak mengungkapkan sesuatu yang terpendam dihatinya dan
terpatri di kepalanya sejak lama.
"Tama sayang Windy ma, sayang banget. Terus kenapa
Windy ninggalin Tama? Kenapa?" Arwah gadis bisu itu
mematung, kata sayang terdengar kembali ambigu di telinganya.
Sampai akhirnya dia tersenyum miris, sangat miris.
Windy juga sayang sama Tama. Banget. Tama juga sahabat
terbaik yang Tuhan kirim buat Windy
Bukankah Tama pernah bilang ia menyanyangi Windy
sebagai sahabat? Itu yang Windy yakini. Namun pernyataan sayang
Tama yang terakhir tidak bermakna demikian. Dia menyayangi
Windy. Rasa sayang seorang laki-laki ke seorang perempuan.
Ya, Tama memiliki rasa yang sama. Manusia bodoh. Lalu
kenapa ia tidak mengungkapkannya? Semuanya sudah terlambat
bahkan jika itu diungkapkan sekalipun.

Windy Joana. H| 21
Aku Sakit
I say sorry a lot, because I feel like everything is
my fault – Anonymous.

Butuh waktu lama bagi Tama

menerima kenyataan. Menerima segala yang terjadi di


kehidupannya dalam waktu singkat. Menerima berbagai
kehilangan. Kehilangan penglihatan, teman-teman, dan kehilangan
Windy. "Kasian banget ya, ganteng-ganteng kok buta?" Tama
memutar kepalanya mengikuti arah Sumber suara yang
didengarnya. Tama tahu pasti yang di maksud adalah dirinya.
"Modal ganteng kalo cacat buat apa?"
Tama tidak membalas, ia hanya menunduk lalu
tersenyum. Ia sekarang sudah tahu pasti apa yang dirasakan
Windy. Tama selalu mendengar para pria bahkan teman-temannya
sendiri mengatakan hal yang sama tentang Windy.
'Cantik kalau cacat buat apa?'
"Oh ternyata kayak gini rasanya." Gumam Tama.
Tama kini merasakan rasanya dibuang dunia, merasa
seperti sampah hanya karena sedikit berbeda. Yah, kadang dunia
tak seadil itu Pratama Langit Hadiputra

Windy Joana. H| 22
"Kamu mulai minggu depan homeschooling. Mama udah
daftarin, gurunya khusus buat kamu." Ibu Regina mengusap
kepala putranya lembut. Sebenarnya ia sedih, Tama tidak dapat
menjalani kehidupan layaknya anak-anak seusianya. Ya, tapi
setidaknya ibu Regina telah berusaha agar Tama tetap mendapat
pendidikan yang layak meski ia sekarang sedikit berbeda.
"Hm." Responnya singkat, Tama hanya menggumam.
Rasanya Ibu Regina kehilangan putranya yang banyak
bicara, cerewet dan penurut itu. Yang ada sekarang hanya Tama
pemuda depresi yang berbicara seperlunya.
"Kamu kok jadi gini sih nak? Mama tahu kamu sedih
karena Windy—"
"Akh Windy Windy Windy, Windy terus! Aku capek ma.
Mama gak tahu betapa merasa bersalahnya aku karena ngebunuh
Windy? Karena ngebiarin Windy mati karena aku dan di depan
mata ku sendiri?" Tama berteriak melepas segala yang mengganjal
di hatinya. Tama merasa frustasi, bersalah. Ia takut, dan ia sedih.
"Tama," Ibu Regina lirih.
"Hhhhhh cukup Ma. Keluar dari kamar Tama sekarang.
Tama pengen sendiri." Usirnya.
Ibu Regina mengangguk, ia mengusap pelan bahu
putranya kemudian berlalu meninggalkan Tama sendiri.
Ah, sebenarnya Tama tidak sendiri, perempuan yang
masih lengkap dengan seragam dan darah kering di lengannya itu

Windy Joana. H| 23
mendengar semuanya. Ia terpatung, bahkan sampai tak sanggup
lagi menangis. “Segitu muaknya kamu denger nama aku Tam?”
Sementara si pelaku yang memporak-porandakan hati
Windy itu duduk di tepi kasurnya ia menunduk dan menutupi
tangis dengan tangannya.
"Hhhhh kenapa aku masih belum ikhlas bahkan sampai
detik ini Windy?" Windy menatap Tama penuh tanya. Gadis itu
ikut terduduk di sebelah Tama, Tangannya mencoba menyentuh
pundak pria itu. Tapi nihil, Windy tidak dapat menjangkaunya.
Tama bukan jangkauannya. Harusnya Windy sadar kalau ia dan
Tama berbeda alam.
“Maafin aku Tam. ngehancurin hidup kamu yang Indah gak ada
dalam rencana aku sama sekali.” Sekali lagi gadis itu hanya bisa
bergumam dalam hatinya. Bahkan jika ia bisa berbicarapun Tama
tak akan pernah bisa mendengarnya.
Tama mengusap air matanya, perlahan ia mengangkat
kepalanya. Mata, pipi dan hidungnya memerah. Pemuda itu
bahkan tidak pernah menangis separah ini dalam hidupnya.
Windy heran, karena baru sedetik tadi Tama menangis
tersedu sekarang pemuda itu tersenyum. Tersenyum, tapi air
matanya tetap jatuh sekuat apapun ia menahannya.
"Sekarang kamu gimana Wind? Aku kangen. Hhhh."
Tanya Tama entah pada siapa sambil terisak pedih.
Aku sakit ngeliat kamu kayak gini Tam.

Windy Joana. H| 24
Mengingat
They saiy love hurts, but they wrong. Love didn’t
hurt me. Lose you did it – Anonymous

Satu minggu awal Windy menjadi

hantu, arwah penasaran atau apa saja kalian menyebutnya. Banyak


hal yang cukup mengagetkan gadis bisu itu. Dunia yang tidak
pernah ada di akalnya, Windy berada di dalamnya, sendirian.
Melihat sosok-sosok mengerikan penuh darah sama seperti yang ia
lihat di film horor, atau bahkan mereka yang terlihat normal sama
seperti manusia pada umumnya.
Windy sempat takut, tapi apa yang perlu diatkutkan?
Mereka hantu, Windy juga. Lalu apa perbedaan diantara mereka?
Windy dan mereka yang tidak terlihat sama-sama bisa menghilang
dan muncul di tempat yang berbeda, menembus tembok, atau
terbang. Itu sisi baiknya, dan sisi buruknya bagi windy— ayah, ibu,
dan Tama-nya tidak bisa melihatnya.
"Tama mau kemana nak?"
"Jalan-jalan sebentar Ma."
Ini sudah dua tahun dan Tama mulai terbiasa dengan
dunianya yang gelap, Tama bahkan sudah begitu lihai memakai

Windy Joana. H| 25
tongkat dan berjalan-jalan disekitar rumahnya. Tama pindah atas
saran psikiater agar dapat lebih tenang, dan bisa melupakan.
Iya, Windy juga sangat mengharapkan hal yang sama.
"Hati-hati, ingat sebentar sore kita mau ke dokter!" Teriak
Ibu Regina yang seketika menghentikan langkah Tama.
"Udalah Ma, Tama udah gak ada harapan," Tolak Tama
dengan penuh rasa pesimis disetiap kata yang di ucapkannya.
Ibu Regina menghampiri Tama dan mengelus kepalanya
lembut. "Nak, kata dokter Azka kamu bisa melihat lagi, kalau
kamu rajin kontrol, dan kamu—"
"Menerima donor kornea mata, Tama tahu Ma."
Potongnya. Ibu Regina sedikit tersentak namun tetap tersenyum,
Meski senyum hangatnya itu tidak bisa dilihat oleh Tama putranya.
"Tama pergi dulu." Tama melangkahkan kakinya
perlahan, dengan tongkat menjadi petunjuknya agar tidak
menabrak atau tersandung sesuatu dijalan.
Tama sudah menghapal di luar kepala jalanan ke tepi
danau favoritnya, dan Windy hanya bisa mengikutinya sambil
menatap wajah tampan Tama yang tetap tidak berubah walau dia
sudah tidak bisa melihat sendiri ketampanan itu.
Sekelompok remaja tanggung kadang menjahili Tama di
jalan, Tama kadang dipaksa berputar-putar agar pusing dan
kehilangan arah. Tapi Windy tidak bisa berbuat apa-apa, Windy
pernah melihat seorang hantu yang bisa menyentuh objek, namun

Windy Joana. H| 26
saat Windy mencobanya ia gagal. Windy hanya seorang pendatang
baru yang tidak punya teman didunia per-hantuan ini, dia tidak
tahu harus meminta tolong atau berbagi dengan siapa.
"Eh buta, haha pusingkan lo?" Anak-anak nakal itu
tertawa, dan emosi Windy sudah sampi keubun-ubun. Tama
terlihat kelimpungan, anak-anak nakal itu pergi setelah puas
menjahilinya. Tama sudah perlahan bangkit dan mencoba
menemukan arahnya.
"Kalau tiang listrik ini di sini, berarti tiga langkah lagi ada
belokan di sebelah kiri." Tama menghitung langkahnya.
"Ehm? Gak ada belokan? Berarti gue salah arah, gue
musti muter balik." Tama bermonolog. Tama terlihat mencoba
tersenyum walau Windy tahu sekarang kepalanya sedang sakit,
dan langkahnya masih gontai.
Maafkan aku Tama, ini salah ku. Bisakah aku dimaafkan?
Tama sampai di tepi danau, ia terlihat menikmati bunyi
angin yang bergesekan dengan daun atau dengan air disana. Ia
memejamkan matanya, berusaha menikmati kegelapan yang
memang sudah tercipta walau tanpa ia harus menutup mata.
“It will be nice if you here, Wind."
Ya, it will be nice Tam.
"Ciye lagi ngeliatin si tampan, aduh Wind dia ganteng
banget sih. Ngidam apa dulu mamanya?" Itu bukan Windy yang
berbicara, melainkan hantu cerewet ber-tag nama Rasti di

Windy Joana. H| 27
seragamnya yang mengklaim dirinya sendiri sebagai teman Windy.
Katanya hanya Windy satu-satunya yang ia punya didunia
perhantu-an ini. Padahal Windy tidak tahu dia siapa, yang Windy
tahu Rasti punya pacar yang berbeda dunia. Iya, pacarnya manusia.
Tapi manusia itu bisa melihat mereka yang tidak terlihat, hem
hubungan yang menarik.
"Elah, di tatap mulu," Rasti menggunakan tangannya
menyentuh bahu Tama lalu kembali menghilang.
"Siapa?" Tama berbalik, Sehingga Windy yang sedari tadi
berada beberapa sentimeter di belakangnya kini berhadapan
langsung dengan wajah tampan Tama. "Siapa disana?" Tanyanya
kembali. Tiba-tiba angin yang cukup keras berhembus, menampar
wajah Tama dan Windy.
"Windy?" Panggil Tama.
Windy tersentak.
"Kamu tahu gak? Kenapa kamu di kasi nama Windy sama
Tante sama Om?" Tama yang sibuk dengan keripik kentang ditangannya.
Windy menggeleng sebagai jawaban, Windy tidak pernah tahu sejarah
namanya dan tidak tertarik dengan pembahasan itu.
"Kata Om sama Tante, dasar nama kamu itu ' Wind' yang
artinya angin, kamu lahir memberi kesejukan, dan kata tante kamu lahir
pas angin lagi kencang-kencangnya. Makanya kamu dikasi nama Windy"
Windy memamerkan rolling eyes-nya pada Tama sembari menerka-nerka
dari mana Tama mendengar atau mengarang cerita aneh itu?

Windy Joana. H| 28
"Aku serius Wind, jadi
setiap ada angin yang bertiup
entah pelan ataupun keras, aku
akan mengingat kamu."
-Tama-

Windy Joana. H| 29
Masih Ada?
When lip are silent, the heart has a thousand
tongue - Djalaludin Rumi.

Hari demi hari Tama semakin terbiasa


dengan keadaannya, itu sisi baiknya tapi dia juga sudah semakin
jarang menyebut nama Windy. Iyah itu sisi sedihnya bagi Windy
yang teramat merindukan Tama meski ia teramat dekat tapi sangat
jauh dari pria itu.
"Cuma tepungkan Ma?" Tama meraba nakas mencari topi
hitam dan tongkat berjalannya.
"Iya ini uangnya. Kamu yakin bisa pergi sendiri?" Ibu
Regina mengkhawatirkan Tama meskipun Tama sudah sering
berbelanja sendiri ke minimarket.
Banyak yang terjadi dalam kurun waktu belakangan ini,
termasuk Tama yang mulai kembali percaya diri, ia menata
kehidupannya dari nol. Bukan tidak sering ia frustasi dan kecewa
tapi saat angin dengan lembut menerpa wajahnya Tama kembali
terisi oleh satu harapan.
Ia harus hidup, bukankah itu yang Windy harapkan?

Windy Joana. H| 30
Dimulai dari Tama mulai mandiri. Tama berfikir
bagaimana kalau Ibunya sedang ada urusan mendesak dan yang
lainnya? Tentu saja mau tidak mau Tama lah yang harus bergerak.
Tama tidak mungkin berdiam diri dan kelaparan di dalam rumah
bukan?
"Yakin Ma, jangan khawatir. Mana uangnya?" Ibu Regina
meletakkan selembar uang berwarna biru di tangan Tama.
Sebenarnya Ibu Regina tahu harga dari belanjaan Tama, dia hanya
terlewat khawatir sehingga memberikan uang lebih.
Ibu Regina sedikit takut karena pernah suatu hari Tama
berbelanja dan hanya membawa sedikit uang dan hampir dipukuli
hingga putranya itu mengaku ia buta, ia tidak melihat berapa
nominal uang kertas yang dipegangnya. Syukurlah waktu itu ada
tetangga yang mengenali Tama dan membayarkan sisa belajaan
Tama, sekarang Ibu Regina tidak ingin mengambil resiko, ia lebih
memilih memberi uang lebih meskipun Tama kadang ditipu
dengan kembalian yang kurang dari seharusnya.
"Kembaliannya Tama belikan apa saja yang pengen Tama
makan." Ibu Regina salah satu ibu terbaik, dengan dukungan
terhebat, Tama beruntung memilikinya.
"Wah, Thank's Mom." Mata Tama berbinar, andai mata
Indah itu bisa melihat maka akan menjadi lebih Indah.
Windy mengikuti Tama dari belakang, terkadang Windy
berjalan di sampingnya. Tama yang sekarang, nampak lebih ceria

Windy Joana. H| 31
dan hidup. Mungkin benar kata hantu gadis yang yang berdiri di
jembatan penyebrangan yang selalu di lewati Windy. Katanya
'sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa seiring
berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati. Lalu apa?
Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian kita.'
Rasa-rasanya itu benar, mungkin Tama sudah di titik
perlahan-lahan melupakan setelah puas menangisi Windy tapi
tidak apa-apa Windy lebih senang melihat Tama mulai baik-baik
saja seperti sekarang dari pada terus depresi memikirkan Windy.
Tama terduduk memakan lolipop rasa melon kesukaannya
di sebuah kursi Taman tidak jauh dari minimarket tadi. Lihat
rahang yang bentuknya luar biasa itu, bibir yang Indah, hidung
mancung, dan bulu mata lentiknya.
Dan satu lagi yang Windy suka dari Tama.
JAKUNNYA.
Ah, seharusnya Hantu tidak boleh punya pikiran yang tidak-
tidak Windy.Sadar Windy sadar. Windy memukul kepalanya berkali-
kali sampai sesosok hantu perempuan yang bernama Rasti itu
datang lagi. Hhhh kenapa dia tidak pernah bosan mengajak ku berteman.
"Hi Windy😀." Hantu Rasti itu menyapa Windy dengan
senyuman manis yang dipaksakan sehingga terkesan creepy karena
wajah dan bibir pucatnya. Windy melambaikan tangan kepadanya
berharap ia mendekat. Tapi Rasti malah memasang ekspresi
bodoh dengan wajahnya.

Windy Joana. H| 32
"Aaa? Apa Wind? Gue gak ngerti" Rasti menggaruk
kepalanya sembari mengangkat satu alisnya. Windy meletakkan
satu jari di bibir dan dan menggerakan tangan ke kiri dan ke
kanan, kemudian menyilangkan lengannya. Sebagai kode mulutnya
itu tidak bisa mengeluarkan kata apapun, i life on silent forever.
"Ja-jadi elo bi-bisu?" Rasti setengah tidak percaya dengan
fakta yang Windy beritahu. Windy berpikir, Jadi selama ini hantu
cerewet ini mengira ia bisa berbicara? Seandainya bisa Windy tidak
akan mengabaikannya.
"Pantes aja elo gak pernah nyahut waktu gue panggil"
Iyaiyalah Rasti , aku tuna wicara.
Windy tetap melambaikan tangannya ke Rasti berharap ia
mendekat sehingga Windy bisa menanyakan sesuatu padanya.
"Wind, bentar ya," Dalam sekejap Rasti menghilang dari
hadapan Windy dan muncul di tengah-tengah antara Windy dan
Tama membawa sebuah buku dan pulpen yang entah dia curi dari
mana. "Ini Wind, Tulis aja apa yang mau elo omongin" Windy
mendelik, menatap tajam kearah Rasti.
Kenapa dia terlalu jahil untuk ukuran seorang hantu?
"Udah, ga apa-apa gue cuma pinjem. entar gue balikin."
Rasti menyengir dengan tidak tahu diri.
Tama memasang earphonenya dan menikmati semilir angin
dan lolipop rasa melonnya tanpa pernah tahu ada dua hantu di
sampingnya yang saling berdebat karena sebuh buku dan alat tulis.

Windy Joana. H| 33
Windy mencoba meraih alat tulis yang disodorkan Rasti,
tapi nihil ia tidak bias memeganya. Rasti berdecih, “Ck, dasar anak
baru!” Windy memamerkan senyum bodohnya. Tentu saja Windy
belum bisa memegang sebuah objek, meski ia sudah dua tahun
menyandang status sebagai arwah penasaran.
“Bentar,” Rasti meraih tangan Windy, tangan yang sama
pucatnya, sama dinginnya, sama-sama mati. Rasti dengan perlahan
memindahkan buku tulis itu ketangan Windy, pelan.
“Feel it.” Rasti berbisik, Windy sedang mencoba
mengingat bagaimana rasanya memegang buku, tekturnya, baunya,
dan— “Berhasil!” Ucapan Rasti membuat Windy membuka mata,
bola matanya hampir jatuh saat ia benar-benar melihat dan
merasakan buku itu ada di tangannya, di pegangnya.
Tanpa membuang waktu Windy membuka buku catatan
itu dan menuliskan beberapa kalimat di sana.
“Pacar kamu mana?”
Rasti mengerjap "Pacar? Gue gak punya pacar." Rasti
menggeleng dengan ekspresi lugunya.
Jadi yang kemarin bersamanya siapa? Aku pikir dia pacarnya.
"Oh jangan-jangan maksud elo Yudha? Dia bukan cowok
gue Wind, boro-boro dia mau jadi temen gue aja gue udah senang
banget." Lalu kemudian Rasti berceloteh panjang tentang Yudha.

Windy Joana. H| 34
Yudha pria manis yang ternyata kesepian karena dianggap
aneh, ya Tentu aneh karena Yudha bisa berbicara dan melihat
sebuah dunia yang orang lain tidak dapat melihatnya.
Windy terseyum saat mendengar berbagai macam cerita
Rasti dan Yudha ini. Meski Windy tidak habis pikir mengapa yang
berbeda selalu dipandang aneh? Windy bisu dan dia aneh, Tama
buta dan dia aneh, Yudha bisa melihat hantu dan dia aneh.
Apakah aneh sudah mengalami pergeseran makna? Justru
yang menurut Windy aneh itu adalah orang-orang yang tidak bisa
membuka pemikirannya karena sebuah perbedaan kecil,
bagaimana bisa otak sempit mereka kemudian menerima
perbedaan yang besar?
“Kamu beruntung, dia bisa ngeliat kamu” Tulis Windy yang
seketika membuat tawa Rasti pudar. Rasti menatap Tama dan
Windy bergantian. Mungkin Rasti mengerti bagaimana perasaan
Windy dan Tama, atau dia hanya kasian melihat hantu stalker bisu
dengan manusia buta ini.
Windy rasa hantu Rasti ini punya sisi hangat yang baik,
Windy suka 'mengobrol' dengannya.
“Kamu tahu nama ku dari mana?”
Windy memang memakai seragam, sama seperti Rasti
tapi seragam Windy tidak memiliki tag name seperti miliknya. Dan
yah, Windy penasaran bagaimana Rasti bisa tahu namanya.
Sementara ia tidak pernah bisa menyebutkannya.

Windy Joana. H| 35
"Gue tahu dari buku kecil yang dibawa Tama, di situ ada
nama elo sama foto elo," Rasti mengakui beberapa kali mengikuti
Tama mungkin saat Windy keluar, atau pergi ketempat-tempat
yang tidak pernah bisa ia kunjungi saat hidup dulu.
Windy seketika cemburu karena ada hantu lain yang
mengikuti Tama, tapi kecemburuannya ia redam, lagipula kata
Rasti ia mengikuti Tama karena penasaran tentang Windy. Hantu
perempuan yang tidak pernah menyahut saat ia sudah
mengucapkan 1458 kata.
Tunggu, Buku kecil?
Brak! Sebuah buku kecil berwarna biru terjatuh dari saku
Tama—Hey itu kembaran catatan kecil pink milik Windy semasa
dia hidup—Tama berusaha memungutnya. Dan benar saja, disana
ada nama dan foto Windy.
Sejak kapan ada Windy di sana? Setahu Windy Tama
belum sampai tahap bisa menulis dengan baik dan Indah setelah
dia kehilangan penglihatannya. Dan foto Windy yang beberapa
tahun lalu dikutip Tama saat gadis itu baru masuk sekeloh
menengah, Windy yang bahagia karena suka dengan warna
seragam barunya sehingga menari berputar-putar.
Kenapa Tama menempel itu di catatan kecilnya?
Tunggu, Tama buta. Dia tidak akan bisa melihat foto yang
di tempel di sana. Hanya satu jawaban yang masuk akal, Tama
menempel foto dan menulis nama Windy sebelum dia buta.

Windy Joana. H| 36
Tapi? Kenapa? Bukannya Tama— Suara tongkat berjalan
Tama menginterupsi acara perkenalan Windy dan Rasti, juga
membuyarkan khayalan tidak masuk akal hantu bisu itu.
Kenapa pikiran ku selalu mengatakan Tama menganggap
ku special? Lebih dari sekedar tetangga yang di sayangi seperti adik sendiri.
Aku merasa dia.. mungkin mencintai ku.
“Aku harus pergi.” Windy bangkit mengikuti Tama dan
melambaikan tangan ke Rasti sebagai tanda perpisahan.
Bagaimana ini? Kenapa Windy merasa Tama juga punya
rasa yang sama terhadapnya? Tama mengingat Windy, dia belum
melupakannya. Dan Tama menyimpan foto dan menulis nama
Windy di catatan kecilnya.
Ah, Tama kau susah di tebak.
Apa hantu tidak bisa punya kemampuan membaca pikiran
manusia? Windy ingin sekali memilikinya sekarang. Windy ingin
tahu, apakah di hati Tama masih ada Windy?

Windy Joana. H| 37
Bantu Aku
Tak mungkin bersama kekasih pujaan, tak
mungkin rasakan dan hidup kembali
[Suti- Sara wijayanto]

Windy lelah, itulah yang ia rasakan. Semakin yang

mencoba menggerakkan benda seolah segala energi di tubuhnya


berkurang drastis. Ibaratnya waktu jadi manusia mengangkat
pulpen sangat mudah dan ringan namun semenjak ia berbeda alam
Windy merasa tenaga yang ia keluarkan saat mengangkat pulpen
sama dengan mengangkat beban 85Kg berat dan butuh banyak
energi.
Kenapa Rasti melakukannya dengan sangat mudah? Windy
mulai bertanya-tanya sembari memainkan jemarinya yang
menggapai-gapai langit kamar Tama.
Sewaktu masih hidup banyak hal yang belum digapai
Windy, memiliki Tama adalah satu diantaranya. Dan saat ini
impian itu hanya impian, impian yang tidak akan pernah bisa
terwujud, mengenang impian itu hanya membuat Windy sakit.
“Iya Ma, nanti Tama makan. Tama mandi dulu.” Derap
langkah dan suara berat Tama menggantungkan lamunan Windy.

Windy Joana. H| 38
Tama masuk ke kamarnya setelah ikut dengan pak Hadi
ayahnya untuk sekedar jogging ringan di pagi hari. Setidaknya Tama
tidak terkurung seharian dirumah, meski terkadang saat ia ikut
ayahnya akan sedikit kerepotan karenanya.
Brak! Tama tersentak saat sebuah benda jatuh dari
mejanya, bukannya ia tidak sadar hal ini sering terjadi akhir-akhir
ini—benda terjatuh tanpa sebab—tapi Tama tidak melihat, Tama
mengira itu hanya kucing atau tikus, namun intensitasnya akhir-
akhir ini bertambah.
“Mungkin aku yang salah taruh,” Tama menggapai-gapai
sebuah buku tebal berhuruf brailer yang terjatuh dari mejanya dan
meletakkannya kembali ketempat yang semula.
“Oi, gila lo ya? Kalau elo kayak gitu yang ada si Tama
takut sama elo Windy.” Tiba-tiba hantu pucat yang mengaku
dirinya bernama Rasti itu muncul dihadapan Windy. Mungkin saat
awal berteman dengan Rasti Windy akan kaget, namun sekarang
ia sudah biasa dengan wajah pucat pasih hantu cerewet itu.
“Aku ingin berbicara denga Tama, Aku ingin meminta maaf,”
Sekarang tanpa dicatat pun Rasti sudah mengerti apa yang ingin
Windy ucapkan, mereka bicara dari hati ke hati. Menakjubkan
memang dunia per-hantuan ini.
“Aduh ya ampun, cini kakak Rasti peluk.” Rasti
membawa Windy kepelukannya, hantu itu merasakan semburat
kesedihan Windy. Hidup jadi manusia berat, mati lalu jadi hantu

Windy Joana. H| 39
juga berat karena segala perasaan bersalah dan menyesal akan
selalu menghinggapi mereka yang mati.
“Eh, ngomong-ngomong. Windy temenin gue yah?
Kesekolah Yudha, kita ngeceng dia sana— beuh banyak brondong
ganteng. Gimana?” Goda Rasti yang sama sekali tidak membuat
Windy tertarik.
“Tidak ada yang bisa mengalahkan ketampanan Tama.”
“Uduh, susah deh ngomong sama Setan stalker cogan kayak
elo, liat aja nanti pokonya elo musti nemenin gue.” Windy
melengkungkan bibir bawahnya, bukannya tidak mau menemani
Rasti namun sekarang ini dia amat lelah dan tanpa tenaga
sementara berpindah tempat membutuhkan energi yang banyak,
Windy tidak akan sanggup melakukannya sekarang.
“Elo capek? Tenang gue tebengin.” Rasti memegang
tangan Windy lalu sedetik kemudian berpindah ke sekolah Yudha.
Windy terheran, Rasti adalah hantu yang memiliki energi
tidak terbatas seperti manusia. Manusia sering kehabisan energi
tapi dengan tidur dan makan energi itu akan terisi kembali— tapi
bagaimana mungkin? Rasti itu hantu, Windy bahkan melihat
sendiri Rasti menembus tembok bersamanya.
“Eh, itu Yudha. Yudhaaaaaaa~” Rasti berlari kecil
menghampiri pria tampan yang di akuinya sebagai temannya itu.
Yudha terkadang risih karena Rasti ini berisik tapi Yudha sangat

Windy Joana. H| 40
sopan dan baik kepada Windy, mungkin karena Windy hanya
sekedar melambaikan tangan atau tersenyum manis pada Yudha.
Yudha bisa melihat mereka yang tidak terlihat, kata orang
Yudha itu indigo,populasi anak Indigo di Indonesia hanya 0,3
persen dari jumlah penduduk itupun yang terdaftar di komunitas
mereka. Yudha memang memancarkan warna Indigo campuran
warna nila dan ungu dari auranya, awal menjadi hantu Windy tidak
bisa melihat aura manusia atau makhuk halus sepertinya. Namun
lama kelamaan Windy bisa melihatnya dengan Jelas.
“Tunggu, kalau Yudha bisa melihat ku, dia pasti bisa membantu
ku dengan Tama.” Pikiran itu segera terlintas di kepala Windy.
Windy berjalan pelan ke arah Yudha dan Rasti yang
sedang duduk disalah satu kursi taman.
“Eh, ini Windy, sampai lupa gue bawa Windy ke sini.”
“Ck, temen sendiri dilupain. Duduk Wind,” Yudha
menggeser tempat duduknya agar Windy bisa duduk di tengah,
namun baru beberapa detik Windy duduk disampingnya hantu itu
berbisik ketelinga Yudha.
“Yudha, tolong bantu aku.” Windy memang bisu, namun
Yudha bisa berkomunikasi dengannya tanpa suara sama seperti
Windy berkomunikasi dengan Rasti sekarang.
“Aku tidak bisa mencampuri urusan orang yang sudah
mati Wind. Satu lagi, kata Rasti kamu sudah lama mati. Kenapa
kamu belum menyebrang?”

Windy Joana. H| 41
Windy bangkit, ia berjalan mundur.
“Aku bisa bantu kalau kamu mau nyebrang Windy, kamu
tidak boleh terlalu lama di sini,” Windy semakin berjalan mundur,
ia menggeleng beberapa kali menolak tawaran Yudha itu.
“Elo apa-apaan sih Yud? Windy jadi takut, biarin aja dia
menyelesaikan urusan dia. Dia mungkin bukannya tidak mau
menyebrang, mungkin dia tidak bisa menyebrang Yudha.” Dengan
samar Windy mendengar percakapan antara Rasti dan Yudha,
Windy duduk berjongkok memikirkan nasibnya.
Banyak hantu yang dikenalnya sudah menyebrang ke alam
mereka yang seharusnya, hantu di dekat trotoar, hantu di depan
salon, hantu di belakang gereja. Mereka semua sudah menyebrang.
Windy memikirkan banyak hal, bagaimana kalau dia sudah
menyebrang? Dia bahkan belum meminta maaf secara langsung
dengan Tama, mengatakan bahwa ia mencintai Tama— tidak,
tidak— Windy tidak akan mau menyebrang jika Tama masih
hidup dalam kegelapan yang ia ciptakan.
“HAH?” Windy berbalik saat mendengat sebuah suara
yang tersentak kaget karena melihat sesuatu.
“Kakak Windy kan? Temennya kak Tama? Kenapa kakak
di sini? Bukannya kakak sudah mati?”
Dia melihat ku, pria itu. Ternyata selain Yudha di kota ini ada
manusia lain yang bisa melihat ku. Yudha tidak mungkin membantu ku,
tapi dia— “Mark, Tolong bantu kakak.”

Windy Joana. H| 42
Roh Jahat
Silent isn’t empty, it is full of answer. - Anonymous

Sekarang Windy tidak hanya jadi

stalker Tama, tapi juga jadi stalker Mark anak SMA kelas XII, dulu
dia adik kelas Tama, Mark juga satu club basket dengan Tama.
Tentu Windy mengetahuinya, Windy sering menemani Tama
latihan basket. Seingat Windy, Mark masih kelas X saat dia
meninggal, Mark yang rajin memungut bola basket setelah latihan.
Itu yang Windy ingat.
“Kak, please jangan muncul tiba-tiba,” Mark memegang
dadanya sendiri pasalnya ia baru saja bangun tidur dan wajah
Windy sudah ada tepat dihadapannya.
“Bantu kakak, bantu kakak.”
Mark mengucek matanya lalu menghela nafas kasar,
tidurnya hanya dua jam hari ini. Setiap kali Mark ingin tidur Windy
selalu menganggunya, entah menggoyangkan tempat tidurnya atau
menjatuhkan benda-benda.
“Aku gak bisa kak Wind, please pergi yah.” Mohon Mark,
Windy menggeleng.
“Aku tidak mau Tama hidup dalam kegelapan selamanya.”

Windy Joana. H| 43
“Mark gak bisa apa-apa kak.”
Windy mendekat ke arah Mark, sangat tiba-tiba mata
hantu bisu itu menatap tepat kemata Mark dan seketika Mark
seperti memasuki dimensi waktu yang diciptakan Windy.
“Windy, Rem Wind, Rem.”
“Hahaha jatoh kan, apanya yang luka?”
“Sudah makan Windy?”
“Wah, Windy cantik pakai seragam. Cocok.”
“Kakak juga sayang sama kamu sebagai sahabat”
TAMA AWAS!
“MAMA, MANA WINDY? MANA MA? WINDY
BAIK-BAIK AJA. KENAPA MAMA NANGIS? KENAPA?”
“Kamu sekarang gimana Wind?”
Sakit Tam.
“Setiap angin bertiup entah pelan ataupun keras. Aku akan
mengingat kamu”
“Mama, Tama gak bisa lihat apa-apa.”
Setetes air mata lolos dari pipi Mark, ia merasakan apa
Windy rasakan segala perasaan sayangnya ke Tama, segala
penyesalannya, Mark merasakannya. Tiba-tiba hatinya sakit,
jantungnya mencelos. Bagaimana bisa ada kisah setragis ini terjadi
pada orang yang pernah kenal dengannya?
“Aku ingin Tama melihat, aku ingin Tama mengingat, dan aku
ingin Tama memberi ku maafnya.”

Windy Joana. H| 44
“Hhhhhhhhh.” Mark semakin terisak, ia tidak pernah
menghadapi keadaan seperti tadi. Dia mana ia seakan diajak masuk
kesebuah dimensi waktu, menjelajah masa lalu, bukan hanya itu
Mark merasakan semua yang Windy rasakan.
“Jangan menangis Mark, Maafkan aku.”
Windy mengambil langkah mundur kesudut kamar Mark,
ia terduduk lalu memeluk lututnya, menyembunyikan wajah sedih
dan menyesalnya disana.
Mark mulai menyeimbangkan emosinya, pemuda itu
menyeka sisa air matanya lalu kembali mencari keberadaan Windy
yang masih dengan posisi yang sama di sudut kamarnya.
“Kak Wind,” Windy mengangkat wajahnya.
“Kakak secinta itu sama kak Tama?” Windy mengangguk.
Windy bahkan menyerahkan nyawanya hanya demi
menyelamatkan Tama, pertanyaan itu tak perlu mendapat jawaban
lagi.
Mark bergerak dari tempatnya, berjongkok mensejejerkan
posisinya dengan Windy. Tak lama Mark meletakkan telapak
tangannya di atas kepala Windy, dan seakan mengelusnya pelan.
“Mark bisa bantu apa kak?”

Windy Joana. H| 45
Sekali lagi Windy menggantungkan harapannya untuk
mendapat maaf Tama, Maaf yang tidak pernah ia dapat karena
telah mengancurkan hidup indah seorang Pratama langit
hadiputra.
Sekarang seperti biasa, saat sabtu Tama akan berjalan
sendiri ke danau favoritnya, mencari angin. Entah mengapa di
tengah angin Tama selalu menemukan Windy disana karena itu
jika Tama rindu ia akan ketempat ini.
Tama menutup matanya, meski dengan mata terbukapun
ia hanya melihat kegelapan tapi dengan menutup mata Tama lebih
merasa dekat dengan Windy.
“Hi, Tama. Apa kabar?”
Windy tersenyum manis, berdiri disamping Tama. Windy
rindu, sudah empat hari ia tidak mengunjungi Tama saat ia sibuk
membujuk Mark.
“Kenapa kamu sangat suka dengan angin Tam?”
Tama merentangkan tangannya, menerima setiap deruan
angin yang datang, kala angin melewati sela jarinya Tama percaya
Windy mengenggamnya. Kala angin menerpa tubuh kurusnya
Tama percaya Windy memeluknya.
Tama merindu pada Windy.
“Kok gambarnya dua? Cowok itu cuma sendiri loh bro.”
Mark duduk disamping Yudha yang asik dengan buku gambar dan
pensilnya, melukis sketsa kebersamaan Windy dan Tama.

Windy Joana. H| 46
“Ah, gue—” Yudha kelagapan, “Gue cuma berimajinasi.
Kayaknya bagus kalau ada cewek di samping cowok itu.” Yudha
memamerkan gigi rapinya, dan Mark tertawa mengejek karena
baru saja dibohongi Yudha.
“Berarti imajinasi kita sama, karena gue juga ngeliat dia,”
Yudha melotot dan menatap Mark tidak percaya.
“Termasuk cewek di samping lo.” Mark melambaikan
tangan ke Rasti yang kini tersenyum manis.
“Wah dia juga ngeliat aku, dia bisa ngeliat hantu hua. Hi,
nama aku Rasti. Kamu?” Rasti bersemangat menghampiri Mark.
“Genit!” Decih Yudha.
“Hi, aku Mark.” Mark melambai singkat ke Rasti lalu
kembali memandangi Tama dan Windy yang berdiri tidak jauh di
hadapan mereka. “Dia minta bantuan gue, si cewek itu,” Mark
Windy, “Dan gue mau bantuin dia.” Mark membuka kaleng cola
miliknya lalu meneguknya.
Yudha menghela nafas mendengar pernyataan itu. “Kita
tidak boleh mencampuri urusan arwah yang sudah meninggal.
Kecuali membantu dia menyebrang ke alam seharusnya.”
“Dia punya penyesalan, dia tidak bisa menyebrang
selamanya kalau penyesalannya tidak hilang. Bukannya dia tidak
mau menyebrang, dia tidak bisa menyebrang,” Balas Mark.
“Nahkan gue bilang juga apa, Windy itu baik Yudha dia
hantu yang penurut. Dia tidak mungkin belum menyebrang karena

Windy Joana. H| 47
maunya sendiri, dia belum bisa menyebrang. Bwek!” Rasti
menjulurkan lidahnya.
“Dia sudah mati sekitar dua tahun yang lalu atau lebih.
Aku sempat memastikan tanggal kematiannya, sepertinya
waktunya tidka banyak. Mungkin 30 atau 40 hari lagi.” Ujar Mark.
Konon, setelah hari ke 1000 kepergiannya, arwah yang
sudah mati tidak akan pernah bisa menyebrang lagi ke surga atau
apapun kalian menyebutnya. Ia akan tetap di dunia,
bergentayangan. Dan 1000 hari berikutnya, dia tidak akan jadi
energi postitif tapi perlahan menjadi negatif, kalian biasa
menyebutnya roh jahat.
Jika penyesalan Windy tidak juga selesai dalam 270 hari.
Arwah gadis yang masih setia duduk di samping Tama, menikmati
angina mendera wajah dan rambutnya itu akan bernasib demikian.
Menjadi roh jahat.

Windy Joana. H| 48
Disamping Mu
It’s like you’re screaming but no one can hear -
Anonymous

Yudha menutup buku sketsanya,

matanya menatap tajam kearah Mark. Yudha masih tidak percaya


kenapa pria asing di sampingnya ini sampai melibatkan diri dengan
Windy yang jelas-jelas alamnya sudah berbeda. Keluarganya yang
rata-rata memiliki kelebihan khusus sejak kakek buyutnya saja
jelas-jelas sudah mewanti-wanti agar tidak mencampuri urusan
orang yang sudah meninggal kecuali mereka meminta bantuan
untuk menyebrang kea lam seharusnya.
“Sebenarnya penyesalan hantu bisu itu apa sih?”
“Sebuah penyesalan yang menyakitkan, tentang cinta yang
tidak sampai.” Mark mengulas senyum pedih, memori lama Windy
kala masih hidup dengan Tama kembali diingatnya.
“Windy berharap dia sama cowok itu bersatu? Gue kira
tuh hantu kalem, tapi otak dia dimana? Cinta antara hantu dan
manusia itu mustahil!” Potong Yudha jengkel.

Windy Joana. H| 49
Rasti memasang wajah kesalnya, rasanya dia ingin sekali
memukul kepala Yudha sekarang. Karena itu artinya cintanya pada
pemuda itu sama mustahilnya dengan kisah Tama dan Windy.
Mark masih meneguk colanya dengan santai.
“Dia pengen kak Tama melihat lagi, katanya dia yang
membuat kak Tama buta.” Tidak memperdulikan ucapan Mark—
Yudha sudah bergerak menuju lokasi tempat Tama berdiri
berdampingan dengan Windy meski Rasti beberapa kali
menghalangi jalannya.
“Katanya jangan ikut campur sama urusan mereka,
sekarang malah dia yang ikut campur.” Mark mengumam dan
menghela nafas kasar melihat tindakan Yudha.
“Hey, Kamu siapa?” Tama tersentak saat Yudha dengan
kasar menarik lengan kurusnya. Windy terkejut sedangkan Rasti
memijat keningnya tidak habis pikir dengan tindakan Yudha.
“Udah Yud, ih apa-apaan sih?” Protes Rasti. Emosi
Yudha yang kadang meledak-ledak memang kadang
memusingkannya. Tapi Yudha tidak peduli ia tetap menganggap
tindakannya ini benar.
“Dia di sini di samping mu, memandang mu,” Yudha
tidak ingin menyelesaikan penyesalan Windy, Yudha ingin Windy
tahu kalau cintanya dengan Tama kini tidak ada gunanya. Windy
harus berhenti berharap dengan Tama, dan menyebrang.

Windy Joana. H| 50
Yudha ingin menunjukkan kalau kehadiran Windy di
sebelah Tama itu adalah sebuah gangguan yang menakutkan bagi
seorang manusia.
“Di…dia siapa maksud kamu? Kamu siapa?” Tama sudah
terbiasa dijahili para remaja yang tahu ia buta, tapi suara Yudha
sama sekali tidak pernah didengarnya diantara banyaknya suara
remaja yang menganggunya apalagi Yudha mengatakan sesuatu
yang terdengar aneh.
Disampingnya? Tama merasa sendiri sejak tadi, tidak ada
satu orangpun disampingnya.
“Perempuan, rambut hitam sebahu. Tidak rambutnya
lebih panjang, berponi—” Windy melotot ke arah Yudha, ia
beberapakali menyilangkan tangannya agar Yudha tidak
melanjutkan celotehannya. “Dia memakai seragam sekolah penuh
darah di tangan kanannya,” Sambung Yudha.
“Apa maksud kamu? Ha?” Tama berteriak, seandainya
bisa Tama akan menarik kerah baju Yudha sekarang.
“Dia punya tahi lalat di pipinya, dan dia Tuna wicara.”
“CUKUP!” Tama menutup kedua telinga dengan
tangannya, rasa sesak menyeruak ke rongga dadanya.
Entah siapa pria didepannya ini, entah dia memang
mengetahui Tama dan Windy sebelumnya atau tidak. Tapi ciri-ciri
yang disebutkannya tepat seperti Windy, dihari terakhir ia bertemu
dengan Tama, hari kematiannya.

Windy Joana. H| 51
“Hhhhhh Windy sudah mati, sudah mati!” Tama melemah,
ia terduduk diatas rumput yang menghapar, air matanya jatuh lagi
mengingat Windy.
“Yudha cukup, kamu membuat Tama menangis. Aku tidak mau
ini Yudha!” Protes Windy.
“Bukannya dia penyesalan kamu? Dia bilang Tama adalah
cinta kamu yang tidak pernah sampai,” Yudha menunjuk Mark
yang masih duduk ditempatnya.
“Windy, kamu harus menyebrang. Cinta kamu dengan
Tama tidak akan berhasil!”
“Bukan cinta ku kepada Tama yang jadi penyesalan ku Yudha,
jika kamu tidak ingin membantu ku tolong jangan membuat dia takut.”
Windy menunjuk Tama yang masih bergetar, entah kaget atau
mungkin penyesalan dan depresinya dua tahun yang lalu kembali
merasuki jiwanya yang kacau.
“Waktu mu tinggal 30 hari Windy, apa kamu ingin tetap
disini?” Windy menggeleng, tidak lama air mata lolos dari pelupuk
mata indahnya. Windy juga ingin menyebrang, tapi tidak bisa!
Gerbang untuknya tidak akan bisa terbuka jika segala
penyesalannya tidak selesai didunia ini.
“Hentikan omong kosong kamu, siapapun kamu. Aku
mohon!” Tama mendengar semuanya, Tama pikir pria didepannya
ini gila, dia ingin Tama semakin tertekan dengan semua yang dia
ucapkan.

Windy Joana. H| 52
“Saya tidak pernah menyampaikan omong kosong. Kamu
tahu sendiri saat kamu mendengar ciri-ciri Windy bukan?”
Tantang Yudha.
“Lalu mau kamu apa?” Tama bangkit meski kakinya
masih bergetar karena shock tadi.
“Tidak ingin apa-apa, hanya ingin menyadarkan hantu
bisu yang bodoh ini tentang cinta omong kosong antara dia dan
kamu, sehingga dia bisa menyebrang dan tidak menganggu mu
terus menerus.” Yudha menatap Windy galak.
“Nama ku Yudha, dan aku bisa melihat Windy.”
“Kamu… bisa melihat Windy? Windy? Benar-benar
Windy?” Tama bertanya beberapa kali agar lebih nyakin dengan
apa yang diucapkan Yudha.
“Iya, dia samping mu.”
Perlahan-lahan Tama berbalik jari-jarinya bergetar hebat,
bibirnya digigit untuk menahan tangisnya yang hampir pecah.
Diraihnya udara tanpa rasa di sampingnya. Kata pemuda yang
menyebut dirinya Yudha, Windy ada disana.
“Windy, kamu benar-benar disini?” Tanya Tama dalam hati.

Windy Joana. H| 53
Rencana Mark
You hear but are you listening? You exist but are
you living? You look, but do you see? – Koe no
Katachi

Windy mondar-mandir di kamar Mark yang termasuk


karegori kamar yang lumayan sempit, hanya ada meja belajar, single
bed, dan sebuah lemari pakaian. Akhirnya Windy menyerah untuk
duduk di kasur Mark sudah hampir tiga hari sang pemilik kamar
tidak pulang, Windy juga tidak tahu kemana Mark pergi.
Windy tidak tahu mau kemana lagi, tidak mungkin Windy
tetap ikut dengan Rasti karena ikut dengan Rasti artinya Windy
akan menempel dengan Yudha, pria Indigo yang selalu
menyuruhnya menyebrang. Dan Windy tidak mau, dia masih
punya 27 hari untuk menyelesaikan penyesalannya.
“Ma, Aku pulang. Eh? Udah pada berangkat ya?” Mark
terdengar berteriak dari lantai satu kediamannya, Windy beranjak
menghampirinya. Windy merasa senang Mark kembali, tiga hari ini
ia seperti hantu tanpa tujuan.

Windy Joana. H| 54
Windy masih enggan menemui Tama—Windy tidak mau
Tama takut padanya, Ia hanya ingin memaafkannya dengan cara
Windy, membuat Tama melihat kembali.
“Mark, kamu dari mana? Aku sudah tiga hari disini, aku
kesepian dan aku hanya punya waktu 27 hari lagi, aku harus bagaimana?”
“Oh my God kak, calm. Aku baru dateng.” Windy selalu
kagum dengan cara Mark melafalkan bahasa inggris dengan baik,
mungkin karena ayahnya berkebangsaan Amerika.
Ah, lupakan soal itu yang penting Mark sudah disini!
“Jadi kak Windy ngapain tiga hari ini?” Windy
menggeleng, ia tidak melakukan apa-apa. Hanya terduduk di meja
belajar Mark dan kadang menggerakkan buku dan benda apa saja
yang ada disana.
“Ish, kalah sama aku.” Mark berdecih, sungguh
kepergiannya selama tiga hari benar-benar menghasilkan banyak
informasi.
“Memang kamu kemana Mark? Apa yang kamu lakukan?”
“Bentar Mark ceritain, Mark mandi dulu.” Mark
melempar tas ransel di punggungnya dan langsung masuk ke
kamar mandi, ia butuh air hangat.
“Mark, ceritakan pada ku!”
“Aaaaaaaaaaaaaa Kak Windy ngapain ikut masuk?”
“Ups, Maaf.”

Windy Joana. H| 55
Mark mengikuti Tama yang rutin ke rumah sakit di kota,
Mark dan Tama dulu memang tinggal disana sampai Tama pindah
karena ingin menyembuhkan lukanya kehilangan Windy, dan Mark
pindah karena ikut dengan orang tuanya. Siapa sangka mereka
akan bertemu lagi dengan keadaan yang seperti ini?
“Kak Tama. Hey,” Mark mencoba sok akrab dengan
Tama yang duduk disalah satu ruang tunggu di rumah sakit itu.
“Si..siapa yah? Maaf saya gak bisa lihat,” Tama mencoba
tersenyum kearah Mark, matanya memandang ke arah lain, tentu
saja karena hanya ada kegelapan di mata indah itu.
“Saya Mark, adik kelas kak Tama, junior kak Tama juga di
klub basket sekolah.” Tama menepuk tangannya seakan dia sudah
tahu siapa pria yang tengah mengajaknya berbicara.
“Ya ampun Mark, apa kabar? Sudah kelas berapa
sekarang” Tama terdengar excited, selama Tama mengalami
kebutaan Tama mengobrol hanya dengan orang tuanya dan guru
privatenya, kehadiran teman lamanya seperti Mark membuat
suasana hatinya membaik.
“Hehe udah kelas 12 kak, bentar lagi lulus. Kak Tama
ngapain disini?” Mark berbasa-basi.
“Eh, ada temen Tama ternyata,” ” Kehadiran ibu Regina
menganggu reuni Tama dan Mark.
“Siang tante saya Mark, juniornya kak Tama dulu.”

Windy Joana. H| 56
“Ah gitu. Ya udah Mark tante titip Tama ya nak, mau
nebus obat dulu sebentar.” Pamitnya.
“Iya tante silahkan.”
Sepeninggal ibu Regina Tama diajak mengenang masa lalu
oleh Mark, Tama bahkan tertawa kala Mark menceritakan
beberapa kejadian lucu di klub bola basket sekolahnya yang lama
kala Mark dan Tama masih disana.
“Haha iya kakak inget banget teman kamu yang kulitnya
agak coklat itu karena takut ijin jadi pipis di celana.” Tama
menepuk-nepuk paha Mark sebagai pelampiasan tawanya.
“Ya, aib emang dia tuh kak.” Tambah Mark.
“Kakak jadi rindu mereka semua, semenjak kakak buta
kakak tidak pernah lagi ketemu mereka.” Tiba-tiba suasana ceria
yang tercipta menjadi sedikit mellow, Mark tentu bisa
membayangkan betapa hancurnya jadi Tama kala itu. Dan tentu
saja Mark tahu ini adalah sumber penyesalan Windy.
Menghancurkan kehidupan Tama yang indah.
“Kakak pasti bisa ngeliat lagi, Mark yakin.” Mark
tersenyum sembari merangkul Tama, meyakinkan teman lamanya
itu meski ia sendiripun ragu.
“Iya, kata dokter Azka juga begitu, tapi kakak belum
dapat donor koronea mata yang cocok.”
“Akan ada kok kak, sabar aja. Mark pengen banget kak
Tama ngeliat lagi.” Windypun demikian kak Tama.

Windy Joana. H| 57
Pertemuan Mark dan Tama berakhir singkat, setidaknya
Mark sudah tahu kendala utama Tama yakni ‘kornea mata yang
cocok’, Mark juga sudah tahu dokter ahli yang menangani Tama,
satu lagi yang ia belum tahu.
Dimana ia akan mendapat kornea mata untuk Tama?
“Eh, udah dateng? Ya ampun Raras kambuh lagi Ra.”
“Koma lagi dia? Dasar Rasti! Hobby banget bikin
sahabatnya khawatir, Yuk Git”
Mark menoleh mendengar percakapan dua perempuan
yang dilewatinya tadi, Mark tertarik dengan satu nama yang
mereka sebutkan.
Rasti ?
Koma?
“Wah dia juga ngeliat aku, dia bisa ngeliat hantu hua. Hi, nama
aku Rasti. Kamu?”

Windy Joana. H| 58
Rindu
Die just isn’t die anymore. It’s an ecape.- Windy

Windy di kamar Tama, lagi-lagi rasa


rindunya mengalahkannya. Beberapa hari melawan dirinya sendiri
untuk tidak menemui Tama membuat Windy sakit sendiri, terbiasa
didekat Tama membuat Windy tidak bisa terlalu lama jauh darinya.
“Tama, Windy rindu.”
“Topi ku mana yah?” Tama meraba-raba isi lemarinya,
mencari topi favorit yang selalu ia kenakan berjalan-jalan. Windy
bertanya-tanya mau kemana Tama hari ini.
“Ah, ketemu.” Tama memasangnya, mengepaskan topi
hitam itu dengan kepalanya, setelah itu Tama kembali meraba
nakas, mengambil tongkat berjalannya dan mulai keluar kamar.
Ibu regina berhenti bekerja semenjak Tama kehilangan
penglihatannya, Ibu Regina lebih senang tinggal di rumah
mengurus segala keperluan putra semata wayangnya dan suaminya.
“Tama, mau keluar Ma.”
“Eh, Tam. Mau kemana pagi-pagi sekali?” Ibu Regina
baru akan memasang celemeknya saat mendengar suara Tama
yang hendak pamit.

Windy Joana. H| 59
“Ke.. emmm, supermarket mau beli lolipop, Lolipop melon
Tama habis Ma.” Tama sengaja berbohong ke ibunya agar ibunya
itu tidak khawatir, padahal sebenarnya Tama ingin ke danau lagi,
Ibunya sudah melarang agar ia tidak kesana lagi setelah pulang
dalam keadaan yang kacau beberapa hari lalu.
Tapi ada sesuatu yang membuat Tama penasaran,
Tentang Yudha pria yang bilang kepadanya kalau ia bisa melihat
Windy. Sudah empat hari Tama selalu ke danau, berharap Yudha
ada disana, tapi nihil. Tama tidak pernah bertemu dengannya lagi.
“Mudah-mudahan dia disana, aku harus bertemu dia
bagaimana pun.” Tama mengguman sembari membelah jalanan
yang penuh misteri di depannya, hanya gelap, Tama hanya bisa
merabanya.
Kebiasaan Tama tidak hilang hanya gara-gara hari itu,
Tama masih suka menikmati angin. Angin yang selalu
mengingatkannya tentang Windy.
“Loh, Tam. Kok kesini? Katanya mau kesupermarket? Kamu
bohong yah sama tante Regina?” Windy mendengus sebal, pasalnya
Tama sejak kecil mengajarinya untuk tidak berbohong terlebih lagi
kepada orang tua tapi sekarang malah panutannya itu yang
melakukannya.
“Kamu gak boleh bohong, lagian kenapa sih kamu suka sekali
tempat ini Tam?”
“Hhhh apa dia tidak datang lagi?” Tama bermonolog.

Windy Joana. H| 60
Windy tersentak.
“Siapa yang tidak datang? Kamu mencari siapa Tama?”
“Dia juga tidak bilang dia sekolah dimana, harusnya hari
itu aku bisa bertanya padanya,” Tama menyesal karena tidak bisa
mengorek informasi dari Yudha hari itu.
Tama menarik nafasnya dalam-dalam dan bergumam…
“Windy, I wanna see you.” Mata Windy membulat, ia tidak
percaya dengan apa yang didengarkannya barusan.
“Tama bilang dia ingin melihat ku? Aku?”
“Entah dia berbohong atau Windy benar-benar ada saat
itu, tapi aku akan senang jika ia berkata jujur.” Tama kembali
merentangkan kedua tangannya saat angin bertiup.
“Windy, Tama Rindu.”
“Kamu? Kamu Rindu? Tama. Apa kamu tidak takut pada ku?
Aku ini hantu Tama?” Windy mengelilingi pria yang masih
merentangkan tangannya itu. Sungguh Windy berharap ia tidak
salah dengar kali ini. Tama benar-benar merindukannya.
Dan yang paling penting Tama tidak takut padanya.
“Apa dia bisa bantu kalau akau bilang aku ingin bicara
dengan Windy?” Tama mengacak rambutnya frustasi.
“Tapi bukannya itu terdengar sedikit gila?”
Segala hal dalam cinta perlu kegilaan Tama karena pada
hakikatnya cinta itu memang gila, cinta dan kegilaannya yang
membuat Romeo dan Juliet mati bersama, dan cinta dan

Windy Joana. H| 61
kegilaannyapun terlibat di kisah Bandung Bondowoso dan Roro
Jongrang yang minta dibuatkan candi dalam waktu satu malam.
Berbicara dengan arwah mungkin akan menjadi contoh
cinta dan kegilaannya selanjutnya.

Windy berputar-putar didekat Mark membuat pemuda


yang masih lengkap dengan seragam sekolahnya itu pusing, sudah
seminggu lebih ia mengenal Windy dalam wujud arwahnya dan
baru pertama kali Mark melihat Windy seceria ini.
Dimana hantu bisu yang penuh penyesalan itu pergi?
“Kak, Mark pusing kak.” Tegur Mark.
“Tapi aku senang, aku senang Mark.”
“Kak Tama? Again?” Tebak Mark. Windy mengangguk,
sumber kebahagiannya memang Tama. Siapa lagi?
“Tama bilang dia ingin melihat ku, Tama bilang ingin bicara
pada ku, Tama tidak takut dengan ku Mark.” Langkah Mark terhenti
dan menatap Windy dengan tatapan yang sulit Windy artikan.
“Kak, Jangan terlalu terbawa perasaan, Jika penyesalan
kak Windy berakhir dengan kak Tama melihat lagi, lebih baik
kakak tidak mengharapkan hal lebih, Karena itu akan membuat
Kak Windy lebih sulit untuk menyebrang.”

Windy Joana. H| 62
Mark melanjutkan langkahnya, meninggalkan Windy yang
masih terpatung di tempatnya, Apa salah dia senang karena Tama
ternyata memiliki rindu yang sama dengannya?
“Lagi pula Kak Windy bisu, bagaimana ceritanya kak
Tama bisa bicara sama Kak Windy?”
Yah, itu memang salah sejak awal Windy. Tama buta, dan Windy
bisu. Bagaimana bisa takdir menguji mereka seberat ini?

Windy Joana. H| 63
Apa Sesal Mu?
Sometime two people have to fall apart, to realise
how much they need each other – Anonymous.

“Akhirnya saya ketemu kamu.” Tama


tersenyum senang karena mendengar suara Yudha yang berbicara
dari kejauhan, Pemuda Tuna netra itu menuju sumber suara
Yudha yang tidak jauh dari danau tempat favoritnya.
“Tama? Kok?” Heran Yudha.
“Saya kenal suara kamu.”
Yah, Tama tidak bisa melihat satu-satunya cara menandai
orang yang dikenalnya hanya dengan suaranya.
“Kamu bicara dengan siapa? Windy?” Tama antusias,
Yudha menggeleng cepat meski Tama tidak akan bisa melihatnya.
“Dia bicara sama gue lah Tam, elah. Eh, btw Tama emang
ganteng banget yah pantes aja Windy betah ngintilin dia,” Rasti
berceloteh dan mengitari Tama yang masih berdiri di dekat Yudha.
“Dasar genit!” Cibir Yudha.
“Siapa yang genit?” Tama heran, masalahnya dia sedari
tadi hanya berdiri di tempatnya. Lalu apanya yang genit?

Windy Joana. H| 64
“Bukan kamu Tama tapi yang ku ajak bicara. Dia bukan
Windy, dia hantu lain. Eh, duduk.” Yudha mengarahkan Tama
agar duduk di sampingnya, sebuah kursi berwarna putih yang
tadinya diduduki Yudha dan Rasti .
“Terimakasih, Jadi kamu benar bisa melihat mereka?”
“Iya, saya bisa melihatnya,” Yudha tersenyum. Yudha
memiliki keturunan bisa melihat sesuatu yang tidak kasat mata,
ayah dan pamannya serta beberapa saudaranyapun juga bisa
melihat hal yang sama. Mungkin keturunan.
Ada keheningan saat Tama dan Yudha duduk bersama,
sedangkan Rasti hanya bernyanyi kecil menghilangkan
kebosanannya. “Dear God the only thing I ask of you—”
“Mana ada hantu nyanyi lagu avenged?” Protes Yudha.
Rasti menyengir dan melanjutkan nyanyiannya sedangkan Tama
tertawa kecil mendengarnya. “Hantu itu nyanyi lagu Avenged?”
“Hhhh iya. Gaulkan?”
“Iya. Gaul banget.” Yudha menikmati mata hari sore di
langit yang sudah mulai menguning, sedangkan Tama hanya bisa
menikmati angin yang berhembus disana sembari membayangkan
apa yang Yudha lihat sekarang.
“Yudha, boleh saya tanya Windy dimana sekarang?”
Tama memulai pembicaraan mereka
“Saya tidak tahu Tam, semenjak kejadian itu saya tidak
pernah bertemu Windy lagi. Rasti juga, Rasti itu teman Windy,

Windy Joana. H| 65
dia juga hantu dia sedang tes vokal sekarang.” Yudha melirik Rasti
yang asik bermain-main dengan ilalang-ilang yang ditiup angin.
“Haha Windy punya teman? Ah, saya senang
mendengarnya.” Tama tertawa ringan. Windy termasuk orang
yang pemilih dalam berteman, mungkin karena dia sedikit minder
dengan keadaannya tapi selama Windy hidup temannya memang
hanya Tama. Mendengar Windy punya teman rasanya senang
sekaligus melegakan untuk Tama.
Windy-nya beradaptasi dengan baik.
“Kamu dekat dengan Windy semasa hidupnya?”
“Sangat” Tama menjawab cepat, “Sekarang Windy
bagaimana? Saya ingin bertemu, banyak yang saya ingin katakan
pada Windy.”
“Seperti yang saya bilang, saya tidak pernah melihat
Windy lagi setelah hari itu. Tapi satu yang perlu Tama tahu, Windy
itu dalam keadaan yang tidak baik sekarang,” Yudha menepuk
tangan Tama yang masih mengenggam tongkat berjalannya.
Tama menoleh ke arah suara Yudha.
“Apa maksud kamu? Tidak baik bagaimana?”
Yudha menghelas nafas berat, “Dia mungkin masih punya
21 atau 20 hari untuk bisa menyebrang. Arwah seperi Windy tidak
boleh selamanya di dunia kita Tama, Mereka harus menyebrang
ketempat seharusnya.”
“Ke surga maksud kamu?”

Windy Joana. H| 66
“Surga, akhirat, atau apapun kalian menyebutnya. Itu
rahasia Tuhan.” Ada beberapa hal yang diketahui manusia, tapi
sisanya itu rahasia Tuhan. Yudha hanya memberitahu apa yang dia
ketahui.
“Kenapa Windy belum menyebrang kalau begitu?” Tama
penasaran, Jika memang seperti itu aturannya harusnya Windy
tidak boleh berada disini.
“Dia tidak bisa menyebrang sebelum menyelesaikan
penyesalannya, hantu memang terkadang seperti itu. Tapi dalam
kasus Windy baik, sehingga dia memiliki energi postif. Ada juga
yang hantu yang memiliki dendam yang terlalu dalam, berniat
membalasnya, energi yang dihasilkannya negatif dan dia selamanya
tidak akan bisa menyebrang,” Yudha menjelaskan.
“Dalam kasus Windy dia masih bisa menyebrang Tama,
masih ada beberapa hari sebelum hari ke 1000 kematiannya. Jika
lewat dari itu Windy akan terjebak disini dan perlahan berubah
menjadi energi negatif selamanya.” Sambung Yudha dengan nada
meyakinkan, Tama menelan salivanya kasar.
Tama kira segala urusan akan selesai jika seseorang sudah
meninggal, tapi Tama salah. Urusan yang sebenarnya baru dimulai
saat seseorang sudah meninggal, sama seperti Windy. Seakan gadis
itu dipaksa memilih menjadi orang baik atau jahat.
“Jika Windy jadi negatif, maksudnya bagaimana?”

Windy Joana. H| 67
“Kalian biasanya menyebutnya roh jahat, dia akan
selamanya di dunia sampai kiamat, saya tidak tahu selanjutnya itu
rahasia Tuhan yang pasti itu tidak akan baik Tama.”
“Jadi—”
“Satu-satunya jalannya adalah menyelesaikan penyesalan
Windy, hingga dia bisa menyebrang dan pergi dengan tenang.”
Potong Yudha yang sudah menebak arah pertanyaan Tama.
“Apa penyesalan Windy sebenarnya?”
“Penyesalannya yang pertama Cintanya yang tidak sampai
pada kamu, dan penyesalannya yang kedua membuat kamu
kehilangan penglihatan kamu Tam.”

Windy Joana. H| 68
Kehilangan Lagi
Can’t you hear my silent word? - Windy

Windy selalu ingin punya adik

laki-laki, dekat dengan Mark membuatnya seperti kakak


perempuan Mark. Meski kadang Mark mengoceh kala Windy
membangunkannya di pagi hari, atau mematikan tv ketika Mark
asik bermain game. Tapi itu karena Windy perhatian dengan Mark,
merasa dekat dengannya, meski ia hanya sesosok arwah yang
meminta bantuan pada Mark.
“Kak, masih ketemu hantu yang cerewet itu gak?”
“Hantu cerewet?” Bingung Windy.
“Itu loh hantu yang selalu nempel sama Yudha, temen
sekolah aku,” Windy menjentikkan jarinya.
“Ah, Rasti ? Tidak. Aku tidak pernah menemuinya lagi, aku
takut, Yudha selalu meminta ku menyebrang, Aku tidak bisa jika Tama
belum bisa melihat lagi.” Mark memutar kursi belajarnya, menatap
Windy yang tengah terduduk di kasurnya sekarang.
“Kak Windy ngerasa ada yang aneh gak sih sama Rasti
ini? Maksudnya, dia memang hantu yang dekat dengan Yudha tapi
kenapa Yudha tidak pernah memaksa Rasti menyebrang?”

Windy Joana. H| 69
“Mungkin karena Rasti belum terlalu lama mati,”
Windy tidak yakin dengan jawabannya, jika memang
benar Rasti adalah arwah yang baru meninggal mengapa dia bisa
memegang benda lebih cepat dari Windy, memiliki energi yang
sepertinya sangat besar, dan masih banyak kejanggalan lain.
“Atau mungkin dia tidak bisa menyebrang sama seperti ku?”
“Shhhh.” Mark mengetuk-ngetuk pulpen di tangannya ke
meja belajar di hadapannya, Windy yang cukup dekat dengan Rasti
pun tidak yakin dengan yang ia ucapkan, segala kemungkinan
sekarang sedang berputar di kepala Mark.
“Kakak nemuin Rasti deh, jangan takut sama Yudha, dia
pasti ga akan minta kakak menyebrang lagi. Aku bosen ngeliat
kakak di kamar aku, aku butuh sendiri kak.” Mark menarik kedua
ujung bibirnya tersenyum terpaksa, mengusir Windy secara halus.
Windy mengambil ancang-ancang memukul Mark tapi
diurungkannya dan langsung menghilang karena menghargai
pemuda yang dianggapnya akan menolongnya itu.
Setelah Windy pergi, Mark kembali sibuk dengan
pikirannya. Mereka ulang kembali adegan di rumah sakit kala ia
membuntuti Tama. Rasti… Nama itu.
“Iya, Rasti tidak bisa menyebrang karena dia masih
hidup, dan dia bisa jadi salah satu kunci kita agar kamu
menyebrang Windy.”

Windy Joana. H| 70
“Hey, Kok disini?” Windy melambai dan berlari kecil ke
arah Rasti. dalam perjalanan ke rumah Yudha, Windy melihat
Rasti terduduk disebuah café, Windy bersyukur karena ia tidak
akan bertemu Yudha.
“Windy Rindu.” Windy memamerkan giginya yang rapi.
“Muka gue emang ngangenin sih, adu adu cini peyuk kakak
Rasti.” Narsis Rasti. Rasti adalah perempuan penuh percaya diri,
Windy yakin semasa hidup Rasti banyak memiliki teman.
Melepas pelukan kangen keduanya, Windy jadi penasaran
mengapa Rasti ada disisni, di sebuah café? Mungkin ini café
langganan Rasti selama hidup, pikirnya.
“Senang yah ngeliat mereka berdua senyum dan ketawa
kayak gini?” Rasti menatap dua orang perempuan yang tengah
mengobrol akrab sembari mencicipi kue yang dipesannya.
Windy menangangguk, dulu ia juga ingin punya teman
perempuan tempatnya berbagi cerita, cerita tentang Tama. Tapi
apa mau dikata teman Windy hanya Tama, dan ceritanya tentang
Tama hanya Windy simpan untuk dirinya sendiri.
“Tapi gue akan sedih ngeliat mereka menangis dan
khawatir sama gue” Rasti berubah menjadi sendu, matanya
berkaca-kaca berusaha menahan tangisnya.
“Memangnya mereka siapa?”
Rasti mengusap matanya yang berair lalu mengulas
senyum. “Sahabat ku Wind, dia Inggita dan dia Sarah.”

Windy Joana. H| 71
Windy tidak tahu pasti perasaan Rasti sekarang ini,
mungkin Rasti sedih kehilangan teman-temannya, untuk hal itu
Windy mengerti, ia juga sakit kehilangan Tama.
“Aku menemui mereka untuk yang terakhir, melihat tawa
mereka. Aku juga senang kamu disini, kamu juga teman ku Wind.”
“Kamu mau kemana Rasti ? Apa maksudnya?”
“Hehe, ketempat yang jauh.”
“Kamu mau menyebrang?”
“Iya, sudah waktunya.”
Rasti hanya tersenyum dengan wajah pucatnya, Windy
telah memenuhi kepalanya dengan banyak pertanyaan dan heran
dengan begitu banyak kebetulan.
Apakah ini juga kebetulan kala Mark memintanya
menemui Rasti hari ini? Bukan itu yang penting, sekarang Windy
sedih karena harus kehilangan lagi.

Windy Joana. H| 72
Kemana Rasti?
It’s a beautiful life, stay by my side even just a
minute. - Yudha

Yudha, satu nama yang ada dikepala


Windy kala Rasti menghilang tiba-tiba di hadapannya. Windy
memilih langsung berpindah kerumah Yudha, bersyurlah Rasti
pernah mengajaknya kesana. Namun ada satu hal yang cukup
mengagetkan Windy ketika tiba disana.
“Tama?”
“Windy?” Yudha menyadari kehadiran Windy, Tama
beranjak dari tempat duduknya.
“Windy, disini Yud? Mana?” Windy seketika lupa apa
tujuannya datang ke rumah Yudha, Tama membuyarkan segalanya.
“Kenapa Tama disini Yudha?”
“Aku yang mengajaknya, Tama teman bicara yang baik.
Dan dia sama-sama ingin membantu kamu untuk menyebrang
Windy.” Windy melangkah mundur, berbicara dengan Yudha
tidak akan jauh dari kata menyebrang.
“Saya mau bicara dengan Windy Yud,” Yudha
mengangkat alisnya bingung, bagaimana caranya? Yudha bisa

Windy Joana. H| 73
membukan sejenak mata batin Tama, tapi Tama buta. Mau
berbicara dengan Windy? Windy bisu. Windy melihat Yudha
kebingungan meminta jawaban dari keinginan Tama.
“Mana tangan elo?” Tama mengulurkan tangannya.
“Windy sini.” Yudha melambaikan tangannya ke arah
Windy, meminta Windy mendekat ke arah Tama.
“Saya tidak bisa membuka mata batin kamu, dan Windy
juga diluar kemampuannya untuk bisa berbicara dengan kamu.
Tapi kamu bisa merasakannya,” Yudha menarik pergelangan
tangan Tama dan Windy, telapak tangan mereka bersentuhan
dengan bantuan Yudha.
Rasanya menakjubkan bisa menyentuh Tama, air mata
Windy jatuh begitu saja, seakan rindunya menguap begitu saja,
Tama yang dirindukannya kini disentuhnya, Takjub itulah yang
dirasakan Windy.
“Tama, Ini Windy.”
Tama gugup dan terdiam, telapak tangannya tadi hangat,
sampai Yudha menariknya suhu ditelapak tangannya seketika
dingin, mungkin karena bersentuhan dengan Windy. Roh tanpa
wadah. “Kata Windy, Tama ini Windy.”
Air mata Tama jatuh kala ia menarik senyumannya,
hatinya sakit, dan rindu memenuhi relungnya.
“Windy, ini kakak Wind. Kamu gimana?” Tama berbicara
seceria mungkin meski air matanya tidak berhenti untuk jatuh.

Windy Joana. H| 74
“Katanya Windy sakit ngeliat Tama yang sekarang,
Windy mau Tama kayak dulu.” Yudha menjadi penerjemah
diantara mereka.
“Tama yang sekarang itu karena Tama sendiri bukan
karena Windy, ini salah Tama, Tama minta maaf.” Windy
menggeleng dengan keras, ia makin terisak kala mendengar
permintaan maaf Tama.
“Harusnya Windy yang minta maaf.” Ucap Yudha yang
masih setia menjadi penghubung dua insan ini.
“Kata Yudha kamu tidak boleh disini terus Windy, kakak
senang Windy disini tapi tempat Windy bukan disini. Windy anak
yang baikkan hem?” Tama berbicara seakan Windy benar-benar di
hadapannya.
“Tapi Windy tidak bisa menyebrang kalau Tama masih
tidak bisa melihat apa-apa.” Yudha mengambil nafas sejenak lagi
menatap Windy, “Tapi Wind, Tama tidak bisa berbuat apa-apa.”
Ujar Yudha ke Windy.
“Tapi aku ingin Tama melihat, lalu aku akan tenang Yudha.”
“Windy, Kakak juga mau melihat lagi. Kakak mau
melanjutkan hidup, tapi tidak semudah itu. Menunggu donor
kornea tidak hanya setahun-dua tahun Windy butuh bertahun-
tahun. Tama ikhlas dengan keadaan Tama sekarang, yang harus
Windy tahu ini bukan karena Windy.”

Windy Joana. H| 75
Yudha merasa bersalah telah beberapa kali melontarkan
kalimat tajamnya pada Windy, seandainya dia tahu dua makhluk
beda dunia di hadapannya ini hanya perlu saling bicara seperti ini
tentulah Yudha akan senang hati membantunya.
“Windy bilang dia cinta sama kamu Tam.” Mata Windy
membulat, karena dia tidak pernah bilang apa-apa sedrai tadi.
Tama tersenyum. “Kakak juga cinta sama Windy, Maaf
karena kakak tidak pernah bilang. Karena dulu kita masih muda
Wind masih terlalu jauh dari pembahasa seperti itu. Itu juga yang
kakak sesali, tidak pernah bilang kakak cinta sama kamu sebelum
kamu perg.i” jawaban Tama membuat beban tak kasat mata di
punggung Windy hilang.
Cinta tidak pernah tahu waktu, tiba-tiba datang begitu
saja. Tergantung yang merasakannya mau mengungkap atau
memendamnya. Tapi dari cerita Windy dan Tama, Yudha tahu
cinta itu harus di ungkapkan sebelum salah satu diantara yang
merasakan cinta itu pergi untuk selamanya.
“Windy kamu tidak ketemu Rasti hari ini?” Windy
memukul jidatnya sendiri, bagaimana bisa ia lupa tujuannya ke
rumah Yudha?!
“Aku lupa Yudha, Tapi Rasti menghilang. Katanya dia akan
menyebrang karena itu aku bergegas mencari kamu.”

Windy Joana. H| 76
Jalannya
When you lose someone and it still hurts. That’s
when you know, the love was real - Anonymous

“Kenapa kamu tidak kembali ke

tubuh kamu?” Rasti mengulas senyumnya kearah Mark yang kini


berdiri tepat dihadapannya mengajukan berbagai pertanyaan yang
kadang Rasti jawab hanya dengan senyum, anggukan atau
gelengan.
“Kamu bisakan kembali kesana Rasti ?” Mark menunjuk
tubuh Rasti yang lengkap dengan berbagai alat peralatan yang
menunjang kehidupannya.
“Bisa, sangat bisa. Kamu tahu? Aku terkadang masuk
kembali, lalu keluar lagi. Aku pernah sadar beberapa kali dan
kembali koma lagi,” Benturan saat kecelakaan dua tahun lalu yang
dialaminya membuat tubuhnya tidak berdaya dan hanya berbaring
disalah satu bangsal.
Rasti seperti Mati tapi hidup, hidup tapi sesungguhnya Mati.
“Aku sadar saat aku keluar, aku menjadi bebas. Aku
senang Mark tapi tidak untuk orang tua dan sahabat-sahabat ku.

Windy Joana. H| 77
Mereka menangis, saat itu aku sadar aku harus hidup, tapi hidup
ku tidak membuat aku senang.”
Mark menatap Rasti dengan tatapan penuh tanya, disaat
Windy sangat ingin hidup kembali, Rasti seakan malah ingin mati.
“Tapi aku heran bagaimana bisa, kamu punya kehendak
seenaknya untuk masuk dan keluar dari raga kamu?”
Rasti tertawa, “Hebat kan?” Godanya. Mark ikut tertawa
Rasti tidak bisa untuk diajak berbicara serius lebih dari sepuluh
menit. “Aku bertemu seseorang yang mengaku dirinya malaikat,
dia bilang aku punya waktu 1000 hari untuk menentukan mau
hidup atau mati? Dalam kurun waktu itu aku bebas untuk masuk
atau keluar raga ku, tapi hanya sepuluh kali aku sudah
menggunakan delapan kesempatan. Dan aku masih belum bisa
memilih sampai sekarang.”
“Apa karena Yudha?” Rasti mengangguk.
Yudha seseorang yang selalu dikaguminya sejak lama dan
Rasti baru bisa dekat dengannya saat ia telah menjadi arwah tanpa
raga dan itu sebuah keajaiban.
“Katanya kalau aku memilih mati, aku akan diberi waktu
1000 hari lagi jadi arwah, lalu menyebrang. Tapi kalau aku memilih
hidup aku akan melupakan segala yang terjadi, aku tidak akan
mengingat percakapan kita, mengingat Windy dan mengingat
Yudha.”
“Pilih hidup Rasti.” Sela Mark.

Windy Joana. H| 78
“Kenapa? Seharusnya kamu menyuruh aku untuk memilih
mati, agar korena ku bisa digunakan Tama, dan Windy
menyebrang. Dan aku bisa tetap bersama Yudha setidaknya 1000
hari.” Mark tersenyum lalu membelah rambutnya sendiri dengan
kedua tangannya lalu menghela nafas kasar.
“Setidaknya kalau kamu hidup kamu bisa
memperjuangkan Yudha, orang tua dan sahabat-sahabat kamu
juga tidak akan merasakan sakitnya kehilangan kamu.”
“Tapi Windy—”
“Kak Windy biarlah jadi urusan ku, kamu harus hidup.
Tempat mu bukan disini…Rasti.”

Mark memijat keningnya lelah saat di atas taksi melihat


Windy yang sudah berjongkok di gerbang rumah menyambut
kedatangannya. Harusnya Mark disambut dengan senyuman
hangat ibunya bukan senyum menyeramkan wajah pucat Windy.
“Kok gak masuk?”
“Nungguin Mark.” Windy seketika bangkit saat melihat
Mark sudah berdiri di hadapannya.
“Kenapa mukanya kakak dilipet gitu?” Mark mencibir
dalam hati wajah pucat Windy yang melengkukan bibirnya ke
bawah, sudah jelek tambah jelek Gumamnya.

Windy Joana. H| 79
“Sedih, Rasti benar-benar menyebrang.”
“Kan sudah seharusnya,” Balas Mark.
“Mark tahu Rasti mau menyebrang?”
Mark mengangguk. “Tahu, Mark yang pertama diberi
tahu.” Tentu Mark tahu tapi Rasti bukan menyebrang ke surga tapi
menyebrang dari alam roh ke alam manusia.
“Tapi teman Rastikan Windy dan Yudha.” Windy makin tidak
terima, Windy memanyunkan bibirnya merasa tidak dianggap
padahal dia sudah sedih setengah mati.
“Rasti tidak ingin kalian sedih kehilangan dia, tolong
ikhlaskan saja. Sekarang Rasti itu sudah bahagia.” Mark mencoba
mengacak puncak kepala Windy namun hanya seperti mengacak
udara. Hampa. “Ayo masuk, kak Windykan masih punya Mark.”
Mungkin Mark salah, karena tujuan utamanya adalah
membantu Windy menyebrang, menyelesaikan penyesalannya.
Tapi ia tidak akan tega membunuh satu nyawa yang terlalu baik.
Rasti memilih jalan yang terbaik untuk tetap hidup.

Windy Joana. H| 80
Merindukanmu
Sometime I keep my feelings to my self.

Rasti perlahan membuka

matanya perlahan, alat-alat yang terpasang ditubuhnya


menunjukkan tanda kehidupan. Gadis itu tersenyum kala
mendapati wajah ibunya yang tengah terlelap, ia merindukannya
tentu saja. Jika ia terbangun seperti ini Rasti yakin sahabatnya
Inggita dan Sarah akan senang, Rasti tidak sabar melihat wajah-
wajah bahagia itu.
Sarah yang pasti akan cerewet mengajaknya shopping dan
perawatan, Serta Inggita yang akan menumpahkan segala
keresahannya pada Rasti . Entah tentang pekerjaannya yang
menumpuk, atau kisah cintanya dengan seorang pria. Rasti
pendengar yang baik baginya.
“Mama,”
“Rasti, Kamu bangun?” Rasti mengangguk dan ikut
menangis kala ibunya menitihkan air mata bahagia di wajah
rentanya. “Jangan tinggalin mama lagi nak.” Isaknya sembari
memeluk putri satu-satunya itu.

Windy Joana. H| 81
Rasti menggeleng, Tangannya yang masih penuh dengan
alat kesehatan perlahan mengapus air mata di wajah ibunya.
“Enggak, Sekarang Rasti gak akan kemana-mana Ma, Rasti akan
disini terus sama mama.”
Rasti kembali, kepada keluarganya, sahabatnya, dan
dunianya yang seharusnya. Dengan begitu nama seorang Yudha
hanya jadi bunga mimpi baginya.

Mark mengangguk-nganggukan kepala mendengar isi hati


Windy, Windy bercerita kepadanya sejak sejam yang lalu tentang
interaksinya dengan Tama yang di bantu Yudha. Jujur saja Mark
bosan mendengarnya karena Windy hanya mengulangi kalimat
yang sama.
“Mark, Tama juga mencintai ku. Dia bilang dia mencintai ku.”
Mark mengangguk.
“Dan kau tahu apa yang paling menakjubkan dari itu semua?”
“Apa kak?” Mark mencoba membuat ekspresi wajahnya
seperti sangat tertarik dengan segala cerita Windy.
“Dia bilang itu di depan ku, Di hadapan ku. Tama mencintai
ku.” Sembari menepuk jidatnya Mark terkekeh, Apalagi saat
Windy membuang dirinya ke kasur Mark dan menggeliat aneh di
sana. Sesaat kemudian Windy bangkit dan duduk disana, Hantu itu
menatap Mark dengan satu tangan yang menopang pipinya.

Windy Joana. H| 82
“Mark, Kamu pernah jatuh cinta?”
Pemuda itu mengangguk lalu tersenyum malu-malu
mengingat masa-masa beberapa tahun yang lalu saat Mark
mengagumi sebuah senyuman yang membuat malam-malamnya
tidak nyenyak karena pemilik senyum tersebut telah mencuri
hatinya.
“Wah, Ayo cerita sama kakak. Gadis seperti apa dia? Apa dia
cantik?” Sekali lagi Mark mengangguk, mata yang cantik, bulu mata
yang lentik serta betapa anggunnya gadis itu melintas dalam
benaknya.
“Cantik? Tidak juga. Dia hem manis. Senyumnya indah.”
Windy antusias, Tama satu-satunya teman Windy biasanya
hanya bercerita tentang basket dan Teman-temannya. Untuk
pertama kalinya seorang pria berbagi cerita tentang perempuan
yang disukainya padanya karena itu Windy ingin jadi pendengar
yang baik bagi Mark.
“Rambutnya sebahu, Dia sering mengikatnya.”
“Oh, ya? Dia pasti perempuan sangat manis. Kamu sudah bilang
kalau kamu mencintainya?” Windy dan rasa penasarannya.
“Iyalah. Emangnya Mark itu kak Tama yang baru bilang
cinta kalau semunya udah telat.”
“Ck.” Windy berdecak sebal, Mark malah tertawa.
“Jadi apa kalian pacaran?”
Mark menggeleng.

Windy Joana. H| 83
“Shhh, Agak sulit sebenarnya tentang kami ini apa? Tapi
kak Windy jangan khawatir aku sama dia pasti bakal bareng-
bareng. Tapi bukan sekarang.”
Windy mengangguk, Tangannya ingin sekali mengacak
rambut Mark jika bisa. “Lagi pula kamu masih kecil, Belajar saja dulu.”
“Eh, Kak Windy meninggal pas seumuran aku. Jadi
jangan sok nasehatin, Kita ini seumuran.” Protes Mark.
Windy menatapnya jutek.
“Tidak, aku kakak mu. Kalau aku hidup aku sudah seumuran
dengan Tama.” Windy menjulurkan lidahnya.
“Eh, iya kalau dipikir-pikir ngapain Mark manggil Kakak?
Harus panggil Windy aja ya?” Mark menjetikkan jarinya lalu
membentuk senyuman jahil diwajahnya.
“Eh, Windy.” Panggil Mark sok akrab membuat mata
Windy membulat sempurna.
“Aaaaa tidak mau, Aku kakak, aku lebih tua!” Dan kini
hantu itu duduk dilantai kamar Mark sambil menendang-nendang
kakinya lucu.
“Hahahaha. Iya, iya kak. Ampun becanda doang.”
Candaan dua makhluk berbeda alam itu berakhir saat Mark
berkonsentrasi dengan PR Matematikanya dan Windy yang
mejelajah kamar Mark yang tidak luas itu.
Windy Menatap susunan buku pelajaran Mark serta
komik-komik yang ingin sekali hantu itu baca. Windy mencoba

Windy Joana. H| 84
dengan sekuat tenaga menarik dan membuka komik itu, Hingga
tidak sengaja menarik buku lain.
‘Indigo bisa dilatih dan dipelajari’
Dalam sekejap Windy menatap punggung Mark, manik
Windy berulang-ulang memandang buku itu dan Mark bergantian.
Windy sepelan mungkin mencoba membuka buku itu agar tidak
mendapat perhatian dari Mark, di sampul awal sebelum kata
pengantar ada sebuah tulisan.

‘Aku harus bisa melihat mu, Harus!


Aku hampir mati karena terlalu
merindukan mu — Mark’

Windy Joana. H| 85
Misteri Mark
Isn’t it scary? What a smile can hide - Anonymous

Pagi ini Windy berjalan sedikit

linglung, banyak pertanyaan memenuhi kepalanya


terutama tentang pria yang lebih muda dua tahun darinya yang kini
tengah berjalan disamping Windy itu.
Windy sangat berterima kasih karena Mark bilang akan
membantu menyelesaikan penyesalannya dan menyebrang dengan
tenang meski menurut Windy, Mark belum melakukan apa-apa
saat ini. Tapi Windy percaya Mark melakukan yang terbaik yang ia
bisa.
“Hey Yud,” Langkah Windy terhenti kala Mark menyapa
Yudha di pintu gerbang sekolah mereka. Yudha tidak langsung
membalas sapaan Mark, Pemuda itu malah menatap Windy yang
berusaha bersembunyi dibalik punggung Mark. Bukannya takut,
hanya saja Yudha terlihat kacau dan Windy tidak sanggup
melihatnya.
“Windy bisa bicara sebentar?” Ujar Yudha dengan nada
sedikit memohon. Mark berbalik ke arah Windy dan tersenyum
seolah mengatakan ‘It’s okay’ Pada hantu perempuan itu.

Windy Joana. H| 86
“Ayolah Wind, lima menit,” Bujuk Yudha hingga akhirnya
Windy mengangguk. Semenjak kejadian Rasti yang menghilang
dan interaksi pertamanya dengan Tama setelah sekian lama, Yudha
baru menemui Windy lagi. Berkali-kali Yudha mencari Windy di
rumah Tama namun tidak menemui hantu bisu itu.
Windy sengaja menghindar karena tahu Yudha akan
menangis dan menanyakan hal yang sama.
“Dimana Rasti ?”
Windy menggeleng. Sungguh Windy tidak tahu, Windy
hanya bertemu terakhir kali dengan Rasti di sebuah café dan Ia
hanya berpamitan dan mengucapkan selamat tinggal.
“Apa katanya Windy?”
“Dia menyebrang.”
“Kenapa?”
“Karena sudah waktunya, Kamu selalu menyuruh ku menyebrang
Yudha. Dan aku pikir kamu sudah tahu kalau arwah itu cepat atau
lambat akan menyebrang begitu pula Rasti” Jawab Windy.
“Tapi Rasti belum mati Windy!” Nada suara Yudha
meningkat, mulut Windy terbuka mendengarnya.
“Apa maksudnya dengan Rasti belum mati? Dia arwah Yudha!”
Sudah sejak lama Yudha tahu bahwa Rasti bukan arwah
orang yang sudah meninggal, semuanya terlihat saat aura dan
energi Rasti berbeda dengan hantu lain yang dilihatnya. Sudah
berkali-kali Yudha memancing Rasti agar memperlihatkan

Windy Joana. H| 87
jasadnya namun hantu cerewet itu selalu mengalihkannya. Seakan
ia benci kehidupannya manusianya. Hingga akhirnya Yudha
menyerah dan menganggap Rasti hanya arwah biasa.
“Dia masih hidup, Tapi aku tidak tahu dia dimana.
Menyebrang dalam kasusnya bukan menyebrang ke surga tapi
menyebrang kedunia seharusnya ia berada."
Windy menutup mulutnya tidak percaya, Jadi selama ini
Windy berteman dengan manusia? Meskipun dalam bentuk arwah
Windy masih tidak menyangkanya. Perasaan kehilangan Rasti
seketika hilang bergantikan rasa senang dihatinya.
“Rasti hidup. Dia hidup? Hhhhh.” Air mata bahagia keluar
dari pipi Windy.
“Kamu senang?” Windy mengangguk. Andai bisa tentu
saja Windy berharap bernasib sama seperti Rasti , bisa hidup
kembali. Meski pada kenyataannya itu tidak mungkin.
“Apa kamu tidak senang Yudha?”
“Iya, aku kehilangan dia. Dan aku gak tahu dimana harus
mencari Rasti.” Kini gurat kesedihan hadir di raut wajah Yudha,
lingkaran hitam dibawah matanya membuat Windy makin prihatin.
Bisa saja Windy bungkam apalagi mengingat perlakuan tidak
menyenangkan Yudha beberapa waktu yang lalu. Namun karena
patut diingat pula Yudhalah yang membuat Windy bisa menyentuh
Tama, dan berkomunikasi dengannya.

Windy Joana. H| 88
“Terakhir kali, aku menemuinya disebuah café. Dia melihat dua
perempuan sahabatnya bercengkrama.”
“Sahabatnya? Hantu?” Yudha memiringkan kepalanya,
Matanya menyipit mendengar pernyataan Windy.
Windy menggeleng
“Manusia, Namanya Inggita dan Sarah. Teman Rasti.”
“Kamu harus membawa ku ke sana Windy!”
Anggukan Windy akhirnya merekahkan senyum Yudha,
Anggaplah itu sebagai balasan kebaikan Yudha karena telah
menjadi penghubung antara dia dengan Tama.
“Tapi, Yudha. Boleh aku bertanya?”
“Tentu.”
“Apakah kau bisa melihat hantu sejak kecil?”
Yudha mengangguk, Kemampuannya adalah gift turun
temurun yang diwariskan garis keturunan ayahnya. Kalau Yudha
punya anak nantipun salah satu diantaranya pasti akan memiliki
kemampuan seperti Yudha.
“Apa kau mengenal seseorang yang sebelumnya tidak bisa melihat
mereka, Namun karena sesuatu dan lain hal ia bisa melihatnya? Misalnya
dilatih?” Windy penasaran. Buku Mark kembali diingatnya.
“Tidak. Lagipula untuk orang-orang ingin melatih
kemampuan seperti itu Windy? Aku saja beberapa kali berusaha
menutupnya karena merasa cukup terganggu,” Windy mengetuk-
ngetukkan jemari lentiknya ke pipinya sendiri, Sembari

Windy Joana. H| 89
menimbang-nimbang apakah ia harus menceritakan tentang Mark
dengan Yudha. “Ngapain kamu tiba-tiba nanya begitu Windy?”
“Itu—"
“Udah selesai ngomongnya? Udah bel nih.” Baru saja
Windy ingin bercerita namun kedatangan Mark menginterupsinya.
“Ah, Iya. Udah kok,” Yudha menarik senyumannya dan
melambaikan tangannya kearah Windy. “Ingat, temenin gue!”
Windy menaikkan jempolnya hingga punggung Yudha menjauh.
Mark menatap keduanya binggung, Bukannya Yudha tidak
begitu suka dengan kak Windy yah? Gumam Mark didalam hati.
“Mau kemana kak sama kak Yudha?” Tanya Mark
penasaran yang hanya dibalas senyum aneh oleh Windy.
“Ih, kepo. Udah masuk sana!”
Windy menghilang, Mark mengatupkan giginya sebal.
“Dasar setan!” Tutupnya sebelum menggeleng keras dan
masuk ke arah kelasnya. Sementara hantu bisu itu muncul kembali
dikamar Mark saat pemiliknya itu disekolah, dengan segala energi
yang dimilikinya Windy kembali membuka buku bersampul hitam
itu melihat catatan-percatatan yang ditulis disetiapa awal babnya.

‘Hari ini aku sudah bisa merasakan mu,


Tunggu aku sebentar lagi—Mark’

Windy Joana. H| 90
Tunggu Aku
Don’t trust everything you see. Even salt looks like
sugar – Anonymous

Hari ini Tama senang, Yudha bilang


ia akan mengajaknya untuk minum kopi dan nongkrong disebuah
café. Tentu Tama mengiyakannya dengan senang hati. Sudah lama
sekali Tama hanya di rumah, kadang ke minimarket dekat
rumahnya, danau atau rumah sakit.
Tama ingin sesekali berjalan-jalan dengan teman
sebayanya, bercerita banyak hal, atau sekedar menikmati matahari
sore bersama segelas kopi pasti lumayan seru menurutnya.
“Kamu kenal Tama dimana?” Pak Hadi yang menyambut
Yudha memberi beberapa pertanyaan, maklumlah Tama itu buta
sehingga pak Hadi cukup heran karena Tama memiliki seorang
teman dengan keadaannya yang seperti itu.
“Di deket sini om, saya… hem beberapa kali bantuin
Tama pulang.” Cengir Yudha agar kebohongan kecilnya terlihat
sempurna. Tentu tidak mungkin Yudha bilang bertemu Tama di
sebuah danau karena seorang hantu bisu yang meminta
bantuannya. Tentu pak Hadi akan menganggapnya gila dan
menuruhnya pulang sekarang.
Windy Joana. H| 91
“Eh, Yud. Berangkat yuk.” Tama keluar menggunakan
kemeja kotak-kotak merah dan celana jeans hitam. Rambutnya
yang lurus dibiarkan begitu saja tanpa disisir, Tama bahkan tidak
memakai topi favoritnya karena ingin menikmati matahari sore itu.
“Ya udah om, kita berangkat dulu.” Pamit Yudha yang
sudah mengarahkan langkah Tama agar mengikutinya.
“Hati-hati jagain Tama yah.” Pak Hadi memandangi
Tama dan Yuda yang berjalan pelan meninggalkan kediamannya,
sesekali Pak Hadi menarik senyum kala Tama tertawa renyah
bersama Yudha disampingnya. Tama bisa tertawa saja membuah
hati ayahnya menghangat, Mimpi setiap ayah itu melihat anak
lelakinya mencapai pencapaian yang lebih baik dari dirinya sendiri,
Tapi bagi pak Hadi cukup melihat putranya bahagia sudah cukup.
“Windy juga ikut Yud?” Tama menggoyang-goyangkan
tangan Yudha meminta jawaban.
“Iya, itu di belakang. Lagi senyum-senyum, seneng tuh
dia.” Yudha berbalik ke arah Windy yang sudah memamerkan
giginya.
“Windy, yuk jalan-jalan. Sini ke samping kakak.” Panggil
Tama seolah ia bisa merasakan Windy berjalan di sampingnya kini.
Yudha menggeleng tidak habis pikir, Tama sudah gila.
Windy, Tama, dan Yudha mengambil tempat di sebuah
sudut café bertema minimalis dengan interior serba kayu dan
berwarna coklat itu. Yudha sibuk membantu Tama dengan ice

Windy Joana. H| 92
vietnam drip yang dipesannya, sedangkan Windy sibuk menopang
dagunya dan menatap Tama lekat-lekat.
“Benar-benar tampan!”
Yudha berdecih mendengar pujian Windy yang tidak bisa
didengar siapapun kecuali dirinya itu. “Apa aku harus
memberitahunya?” Yudha menunjuk Tama.
Windy menggeleng, Tentu Yudha tidak perlu
memberitahu Tama tentang gumamannya.
“Beritahu apa? Windy bilang sesuatu?” Sambar Tama.
“Ah, enggak-enggak Windy duduk diem di samping kamu
kok.” Yudha mengarahkan tangan Tama memegang sedotan dan
mendekatkan gelas kopinya divdekat Tama hingga pemuda itu
meminumnya.
“Wah, kopinya enak!” Puji Tama, mata indahnya berbinar.
“Sayang banget Windy gak bisa ngerasain,” Tama
berbalik, seolah ia benar-benar bisa melihat Windy yang duduk di
dekatnya. Tama menggoyang-goyangkan sedotannya ke arah
Windy. “Enak loh Wind kopinya,” Goda Tama. “Sayang kamu gak
bisa ngerasain.” Ucap Tama sendu kemudian.
“Bisa kok”
Mata Yudha membulat, Tangannya menutup mulutnya
sendiri kala Yudha melihat Windy memajukan badannya dan
terlihat seperti mencicipi sisa kopi di bibir Tama, meski Tama

Windy Joana. H| 93
tidak merasakan apa-apa tentu saja. Tapi Windy sudah memerah
dan menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya sendiri.
“Dasar hantu nakal!”
“Windy ngapain Yud?” Tama berbalik ke arah Yudha
begitu mendengar pemuda itu bersuara.
“Eh? Enggak kok, Gak apa-apa.”
Satu jam berlalu saat tiga orang berbeda alam itu duduk di
meja yang sama, langit di luar mulai menggelap tanda petang
sudah datang namun orang yang ditunggu Yudha tidak kunjung
datang. Yah, Yudha menunggu Inggita dan Sarah yang kata Windy
teman Rasti.
“Dia bukan?” Yudha menunjuk dua perempuan yang
masuk ke café namun dijawab gelengan oleh Windy.
“Nunggu siapa sih Yud?” Tama penasaran karena Yudha
sudah bertanya tujuh kali dengan pertanyaan yang sama kepada
Windy. “Temannya teman, Windy kenal mereka.” Jawab Yudha
yang masih gelisah menatap pintu masuk café.
“Oh.” Tama hanya mengangguk, meski tidak paham
dengan maksud Yudha. “Gak apa-apakan Tam disini dulu?”
“Gak apa-apa kok, Santai aja Yud.”
Windy mengetuk-ngetukkan jari-jarinya ke atas meja,
Kepalanya menempel sempurna di sana, matanya sesekali menatap
pintu masuk café seperti Yudha namun beberapa kali pula ia
mencuri pandang manatap Tama. Rasanya seperti mimpi bisa

Windy Joana. H| 94
dekat kembali dengan Tama seperti ini, Windy tersenyum namun
kemudian kembali memasang wajah sedih mengingat ia tinggal
memiliki beberapa hari lagi sebelum hari ke 1000nya.
Windy ingin menyebrang, Tentu saja. Windy sudah ikhlas
akan kematiannya, ia tidak keberatan sama sekali namun Tama
harus melihat sehingga penyesalannya berakhir dan Windy pun
akan menyebrang dengan tenang. Puas memandangi Tama, Windy
kembali memutar kepalanya ke arah pintu masuk dan mendapati
sesuatu yang mengejutkan. Windy sampai bangkit dari tempat
duduknya.
“Kenapa Windy? Mereka berdua orangnya?”
Windy mengangguk.
“Loh, kok mereka dateng sama Mark?” Heran Yudha.
“Mark?” Tama mendengar nama yang familiar itu juga
menegakkan badannya. Dipikiran Windy sekarang hanyalah apa
hubungan Rasti , kedua sahabatnya Inggita dan Sarah serta Mark?
Apa ini ada hubungannya dengan kemampuan Indigo yang
dimiliki Mark? Windy mengingat catatan di bab ketiga buku Mark.

‘Aku tidak akan pernah meninggalkan mu


sendiri, Jangan menangis, Tunggu aku –
Mark’

Windy Joana. H| 95
Menunggu
In our waiting, God is working- Anonymous

Windy memilih menghilang saat


Mark menangkap keberadaan Yudha dan Tama,
Mark langsung melambaikan tangannya dan tersenyum ceria
begitu melihat Yudha di salah satu sudut café yang ia datangi.
“Mark? Kok disini?” Yudha berjalan pelan menuju arah
Mark meninggalkan Tama yang hanya bisa mendengar
pembicaraan mereka.
“Eh, Yud. Kebetulan mau neraktir gadis-gadis cantik ini.”
Mark menggerakkan alisnya ke arah Inggita dan Sarah yang
tersenyum penuh kecanggungan.
“Oh, hai saya Yudha.” Air wajah Inggita dan Sarah
seketika berubah mendengar nama Yudha seolah pernah
mendengar nama pemuda itu sebelumnya.
“Eh, bareng siapa? Sendiri?” Mark mengedarkan
pandangannya ke seluruh penjuru café.
Yudha menepuk jidatnya, “Ya ampun, Lupa. Aku sama
Tama dia duduk di sana,” Yudha menunjuk Tama yang tengah
duduk manis memegang tongkat berjalannya. “Terus sama—”
Baru Yudha akan menyebutkan nama Windy namun sepertinya
Windy Joana. H| 96
hantu itu sudah menghilang. “Eh, duduk disana aja gabung sama
Tama gimana Mark?” Tawar Yudha.
“Gimana Git?” Mark meminta persetujuan Inggita dan
Sarah yang hanya di jawab anggukan oleh keduanya.
Tama cukup kaget dengan kehadiran tiba-tiba beberapa
orang di sampingnya, namun saat Mark mengajaknya berbicara
Tama seketika mengembangkan senyumnya.
“Gak nyangka ketemu Mark di sini,” Tama terlihat
senang, namun alis Yudha malah terangkat bingung, Yudha
bahkan baru tahu kalau Mark dan Tama saling mengenal
sebelumnya. “Jadi Mark ingin membantu Windy karena memang ingin
membantunya atau karena dia mengenal dekat Tama?” Tanyanya dalam
hati. Ah, Itu tidak penting biarlah alasan Mark membantu Windy
dan Tama hanya ia simpan untuk dirinya sendiri.
“Kok bisa kenal sama mereka sih Mark?”
“Ah, Mark langgganan di toko buka punya ibu saya,”
Sarah berinsiatif menjawab pertanyaan Yudha.
“Iya, Mama kebetulan suka bunga mawar kuning dan
toko ibu kak Sarah selalu punya barangnya,” Mark menambahkan
hingga Yudha menjawab hanya dengan sebuah anggukan dan kata
“Oh.” dari mulutnya.
“Yudha bisa temenin ke toilet gak? Aku mau buang air
kecil.” Tama menatap kosong di arah kirinya, padahal orang yang
disebut namanya ada di sebelah kanannya.

Windy Joana. H| 97
“Aku disini Tam,” Yudha memegang tangan Tama.
“Hehe maaf, kan ga lihat.”
“Ya udah, aku temenin Tama dulu kalau begitu,” Yudha
baru akan bangkit namun Mark buru-buru menahannya.
“Mark aja, kebetulan Mark juga mau ke Toilet kak Tam.”
Ujar Mark yang membuat Yudha terduduk kembali di kursinya.
“Oh ya udah sama Mark aja kalau gitu.” Jawab Tama
setuju. Mark dengan pelan menggandeng Tama ke arah toilet,
Mark bahkan melontarkan beberapa lelucon tentang toilet sekolah
lama mereka sehingga Tama tertawa. Namun saat pengguna toilet
terakhir meninggalkan Tama dan Mark hanya berdua di dalam
sana, Mark mulai melakukan aksinya. Perlahan ia mendekat ke
arah Tama dengan ekspersi wajah yang seketika berubah.
Sayangnya Tama tidak bisa melihat wajah ramah Mark jadi datar
tanpa sebuah senyuman.
“Kak, ada yang mau aku omongin, ini penting.”
“Apa Mark?”
“Tentang Windy.”
“Windy?”
“Mark juga bisa melihat Kak Windy seperti Yudha.”

Windy Joana. H| 98
Mark dan Tama meninggalkan Yudha dengan dua orang
gadis yang menurut penuturan Windy adalah sahabat Rasti , arwah
yang setahun belakangan ini selalu menemaninya. Bisa dibilang
Yudha kehilangan, ada sebuah ruang kosong di hatinya saat
menyadari paginya tidak di bangunkan suara bising Rasti, siangnya
tanpa omelan Rasti, dan malamnya tanpa senandung merdu
seorang Rasti .
“Hem,” Yudha berdehem seolah meminta perhatian dari
Inggita dan Sahra. “Maaf, Sekali lagi perkenalkan saya Yudha.”
“Hallo,” Inggita menyapanya canggung dan Yudha hanya
bisa memamerkan senyumannya, berharap suasana canggung ini
dapat berubah.
“Maaf kalau saya lancang, Tapi boleh saya bertanya satu
hal?” Inggita dan Sarah saling bertatapan.
“Bo.. leh,” Ucap Inggita ragu.
“Kalian kenal dengan seseorang yang bernama Rasti ?”
Lidah Inggita dan Sarah kelu kala nama itu disebut
Yudha. Tentu saja mereka berdua tahu siapa Rasti, sahabat mereka
yang kini terbaring disebuah rumah sakit dan tentu saja mereka
tahu siapa Yudha bagi seorang Rasti.
“Kenal. Yudha kenal… Sama Rasti?”

Windy Joana. H| 99
Windy pernah membaca buku bahwa ada segelintir orang
yang akan memilih ke sebuah tempat yang lebih tinggi untuk
menghilangkan streesnya, seperti puncak gunung, pantai dan atap
paling atas sebuah gedung pencakar langit.
Namun semenjak jadi arwah, kala ia kalut tentang nasib
Tama atau dirinya sendiri, Windy akan berdiri di tengah-tengah
sebuah jembatan penyebrangan, melihat kendaraan yang berlalu
lalang di bawahnya. Selain itu biasanya di jembatan penyebrangan
ini ada sesosok hantu yang selalu memberinya wejangan, kata
mutiara, atau apapun kalian menyebutnya.
'Sudah jadi kodrat kita untuk dilupakan, manusia itu akan lupa
seiring berjalannya waktu. Ya kita mati ya mati saja, kita sudah mati.
Lalu apa? Mereka tidak ada urusan lagi setelah puas menangisi kepergian
kita.' Itulah kalimat yang diucapkannya kala Windy bertemu
terakhir kali dengannya.
“Apa dia sudah menyebrang?” Hampir 30 menit Windy
berdiri disini namun tidak menemukan sosok hantu yang ia
maksud, Windy kembali mengedarkan pandangannya ke arah
bawah jembatan lalu kembali menatap langit. Ah, mengapa segala
yang bercahaya nampak indah dimata hantu bisu itu?
“Kamu disini?” Windy menengok keatas mendapati hantu
yang sejak tadi dicarinya duduk menggoyang-goyangkan kakinya di
atas jembatan penyebrangan itu.

Windy Joana. H| 100


“Ya ampun kamu disana, aku pikir kamu sudah menyebrang?”
Windy mendongkak dan tersenyum rasanya seperti bertemu teman
lama kala ia mendapati gadis itu di atas sana.
“Tidak, Belum. aku menunggu seseorang.”
“Menunggu?” Hantu gadis itu kini berpindah ke samping
Windy, memiringkan kepalanya dan tersenyum.
“Kodrat manusia memang melupakan, namun ada
segelintir manusia yang memilih mengingatnya, mengenangnya,
dan masih mengharapkannya. Dia bilang pada ku untuk
menunggu.” Windy tidak mengerti apa yang hantu itu bicarakan,
Mata Windy hanya terfokus pada tumpukan mawar kuning yang
mengering dan di atasnya ada bucket bunga mawar dengan warna
sama yang sepertinya baru diletakkan di bagian tengah jembatan
penyebrangan itu, tepat di samping hantu gadis itu berdiri.
“Dia mengunjungi ku, katanya aku harus bersabar.”

Windy Joana. H| 101


Rahasia
Love is blind, deaf and fucking dumb -
Anonymous

Windy kebingungan kala langkah

kakinya berhenti di depan rumah Tama, kakinya kehilangan tenaga


secara tiba-tiba. Baru kemarin Windy kemari dan menjemput
Tama bersama Yudha tapi mengapa bangunan berlantai dua itu
kini kosong melompong?
“Tama,” Windy memanggil nama Tama berkali-kali di
dalam hatinya, Mengabaikan air mata di pipinya, Windy tetap
menembus pintu rumah Tama, dan sekali lagi disana kosong.
“Tama, apa-apaan ini? Kosong? Tidak mungkin keluarga Tama
pindah dalam semalam?” Kepanikan Windy serta energi besar yang di
keluarkannya membuat beberapa barang yang di tinggalkan
keluarga Tama terbanting hingga gaduh, hantu bisu itu masih
mengitari lantai pertama dan kedua kediaman Tama namun tetap
saja, rumah itu kosong tanpa jejak Tama maupun orang tuanya.
“TAMA JANGAN TINGGALIN WINDY TAMA!”
Windy berlari keluar dari rumah Tama, beberapa tetangga Tama
yang liat berusaha Windy tanyai.

Windy Joana. H| 102


“Bapak tahu dimana Tama? Keluarga om Hadi dan tante
Regina? Tolong beritahu saya!”
“Ih, Kok saya merinding ya?” Windy mendesah lelah.
Mau bertanya bagaimanapun tetap saja tetangga Tama tidak akan
bisa melihat eksistensinya.
Tangisan Windy terdengar amat menyakitkan bagi yang
mendengarnya, kini Windy berjongkok dan menangis tersendu di
hadapan kediaman Tama yang kosong sembari menyembunyikan
wajah diantara lutut dan lengannya. “Kenapa Tama ninggalin Windy?
Windy Cuma punya 5 hari lagi Tam, Kenapa Tama pergi?”
Windy mendongkak dan terpikirkan satu nama.
“Oh, Ya ampun Windy” Yudha memegangi dadanya
sendiri saat Windy tiba-tiba muncul, dari yang Yudha tangkap ada
yang aneh dari aura hantu bisu itu.
“Auranya negatif.” Yudha mencoba tetap tenang karena
menurut pengalamannya semakin dekat 1000 hari seseorang maka
aura negatif memang akan mendominasinya meski pada awalnya
seorang arwah beraura positif. “Kenapa kamu Windy?”
“Mana Tama? Dimana Tama Yudha?”
Brak! Dalam satu gerakan Windy menjatuhkan sebuah
jemuran besi yang ada di sudut ruang tenga Yudha, pemuda itu
tersentak sepertinya emosi Windy tidak stabil saat ini.
“Hey, Tenang Wind tenang,” Bujuk Yudha.
“Tapi Tama menghilang, Tama ku menghilang Yudha!”

Windy Joana. H| 103


“Oke, oke.” Yudha hanya bisa menangkap kalau Tama
menghilang, sebab dan musababnya Yudha tidak bisa menerkanya
yang jelas Windy sedang terbawa emosinya sekarang.
“Aku gak akan bantu kamu kalau kamu kayak gini,
Tenang!” Titah Yudha.
Dada Windy naik turun karena emosinya, arwah itu
mencoba berfikir jernih dan menemukan jalan positifnya kembali
hinggga Windy tersungkur ke lantai rumah Yudha. Energi yang
Windy gunakan kala mengamuk tidak main-main besarnya,
sekarang arwah itu hanya bisa terduduk lemah.
Yudha yang sudah melihat emosi Windy meredapun
mendekat pelan, pemuda indigo itu duduk di hadapan Windy
seperti seorang sahabat Yudha menepuk-nepuk pundak Windy
hingga ia merasa sedikit tenang. Ah, harusnya Mark harus selalu
melakukan ini, menepuk-nepuknya. Namun tunggu, kenapa
Yudha bisa menyentuh Windy tapi tidak dengan Mark? Tiap kali
Mark ingin memegang puncak kepala Windy tangan Mark hanya
menggantung di udara.
“Kamu kenapa Windy? Tama kenapa? Cerita pelan-pelan.
Yah? Hem?” Dalam waktu sedetik air mata Windy kembali jatuh.
“Tama, a pergi Tama ninggalin aku. Tama hilang. Tama hhhhh.”
“Hilang?” Alis Yudha terangkat. Bagaimana bisa hilang?
Bahkan kemarin Yudha mengantarkan Tama pulang tepat pukul
sembilan malam dan ini masih pukul delapan pagi. 13 Jam lalu

Windy Joana. H| 104


Yudha masih bersama Tama lalu apa maksudnya dengan Tama
hilang?
“Rumahnya kosong, sepertinya Tama pindah. Tapi kenapa? Aku
… Aku bagaimana? Tama satu-satunya alasan ku tidak bisa menyebrang.
Waktu ku lima hari lagi Yudha.” Yudha sekarang mengerti situasi
yang dialami Windy, dengan cepat ia menyambar sebuah hoodie
abu-abu di belakang lemarinya.
“Ya udah, kita ke rumah Tama sekarang. Aku bakalan
nanya sama tetangga-tetangga mereka. Okay?”
Windy mengangguk menyetujui.
“Tapi Wind,” Langkah Yudha terhenti. “Kemarin Tama
memang sedikit aneh saat pulang, dia tidak banyak bicara. Berbeda
dengan saat kita bertiga datang,” Yudha kembali mengingat-ingat
kembali sejak kapan Tama bertingkah aneh seperti itu.
“Ah, Dia kayak gitu setelah ngobrol lama sama Mark di
Toilet.” Tinju Windy menguat, entah mengapa pikirannya
mengacu pada Mark saat Tama menghilang hari ini. Feelingnya
mengatakan ada sesuatu yang sangat misterius dan rahasia yang
ditutupi rapat seorang Mark. Tentang dirinya dan juga Tama.
“Windy mau kemana? Kamu harus tenang Windy!”
Teriak Yudha panik saat Windy menghilang dihadapannya.
Satu hal yang Yudha khawatirkan, Aura gelap kini tengah
melingkari Windy. Hampir sepenuhnya.

Windy Joana. H| 105


Negatif
Sometime the best memories are sadness because
they will never happened again – Your lie in april

Banyak kejanggalan memang yang

dirasakan Windy terhadap Mark. Pertama Mark tidak seperti


indigo lainnya, ia tidak seperti Yudha. Mark hanya bisa melihat
dan berkomunikasi tidak lebih.
Kedua, Mark bilang ingin membantu Windy namun pada
kenyataanya Mark tidak melakukan apa-apa sedangkan Yudha
yang menolak membantu Windy malah melakukan segala hal
untuknya. Ketiga, Mark menutupi sesuatu tentang Rasti , tentang
Tama, dan Tentang banyak hal.
“Mark tahu Rasti mau menyebrang?”
“Tahu, Mark yang pertama diberi tahu”
Pemuda yang tengah merapikan lemarinya itu terkejut kala
angin kencang menutup lemarinya hingga terdengar bunyi BRAK!
dari sana. Tubuh Mark terhempas dan kepala bagian belakangnya
menghantam tembok,kKakinya menggantung seperti ada sesuatu
yang menarik kerahnya namun anehnya Mark tidak melihatnya.
“Siapa kamu? Lepasin saya!” Mark berteriak. Windy
menampakkan dirinya, ketika aura negatif menutupin arwah, ia
Windy Joana. H| 106
tidak akan terlihat oleh orang yang benar-benar bukan indigo sejak
lahir kecuali atas keinginan arwah itu sendiri.
“Kak Windy? Apa-apaan ini kak?”
“DIMANA TAMA?” Windy berteriak sangat kencang
meski tanpa suara dihadapan Mark hingga telinga pemuda itu
berdengung hebat, kini Windy tidak seperti Windy yang
dikenalnya. Windy terlihat lain.
“Kakak gak boleh kayak gini! Kakak harus tenang. Kakak
gak boleh jadi roh jahat!” Teriak Mark.
“DIAM KAMU! MANA TAMA? Windy mengangkat
tubuh Mark lalu menghempaskannya dengan keras ke arah lantai.
“Uhuk uhuk!” Mark terbatuk karena benturan di dadanya.
“Kamu menyembunyikan Tama Mark, dimana Tama?
Kembalikan Tama ku Mark kembalikan!”
“Mark berusaha bantuin kakak disini, kak Windy harus
sadar kak Windy cuma punya lima hari, kak Windy gak boleh
emosi seperti ini!” Mark memperingatkan.
Bruk! Sekali lagi Mark menghantam lemari pakaiannya.
“Mana Tama?”
“Emosi kakak harus diredam, Sudah Mark bilang jangan
mengarapkan Kak Tama seperti ini! Kak Windy akan sulit untuk
menyebrang karena keinginan kak Windy bukan cuma membuat
kak Tama melihat, tapi kak Windy punya keinginan memiliki kak
Tama!”

Windy Joana. H| 107


Windy terdiam, rahangnya yang mengeras perlahan
melemah. Entah mengapa yang dikatakan Mark itu benar, setelah
Tama mengatakan ia juga mencintainya rasa ingin memiliki Tama
memang tumbuh namun Windy tidak menyangka efeknya akan
seperti ini. Ia merasa menjadi jahat.
“Hubungan antara Hantu dan Manusia tidak akan pernah
berhasil, Camkan itu kak. Uhuk Uhuk.” Mark kembali terbatuk.
“Aku.. aku…”
“Mark berusaha membantu kak Windy menyebrang,
Kakak baik, kakak tidak boleh jadi energi negatif, Mark sayang
sama kak Windy kak, sekarang Mark sedang berjuang. Jadi tunggu
Mark kak!” Kaki Windy melemah, ia terduduk. Matanya masih
setia menatap Mark yang mencoba untuk bangkit sembari
memegangi dadanya yang sakit karena perlakuan kasar Windy.
“Mark, Mark!” Suara Yudha yang menerobos masuk ke
rumah Mark mengalihkan perhatian keduanya. Dengan nafas tak
teratur dan langkah yang tegopoh-gopoh Yuda membuka pintu
kamar Mark dan berlari mengampiri Mark.
“Kamu gak apa-apakan?” Mark mengangguk. Setelah
memastikan Mark tidak apa-apa Yudha mencari sosok Windy yang
ditemukannya disudut kamar Mark. “Auranya semakin negatif,
waktunya sudah tidak banyak.” Yudha melihat Windy makin
menggelap hampir tertelan aura berwarna hitam di sekitarnya.

Windy Joana. H| 108


“Apa tidak ada cara agar arwah bisa menyebrang tanpa
menyelesaikan penyesalannya?” Tanya Mark yang hanya dijawab
gelengan lemah oleh Yudha.
Sayangnya tidak ada. Satu-satunya jalan adalah
menyelesaikan penyesalannya hingga hari ke 1000 kematiannya,
Jika sebuah penyesalan tidak selesai dalam jangka waktu itu maka
arwah itu sudah memilih jalannya sendiri untuk tetap disini,
sampai kiamat, menjadi negatif selamanya.

Windy Joana. H| 109


Rasti
If I could do it.. all over again. I would hold your
hand and tell you that. You’re mine - Anonymous

Seperti yang dikatakan Inggita,

Yudha datang ke sebuah rumah sakit tempat Inggita siswi SMK


Keperawatan itu magang. Selain tempat Inggita magang rumah
sakit itu juga tempat Rasti dirawat.
Yudha dengan kemeja kotak-kotak hijau hitamnya terlihat rapi,
setangkai bunga tulip berwarna putih digenggamnya, senyuman di
wajahnyapun tidak pernah pudar.
“Eh, Yudha sudah datang?” Sapa Inggita yang masih
lengkap dengan seragam perawatnya.
“Hi Git, Gimana penampilan ku?” Inggita menaikkan
jempolnya. Yah hari disaat Yudha bertemu dengan Inggita dan
Sarah di café, kedua sahabat Rasti itu menceritakan semuanya.
Tentang Rasti yang beberapa kali mengalami koma karena
kecelakan yang dialaminya.
Sarah juga bercerita bagaimana Yudha dikagumi Rasti
bahkan saat mereka masih SMP, tentu saja Yudha heran karena
tidak mengingat Rasti sama sekali di masa itu, mungkin Yudha
terlalu sibuk dengan dimensi lainnya saat itu.
Windy Joana. H| 110
Yudha juga membagi ceritanya tentang ia memiliki
kemampuan melihat arwah, termasuk arwah Rasti yang keluar dari
jasadnya saat ia koma. Awalnya tentu saja sarah dan Inggita tidak
mempercayainya namun setelah Yudha menceritakan kebiasaan-
kebiasaan unik Rasti yang hanya orang terdekat yang
mengetahuinya mereka kemudian percaya.
Dan akhirnya pada hari ini sesuai dengan rencana Inggita
dan Sarah, Yudha akan bertemu dengan Rasti . Bukan sebagai
indigo dan sesosok arwah namun hanya sebagai Yudha manusia
dan Rasti manusia yang sama.
“Ras, Ada yang mau jenguk.” Rasti menutup majalah
yang tengah dibacanya, Rasti lalu tersenyum saat melihat kepala
Inggita menyembul dari arah pintu kamarnya.
“Hahah Git, sini masuk!” Panggilnya.
“Bukan aku yang mau jenguk Im, tapi dia,” Inggita
membuka pintu ruang perawatan Rasti menampilkan Yudha di
sana. Seketika Rasti beku. Bukan karena kehadiran Yudha tapi
kehadiran sosok seram di belakanga pemuda itu.
“AAAAAAAA!” Rasti menutup matanya rapat-rapat,
sosok perempuan di belakang Yudha benar-benar membuat
jantungnya mengalami shock, untuk pertama kali dihidupnya Rasti
melihat hantu.
“Loh, Ras. Kamu kenapa?” Inggita dan Yudha langsung
mendekati Rasti yang terlihat ketakutan.

Windy Joana. H| 111


“Ada kuntilanak itu….di situ….di belakang Yudha!”
“Kuntilanak?” Yudha memutar badannya dan hanya
mendapati Windy yang sudah cemberut di sana.
“Kuntilanak? Aku cantik begini dibilang kuntilakak? Hhhh.”
Windy mengoceh sebal sedangkan Yudha menahan tawanya
sampai ia sadar…“Tunggu, Kamu melihat sosok di belakang ku?”
Rasti mengangguk.
“Berarti kamu masih Rasti yang aku kenal. Kamu ingat
aku?” Yudha yang berbinar kini menunjuk dirinya sendiri.
“Ka..kamu? Yudha. Temen satu SMP ku?” Jawab Rasti
dengan nada sedikit ragu. Benar seperti dugaanya Rasti tidak akan
mengingat apa-apa ketika ia memilih untuk hidup. Namun satu
yang menjadi pertanyaan Yudha yakni mengapa Rasti bisa melihat
arwah Windy? Mungkin karena arwah mereka masing-masing
pernah berinteraksi satu sama lain? Bisa sajakan?
“Rasti juga tidak mengenali ku?”
“Hua! aku juga denger suara kuntinya. Mama!” Rasti
menggemaskan saat sedang ketakutan seperti ini, Yudha tidak
tahan untuk tidak mengacak rambut gadis itu.
“Git, bisa tinggalin kita berdua gak?” Pinta Yudha yang
langsung di angguki Inggita, Inggita meninggalkan ruang
perawatan tanpa khawatir meski Rasti berteriak mengatakan
dirinya melihat kuntilanak.

Windy Joana. H| 112


“Hey, buka aja matanya. Dia baik kok,” Yudha memegang
jemari Rasti yang menutupi kedua matanya.
“Kita temenan kata kamu.” Tambah Windy
“Aku gak punya temen kuntilanak tau!” Tolak Rasti yang
masih menutup rapat matanya, tidak membiarkannya terbuka satu
incipun. Kuntilanak yang dilihatnya sama sekali tidak
menggerakkan bibir namun mengapa ia bisa mendengar dan
berkomunikasi dengannya? Rastipun tidka paham situasi ini.
“Aku bukan kuntilanak. Ih Rasti! Gak temen!” Windy kesal
hingga menghentakk-hentakkan kakinya ke lantai.
Yudha menggeleng, selagi emosi Windy stabil Yudha
memilih mempertemukannya dengan Rasti karena Windy bilang ia
merindukan gadis itu. Namun yang terjadi mereka berdua beradu
cerewet.
“Hue kuntilanaknya tahu nama aku, jangan bawa aku,
Jangan. Kasian mama aku sendiri. Yah? Yah?” Mohon Rasti yang
membuat tawa Yudha pecah.
“Hhhhh aku pikir dia hanya sedikit tidak waras saat jadi arwah,
Ternyata saat hidup dia semakin tidak waras!” Omel Windy.
“Dia Windy, Rasti. Dia Teman kamu.” Mata Rasti
membuka pelan, ia masih tidak berani memandang Windy namun
maniknya itu bergetar kala menatap Yudha.

Windy Joana. H| 113


“Windy? Windynya Tama? Dia benar-benar ada? Aku
pikir itu hanya mimpi ku.” Kini Rasti memberanikan diri menatap
Windy lekat-lekat. “Dia bisu kan?” Tunjuknya.
“Bagimana kamu bisa ingat?” Yudha merasa tidak adil,
Rasti mengingat Windy namun tidak mengingatnya. Padahal
kenangannya dengan Rasti lebih banyak dibanding kenangan Rasti
dengan Windy yang baru kenal sesaat.
“Dia, dia ada di mimpi ku.”
“Aku? Apa aku juga ada di mimpi kamu? Coba ingat-ingat
lagi.” Yudha menujuk dirinya sendiri.
Rasti mengedip-ngedip bingung lalu menggeleng.
“Tidak ada, Lagipula kenapa aku harus memimpikan
teman SMP ku?” Yudha tersenyum pahit.
Di memori Rasti segala data tentangnya seakan
dihapuskan. Padahal andai Rasti ingat, Yudha ingin sekali
memeluknya sembari berkata ‘Akhirnya kamu bisa ku rengkuh,
dengan tubuh hangat bukan arwah dingin pucat, aku rindu kamu Rasti.’

Windy Joana. H| 114


Itu Tama?
It’s sad when people who gave you the best
memories became a memory - Anonyomus

Ada satu hal yang memuat Yudha

cukup tercengang, melihat Rasti dalam bentuk arwah yang ceria


dan bebas berlarian kesana kemari membuat ekpektasi Yudha
terhadap kehidupan nyata Rasti tinggi namun pada kenyataannya
kecelakaan yang di alami Rasti tidak hanya mempengaruhi
otaknya namun juga membuat kakinya lumpuh.
“Panggilin Inggita aja bisa gak? Kamu gak perlu gendong
aku ke kursi roda gini,” Protes Rasti saat Yudha dengan cekatan
memindahkan tubuhnya dari bangsal ke sebuah kursi roda.
“Aku berat.” Tambahnya.
“Enggak, ringan gini kok,” Yudha dengan pelan
mendudukan Rasti dan tersenyum manis, “Tuh kan udah.”
Rasti tersipu, senyuman Yudha benar-benar healing smile
baginya. Andai dulu saat SMP Yudha sering tersenyum seperti itu
pasti Rasti adalah pemuja rahasia yang paling beruntung di dunia.
“Wah aku baru keluar kamar setelah sekian lama,
Terimakasih Yudha.” Rasti dengan begitu ceria bergerak tidak
bisa diam diatas kursi rodanya.
Windy Joana. H| 115
Yudha mengacak pelan puncak kepala Rasti.
“Sama-sama.”
Windy dari belakang mengikuti keduanya, rasanya Windy
bahagia melihat Rasti dan Yudha seperti sekarang sebagai dua
manusia dengan alam yang sama, dalam diam Windy mendoakan
mereka berdua berada dalam satu garis jodoh.
Ah, Andai ia dan Tama juga bisa seperti itu. namun apa
boleh buat Windy sekarang hanya sesosok arwah yang berpasrah
pada keadaannya. Tama menghilang, ya walaupun Tama ada tetap
saja ia tidak akan bisa melihat dalam jangka waktu singkat, 5 hari.
Setidaknya sebelum Windy lupa ia ingin melihat Tama
disaat terakhir. Karena roh jahat tidak akan bisa mengingat
kejadian apapun, atau siapapun di kehidupannya sebelumnya, Roh
Jahat hanya akan mejerumuskan manusia ke arah yang salah
hingga kiamat datang. Meskipun pada akhirnya Windy akan
menjadi Roh jahat, Setidaknya Windy ingin Tama mengenangnya
sebagai Windy, gadis bisu yang dijaga dan dicintainya.
“Oh ya Yudha, Kita kan gak akrab. Kenapa tiba-tiba
kamu jenguk aku?” Rasti menggosok-gosok dagunya.
“Kitakan temen SMP.” Yudha menjawabnya tanpa beban.
“Tapi kita gak seakrab itu, Aku tebak kamu juga gak tahu
aku kelas berapa pas SMP dulu.”
“Kita sekelaskan?” Tebak Yudha. Rasti mendengus kesal,
Sekelas apanya? Yudha kelas 1C sedangkan Rasti 1A.

Windy Joana. H| 116


“Eh? Enggak yah?” Yudha menggaruk kepalanya yang
tidak gatal. Yah mana Yudha tahu, wali kelasnya saat SMP saja
Yudha tidak ingat apalagi Rasti yang kata Inggita cuma
mengaguminya dari jauh.
“Ah, Bodo ah!” Sebal Rasti. Gadis itu lalu memandang
Windy yang tengah mengadahkan kepalanya ke atas, Memandang
langit yang sedang mendung siang itu.
“Yudh, Kalau Windy benar-benar ada. Berarti Tama juga
ada?” Rasti mengingat dengan pasti di dalam mimpinya Windy
mencintai seoarang manusia yang bernama Tama, pria tampan
buta yang suka makan lolipop.
“Ada, Tapi sekarang Tama hilang, Windy sedang
mencarinya.” Yudha juga ikut memandang Windy, teman
hantunya yang sebentar lagi menghilang.
“Windy bukannya harus menyebrang?”
Yudha mengangguk.
“Tapi sepertinya tidak bisa, Windy akan tetap disini tapi
tidak sebagai Windy,” Yudha menunduk lalu tersenyum pahit,
Mengapa takdir jadi sekejam itu pada Windy?
“Ah? Maksudnya gimana?” Yudha menggeleng
mengabaikan pertanyaan Rasti. pemuda itu malah kembali
mendorong kursi roda Rasti dan sengaja menabah kecepatannya
hingga Rasti berteriak girang.
Untuk beberapa saat Rasti merasa sangat hidup.

Windy Joana. H| 117


“Tambah lagi kecepatanya, tambah!” Rasti sudah
memajukan tinjunya seperti superman namun Yudha malah
berhenti mendorongnya.
“Loh, Kenapa berhenti Yudh?” Rasti mengikuti mata
Yudha yang mengarah pada satu objek, gadis itu kemudian
menutup mulutnya tidak percaya.
Sampai sekarang Rasti masih mempercayai sosok Windy
dan Tama hanyalah sebuah mimpi. Meski saat melihat Windy—
Rasti takjub karena Windy benar-benar mirip dengan apa yang ia
mimpikan selama ini. Kini gadis itu dibuat menganga karena Tama
di dalam mimpinya juga persis dengan seseorang yang kini di
pandang Yudha.
“Itu Tama kan Yud?”

Windy Joana. H| 118


Die Young
People not die from suicide, the die from sadness.
Also me – Mark

“Aku anterin kamu balik ke kamar


ya?” Yudha dengan sigap mendorong Rasti kembali ke kamarnya
meski gadis itu menolak dengan dalih ingin melihat Tama dari
dekat. Namun kini dipikiran Yudha hanya mendatangi Tama dan
meminta penjelasan apa maksud dari semua ini.
“Ah, Yudha aku gak mau ke kamar aku juga mau lihat
Tama!” Rengek Rasti.
“Enggak, Kalau semuanya sudah selesai kita akan bareng-
bareng kesana. Yah?” Bujuknya.
“Tapi—” Kalimat Rasti terpotong kala Yudha
mengangkat tubuh ringkihnya dan membaringkannya ke bangsal,
Pemuda itu dengan sigap berlari kecil kearah pintu ruang
perawatan Rasti. “Eh, Lupa” Yudha kembali masuk dan
memberikan setangkai tulip yang tadi disimpannya dekat pintu
kamar perawatan Rasti, Rasti tersenyum mendapatkan bunga
pertamanya bersamaan dengan keluarnya Yudha dari sana.

Windy Joana. H| 119


Kini Yudha kembali ketaman rumah sakit mencari arwah
Windy yang tadi ia tinggalkan di sana. “Windy!” Teriak Yudha
sembari mengedarkan seluruh pandangannya mencari hantu bisu
itu. “Windy!” Panggil Yudha sekali lagi namun nihil, Yudha tidak
menemukan Windy dimanapun.
Yudha memilih menyusuri lorong rumah sakit tempat
dimana ia melihat Tama dengan ibunya tadi. Sebenarnya Yudha
juga tidak menyangka menemukan Tama disini, tak hanya itu
Yudha juga penasaran dengan apa motif Tama pergi dari Windy.
“Hhhhhhh mana tadi ya?” Yudha mengatur pernafasannya
karena lelah berlarian mencari Tama namun Yudha tidak
menyerah ia harus menemukan Tama setidaknya demi Windy.
“Misi sus, Liat cowok yang semuran saya gak? Rambutnya
hitam, terus tingginya setelinga saya, Orangnya kurus dan dia tuna
netra?” Yudha menahan seorang suster yang lewat dihadapannya.
“Maaf Mas tapi saya gak lihat,”
“Oh, iya makasih sus.”
Yudha berkacak pinggang. Ya ampun rumah sakit ini
sangat luas dan rasanya mustahil Yudha untuk mengelilinginya dan
mencari satu orang. Hingga Yudha berinisiatif menemui Inggita
yang kebetulan magang di rumah sakit ini.
“Siapa namanya?”
“Tama, Pratama Langi hadiputra.” Inggita mengetikkan
nama Tama di komputer di hadapannya, beberapa data tentang

Windy Joana. H| 120


Tama muncul—Gadis itu membacanya dengan saksama. “Tama
itu pasien dokter Azka special mata rumah sakit ini.” Ujar Inggita.
“Ah, jadi dia control? Apa disitu tidak ada alamat Tama?”
Inggita mengangguk namun alamat yang tertera disana
hanya alamat Rumah Tama yang sudah kosong, Yudha putus asa.
“Tapi Yudh, Tama ini sekarang dalam perawatan intensif
dokter Azka dia dalam persiapan operasi mata.” Jawaban Inggita
sukses membuat Yudha membuka mulutnya tidak percaya.
“Operasi Mata? Maksudnya?” Yudha mengangkat satu
alisnya bingung. Kalau ternyata memang Tama ingin operasi,
mengapa ia harus menghilang? Apa yang disembunyikannya.
“Disini tidak dicantumkan siapa yang menyumbangkan
koroneanya, atau mungkin belum ada? Tapi disini Tama memang
dalam persiapan operasi. Biasanya seminggu atau beberapa hari
sebelum operasi pasien memang harus tinggal di rumah sakit dan
dalam pengawasan dokter ahlinya.”
Tanpa mendengarkan penjelasan Inggita yang lengkap
Yudha sudah kembali berlari, semua lokasi yang mungkin
dikunjungi Windy terlist dalam kepalanya. Rumah Tama, di
rumahnya, rumah Mark dan yang terakhir di danau.
Memang agak sedikit membingungkan namun ini seperti
berita yang bagus untuk Windy, setidaknya ini adalah harapan
untuk Windy bisa menyebrang.

Windy Joana. H| 121


“Auh!” Yudha ditambrak para perawat yang mendorong
sebuah bangsal dengan kecepatan yang luar biasa, diatasnya
terbaring seseorang dengan penuh darah.
“Dia kenapa sus?” Tanya seorang ibu-ibu yang penasaran
dengan kepanikan yang terjadi dilorong rumah sakit kala itu.
“Korban bunuh diri bu, dia meloncat dari sebuah
jembatan penyebrangan dan dihantam mobil yang melintas
dibawahnya.” Yudha merinding, disaat arwah-arwah yang sering
menganggunya ingin hidup kembali ada saja manusia bodoh yang
ingin membunuh dirinya sendiri.
“Mark, huhuhu Anak saya mana suster. Anak saya Mana?
Mark ya ampun nak!” Tangisan ibu itu pecah dan mengejar
bangsal yang baru masuk tadi.
“Mark?” Yudha membatu.
Seketika pecahan-pecahan teka-teki di kepala Yudha
tersambung menjadi satu bagian meski tanpa penyelesaian, Tama
menghilang setelah berbicara lama dengan Mark, Mark bilang ia
ingin membantu Windy menyebrang, Inggita bilang Tama dirawat
dalam persiapan operasi mata namun belum tertulis nama
pendonornya, dan Mark … bunuh diri? Teka-teki macam apa ini?
Yudha tidak ingin memikirkannya sendiri, Windy harus tahu ini.
Tapi, Apa Mark benar-benar bunuh diri? Atau Windy yang sudah
hampir diliputi energi negatif itu yang melakukannya?

Windy Joana. H| 122


Ku tunggu
If I die, don’t cry. Look at the sky and say good
bye – anonymous.

Mark tersenyum simpul menatap

gadis manis di hadapannya yang sibuk membalas pesan teman-


temannya, Mark tidak tahan untuk tidak mengambil gambarnya.
“Main handphone mulu sih cantik,” Mark mencolek pipi gadisnya
yang terlihat lucu dengan dua cepolan diatas kepalanya yang kata
Mark mirip onde-onde itu.
“Ish, Aku ini lagi mengalihkan perhatian. Kamu kan tahu
aku takut naik kereta gantung malah diajakin ke sini!” Tidak ada
jawaban dari Mark, pemuda itu hanya menatap gadis di depannya
ini yang tengah mengoceh tanpa henti, menikmati kecantikan
paras yang benar-benar membuat Mark mabuk kepayang
dibuatnya. “Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?”
Mark mencubit pipi gadis itu gemas segemas-gemasnya.
“Cantik banget sih Rin.”
Herin mencibir, Mark dan mulut manisnya.
“Iya dong, Kalau aku gak cantik kamu gak mungkin
naksir.” Lalu Herin memamerkan senyum yang membuat Mark

Windy Joana. H| 123


ingin pingsan di buatnya. Herin cantik, Herin yang kini hanya
hidup dalam kenangan seorang Mark.

“Windy! Ternyata kamu di sini,” Windy berbalik kala


namanya dipanggil, benar seperti dugaan Yudha kini gadis itu ada
di pinggir danau tempat Tama biasa berdiri. “Hhhhh kamu kalau
mau pergi bilang aku dulu kenapa sih Wind, Aku capek cari kamu
kemana-mana!” Omel Yudha seperti kakak yang mengomeli
adiknya yang pulang terlambat tanpa kabar.
“Kamu kenapa Windy?” Yudha mendekati Windy yang
kini menatapnya nanar penuh air mata.
“Hhhhhhhhh Yudha.” Windy terjatuh dan tersungkur diatas
tanah, Windy tidak bisa menahan tangisnya lagi. Terasa ada
seseuatu yang membuat dadanya amat sakit, sesuatu yang bahkan
mungkin Windy tidak bisa menbalasnya sampai kapanpun.
“Hey, What happened Wind?” Yudha ikut berjongkok di
depan Windy.
“Mark menemui ku, Mark datang. Tapi….. dia jadi arwah
Yudha. Mark mati. Hhhhhhh Yudha.”
Windy kembali terisak, ia teringat sekitar 20 menit yang
lalu Mark mendatanginya di tempat yang sama.

Windy Joana. H| 124


“Kak.”
“Mark?”
Windy berbalik mendapati tubuh Mark yang berdiri di
sampingnya, namun ada yang berbeda dari Mark, matanya kosong,
bibirnya pucat, dan darah di kepalanya.
“Kamu kenapa ya ampun Mark? Kamu—" Kalimat Windy
terpotong kala Mark memeluknya, membawa Windy ke dalam
dekapannya. Windy membatu, Setahunya Mark tidak bisa
menyentuhnya karena Windy sudah tahu Mark Indigo karena ia
melatihnya bukan karena memang terlahir Indigo.
Tapi kini Mark bisa menyentuhnya seperti Yudha.
“Terimakasih karena sudah jadi teman Mark. Mungkin
cuma ini yang Mark bisa lakukan untuk kak Windy. Kakak perlu
ingat satu hal, Mark mati karena keinginan Mark sendiri.”
“Kamu… Ma..ti? A..Apa maksudnya Mark?”
Windy melepaskan dirinya dari dekapan Mark, menatap
saksama wajah Mark yang kini berdiri di hadapannya. Windy
kemudian tersadar, Mark kelihatan berbeda karena memang dia
bukan manusia lagi, dia sudah menjadi arwah
“Tapi kenapa? Kamu tidak boleh membunuh diri kamu sendiri
Mark!” Mark tersenyum.
“Sekali lagi aku bilang, ini bukan karena kakak. Ada atau
tidak adanya kakak aku akan tetap mati pada hari ini sama seperti
rencana awal ku.”

Windy Joana. H| 125


“Kenapa kamu memilih jalan seperti ini ada apa sama kamu
Mark? Karena aku dan Tama? Tidak. Kamu tidak boleh. Aku sudah
ikhlas jika harus selamanya terjebak disini dan jadi Roh jahat.”
“Mark tidak akan membiarkan hal itu terjadi sama kak
Windy, Kak Windy orang baik.” Mark mengelus rambut Windy
hingga turun ke pipinya, Sentuhannya seperti ingin menenangkan
hantu perempuan yang sudah Mark anggap seperti kakaknya
sendiri itu. “Kak Windy pasti sudah tahu kalau aku tidak dilahirkan
seperti Yudha? Aku cuma memaksa dan melatih mata batin ku
untuk melihat hantu.”
Windy mengangguk, meski ia masih bingung mengapa
Mark melakukannya.
“Itu karena aku disiksa rindu kak, aku gak bisa
ditinggalkan dia. Perempuan yang aku ceritakan ke kakak.”
“Maksudnya? Perempuan itu—"
“Dia hantu, Dia meninggal setahun yang lalu. Di tikam
disebuah jembatan penyebrangan saat pulang jalan-jalan sama
Mark.” Mulut Windy terbuka, ia kaget. Ternyata tak hanya Tama
dan dirinya atau arwah Rasti dengan Yudha. Mark juga memiliki
masalah yang sama. Long distance relationship yang sejauh-jauhnya
karena berbeda dimensi.
Mark mulai menceritakan ia belajar mangasah mata
batinnya, meminta kepada orang yang berpengalaman
mengajarinya hingga ia bisa melihat kembali Herin, perempuan

Windy Joana. H| 126


yang dicintainya. Pertama kali melihat Herin Mark tersendu diatas
sebuah jembatan penyebrangan, orang-orang yang melihatnya
memandang Mark seperti pemuda yang cintanya ditolak karena
memegang bunga mawar berwarna kuning di tangannya.
Mark memang tidak rutin mengunjungi Herin, Herin pun
mengatakan untuk Mark melanjutkan hidupnya. Dan satulagi
kegilaan dalam cinta yang terbukti karena Mark merasa tidak hidup
tanpa Herin. Herinpun mengalami hal yang sama dengan Windy,
ia tidak bisa menyebrang karena masih memiliki cinta yang teramat
besar pada Mark, hingga Mark mengatakan untuk Herin
menunggunya, mereka akan menyebrang bersama.
Anggaplah Herin egois tapi Herin memang berharap
Mark mati dan bisa menemaninya.
“Kak Tama akan melihat lagi, Mark akan memberinya
mata Mark. Kak Windy juga sudah bisa menyebrang. Dan jangan
salah Kak Wind, aku bahagia. Mark bahagia. Mark mati tanpa
sebuah penyesalan pun.” Air mata Windy semakin deras mengalir,
Windy kemudian kemabali memeluk Mark. Mark yang
disangkanya tidak baik dan hanya bermain-main dalam
membantunya. Ternyata bantuan Mark sangat besar bagi Windy
dan Tama.
“Terimakasih Mark”
“Aku tunggu kakak di surga.”

Windy Joana. H| 127


See You
In the end we only regret chance we didn’t take -
anonymous

Setelah dinyatakan meninggal dan

mendapatkan izin dari wali atau orang tua Mark dokter di Eye center
rumah sakit besar itu langsung melakukan tindakan. Apalagi
sebuah surat yang ditemukan di saku Mark menyebutkan dengan
gamblang ia akan mendonorkan kedua kornea matanya untuk
Seorang yang bernama Pratama Langit hadiputra.
Pengangkatan bola mata jenasah calon donor
dilaksanakan kurang dari enam jam sejak calon donor dinyatakan
meninggal, dan dalam waktu 24 jam sudah harus di cangkokkan ke
calon resipennya dalam hal ini Tama.
Tama yang memang sudah tahu akan menerima donor
setelah Mark memberitahunya, namun Tama tidak pernah tahu
pendonornya adalah Mark sendiri. Hari itu Tama hanya
menyampaikan kalau akan ada pendonor bahkan Mark meminta
dokter Azka yang menangani Tama untuk melakukan pemeriksaan
laboratorium lengkap.

Windy Joana. H| 128


“Kak Windy tidak akan bisa menyebrang jika kak Tama tidak
melihat. Tolong percaya sama Mark kak, Mark disini bantuin kak
Windy.”
“Tapi kenapa kakak harus pergi dari rumah? Menghindari
Windy? Bukannya Windy tidak memiliki waktu yang banyak lagi Mark?”
Mark tersenyum, memang Mark yang meminta Tama pergi dari rumahnya
dan menjalani perawatan di rumah sakit, orang tua Tamapun diminta
Mark untuk mendampingi Tama.
“Biar kak Windy lebih menghargai cinta itu sendiri, cinta tidak
ada jika bukan karena dua orang kak Tama. Kak Tama sakitkan
kehilangan kak Windy?”
Tama mengangguk.
“Biarin kak Windy merasakan dunia tanpa kak Tama akan
seburuk apa, lagipula kak Windy harus latihan melepas kak Tama karena
kak Windy pasti menyebrang dan kak Tama pasti melihat kembali.”
Dengan di bantu ibu regina Tama menganti bajunya
dengan baju operasi, setelah itu dilakukan pembersihan disekitar
bola mata Tama dengan cairan steril, bulu matanya yang
panjangpun dicukur habis.
“Hai Tam, sudah siap?” Tama mengangguk, setelah cairan
anastesi itu masuk ke dalam tubuh Tama, Dokter Azka mengajak
Tama mengobrol. Entah tentang kegiatan Tama, atau tentang
orang tua Tama. Itu hal terakhir yang Tama ingat karena saat
terbangun Tama sudah di ruang rehabilitasi keesokan harinya.

Windy Joana. H| 129


“Gimana bu, Tama tidurnya nyenyak?” Suara dokter Azka
sangat dikenali Tama.
“Iya dok, pengaruh obat biusnya mungkin.” Ibu regina
tersenyum manis tanpa melepaskan tautan tangannya dengan
Tama puteranya.
“Tama, Dokter periksa dulu yah?” Dokter Azka
mengecek perban yang terpasang di area kepala Tama dan
melepasnya dengan pelan. “Tama jangan langsung buka matanya
yah, Pelan-pelan. Bilang sama dokter Tama lihat apa.”
Tama, dengan segala takut di dadanya memberanikan diri
membuka perlahan kelopak matanya, jujur Tama tidak ingin
kegelapan membelenggunya lagi. Silau, cahaya yang masuk ke mata
Tama sangat menyilaukan hingga Tama kembali menutup
matanya, lalu dengan pelan membukanya lagi. Namun bukan
wajah dokter Azka maupun ibunya Regina yang dilihatnya.
“Windy?”
Windynya yang tersenyum, senyum yang sangat cerah
secerah matahari. Bukan hanya itu, Tama tidak pernah mendengar
sekalipun suara seorang Windy yang memang tuna rungu namun
sumpah demi Tuhan Tama mendengar Windy mengatakan sesuatu
sebelum hilang di balik cahaya.

“I’m Sorry and I love You Tama.”

Windy Joana. H| 130


Dokter Azka melambai-lambaikan tangannya ke wajah
Tama namun tidak mendapat respon apapun.
“Tama, What do you see? Hei!” Dokter Azka yakin
operasinya berhasil, lalu mengapa Tama tidak merespon
pergerakan tangannya.
“Hhhhhhhhhh” Air mata Tama keluar dari pelupuknya,
Tama berbalik melihat Regina ibunya yang memasang wajah
khawatir diwajahnya.
“Mama Tama bisa melihat lagi.”

Windy Joana. H| 131


Wind
I talk to you in my dream - Tama

Benar kata Yudha, kalau

hubungan antara Hantu dan Manusia itu mustahil tidak


akan berhasil dan berakhir bahagia. Kecuali salah satu mengalah,
Seperti Rasti yang kembali menjadi manusia, atau Mark yang
memilih menjadi hantu agar dapat bersama Herin.
Dalam kasus Windy dan Tama mau sebesar apapun cinta
Windy kepada Tama maupun sebaliknya, hubungan mereka tidak
akan bisa berhasil. Dan sebuah kisah yang menyayat itu Yudha
bagikan di blognya, tentu atas seizin Tama.
Mark sudah tenang bersama dengan Herin, Windypun
sudah menyebrang ke tempat seharusnya, Yudha kini ditahap yang
sangat dekat dengan Rasti, sedangkan Tama mulai kembali menata
kehidupannya.
Yudha ingat betul di hari saat Windy bersamanya
menemukan Tama yang terbaring di ruang rehabilitasi pasca
operasi, gadis itu terlihat sedih katanya dia tidak pernah tahu arti
perpisahan sebenarnya sampai ia tiba di hari ini.
“Apa ke inginan terakhir kamu Wind?”

Windy Joana. H| 132


Windy tersenyum. “Semuanya sudah terwujud, Tapi aku sangat
ingin meminta maaf dan mengatakan kepada Tama aku mencintainya,
Sangat. Secara langsung.”
“Aku berdoa agar Tuhan bisa mengabulkan permintaan
indah itu Wind.” Balas Yudha.
“Aku juga ingin kamu dan Rasti bahagia, dan semoga saja
Tama menemukan perempuan yang bisa melengkapinya suatu saat nanti.”
“AMIN!”
“Gimana bu, Tama tidurnya nyenyak?” Suara dokter Azka
menganggu pembicaraan kedua makhluk berbeda alam itu. Saat
dokter Azka mulai memeriksa Tama, Yudha melihat dengan mata
kepalanya sendiri Windy seperti terangkat dan mengeluarkan
cahaya jingga yang menyilaukan saat itu Yudha sadar sudah
waktunya Windy pergi.

“Ya ampun Yudha apa lagi sih? Gak puas kamu mutih-
mutihin rambut ku kayak begini?” Protes Tama saat Yudha
menariknya ke sebuah sudut yang sudah Yudha siapkan dengan
banyak kamera.
Bagaimana Tama tidak protes? Yudha menyuruhnya jadi
Jack Forst sehari dalam acara bakti amal yang di selenggarakan
kampus Yudha untuk anak-anak berkebutuhan khusus, meski

Windy Joana. H| 133


Tama senang melakukannya namun ia sungguh ingin istirahat
sekarang juga.
“Gak bisa, Ini hari special. Duduk!” Yudha memaksa
Tama menduduki sebuah kursi dengan latar belakang hitam.
“Kamu tahu, Cerita kamu dan Windy banyak dibaca di blog ku
Tam.” Yudha menyetel kameranya, sedangkan Tama hanya
tersenyum simpul.
“Baguslah, Biar mereka lebih menghargai hidup dan bisa
mengutarakan cinta.” Respon Tama.
“Buset, Tama romantis bener!” Ledek Yudha “Eh udah
siap. Liat sini Tam,” Tama langsung mengarahkan pandangannya
ke arah kamera Yudha.
“Mau ngapain sih?” Tama penasaran, Yudha tersenyum.
“Mau mengenang Windy, ini hari 2000 kepergiannya. Time
flies so fast. Tam.”
Sudah lama juga ternyata.
“Tama, jika aku menyebutkan nama Windy maka apa
yang akan kamu ingat?” Tama menunduk, Seketika rasa rindu dan
sedih memenuhi relungnya, hatinya kosong, Windy pernah berada
disana. “Tam?” Panggil Yudha yang tidak mendapat respon.
Angin menerpa wajah Tama, seperti jawaban dari
ragunya. Seketika ia mendongkakkan kepalanya dan melihat ke
arah kamera.

Windy Joana. H| 134


“Windy aku ingin melihatnya, mendengar suaranya,
bahkan menyentuhnya tidak hanya dulu. Bahkan hingga detik ini.”
Tama tersenyum sembari menghapus air mata yang kini jatuh di
pipinya. “Windy adalah rindu, Windy adalah angin, dan Windy aku
mencintainya, dan aku tidak tahu cinta lain selain cinta ini.”
Windy dan Tama pada akhirnya hanya seperti angin dan
langit, saling beriringan tanpa pernah saling bersentuhan dan
saling memberi kesejukan meski tak berwujud.
Ibarat Angin dan Langit, Tidak pernah bersatu hanya
saling melihat dari jauh meski terasa dekat.
“Kamu sangat senang membentangkan tangan mu kala
angin berhembus Tam. Apa hembusan angin masih mengingatkan
mu pada Windy?” Tama mengangguk.
“Walau pada kenyataannya aku tidak dapat lagi
menyentuh Windy, aku tetap ingin memeluknya.”

-FIN-

Windy Joana. H| 135

Anda mungkin juga menyukai