Anda di halaman 1dari 8

KAJIAN ARSITEKTUR POST-KOLONIAL PADA BANGUNAN DE JAVACHE

BANK

Disusun Oleh :

Muhammad Fauzan Ashari 21051010005


Gilang Ardiansyah 21051010073
Avisienna Albani 21051010103
Muhammad Shayyid Alfauzi 21051010131

Nama Dosen Pembimbing :


Fairuz Mutia, S.T.,M.T

TEORI METODE PERANCANGAN A051

PROGRAM STUDI ARSITEKTUR FAKULTAS ARSITEKTUR DAN DESAIN


UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA TIMUR
BAB I
PENDAHULUAN

Indonesia adalah negeri yang kaya akan peninggalan sejarah. Peninggalan sejarah
merupakan suatu kekayaan budaya yang harus dijaga dan dilestarikan keberadaannya.
Bangunan tua merupakan salah satu bentuk dari peninggalan sejarah yang dapat diamati
secara langsung. Hampir di setiap penjuru kota di Indonesia memiliki bangunan tua yang
dapat dijadikan identitas dari daerah tersebut. Oleh karena itu diperlukan kesadaran
masyarakat untuk berpartisipasi secara aktif dalam menjaga bangunan tua yang merupakan
bangunan bersejarah. Bangunan tua memiliki peranan penting dalam kehidupan sehari-hari.
Masyarakat dapat belajar mengenai nilai-nilai kehidupan, sehingga dapat lebihbijaksana
dalam menghadapi kehidupan saat ini. Selain itu, melalui bangunan tua seseorang dapat
berpikir secara kritis dan analitis, karena seseorang dituntut untukberpikir dari berbagai sudut
pandang, mengapa suatu peristiwa dapat mempengaruhi peristiwa lainnya. Oleh karena itu
diharapkan masyarakat bisa lebihkritis dalam menghadapi masalah-masalah sosial.
Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, pihak swasta Belanda memiliki bank,
yakni De Javasche Bank (DJB). Bank ini memiliki fungsi sebagai bank sirkulasi untuk
mengedarkan mata uang dan berfungsi sebagai bang perkreditan untuk memberikan kredit
bagi pemerintah dan pengusaha swasta di Indonesia. Kemudian pada tanggal 15 Desember
1951, pemerintah Indonesia mengumumkan tentang lahirnya Undang-Undang No. 24 Tahun
1951 tentang nasionalisasi De Javasche Bank (DJB) menjadi Bank Indonesia (BI) yang
berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi. Adapun kegiatan sebagai bank biasa dan
bank dagang diserahkan kepada bank-bank lain yang ditunjuk sesuai undangundang. Sejarah
perbankan di Indonesia di awali dengan didirikannya banyak bank asing oleh Belanda yang
kemudian setelah Indonesia merdeka, bank asing menjadi bank milik Indonesia, seperti Bank
Indonesia, Bank Negara Indonesia, dan sebagainya. Pada awal Indonesia merdeka bank
Indonesia berfungsi untuk menyalurkan kredit jangka panjang kepada usaha-usaha industri
yang berada di bawah program rencana urgensi perekonomian negara.
PT Bank Negara Indonesia (Persero), Tbk pada awalnya didirikan di Indonesia
sebagai Bank sentral dengan nama “Bank Negara Indonesia” berdasarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946. 2 Selanjutnya,
berdasarkan Undang-Undang No. 17 tahun 1968, BNI ditetapkan menjadi “Bank Negara
Indonesia 1946”, dan statusnya menjadi Bank Umum Milik Negara. Selanjutnya, peran BNI
sebagai Bank yang diberi mandat untuk memperbaiki ekonomi rakyat dan berpartisipasi
dalam pembangunan nasional dikukuhkan oleh UU No. 17 tahun 1968 tentang Bank Negara
Indonesia 1946. BNI memiliki tingkat likuiditas dan solvabilitas yang baik untuk periode
sampai tanggal 31 Desember 2020. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan BNI dalam
memenuhi segala kewajiban jatuh tempo secara tepat waktu, baik terhadap pembayaran
pokok utang ataupun beban bunganya. Setiap bank harus memiliki tingkat likuiditas yang
bagus. Dengan likuiditas yang bagus inilah perbankan bisa menyalurkan dana dalam bentuk
kredit. Jika perbankan memiliki likuiditas yang buruk, maka belum tentu perbankan bisa
menyalurkan dananya karena likuiditas yang buruk ini akan berdampak negatif kedepannya.
Likuiditas yang bagus bisa dilihat dari penghitungan Loan to Deposit Ratio. LDR yang baik
berkisar antara 78% sampai 92% menurut Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015.
Setiap bank tentu menginginkan kelancaran pada setiap pekerjaannya. Termasuk pada PT
Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk yang memiliki rasio likuiditas yang bagus begitu juga
rasio BOPO. BOPO yang baik yaitu jika nilainya semakin turun setiap tahun. Jika nilainya
semaik naik tiap tahun, maka rasio biaya operasional pendapatan operasional (BOPO) bisa
dikatakan buruk.
BAB II
METODE PENELITIAN

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengobservasi dampak arsitektur post
kolonial di kawasan di kawasanKrembangan Surabaya. Peneltian ini menggunakan
pendekatan penelitian kuantitatif deskriptif. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui nilai
satu atau atau variabel bebas dari satu atau lebih variabel bebas tanpa perbandingan atau
keterkaitan dengan variabel lain.
Untuk menentukan nilai variabel tersebut dilakukan pengumpulan data berupa studi
pustaka, observasi lapangan dan dokumentasi di kawasan Krembangan Surabaya. Penelitian
ini dilakukan secara wawancara, studi literatur, observasi lapangan, dan dokumentasi yang
disusun dengan kajian arsitektur post kolonial. Dari hasil tersebut maka dapat ditarik
kesimpulan mengenai dampak arsitektur post kolonial pada kawasan gedung De Javasche
Bank
BAB III
ISI

A. IDEOLOGI PERANCANGAN

De Javasche Bank didirikan pada tanggal 24 Januari 1828 dengan nama


“Nederlandsche Handel-Maatschappij” (NHM). NHM adalah sebuah perusahaan
perdagangan Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda pada masa kolonial. De Javasche
Bank Surabaya memiliki luas bangunan sekitar 1000 meter persegi.
De Javasche Bank Surabaya secara resmi dibuka pada tanggal 14 September 1829,
tetapi pada tahun 1910 gedung ini dirobohkan dan diganti dengan gedung baru hasil
rancangan arsitek terkemuka bernama N.V. Architecten-ingenieursbureau Hulswit en
Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam yang didirikan pada tahun 1910 oleh
Eduard Cuypers (1859-1927) dan Marius J. Hulswit, bersama A.A Fermont.
Pada tahun 1906, NHM mengubah namanya menjadi “De Javasche Bank”. Bank ini
kemudian menjadi bank sentral Hindia Belanda dan beroperasi hingga Indonesia merdeka
pada tahun 1949. De Javasche Bank Surabaya menjadi salah satu kantor cabang De Javasche
Bank yang memiliki nilai sejarah yang sangat penting. Selain itu, bangunan ini juga menjadi
saksi bisu perjuangan para pahlawan kemerdekaan Indonesia dalam merebut kemerdekaan
dari penjajahan Belanda.

Gambar 1 Gedung De Javasche Bank Surabaya Tahun 1900-an.

B. GAYA BANGUNAN

Gambar 2 Gedung De Javasche Bank Surabaya Sekarang.


Gedung De Javasche Bank Surabaya dibangun oleh Belanda pada awal tahun 1900-an
dengan gaya Empire Style, kemudian direnovasi hampir seabad kemudian. Renovasi ini
menghasilkan sebuah gedung eklektis yang bergaya Neo Renaissance dilengkapi ukiran
Jepara di setiap pilarnya. Bahkan, bila dilihat dengan lebih jeli, dapat ditemukan kombinasi
arsitektur bergaya Mansart-Eropa dan Hindu-Jawa pada bagian eksterior.
C. KONSEP BANGUNAN
Bentuk jendela yang ada di De Javasche Bank ini bisa dibilang unik karena letaknya
yang agak menjorok ke dalam sehingga cocok untuk iklim Indonesia yang tropis dan hangat,
jadi sinar matahari yang masuk tidak akan terlalu terik.

Gambar 3 Jendela De Javasche Bank


Gedung ini terbagi atas tiga lantai, yakni lantai dasar (basement) terdiri dari 3
khasanah (brankas), yakni tempat menyimpan koleksi uang, tempat konservasi budaya (emas
batangan) dan penyimpanan pustaka budaya Bank Indonesia (seperti mesin-mesin
operasional BI). Lantai kedua merupakan area perkantoran dan lantai ketiga untuk tempat
dokumentasi/arsip.
Ruang penyimpanan uang dibangun dengan sangat kokoh, dengan ketebalan dinding
tembok mencapai 1,5 meter, seluruh pintu utama akses keluar masuk terbuat dari baja seberat
13 ton. Seluruh ruangan juga dilengkapi pintu darurat jika sewaktu-waktu pintu utama tak
bisa dibuka. Walaupun ruangan ini cukup tebal, namun untuk menjaga kondisi udara tetap
stabil dan kelembaban ruangan terjaga agar uang dan barang berharga lain tidak cepat rusak,
maka di sekeliling ruang khasanah (brankas) terdapat sejumlah ventilasi udara. Ventilasi yang
dibangun membuat sinar matahari leluasa masuk sehingga ruangan terang dapat pencahayaan
alami. Tempat penyimpanan uang lokasinya dibuat berjarak, atau dibangun tidak mepet
tembok. Jarak antar bangunan sekitar 1 meter. Di bawah jarak antar bangunan ini ada ‘AC’
zaman Belanda. Maksudnya ada selokan, di dalamnya dirancang air yang mengalir setiap saat
yang membuat ruangan penyimpanan brankas uang jadi sejuk.

Gambar 4 AC Zaman Belanda dengan menggunakan Teori Kendi.


Belanda menggunakan teori kendi untuk mendapatkan suhu sejuk alami. Kendi
bekerja berdasarkan prinsip penguapan untuk membantu pendinginan air. Suhu dingin
tersebut berasal dari air yang menguap melalui pori-pori karena bahan kendi berasal dari
tanah liat. Proses penguapan tersebut memerlukan panas, yang tercipta di lingkungan sekitar
kendi. Karena panasnya telah hilang, itu sebabnya air di dalam kendi menjadi lebih dingin
secara alami. Seperti itulah cara kerja ‘AC’ zaman Belanda di ruang tempat penyimpanan
uang.
Naik ke lantai dua melewati tangga besi berwarna coklat, merupakan area
perkantoran/teller. Dipasang kaca patri di langit-langit ruangan lantai dua, seni kaca patri
menjadi ornamen rancangan arsitektur khas Belanda yang disesuaikan dengan fungsi.
Penggunaan seni kaca patri yang merupakan kerajinan tangan khas Eropa ini membuat sinar
matahari tropis leluasa menembus panel-panel kaca warna warni dengan motif seputar
komoditas yang saat itu diperdagangkan di Hindia Belanda. Penggunaan kaca patri ini
membuat bangunan di lantai dua mendapatkan pencahayaan alami tanpa harus menggunakan
listrik hingga saat ini. Di lantai dua kita dapat melihat pintu putar terbuat dari baja
berkapasitas 4 orang. Pintu putar ini didesain agar antara nasabah satu dan lainnya tidak
saling bertemu atau berinteraksi. Begitu detailnya sistem keamanan juga bisa dilihat dari
ruang kasir/teller. Ada 10 ruang bilik transaksi ke tiap teller dilengkapi dengan kawat baja
dan tiap nasabah bisa mengunci pintu dari dalam.

Gambar 5 Seni Kaca Patri

Anda mungkin juga menyukai