BUTA WARNA
PENDAHULUAN
Salah satu gangguan yang dapat terjadi pada mata adalah buta warna. Buta warna
pada manuasia adalah ketidakmampuan untuk membedakan persepsi beberapa
warna atau semua warna, dimana orang normal mampu membedakannya
(Daniel,2006). Buta warna juga dapat diartikan sebagai suatu kelainan
penglihatan yang disebabkan ketidakmampuan sel-sel kerucut (cone cell) pada
retina mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu sehingga objek yang
terlihat bukan warna sesungguhnya.
Buta warna bisa disebabkan karena beberapa faktor genetis maupun faktor lain
seperti karena Shaken Baby Syndrome, cedera atau trauma pada otak dan retina,
maupun pengaruh sinar ultra violet (Ilyas, 2008). Buta warna yang diturunkan
secara genetic dibawa oleh kromosom X pada perempuan, dan diturunkan pada
anak-anaknya.Ketika seseorang mengalami buta warna, mata mereka tidak
mampu menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan untuk mata berfungsi
dengan normal.Sementara buta warna yang didapat, biasanya terjadi ketika anak
mengalami kerusakan retina atau trauma pada otak yang menyebabkan
pembengkakan di lobus occipital.Kerusakan akibat paparan sinar ultra violet
karena tidak menggunakan pelindung mata secara benar juga menyebabkan buta
warna.Selain itu konsumsi obat-obatan tertentu dalam jangka waktu yang lama
juga bisa menyebabkan buta warna.
1
DEFINISI
Buta warna adalah kelainan pada mata yang ditandai oleh ketidakmampuan
membedakan warna dengan jelas. Kondisi tersebut disebabkan ketidakmampuan sel-
sel kerucut pada mata untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu. Buta warna
disebabkan oleh faktor genetis atau kelainan yang terpaut gonosom dari kromosom X.
Genotipe buta warna bersifat resesif yang biasa disimbolkan dengan huruf c. Laki-
laki normal (tidak mengalami buta warna) memiliki genotipe X CY, sedangkan pada
laki-laki penderita buta warna memiliki genotipe X cY. Pada perempuan normal (tidak
mengalami buta warna) memiliki genotipe X CXC atau XCXc, sedangkan genotipe
untuk perempuan dengan buta warna adalah X cXc.
2
ETIOLOGI
Buta warna adalah kondisi yang seringkali diturunkan secara genetik, tetapi dapat
juga didapat karena disebabkan oleh kerusakan pada mata, nervus, atau otak. Buta
warna yang diturunkan secara genetik dibawa oleh kromosom X pada perempuan,
dan diturunkan pada anak-anaknya. Ketika seseorang mengalami buta warna,
mata mereka tidak mampu menghasilkan keseluruhan pigmen yang dibutuhkan
untuk mata berfungsi dengan normal. Cacat mata ini merupakan kelainan genetik
yang diturunkan oleh ayah atau ibu.
Buta warna karena yang diturunkan dibagi menjadi tiga: monokromasi (buta
warna total), dikromasi (hanya dua sel kerucut yang berfungsi), dan anomalus
trikromasi (tiga sel kerucut berfungsi, salah satunya kurang baik). Dari semua
jenis buta warna, kasus yang paling umum adalah anomalus trikromasi,
khususnya deutranomali, yang mencapai angka 5% dari pria. Sebenarnya,
penyebab buta warna tidak hanya karena ada kelainan pada kromosom X, namun
dapat mempunyai kaitan dengan 19 kromosom dan gen-gen lain yang berbeda.
Beberapa penyakit yang diturunkan seperti distrofi sel kerucut dan akromatopsia
juga dapat menyebabkan seseorang menjadi buta warna.
Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X (X-linked genes). Buta warna
hampir tidak pernah terjadi pada perempuan karena setidaknya satu dari dua
kromosom X akan hampir selalu memiliki gen normal untuk setiap jenis sel
kerucut (Shah et al, 2013). Karena laki-laki hanya memiliki satu kromosom X,
gen yang hilang dapat menyebabkan buta warna. Karena kromosom X pada laki-
laki selalu diturunkan dari ibu, dan tidak pernah dari ayahnya, buta warna
diturunkan dari ibu ke anak laki-lakinya, dan ibu tersebut dikatakan sebagai
carrier buta warna; keadaan tersebut terjadi pada sekitar 8% dari seluruh
perempuan (Guyton, 2007). Menurut salah satu riset, 5-8% pria dan 0,5% wanita
dilahirkan buta warna dan 99% penderita buta warna termasuk dikromasi,
protanopia, dan deuteranopia.
3
Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta warna adalah OPN1LW
(Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan OPN1MW (Opsin 1
Middle Wave)yang menyandi pigmen hijau (Deeb, S.S., & Motulsky, A.G.,
2011).
Buta warna yang di dapat juga ditemukan pada penyakit makula, saraf optik,
sedang pada kelainan retina ditemukan cacat relative penglihatan warna biru dan
kuning sedang kelainan saraf optik memberikan kelainan melihat warna merah
dan hijau (Ilyas, 2008). Buta warna yang didapat bisa karena pengaruh dari
kerusakan daerah otak bagian atas (cranial) karena daerah otak bagian atas
memiliki peran dalam identifikasi warna yang meliputi “parvocellular pathway”
dari nuklei lateral geniculate dari talamus, visual area V4 dari korteks
penglihatan. Buta warna yang didapat tidak sama dengan buta warna karena
pengaruh genetik, misalnya, sangat mungkin mengalami buta warna pada satu
porsi dari daerah penglihatan warna namun daerah lainnya berfungsi normal.
Penurunan penglihatan warna merupakan indikator sensitif untuk beberapa
bentuk dari kelainan makula yang didapat atau penyakit saraf, seperti pada optik
neuritis atau tekanan saraf optik oleh karena adanya massa, kelainan penglihatan
warna lebih awal muncul dibanding penurunan tajam penglihatan.
4
KLASIFIKASI
Anomalous trichromacy
Anomalous trichromacy adalah gangguan penglihatan warna yang dapat
disebabkan oleh faktor keturunan atau kerusakan pada mata setelah dewasa dan
merupakan defisit penglihatan warna yang sering dijumpai.Anomalous
trichromacy terdiri dari protanomaly (1% laki-laki dan 0.01% wanita), penderita
kurang sensitive terhadap warna merah,deuteranomaly (lebih umum pada 6%
laki-laki, 0.4% wanita) penderita lemah terhadap warna hijau, warna hijau tua
diasumsikan sebagai warna hitam, dan tritanomaly (kejadiannya jarang pada laki-
laki dan wanita). Padaanomalous trichromacy, penderitamemiliki tiga sel kerucut
yang lengkap, namun terjadi kerusakan mekanisme sensitivitas terhadap salah
satu dari tiga sel reseptor warna tersebut.Pasien buta warna dapat melihat
berbagai warna akan tetapi dengan interpretasi berbeda daripada normal. Kelainan
yang paling sering ditemukan adalah:
a. Trichromat anomaly, kelainan terdapat pada short-wavelenght pigment
(blue). Pigmen biru ini bergeser ke area hijau dari spektrum merah. Pasien
mempunyai ketiga pigmen kerucut akan tetapi satu tidak normal,
kemungkinan gangguan dapat terletak hanya pada satu atau lebih pigmen
kerucut. Pada anomali ini perbandingan merah hijau yang dipilih pada
anomaloskop berbeda dibanding dengan orang normal.
b. Deutronomaly, disebabkan oleh kelainan bentuk middle-wavelenght (green)
pigment dimana ditemukan cacat pada pigmen hijau sehingga diperlukan
lebih banyak pigmen hijau.
c. Protanomalyadalah tipe anomalous trichromacy dimana terjadi kelainan
terhadap long-wavelenght (red) pigment, sehingga menyebabkan rendahnya
sensitifitas terhadap warna merah yang mengakibatkan penderita
protanomaly tidak akan mempu membedakan warna merah dan melihat
campuran warna merah yang dilihat oleh mata normal. Penderita juga akan
mengalami penglihatan yang buram terhadap spektrum warna merah. Hal ini
mengakibatkan mereka dapat salah membedakan warna merah dan hitam.
5
Dichromacy
Dichromacy adalah jenis buta warna di mana salah satu dari tiga sel kerucut tidak
ada atau tidak berfungsi.Akibat dari disfungsi salah satu pigmen pada sel kerucut,
seseorang yang menderita dichromacyakan mengalami gangguan penglihatan
terhadap warna-warna tertentu.Dichromacy dibagi menjadi tiga bagian
berdasarkan pigmen yang rusak:
a. Protanopia adalah salah satu tipe dichromacy yang disebabkan oleh tidak
adanya photoreceptor retina merah. Pada penderita protonopia, penglihatan
terhadap warna merah tidak ada. Nuetral point berada pada panjang
gelombang 492nm (titik dimana penderita tidak bisa membedakan warna ini
dengan warna putih). Penderita hanya melihat satu warna yang mendekati
warna kuning. Oranye yang merupakan gabungan warna primer merah dan
kuning hanya terlihat kuning oleh penderita. Warna merah dibingungkan
dengan warna hitam atau abu-abu tua. Bunga warna merah muda yang
merupakan kombinasi warna merah dan biru, terlihat hanya berwarna biru
oleh penderita, demikian halnya dengan warna sekunder lain seperti ungu
yang merupakan gabungan warna primer merah dan biru, hanya terlihat biru
oleh penderita dan lampu lalu lintas yang berwarna merah dilihat padam oleh
penderita, dan warna biru-hijau terlihat abu-abu oleh penderita. Dichromacy
tipe ini terjadi pada 1 % dari seluruh pria. Keadaan yang paling sering
ditemukan dengan cacat pada warna merah hijau sehingga sering dikenal
dengan buta warna merah-hijau.
b. Deutranopia adalah gangguan penglihatan terhadap warna yang disebabkan
tidak adanya photoreceptor retina hijau. Kekurangan sensitivitas sel kerucut
terhadap gelombang medium (medium wavelength/M-cones) ini juga dikenal
sebagi Daltonism. Kelainannya menyerupai pada protanopia. Neutal point
berada pada 498nm, sehingga warna yang memiliki panjang gelombang
besar, lebih sulit dibedakan dengan warnaputih. Warna hijau, kuning dan
merah sulit dinilai karena dilihat sama menyerupai warna merah, warna hijau
gelap dilihat hitam, sedangkan warna violet, ungu dan biru terlihat sama oleh
penderita. Warna hijau terlihat abu-abu oleh penderita. Pada defek
6
penglihatan warna ini, intensitas cahayanya tidak mengalami perubahan. Hal
ini menimbulkan kesulitan dalam membedakan hue pada warna merah dan
hijau (red-green hue discrimination).
c. Tritanopia adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki short-
wavelength cone. Seseorang yang menderita tritanopia akan kesulitan dalam
membedakan warna biru dan kuning dari spektrum cahaya tampak.
Tritanopia disebut juga buta warna biru-kuning dan merupakan tipe
dichromacy yang sangat jarang dijumpai(kurang dari 1% laki-laki) (Shah et
al, 2013).
Monochromacy
Monochromacy atau akromatopsia adalah keadaan dimana seseorang hanya
memiliki sebuah pigmen cones atau tidak berfungsinya semua sel cones. Pasien
hanya mempunyai satu pigmen kerucut (monokromat rod atau batang).Pada
monokromat kerucut, penderita hanya dapat membedakan warna dalam arti
intensitasnya saja dan biasanya tajam penglihatannya 6/30. Pada orang dengan
buta warna total atau akromatopsia akan terdapat keluhan silau dan nistagmus
dan bersifat autosomal resesif. Terdapat dua bentuk monokromatisme, walaupun
penderitanya tidak memiliki diskriminasi warna sama sekali dengan kata lain
hanya mampu membedakan tingkat kecerahan, akantetapi adalah dua entitas yang
berbeda, yaitu:
a. Rod monochromacy (Monokromatisme batang) atau disebut juga suatu
akromatopsia di mana terdapat kelainan pada kedua mata bersama dengan
keadaan lain seperti tajam penglihatan kurang dari 6/60, nistagmus,
fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi akibat kelainan sentral
hingga terdapat gangguan penglihatan warna total, hemeralopia (buta silang)
tidak terdapat buta senja, dengan kelainan refraksi tinggi. Pada pemeriksaan
dapat dilihat adanya makula dengan pigmen abnormal.
7
PEMERIKSAAN
Tes buta warna adalah suatu tes yangdigunakan untuk mengetahui apakah
seseorangmengalami buta warna atau tidak.Hasil dari tesbuta warna ada tiga
macam yaitu buta warna total,buta warna sebagian (parsial) dan normal.Hasiltes
buta warna sangat penting, terutama untukmelanjutkan pendidikan dan bekerja di
bidang-bidangtertentu seperti teknik elektro, teknik informatika, desain danlain-
lain.Salah satu metode tes buta warna yaitu uji Ishihara.Uji Ishihara merupakan
uji untuk mengetahui adanya defek pengelihatan warna, didasarkan pada
menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna
(Ilyas, 2008).Menurut Guyton (2007) Metode Ishihara adalah suatu metode yang
dapat dipakai untuk menentukan dengan cepat suatu kelainan buta warna
didasarkan pada penggunaan kartu bertitik-titik.Kartu ini disusun dengan
menyatukan titik-titik yang mempunyai bermacam-macam warna.
Metode Ishihara ini dikembangkan menjadi Tes Buta Warna Ishihara oleh Dr.
Shinobu Ishihara.Tes ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1917 di Jepang
dan terus digunakan di seluruh dunia, sampai sekarang.Tes buta warna Ishihara
terdiri darilembaran yang didalamnya terdapat titik-titikdengan berbagai warna
dan ukuran.Titikberwarna tersebut disusun sehingga membentuklingkaran. Warna
titik itu dibuat sedemikianrupa sehingga orang buta warna tidak akanmelihat
perbedaan warna seperti yang dilihat orang normal (pseudo-
isochromaticism).Dalam tes buta warna Ishihara inidigunakan 38 plate atau
lembar gambar, dimana gambar-gambar tersebut memiliki urutan1 sampai
38.Plate 1-25 merupakan plate dengan gambar angka (numeral) yang sebaiknya
dijawab dalam waktu tidak lebih dari 3 detik.Jika anak tidak mampu membaca
angka, dapat digunakan plate 26-38, dimana anak diminta untuk menghubungkan
garis yang harus diselesaikan dalam waktu 10 detik.
8
Ishihara 38 Plate
Normal : angka 8
Plate 2
Defisiensi merah-hijau : angka 3
Normal : angka 6
Plate 3
Defisiensi merah-hijau : angka 5
Normal : angka 29
Plate 4 Defisiensi merah-hijau :
angka 70
9
Normal : angka 57
Plate 5 Defisiensi merah-hijau :
angka 35
Normal : angka 5
Plate 6
Defisiensi merah-hijau : angka 2
Normal : angka 3
Plate 7
Defisiensi merah-hijau : angka 5
Normal : angka 15
Plate 8 Defisiensi merah-hijau :
angka 17
10
Normal : angka 74
Plate 9 Defisiensi merah-hijau :
angka 21
Normal : angka 2
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 10
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
Normal : angka 6
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 11
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
Normal : angka 97
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 12
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
11
Normal : angka 45
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 13
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
Normal : angka 5
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 14
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
Normal : angka 7
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 15
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
Normal : angka 16
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 16
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
12
Normal : angka 73
Defisiensi merah-hijau :
kebanyakan orang buta warna
Plate 17
tidak melihat apa-apa atau
tidak dapat melihat angka
dengan jelas
13
Normal : tidak melihat angka
Plate 21 apa- apa
Defisiensi merah-hijau : angka 73
Normal : angka 26
Protanopia atau protanomaly :
angka 6 atau angka 6 dan
Plate 22 samar- samar angka 2
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 2 atau angka 2 dan samar-
samar angka 6
Normal : angka 42
Protanopia atau protanomaly :
angka 2 atau angka 2 dan
Plate 23 samar- samar angka 4
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 4 atau angka 4 dan samar-
samar angka 2
Normal : angka 35
Protanopia atau protanomaly :
angka 5 atau angka 5 dan
Plate 24 samar- samar angka 3
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 3 atau angka 3 dan samar-
samar angka 5
14
Normal : angka 96
Protanopia atau protanomaly :
angka 6 atau angka 6 dan
Plate 25 samar- samar angka 9
Deuteranopia atau deuteranomaly
: angka 9 atau angka 9 dan samar-
samar angka 6
15
Normal : tidak melihat angka
Plate 29 apa- apa
Defisiensi merah-hijau : garis
16
Normal : garis oranye
Defisiensi merah-hijau :
Plate 33
tidak melihat gambar apa-apa
atau melihat garis yang salah
17
Normal : garis violet dan oranye
Plate 37 Defisiensi merah-hijau :
hanya garis biru-hijau dan
violet
18
Buku Ishihara dapat mendiagnosa defek penglihatan warna dengan klasifikasi
red-green deficiency, buta warna total, protanopia atau strong protanomaly,
protanomaly, deuteranopia atau strong deuteranomaly, dan deuteranomaly.
Kelainan tritanomaly tidak dapat dilihat disini. Tes Ishihara digunakan untuk
mendiagnosis defek penglihatan warna kongenital, untuk mengetahui penyebab
yang didapat (saraf, kelainan makula, trauma kranial) perlu dilakukan
pemeriksaan lebih lanjut (Vaughan, 2008).
19
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, S., Mulia, T. & Sidik, M., 2012. Instrumen Pengujian Buta Warna
Otomatis. Jurnal Ilmiah Elite Elektro 3(1):15-22.
Dargahi, H., Einollahi, N. & Dashti, N., 2009. Color Blindness Defect and
Medical Laboratory Technologists: Unnoticed Problems and the Care for
Screening.ActaMedicaIranica 48(3): 172-177.
Deeb, S.S., & Motulsky, A.G., 2011. Red-Green Color Vision Defects.
Gupta, A., Laxmi, G., Nittala, M.G. &Raman, R., 2011. Structural and
Functional Correlates in Color Vision Deficiency. Eye (25): 909-917.
Gupta, M., Gupta, B.P., Chauhan, A & Bhardwaj, A., 2009. Ocular Morbidity
Prevalence among School Children in Shimla, Himachal, North India. Indian
J Ophthalmol 57(2): 133-138.
Guyton, A.C & Hall, J.E. 2007.Buku Ajar FisiologiKedokteran.Edisi 11. Jakarta:
EGC.
Ilyas, S., 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai Penerbit FK UI.
20
10.Jakarta: EGC.
Kolb, H., 2012. Simple Anatomy of the Retina.Moran Eye Institue, University of
Utah School of Medicine, Salt Lake City.
Niroula, D.R. & Saha, C.G., 2010. The Incidence of Color Blindness among Some
School Children of Pokhara, Western Nepal. Nepal Med Coll J 12(1): 48-50.
Randolph, S.A., 2013. Color Vision Deficiency. Workplace Health Saf 61(6): 280.
Shah, A., Hussain, R., Fareed, M. &Afzal, M., 2013. Prevalence of Red-Green
Color Vision Defects among Muslim Males and Females of Manipur, India.
Iranian J Publ Health 42(1): 16-24.
Widianingsih, R., Kridalaksana, A.H. & Hakim, A.R., 2010. Aplikasi Tes Buta
Warna dengan Metode Ishihara Berbasis Komputer. Jurnal Informatika
Mulawarman (5): 36-41.
Wolters Kluwer Health, 2014. Study reveals that color vision abnormalities
increasewith age.
21