Anda di halaman 1dari 13

REFERAT

Buta Warna

Pembimbing:
dr. Bambang Herwindu, Sp.M
dr. Werlinson Tobing, Sp.M (K)

Disusun oleh:
Sharon Natalia Runtulalo
112021162

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RSUD TARAKAN JAKARTA
Periode 13 September-16 Oktober 2021

1
Pendahuluan

Penglihatan warna diperankan oleh sel kerucut yang mempunyai pigmen terutama cis
aldehida A2. Penglihatan warna merupakan kemampuan membedakan gelombang sinar yang
berbeda. Warna ini terlihat akibat gelombang elektromagnitnya mempunyai panjang gelombang
yang terletak antara 440-700 nm. Warna primer yang utama pada pigmen sel kerucut adalah
merah, hijau, dan biru. Warna komplemen ialah warna yang bila dicampur dengan warna primer
akan berwarna putih.1

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna. Pasien tidak atau
kurang dapat membedakan warna yang dapat terjadi kongenital ataupun didapatkan akibat
penyakit tertentu. Hampir 5% laki-laki di negara barat menderita buta warna yang diturunkan,
lebih sering terdapat pada laki-laki dibanding perempuan. Mungkin pula disebabkan karena tidak
terlatih untuk melihat warna-warna. Buta warna total merupakan keadaan yang jarang.
Kebanyakan penderita buta warna dapat membedakan warna akan tetapi dengan penilaian yang
berbeda. Dengan adanya teori trikromat maka kemungkinan gangguan dapat terletak hanya pada
satu atau lebih pigmen kerucut. Bentuk defisiensi yang sering ditemukan adalah trikromat
anomali. Pada protanomali terdapat kekurangan kerentanan merah sehingga diperlukan lebih
banyak merah untuk bergabung dengan kuning baku. Sedangkan yang disebut sebagai protanopia
adalah kurangnya sensitif pigmen merah kerucut. Pada deutranomali diperlukan lebih banyak
hijau untuk menjadi kuning baku. Sedang deutranopia merupakan kurangnya pigmen hijau
kerucut. Tritanomali terdapat kekurangan pada warna biru, pada keadaan ini akan sukar
membedakan warna biru terhadap kuning. Akromatopsia atau monokromat berarti
ketidakmampuan membedakan warna dasar atau warna antara. Pasien hanya mempunyai satu
pigmen kerucut (monokromat rod atau batang). Pada monokromat kerucut hanya dapat
membedakan warna dalam arti intensitasnya saja dan biasanya mempunyai tajam penglihatan
6/30. Pada orang dengan buta warna total atau akromatopsia akan terdapat keluhan silau dan
nistagmus dan bersifat autosomal resesif. Pada buta warna yang diturunkan ia tidak bersifat
progresif dan tidak dapat diobati.1

Anatomi

Persepsi visual sangat dipengaruhi oleh struktur anatomi mata. Kornea dan lensa bekerja
bersama seperti lensa kamera untuk memfokuskan bayangan sehingga dapat ditangkap oleh

2
retina yang terletak di belakang mata, yang bertindak seperti film pada kamera. Struktur-struktur
inilah yang berpengaruh pada persepsi warna.2

Bayangan yang masuk ke bola mata akan diproyeksikan ke retina. Retina merupakan
bagian mata yang peka terhadap cahaya, lapisan setipis lembaran jaringan uang terletak di bagian
belakang bola mata berisi sel-sel fotoreseptor seperti sel batang dan kerucut yang akan
mengubah bayangan yang masuk menjadi impuls-impuls saraf yang akan diteruskan ke otak. Di
bagian inilah, proses penglihatan warna berlangsung.2

Lapisan retina dari luar ke dalam sebagai berikut: (1) lapisan pigmen, (2) lapisan batang
dan kerucut yang menonjol pada lapisan pigmen, (3) lapisan nukleus luar yang mengandung
badan sel batang dan kerucut, (4) lapisan pleksiform luar, (5) lapisan nukleus dalam, (6) lapisan
pleksiform dalam, (7) lapisan ganglion, (8) lapisan serat saraf optikus, dan (9) membran limitan
dalam.3

Gambar 1. Lapisan Retina3

Bagian fovea terdiri dari sel kerucut namun bentuknya menyerupai batang. Sel kerucut
yang berfungsi untuk penglihatan warna, bertugas untuk penglihatan dengan cahaya yang cukup.
Sel batang yang dapat mendeteksi cahaya redup dan terutama berfungsi untuk penglihatan hitam

3
dan putih dan penglihatan di dalam gelap. Bila sel batang ataupun kerucut terangsang, sinyal
akan dihantarkan melalui lapisan sel saraf yang berurutan dalam retina dan akhirnya ke dalam
serat nervus optikus dan korteks serebri.2,3

Gambar 2. Sel batang dan kerucut2

Berdasarkan responsivitasnya, sel kerucut dibagi menjadi 3 macam, S cone, M cone, L


cone, sedangkan sel batang hanya terdiri dari satu tipe sel. Penamaan ini berdasarkan pada
sensitivitas sel terhadap panjang gelombang cahaya short wavelength, middle wavelength, dan
long wavelength. Ada juga yang menamakan panjang gelombang ini sebagai RGB (red, green,
blue) namun penamaan SML dirasa lebih tepat. Pada sel kerucut, terdapat 3 tipe yang
menampilkan warna, sedangkan sel batang hanya satu macam, menunjukkan bahwa sel batang
tidak mampu mengidentifikasi warna. Sel S tersebar merata pada seluruh retina, namun tidak
terdapat di daerah tengan fovea. Perbandingan jumlah L:M:S adalah 12:6:1.2

Mekanisme penglihatan warna dapat dijelaskan menurut teori-teori di bawah ini:2

1. Teori trikromatik
Pada teori ini, dikenal 3 reseptor yang sensitif terhadap 3 spektrum warna yaitu merah,
hijau, dan biru. Gambaran warna muncul karena rasio signal dari 3 reseptor warna yang
dikirim ke otak dibandingkan sampai menampilkan warna. Teori trikromatik ini tidak
diragukan, tetapi tidak dapat menjelaskan fenomena transmisi ke otak.2
2. Teori Hering’s opponent colors
Hering mengajukan teori lawan warna dengan observasinya meliputi penampilan warna,
kontras warna, foto setelah jadi, dan defisiensi penglihatan warna. Hering mencatat

4
penemuannya bahwa warna tertentu tidak terjadi secara bersamaan, contohnya
kemerahan-kehijauan dan kekuningan-kebiruan. Hering menemukan bahwa kontras
warna ikut berpengaruh untuk membedakan warna yang berpasangan.2
3. Teori modern opponent colors
Teori ini bertentangan dengan teori trikromatik. Teori ini menyatakan bahwa warna yang
diterima di reseptor warna dikirim ke retina untuk diubah sinyalnya dan baru dikirim ke
otak.2

Klasifikasi

Defek penglihatan warna atau buta warna dapat dikenal dalam bentuk:2

1. Trikromatik, yaitu keadaan pasien mempunyai 3 pigmen kerucut yang mengatur fungsi
penglihatan. Pasien buta warna jenis ini dapat melihat berbagai warna, tetapi dengan
interpretasi berbeda dari normal. Bentuk defisiensi yang paling sering ditemukan:2
a. Deuteranomali, dengan defek pada penglihatan warna hijau atau kelemahan
fotopigmen M cone atau absorpsi M cone bergeser ke arah gelombang yang lebih
panjang sehingga diperlukan lebih banyak hijau untuk menjadi kuning baku.2
b. Protanomali, kelemahan fotopigmen L cone atau absorpsi L cone ke arah
gelombang yang lebih rendah, diperlukan lebih banyak merah untuk menggabung
menjadi kuning baku pada anomaloskop. Protanomali dan deutronomali terkait
kromosom X dan, di Amerika, terdapat 5% anak laki-laki.2
c. Tritanomali, merupakan defek penglihatan warna biru atau fotopigmen S cone
atau absorpsi S cone bergeser ke arah gelombang yang lebih panjang. Kelainan ini
bersifat autosomal dominan pada 0,1% pasien.2
2. Dikromatik, yaitu pasien mempunyai 2 pigmen kerucut, akibatnya sulit membedakan
warna tertentu.2
a. Protanopia, keadaan yang paling sering ditemukan dengan defek pada penglihatan
warna merah hijau atau kurang sensitifnya pigmen merah kerucut (hilangnya
fotopigmen L cone) karena tidak berjalannya mekanisme red-green opponent.2
b. Deuteranopia, kekurangan pigmen hijau kerucut (hilangnya fotopigmen M cone)
sehingga tidak dapat membedakan warna kemerahan dan kehijauan karena kurang
berjalannya mekanisme viable red-green opponent.2

5
c. Tritanopia, dimana terdapat kesukaran membedakan dengan warna merah dari
kuning.1
3. Monokromatik (akromatopsia atau buta warna total), hanya terdapat satu jenis pigmen sel
kerucut, sedangkan dua pigmen lainnya rusak. Pasien sering mengeluh fotofobia, tajam
penglihatan kurang, tidak mampu membedakan warna dasar atau warna antara (hanya
dapat membedakan hitam dan putih), silau, dan nistagmus. Kelainan ini bersifat
autosomal resesif.2
a. Monokromatisme sel batang (rod monochromatism) disebut juga suatu
akromatopsia (seluruh komponen pigmen warna kerucut tidak normal), terdapat
kelainan pada kedua mata bersama dengan keadaan lain, seperti tajam penglihatan
kurang dari 6/60, nistagmus, fotofobia, skotoma sentral, dan mungkin terjadi
akibat kelainan sentral hingga terdapat gangguan penglihatan warna total,
hemeralopia (buta silang), tidak terdapat buta senja atau malam, dengan kelainan
refraksi tinggi. Insidens sebesar 1 dalam 30.000 dan pewarisan secara autosomal
resesif menyebabkan mutasi gen menjadi protein photoreceptor cation channel or
cone transducin.2
b. Monokromatisme sel kerucut (cone monochromatism). Terdapat hanya sedikit
defek atau yang efektif hanya satu tipe pigmen sel kerucut. Hal ini jarang, 1 dalam
100.000. Tajam penglihatan normal, tidak terdapat nistagmus, tidak terdapat
diskrimanasi warna. Biasanya disebabkan monokromasi biru, terkait kromosom X
resesif, yang menyebabkan mutasi gen yang menjadi opsin kerucut merah dan
hijau.2

Etiologi dan Patofisiologi

Buta warna dapat terjadi secara kongenital atau didapat akibat penyakit tertentu. Buta
warna yang diturunkan tidak bersifat progresif dan tidak dapat diobati. Buta warna kongenital
biasanya berhubungan dengan kromosom X yang berhubungan dengan buta merah-hijau. Buta
merah hijau kadang-kadang merupakan syarat tidak dapatnya mengerjakan pekerjaan tertentu
seperti di pabrik cat, konveksi, kapten kapal, dan pengawas lalu lintas lainnya.1,2

Bila warna yang timbul kemudian di dalam kehidupan dapat terjadi bila terdapatnya
kelainan pada makula, seperti retinitis sentral dan degenerasi makula sentral. Pada kelainan

6
makula (retinitis sentral dan degenerasi makula sentral), sering terdapat kelainan pada
penglihatan warna biru dan kuning, sedang pada kelainan saraf optik akan terlihat gangguan
penglihatan warna merah dan hijau.1,2,4

Buta warna umumnya dianggap lebih banyak terdapat pada laki-laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 20:1. Buta warna herediter merupakan kelainan genetik sex-
linked pada kromosom X ayah dan ibu. Anak perempuan menerima satu kromosom X dari ibu
dan satu dari ayah. Dibutuhkan hanya satu gen untuk penglihatan warna normal. Anak laki-laki,
menerima kromosom X dari ibu dan Y dari ayah, jika gen X tunggal tidak mempunyai gen
fotopigmen maka akan terjadi buta warna.2

Dikenal hukum Kollner yang menyatakan defek penglihatan warna merah hijau
merupakan lesi saraf optik ataupun jalur penglihatan, sedangkan defek penglihatan biru kuning
akibat kelainan pada epitel sensori retina atau lapis kerucut dan batang retina. Terdapat
pengecualian Hukum Kollner:1,2

 Neuropati optik iskemik, atrofi optik pada glaukoma, atrofi optik diturunkan secara
dominan, atrofi saraf optik tertentu memberikan cacat biru kuning.
 Defek penglihatan merah hijau pada degenerasi makula, mungkin akibat kerusakan retina
yang terletak pada sel ganglionnya.
 Pada degenerasi makula juvenile terdapat buta biru kuning, merah hijau atau buta warna
total, sedangkan degenerasi makula stardgart dan fundus flavimakulatus mengakibatkan
gangguan pada warna merah hijau.
 Defek penglihatan warna biru dapat pula terjadi pada peningkatan tekanan intraokular.1,2

Gangguan penglihatan biru kuning terdapat pada glaukoma, ablasio retina, degenerasi
pigmen retina, degenerasi makula senilis dini, myopia, korioretinitis, oklusi pembuluh darah
retina, retinopati diabetik dan hipertensi, papil edema, dan keracunan metil alkohol serta pada
penambahan usia. Gangguan penglihatan merah hijau terdapat pada kelainan saraf optik,
keracunan tembakau dan racun, neuritis retrobulbar, atrofi optik, dan lesi kompresi traktus
optikus.1,2

7
Epidemiologi

Prevalensi buta warna di seluruh dunia berkisar antara 2-5% dengan perbandingan antara
laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Pewarisan buta warna termasuk penyakit yang diturunkan
dengan pola X-linked recessive. Hal ini dapat terjadi karena gen OPN1LW dan OPN1MW terletak
pada kromosom X yang akan diterima laki-laki dari ibunya. Meskipun secara teori buta warna
adalah penyakit yang diturunkan secara X-linked recessive yaitu laki-laki adalah penderita dan
wanita hanyalah pembawa (carrier) namun ada yang dinamakan buta warna didapat yaitu buta
warna yang terletak di kromosom 7 sehingga ada kemungkinan pada perempuan penderita buta
warna ini memperoleh kelainan pada gen OPN1SW di kromosom 7, yang pola penurunannya
tidak dalam pola X-linked.5,6 Dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, prevalensi buta warna
kongenital adalah 3,79%, pada pasien dewasa sebanyak 88,24% dan pada anak 100%.
Sedangkan sisanya sebesar 11,76% menderita buta warna didapat.6

Penentuan Diagnosis

Anamnesis

Anamnesis yang sesuai adalah terdapat riwayat buta warna di dalam keluarga. Gejala
klinik dari buta warna berbeda-beda tiap orang tergantung tipe buta warna yang diderita. Pada
kasus ringan, orang dengan buta warna parsial sering tidak menyadari bahwa mereka melihat
warna berbeda dari orang dengan penglihatan normal. Pada kasus yang berat, mereka hanya
dapat melihat bayangan, sedangkan orang dengan penglihatan normal bisa melihat beberapa ribu
warna. Pada kasus yang jarang, penderita buta warna tidak bisa melihat warna sama sekali tetapi
hanya bisa melihat warna hitam, putih dan abu-abu.7

Pemeriksaan Buta Warna

Pemeriksaan buta warna dilakukan dengan uji anomaloskop, uji Farnsworth Munsell 100
hue, uji Holmgren, dan uji Ishihara. Uji Farnsworth dan Ishihara sering digunakan sebagai
pemeriksaan optamologis. Defek penglihatan warna merah-hijau secara kualitatif dievaluasi
dengan tes Pseudoisokromatik (Ishihara). Defek penglihatan biru-kuning dengan tes Farnsworth
Munsell. Evaluasi defek penglihatan kuantitatif dapat menggunakan Anomaloskop nagel.2

8
Tes Ishihara

Merupakan uji untuk mengetahui uji defek penglihatan warna didasarkan pada
menentukan angka atau pola yang ada pada kartu dengan berbagai ragam warna.1

Merupakan pemeriksaan untuk penglihatan warna dengan memakai satu seri titik bola
kecil dengan warna dan besar berbeda (gambar pseudokromatik), sehingga dalam keseluruhan
terlihat warna pucat dan menyukarkan pasien dengan kelainan penglihatan warna dapat melihat
sebagian ataupun sama sekali tidak dapat melihat gambaran yang diperlihatkan.1,8

Peralatan untuk tes buta warna ini berupa buku yang berisi pelat-pelat warna yang
disusun dari bulatan-bulatan kecil berwarna-warni sehingga membentuk sebuah image berupa
angka. Untuk pengujiannya pun tidaklah sulit, karena hanya dengan menunjukkan gambar-
gambar yang ada kepada pasien lalu pasien diminta untuk menyebutkan angka yang ada.9

Gambar 3. Pelat-pelat Ishihara Tes9

Pada pemeriksaan pasien diminta melihat dan mengenali tanda gambar yang
diperlihatkan dalam waktu 10 detik.1,8

Penyakit tertentu dapat menyebabkan gangguan penglihatan warna seperti buta merah
dan hijau pada atrofi saraf optik, optik neuropati toksik dengan pengecualian neuropati iskemia,
glaukoma dengan atrofi optik yang memberikan gangguan penglihatan biru-kuning.1

Farnsworth Munsell Test

Peralatan berikutnya adalah tes Farnsworth Munsell. Tes ini merupakan tes kelanjutan
dari tes Ishihara. Pada tes Ishihara, hasil yang didapat hanyalah mendiagnosis apakah pasien
9
mengalami buta warna parsial atau tidak. Sedangkan pada tes Farnsworth Munsell, tes ini bisa
mendiagnosis dengan melakukan skrining kelemahan warna tertentu, seperti kelemahan terhadap
warna merah (protan), kelemahan terhadap warna hijau (deutan), dan kelemahan terhadap warna
biru (tritan).9

Untuk pengujian tes ini pun tidaklah sulit. Pasien diminta untuk menghafal urutan-urutan
warna pada koin-koin yang sudah disiapkan. Lalu melakukan acak warna pada koin-koin warna
tersebut. Setelah koin-koin warna tersebut diacak, maka pasien diminta untuk mengurutkan
kembali warna-warna yang ada. Setelah selesai, maka kita bisa menyocokkan urutan warna yang
telah disusun kembali oleh pasien.9

Gambar 4. Koin-koin Warna Farnsworth Munsell9

Anomaloskop Nagel

Anomaloskop nagel terdiri dari test plate yang bagian bawahnya berwarna kuning yang
dapat disesuaikan kontrasnya. Pasien berusaha mencocokkan bagian atas sampai berwarna
kuning dengan mencampur warna merah dan hijau. Orang dengan buta warna hijau akan
menggunakan banyak warna hijau dan begitu juga pada orang dengan buta warna merah.2

10
Gambar 5. Anomaloskop Nagel2

Uji Holmgren

Pada tahun 1837, August Seebeck menggunakan lebih dari 300 kertas berwarna dan
meminta pasiennya mencocokkan atau menemukan warna yang sesuai dengan contoh warna
yang diberikan, dan pada tahun 1877, Holmgren mengambil ide ini dan menggunakan gulungan
benang wol berwarna sebagai pengganti kertas.2

Gambar 6. Uji Holmgren2

Tatalaksana

Tidak terdapat pengobatan untuk buta warna yang diturunkan, sedangkan buta warna
didapat diterapi sesuai penyebab. Beberapa cara yang dapat digunakan sebagai alat bantu
penglihatan warna.2

 Lensa kontak dan kacamata specially tinted, yang dapat membantu uji warna namun tidak
dapat memperbaiki penglihatan warna.
 Kacamata yang memblokade glare, karena orang dengan masalah penglihatan warna
dapat membedakan sedikit warna saat tidak terlalu terang.2

11
 Terapi gen subretina dengan AAV8.CNGA3 berkaitan dengan fotoreseptor kerucut,
seperti perbaikan atau peningkatan ketajaman visual serta peningkatan sensitivitas
kontras pada pasien dengan achromatopsia.10

Prognosis

Prognosis lebih baik pada pasien yang berusia muda dengan achromatopsia. Dan
penatalaksanaan dengan terapi gen selama tahap awal dari penyakit dapat memberikan prognosis
yang baik.11

Kesimpulan

Buta warna merupakan kelainan penglihatan oleh karena ketidakmampuan sel kerucut
untuk menangkap suatu spektrum warna tertentu. Buta warna dapat mengganggu aktivitas
seseorang. Buta warna dapat menjadi masalah ketika seseorang dalam pekerjaannya
membutuhkan warna sebagai kode. Pengobatan untuk buta warna yang diturunkan tidak ada,
sedangkan untuk buta warna didapat bisa di terapi sesuai penyebab.

Daftar Pustaka

1. Sidarta Ilyas SRY. Ilmu Penyakit Mata. J Chem Inf Model. 2013;53(9):1689–99.
2. Kartika, Kuntjoro K, Yenni, Halim Y. Patofisiologi dan Diagnosis Buta Warna. Cermin
Dunia Kedokt [Internet]. 2014;41(4):268–71. Available from:
http://103.13.36.125/index.php/CDK/article/view/1148
3. Guyton AC, Hall JE. Buku ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta:EGC;2014
4. Cassin B, Solomon S. Dictionary of Eye Terminology. 6th ed Florida: Triad Publ.Co;
2011.
5. Purwoko M. Prevalensi Buta Warna pada Mahasiswa Universitas Muhammadiyah
Palembang Prevalence of Color Vision Deficiency in Students of Muhammadiyah
Palembang University. J Kedokt Brawijaya. 2018;30(2):159–62.
6. Buta K, Urban P. Prevalensi dan Karakteristik Buta Warna pada Populasi Urban di
Jakarta 1. 2021;47(2):79–85.

12
7. Color Blindness. In : Topic Overview. [Online] Available from URL:
http://www.webmd.com.eye-health/te/Color-Blindness-TopicOverview.Accessed
8. Dhika R. V., Ernawati, Andreswari D., Aplikasi Tes Buta Warna dengan Metode Ishihara
pada Smartphone Android, Jurnal Pseudocode, vol. 1, no. 1, pp. 51- 55, 2014.
9. Agusta S, Mulia T, Sidik M. Instrumen Pengujian Buta Warna Otomatis. J Ilm Elit
Elektro [Internet]. 2012;3(1):15–22. Available from:
http://pnj.ac.id/upload/artikel/files/elektro/Sofiar Agusta, Tony Mulia dan M.Sidik.pdf
10. Fischer MD, Michalakis S, Wilhelm B, Zobor D, Muehlfriedel R, Kohl S, et al. Safety
and Vision Outcomes of Subretinal Gene Therapy Targeting Cone Photoreceptors in
Achromatopsia: A Nonrandomized Controlled Trial. JAMA Ophthalmol.
2020;138(6):643–51.
11. Thomas MG, McLean RJ, Kohl S, et al. Early signs of longitudinal progressive cone
photoreceptor degeneration in achromatopsia. British Journal of Ophthalmology
2012;96:1232-1236.

13

Anda mungkin juga menyukai