Anda di halaman 1dari 38

Laporan Kasus

Tumor Kolon Asendens


Disusun Oleh:
Sharon Natalia Runtulalo (112021162)

Pembimbing:
dr. Yopi Budiman, Sp.B

KEPANITERAN KLINIK ILMU PENYAKIT BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
PERIODE 26 DESEMBER 2022 – 4 MARET 2023
STATUS PASIEN
I.IDENTITAS
Nama : Tn. Y Agama : Islam
Umur : 49 tahun Status pernikahan : Menikah
Jenis Kelamin : Laki-laki Alamat : Kalideres
Pekerjaan : Wiraswasta

II. ANAMNESIS
Autoanamnesis Tanggal 5 Januari 2023, pukul 11:00 WIB
Keluhan Utama
Pasien merasakan nyeri pada luka bekas operasi dan terasa lemas karena masih
puasa.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien merasakan adanya benjolan pada perut bagian kanan bawah sejak ±2 tahun
yang lalu. Pada saat pasien menyadari adanya benjolan, pasien mengatakan
benjolan teraba permukaannya licin dan benjolan tidak bisa digerakkan. Awalnya
pasien sering merasakan begah diperut, dirasakan terus-menerus sehingga
membuat porsi makan berkurang dan sering terlambat makan, sehingga pasien
mengalami penurunan BB sebanyak 10 kg. Pasien lalu berobat ke dokter, dan
diketahui pasien juga menderita TB Paru. Pasien menjalani pengobatan TB
terlebih dahulu ±6 bulan, setelah itu baru melanjutkan pengobatan untuk benjolan
diperut. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan CT-Scan Abdomen,
dengan hasil terdapat massa intralumen colon asenden proksimal/caecum dengan
multiple limfadenopathia mesenterial/omentum. Kemudian pasien dianjurkan
untuk dilakukan operasi.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat Asma : disangkal
 Riwayat Tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat Kencing Manis : disangkal
 Riwayat Penyakit Jantung : disangkal
 Riwayat Alergi Obat/Makanan : disangkal
 Riwayat Operasi : disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
 Pada keluarga pasien tidak ada riwayat benjolan atau kanker.
 Ibu pasien mempunyai riwayat penyakit hipertensi.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Berat Badan : 49 kg
Tanda vital
Tekanan darah : 114/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Nafas : 22 x/menit
Suhu : 36ºC
SpO2 : 98%
Kepala : Normocephali
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : Normal, sekret (-/-), hiperemis (-/-)
Hidung : Deformitas (-), darah (-)
Mulut : Bibir sianosis (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

Thorax
Cor : Bunyi Jantung Reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Pulmo : Vesikuler, Rh (-/-), Whz (-/-)

Abdomen
Inspeksi : Tampak adanya luka bekas operasi yang tertutup kasa
Palpasi : Supel, nyeri tekan abdomen (+)
Perkusi : Timpani pada seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) Normal

Ekstremitas
Superior : Akral hangat (+/+), Udem kedua tangan (-/-)
Inferior : Akral hangat (+/+), Udem kedua kaki (-/-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Patologi Anatomi/Sitologi (16-1-23)
Diagnosis klinik: tumor colon ascendens
Kesimpulan:
- Ileokolitis kronik-akut, perforatif dengan batas sayatan ileum masih
mengandung lesi
- Batas sayatan ileum masih ditemukan focus mukosa erosif
- Ditemukan 5 KGB tanpa kelainan bermakna
- Appendisitis kronik dengan abses di submukosa

V. RESUME
Laki-laki 49 tahun datang dengan keluhan adanya benjolan pada perut bagian
kanan bawah sejak ±2 tahun yang lalu. Benjolan teraba permukaannya licin dan
tidak bisa digerakkan. Awalnya pasien sering merasakan begah diperut, dirasakan
terus-menerus sehingga membuat porsi makan berkurang dan sering terlambat
makan, sehingga pasien mengalami penurunan BB sebanyak 10 kg. Pasien
mempunyai riwayat penyakit TB Paru. Pasien menjalani pengobatan TB terlebih
dahulu ±6 bulan, setelah itu baru melanjutkan pengobatan untuk benjolan diperut.
Saat dilakukan CT-Scan Abdomen, didapatkan hasil terdapat massa intralumen
colon asenden proksimal/caecum dengan multiple limfadenopathia
mesenterial/omentum.
Dari pemeriksaan fisik, keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran
compos Mentis, TD 114/70 mmHg, nadi 80 x/menit, pernafasan 22 x/menit, suhu
36C, SpO2 98%, BB 49 kg. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan, tampak
adanya luka bekas operasi yang tertutup kasa, nyeri tekan abdomen (+).

VI. Diagnosa Kerja


Post laparatomi hemikolektomi a/i tumor kolon asendens

VII. Diagnosa Banding


 GIST
 Kanker usus halus
 Gastrointestinal lymphoma

VIII. TATA LAKSANA


 RL 1000 cc
 Kalbamin 1000 cc/24 jam
 Ceftazidine 2x1 gr
 Ketorolac 3x1
 Amikasin 2x500 mg
 Omeprazole 1x40 mg
 Paracetamol 3x1 gr
 Ondancentron 3x4 mg
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

X. FOLLOW UP
Tanggal Subyektif Obyektif Assesment Terapi
6-1-23 Nyeri pada bekas Ku: tampak sakit Tumor colon -RL 1000 cc/24
operasi berkurang, sedang, asendens post jam
cegukan Kesadaran: CM, op -Kalbamin 1000
TD: 102/58, N: hemikolektomi cc/24 jam
62, RR: 18, S: 36 hari ke-2 -Ceftazidine
2x1 gr
-Ketorolac 3x1
-Amikasin
2x500 mg
-Omeprazole
1x1
-Paracetamol
3x1 gr
-Ondancentron
3x4 mg
7-1-23 Nyeri luka bekas Ku: tampak sakit Post explorasi -Ceftazidine
operasi (+), lemas sedang, reseksi ileum 2x1 gr
Kesadaran: CM, kolon asendens -Ketorolac 3x1
TD: 113/76, N: + fistul -Amikasin
92, RR: 20, S: omentectomy 2x500 mg
36,6 hari ke-3 a/i -Omeprazole
Abdomen: nyeri tumor kolon 1x1
tekan (+), rembes asendens -Paracetamol
(+) warna 3x1 gr
kecoklatan -Ondancentron
3x4 mg

9-1-23 BAB cair 3x, Ku: tampak sakit Post explorasi -Ceftazidine
ampas (+), warna sedang, reseksi ileum 2x1 gr
cokelat kekuningan Kesadaran: CM, kolon asendens -Ketorolac 3x1
TD: 115/80, N: + fistul -Amikasin
88, RR: 20, S: omentectomy 2x500 mg
36,3 hari ke-5 a/i -Omeprazole
Abdomen: nyeri tumor kolon 1x1
tekan (+), rembes asendens -Paracetamol
(+) 3x1 gr
-Ondancentron
3x4 mg
-Haloperidol 5
mg
10-1-23 Nyeri luka bekas Ku: tampak sakit Post explorasi -Ceftazidine
operasi (+), mual sedang, reseksi ileum 2x1 gr
(+), muntah 1x, Kesadaran: CM, kolon asendens -Ketorolac 3x1
BAB cair 1x, TD: 110/75, N: + fistul -Amikasin
ampas (+), warna 80, RR: 20, S: 36 omentectomy 2x500 mg
kuning berlendir NGT (+) warna hari ke-6 a/i -Omeprazole
hitam kecoklatan tumor kolon 1x1
Abdomen: nyeri asendens -Paracetamol
tekan (+), rembes 3x1 gr
(+) -Ondancentron
3x4 mg
-Haloperidol 5
mg
11-1-23 Nyeri luka bekas Ku: tampak sakit Post explorasi -Ceftazidine
operasi (+), mual sedang, reseksi ileum 2x1 gr
(+), muntah 2x, Kesadaran: CM, kolon asendens -Ketorolac 3x1
nyeri ulu hati TD: 110/75, N: + fistul -Amikasin
82, RR: 20, S: omentectomy 2x500 mg
36,2 hari ke-7 a/i -Omeprazole
NGT (+) warna tumor kolon 1x1
hitam kecoklatan asendens -Paracetamol
Abdomen: nyeri 3x1 gr
tekan (+), rembes -Ondancentron
(+) 3x4 mg
-Haloperidol 5
mg
BAB I
PENDAHULUAN

Tumor usus halus jarang terjadi, sebaliknya tumor usus besar (kolon) atau
rectum relative umum. Adenokarsinoma dari usus besar dan rektum adalah
termasuk dalam tiga keganasan yang paling umum dijumpai sebagai kanker baru
dan penyebab kematian baik pada pria (setelah prostat dan paru-paru / bronkus)
dan wanita ( setelah payudara dan paru-paru / bronkus) di Amerika Serikat. 1
Diperkirakan bahwa pada tahun 2007, ada 112.340 kasus baru kanker usus besar
(55.290 pria dan 57.050 wanita) dan 41.420 kasus baru kanker rektal (23.840 pria
dan 17.580 wanita) didiagnosis. Pada tahun 2007, 52.180 orang Amerika (26.000
pria dan 26.180 wanita) diperkirakan meninggal akibat kanker kolorektal. Di
Amerika Serikat menempati urutan kedua untuk kanker organ visceral dan 20%
dari kematian karena penyakit kanker adalah akibat kanker kolorektal.1,2
Karsinoma kolorektal banyak terdapat di Eropa Barat, Amerika Utara. Di
Asia, banyak terdapat di Jepang, diduga karena perbedaan pola hidup dan
makanan. Beberapa faktor antara lain lingkungan, genetik dan immunologi
merupakan faktor predisposisi tumbuhnya kanker kolon, di samping bahan
karsinogen, bakteri dan virus. Menurut Petrek, lokasi keganasan kolorektal
terbanyak pada rektum (22%), rekto sigmoid (8%), sigmoid (20%), kolon
desenden (12%), flexura lienalis (8%), kolon tranversum (6%), flexura hepatika
(4%), kolon asenden (6%), cecum (12%),appendix (2%).2 Gejala klinik
karsinoma kolorektal tergantung dari lokasi tumor. Kanker cecum dan kolon
asenden biasanya tidak memberikan gejala obstruksi, sedangkan kanker rekto
sigmoid dapat menyumbat lumen atau berdarah. Lebih dari 156.000 orang
terdiagnosa setiap tahunnya, kira-kira setengah dari jumlah tersebut meninggal
setiap tahunnya, meskipun sekitar tiga dari empat pasien dapat diselamatkan
dengan diagnosis dini dan tindakan segera.1
BAB II
TUMOR KOLON

2.1 DEFINISI
Neoplasma adalah pertumbuhan baru (atau tumor) massa yang tidak
normal akibat proliferasi sel yang beradaptasi tanpa memiliki keuntungan dan
tujuan. Neoplasma terbagi atas jinak atau ganas. Neoplasma ganas disebut juga
sebagai kanker. Jika menyerang kolon, maka disebut kanker kolon, bila mengenai
di rektum, maka disebut kanker rektum. Bila mengenai kolon maupun rektum
maka disebut kanker kolorektal.3,4

2.2 TUMOR JINAK


Tumor jinak pada kolon atau bisa disebut polip adalah petumbuhan
jaringan yang menonjol ke dalam lumen traktus gastrointestinal. Secara umum
terdapat 2 tipe polip jinak yaitu polip non-neoplastik dan polip neoplastik. Polip
non-neoplastik terdiri dari hamartoma, polip hyperplastik dan polip inflamasi.
Polip neoplastik terdiri dari berbagai macam polip adenomatous dan poliposis coli
herediter.5
2.2.1 Polip
1. Polip non-neoplastik
a. Hamartoma
Hamartoma dikarakteristikkan dengan pertumbuhan yang berlebihan dari
komponen colon normal seperti epitel dan jaringan penghubung. Hamartoma tidak
mempunyai potensi keganasan dan kurang atipik atau invasi. Polip Juvenil,
Sindroma Cronkhite-Canada, Sindroma Peutz-Jeghers mempunyai karakteristik
hamartoma.5
 Polip Juvenil
Terdapat pada anak-anak, kadang-kadang pada dewasa, dan ditemukan pada
seluruh colon. Biasanya tumor mengalami regresi spontan dan tidak bersifat
ganas. Gejala klinis utama adalah perdarahan spontan, kadang disertai lendir;
karena selalu bertangkai, dapat menonjol keluar dari anus pada saat defekasi;
nyeri abdomen karena autoamputasi polip atau intussussepsi. Karena bisa
mengalami regresi spontan, terapinya tidak perlu agresif.5
 Sindroma Cronkhite-Canada
Dikarakteristikan dengan poliposis gastrointestinal yang menyeluruh,
hiperpigmentasi kulit, alopecia, dan distrofi kuku. Kelainan ini tidak diturunkan
secara genetik. Onset rata-rata pada umur 60 tahun. Predileksi polip yang paling

sering di gaster dan colon, jarang pada oesophagus dan usus halus. Gejala
klinisnya adalah nyeri abdomen, diare, perdarahan, anorexia sehingga terjadi
penurunan berat badan, malabsorbsi, dan anemia. Remisi terjadi spontan atau
setelah pemberian terapi medikamentosa atau gastrectomy parsial.
Penatalaksanaan dengan polipectomy untuk diagnosis dan terapi suportif.5
 Sindroma Peutz-Jeghers
Dikarakteristikan dengan poliposis gastrointestinal yang menyeluruh dan
area pigmentasi pada mukokutan. Sindroma ini diturunkan melalui gen autosomal
dominan. Seluruh traktus gastrointestinal dapat terkena, namun paling sering di
usus halus. Onsetnya pada usia muda, antara 10-30 tahun. Gejala klinik berupa
muntah, perdarahan, nyeri abdomen. Pembedahan merupakan terapi konservatif
untuk mengatasi gejala sekunder akibat ulserasi polip, obstruksi atau
intussussepsi. Progresifitas ke arah keganasan jarang terjadi. Beberapa pasien
mempunyai kecenderungan timbulnya keganasan pada organ lain seperti
pankreas, payudara, dan ovarium.4,5
b. Polip hiperplastik
Merupakan polip kecil yang berdiameter kurang dari 5 mm yang berasal
dari epitel mukosa yang hiperplastik. Dikenal juga sebagai polip metaplastik. Tipe
ini merupakan polip colon yang paling sering. Polip hiperplastik sendiri adalah
non-neoplastik, namun sering ditemukan pada pasien carcinoma colon.
Etiologinya belum jelas, diduga karena infeksi virus. Umumnya polip ini tidak
bergejala, tetapi disarankan dilakukan polypectomy dan dibiopsi untuk diagnosis
histologik.5

c. Polip inflamasi
Tipe polip ini dapat singel atau multipel. Bila multipel, biasanya terdapat
inflammatory bowel disease. Polip sebaiknya dibuang dan diperiksa secara
patologis. Jika terdapat colitis ulseratif aktif maka harus diterapi.4,5
2. Polip neoplasik
a. Polip adenomatous

Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi


maligna dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,
tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa

adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous


adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.5
 Adenoma Tubular

Adenoma tubular pada umumnya pedunculated tetapi dapat pula tumbuh


flat. Mikroskopis berupa proliferasi kripti yang dilapisi epitel kolumner yang
displastik. Pada perjalanannya bentuk tubular dapat dapat membentuk cabang-
cabang. Lamina propria bersebukan pada limfosit, sel plasma dan eosinofil.5

 Adenoma Villosum

Berupa proliferasi kelenjar yang membentuk pola seperti jari-jari atau


berupa papilla-papilla runcing. Papilla dilapisi sel epitel yang displastik.6

Gambar 2. Adenoma Villosum


 Adenoma Tubulovillosum

Merupakan bentuk campuran bentuk tubular dan villi, dapat juga berupa
struktur adenoma villosum yang mengandung struktur tubuler.Pada adenoma tipe
ini struktur villi berkisar antara 35-75 %.4

Gambar 3. Adenoma Tubulovillosum

Patofisiologi adenoma dikarakteristikan sebagai proliferasi berlebihan


dengan maturasi sel yang lambat. Normalnya sel epitel mukosa colon diganti
setiap 4 sampai 8 hari, dengan keseimbangan antara pembentukan dan kematian
sel, dan migrasi dari 2/3 basal kripta colon. Pada adenoma, proliferasi juga terjadi
pada bagian atas kripta dengan akumulasi sel pada permukaan luminar.4
Kebanyakan pasien dengan polip adenoma adalah asimptomatik, namun
dapat juga terdapat hematochezia, obstruksi, nyeri, mucus discharge, atau diare.
Kebanyakan polip ini ditemukan secara kebetulan.5

Dewasa ini, hipotesis yang diterima adalah bahwa kebanyakan carcinoma


colon berasal dari adenoma benign sebelumnya. Predileksi tersering pada
adenoma dan carcinoma adalah di colon distal dan caecum. Carcinoma timbul dari
adenoma yang tak diterapi. Adenoma yang lebih dari 15 tahun akan berisiko
menjadi carcinoma. Sering terdapat koeksistensi antara bekas adenoma dengan
carcinoma colon. Deteksi dini dan pembuangan polip adenoma diharapkan dapat
menurunkan insidensi carcinoma colon.4

2.2.2 Inherited Colorectal Carcinoma


a. Familial adenomatous poliposis (FAP)
Merupakan kelainan herediter yang diturunkan secara autosomal dominan.
Gambaran utamanya adalah polip adenoma difus pada seluruh traktus
gastrointestinal bagian bawah. Biasanya timbul pada dekade kedua, namun dapat
juga timbul lebih awal. Kelainan ini berpotensi menjadi keganasan, dimana jika
tidak diterapi, maka insidensi perubahan keganasan adalah 100%. Usia rata-rata
diagnosis carcinoma adalah 40 tahun, namun dapat juga didiagnosis pada awal

dekade pertama. Perjalanan penyakit dihambat dengan pembuangan colon yang


terkait secepat dan seagresif mungkin sebelum onset keganasan. Proctocolectomy
total dengan anastomosis ileal pouch-anal dapat mencegah carcinoma colorectal
dan menyediakan jalur untuk defekasi. Alternatif lainnya adalah colectomy
subtotal dengan ileoproctostomy, jika tidak ada polip pada rectum. Keluarga
pasien perlu diperiksa dengan proctoscopy setiap tahunnya mulai dari usia 10
tahun, sehingga diagnosis dan terapi yang cepat dapat mencegah carcinoma
colorectal.5,6

b. Sindroma Gardner’s

Adalah kelainan yang di turunkan secara dominan, yang di tandai oleh


trias adenoma kolon, tumor tulang (oseoma) dan tumor jaringan lunak (lipoma,
kista sebaea, fibroma, fibrosarkoma). Gambaran penyerta lain mencangkup
fibrosis retroperineum, gigi tambahan serta kecenderungan ke arah perkembangan
karsinoma tiroidea, glandula adrenal dan duodenum dalam daerah ampula vater.5

c. Sindroma Turcot’s

Sindroma Turcot menunjukan hubungan yang jarang antara adenoma


kolon dengan berbagai tumor di sistem saraf pusat. Polip mempunyai frekuensi
trasformasi keganasan yang tinggi. Lesi sistem saraf pusat mencangkup
medulablastoma, ependimoma dan ganglioblastoma. Cara penularan dianggap
autosom resesif walaupun hal ini belum jelas.6

d. Penatalaksanaan3,5

Polip berpedunkulasi ukuran apapun dan polip sesil kurang dari 2 cm


biasanya dapat di buang menggunakan jerat kauter dengan kolonoskopi.
Walaupun polip sesil yang lebih besar dapat di eksisi secara segmental melalui
kolonoskop, namun pendekatan ini mungkin tidak ideal karna banyak yang
bersifat kanker dan resiko komplikasi selama pembuangan meningkat secara
bermakna. Karena juga ada resiko yang terlibat dalam laparatomi dan eksisi, maka
tiap pasien harus di pertimbangkan secara sendiri-sendiri. Setelah polipektomi

endoskopi, pasien harus diperiksa secara periodik. Biasanya kolonoskopi ulang di


lakukan 1 tahun kemudian dan 3 tahun setelah itu untuk mencari lesi baru atau
tambahan. Jika pasien menderita adenoma majemuk maka kolonoskopi di lakukan
setiap tahun. Jika laparatomi diperlukan untuk eksisi, setelah memaparkan kolon,
polip di palpso dan dinding kolon di insisi pada tempat polip. Kemudian polip di
buang dan kolotomi di tutup. Kolektomi segmental jarang di perlukan dan bahkan
jika ditemukan perubahan ganas di ujung polip, jika polip tidak menembus lamina
muskularis mukosa, maka tidak perlu di lakukan tindakan lebih lanjut. Jika kanker
telah menembus lamina muskularis mukosa dan invasi pemuluh limfe telah
terlihat, jika kanker berdifrensiasi buruk atau jika telah meluas ketepi eksisi pada
kolonoskopi maka laparatomi tindak lanjut dengan reseksi segmental seperti rutin
di gunakan untuk adenokarsinoma kolon adalah tepat. 5,6
2.3 TUMOR GANAS COLON
2.3.1 Definisi
Karsinoma kolon/usus besar adalah tumbuhnya sel kanker yang ganas di
dalam permukaan usus besar atau rektum. Karsinoma kolon adalah pertumbuhan
sel yang bersifat ganas yang tumbuh pada kolon dan menginvasi jaringan
sekitarnya. Kanker kolon adalah suatu bentuk keganasan dari masa abnormal/
neoplasma yang muncul dari jaringan ephitalialdari kolon.6

Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa


karsinoma kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat ganas dan
merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (usus besar). Bisa mengenai
organ apa saja di tubuh manusia. Bila menyerang di kolon, maka disebut kanker
kolon, bila mengenai di rektum, maka disebut kanker rektum. Bila mengenai
kolon maupun rektum maka disebut kanker kolorektal.6
2.3.2 Epidemiologi
Di dunia kanker kolon menduduki peringkat ketiga pada tingkat insiden
dan mortalitas. Pada tahun 2002 terdapat lebih dari 1 juta insiden kanker kolon
dengan tingkat mortalitas lebih dari 50%. 9,5% pria penderita kanker terkena
kanker kolon, sedangkan pada wanita angkanya mencapai 9,3% dari total jumlah

penderita kanker. Angka insiden tertinggi terdapat pada Eropa, Amerika, Australia
dan Selandia baru, sedangkan angka insiden terendah terdapat pada India,
Amerika Selatan dan Arab Israel. Didapatkan suatu hubungan yaitu 1) terdapat
perbedaan insiden pada pria dan wanita yang berusia lanjut, yang meningkat
seiring dengan usia 2) meningkatnya insiden kanker kolon seiring dengan
kepadatan penduduk 3) rendahnya insiden pada pria yang belum pernah
menikah.6,7
Kanker kolon merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering
terdapat pada pria maupun wanita. Di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus
kanker kolon, data di Departemen Kesehatan didapati angka 1,8 per 100 ribu
penduduk. Sejak tahun 1994-2003, terdapat 372 keganasan kolorektal yang datang
berobat ke RS Kanker Dharmais (RSKD). Berdasarkan data rekam medik hanya
didapatkan 247 penderita dengan catatan lengkap, terdiri dari 203 (54,57%) pria
dan 169 (43,45%) wanita berusia antara 20-71 tahun.4,6
2.3.3 Etiologi dan Faktor Resiko
1. Kelainan di kolon
a. Polip
Polip telah diketahui potensial untuk menjadi kanker kolorektal. Evolusi
dari kanker itu sendiri merupakan sebuah proses yang bertahap, dimana proses
dimulai dari hiperplasia sel mukosa, pembentukan adenoma, perkembangan dari

displasia menuju transformasi maligna dan invasif kanker. Aktifasi onkogen,


inaktifasi tumor supresi gen, dan kromosomal deletion memungkinkan
perkembangan dari formasi adenoma, perkembangan dan peningkatan displasia
dan invasif karsinoma.7
Neoplastik polip atau adenomatous polip berpotensial berdegenerasi
maligna; dan berdasarkan WHO diklasifikasikan sebagai tubular adenoma,
tubulovillous adenoma dan villous adenoma. Tujuh puluh persen dari polip berupa
adenomatous, dimana 75%-85% tubular adenoma, 10%-25% tubulovillous
adenoma dan villous adenoma dibawah 5%.7

Gambar 4. Adenomatous Polip


Displasia dapat dikategorikan menjadi low atau high grade. Enam persen
dari adenomatous polip berupa high grade displasia dan 5% didalamnya berupa
invasif karsinoma pada saat terdiagnosa. Potensi malignansi dari adenoma
berkorelasi dengan besarnya polip, tingkat displasia, dan umur. Polip yang
diameternya lebih besar dari 1 cm, berdisplasia berat dan secara histologi
tergolong sebagai villous adenoma dihubungkan dengan risiko tinggi untuk
menjadi kanker kolorektal. Polip yang berukuran kecil (<1 cm) tidak berhubungan
dengan meningkatnya timbulnya kanker kolorektal. Insiden dari kanker
meningkat dari 2,5-4 kali lipat jika polip lebih besar dari 1 cm, dan 5-7 kali lipat
pada pasien yang mempunyai multipel polip. Waktu yang dibutuhkan untuk
menjadi malignansi tergantung beratnya derajat displasia.6,7
b. Idiopathic Inflammatory Bowel Disease

 Ulseratif kolitis merupakan faktor risiko yang jelas untuk kanker


kolon, sekitar 1% dari pasien yang memiliki riwayat kronik ulseratif kolitis.
Risiko perkembangan kanker pada pasien ini berbanding terbalik pada usia
terkena kolitis dan berbanding lurus dengan keterlibatan dan keaktifan dari
ulseratifkolitis. Risiko kumulatif adalah 2% pada 10 tahun, 8% pada 20 tahun,
dan 18% pada 30 tahun. Pendekatan yang direkomendasikan untuk seseorang
dengan risiko tinggi dari kanker kolorektal pada ulseratif kolitis dengan
mengunakan kolonoskopi untuk menentukan kebutuhan akan total
proktokolektomi pada pasien
dengan kolitis yang durasinya lebih dari 8 tahun.8
 Penyakit Crohn’s
Pasien yang menderita penyakit crohn’s mempunyai risiko tinggi untuk
menderita kanker kolorektal tetapi masih kurang jika dibandingkan dengan
ulseratif kolitis. Keseluruhan insiden dari kanker yang muncul pada penyakit
crohn’s sekitar 20%. Pasien dengan striktur kolon mempunyai insiden yang tinggi
dari adenokarsinoma pada tempat yang terjadi fibrosis. Telah dilaporkan juga
bahwa squamous sel kanker dan adenokarsinoma meningkat pada fistula kronik
pasien dengan crohn’s disease.8

2. Faktor Genetik
a. Riwayat Keluarga
Sekitar 15% dari seluruh kanker kolon muncul pada pasien dengan
riwayat kanker kolorektal pada keluarga terdekat. Seseorang dengan keluarga
terdekat yang mempunyai kanker kolorektal mempunyai kemungkinan untuk
menderita kanker kolorektal dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan
seseorang yang tidak memiliki riwayat kanker kolorektal pada keluarganya.7
b. Herediter Kanker Kolorektal
Abnormalitas genetik terlihat mampu memediasi progresi dari normal
menuju mukosa kolon yang maligna. Sekitar setengah dari seluruh karsinoma dan
adenokarsinoma yang besar berhubungan dengan mutasi. Langkah yang paling
penting dalam menegakkan diagnosa dari sindrom kanker herediter yaitu riwayat
kanker pada keluarga. Mutasi sangat jarang terlihat pada adenoma yang lebih
kecil dari 1 cm. Allelic deletion dari 17p ditunjukkan pada ¾ dari seluruh kanker
kolon, dan deletion dari 5q ditunjukkan lebih dari 1/3 dari karsinoma kolon dan
adenoma yang besar. Dua sindrom yang utama dan beberapa varian yang utama
dari sindrom ini menyebabkan kanker kolorektal telah dikenali karakternya. Dua
sindrom ini, dimana mempunyai predisposisi menuju kanker kolorektal memiliki
mekanisme yang berbeda, yaitu familial adenomatous polyposis (FAP) dan
hereditary non polyposis colorectal cancer (HNPCC).7,8
3. Diet

Masyarakat yang diet tinggi lemak, tinggi kalori, daging dan diet rendah
serat berkemungkinan besar untuk menderita kanker kolorektal pada kebanyakan
penelitian, meskipun terdapat juga penelitian yang tidak menunjukkan adanya
hubungan antara serat dan kanker kolorektal.
Ada dua hipotesis yang menjelaskan mekanisme hubungan antara diet dan
resiko kanker kolorektal. Teori pertama adalah pengakumulasian bukti
epidemiologi untuk asosiasi antara resistensi insulin dengan adenoma dan kanker
kolorektal. Mekanismenya adalah menkonsumsi diet yang berenergi tinggi
mengakibatkan perkembangan resistensi insulin diikuti dengan peningkatan level
insulin, trigliserida dan asam lemak tak jenuh pada sirkulasi. Faktor sirkulasi ini
mengarah pada sel epitel kolon untuk menstimulus proliferasi dan juga
memperlihatkan interaksi oksigen reaktif. Pemaparan jangka panjang hal tersebut
dapat meningkatkan pembentukan kanker kolorektal. Hipotesis kedua adalah
identifikasi berkelanjutan dari agen yang secara signifikan menghambat
karsinogenesis kolon secara experimental. Dari pengamatan tersebut dapat
disimpulkan mekanismenya, yaitu hilangnya fungsi pertahanan lokal epitel
disebabkan kegagalan diferensiasi dari daerah yang lemah akibat terpapar toksin
yang tak dapat dikenali dan adanya respon inflamasi fokal, karakteristik ini
didapat dari bukti teraktifasinya enzim COX-2 dan stres oksidatif dengan
lepasnya mediator oksigen reaktif. Hasil dari proliferasi fokal dan mutagenesis
dapat meningkatkan resiko terjadinya adenoma dan aberrant crypt foci. Proses ini
dapat dihambat dengan (a) demulsi yang dapat memperbaiki permukaan lumen
kolon; (b) agen anti-inflamasi; atau (c) anti-oksidan. Kedua mekanisme tersebut,
misalnya resistensi insulin yang berperan melalui tubuh dan kegagalan pertahanan
fokal epitel yang berperan secara lokal, dapat menjelaskan hubungan antara diet
dan resiko kanker kolorektal.6,7
4. Gaya Hidup
Pria dan wanita yang merokok kurang dari 20 tahun mempunyai risiko tiga
kali untuk memiliki adenokarsinoma yang kecil, tapi tidak untuk yang besar.
Sedangkan merokok lebih dari 20 tahun berhubungan dengan risiko dua setengah
kali untuk menderita adenoma yang berukuran besar. Pemakaian alkohol juga
menunjukkan hubungan dengan meningkatnya risiko kanker kolorektal.6
Pada berbagai penelitian telah menunjukkan hubungan antara aktifitas,
obesitas dan asupan energi dengan kanker kolorektal. Pada percobaan terhadap
hewan, pembatasan asupan energi telah menurunkan perkembangan dari kanker.
Interaksi antara obesitas dan aktifitas fisik menunjukkan penekanan pada aktifitas
prostaglandin intestinal, yang berhubungan dengan risiko kanker kolorektal. The
Nurses Health Study telah menunjukkan hubungan yang berkebalikan antara
aktifitas fisik dengan terjadinya adenoma, yang dapat diartikan bahwa penurunan
aktifitas fisik akan meningkatkan risiko terjadinya adenoma.7
5. Usia
Proporsi dari semua kanker pada orang usia lanjut (≥ 65 thn) pria dan
wanita adalah 61% dan 56%. Frekuensi kanker pada pria berusia lanjut hampir 7
kali (2158 per 100.000 orang per tahun) dan pada wanita berusia lanjut sekitar 4
kali (1192 per 100.000 orang per tahun) bila dibandingkan dengan orang yang
berusia lebih muda (30-64 thn). Peningkatan resiko kanker kolorektal meningkat
sesuai dengan usia.8
Menurut WHO, faktor resiko kanker kolorektal :

1. Berusia > 50 tahun


2. Sindroma adenomatous popilposis ( familial, hamartomatous poliposis

dan Peutz jagers sindrom)


3. Riwayat kanker kolorektal pada keluarga
4. Inflamatory bowel disease
5. Riwayat menderita kanker kolorektal
6. Riwayat menderita polip kolrektal
2.3.4 Letak
Sekitar 75% carcinoma colorectal ditemukan di rectosigmoid.2,7

Letak Persentase
Caecum dan colon ascendens 25
Colon transversum 10
Colon descendens 15
Rectosigmoid 50
Tabel 1. Carcinoma Colon
2.3.4 Klasifikasi
Sistem Dukes
Derajat keganasan karsinoma kolon dan rektum berdasarkan gambaran
histologik dibagi menurut klasifikasi Dukes. Klasifikasi Dukes dibagi berdasarkan
dalamnya infiltrasi karsinoma di dinding usus.5,7

Dukes Dalamnya infiltrasi Prognosis hidup setelah 5

tahun
A Terbatas di dinding usus 97%
B Menembus lapisan muskularis mukosa 80%
C Metastasis kelenjar limfe
C1 Beberapa kelenjar limfe dekat tumor 65%
primer
C2 35%
Dalam kelenjar limfe jauh
D <5%
Metastasis jauh
Tabel 2. Sistem Dukes
Stadium O menunjukkan cancer in situ. Sel kanker hanya terdapat di
dalam mukosa kolon. Pada umumnya kanker kolon pada tahap ini dapat ditangani
dengan polypectomy (menghilangkan massa jaringan yang berkembang di dalam
dinding).5

Gambar 5. Kanker stadium 0


Pada kanker stadium I, kanker telah tumbuh melewati mukosa dan
menginvasi lapisan otot kolon dan rectum. Kanker belum menyebar ke jaringan
sekitar atau limfonodi (T1 atau T2, N0, M0).7

Gambar 6. Kanker stadium I

Pada kanker stadium IIa, sel kanker telah menyebar melewati dinding
kolon dan rektum dan mungkin telah menyebar ke jaringan sekitar. Kanker belum
menyebar ke limfonodi terdekat (T3, N0, M0). Pada stadium IIb, sel kanker
telah menyebar melewati kolon atau rektum. Kanker belum menyebar ke
limfpnodi terdekat (T4, N0, M0).5

Gambar 7. Kanker stadium IIa dan b


Pada stadium IIIa, sel kanker telah tumbuh melewati batas dalam atau
masuk ke lapisan otot saluran cerna dan satu sampai tiga limfonodi, tetapi belum
menyebar ke bagian tubuh yang lain (T1 atau T2, N1, M0).5

Gambar 8. Kanker stadium IIIa

Pada stadium IIIb, sel kanker telah tumbuh melewati dinding saluran
cerna atau organ sekitar dan terdapat pada satu sampai tiga limfonodi, tetapi
belum menyebar ke bagian tubuh yang lain (T3 atau T4, N1, M0).5

Gambar 9. Kanker stadium IIIb

Pada stadium IIIc, sel kanker (semua ukuran) telah menyebar pada empat
atau lebih limfonodi, tetapi tidak pada organ distal tubuh. (semua T, N2, M0).5

Gambar 10. Kanker stadium IIIc


Pada stadium IV, sel kanker telah metastasis ke bagian distal tubuh,
seperti hati dan paru-paru (semua T, semua N, M1)7

Gambar 11. Kanker stadium IV

Sistem TNM

The American Joint Committee on Cancer (AJCC) dan the International


Union Against Cancer (IUAC) mengklasifikasikan karsinoma kolon dan rektum
menggunakan sistem TNM. Klasifikasi TNM untuk kanker kolon dan rektum
(AJCC):7
 Tumor primer (T)
o TX : Tumor primer sulit dinilai atau kedalaman penetrasi tidak spesifik
o T0 : Tidak ada bukti adanya tumor primer
o Tis : Carcinoma in situ (mukosal); intraepithelial atau invasio pada lamina
propria
o T1 : Tumor menginvasi submukosa
o T2 : Tumor menginvasi muscularis propria
o T3 : Tumor menginvasi melalui muscularis propria ke dalam subserosa atau ke
dalam perikolik nonperitonial atau jaringan perirektal
o T4 : Tumor secara langsung menginvasi organ lain atau struktur dan atau
perforasi peritoneum viseral.
 Limfonodi regional (N)
o NX : Limfonodi regional tidak dapat dinilai
o N0 : Tidak ada metastasis limfonodi regional
o N1 : Metastasis pada 1-3 limfonodi perikolik atau perirektal
o N2 : Metastasis pada 4 atau lebih limfonodi perikolik atau perirektal
o N3 : Metastasis pada semua limfonodi yang ada dalam tubuh
 Metastasis jauh (M)
o MX : Adanya metastasis tidak dapat dinilai
o M0 : Tidak ada metastasis jauh
o M1 : Metastasis jauh
Perbandingan Klasifikasi TNM Staging System dengan klasifikasi Dukes

2.3.6 Patologi
Secara makroskopis terdapat 3 tipe carcinoma colorectal. Tipe polipoid
atau vegetatif tumbuh menonjol ke dalam lumen usus, berbentuk bunga kol dan
terutama ditemukan di caecum dan colon ascendens. Tipe skirus mengakibatkan
penyempitan sehingga terjadi stenosis dan gejala obstruksi, terutama ditemukan di
colon descendens, sigmoid dan rectum. Bentuk ulceratif terjadi karena nekrosis di
bagian sentral, terdapat di rectum. Pada tahap lebih lanjut, sebagian besar
carcinoma colon dapat mengalami ulserasi dan menjadi ulcus maligna.2,7

2.3.7 Patofisiologi
Secara umumnya dinyatakan bahwa untuk perkembangan karsinoma kolon
merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan genetik. Faktor lingkungan
multiple beraksi terhadap predisposisi genetik atau defek yang didapat dan
berkembang menjadi karsinoma kolon. Evolusi dari kanker itu sendiri merupakan
sebuah proses yang bertahap, dimana proses dimulai dari hiperplasia sel mukosa,
adenoma formation, perkembangan dari displasia menuju transformasi maligna
dan invasif kanker. Aktifasi onkogen, inaktifasi tumor supresi gen, dan
kromosomal deletion memungkinkan perkembangan dari formasi adenoma,
perkembangan dan peningkatan displasia dan invasif karsinoma.6
Ada tiga kelompok utama gen yang terlibat dalam regulasi pertumbuhan
sel yaitu proto-onkogen, gen penekan tumor (Tumor Suppresor Gene = TSG), dan
gen gatekeeper. Proto-onkogen menstimulasi dan meregulasi pertumbuhan dan
pembelahan sel. TSG menghambat pertumbuhan sel atau menginduksi apoptosis
(kematian sel yang terprogram). Kelompok gen ini dikenal sebagai anti-onkogen,
karena berfungsi melakukan kontrol negatif (penekanan) pada pertumbuhan sel.
Gen p53 merupakan salah satu dari TSG yang menyandi protein dengan berat
molekul 53 kDa. Gen p53 juga berfungsi mendeteksi kerusakan DNA,
menginduksi reparasi DNA. Gen gatekeeper berfungsi mempertahankan integritas
genomik dengan mendeteksi kesalahan pada genom dan memperbaikinya. Mutasi
pada gen-gen ini karena berbagai faktor membuka peluang terbentuknya kanker. 5,9
Pada keadaan normal, pertumbuhan sel akan terjadi sesuai dengan
kebutuhan melalui siklus sel normal yang dikendalikan secara terpadu oleh fungsi
proto-onkogen, TSG, dan gen gatekeeper secara seimbang. Jika terjadi
ketidakseimbangan fungsi ketiga gen ini, atau salah satu tidak berfungsi dengan
baik karena mutasi, maka keadaan ini akan menyebabkan penyimpangan siklus
sel. Pertumbuhan sel tidak normal pada proses terbentuknya kanker dapat terjadi
melalui tiga mekanisme, yaitu perpendekan waktu siklus sel, sehingga akan
menghasilkan lebih banyak sel dalam satuan waktu, penurunan jumlah kematian
sel akibat gangguan proses apoptosis, dan masuknya kembali populasi sel yang
tidak aktif berproliferasi ke dalam siklus proliferasi. Gabungan mutasi dari ketiga
kelompok gen ini akan menyebabkan kelainan siklus sel, yang sering terjadi
adalah mutasi gen yang berperan dalam mekanisme kontrol sehingga tidak
berfungsi baik, akibatnya sel akan berkembang tanpa kontrol (yang sering terjadi
pada manusia adalah mutasi gen p53). Akhirnya akan terjadi pertumbuhan sel
yang tidak diperlukan, tanpa kendali dan karsinogenesis dimulai.9
2.3.8 Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala dari kanker kolon sangat bervariasi dan tidak spesifik.
Keluhan utama pasien dengan kanker kolorektal berhubungan dengan besar dan
lokasi dari tumor. Gejala klinis karsinoma pada kolon kiri berbeda dengan kolon
kanan. Karsinoma kolon kiri sering bersifat skirotik sehingga lebih banyak
menimbulkan gejala obstruksi dan stenosis, terlebih karna feses sudah menjadi
padat. Pada karsinoma kolon kanan jarang terjadi stenosis dan feses masih cair
sehingga tidak ada factor obstruksi.7
Kolon kanan memiliki kaliber yang besar, tipis dan dinding distensi serta
isi fecal ialah air. Karena fitur anatomisnya, karsinoma kolon kanan dapat tumbuh
besar sebelum terdiagnosa. Pasien sering mengeluh lemah karena anemia. Darah
makroskopis sering tidak tampak pada feses tetapi dapat mendeteksi tes darah
samar. Pasien dapat mengeluh ketidaknyamanan pada kuadran kanan perut setelah
makan dan sering salah diagnosa dengan penyakit gastrointestinal dan kandung
empedu. Jarang sekali terjadi obstruksi dan gangguan berkemih.7
Tumor dari kolon kiri dan rectum dapat secara gradual mengoklusi lumen
yang menyebabkan gangguan pola defekasi yaitu konstipasi atau defekasi dengan
tenesmi. Kolon kiri memiliki lumen yang lebih kecil dari yang kanan dan
konsistensi feses ialah semisolid. Makin ke distal letak tumor feses makin
menitips atau seperti kotoran kambing atau lebih cair di sertai darah dan lendir.
Tenesmi merupakan gejala yang biasa di dapatkan pada karsinoma rectum. Selain
itu Pada kanker rektum, gejala utama yang terjadi ialah hematokezia. Perdarahan
seringkali terjadi persisten. Darah dapat tercampur dengan feses atau mukus. Pada
pasien dengan perdarahan rektal pada usia pertengahan atau tua,
walaupun ada hemoroid, kanker tetap harus dipikirkan.7
Gambaran klinis tumor saecum dan kolon ascendens tidak khas.
Dyspepsia, kelemahan umum, penurunana berat badan dan anemia merupakan
gejala yang umum. Oleh karena itu penderita sering datang dengan keadaan yang
menyedihkan. Gejala akut dari pasien biasanya adalah obstruksi atau perforasi,
sehingga jika ditemukan pasien usia lanjut dengan gejala obstruksi, maka
kemungkinan besar penyebabnya adalah kanker. Obstruksi total muncul pada <
10% pasien dengan kanker kolon, tetapi hal ini adalah sebuah keadaan darurat
yang membutuhkan penegakan diagnosis secara cepat dan penanganan bedah.
Pasien dengan total obstruksi mungkin mengeluh tidak bisa flatus atau buang air
besar, kram perut dan perut yang menegang. Jika obstruksi tersebut tidak
mendapat terapi maka akan terjadi iskemia dan nekrosis kolon, lebih jauh lagi
nekrosis akan menyebabkan peritonitis dan sepsis. Perforasi juga dapat terjadi
pada tumor primer, dan hal ini dapat disalah artikan sebagai akut divertikulosis.
Perforasi juga bisa terjadi pada vesika urinaria atau vagina dan dapat
menunjukkan tanda tanda pneumaturia dan fecaluria. Metastasis ke hepar dapat
menyebabkan pruritus dan jaundice, dan yang sangat disayangkan hal ini biasanya
merupakan gejala pertama kali yang muncul dari kanker kolon.8
Secara garis besar gejala pada tumor colon terbagi menjadi tiga, yaitu

gejala local, gejala sistemik, dan gejala peyebaran (metastasis):7,8


1. Gejala lokal

- Perubahan kebiasaan buang air


- Perubahan frekuensi buang air, konstipasi atau diare
- Sensasi seperti belum selasai buang air besar (masih ingin tapi

tidak bisa keluar)


- Feses bercampur darah atau keluar darah pada saat BAB, feses

bercampur lender, feses berwarna kehitaman


- Nyeri pada saat BAB
- Mual dan muntah
- Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh pasien
2. Gejala umum
- Penurunan berat badan
- Hilangnya nafsu makan
- Sering merasa lelah, pucat
3. Gejala metastase
- Pasien tampak kuning, jika terdapat metastase ke hepar
- Nyeri pada perut

KOLON KANAN KOLON KIRI REKTUM

ASPEK KLINIS Kolitis Obstruksi Proktitis


NYERI Karena penyusupan Obstruksi Obstruksi
DEFEKASI Diare/diare berkala Konstipasi Tenesmi terus
progresif
menerus
OBSTRUKSI Jarang Hampir selalu Hampir selalu
DARAH PADA Samar Samar/makroskopik Makroskopik

FESES
FESES Normal/diare Normal Perubahan bentuk
berkala
DISPEPSIA Sering Jarang Jarang
ANEMIA Hampir selalu Lambat Lambat
MEMBURUKNY Hampir selalu Lambat Lambat
A

KEADAAN
UMUM
Tabel 4. Gambaran klinis karsinoma kolorektal
2.3.9 Diagnosis
Anamnesis
Anamnesis yang cermat sering dapat menentukan diagnosis. Gejala dan
tanda yang sering ditemukan pada kelainan kolon adalah dyspepsia, hematokezia,
anemia, bemjolan, dan obstruksi. Yang perlu ditanyakan adalah perubahan pola
defekasi, frekuensi dan konsitensi tinja.8

Pemeriksaan Fisik9
Rectal toucher untuk menilai :

a. Tonus sfingter ani : kuat atau lemah.


b. Ampula rektum : kolaps, kembung atau terisi feses
c. Mukosa : kasar,berbenjol benjol, kaku
d. Tumor : teraba atau tidak, lokasi, lumen yang dapat
ditembus jari, mudah berdarah atau tidak, batas atas dan jaringan
sekitarnya, jarak dari garis anorektal sampai tumor.

Gambar 12. Pemeriksaan colok dubur pada Ca Rekti


Pada pemeriksaan ini dapat dipalpasi dinding lateral, posterior, dan
anterior; serta spina iskiadika, sakrum dan coccygeus dapat diraba dengan mudah.
Metastasis intraperitoneal dapat teraba pada bagian anterior rektum dimana sesuai
dengan posisi anatomis kantong douglas sebagai akibat infiltrasi sel neoplastik.
Meskipun 10 cm merupakan batas eksplorasi jari yang mungkin dilakukan, namun
telah lama diketahui bahwa 50% dari kanker kolon dapat dijangkau oleh jari,
sehingga Rectal examination merupakan cara yang baik untuk mendiagnosa
kanker kolon yang tidak dapat begitu saja diabaikan.8,10

Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
a. Pemeriksaan darah samar pada faeces
Digunakan untuk tes skrining pada tumor colorectal yang
asimptomatik, pada individu dengan risiko sedang. Efikasi tes ini
berdeasarkan tes serial karena kebanyakan carcinoma colorectal
berdarah secara intermiten. Tes ini merupakan tes nonspesifik untuk
peroxidase yang terkandung dalam haemoglobin. Perdarahan
traktus gastrointestinal akan memberikan hasil positif. Beberapa
makanan (daging, beberapa buah dan sayuran, dan viamin C)
dapat memberikan false positif, sehingga pasien sebaiknya diet
selama 2-3 hari sebelum tes. Tes ini dapat ditingkatkan spesifik dan
sensitivitasnya dengan menggunakan immunochemical. Hasil positif
pada tes ini sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
colonoskopi.8

b. Pemeriksaan DNA feces


Pemeriksaan DNA feces adalah teknologi baru yang berkembang
untuk skrining karsinoma colorectal. Adenoma premalignan dan
karsinoma menhasilkan marker DNA yang tidak terdegradasi
selama proses pencernaan dan tetap stabil di dalam feces. Hasil
penelitian pemeriksaan ini memiliki sensitivitas 71-91%.9

c. Tumor marker
Tumor marker seperti CEA, CA 19-9, dan CA-50 digunakan untuk
pasien carcinoma colorectal. Carcinoembrionic antigen (CEA) yang
paling umum digunakan, sedangkan CA 19-9 dan CA-50 tidak rutin
digunakan. CEA dapat meningkat pada 60-90% pasien dengan
carcinoma colorectal. Namun CEA bukan merupakan tes skrining
yang efektif untuk keganasan. CEA tidak spesifik karena dapat
meningkat juga pada pasien dengan carcinoma selain carcinoma
colorectal. Pemeriksaan antigen karsinoembrionik (CEA) dapat juga
dilakukan, meskipun antigen karsinoembrionik mungkin bukan
indicator yang dapat dipercaya dalam mendiagnosa kanker kolon
karena tidak semua lesi menyekresi CEA. Pemeriksaan
menunjukkan bahwa kadar CEA dapat dipercaya dalam diagnosis
prediksi. Pada eksisi tumor komplet, kadar CEA yang meningkat
harus kembali ke normal dalam 48 jam. Peningkatan CEA pada
tanggal selanjutnya menunjukkan kekambuhan.9

d. Tes serum
Pemeriksaan fungsi hepar seperti alkali fosfatase, SGPT, SGOT,
SGGT, dan LDH dapat memprediksi kemungkinan metastasis ke hepar.

Endoskopi
a. Rectosigmoidoskopi
Rectosigmoidoskop yang kaku digunakan untuk menilai rectum dan colon
sigmoideum bagian distal.8

b. Fleksibel sigmoidoskopi dan colonoskopi

Sigmoidoskop dan colonoskop yang fleksibel dengan video atau fiberoptik dapat
memperlihatkan gambaran colon dan rectum dengan mutu yang baik.
Sigmoidoskopi dan colonoskopi dapat digunakan untuk diagnostik dan terapetik,
merupakan metode yang paling akurat untuk menilai colon. Prosedur ini sangat
sensitif untuk mendeteksi dan dapat untuk melakukan biopsi. Colonoskop untuk
diagnostik memiliki satu saluran untuk lewatnya alat-alat seperti snare, forcep
biopsi, elektrocauter, dan sebagai jalan untuk melakukan penghisapan dan irigasi.
Colonoskop untuk terapetik mempunyai 2 saluran yang dapat digunakan secara
simultan untuk irigasi / penghisapan dan untuk lewatnya alat-alat.9
Pencitraan

a. X-ray foto polos dan colon in loop

X-ray foto polos dan colon in loop memiliki peranan penting dalam mengevaluasi pasien yang
diduga menderita carcinoma colorectal. Foto polos abdomen (supine, tegak, dan LLD) berguna
untuk mendeteksi pola gas usus yang menunjukkan adanya obstruksi. Colon in loop berguna untuk
mengevaluasi gejala obstruktif. Colon in loop dengan double contrast sensitif untuk
mendeteksi massa yang berdiameter lebih besar dari 1 cm. Deteksi massa yang kecil sangat
sulit, sehingga colonoscopy lebih disukai untuk mengevaluasi massa colon yang
nonobstruksi.9

b. CT scan
Computed Tomography (CT) digunakan untuk staging carcinoma colorectal,
karena kesensitivitasnya dalam mendeteksi metastasis.
c. CT Colonografi (Virtual colonoscopy)
Virtual colonoscopy menggunakan CT helical dan rekonstruksi 3 dimensi
untuk mendeteksi lesi colon intralumen. Untuk memaksimalkan
kesensitivitasan maka dilakukan persiapan usus per oral, pemberian kontras
per oral dan rectal, pendistensian colon. Alat ini sensitif untuk melihat
carcinoma colorectal yang berukuran lebih dari 1 cm. colonoskopi tetap
dibutuhkan jika terdapat lesi. Alat ini berguna sebagai pencitraan pada
obstruksi colon proximal. Keterbatasannya adalah terjadinya false positif
akibat faeces, penyakit divertikula, lipatan haustrae, artefak, dan
ketidakmampuan mendeteksi adenoma yang datar.9
d. MRI
Magnetic Resonance Imaging (MRI) lebih sensitif daripada CT scan dalam
mendeteksi keterlibatan tulang atau dinding pelvis akibat perluasan
carcinoma colorectal. Penggunaan endorectal coil akan menambah
sensitivitas.
e. PET
Positron Emmision Tomography (PET) digunakan untuk pencitraan
jaringan dengan kadar glikolisis anaerob yang tinggi seperti pada tumor
ganas. PET digunakan sebagai tambahan pemeriksaan CT scan dalam
staging carcinoma colorectal dan dapat digunakan untuk membedakan
kanker rekuren dengan fibrosis.8

f. Endorectal ultrasound
Endorectal ultrasound digunakan untuk mengevaluasi kedalaman invasi
carcinoma recti. Dinding rectum yang normal terdiri atas 5 lapisan.
Ultrasound dapat membedakan tumor jinak dari tumor invasif berdasarkan
integritas lapiasan submukosa. Ultrasound dapat membedakan tumor
superficial T1-T2 dengan tumor yang lebih dalam T3-T4. Keakurasian
ultrasound dalam mendeteksi kedalamam invasi tumor intramural berkisar
antara 81-94%. Ultrasound juga dapat mendeteksi pembesaran nodus
limfatikus perirectal, yang menunjukkan metastasis ke nodus limfatikus,
dimana keakurasiannnya adalah 58-83%. Ultrasound juga dapat digunakan
untuk mendeteksi rekurensi lokal setelah pembedahan.9

Biopsi
Biopsi dilakukan melalui endoskopi. Hasil patologi dari biopsi dapat
mendeskripsikan tipe sel dan gradasi tumor. Tipe sel yang paling sering didapat
pada carcinoma colorectal adalah adenocarcinoma (95%).9

2.3.10 Penatalaksanaan
a. Pembedahan
Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima
sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolon. Pembedahan kuratif harus
mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi
sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Tumor yang
menyebabkan obstruksi pada kolon kiri dapat ditangani dengan dekompresi.
Tumor yang menyebabkan perforasi membutuhkan eksisi dari tumor primer dan
proksimal kolostomi, diikuti dengan reanastomosis dan closure dari kolostomi.9

b. Penyinaran (Radioterapi)
Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray
berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi
radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi
diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker.
Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana
radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi
digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk
melindungi jaringan yang sehat disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan
pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. 8
Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi
yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang
menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral,
parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat
radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan
dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara
sementara menetap didalam tubuh.8

c. Kemoterapi
Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit
dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak. Obat
kemoterapi bisa dipakai sebagai single agen atau dengan kombinasi, contoh : 5-
fluorouracil (5FU), 5FU + levamisole, 5FU + leucovorin. Pemakaian secara
kombinasi dari obat kemoterapi tersebut berhubungan dengan peningkatan

survival ketika diberikan post operatif kepada pasien tanpa penyakit penyerta.
Terapi 5FU + levamisole menurunkan rekurensi dari kanker hingga 39%,
menurunkan kematian akibat kanker hingga 32%.8
2.3.11 Prognosis
Prognosis tergantung dari ada tidaknya metastasis jauh, yaitu k1asifikasi
tumor dan tingkat keganasan sel tumor. Berikut merupakan pembagian prognosis
dari karsinoma kolorektal berdasarkan klasifikasi dari Duke’s
:5,7 Klasifikasi Duke’s
 Duke’s A Terbatas pada mukosa Tidak ada Angka harapan hidup 5 tahun

>90%
 Duke’s B1 Sampai stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi

limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 70-85%


 Duke’s B2 Menembus stratum muscularis propia Tidak didapatkan invasi

limfonodi Angka harapan hidup 5 tahun 55-65%


 Duke’s C1 Sampai stratum muscularis propia Terdapat invasi pada

limfonodi terdekat Angka harapan hidup 5 tahun 45-55%


 Duke’s C2 Menembus stratum muscularis propia Terdapat invasi pada

limfonodi jauh Angka harapan hidup 5 tahun 20-30%


 Duke’s D Metastase jauh Tidak dapat dipakai Angka harapan hidup 5 tahun

<1%>
Prognosis hidup setelah 5 tahun dengan klasifikasi TNM
 Stadium I, 72%
 Stadium II, 54%
 Stadium III, 39%
 Stadium IV, 7

BAB III

KESIMPULAN

Tumor kolon merupakan sekelompok sel abnormal yang tumbuh tidak


terkendali yang terletak pada kolon. Tumor kolon dibagi menjadi dua, yaitu tumor
jinak dan tumor ganas. Yang membedakan dari kedua jenis tumor ini adalah
sifatnya. Tumor ganas mempunyai sifat invasif atau merusak jaringan sekitar
sedangkan tumor jinak tidak.
Tumor jinak kolon atau disebut polip adalah petumbuhan jaringan yang
menonjol ke dalam lumen traktus gastrointestinal. Secara umum ,terdapat 2 tipe
polip jinak yaitu polip non-neoplastik dan polip neoplastik. Polip non-neoplastik
terdiri dari hamartoma, polip hyperplastik dan polip inflamasi. Polip neoplastik
terdiri dari berbagai macam polip adenomatous dan poliposis coli herediter.
Sedangkan tumor ganas kolon adalah suatu pertumbuhan tumor yang bersifat
ganas dan merusak sel DNA dan jaringan sehat disekitar kolon (bersifat invasif).
Penatalaksanaan untuk tumor jinak atau polip adalah dengan jerat kauter
dengan kolonoskopi sampai dengan eksisi segmental. Untuk tumor ganas
ditambah dengan terapi radiasi dengan atau tanpa kemoterapi. Pada prinsipnya,
semakin dini diagnosis karsinoma / tumor kolon, semakin baik prognosisnya
karena penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Jemal A, Siegel R, Ward E, et al: Cancer statistics. CA Cancer J Clin. In


Sabiston Textbook of Surgery. Saunders; 2019

2. Irving MH, Catchpole B: ABC of colorectal diseases: Anatomy and physiology


of the colon, rectum, and anus. In Current Surgical Diagnosis & Treatment.
USA : McGraw-Hill; 2018

3. Physiology Of The Colon. In Sabiston Textbook of Surgery. Saunders; 2017

4. Sherwood L. Sistem Pencernaan. Dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem.


Jakarta: EGC; 2014

5. Brunicardi, Andersen, Billiar, Dunn, Hunter, Pollock. Colon, Rectum and Anus
In Schwartz’s Principles of Surgery. USA: McGraw-Hill; 2020

6. Cuschieri, Grace, Darzi, Borley, Rowley. Disorders of the Colon and Rectum.
In Clinical Surgery. USA: Blackwell Publishing; 2013

7. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Usus halus, appendiks, kolon, dan anorektum.


Dalam Buku ajar ilmu bedah. Jakarta: EGC; 2013
8. Townsend, Beauchamp, Evers, Matton. Colon and rectum. In Sabiston’s
Textbook of Surgery. 17th edition. 2004. Philadelphia: Elsevier Saunders;
2014
9. Zinner, Schwartz, Ellis. Tumors of the colon. In Maingots’s Abdominal
operation. Singapore: McGraw-Hill; 2019

Anda mungkin juga menyukai