Anda di halaman 1dari 13

Latar Belakang

Buta warna merupakan kelainan pada mata yang disebabkan karena


adanya kerusakan pada struktur sel kerucut dan sel batang pada retina mata.
Penderita buta warna terbagi menjadi dua yaitu buta warna total dan buta warna
parsial. Buta warna total hanya mampu melihat warna hitam, putih dan abu-abu,
sedangkan buta warna parsial merupakan buta warna yang tidak dapat
membedakan warna tertentu seperti hijau, kuning, merah, dan biru. Buta warna
merupakan kelainan genetik atau bawaan yang diturunkan dari orang tua kepada
anaknya, kelainan ini sering juga disebaut sex linked, karena kelainan ini dibawa
oleh kromosom X. Buta warna pada umumnya dianggap lebih banyak terdapat
pada pria daripada wanita dengan perbandingan 20:1. 1,2

Buta warna dapat ditemukan sekitar 13% pada populasi umum. Ditemukan
variasi prevalensi buta warna merah-hijau (red-green clolour blindness) atas perbedaan
ras, suku, dan kelompok etnis. Saat ini di Eropa sekitar 8-12% pria dan 0,5-1%
wanita mengalami buta warna. Penelitian lain menyatakan 1 dari 12 orang pria
mengalami buta warna. Di Australia buta warna terjadi pada 8% laki-laki dan
hanya 0,4% pada perempuan. Kelainan buta warna didapat (buta warna biru-
kuning) memiliki pengaruh sama antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan di
Asia, kaum pria memiliki prevalensi buta warna sebesar 4,9% dan 0,64% pada
kaum wanita. Di Indonesia saat ini prevalensi buta warna adalah sebesar 7,4%,
dengan angka tertinggi 24,3% di DKI Jakarta. 1,2

Teori mengenai warna pada mata selalu dikaitkan dengan ‘Tricolour


mechanism detection’ yang memungkinkan mata mendeteksi hampir seluruh
gradasi warna yang ada saat warna merah, hijau, dan biru tercampur secara
3
sempurna dengan kombinasi yang berbeda-beda. Tes Ishihara merupakan tes
yang digunakan untuk mengetahui adanya kelainan buta warna, tes Ishihara
menggunakan plate Ishihara dalam melakukan tes buta warna. Plate Ishihara
terdiri dari serangkaian lingkaran yang terdiri dari banyak titik berwarna kecil,
setiap plate Ishihara memiliki nilai interpretasi yang berbeda-beda antara mata
normal dengan penderita gangguan pengelihatan warna. 1
Fisiologi penglihatan

Sistem visual merupakan sebuah proses memperoleh informasi dari dunia


luar dalam bentuk cahaya serta analisis dan intepretasi informasi visual. Proses
penglihatan dan persepsi visual ini melibatkan sistem struktur yang kompleks.
Rangkaian proses penglihatan dimulai dari masuknya cahaya pada media refraksi,
fototransduksi, pengiriman impuls melalui jaras penglihatan, serta intepretasi dan
persepsi visual oleh korteks visual. Komponen optik mata yang berperan sebagai
media refraksi adalah kornea, humor akuos, lensa, dan badan vitreus. Cahaya yang
masuk ke dalam mata mengalami pembiasan melewati media refraksi pada aksis
visual, lalu ditangkap 2 oleh sel fotoreseptor retina. Apeks pada permukaan
anterior kornea memberikan kekuatan refraksi terbesar. Lensa mata berakomodasi
melalui kontraksi otot siliaris yang melepaskan regangan zonula sehingga lensa
membulat ketika melihat objek dekat. Vitreus meneruskan cahaya yang ditangkap
menuju retina, serta sebagai tempat penyimpanan substansi kimia yang berperan
dalam metabolisme retina. 4

Retina memiliki dua tipe sel fotoreseptor, yaitu sel kerucut dan sel batang.
Fotoreseptor sel batang dan sel kerucut memiliki perbedaan morfologi, pigmen,
dan distribusi pada retina. Masing-masing sel fotoreseptor tersusun atas segmen
luar, segmen dalam, dan badan sel. Bentuk segmen luar fotoreseptor kerucut
meruncing, sedangkan fotoreseptor sel batang tidak meruncing. Segmen luar
terdiri dari diskus yang mengandung fotopigmen, enzim, dan protein yang terlibat
dalam fototransduksi, yaitu opsin, rodopsin, transdusin, phosphodiesterase (PDE),
dan kromofor 11-cis-retinal. Fototransduksi merupakan proses penangkapan
cahaya oleh fotoreseptor retina untuk diubah menjadi impuls saraf. Fotoreseptor
sel kerucut sensitif terhadap cahaya terang, terutama pada siang hari (fotopik).
Fotoreseptor sel batang sensitif terhadap cahaya redup (skotopik). Proses
fototransduksi terjadi di membran diskus segmen luar sel fotoreseptor. 5
Gambar 1. Fotoreseptor sel kerucut dan batang 6

Fototransduksi

Penangkapan cahaya oleh rodopsin pada segmen luar menyebabkan


isomerasi ikatan ganda 11-cis-retinal menjadi all-trans-retinal sehingga terjadi
perubahan konfigurasi molekul opsin menjadi fase aktif, yaitu metarodopsin II.
Rodopsin aktif akan memulai reaksi influks kation ke segmen luar sel batang,
melalui kanal cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Rodopsin akan
mengaktifkan molekul kedua yaitu transdusin. Transdusin yang aktif akan
mengirim sinyal ke protein ketiga, yaitu rod phosphodiesterase (rod PDE), yang
kemudian menyebabkan terjadinya hidrolisis cGMP menjadi 5’noncyclic-GMP.
Penurunan cGMP menutup kanal ion sehingga aliran masuk ion natrium dan
kalsium terhenti dan sel fotoreseptor mengalami hiperpolarisasi. Hiperpolarisasi
sel fotoreseptor menyebabkan berhentinya pelepasan neurotransmiter glutamat
dari terminal sinaps. Penurunan kadar glutamat memicu hiperpolarisasi sel
bipolar-off sebaliknya depolarisasi terjadi pada sel bipolar-on. Seluruh sel batang
akan bersinaps dengan sel bipolar-on sedangkan sel kerucut akan bersinaps
dengan keduanya. Sel bipolar akan meneruskan impuls saraf menuju sel ganglion
retina. 7

Penglihatan warna

Warna dapat dinilai melalui tiga kualitas, yaitu rona (hue), saturasi, dan
tingkat intensitas cahaya. Rona dideteksi oleh penjumlahan respon dari beberapa
fotoreseptor yang dideduksi ke dalam gelombang spektrum. Perbandingan dari
tingkat penyerapan oleh tiga tipe sel kerucut memberikan empat persepsi rona.
Saturasi merupakan dilusi rona oleh warna putih. Rona murni memiliki saturasi
komplit, dan dapat mengalami desaturasi hingga tercapai warna putih. Intensitas
cahaya bervariasi dari cahaya redup hingga cahaya menyilaukan. Saat intensitas
meningkat terjadi pergeseran kromatik hingga seluruh rona tampak kuning-putih,
fenomena ini dinamakan fenomena Bezold-Bruckle. 5

Penglihatan warna diperankan oleh sel kerucut (cone cells), yang


merupakan sel fotosensitif pada mata yang berfungsi untuk persepsi warna. Sel
kerucut terletak di bagian sentral atau makula lutea yang mempunyai pigmen
terutama cis-aldehide. Penglihatan warna dipengaruhi oleh kemampuan
membedakan gelombang sinar dengna intensitas yang berbeda. Warna dapat
terlihat bila gelombang elektromagnet memiliki panjang gelombang dalam
rentang antara 440-700 nm. Warna primer utama pada pigmen sel kerucut adalah
merah, hijau, dan biru. Gelombang elektromagnet yang diterima oleh pigmen
akan diteruskan menuju korteks pusat penglihatan warna di otak yaitu korteks
occipital. Bila panjang gelombang berada di antara kedua pigmen, akan terjadi
penggabungan warna. Terdapat teori trikromat yang menyatakan bahwa manusia
memiliki 3 jenis reseptor yang diperlukan untuk membedakan warna, dimana dari
gabungan ketiga pola gelombang dasar dapat memampukan manusia mengenail
berbagai macam warna. Penglihatan bergantung pada stimulasi fotoreseptor oleh
cahaya. Pigmen-pigmen yang terdapat pada benda-benda menyerap panjang
gelombang sinar tertentu dari sumber cahaya secara selektif. 8
Panjang gelombang yang tidak diserap akan dipantulkan dari permukaan
benda sehingga bisa dilihat dengan mata. Suatu benda yang terlihat biru menyerap
panjang gelombang merah serta hijau yang memiliki gelombang warna lebih
panjang, dan memantulkan panjang gelombang biru yang memiliki gelombang
warna lebih pendek. Panjang gelombang yang terlihat sebagai biru merangsang sel
kerucut biru secara maksimal dan tidak merangsang sel kerucut lain (merah
maupun hijau). Sel kerucut dibagi menjadi kerucut-S yang sensitif pada panjang
gelombang cahaya pendek, puncaknya 420 nm (biru); kerucut-M sensitif pada
panjang gelombang cahaya medium, puncaknya 530 nm (hijau); Kerucut-L
sensitif pada panjang gelombang cahaya panjang, puncaknya 560 nm (merah).8

Gambar 2. Kurva absorpsi sel kerucut dan panjang gelombang 9

Definisi

Individu dengan penglihatan warna normal disebut sebagai trikromat


(karena mata manusia normal dapat mengenali 3 warna utama yaitu merah, hijau,
dan biru, sesuai dengan teori trikromatik oleh Young-Helmholtz. Pada buta
warna, mekanisme dalam mengenai satu atau lebih warna primer dapat terganggu
(anomali) atau tidak ada sama sekali (anopia). Buta warna dapat bersifat
kongenital atau didapat. Buta warna kongenital adalah kondisi herediter yang
lebih banyak ditemukan pada laki-laki (3-4%) dibandingkan perempuan (0,4%),
dibagi menjadi 2 tipe yaitu diskromatopsia dan akromatopsia. Diskromatopsia
berarti kebingungan warna akibat defisiensi mekanisme persepsi warna. 10

Klasifikasi

Buta warna adalah penglihatan warna-warna yang tidak sempurna bisa


berupa parsial atau komplit, buta warna parsial lebih sering ditemui, sehingga
istilah buta warna sebenarnya kurang tepat dibandingkan ‘gangguan penglihatan
warna’. Buta warna diklasifikasikan berdasarkan fotoreseptor yang tersedia
menjadi monokromat (hanya terdapat 1 jenis sel kerucut yang berfungsi atau tidak
sama sekali), dikromat (dua tipe sel kerucut berfungsi), dan anomali trikromat.
Anomali trikromat adalah kondisi dimana 3 jenis sel kerucut tetap ada, tetapi satu
diantaranya tidak tidak berfungsi dengan baik, sehingga penderita akan
mengalami kesulitan membedakan warna tertentu dan yang paling sering
ditemukan adalah tritanomali (defisiensi penglihatan warna yang berpengaruh
terutama pada reseptor biru), deuternomali (tipe terbanyak defisiensi penglihatan
warna, berpengaruh terutama pada reseptor hijau), dan protanomali (defisiensi
penglihatan warna yang berpengaruh terutama pada reseptor merah). Dikromat
adalah kondisi dimana satu dari tiga sel kerucut tidak ada dibagi menjadi
protanopia (tidak kenal merah/ buta warna merah), deutranopia (tidak kenal
hijau/buta warna hijau), dan tritanopia (tidak kenal biru/ buta warna biru).
Defisiensi merah-hijau (protanomali, protanopia, deuteranomali dan deuteranopia)
lebih sering ditemui. Defek ini dapat memberikan efek berbahaya pada pekerjaan
tertentu seperti supir, nahkoda, dan polisi lalu lintas. Defisiensi biru relatif jarang.
10

Pada monokromat atau akromatopsia, hanya terdapat satu jenis sel


kerucut, pasien umumnya mengeluh fotofobia, dan tajam penglihatan yang
kurang. Monokromasi ditandai dengan hilangnya atau berkurangnya semua
penglihatan warna, sehingga yang terlihat hanya putih dan hitam yang mampu
diterima retina. Jenis buta warna ini prevalensinya sangat jarang. Terdapat istilah
blue cone monochromatism (BCM), kondisi dimana tidak berfungsinya sel merah
dan hijau, ditandai dengan penurunan penglihatan siang hari namun normal pada
malam hari, penglihatan warna sangat terbatas, hanya perbedaan dalam rona biru
yang terdeteksi, penurnan ketajaman visus penglihatan (6/24 – 6/6), nistagmus
amplitudo rendah, dan fotosensitif. 10

Gambar 3. Tabel prevalensi buta warna berdasarkan klasifikasi 9

Buta warna didapat mungkin terjadi setelah kerusakan saraf optik atau
makula. Umumnya berkaitan dengan skotoma sentral atau penurunan ketajaman
penglihatan. Buta warna biru-kuning ditemui pada lesi retina seperti CST, edema
makula atau lepasnya retina dangkal. Defisiensi merah-hijau ditemukan pada lesi
nervus optik seperti neuritis optik, atrofi optik Leber, dan kompresi nervus optik.
Buta warna biru dapat terjadi pada usia tua karena peningkatan sklerosis lensa
kristalin, hal ini diakibatkan oleh absorpsi cahaya biru oleh peningkatan warna
pigmen dari nukleus. 10

Etiologi dan Gejala

Gejala buta warna dimulai dari ringan hingga berat. Umumnya pasien
datang dengan keluhan kesulitan melihat warna dan brightness yang merasa tidak
seperti biasanya dan juga ketidakmampuan untuk membedakan gradasi warna
yang mirip atau serupa, seringkali warna hijau dan merah atau biru dan kuning.
Selain pada kondisi yang paling berat, buta warna tidak memengaruhi visus
seseorang. Pada kondisi berat yaitu akromatopsia, gejala penyerta lain dapat
ditemui seperti amblyopia, nistagmus, sensitivitas cahaya dan penurunan
ketajaman penglihatan. 11

Sebagian besar buta warna terjadi akibat genetik dan diturunkan


(kongenital) dari ibu ke anak. Gen buta warna terkait dengan dengan kromosom X
(X-linked genes), sehingga kemungkinan anak laki-laki (genotip XY) untuk
terkena buta warna akibat diturunkan oleh ibu lebih besar dibandingkan anak
perempuan (genotip XX). Jika hanya terkait pada salah satu kromosom X nya
saja, wanita disebut carrier atau pembawa yang dapat menurunkan gen buta
warna tersebut pada anaknya. Dua gen yang berhubungan dengan munculnya buta
warna adalah OPN1LW (Opsin 1 Long Wave), yang menyandi pigmen merah dan
12
OPN1MW (Opsin 1 Middle Wave), yang menyandi pigmen hijau. Pada buta
warna didapat biasanya kelainan penglihatan warna terjadi akibat trauma, efek
toksik dari obat-obatan, penyakit metabolik maupun vaskular. Buta warna lebih
sering ditemui pada keturunan Eropa Utara, dengan beberapa faktor risiko yang
meningkatkan kemungkinan mengalami buta warna adalah glaukoma, diabetes,
degenerasi makula, Alzheimer, Parkinson, alkoholisme kronik, leukemia, anemia
sel sabit. Beberapa obat seperti hidroksiklorokuin dapat menyebabkan buta warna.
Penjelasan mengenai buta warna didapat masih belum jelas hingga saat ini. 13

Pemeriksaan

Pemeriksaan ini ditujukan untuk skrining / penapisan defek penglihatan


warna dari orang normal; klasifikasi buta warna; dan analisa kuantitatif terhadap
derajat defisiensi (ringan, sedang, dan berat). Pemeriksaan buta warna yang sering
dilakukan adalah pseudoisokromatrik. Pemeriksaan pseudoisokromatrik yang
paling sering digunakan adalah uji Ishihara. Tes Ishihara adalah tes buta warna
yang dikembangkan oleh Dr. Shinobu Ishihara. Tes ini pertama kali dipublikasi
pada tahun 1917 di Jepang, dimana terdapat pola titik-titik berwarna dan abu-abu
yang memberikan satu gambar yang dapat dilihat oleh individu normal dan satu
gambar lagi dapat dilihat pada pasien buta warna. Pemeriksaan ini merupakan
metode pemeriksaan yang cepat dalam mendeteksi defek merah-hijau. Kelemahan
dari penerapan Metode Ishihara adalah sifatnya yang statis, sehingga adanya
kemungkinan bahwa objek pada plate Ishihara dapat dihafal oleh pasien.
Pemeriksaan lain yang didasarkan oleh prinsip yang sama adalah Hardy-Rand-
Rittler (HRR) yang lebih sensitif dari Ishihara karena dapat mendeteksi ketiga
defek kongenital, perbedaannya pola pada Ishihara menunjukkan angka,
sedangkan HRR menunjukkan simbol. Gambar-gambar pseudokromatik dalam tes
Ishihara dirancang sedemikian rupa dalam 4 cara: (1) transformasi, orang normal
dapat melihat angka, orang buta warna akan melihat angka yang berbeda; (2)
vanishing, orang buta warna tidak dapat melihat angka yang dilihat orang normal;
(3) hidden-digit, orang normal tidak dapat melihat angka sedangkan orang buta
warna dapat melihatnya; (4) diagnostik, dirancang agar dapat dilihat oleh subjek
normal, dimana pada orang buta warna dapat melihat satu angka lebih mudah dari
angka lain. 14

Gambar 4. Uji Ishihara 10

Farnsworth-Munsell 100 hue. Pemeriksaan spektroskopik dimana subjek


harus menyusun chips dalam urutan gradasi warna. Penglihatan warna dinilai
berdasarkan skor kesalahan, sehingga skor yang semakin tinggi menggambarkan
penglihatan warna yang semakin buruk. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan
yang paling sensitif untuk buta warna didapat maupun kongenital. Pemeriksaan
ini menggunakan 85 hue caps (bukan 100). Farnsworth D15 hue discrimination
merupakan pemeriksaan dengan teknik yang sama namun hanya menggunakan 15
hue caps. Farnsworth D15 merupakan modifikasi dari Farnsworth Munsell 100
hue test (FMHT) yang mempunyai kelebihan dalam pengukuran yang cepat (3-5
menit setiap mata), sedangkan FMHT memerlukan waktu 20 menit setiap mata
dan kurang tepat digunakan untuk tes rutin. Tes Farnsworth D-15 disebut juga
dichotomous karena tes ini dapat membedakan antara gangguan warna dan warna
normal serta gangguan warna berat dan ringan. Tes ini menghasilkan informasi
semi kuantitatif, seperti inspeksi visual dan menghitung jumlah axis yang dilalui.
Metode yang digunakan yaitu menjumlahkan perbedaan warna antara cap yang
berdekatan, dihitung dengan sistem untuk menghasilkan perbedaan kesalahan
yang diketahui sebagai skor perbedaan warna total. Pemeriksaan spektroskopik
lain adalah city university colour vision test, dimana lempeng dengan warna di
tengah harus disesuaikan terhadap rona yang paling dekat dari 4 warna sekitar
pada masing-masing lempeng. 10

Gambar 5. Farnsworth D15 hue discrimination

Anomaloscope adalah metode tes buta warna yang dilakukan dengan


menggunakan alat mirip mikroskop. Anomaloscope Nagel merupakan
pemeriksaan dimana observer diminta untuk mencampur warna merah dan hijau
dalam proporsi sedemikian rupa hingga campuran tersebut menyerupai diskus
berwarna kuning. pasien akan diminta untuk melihat ke arah lingkaran yang
dibagi ke dalam 2 (dua) warna, yakni merah-hijau pada satu sisi, dan kuning pada
sisi lainya. Setelah itu, pasien diharuskan menekan tombol yang ada pada alat
tersebut manakala seluruh warna pada lingkaran berubah jadi satu warna yang
sama. Penilaian defek dibuat dari jumlah relatif merah dan hijau dan pengaturan
brightness yang digunakan oleh observer. 10

Holmgren wool test. Pada pemeriksaan ini, subjek diminta untuk membuat
serial pasangan warna dari benang (wool). Pemeriksaan ini dilakukan dengan
meletakkan 40 gelendong benang di depan pasien secara bersamaan, kemudian
memilih 10 benang yang sangat mendekati warna hijau terang. Dari sisa 30
benang wol, pasien diminta mengambil 5 benang wol yang sesuai dengan master
merah.  Dari sisa 20 benang wol, pasien diminta memilih 5 wol yang paling sesuai
dengan master warna merah. Bila pasien memilih warna lain dibanding warna
yang benar dikatakan bahwa penderita adalah buta warna. 15
1. Hamid N, Adi K. PENENTUAN TINGKAT BUTA WARNA DENGAN
METODE SEGMENTASI RUANG WARNA FUZZY DAN RULE-BASED
FORWARD CHAINING PADA CITRA ISHIHARA. 1 April 2015;211–8.

2. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) | Badan Penelitian dan


Pengembangan Kesehatan [Internet]. [dikutip 24 April 2021]. Tersedia pada:
https://www.litbang.kemkes.go.id/laporan-riset-kesehatan-dasar-riskesdas/

3. Conway BR, Livingstone MS. Color Vision, Neural Basis of. Encycl Cogn
Sci [Internet]. [dikutip 24 April 2021]; Tersedia pada:
https://www.academia.edu/21379026/Color_Vision_Neural_Basis_of

4. Sherwood L. Human Physiology: From Cells to Systems. Cengage Learning;


2015. 960 hlm.

5. Skalicky S. Ocular and Visual Physiology: Clinical Application [Internet].


Springer Singapore; 2016 [dikutip 23 April 2021]. Tersedia pada:
https://www.springer.com/gp/book/9789812878458

6. Perkins BD, Fadool JM. Chapter 7 - Photoreceptor Structure and


Development: Analyses using GFP Transgenes. Dalam: Detrich HW,
Westerfield M, Zon LI, editor. Methods in Cell Biology [Internet]. Academic
Press; 2010 [dikutip 23 April 2021]. hlm. 205–18. (The Zebrafish: Cellular
and Developmental Biology, Part A; vol. 100). Tersedia pada:
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780123848925000074

7. Remington LA, Goodwin D. Clinical Anatomy of the Visual System E-


Book. Elsevier Health Sciences; 2011. 303 hlm.

8. Pasmanter N, Munakomi S. Physiology, Color Perception. Dalam: StatPearls


[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 [dikutip 23
April 2021]. Tersedia pada:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544355/

9. Types of Color Blindness – Colblindor [Internet]. [dikutip 23 April 2021].


Tersedia pada: https://www.color-blindness.com/types-of-color-blindness/

10. Khurana AK, Khurana B. Comprehensive Ophthalmology: With


Supplementary Book - Review of Ophthalmology. JP Medical Ltd; 2015.
185 hlm.

11. Riordan-Eva P, Augsburger JJ. Vaughan & Asbury’s General


Ophthalmology, 19th Edition. McGraw-Hill Education; 2017. 528 hlm.

12. Neitz J, Neitz M. The genetics of normal and defective color vision. Vision
Res. 13 April 2011;51(7):633–51.
13. What Are the Symptoms and Causes of Color Blindness? [Internet].
American Academy of Ophthalmology. 2021 [dikutip 24 April 2021].
Tersedia pada: https://www.aao.org/eye-health/diseases/color-blindness-
symptoms

14. Heidary F, Gharebaghi R. A Modified Pseudoisochromatic Ishihara Colour


Vision Test Based on Eastern Arabic Numerals. Med Hypothesis Discov
Innov Ophthalmol. 2013;2(3):83–5.

15. Professor Holmgren’s Test For Colour Blindness.pdf [Internet]. [dikutip 24


April 2021]. Tersedia pada:
https://www.psych.utoronto.ca/sites/www.psych.utoronto.ca/files/Professor
%20Holmgren%E2%80%99s%20Test%20For%20Colour%20Blindness.pdf

Anda mungkin juga menyukai