OLEH :
Mengetahui
Tim Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Frederika Rambu Ngana, S.Si., M.Eng. Albert Zicko Johannes, S.Si., M.Si.
NIP.19730408199802 2 001 NIP. 198310272014041001
Menyetujui
Koordinator Program Studi Fisika
Fakultas Sains Dan Teknik
i
PENGESAHAN PENGUJI
Telah diterima oleh panitia ujian sarjana Program Studi Fisika Fakultas
Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana dalam ujian sarjana yang telah
diselenggarakan pada:
DEWAN PENGUJI
MENGETAHUI
Dr. Drs. Hery L. Sianturi, M.Si Andreas C.h. Louk, S.Si., M.Sc
NIP. 19651205199103 1 006 NIP. 19850731200812 1 005
ii
MOTTO
diberikan kepadamu.”
Markus 11 : 24
iii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat, bimbingan dan penyertaan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik. Judul skripsi ini adalah “Pemetaan Wilayah Lahan Kering
Menggunakan Penginderaan Jauh Di Kota Kupang”
Skripsi ini berisi tentang penggunaan data penginderaan jauh untuk
memetakan daerah lahan kering. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar sarjana Sains.
iv
Wahid, S.Si, M.Si; Bapak Jonhson Tarigan, S.Si., M.Sc; Bapak Hadi Imam
Sutaji, S.Si, M.Si; Bapak Andreas Ch. Louk, S.Si, M.Sc; Bapak Minsyahril
Bukit, S.Si, M.Si; Bapak Bernadus, S.Si, M.Si; Bapak Redi K. Pingak, S.Si,
M.Sc; Ibu Laura A.S. Lapono, S.Si, M.Sc; Bapak Albert Zicko Johannes,
S.Si. M.Si; Ibu Juliani N. Muhamad, S.Si, M.Sc; Ibu Frederika Rambu
Ngana, S.Si., M.Eng; Bapak Harti Umbu Mala, S.Si., M.Si; Ibu Lila Dilak,
S.Pd, yang telah memberikan bekal ilmu yang sangat berharga selama masa
studi penulis.
7. Kepala Dinas Pertanian Kota Kupang serta jajarannya yang telah bersedia
menerima dan meluangkan waktu untuk memberikan ilmu kepada penulis.
8. Keluarga tercinta: Mama Olce Sarlota Kase, Opa Lukas Kase, Oma Lebrina
Kase, Aka, Dede, Gery, Koko, Amora, Ma Seli, To’o Maksi, Ma Ani, Mam
to’o Leni, Om Jon, Putri, Rio, Ela, Dista, yang selalu mendoakan,
mendukung, dan memfasilitasi semua kebutuhan penulis selama menuntut
ilmu hingga penyelesaian skripsi ini.
9. Teman dan Sahabat: Mei, Erson, Riky, Thea, Tilda, Caca, Bela, Rizky,
Chychy, Sela, Echa, Lando, Meny, Febri, Yuven, Ora, Elsa, Dewi, Isak dan
Misbah yang selalu memberikan dukungan, motivasi, serta meluangkan
waktunya kepada penulis selama melaksanakan penelitian dan penyelesaian
skripsi ini.
10. Teman-teman bidang kepeminatan Geofisika dan teman-teman seperjungan
Phositron’17: Ipang, Febri, Meny, Rizky, Lando, Yuven, Angky, Misbah, Tio
Ora, Rocky, Alvin, Chychy, Sela, Sandra, Ruth, Jelita, Mercis, Ocin, Elin,
Wasthy, Santy, Any, Elsa, Risna, Dewi, Ady, Ina, Daud, Fhinsen, Andri,
Irma, Esri, Isak, Lius, Jhon, Jhony, Andi, Efan, Nelis, Yona, Ica, Dela, Vita,
Jeny, Soly, Carles, Elga, Gerda, Tuty, Amanda, Joice, Aqni, Sary, Marce,
Ivon, Iven, , Sindy, Joy, Ordi, Nelia, Ransi, Ega, Novi, Mia, Dinda, Yeni,
Eka, Ita, Duran, Aira, Lersi, Linda, Astin, Eti, Osi, yang selalu membantu,
memberikan dukungan dan memotivasi dari awal penelitan hingga
terselesainya skripsi ini.
11. Persekutuan Mahasiswa Kristen KTB Fisika FCB (Friendship Carry
Peacefull): Ka Hendrik dan Lando yang selalu memberikan motivasi dan doa
kepada penulis.
v
12. Kakak-kakak dan adik-adik semester Program Studi Fisika angkatan:
Phasifik’14, Phoseidon’15, Photon’16, Physioner’18 dan Alphard’19 yang
telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis selama masa
perkuliahan hingga proses penyelesaian skripsi ini.
13. Semua pihak yang telah membantu penulis selama menuntut ilmu di
Universitas Nusa Cendana.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis juga membutuhkan kritik dan saran
sehingga dapat menjadi referensi untuk peneliti selanjutnya.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat diterima serta bermanfaat untuk
semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
vi
DAFTAR ISI
vii
3.1.2 Prosedur penelitian........................................................................................... 31
3.3 Pengumpulan Data ...................................................................................................... 32
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Energi yang dipantulkan dan dipancarkan oleh sensor penginderaan
jauh (Syah, A. F., 2010) ....................................................................12
Gambar 2.2 Komponen Gelombang Elektromagnetik (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015) ................................................................................13
Gambar 2.3 Spektrum Elektromagnetik (Lillesand, Kiefer & Chipman, 2015) ....14
Gambar 2.4 Spektrum GEM yang digunakan dalam penginderaan jauh (Syah,
2010) .................................................................................................14
Gambar 2.5 Selected multispectral sensor measurements made along one scan
line. Sensor covers the following spectral bands: 1, blue; 2, green; 3,
red; 4, near infrared; 5, thermal infrared (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015) ................................................................................21
Gambar 2.6 Tahapan dasar dalam klasifikasi terbimbing (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015) ................................................................................22
Gambar 2.7 Cara kerja SVM (Firmansyah, 2019) .................................................24
Gambar 2.8 Kelas spectral dalam dua chanel data pada citra (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015) ................................................................................26
Gambar 2.9 Proses multistage klasifikasi tidak terbimbing (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015) ................................................................................28
Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian ..........................................................................30
Gambar 4.1 Citra Landsat 8 (a) band 7. (b) band 5. (c) band 3. (d) band 4 .........38
Gambar 4.2 Hasil composite metode 1 dan metode 2 Citra Landsat 8 ..................39
Gambar 4.3 Peta penggunaan lahan dengan metode 1 ...........................................40
Gambar 4.4 Penggunaan lahan berdasarkan jumlah piksel citra dengan metode 1 42
Gambar 4.5 Peta penggunaan lahan dengan metode 2 ...........................................45
Gambar 4.6 Penggunaan lahan berdasarkan jumlah piksel dengan metode 2 .......45
Gambar 4.7 Diagram perbandingan lahan kering ..................................................47
Gambar 4.8 Peta lahan kering di Kota Kupang dengan metode 1 .........................48
Gambar 4.9 Peta lahan kering di Kota Kupang dengan metode 2 .........................48
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Luas Luas Lahan Tegal/Kebun, Ladang/Huma, dan Lahan yang
Sementara Tidak Diusahakan Menurut Provinsi (Hektar) (BPS, 2015)9
Tabel 2.2 Penggunaan Lahan Kering di Kota Kupang dari tahun 2016-2020
(Hektar) (Dinas Pertanian Kota Kupang) ............................................10
Tabel 2.3 Perbandingan Band Pada Cita Lansat 7 dan Landsat 8 (Purwanto,
2015)....................................................................................................17
Tabel 3.1 Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian ................31
Tabel 4.1 Luas penggunaan lahan metode 1 dan metode 2 ...................................30
Tabel 4.2 Perbandingan penggunaan lahan kering ................................................45
Tabel 4.3 Tabel luas lahan kering di Kota Kupang ................................................46
x
DAFTAR LAMPIRAN
xi
ABSTRAK
Lahan kering merupakan sumber daya yang memiliki potensi besar untuk
dikembangkan, baik untuk tanaman pertanian, hortikultura, perkebunan maupun
peternakan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui lokasi lahan
kering dengan bantuan data penginderaan jauh dan menghitung luas lahan kering
di Kota Kupang. Penelitian ini menggunakan citra satelit Landsat 8 yang
diklasifikasikan dengan metode Support Vector Machine (SVM) untuk
memetakan wilayah lahan kering. Dua metode dari band komposit yang berbeda
digunakan untuk mengklasifikasikan tutupan lahan. Tutupan lahan kering di Kota
Kupang terdiri dari lahan tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, ditanami
pohon/hutan rakyat, padang penggembalaan, hutan, sementara tidak diusahakan,
dan lain-lain. Hasil pemetaan menunjukan bahwa Kota Kupang memiliki potensi
wilayah lahan kering berdasarkan hasil klasifikasi metode 1 (false color composite
band 7,5,3) adalah 7.727,76 ha dan metode 2 (color infrared band 5,4,3) memiliki
luas 7.874,91 ha. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa penginderaan jauh dapat
digunakan untuk memetakan potensi wilayah lahan kering yang ada di Kota
Kupang.
Kata Kunci : Lahan Kering, Penginderaan Jauh, Landsat 8, Support Vector
Machine (SVM).
xii
ABSTRACT
xiii
BAB I
PENDAHULUAN
1
kehidupan ekonominya pada sektor pertanian, sehingga membuat sektor pertanian
menjadi tumpuan bagi perkembangan perekonomian di Indonesia. Dengan
kekayaan alam yang sangat berlimpah dan juga dilengkapi dengan iklim tropis
maka hal ini tentu saja dapat menunjang Indonesia unutk berbagai macam aktifitas
pertanian dalam arti luas (pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan
peternakan) (Wibowo, 2012).
Penginderaan jauh merupakan ilmu untuk memperoleh informasi tentang
objek, daerah, atau gejala dengan cara analisis data yang diperoleh dengan
menggunakan alat tanpa kontak langsung terhadap objek, daerah atau gejala
tersebut (Lillesand and Kiefer, 1979). Penginderaan jauh menjadi bagian dari citra
digital pada bidang Sistem Infromasi Geografis yang dimana dengan tersedianya
suatu data yang diolah agar memperoleh suatu infromasi, dengan memanfaatkan
citra satelit yang mempunyai resolusi spasial tinggi sebagai salah satu data
penginderaan jauh yang digunakan untuk mendapatkan informasi tentang
permukaan bumi. Penggunaan teknik interpretasi dengan memanfaatkan citra
satelit, dimana salah satu jenis citra yang umumnya dapat digunakan yaitu
Landsat. Dengan sumber data Landsat yang ada, maka untuk mendapatkan data-
data lapangan lebih efektif apabila dibandingkan dengan cara terrestrial atau
manual. Waktu dan tenaga yang dibutuhkan akan relatif lebih sedikit, karena citra
Landsat tersebut mampu menyajikan kenampakan keruangan pada permukaan
bumi secara menyeluruh dan akurat. Teknologi citra satelit telah berperan besar
dalam perkembangan aplikasi ilmu penginderaan jauh, termasuk dalam
penggunaannya untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan yang terjadi
selama kurun waktu tertentu. Hasil penelitian Koto (2017) di Kecamatan
Wonosari, Kabupaten Boalemo, Propinsi Gorontalo menunjukan bahwa data
penginderaan jauh dapat digunakan untuk memetakan wilayah lahan kering. Pada
penelitian tersebut Koto menggunakan citra Landsat 8 dengan klasifikasi
supervised metode Support Vector Machine (SVM).
Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur menjadi
suatu wilayah pemusatan berkembangnya kegiatan sosial, budaya dan ekonomi.
Perkembangan suatu perkotaan ditandai dengan perkembangan populasi manusia
2
yang dapat berpengaruh terhadap penggunaan lahan pada wilayah tersebut. Kota
Kupang merupakan kota yang sedang mengalami perkembangan, hal itu
menyebabkan luas areal permukiman karena adanya pembangunan perumahan
dan bangunan lain akan mengakibatkan berkurangnya lahan. Perencanaan tata
ruang yang kurang baik, akan mengakibatkan berbagai dampak negatif, seperti
berkurangnya lahan yang berubah menjadi permukiman.
Kebutuhan akan lahan terus meningkat sejalan dengan bertambahnya
waktu, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek), dan pertambahan
jumlah penduduk. Tekanan kebutuhan penduduk terhadap lahan menyebabkan
pemanfaatan lahan melampaui daya dukung dan kemampuannya sehingga terjadi
kelelahan tanah (soil fatigue) dan kerusakan lahan (Nurdin SP, 2011).
Pembangunan yang terjadi dari waktu ke waktu pada suatu daerah dipengaruhi
oleh faktor penduduk dan faktor kegiatan fungsional masyarakat tersebut, hal
tersebut menyebabkan terjadinya perubahan penutupan lahan. Pesatnya
pembangunan khususnya pada daerah perkotaan menyebabkan tingginya
perubahan pola penggunaan lahan, yang sebelumnya merupakan lahan yang
dipergunakan sebagai lahan pertanian oleh masyarakat, pada akhirnya telah
banyak mengalami perubahan fungsi menjadi lahan terbangun.
Pada penelitian ini, peneliti akan memetakan lahan kering yang ada di
Kota Kupang. Pemetaan lahan kering di Kota Kupang perlu dilakukan bertujuan
untuk melihat kenyataan yang ada dilapangan dengan hasil klasifikasi dari citra
satelit penginderaan jauh. Hal ini bermanfaat karena teknologi penginderaan jauh
menjadi salah satu cara efektif yang dapat digunakan untuk memonitoring
penggunaan lahan yang terjadi pada suatu wilayah, begitu juga pada lahan kering
di Kota Kupang. Karena belum adanya peta lahan kering di Kota Kupang, maka
peta lahan kering ini akan membantu pemerintah Kota Kupang untuk dapat
mengetahui lokasi lahan kering dan luas lahan kering di Kota Kupang. Sehingga
berdasarkan uraian diatas, maka penulis mengangkat judul “Pemetaan Wilayah
Lahan Kering Menggunakan Penginderaan Jauh di Kota Kupang”.
3
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan
masalah dalam penelitian ini yaitu :
1. Bagaimana memetakan wilayah lahan kering dengan bantuan data
penginderaan jauh?
2. Berapakah luas wilayah lahan kering di Kota Kupang?
3. Dimanakah wilayah lahan kering di Kota Kupang?
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
5
Kupang menghasilkan gabah kering 603,52 ton dan beras 378,64 ton pada
produksi padi sawah diatas lahan panen seluas 108 Ha. Pada kecamatan Alak dan
kecamatan Maulafa menghasilkan gabah kering 120,80 ton dan beras 75,79 ton
pada produksi padi ladang diatas lahan panen seluas 33 Ha. Produksi pangan
lainnya di Kota Kupang pada tahun 2020 adalah jagung 2.199,50 ton, kacang
tanah 15,60 ton, kacang hijau 1 ton dan ubi kayu 433,65 ton. Pada tahun 2020
Kota Kupang tidak memproduksi kedelai dan kacang hijau seperti tahun-tahun
sebelumnya, untuk produksi pangan ini yang tertinggi adalah jagung dan ubi
(BPS, 2020).
Komoditi tanaman pangan hortikultura dengan produksi terbanyak di Kota
Kupang untuk sayur-sayuran adalah : kangkung, bayam, cabe besar, cabe rawit,
bawang, sawi, kacang panjang, tomat, terung, buncis, ketimun. Diantaranya
produksi terbanyak beruturut-turut : kangkung, bayam, sawi dan cabe rawit.
Komoditi tanaman pangan hortikultura buah-buahan yang paling banyak
diproduksi di Kota Kupang berturut-turut adalah : pisang, pepaya, sukun, sirsak,
nangka dan mangga. Untuk produksi perkebunan yang dominan di Kota Kupang
adalah kelapa. Pada tahun 2019 sendiri Kota Kupang memproduksi kelapa 91 ton
dengan luas areal 197 ha. Namun di tahun 2020 produksi kelapa mengalami
penurunan menjadi 86,5 ton dengan luas areal yang justru bertambah menjadi 199
Ha. Wilayah areal terluas adalah kecamatan Alak dengan 89 ha memproduksi 46
ton, dan terendah di kecamatan Kota Lama dengan produksi 0.5 ton (BPS, 2020).
Wilayah Kota Kupang musim kemarau terjadi pada periode pada bulan
Juni sampai dengan September dan musim hujan terjadi pada bulan Desember –
Maret. Keadaan seperti ini terjadi setiap setengah tahun setelah melewati masa
peralihan pada periode bulan Mei–Juni dan bulan November–Desember. Wilayah
Kota Kupang meiliki iklim dan curah hujan yang tidak merata, hal ini
menyebabkan curah hujan pada daerah-daerah tertentu relatif lebih rendah. Rata-
rata suhu udara minimum di Kota Kupang pada tahun pada 2020 adalah 21,5°C –
25,9°C dan rata-rata suhu udara maximum adalah 31,7°C – 34,7°C. Dengan
kelembaban tertinggi terjadi pada bulan Maret (86,1%) dan terendah pada bulan
September (66%) dengan kelembaban udara tahunan rata-rata adalah 77,67 %.
6
Dan Rata-rata curah hujan selama tahun 2020 tertinggi adalah pada bulan Januari
(308 mm) dan terendah (0 mm) adalah bulan Juni, Juli, Agustus dan September.
7
wilayah ini sering mengandung aluminium yang melampaui batas toleransi
tanaman. Jenis tanah di iklim basah ini juga peka terjadi erosi.
(b) Lahan Kering Beriklim Kering
Lahan kering beriklim kering merupakan daerah yang mempunyai jumlah
curah hujan tahunan rendah dengan musim kemarau panjang dan mempunyai sifat
fisik-kimia tanah yang umumnya lebih baik apabila dibandingkandengan lahan
kering beriklim basah sehingga akan sering terjadi defisit air. Pada wilayah
beriklim kering ini juga terdapat kandungan hara dan basa tinggi dengan pH netral
sampai alkalis, dengan curah hujan yang rendah juga menyebabkan pencucian
hara relatif rendah. Pada lahan kering beriklim kering, kendala yang sering
muncul adalah ketersediaan air yang terbatas, akibat dari curah hujan yang rendah
dan musim kemarau yang panjang, dimana hal tersebut akan menyebabkan
terjadinya penguapan yang lebih besar. Hal inilah yang menimbulkan alkalinitas
dan salinitas serta keseimbangan hara terganggu. Pada musim hujan di wilayah
beriklim kering kepekaan tanah terhadap erosi meiliki nilai cukup besar dengan
intensitas yang tinggi meski terjadi dalam jangka waktunya tidak lama, sehingga
dapat mendispersi partikel-partikel tanah. Keadaan iklim yang kering jika
dibandingkan dengan bulan basah akan lebih pendek dengan jangka waktu 3-4
bulan, sedangkan bulan kering akan lebih panjang dengan jangka waktu 6-9 bulan
serta flutuasi curah hujan yang tinggi dan juga tidak menentu merupakan kendala
yang dapat menggagalkan panen karena waktu tanam yang pendek. Apabila
ketersediaan air mencukupi, serta dengan pengelolaan tanah yang cukup baik,
maka produktivitas lahan kering pada topologi lahan ini termasuk tinggi
(Wahyunto dan Sofiyati R, 2012).
Wilayah beriklim kering tersebar di sebagian Aceh bagian utara, sebagian
wilayah Jawa Timur, sekitar lembah Palu, Bali, Nusa Tenggara, sebagian Maluku
dan sebagian wilayah Merauke.
Berdasarkan penggunaan lahannya untuk pertanian, secara umum lahan
kering dikelompokkan menjadi pekarangaan, tegal/kebun/ladang/huma, padang
rumput, tanah sementara tidak diusahakan, tanah untuk kayu-kayuan dan
8
perkebunan (BPS, 2015). Dengan penyebaran pada setiap provinsi disajikan pada
tabel 2.1.
Tabel 2.1 Luas Luas Lahan Tegal/Kebun, Ladang/Huma, dan Lahan yang
Sementara Tidak Diusahakan Menurut Provinsi (Hektar) (BPS, 2015)
Sementara
No Provinsi Tegal/Kebun Ladang/Huma Tidak
Diusahakan
1 Aceh 359.661 251.331 327.698
2 Sumatera Utara 593.174 353.059 279.281
3 Sumatera Barat 350.576 139.740 217.887
4 Riau 444.389 158.241 353.269
5 Jambi 359.474 256.761 305.799
6 Sumatera Selatan 377.243 203.102 530.440
7 Bengkulu 173.311 67.577 89.261
8 Lampung 749.097 - 69.920
Kepulauan Bangka
9 125.570 33.018 82.345
Belitung
10 Kepulauan Riau 38.581 24.946 106.079
11 D.K.I. Jakarta 955 8 80
12 Jawa Barat 596.917 182.490 10.093
13 Jawa Tengah 712.111 18.546 3.611
14 D.I. Yogyakarta 103.786 - 888
15 Jawa Timur 1.112.267 43.785 12.678
16 Banten 157.546 76.562 13.236
17 Bali 124 289 - 402
18 Nusa Tenggara Barat 245.564 82.677 33.749
19 Nusa Tenggara Timur 527.397 346.588 811.925
20 Kalimantan Barat 608.531 228.851 1.019.956
21 Kalimantan Tengah 588.541 160.132 1.863.794
22 Kalimantan Selatan 237.044 108.625 154.237
9
23 Kalimantan Timur 200.005 162.510 695.145
24 Kalimantan Utara 37.753 32.164 112.417
25 Sulawesi Utara 179.498 166.656 68.805
26 Sulawesi Tengah 413.208 173.976 423.915
27 Sulawesi Selatan 526.681 106.717 83.041
28 Sulawesi Tenggara 213.009 136.245 203.925
29 Gorontalo 151.484 59.878 54.121
30 Sulawesi Barat 137.131 92.908 44.487
31 Maluku 718.142 397.483 890.552
32 Maluku Utara 278.060 87.130 20 591
33 Papua Barat 6.523 662.818 2.087.099
34 Papua 399.436 357.978 975.000
Sementara menurut Dinas Pertanian Kota Kupang (2021), Lahan kering di
Kota Kupang merupakan pertanian bukan sawah yang diklasifikasikan menjadi
lahan tegal/kebun, ladang/huma, perkebunan, ditanami pohon/hutan rakyat,
padang penggembalaan/padang rumput, hutan, sementara tidak diusahakan dan
lahan lainnya (tambak, kolam, empang dan lain-lain). Berikut tabel penggunaan
lahan kering dari tahun 2016-2020 di Kota Kupang.
Tabel 2.2 Penggunaan Lahan Kering di Kota Kupang dari tahun 2016-
2019 (Hektar) (Dinas Pertanian Kota Kupang)
Penggunaan Lahan Luas Lahan Kering (Ha)
No
Kering 2016 2017 2018 2019
1 Tegal/Kebun 724 629 614,50 611
2 Ladang/Huma 406 300 298,00 298
3 Perkebunan 63 57 57,00 57
Ditanam pohon/ Hutan
4 1.330 1.491 1.479 1.478
rakyat
Padang penggembalaan/
5 1.142 1.164 1.160 1.155
Padang rumput
6 Hutan 347 145 145 145
Sementara tidak
7 1.076 1.071 1.063 1.053
diusahakan
8 Lainnya 2.837 2.596 2.595 2.487
Jumlah Lahan Kering 7.925 7.453 7.411,50 7.284
10
2.3 Penginderaan Jauh
Menurut Lillesand and Kiefer (1979) Penginderaan Jauh adalah ilmu dan
seni untuk memperoleh informasi tentang objek, daerah, atau gejala dengan proses
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung terhadap objek, daerah, atau gejala yang dikaji.
Teknologi penginderaan jauh menjadi salah satu metode alternatif yang
sangat menguntungkan apabila digunakan pada suatu negara dengan wilayah yang
sangat luas seperti Indonesia. Berikut ini keuntungan penggunaan teknologi
penginderaan jauh, antara lain yaitu (Syah, 2010):
1. Citra dapat menggambarkan setiap karakteristik secara mirip, relatif lengkap,
permanen dan dapat meliputi daerah yang sangat luas yang dimiliki oleh objek,
daerah dan gejala yang berada di permukaan bumi sesuai dengan wujud dan
letak objek tersebut dengan permukaan bumi.
2. Data dapat diambil dalam jumlah yang sangat banyak dalam waktu sekali
pengambilan data.
3. Pengambilan data dapat dilakukan berulang-ulang pada wilayah yang sama
sehingga analisis data dapat dilakukan tidak saja berdasarkan variasi spasial
tetapi juga berdasarkan variasi temporal.
4. Citra dapat merekam dengan tepat sesuai kenampakan pada permukaan bumi,
bahkan pada wilayah yang secara teresterial sangat sulit untuk dijangkau.
5. Merupakan satu-satunya cara untuk memetakan daerah bencana.
6. Periode pembuatan citra relatif pendek
Teknologi penginderaan jauh memiliki beberapa kelemahan yaitu (Syah,
2010):
1. Tidak dapat mendeteksi semua parameter misalnya kelautan dan wilayah
pesisir. Hal ini disebabkan karena teknologi penginderaan jauh tidak dapat
menembus benda padat yang tidak transparan dan daya tembus terhadap air
juga terbatas.
2. Jika dibandingkan dengan cara pendataan lapangan (survey in situ) akurasi data
lebih rendah.
11
3. Sifat gelombang elektromagnetik memiliki keterbatasan terhadap jarak yang
jauh antara sensor dengan benda yang diamati.
Secara umum sistem penginderaan jauh meliputi 2 proses utama, yaitu :
1. Perolehan data berupa sumber energi, perolehan energi melalui atmosfer,
interaksi objek dengan sensor, wahana (baik berupa pesawat terbang atau
satelit) dan output (baik yang berupa grafis atau numerik).
2. Analisis data, dimana alat interpretasi dan pengamatan mengalisis atau
melakukan proses pemisahan dengan menarik batas tertentu sehingga dapat
dipisahkan setiap jenis objek pada citra. Kemudian energi elektromagnetik
yang di pancarkan dan di pantulkan di permukaan bumi akan direkam oleh
sensor.
Penginderaan jauh sangat tergantung dari energi gelombang
elektromagnetik. Gelombang elektromagnetik dapat berasal dari banyak hal, akan
tetapi gelombang elektromagnetik yang terpenting pada penginderaan jauh adalah
sinar matahari (Syah, 2010). Sensor yang memanfaatkan energi dari pantulan
cahaya matahari atau energi bumi disebut dengan sensor pasif, sedangkan sensor
yang memanfaatkan energi dari sensor itu sendiri disebut dengan sensor aktif.
12
informasi permukaan bumi dengan cara mengekstrak energi radiasi matahari yang
dipantulkan oleh permukaan kepada satelit, data energi pantulan radiasi ini lalu
akan berubah menjadi gejala listrik dan akan mengirim data ke stasiun pengolahan
satelit yang ada di bumi. Dalam sistem penginderaan jauh terdapat 4 komponen
utama yaitu: sumber energi, interaksi energi dengan atmosfer, sensor sebagai alat
mendeteksi informasi dan objek yang menjadi sasaran pengamatan.
Sumber dari energi dalam penginderaan jauh berasal dari radiasi
gelombang elektromagnetik (GEM) (Syah, 2010). Radiasi GEM merupakan
bagian dari spectrum yang kontinyu dari energi yang hanya dapat diamati melalui
interaksinya dengan suatu objek dengan wujud energi dikenal sebagai sinar
tampak, sinar X, inframerah dan gelombang mikro.
13
Besar nilai persentase dari pantulan suatu objek akan mencerminkan warna
dari objek tersebut. Setiap benda memiliki struktur partikel yang berbeda-beda,
baik mikro maupun makro, apabila pada luasan tertentu terdapat beberapa jenis
benda, maka masing-masing dari benda tersebut akan memberikan pantulan dan
atau pancaran elektromagnetik yang dapat diterima oleh suatu sensor. Perbedaan
struktur ini yang akan mempengaruhi pola respons elektromagnetiknya.
Gelombang elektromagnetik sendiri terdiri atas sekumpulan saluran dengan
wilayah dan julat (range) panjang gelombang tertentu yang disebut dengan
spektrum.
Gambar 2.4 Spektrum GEM yang digunakan dalam penginderaan jauh (Syah,
2010)
14
Meskipun banyak karakteristik radiasi elektromagnetik yang paling mudah
dijelaskan oleh teori gelombang, terdapat teori lain tentang bagaimana energi
elektromagnetik berinteraksi dengan materi. Dimana dalam teori Planc
menjelaskan gelombang elektromagnetik dipancarkan dalam bentuk diskrit yang
disebut quanta dan photon (Lillesand, Kiefer & Chipman, 2015). Energi tersebut
ditulis dalam persamaan :
𝐸 = ℎ. 𝑓 (2.2)
dimana:
E = energi kuantum (J)
h = konstanta Plank’s (6.624x10-24 Joule.detik)
f = frekuensi pancaran (Hz)
Hubungan antara model teori gelombang dan teori kuantum dari GEM
dengan mensubstitusi persamaan 2.1 dan 2.2 dituliskan sebagai berikut :
ℎ .𝑐
𝐸= (2.3)
𝜆
Objek pada permukaan bumi merupakan sumber radiasi, besar tenaga yang
diradiasikan oleh suatu objek merupakan suatu fungsi suhu permukaan dari obyek
tersebut. Sifat ini dinyatakan oleh hukum Stefan–Boltzmann, yang menyatakan
bahwa:
𝑊 = 𝜎 𝑇4 (2.4)
dimana:
W = jumlah tenaga yang dipancarkan dari permukaan obyek (Wm-2)
𝜎 = Tetapan Stefan Boltzman (5.6697x10-8 W m-2 K-4)
T = Suhu absolut obyek (K)
Ketika energi elektromagnetik terjadi pada suatu permukaan di muka
bumi, maka dapat terjadi tiga interaksi energy tersebut dengan benda yaitu
dipantulkan, diserap atau di transmisikan. Dengan menerapkan hukum kekekalan
energi, hubungan timbal balik antara tiga jenis interaksi tersebut dapat dinyatakan
sebagai:
EI (λ) = ER (λ) + EA (λ) + ET (λ)
15
dimana :
EI = tenaga yang mengenai benda
ER = tenaga yang dipantulkan
EA = tenaga yang diserap
ET = tenaga yang ditransmisikan
16
Land Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal
sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9) berada pada
OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian besar kanal memiliki
spesifikasi mirip dengan Landsat 7. Satelit Landsat 8 terbang dengan ketinggian
705 km dari permukaan bumi dan memiliki area scan seluas 170 km x 183 km
(mirip dengan Landsat versi sebelumnya). NASA sendiri menargetkan satelit
Landsat 8 ini dapat mengemban misi selama 5 tahun beroperasi (sensor OLI
dirancang 5 tahun dan sensor TIRS 3 tahun). Namun tidak menutup kemungkinan
umur produktif Landsat 8 dapat lebih panjang dari umur yang dicanangkan
sebagaimana terjadi pada Landsat 5 (TM) yang awalnya ditargetkan hanya
beroperasi 3 tahun namun ternyata sampai tahun 2012 masih bisa berfungsi
(Yuliara, 2014).
Informasi data kerapatan vegetasi dan perubahannya, luas lahan, dan
keadaan dilapangan dapat dideteksi dari teknik penginderaan jauh dengan
menggunakan citra satelit, salah satunya adalah Landsat 8. Landsat 8 mempunyai
ukuran rentang yang berbeda dari frekuensi sepanjang spektrum elektromagnetik
warna, meskipun tidak selalu warna terlihat dengan mata manusia. Setiap rentang
disebut sebuah band, dan Landsat 8 memiliki 11 band. Jenis kanal, panjang
gelombang dan resolusi spasial setiap band pada Landsat 8 dibandingkan dengan
Landsat 7 seperti tertera pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.3 Perbandingan Band Pada Cita Lansat 7 dan 8 (Purwanto, 2015)
Landsat 7 Landsat 8
Band Name Bandwich Resolution Band Name Bandwich Resolusion
Band 1 0,43-0,45 30
Coastal
Band 1 Blue 0,45-0,52 30 Band 2 Blue 0,45-0,51 30
Band 2 Green 0,52-0,60 30 Band 3 0,53-0,59 30
Green
Band 3 Red 0,63-0,69 30 Band 4 Red 0,64-0,67 30
Band 4 NIR 0,77-0,90 30 Band 5 NIR 0,85-0,88 30
Band 5 SWIR 1,55-0,75 30 Band 6 1,57-0,65 30
1 SWIR 1
Band 7 SWIR 2,09-2,35 30 Band 7 2,11-2,29 30
2 SWIR 2
Band 8 Pan 0,52-0,90 15 Band 8 Pan 0,50-0,68 15
Band 6 TIR 1,36-1,38 30/60 Band 9 1,36-1,38 30
17
Cirrus
10,40- Band 10 10,6- 100
12,50 TIRS 1 11,19
Band 11 11,5- Band 11 11,5- 100
TIRS 2 12,51 TIRS 2 12,51
18
Berdasarkan hasil penelitian Yusuf (2018), yang dilakukan pada Desember
di wilayah DAS Sei Ular. Hasil klasifikasi dan interpretasi citra Landsat 7 TM
tahun 2007 dan Landsat 8 OLI tahun 2017, menunjukan adanya perubahan luas
dari 9 kelas tutupan lahan yaitu badan air, hutan lahan kering, lahan
terbuka, mangrove, pemukiman, perkebunan, sawah, semak dan tambak kelas.
Dimana pada tahun 2007 kelas tutupan lahan dengan luasan terbesar adalah hutan
lahan kering, diikuti lahan terbuka dan sawah. Mangrove merupakan luas tutupan
lahan terkecil, diikuti badan air. Sedangkan hasil klasifikasi citra Landsat 8 OLI
tahun 2017, menunjukan kelas tutupan lahan dengan luasan terbesar adalah hutan
lahan kering, diikuti lahan terbuka dan perkebunan. Tambak merupakan tutupan
lahan dengan luas terkecil. Pada semua kelas tutupan lahan terjadi perubahan
penutupan lahan tahun 2007 dan tahun 2017 di kawasan DAS Sei Ular. Dimana
tutupan lahan yang mengalami penambahan luas terbesar adalah pemukiman,
diikuti perkebunan, akan tetapi pada hutan lahan kering terjadi penurunan luas
terbesar yang diikuti dengan semak. Semakin meningkatnya luas pemukiman dari
tahun 2007 ke tahun 2017 ini dapat terjadi seiring dengan peningkatan jumlah
penduduk dari tahun ke tahun sehingga mendorong penduduk di wilayah tersebut
untuk membuka lahan lahan yang ada sebagai lahan pemukiman.
19
Pengenalan pola spasial adalah pendekatan yang sangat berbeda, yang
melibatkan kategorisasi piksel gambar berdasarkan hubungan spasialnya dengan
piksel yang mengelilinginya. Pengklasifikasi spasial mungkin mempertimbangkan
aspek-aspek seperti tekstur gambar, kedekatan piksel, ukuran fitur, bentuk, arah,
pengulangan, dan konteks. Jenis pengklasifikasi ini mencoba untuk mereplikasi
jenis sintesis spasial yang dilakukan oleh analis manusia selama proses
interpretasi visual. Oleh karena itu, mereka cenderung jauh lebih kompleks dan
intensif komputasi daripada prosedur pengenalan pola spektral.
Secara historis, pendekatan spektral telah membentuk klasifikasi
multispektral (walaupun dengan ketersediaan skala besar data resolusi tinggi saat
ini, ada peningkatan penggunaan prosedur berorientasi spasial). Dalam klasifikasi
klasifikasi terbimbing, analis citra “diarahkan” proses kategorisasi piksel dengan
menetapkan, ke algoritma komputer, deskriptor numerik dari berbagai jenis
tutupan lahan yang ada dalam sebuah area. Untuk melakukan ini, sampel
representatif dari jenis penutup yang diketahui, yang disebut area pelatihan
(training areas), digunakan untuk menyusun "kunci interpretasi" numerik yang
menggambarkan atribut spektral untuk setiap jenis fitur yang diminati. Setiap
piksel dalam kumpulan data kemudian dibandingkan secara numerik dengan
setiap kategori dalam kunci interpretasi dan diberi label dengan nama kategori
yang "paling mirip".
Dalam pendekatan tanpa pengawasan, data gambar pertama-tama
diklasifikasikan dengan menggabungkannya ke dalam pengelompokan spektral
alami, atau kluster, yang ada pada citra. Kemudian analis citra menentukan
identitas tutupan lahan dari kelompok spektral tersebut dengan membandingkan
data citra terklasifikasi dengan data referensi lahan.
20
berbasis numerik, maka pengenalan polanya merupakan proses otomatik dengan
bantuan komputer.
Keunggulan supervised classification adalah memiliki kontrol terhadap
informational classes berdasarkan training sampel, dan adanya kontrol terhadap
keakuratan klasifikasi. Kekurangannya adalah interpretasi data dipaksakan,
pemilihan training sampel belum tentu representatif, dan adanya kelas spektral
yang tidak teridentifikasi (Septiani, 2019).
Metode klasifikasi supervised pada umumnya diawali dengan menentukan
beberapa sampel dari tiap kelas peruntukan lahan (training set). Algoritma pada
perangkat lunak yang digunakan kemudian akan menggunakan sampel (training
area) tersebuat untuk mengklasifikasi seluruh citra yang diinginkan. Algoritma
tersebut menggunakan karakteristik spektral sesuai yang telah ditentukan sampel,
kemudian akan dilakukan pencarian karakterisitik spektral yang paling
menyerupai pada masing-masing kelas.
Gambar 2.5 Selected multispectral sensor measurements made along one scan
line. Sensor covers the following spectral bands: 1, blue; 2, green; 3, red; 4, near
infrared; 5, thermal infrared (Lillesand, Kiefer & Chipman, 2015).
Gambar 2.5 menunjukkan lokasi satu baris data yang dikumpulkan untuk
contoh citra di atas lanskap yang terdiri dari beberapa jenis tutupan. Untuk setiap
piksel yang ditampilkan di sepanjang garis ini, sensor telah mengukur pancaran
pemandangan dalam hal DNs yang direkam di masing-masing dari lima pita
21
spektral penginderaan: biru, hijau, merah, inframerah dekat, dan inframerah
termal. Di bawah garis pindai, DNs tipikal yang diukur pada enam jenis tutupan
lahan yang berbeda ditampilkan. Bilah vertikal menunjukkan nilai abu-abu relatif
di setiap pita spektral. Lima keluaran ini mewakili deskripsi kasar dari pola
respons spektral dari berbagai fitur medan di sepanjang garis pemindaian. Jika
pola spektral ini cukup berbeda untuk setiap jenis fitur, mereka dapat membentuk
dasar untuk sebuah klasifikasi citra.
Gambar 2.6 Tahapan dasar dalam klasifikasi terbimbing (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015)
22
a. Klasifikasi Terbimbing dengan Saga GIS
Ada enam langkah utama klasifikasi terbimbing menggunakan software
SAGA GIS:
1. Tampilkan data citra pada SAGA
2. Melakukan segmentasi
3. Tampilkan ‘area latihan’ dan tetapkan kelas tutupan lahan
4. Supervised Classification
5. Edit hasil klasifikasi
6. Tampilkan statistic area.
b. Klasifikasi Support Vector Machine (SVM)
Support Vector Machine (SVM) adalah klasifikasi terbimbing non-
parametrik yang sering digunakan untuk mengkelaskan citra satelit, yang
diperuntukkan untuk berbagai macam pemetaan (Firmansyah, 2019). Support
Vector Machine (SVM) merupakan algoritma yang bekerja menggunakan
pemetaan nonlinier untuk mengubah suatu data asli ke dimensi yang lebih tinggi.
Dalam hal ini dimensi baru, akan mencari hyperplane untuk memisahkan secara
linier dan dengan pemetaan nonlinier yang tepat ke dimensi lebih tinggi, data dari
dua kelas atau lebih selalu dapat dipisahkan dengan hyperplane tersebut (Ritonga,
2018).
1
min 2 ‖𝜔‖2 (2.5)
Subject to
𝑦𝑖 (𝑤𝑥𝑖 + 𝑏) ≥ 1, 𝑖 = 1, … . , 𝜆 (2.6)
atau
23
Dalam beberapa kasus yang tidak feasible (infeasible) dimana beberapa
data mungkin tidak bisa diklasifikasikan secara benar, maka formulasi
matematikannya dapat ditulis:
1 𝜆
min 2 ‖𝜔‖2 + 𝐶∑𝑖=1 𝑡𝑖 (2.9)
Subject to
𝑦𝑖 (𝑤𝑥𝑖 + 𝑏) + 𝑡𝑖 ≥ 1 (2.10)
𝑡𝑖 ≥ 0, 𝑖 = 1, … . , 𝜆 (2.11)
24
SVM dapat bekerja pada data non-linier dengan menggunakan pendekatan
kernel dimana dimensi awal (dimensi yang lebih rendah) himpunan data dipetakan
ke dalam dimensi baru (dimensi yang relatif lebih tinggi) yang dikenal dengan
Fungsi Kernel. Dua persamaan Fungsi Kernel diantaranya (Octaviani, 2014):
2. Kernel Polymniminal
𝑑
𝐾 (𝑥𝑖 , 𝑥𝑗 ) = ((𝑥𝑖 , 𝑥𝑗 ) + 𝑐) (2.13)
25
tidak akan diketahui. Analis harus membandingkan data yang telah diklasifikasi
dengan beberapa bentuk data referensi (seperti citra skala besar atau peta) untuk
menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral. Jadi, dalam pendekatan
terbimbing ini dapat mendefinisikan kategori informasi yang dapat dipakai dan
kemudian dilakukan pemisahan setiap spektralnya; dalam pendekatan tidak
terbimbing ditentukan kelas yang dapat dipisahkan secara spektral dan kemudian
menentukan utilitas informasinya.
Pendekatan tidak terbimbing diilustrasikan dengan cara
mempertimbangkan kembali kumpulan data dua saluran. Pengelompokan spektral
alami dalam data dapat diidentifikasi secara visual dengan memplot diagram
pencar. Misalnya, pada Gambar 2.7 dibawah ini dilakukan plot nilai piksel yang
diperoleh di atas area hutan. Tiga pengelompokan terlihat dalam diagram pencar
tersebut. Setelah membandingkan data citra terklasifikasi dengan data referensi
tanah, selanjutnya memungkinkan untuk dapat menemukan bahwa satu klaster
sesuai dengan pohon yang telah gugur, satu dengan konifer, dan satu dengan
pohon dari kedua jenis (ditunjukkan oleh D, C, dan S pada Gambar 2.7).
Gambar 2.8 Kelas spectral dalam dua chanel data citra (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015)
26
Dalam pendekatan yang termbimbing, disini mungkin tidak
mempertimbangkan pelatihan untuk kelas "tekanan". Ini menyoroti salah satu
keuntungan utama klasifikasi tidak terbimbing: Pengklasifikasi mengidentifikasi
kelas spektral berbeda yang ada dalam data gambar. Banyak dari kelas-kelas ini
mungkin awalnya tidak terlihat oleh analis yang menerapkan pengklasifikasi
terbimbing. Demikian pula, kelas spektral dalam sebuah citra mungkin sangat
banyak sehingga akan sulit untuk melatih semuanya. Dalam pendekatan tidak
terbimbing mereka akan dapat ditemukan secara otomatis.
27
digabungkan bersama. Di sisi lain, jika satu cluster memiliki standar deviasi
(dalam satu dimensi) yang lebih besar dari nilai maksimum yang telah ditentukan,
cluster dibagi menjadi dua. Cluster dengan jumlah piksel lebih sedikit dari yang
ditentukan akan dihilangkan. Akhirnya, seperti varian K-means lainnya, semua
piksel kemudian direklasifikasi ke dalam set cluster yang direvisi, dan prosesnya
berulang, sampai tidak ada perubahan signifikan dalam statistik cluster atau
jumlah iterasi maksimum tercapai.
28
Gambar 2.9 proses multistage klasifikasi tidak terbimbing (Lillesand, Kiefer &
Chipman, 2015)
Urutan umum ditunjukkan pada Gambar 2.9 dimana:
29
5. Penggabungan hasil klasifikasi (Merger of classification results). Hasil dari
recoded output klasifikasi tahap kedua dimasukkan kembali ke dalam gambar
output dari klasifikasi awal.
Hasil dari prosedur ini adalah klasifikasi modifikasi yang identik dengan
aslinya, kecuali bahwa satu kelas spektral over-broad telah dipecah menjadi dua
atau lebih kelas lainnya. Jika perlu, lebih dari satu kelas "problem" dapat dipecah
dengan cara ini, baik secara bersamaan atau seri.
30
BAB III
METODE PENELITIAN
31
Analisis data menggunakan perangkat lunak (Software) yaitu SAGA GIS 7.9.0
dan QGIS 3.16.8.
Serta data primer dan data sekunder antara lain disajikan pada Tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data primer dan sekunder yang digunakan dalam penelitian
No Nama Data Jenis Data Sumber Tahun
1. Data survey lapangan Data primer GPS dan Kamera 2021
(Ground check)
2. Citra Landsat 8 OLI Data www.earthexplorer.u 2020
TIRS sekunder sgs.gov
32
Format data ini berbasis vektor. Jadi, data spasial seperti titik, garis dan
bidang disimpan dalam bentuk kumpulan titik. Untuk data garis, disimpan titik-
titik sudutnya. Sedangkan untuk bidang, juga disimpan titik-titik sudutnya. Peta
RBI yang digunakan pada penelitian ini dapat didownload dari Indonesia
Geospatial Portal dalam bentuk file shp.
33
Dari data citra yang didownload, dipilih 3 buah kanal atau band yang
dikombinasikan sesuai dengan karakteristik spektral masing-masing kanal dan
disesuaikan dengan tujuan dari penelitian. Penelitian mengenai pemantauan
kondisi perubahan tutupan lahan pada penelitian ini dipilih kanal 7, 5 dan 3 untuk
metode 1 dan kanal 5, 4 dan 3 untuk metode 2 pada citra Landsat 8 OLI.
2. Pemotongan Citra (Cliping)
34
citra yang terekam pada bulan agustus 2020 yang di download pada website
www.earthexplorer.usgs.gov
b) Memilih Coordinate System output yang sesuai wilayah penelitian (UTM
South).
c) Menginput data polygon vector untuk batas administrasi Kota Kupang ke
dalam SAGA.
d) Pemotongan data citra Landsat 8, pemotongan dilakukan sesuai dengan batas
administrasi kota Kupang menggunakan tools ‘Clip’.
e) Dilakukan combine band 7-5-3 untuk metode 1 dan ban 5-4-3 untuk metode 2
pada citra Landsat 8 yang telah dipotong (clip) sebelumnya, untuk
mendapatkan warna false color composite.
f) Menginput data sampel titik-titik koordinat tutupan lahan yang telah
diperoleh dari lapangan ke dalam SAGA. Titik-titik koordinat tersebut
diambil sesuai dengan tutupan lahan yang ada di Kota Kupang dengan
menggunakan GPS.
g) Menggabungkan citra Landsat 8 Kota Kupang dengan data titik-titik tutupan
lahan.
h) Membuat polygon baru untuk training area pada citra Landsat 8. Proses ini
menggunakan tools Shapes kemudian Construction dan memilih Create new
shapes layer.
i) Melakukan training area dengan memanfaatkan titik-titik koordinat tutupan
lahan yang telah diperoleh dari lapangan. Sampel-sampel tutupan lahan
dibuat dalam bentuk polygon sesuai dengan titik-titik yang diperoleh di
lapangan.
j) Sampel training area tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi 11 kelas
jenis tutupan lahan, yaitu; ditanami pohon, hutan, ladang/huma, perkebunan,
padang penggembalaan, tegal/kebun, tidak diusahakan, lahan bukan pertanian
(pemukiman), sawah, tubuh air dan lainnya, pada menu attributes lalu show.
2. Pemetaan Lahan Kering
Dari kelas klasifikasi tutupan lahan, selanjutnya dapat dilakukan
klasifikasi penggunnan lahan. Kelas klasifikasi penggunaan lahan diekstrak
35
berdasarkan klasifikasi tutupan lahan dan pengetahuan lapangan. Selanjutnya
dapat diperoleh penentuan potensi lahan kering dari hasil analisis penggunaan
lahan tersebut.
36
f) Untuk mempermudah dalam proses klasifikasi, dapat ditetapkan nomor untuk
setiap kelas; lahan kering diidentifikasi sebagai 1, lahan non kering
diindentifikasi sebagai 2, dan pemukiman diidentifikasi sebagai 3.
g) Penentuan potensi lahan kering pada peta dilakukan dengam tool Grid lalu
Values lalu pilih Change Grid Values. Dalam proses ini, terdapat parameter
yang perlu diatur dalam change grid values. Sistem grid dan Grid akan
bergantung pada tampilan peta, serta apa yang diberi nama. Namun, grid akan
menjadi produk dari klasifikasi penggunaan lahan sebelumnya.
h) Selanjutnya didapatkan peta baru yang telah dibuat. Akan terlihat bahwa peta
tersebut itu muncul dalam warna bertingkat, selanjutnya di pengaturan,
diubah warnanya menjadi ‘classified’.
i) Buka tabel di bawah classified, maka akan dilihat bahwa hanya ada dua kelas
yang muncul, dalam warna merah dan hitam. Kemudian ditambahkan kelas
baru dengan ‘add’, dan ganti nama semua kelas dengan label yang sesuai,
serta ubah kelas satu minimum dan maksimum untuk kelas 1, lahan kering,
menjadi 1, untuk kelas 2 lahan non kering, menjadi 2, dan kelas 3
pemukiman menjadi 3. Kemudian diubah warna pada setiap kelas.
j) Selanjutnya dapat dilihat histogram untuk peta lahan kering, ini dapat
dilakukan dengan mengklik kanan pada peta yang diklasifikasikan, dan
memilih histogram.
k) Selanjutnya dapat melihat data dalam bentuk tabulasi dengan memilih convert
to table saat histogram terbuka. Tabel tersebut akan muncul di tab data, yang
kemudian dapat dibuka untuk melihat luas area setiap kelas lahan kering,
lahan non kering dan pemukiman dalam meter persegi.
37
3.5 Diagram Alir
Mulai
Konversi ke koordinat
UTM South
Klasifikasi Terbimbing
Metode SVM
Selesai
38
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pemrosesan Citra Landsat
Citra Landsat 8 yang diperoleh masih terdiri atas saluran-saluran
tersendiri. Penggabungan saluran menjadi satu file citra dilakukan dengan tujuan
agar dapat dilakukan klasifikasi citra secara digital dengan menggunakan SAGA
GIS . Untuk dilakukan analisis secara visual, citra dapat dibuat dalam komposit-
komposit warna yang diinginkan dengan menggunakan saluran-saluran dari hasil
perekaman citra seperti pada gambar di bawah ini.
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 4.1 Citra Landsat 8 (a) band 7. (b) band 5. (c) band 3. (d) band 4.
39
lahan kering Dinas Pertanian Kota Kupang, serta menggunakan dua kombinasi
citra yaitu false color composite (753) untuk metode 1 dan color infrared (543)
untuk metode 2.
40
Kupang memiliki daerah terendah terletak pada ketinggian 0-50 mdpl, sedangkan
untuk daerah tertinggi terletak di bagian selatan dengan ketinggian antara 100-350
mdpl.
Tabel 4.1 Luas penggunaan lahan metode 1 dan 2
Metode 1 Metode 2
Keterangan
Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Ditanami Pohon 578,52 3,79% 984,42 6,45%
Hutan 272,7 1,79% 173,97 1,14%
Pemukiman 7.233,93 47,41% 7.053,66 46,22%
Ladang/Huma 194,31 1,27% 208,26 1,36%
Sawah 151,47 0,99% 191,79 1,26%
Lainnya 1571,85 10,30% 1.107,09 7,26%
Perkebunan 221,58 1,45% 141,66 0,93%
Padang Penggembalaan 2.406,87 15,77% 2.706,03 17,73%
Tidak diusahakan 2.092,05 13,71% 1.872,45 12,27%
Tubuh air 146,25 0,96% 139,05 0,91%
Tegal/Kebun 389,88 2,56% 681,03 4,46%
Total 15.259,41 100,00% 15.259,41 100,00%
41
Penggunaan lahan ditanami pohon memiliki luas wilayah 578,52 ha.
Lahan ditanami pohon merupakan lahan yang berdiri di atas tanah milik
masyarakat, dimana lahan tersebut terdiri atas pepohonan yang berada di daerah
datar dan cenderung berada dekat dengan pemukiman.
Hasil klasifikasi penggunaan lahan dengan metode SVM, tubuh air terdiri
atas sungai dan air dangkal. Air dangkal terdapat pada daerah yang memiliki
potensi air seperti aliran sungai, cekdam, tambak, kolam, empang, rawa dan lain-
lain yang diklasifikasikan sebagai tanah yang tergenang air. Tubuh air menempati
luas wilayah terkecil, yaitu 146,25 ha. Perkebunan yang terdapat di wilayah
penelitian berupa tanaman kelapa dan kacang mete. Perkebunan menempati luas
wilayah pada Kota Kupang yaitu sebesar 221,58 ha.
42
pada wilayah ketinggian 300 mdpl keatas. Komposit citra false color composite
753 lahan pada hutan nampak berwarna hijau tua.
43
Penggunaan lahan yang ditanami pohon memiliki luas wilayah 984,42 ha. Lahan
yang ditanami pohon memiliki kenampakan komposit citra infrared 543 berwarna
merah. Lahan tegal/kebun memiliki kenampakan warna merah muda dan
menempati luas wilayah 681,83, sedangkan ladang/huma memiliki kenampakan
coklat serta menempati luas wilayah 208,26 ha.
Klasifikasi padang penggembalaan menempati luas wilayah 2.706,03 ha,
memiliki kenampakan warna hijau. Penggunaan lahan sawah memiliki luas
wilayah 191,79 ha. Komposit citra color infrared 543 lahan persawahan nampak
hijau seperti lahan padang penggembalaan namun memiliki intesnsitas warna
yang lebih rendah. Hutan menempati luas wilayah 173,97 ha. Komposit citra color
infrarede 543 lahan pada hutan nampak berwarna merah kecoklatan.
Tutupan lahan yang sementara tidak diusahakan memiliki luas 1.872,45
ha, memiliki kenampakan komposit color infrared 543 berwarna coklat muda.
Dan lahan lainnya yang merupakan jenis lahan kering di kota kupang memiliki
luas 1.107,09 ha dan memiliki warna abu-abu. Sama seperti hasil klasifikasi citra
komposit FCC 753, pada citra komposit color infrared 543, pemukiman (lahan
bukan pertanian) merupakan wilayah dengan penggunaan lahan terluas di Kota
Kupang. Pemukiman mempunyai luas wilayah 7.053,66 ha yang terdapat di
hampir diseluruh Kota Kupang. Pemukiman nampak berwarna biru dengan nilai
pantulan yang tinggi. Peta penggunaan lahan komposit citra color infrared 543
disajikan pada gambar 4.5 dan diagram jumlah piksel untuk tiap penggunaan
lahan di Kota Kupang disajikan pada Gambar 4.6.
44
Gambar 4.5 Peta penggunaan lahan dengan metode 2
45
GIS 7.9.0. Berdasarkan laporan penggunaan lahan kering di Kota Kupang tahun
2019 dibagi menjadi 8 jenis tutupan lahan yaitu; ditanami pohon, hutan,
ladang/huma, perkebunan, padang penggembalaan, tegal/kebun, tidak diusahakan,
dan lainnya. Tabel 4.2 menyajikan perbandingan lahan kering hasil klasifikasi
metode 1, metode 2 dan laporan penggunaan lahan kering di Kota Kupang oleh
Dinas Pertanian Kota Kupang pada tahun 2019.
Tabel 4.2 Perbandingan penggunaan lahan kering
Penggunaan lahan
kering di Kota Kupang
Metode 1 Metode 2 (Laporan Dinas
Keterangan
Pertanian Kota Kupang
2019)
Luas (Ha) % Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Ditanami Pohon 578,52 7,49% 984,42 12,50% 1.478 20,29%
Hutan 272,7 3,53% 173,97 2,21% 145 1,99%
Ladang/Huma 194,31 2,51% 208,26 2,64% 298 4,09%
Lainnya 1571,85 20,34% 1.107,09 14,06% 2.487 34,14%
Perkebunan 221,58 2,87% 141,66 1,80% 57 0,78%
Padang
2.406,87 31,15% 2.706,03 34,36% 1.155 15,86%
Penggembalaan
Tidak diusahakan 2.092,05 27,07% 1.872,45 23,78% 1.053 14,46%
Tegal/Kebun 389,88 5,05% 681,03 8,65% 611 8,39%
Total 7.727,76 100,00% 7.874,91 100,00% 7.284 100,00%
46
Kupang berkisar pada 7.727,76 ha untuk metode 1 dengan komposit citra false
color composite 753, sedangkan metode 2 dengan komposit citra color infrared
memiliki luas total berkisar 7.874,91 ha. Gambar 4.7 menyajikan diagram
perbandingan penggunaan lahan kering hasil klasifikasi metode 1, metode 2 dan
laporan penggunaan lahan kering di Kota Kupang oleh Dinas Pertanian Kota
Kupang pada tahun 2019.
Metode 1 Metode 2
Keterangan
Luas (Ha) % Luas (Ha) %
Lahan Kering 7.727,76 50,64% 7.874,91 51,61%
Lahan Non Kering 297,72 1,95% 330,84 2,17%
Pemukiman 7.233,93 47,41% 7.053,66 46,22%
Total 15.259,41 100,00% 15.259,41 100,00%
Menurut data BPS luas Kota Kupang adalah 18.027 ha. Terdapat
perbedaan luas berdasarkan hasil klasifikasi total luas wilayah Kota Kupang yang
47
di dapat, karena pada penelitian ini peneliti menggunakan polygon shp RBI dari
Indonesia Geospatial Portal yang luasnya adalah 15.259,41 ha. Peta wilayah lahan
kering disajikan pada gambar dibawah ini.
48
Gambar 4.9 Peta lahan kering Kota Kupang metode 2
49
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa data penginderaan jauh dapat
digunakan untuk memetakan wilayah lahan kering yang ada di Kota Kupang.
Lahan kering tersebar pada sebagian wilayah Kota Kupang dan memiliki luas
7.727,76 ha untuk metode 1 dan 7.874,91 ha untuk metode 2. Kedua metode ini
menunjukan hasil yang berbeda untuk pemetaan wilayah lahan kering di Kota
Kupang. Tetapi hasil pemetaan dari kedua metode ini dapat menunjukkan luas
potensi wilayah lahan kering di kota Kupang. Dimana luas wilayah lahan kering
dari hasil pemetaan lebih besar dari luas lahan kering berdasarkan laporan
penggunaan lahan kering Dinas Pertanian Kota Kupang. Hal ini menunjukkan
bahwa wilayah kota Kupang masih memiliki potensi luas lahan kering yang
belum digunakan.
5.2 Saran
Penelitian ini mengambil lokasi training samples untuk 11 sampel lokasi
tutupan lahan di Kota Kupang. Untuk penelitian selanjutnya di sarankan untuk
mengambil lebih banyak training samples Sehingga luas lahan kering yang di
peroleh lebih akurat.
50
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2019. Luas Penggunaan Lahan Sawah dan Lahan Kering Menurut
Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Hektar).
Dinas Pertanian Kota Kupang. 2021. Penggunaan Lahan Kering di Kota Kupang
dari tahun 2016-2020 (Hektar).
Dinas Pekerjaan Umum Kota Kupang. 2016. Review Rencana Terpadu dan
Program Investasi Infrastruktur Jangka Memenengah Kota Kupang Tahun
2017-2021.
Ginting, A.P. 2017. Analisis Perubahan Penutupan Lahan Taman Alam dan Lahan
Agroforestry di Desa Sembahe dan Desa Batu Mbelin. [Skripsi].
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera
Utara.
51
Mulyani A, Mamat H.2019.Pengelolaan lahan kering beriklim kering untuk
pengembangan jagung di Nusa Tenggara. Jurnal sumberdaya
lahan.13(1):41-52.
Mulyani, A dan Sarwani, M. 2013 Karakteristik dan Potensi Lahan Sub Optimal
untuk Pengembangan Pertanian di Indonesia. Badan Litbang Pertanian di
Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan: Bogor.
Samsudine. 2019. Penjelasan Sederhana tentang Apa Itu SVM? Available from:
https://medium.com/@samsudiney/penjelasan-sederhana-tentang-apa-itu-
svm-149fec72bd02.
52
Syah, A. F. 2010. Penginderaan Jauh Dan Aplikasinya Di Wilayah Pesisir Dan
Lautan. Jurnal Kelautan. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Trunojoyo.
Yusuf, M. 2018. Analisis Daerah Tutupan Lahan Daerah Aliran Sungai Sei Ular
[Skripsi]. Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas
Sumatera Utara.
53
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tipe tutupan lahan kering di Kota Kupang
Tegal/Kebun Ladang/Huma
Padang Penggembalaan/Padang
Hutan
Rumput
54
Sementara tidak diusahakan Tubuh air dan lainnya
55
Tegal
5. 0566695 8864801 Sayur 334
(Tlointafena)
6. 0565495 8869226 Tegal Sayur 236
56
Lampiran 4. Tahapan kerja pemetaan pada SAGA GIS 7.9.0
1. Input data citra Landsat 8 ke SAGA GIS
57
4. Memilih data shp wilayah penelitian
58
7. Tampilan kotak clip grid with polygon
59
10. Input file kml data lapangan ke SAGA GIS
60
13. Tampilan kotak create new shapes layer
61
16. Polygon training area pada citra
62
19. Kotak SVM Classification
63
22 Tabel luas wilayah penggunaan lahan
64
25 Peta hasil Lahan kering
26 Tabel hasil reclasifikasi dan tabel perubahan variabel warna dan nilai
65
28 Tabel luas area wilayah lahan kering
1 Tegal/kebun
2 Ladang/huma
66
3 Perkebunan
Ditanami
4
pohon
Padang
5 penggembalaa
n
6 Hutan
Sementara
7 tidak
diusahakan
67
8 Lainnya
68
Lampiran 6. Surat penelitian pengambilan data
69