Anda di halaman 1dari 106

PEMODELAN 2D ENDAPAN NIKEL LATERIT DI DAERAH

POMALAA, KOLAKA, SULAWESI TENGGARA


MENGGUNAKAN METODA GEOLISTRIK RESISTIVITAS

SKRIPSI

FIRYAL HANA SALSABILA


11160970000033

PROGRAM STUDI FISIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1443 H / 2021 M
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PEMODELAN 2D ENDAPAN NIKEL LATERIT DI DAERAH


POMALAA, KOLAKA, SULAWESI TENGGARA
MENGGUNAKAN METODA GEOLISTRIK RESISTIVITAS

SKRIPSI
Diajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si)

FIRYAL HANA SALSABILA


NIM 11160970000033

Menyetujui,

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Sutrisno, Dipl. Seis. Ir. Yanto Sudiyanto, M.Si


NIP.19590202 198203 1 005 NIP. 19640525 199112 1 001

Mengetahui,
Ketua Program Studi Fisika

Tati Zera, M.Si


NIP. 196906082005012002

ii
LEMBAR PENGESAHAN UJIAN

Skripsi yang berjudul Pemodelan 2D Endapan Nikel Laterit di Daerah


Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara menggunakan Metoda Geolistrik
Resistivitas yang telah disusun oleh Firyal Hana Salsabila dengan NIM
11160970000033 telah diujikan dihadapan dewan penguji dan dinyatakan lulus
dalam sidang Munaqasah Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2021. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains (S.Si) Program Studi
Fisika.
Jakarta, 17 Juni 2021

Menyetujui,
Penguji I Penguji II

Tati Zera, M. Si Anugrah Azhar, M. Si


NIP. 19690608 200501 2 002 NIP. 19921031 201801 1 003

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Sutrisno, Dipl. Seis Ir. Yanto Sudiyanto, M.Si


NIP. 19590202 198203 1 005 NIP. 19640525 199112 1 001

Mengetahui,
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Ketua Program Studi Fisika
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Sains dan Teknologi

Ir. Nashrul Hakiem, S.Si., M.T., Ph.D Tati Zera, M.Si


NIP. 19710608 200501 1 005 NIP. 19690608 200501 2 002

iii
ABSTRAK
Kebutuhan nikel yang semakin meningkat mengakibatkan perlu dilakukan kegiatan
pencarian sumber-sumber barunya.. Untuk meningkatkan kepastian dalam eksplorasi
nikel dilakukan penelitian di daerah Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara menggunakan
metode geolistrik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui persebaran endapan nikel
laterit di bawah permukaan berdasarkan nilai resistivitasnya. Untuk itu dilakukan
pemodelan dan interpretasi terhadap data hasil survey geolistrik resistivitas dengan
konfigurasi Wenner-Schlumberger. Pemodelan dan interpretasi dilakukan terhadap 3
lintasan dengan panjang masing-masing 470 meter. Pengolahan data menghasilkan nilai
resistivitas yang selanjutnya nilai ini digunakan untuk pemodelan 2D dengan
menggunakan Least Square Inversion. Selanjutnya hasil pemodelan 2D ini dapat
digunakan untuk melihat persebaran endapan nikel laterit. Berdasarkan hasil pengolahan
data diperoleh nilai resistivitas berkisar 2,85 – 1676,63 Ω.𝑚. Dari nilai resistivitas
tersebut dibedakan menjadi zona, yaitu zona limonit, zona saprolit dan bedrock. Daerah
dengan nilai resistivitas sebesar 200,17 – 1096,05 Ω.𝑚 diperkirakan sebagai zona
limonit, nilai resistivitas sebesar 2,51 – 200,17 Ω.𝑚 diperkirakan sebagai zona saprolit
dan nilai resistivitas 200,17 – 1676,63 Ω.𝑚 diperkirakan sebagai bedrock.
Kata kunci : Nikel Laterit, Resistivitas, Wenner-Schlumberger

v
ABSTRACT
The increasing demand for nickel makes it necessary to search for new sources. To
increase certainty in nickel exploration, research is carried out in the Pomalaa area,
Kolaka, Southeast Sulawesi using the geoelectric method. This study aims to determine
the distribution of laterite nickel deposits under the surface based on their resistivity
values. For this reason, modeling and interpretation of the resistivity geoelectrical survey
data is carried out with the Wenner-Schlumberger configuration. Modeling and
interpretation were carried out on 3 tracks with a length of 470 meters each. Data
processing produces resistivity values which are then used for 2D modeling using Least
Square Inversion. Furthermore, the results of this 2D modeling can be used to see the
distribution of laterite nickel deposits. Based on the results of data processing obtained
resistivity values ranging from 2.85 to 1676.63 Ω.𝑚. From the resistivity value, it is
divided into zones, namely the limonite zone, the saprolite zone and the bedrock zone.
Areas with resistivity values of 200.17 – 1096.05 Ω.𝑚 are estimated as limonite zones,
resistivity values of 2.51 – 200.17 Ω.𝑚 are estimated as saprolite zones and resistivity
values of 200.17 – 1676.63 Ω.𝑚 thought to be bedrock.
Keywords : Nickel Laterite, Resistivity, Wenner-Schlumberger

vi
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim,Assalamua’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
terus memberikan berbagai nikmatnya yang tak terhitung kepada setiap makhluk-
Nya. Penyelesain pembuatan skripsi yang berjudul PEMODELAN 2D
ENDAPAN NIKEL LATERIT DI DAERAH POMALAA, KOLAKA,
SULAWESI TENGGARA MENGGUNAKAN METODA GEOLISTRIK
RESISTIVITAS merupakan berkat salah satu karunia-Nya yang amat patut
penulis syukuri.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari penuh bahwa banyak
sekali kekurangan dalam penulisan. Namun, berkat usaha, doa serta nasehat
positif dari berbagai pihak, skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa.
2. Bapak Dr. Sutrisno, Dipl.Seis., selaku Dosen Pembimbing I dari
Prodi Fisika yang telah bersedia membimbing pada pelaksanaan
Skripsi ini.
3. Bapak Ir. Yanto Sudiyanto, M.Si selaku Pembimbing II dari BPPT ,
yang dengan sabarnya membagi pengetahuannya kepada penulis.
4. Bapak Ir. Syabarudin Zikri, selaku Kepala Bagian PTPSM BPPT
yang telah memberikan waktu dan saran kepada penulis.
5. Bapak Ir. Nashrul Hakiem, S. Si., M.T., Ph. D, selaku Dekan
Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang
telah memberikan persetujuan pelaksanaan tugas akhir skripsi ini.
6. Ibu Tati Zera, M.Si., selaku Kepala Program Studi Fisika UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta seluruh dosen dan staff pengajar yang
telah memberikan ilmu pengetahuan serta bimbingan kepada penulis
selama mengikuti perkuliahan.

vii
7. Keluarga besar tercinta, terutama kedua orang tua dan Azzahra
Fathjrianna sebagai kakak yang selalu memberikan kasih sayang,
do’a, dukungan, bantuan dan semangat kepada penulis.
8. Muhammad Jajuli Muslim yang selalu menemani penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
9. Navy Jr tersayang Mas Papang, Hanna, Deni, Mas Poni, Tifah, Adit,
Dhafin, Iyo yang selalu memberikan semangat dan doa kepada
penulis.
10. Regita Larasati, Andini Aprilia Ardhana, Kirana Eka Putri, Afina
Erma Pradita, Shinta Sunja Prastika, Indah Manansih, Novi Mashila,
Indah Nadiiya sebagai sahabat yang selalu mensupport penulis.
11. Dan semua pihak terkait yang telah membantu penulis dalam
penyusunan Skripsi ini baik secara langsung maupun tidak langsung
yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
12. Last but not least, I wanna thank me, I wanna thank me for believing
in me, I wanna thank me for doing all this hard work, I wanna
thank me for having no days off, I wanna thank me for never
quitting, for being me at all times.
Penulis telah berusaha dengan maksimal sesuai dengan kemampuannya
untuk melakukan dan menyajikan yang terbaik selama pelaksanaan Skripsi namun
penulis juga menyadari masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam berbagai
hal. Untuk itu penulis mengucapkan mohon maaf dan terimakasih.
Wassalamu’alaikum. Wr.Wb.

Bekasi, 17 Juni 2021


Penulis

Firyal Hana Salsabila


NIM 11160970000033

viii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ..................................................... ii


LEMBAR PENGESAHAN UJIAN .................................................................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................. v
ABSTRACT ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xi
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ..................................................................................... 3
1.3 Pembatasan Masalah .................................................................................... 4
1.4 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
1.5 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
1.6 Sistematika Penulisan .................................................................................. 5
2.1 Geologi Regional ......................................................................................... 6
2.2.1 Sejarah dan Struktur Geologi ........................................................ 6
2.1.2 Morfologi ....................................................................................... 7
2.1.3 Stratigrafi ..................................................................................... 10
2.2 Batuan ........................................................................................................ 12
2.2.1 Batuan Beku ................................................................................ 14
2.2.2 Batuan Sedimen ........................................................................... 16
2.2.3 Batuan Metamorf ......................................................................... 17
2.3 Mineral ....................................................................................................... 19
2.3.1 Sifat Fisik Mineral ....................................................................... 21
2.3.2 Sifat Kimiawi Mineral ................................................................. 23
2.4 Nikel ........................................................................................................... 28
2.4.1 Teori Dasar Nikel ........................................................................ 28
2.4.2 Proses Terbentuknya Endapan Nikel Laterit ............................... 30
2.4.3 Faktor Pembentukan Endapan Nikel Laterit ............................... 31
2.5 Penampang Laterit ..................................................................................... 34

ix
2.6 Studi Terdahulu .......................................................................................... 35
2.7 Eksplorasi Geofisika .................................................................................. 41
2.7.1 Definisi Eksplorasi Geofisika .................................................................... 41
2.7.2 Konsep Eksplorasi Geofisika ...................................................... 42
2.7.3 Metode Eksplorasi Geofisika ...................................................... 43
2.8 Metode Resistivity ...................................................................................... 45
2.9 Resistivitas Semu (Apparent Resistivity) ................................................... 47
2.10 Konfigurasi Elektroda ................................................................................ 49
2.11 Sifat Kelistrikan Batuan dan Mineral ......................................................... 52
2.11.1 Konduksi secara Elektronik......................................................... 53
2.11.2 Konduksi secara Elektrolitik ....................................................... 53
2.11.3 Konduksi secara Dielektrik ......................................................... 54
2.12 Hubungan Resistivity dengan Parameter Geologi ...................................... 54
2.13 Teknik Pengukuran Metode Geeolistrik 2D .............................................. 56
2.14 Pemodelan Geofisika ................................................................................... 56
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 60
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian .................................................................... 60
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................... 62
3.2.1 Perangkat Keras ................................................................................ 62
3.2.2 Perangkat Lunak ............................................................................... 63
3.3 Diagram Alur Penelitian ............................................................................ 65
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 70
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 84
5.1 Kesimpulan ................................................................................................ 84
5.2 Saran ........................................................................................................... 85
LAMPIRAN ......................................................................................................... 91
1. Lampiran 1 : Rujukan Skala Umur Geologi Untuk Menentukan Umur
Batuan Pada daerah Penelitian .............................................................................. 91
2. Lampiran 2 : Data Resistivitas pada lintasan 1 .......................................... 92
3. Lampiran 3 : Data Resistivitas pada lintasan 2 ......................................... 92
4. Lampiran 4 : Data Resistivitas pada lintasan 3 .......................................... 93

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peta Geologi daerah Pomalaa [2] ...................................................................... 10

Gambar 2 Siklus Batuan ................................................................................................... 13

Gambar 3 Beberapa Contoh Batuan Beku [5] .................................................................. 16

Gambar 4 Beberapa Contoh Batuan Sedimen [5] ............................................................. 17

Gambar 5 Beberapa Contoh Batuan Metamorf [5] ........................................................... 19

Gambar 6 Bentuk Kristal Mineral Merefleksikan Susunan Atom [10] ............................ 20

Gambar 7 Kelompok Mineral Silikat [5] .......................................................................... 25

Gambar 8 Kelompok Mineral Non-Silikat [5] .................................................................. 28

Gambar 9 Contoh Logam Nikel [12] ................................................................................ 29

Gambar 10 Contoh Mineral Laterit [12] ........................................................................... 30

Gambar 11 Profil Endapan Nikel Laterit [6] .................................................................... 35

Gambar 12 Hasil Permodelan 2D Pada 4 Lintasan [15] ................................................... 36

Gambar 13 Model 3D Penampang dengan Arah Slice Barat-Timur [16] ......................... 37

Gambar 14 Hasil Permodelan 2D Untuk Setiap Lintasan [13] ......................................... 39

Gambar 15 Hasil Permodelan 2D Untuk Tiap Lintasan [17] ............................................ 40

Gambar 16 Lima lintasan ERT, pada Massif ultramafik Tiebaghi [18]............................ 41

Gambar 17 Aliran Arus Listrik dan Bidang Ekuipotensial [26] ....................................... 46

Gambar 18 Konsep Resistivitas 2D [28]........................................................................... 47

Gambar 19 Susunan Elektroda pada Pengukuran Geolistrik [30] .................................... 47

Gambar 20 Konfigurasi Elektroda dengan Faktor Geometrinya [23] ............................... 49

Gambar 21 Konfigurasi Wenner-Schlumberger [23] ........................................................ 50

Gambar 22 Kandungan Garam Elektrolit dalam Air/batuan [32] ..................................... 52

Gambar 23 Nilai Resistivitas Batuan dan Mineral [23] .................................................... 55

xi
Gambar 24 Susunan elektroda dan urutan pengukuran resistivitas 2D [23] ..................... 56

Gambar 25 Proses forward modeling................................................................................ 59

Gambar 26 Peta Lokasi Penelitian .................................................................................... 60

Gambar 27 Desain Lintasan dan Batas Area Suvei di Pomalaa........................................ 62

Gambar 28 Peralatan Survei Resistivitas .......................................................................... 63

Gambar 29 Diagram Alir Penelitian. ................................................................................ 65

Gambar 30 Tampilan data resistivitas dengan format .dat ................................................ 67

Gambar 31 Tampilan RES2DINV saat berhasil membaca data ....................................... 68

Gambar 32 Tampilan Hasil Inversi ................................................................................... 68

Gambar 33 Tampilan menu Exterminated Bad Datum Points .......................................... 69

Gambar 34 Tampilan Hasil Include Topography.............................................................. 69

Gambar 35 Peta geologi Regional Sulawesi Tenggara ..................................................... 70

Gambar 36 Zona Limonit endapan laterit di Pomalaa ...................................................... 72

Gambar 37 Zona Saprolit (A), bongkahan bedrock (B) di Pomalaa ................................. 73

Gambar 38 Batuan dasar pada yang sudah mengalami pelapukan ................................... 74

Gambar 39 Batuan dasar yang belum mengalami pelapukan ........................................... 74

Gambar 40 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-1 .................................. 76

Gambar 41 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-2 .................................. 77

Gambar 42 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-3 .................................. 77

Gambar 43 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-1 ..................................... 80

Gambar 44 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-2 ..................................... 80

Gambar 45 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-3 ..................................... 81

Gambar 46 Hasil Permodelan 3D Seluruh Lintasan ......................................................... 83

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hasil Permodelan 3D Seluruh Lintasan ............................................................... 24

Tabel 2 Kelompok Mineral Non-Silikat [5] ...................................................................... 26

Tabel 3 Metode-metode Geofisika [22] ............................................................................ 44

Tabel 4 Koordinat Lintasan Survei Geolistrik Resistivitas ............................................... 61

Tabel 5 Koordinat Batas Area Survei Geolistrik Resistivitas ........................................... 61

Tabel 6 Daftar Lintasan Resistivitas ................................................................................. 74

Tabel 7 Interpretasi korelasi kisaran nilai resistivitas dengan zona laterit ........................ 77

Tabel 8 Referensi Untuk Interpretasi Nilai Resistivitas .................................................... 79

Tabel 9 Interpretasi Korelasi Kisaran Nilai Resistivitas dengan Zona Laterit .................. 80

xiii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia mempunyai kesempatan untuk mengembangkan segala

potensi yang ada yang seyogyanya dimanfaatkan sebagai dasar dari

pembangunan yang berkelanjutan, salah satu potensi tersebut adalah sumber

daya mineral logam. Sebagai negara yang sedang membangun di segala

bidang, tentu saja potensi sumber daya mineral logam sangat dibutuhkan agar

pembangunan dapat berjalan dengan sempurna. Salah satu jenis logam yang

mempunyai banyak kegunaan dan mempunyai potensi besar untuk

dikembangkan adalah logam Nikel (Ni). Nikel terutama digunakan untuk

industri logam dasar, industri otomotif, pesawat terbang, alat-alat berat, listrik

dan industri lainnya yang mendukung perekonomian negara. Nikel

mempunyai potensi sangat besar untuk dikembangkan di Indonesia karena

terdapat di beberapa lokasi dalam jumlah sumberdaya yang cukup besar

untuk mensuplai kebutuhan nikel dalam negeri maupun untuk diekspor ke

luar negeri.

Menurut Burger (1996) Endapan nikel laterit merupakan produk

residual pelapukan kimia pada batuan ultramafik. Proses ini berlangsung

selama jutaan tahun dimulai ketika batuan ultramafik tersingkap dipermukaan

bumi. Pelapukan pada peridotit menyebabkan unsur-unsur dengan mobilitas

rendah sampai immobile seperti Ni, Fe, dan Co mengalami pengayaan secara

residual dan sekunder.

1
Laterit memiliki tiga jenis lapisan menurut Ahmad (2006) yaitu

limonit, saprolit dan bedrock atau batuan dasar. Kandungan Ni di batuan asal

berkisar 0,28% dan dapat mengalami kenaikan menjadi 1% sebagai

konsentarsi sisa (residual concentration) pada zona limonit.

Menurut Sudrajat A (1999) Nikel terbentuk dari batuan yang

berkomposisi kimia basa atau dikenal juga sebagai batuan peridotit.

Berdasarkan teori tektonik lempeng, daerah yang banyak batuan peridotit

terutama di zona tumbukan lempeng benua dan samudera. Melalui proses

pelapukan, batuan ultrabasa mengurai dalam bentuk mineral yang terlarut

(koloid) seperti (magnesium, besi, nikel, kobalt, silikat dan megnesium

oksida) dan tidak terlarut (residu) seperti (besi, magnesium, mangan, sebagian

nikel, sebagian kobalt, berbagai oksida dan senyawa nikel-kobalt).

Pomala merupakan sebuah daerah yang berada pada Kabupaten

Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada umumnya daerah ini disusun oleh

batuan ultrabasa, yang kemudian mengalami proses obduksi sehingga

tersingkap dipermukaan. Batuan ultrabasa yang terbentuk kemudian

mengalami proses pelapukan kimia dan mekanis yang menyebabkan

terbentuknya endapan laterit.

Ilmu geofisika memegang peranan penting dalam setiap kegiatan

eksplorasi sumber daya alam. Salah satu metode geofisika yang sering

digunakan dalam kegiatan penelitian dangkal adalah metode geolistrik.

Metode geolistrik adalah salah satu metode geofisika yang digunakan untuk

2
pendugaan keadaan bawah permukaan serta untuk mengetahui jenis bahan

penyusun batuan berdasarkan pengukuran sifat-sifat kelistrikan batuan.

Berdasarkan latar belakang diatas maka dilakukan penelitian lebih

lanjut untuk mengetahui endapan nikel laterit di daerah Pomala, Kolaka,

Sulawesi Tenggara berdasarkan pemodelan 2D. Metode Geolistrik yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Geolistrik Resistivitas. Lateritic

soil memiliki kontras resistivitas terhadap bedrock (batuan peridotit),

sehingga pendugaan dan ketebalan lateritic soil serta bedrock dengan

menggunakan Metode Resistivitas ini akan memperoleh hasil yang lebih baik.

Pengukuran Geolistrik Resistivitas yang dilakukan menggunakan Konfigurasi

Wenner-Schlumberger. Dalam pengolahan datanya, metode geolistrik ini

perlu didukung oleh Software Res2dinv untuk menginterpretasikan nilai

resistivitas batuan dan data struktur geologi daerah penilitan. Oleh sebab itu,

dalam penelitian ini penulis mengambil judul “Pemodelan 2D Endapan

Nikel Laterit di daerah Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara

Menggunakan Metoda Geolistrik Resistivitas”.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana membuat pemodelan penampang 2D litologi

menggunakan software Res2Dinv berdasarkan data resistivitas ?

2. Bagaimana menganalisis dan menginterpretasikan endapan nikel

laterit berdasarkan hasil permodelan 2D?

3
1.3 Pembatasan Masalah

Berisikan pembatasan masalah yang biasanya dibuat dalam bentuk

poin-poin seperti:

1. Metode Geofisika yang digunakan dalam penelitian adalah metode

geolistrik resistivitas dengan konfigurasi Wenner-Schlumberger.

2. Penelitian ini dibatasi hingga mendapatkan permodelan penampang

2D litogi daerah penelitian menggunakan software Res2Dinv.

1.4 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menghasilkan model penampang 2D endapan nikel laterit pada

daerah Pomalaa, Kolaka, Sulawesi Tenggara.

2. Menganalisis dan menginterpretasikan endapan nikel laterit tersebut

berdasarkan nilai resistivitas batuannya.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk

memberikan informasi serta gambaran kepada masyarakat luar mengenai

kondisi atau struktur lapisan seperti jenis batuan, sebaran, ketebalan serta

kondisi yang ada dibawah permukaan pada daerah penelitian sehingga

didapatkan adanya endapan nikel laterit.

4
1.6 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 bab, yaitu:

BAB I: PENDAHULUAN

Menguraikan secara umum hal-hal yang berkaitan dengan latar

belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA

Membahas tentang kajian pustaka yang berhubungan dengan dasar-

dasar teori nikel, sifat kelistrikan batuan, metode geolistrik tahanan jenis,

konfigurasi elektroda.

BAB III: METODE PENELITIAN

Memaparkan sketsa rencana penelitian yang meliputi waktu dan

tempat pelaksanaan skripsi, alat dan bahan, diagram alur penelitian, prosedur

pengambilan data dan prosedur pengolahan data.

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN

Mamaparkan hasil dari pengolahan yang telah dilakukan dan juga

terdapat pembahasan interpretasi terkait hasil permodelan yang telah

dilakukan menggunakan sofware Res2dinv.

BAB V: KESIMPULAN

Memaparkan penutup dan ucapan terimakasih dari proposal yang telah

dibuat dan menyampaikan poin-poin kesimpulan dari hasil penelitian yang

didapat dan memberikan saran yang membangun untuk penelitian selanjutnya.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

2.2.1 Sejarah dan Struktur Geologi

Pada umur Neogen secara tak selaras diendapkan Kelompok Molasa

Sulawesi. Batuan jenis Molasa yang tertua di Lembar Kolaka adalah Formasi

Langkowala yang diperkirakan berumur akhir Miosen Tengah sekitar 15 juta

tahun. Formasi ini terdiri dari batupasir dan konglomerat. Formasi

Langkowala mempunyai anggota konglomerat yang keduanya berhubungan

menjemari. Di atasnya menindih secara selaras batuan berumur Miosen Akhir

hingga Pliosen yang berumur sekitar 7 juta tahun yang terdiri dari Formasi

Eemoiko dan Formasi Boepinang. Formasi Eemoiko dibentuk oleh batu

gamping koral, kalkarenit, batupasir gampingan dan napal. Formasi

Boepilang terdiri atas batu lempung pasiran, napal pasiran dan batupasir.

Secara tak selaras kedua formasi ini tertindih oleh Formasi Alangga dan

Formasi Buara yang saling menjemari. Formasi Alangga berumur Pliosen,

terbentuk oleh konglomerat dan batu pasir yang belum padat. Formasi Buara

dibangun oleh terumbu koral, setempat terdapat lensa konglomerat dan

batupasir yang belum padat. Formasi ini masih memperlihatkan hubungan

yang menerus dengan pertumbuhan terumbu pada pantai yang berumur Resen

sekitar 10 ribu tahun.

Selama Paleogente sekitar 65 sampai 33 juta tahun terjadi rumpang

memungkinkan pengendapan sedimen. Pada masa ini diduga terjadi

6
pencenanggaan yang kuat, menimbulkan terbentuknya pelipatan dan

penyesaran. Kegiatan tektonik ini mencapai puncaknya pada Miosen Tengah

sekiatr 15 juta tahun yang mengakibatkan tersesarkannya Jalur Ofiolit

Sulawesi Timur ke atas Mendala Tukang besi - Buton. Masa kegiatan

tektonik ini kemudian diikuti oleh penurunan yang mengakibatkan genang

laut yang kuat di seluruh daerah tersebut.

Di penghujung Miosen Tengah sekiatr 13 juta tahun dimulai

pengendapan sedimen klastika tipe molasa (formasi Langkowala). Satuan ini

dicirikan oleh endapan atas konglomerat yang mengandung kepingan batuan

malihan dan sedimen malih, dan di beberapa tempat dari batuan ultramafik

dan mafik. Pada Miosen Akhir hingga Pliosen sekitar 7 juta tahun

terendapkan batuan karbonat dan karbonat klastik.

Pada 2,5 juta tahun yaitu pada Kala Plio-Plistosen terjadi kegiatan-

kegiatan tektonik yang kuat yang menghasilkan beberapa sesar bongkah;

sehingga terbentuk sejumlah terban. Terban tersebut berkembang menjadi

cekungan-cekungan kecil. Dalam cekungan itu terendapkan sedimen klastika

kasar yaitu Formasi Alangga, dan di beberapa tempat terjadi pertumbuhan

terumbu (Formasi Buara) [1].

2.1.2 Morfologi

Daerah Pomala sendiri terletak di Lengan Tenggara Pulau Sulawesi

yang memiliki fisiografi dataran rendah. Selanjutnya membagi morfologi

Lengan Tenggara Sulawesi ke dalam 5 (lima) satuan morfologi, yaitu

7
morfologi pegunungan, morfologi perbukitan tinggi, morfologi perbukitan

rendah, morfologi pedataran dan morfologi karst.

Morfologi Pegunungan, satuan morfologi pegunungan menempati

bagian terluas di kawasan ini, terdiri atas rangkaian pegunungan yang

mempunyai ketinggian tertinggi hingga 2790 mdpl di Gunung Mekongga.

Satuan morfologi ini mempunyai topografi yang kasar dengan kemiringan

lereng tinggi dan mempunyai pola yang hampir sejajar berarah barat laut–

tenggara sejajar dengan pola struktur sesar regional di kawasan ini sebagai

cerminan bentuk morfologi erat hubungannya dengan sesar regional. Satuan

pegunungan terutama dibentuk oleh batuan malihan dan setempat oleh batuan

ofiolit. Pegunungan yang dibentuk oleh batuan malihan, memiliki rangkaian

punggung gunung rendah yang seolah terputus tidak menerus dengan lereng

yang tidak rata walaupun bersudut tajam. Sementara itu, pegunungan yang

disusun oleh batuan ofiolit mempunyai punggung gunung yang panjang dan

lurus dengan lereng relatif lebih rata, serta kemiringan yang tajam.

a. Morfologi perbukitan tinggi

Morfologi perbukitan tinggi menempati bagian selatan Lengan

Tenggara, terutama di selatan Kendari. Satuan ini terdiri atas bukit-

bukit yang mencapai ketinggian 500 mdpl dengan morfologi kasar.

Batuan penyusun morfologi ini berupa batuan sediman klastika

Mesozoikum dan Tersier.

8
b. Morfologi perbukitan rendah

Morfologi perbukitan rendah melampar luas di Utara Kendari dan

ujung selatan Lengan Tenggara Sulawesi. Satuan ini terdiri atas bukit

kecil dan rendah dengan morfologi yang bergelombang. Batuan

penyusun satuan ini terutama batuan sedimen klastika Mesozoikum

dan Tersier disertai batuan ultramafik.

c. Morfologi pedataran

Morfologi dataran rendah dijumpai di bagian tengah ujung selatan

Lengan Tenggara Sulawesi. Tepi selatan Dataran Wawotobi dan

Dataran Sampara berbatasan langsung dengan morfologi pegunungan.

Penyebaran morfologi ini tampak sangat dipengaruhi oleh sesar geser

mengiri (Sesar Kolaka dan Sistem Sesar Konawe).

Terletak relatif di bagian utara sebelah barat dari lengan Tenggara,

daerah Pomalaa masuk ke dalam satuan wilayah fisiografi perbukitan rendah

[2].

Gambar 2.1 Klasifikasi Morfologi Lengan tenggara Sulawesi [2]

9
2.1.3 Stratigrafi

Berdasarkan Peta Geologi regional pada lembar Kolaka, di Daerah

Pomalaa terdapat 6 satuan batuan, yaitu Endapan Aluvium (Qa), Formasi

Alangga (Qpa), Formasi Langkowala (Tml), Kompleks Pompangeo (MTpm),

Kompleks Ultramafik (Ku), dan Kompleks Mekongga (Pzm).

Gambar 1 Peta Geologi daerah Pomalaa [2]

Secara litostratigrafi daerah lokasi penelitian tersusun oleh batuan

metamorf Kompleks Mekongga dan sedimen Alluvial. Batuan metamorf

terdiri dari sekis geneis, dan kuarsit. Kompleks batuan ini merupakan batuan

tertua pada daerah penelitian dan sebagai batuan dasar penyusun Sulawesi

Tenggara yang diduga berumur Permian-Kapur. Sedangkan Alluvial terdiri

dari kerakal, kerikil, pasir, lempung yang berumur Kuarter [1]

Formasi batuan penyusun peta geologi regional lembar Kolaka

diuraikan dari tertua – termuda adalah sebagai berikut [3]:

10
1. Kompleks Mekongga (Pzm) terdiri atas sekis, gneiss dan kuarsit.

Gneiss berwarna kelabu sampai kelabu kehijauan; bertekstur

heteroblas, xenomorf sama butiran, terdiri dari mineral granoblas

berbutir halus sampai sedang. Jenis batuan ini terdiri atas gneiss

kuarsa biotit dan gneiss muskovit, bersifat kurang padat sampai padat.

Batuan ini berumur Karbon – Permian yaitu sekitar 345 – 250 juta

tahun.

2. Kompleks Ultramafik (Ku) terdiri atas harzburgit, dunit, wherlit,

serpentinit, gabro, basal, dolerit, diorit, mafikmeta, amphibolit,

magnesit dan setempat rodingit. Satuan ini diperkirakan berumur

Kapur. Umur batuan ini adalah Jura bagian atas - Kapur bagian

bawah, yaitu berumur sekitar 160 – 100 juta tahun.

3. Kompleks Pompangeo (MTpm) terdiri atas sekis mika, sekis

glaukofan, sekis amphibolit, sekis klorit, rijang, dan batugamping

meta. Satuan ini mempunyai kontak struktur geser dengan satuan yang

lebih tua di bagian utara yaitu Kompleks Mekongga (Pzm).

Berdasarkan penarikan umur oleh P3G (1993) Kompleks Pompangeo

mempunyai umur Kapur Akhir – Paleosen bagian bawah (100 – 65

juta tahun) sedangkan umur oleh Dinas Pertambangan dan energi

Sultra (2005) adalah Karbon Akhir – Permian (290 – 250 juta tahun)

atau sama dengan Kompleks Mekongga (Pzm).

4. Formasi Langkowala (Tml) terdiri atas konglomerat, batupasir,

serpih dan setempat kalkarenit. Konglomerat mempunyai fragmen

11
beragam yang umumnya berasal dari kuarsa dan kuarsit, dan

selebihnya berupa batupasir malihan, sekis dan ultrabasa. Formasi ini

banyak dibatasi oleh kontak struktur dengan batuan lainnya dan

bagian atas menjemari dengan bagian bawah batuan sedimen Formasi

Boepinang (Tmpb). Hasil penanggalan umur menunjukkan bahwa

batuan ini terbentuk pada Miosen Tengah yang berumur 15 juta tahun

(P3G, 1993), sedangkan Dinas Pertambangan dan Energi Sultra

(2005) mendeskripsi pada kisaran umur Miosen Tengah bagian atas –

Miosen Akhir bagian bawah (15 – 12 juta tahun).

5. Formasi Alangga (Qpa) terdiri atas konglomerat dan batupasir.

Umur dari formasi ini adalah Plistosen dan lingkungan

pengendapannya pada daerah darat-payau. Formasi ini menindih tak

selaras formasi yang lebih tua yang masuk kedalam kelompok molasa

sulawesi. Formasi ini berumur sekitar 5 - 3 juta tahun.

6. Aluvium (Qa) adalah endapan termuda dan hingga kini masih

berlanjut terdiri atas lumpur, lempung, pasir kerikil dan kerakal.

Satuan ini merupakan endapan sungai, rawa dan endapan pantai.

Umur satuan ini adalah Holosen.

2.2 Batuan

Batuan merupakan material yang mengandung satu atau beberapa

mineral dan berbentuk padatan. Mendefinisikan batuan sebagai gabungan dari

beberapa zat yang terjadi secara alami, dapat terdiri dari mineral, potongan

batu lainnya serta bahan-bahan fosil, seperti kerang atau tanaman. Seluruh

12
batuan yang ada di permukaan bumi berasal dari magma yang meleleh ke arah

permukaan. Suhu permukaan bumi yang jauh lebih rendah dari suhu di bawah

permukaan bumi mengakibatkan terjadinya pembekuan magma yang

membentuk batuan [4].

Gambar 2 Siklus Batuan

Gambar 2.3 merupakan skema siklus batuan yang memperlihatkan

proses pembentukan batuan. Pada dasarnya semua batuan pada mulanya dari

magma. Magma keluar di permukaan Bumi antara lain melalui puncak

gunung api. Gunung api ada yang di daratan ada juga yang di lautan. Magma

yang sudah mencapai permukaan bumi akan membeku. Magma yang

membeku kemudian menjadi batuan beku. Batuan di muka bumi selama

beribu-ribu tahun lamanya dapat hancur terurai karena panas, hujan, serta

aktivitas tumbuhan dan hewan.

Selanjutnya hancuran batuan tersebut tersangkut oleh air, angin tau

hewan ke tempat lain untuk di endapkan. Hancuran batuan yang diendapkan

disebut batuan endapan atau batuan sedimen. Baik batuan sedimen atau beku

dapat berubah bentuk dalam waktu yang sangat lama karena adanya

13
perubahan temperatur dan tekanan. Batuan yang berubah bentuk disebut

batuan malihan atau batuan metamorf.

2.2.1 Batuan Beku

Batuan beku atau batuan igneus (dari Bahasa Latin: ignis, "api")

adalah jenis batuan yang terbentuk dari magma yang mendingin dan

mengeras, dengan atau tanpa proses kristalisasi, baik di bawah permukaan

sebagai batuan intrusif (plutonik) maupun di atas permukaan sebagai batuan

ekstrusif (vulkanik) [4]. Magma ini dapat berasal dari batuan setengah cair

ataupun batuan yang sudah ada, baik di mantel ataupun kerak bumi.

Umumnya, proses pelelehan terjadi oleh salah satu dari proses-proses berikut:

kenaikan temperatur, penurunan tekanan, atau perubahan komposisi. Lebih

dari 700 tipe batuan beku telah berhasil dideskripsikan, sebagian besar

terbentuk di bawah permukaan kerak bumi. Berdasarkan tempat

pembekuannya batuan beku dibedakan menjadi batuan beku ekstrusi dan

intrusi [5].

Berdasarkan pernyataan di atas dapat diketahui bahwa batuan beku

berasal dari magma yang mendingin dan membeku. Berdasarkan tempat

mendingannya magma, secara umum batuan beku dibedakan menjadi dua

yaitu batuan beku intrusif dan batuan beku ekstrusif. Batuan beku intrusive

merupakan batuan beku yang terbentuk akibat magma yang membeku di

bawah permukaan bumi. Magma yang membeku sebelum mencapai

permukaan akan membentuk batuan beku instrusif [4].

14
Secara sederhana batuan beku ultramafik adalah batuan beku yang

secara kimia mengandung kurang dari 45% SiO2 dari komposisinya.

Kandungan mineralnya didominasi oleh mineral-mineral berat dengan

kandungan unsur-unsur seperti Fe dan Mg. Batuan ultramafik merupakan

batuan yang menjadi sumber bagi endapan nikel laterit dan nikel sulfida [6].

Kebanyakan batuan ultramafik mempunyai karakteristik baik sebagai

batuan beku plutonik maupun batuan metamorf, dan batuan yang ditemukan

di kerak mencakup jenis batuan beku dan metamorf, sedangkan yang dari

mantel adalah batuan metamorf. Sebagian besar batuan ultramafik awalnya

peridotit, terbentuk di mantel atas, dan kemudian terubah menjadi serpentinit,

secara sempurna ataupun sebagian, oleh fluida kerak selama perjalanannya ke

posisi tektoniknya saat ini. Batuan ultramafik di bagian kerak bumi yang

tampak, khas terdapat dalam tubuh relatif kecil di jalur sempit orogen sedang

hingga kuat. Singkapan batuan ultramafik dapat menempati ratusan kilometer

persegi atau kira-kira sekecil sampel setangan yang tergabung ke dalam zona

sesar.

Contoh umum batuan ultramafik adalah peridotit dan pyroxenit dari

kompleks alpine. Batuan ultramafik, mulai dari komposisi dunit sampai

harzburgit hingga lherzolite, cenderung menunjukkan baik cumulate,

tectonite maupun penggantian tekstur. Batuan ultramafik (terutama peridotit

dan serpentinit) terdistribusi di seluruh dunia. Peridotit alas mewakili keratan

(slices) mantel atas bumi yang terlepas yang tersingkap oleh proses tektonik,

15
karena peridotit alas terjadi sebagian besar di sepanjang lempeng atas zona

subduksi sekarang dan masa lalu [7].

Gambar 3 Beberapa Contoh Batuan Beku [5]

2.2.2 Batuan Sedimen

Sedimen merupakan bahan atau partikel yang terdapat di permukaan

bumi (di daratan ataupun lautan), yang telah mengalami proses pengangkutan

(transportasi) dari satu tempat (kawasan) ke tempat lainnya. Sedimen ini

apabila mengeras (membatu) akan menjadi batuan sedimen. Faktor-faktor

yang mengontrol terbentuknya sedimen adalah iklim, topografi, vegetasi dan

juga susunan yang ada dari batuan. Sedangkan faktor yang mengontrol

pengangkutan sedimen adalah air, angin, dan juga gaya gravitasi. Sedimen

dapat terangkut baik oleh air, angin, dan bahkan salju atau gletser [5].

16
Pada saat kekuatan untuk mengangkut sedimen tidak cukup besar

dalam membawa sedimen-sedimen yang ada maka sedimen tersebut akan

jatuh atau mungkin tertahan akibat gaya gravitasi yang ada. Setelah itu proses

sedimentasi dapat berlangsung sehingga mampu mengubah sedimen-sedimen

tersebut menjadi suatu batuan sedimen. Material yang menyusun batuan

sedimen adalah lumpur, pasir, kelikir, kerakal, dan sebagainya. Sedimen ini

akan menjadi batuan sedimen apabila mengalami proses pengerasan [5].

Ada beberapa macam batuan sedimen, yaitu batuan sedimen klastik,

hancuran batuan beku contohnya breksi, konglomerat, dan batupasir. Sedimen

kimiawi berupa endapan dari suatu pelarutan, contohnya batu kapur dan batu

giok. Sedimen organik berupa endapan sisa-sisa hewan dan tumbuhan laut

contohnya batu gamping dan koral.

Gambar 4 Beberapa Contoh Batuan Sedimen [5]

2.2.3 Batuan Metamorf

Batuan metamorf merupakan batuan yang terbentuk dari hasil

transformasi atau perubahan yang terjadi akibat pengaruh tekanan dan

17
temperatur yang cukup tinggi pada batuan beku dan sedimen, sehingga terjadi

perubahan fisik dan komposisi mineralnya. Batuan metamorf terbentuk akibat

perubahan suhu dan tekanan. Batuan metamorf terbentuk karena adanya

perubahan dari kelompok mineral dan tekstur batuan yang terjadi dalam suatu

batuan yang mengalami tekanan dan temperatur yang berbeda dengan tekanan

dan temperatur saat batuan tersebut pertama kalinya terbentuk. Meta

morfisme memiliki arti yang sama dengan alterasi (perubahan) batuan,

sepanjang batuan tersebut tidak hancur dan tidak berubah menjadi cair. Proses

terbentuk dari batuan-batuan sebelum nya yang berubah agar sesuai dengan

keadaan lingkungan yang baru [4].

Sebagai catatan bahwa istilah “diagenesa” juga mengandung arti

perubahan yang terjadi pada batuan sedimen. Hanya saja proses diagenesa

terjadi pada temperatur dibawah 200°C dan tekanan dibawah 300 MPa (MPa

= Mega Pascal) atau setara dengan tekanan sebesar 3000 atmosfer, sedangkan

“metamorfosa” terjadi pada temperatur dan tekanan diatas “diagenesa”.

Batuan yang dapat mengalami tekanan dan temperatur diatas 300 MPa dan

200°C umumnya berada pada kedalaman tertentu dan biasanya berasosiasi

dengan proses tektonik, terutama di daerah tumbukan lempeng atau zona

subduksi [5].

Batuan metamorf adalah batuan yang telah berubah. Perubahan pada

batuan terkadang tidak terlihat atau terjadi perubahan yang begitu besar

sehingga sulit untuk menentukan batuan asli sebelum mengalami perubahan.

18
Contoh batuan metamorf adalah slate, filit, marmer, dan sekis [8]. Adapun

contoh batuan sedimen yang dipaparkan pada Gambar 2.6.

Gambar 5 Beberapa Contoh Batuan Metamorf [5]

2.3 Mineral

Mineral merupakan partikel - partikel kecil yang menyusun batuan.

Mineral yang terbentuk pertama kali adalah mineral yang sangat tidak stabil

dan mudah terubah menjadi mineral lain terutama mineral yang berada

dibawahnya. Sedangkan mineral yang dibentuk pada temperatur yang lebih

rendah adalah mineral yang paling stabil [9].

Mineral dapat kita definisikan sebagai bahan padat anorganik yang

terdapat secara alamiah, yang terdiri dari unsur-unsur kimiawi dalam

perbandingan tertentu, dimana atom-atom didalamnya tersusun mengikuti

suatu pola yang sistematis. Mineral dapat kita jumpai dimana-mana disekitar

19
kita, dapat berwujud sebagai batuan, tanah, atau pasir yang diendapkan pada

dasar sungai. Beberapa daripada mineral tersebut dapat mempunyai nilai

ekonomis karena didapatkan dalam jumlah yang besar, sehingga

memungkinkan untuk ditambang seperti emas dan perak. Mineral, kecuali

beberapa jenis, memiliki sifat, bentuk tertentu dalam keadaan padatnya,

sebagai perwujudan dari susunan yang teratur didalamnya. Apabila kondisinya

memungkinkan, mereka akan dibatasi oleh bidang-bidang rata, dan

diasumsikan sebagai bentuk-bentuk yang teratur yang dikenal sebagai

“kristal”[5].

Mineral merupakan hasil dari proses alamiah benda padat yang

anorganik, dengan komposisi kimia yang spesifik dan struktur kristalnya.

Struktur kristalin ini seringkali diperlihatkan oleh bentuk kristalnya itu sendiri

[10]. Contohnya bentuk kristal mineral yang ditunjukkan dalam Gambar 2.7.

Gambar 6 Bentuk Kristal Mineral Merefleksikan Susunan Atom [10]

Ada lebih dari 4000 mineral yang berbeda, dan masing-masing

dibedakan berdasarkan komposisi kimianya (rasio unsur kimia yang khusus)

dan struktur kristalnya. Setiap mineral dapat diidentifikasikan oleh investigasi

20
sifat-sifatnya. Beberapa sifat, seperti warna masih bisa dilihat oleh mata. Dan

yang lainnya seperti kekerasannya, butuh dilakukan pengukuran [11].

2.3.1 Sifat Fisik Mineral

Terdapat dua cara untuk dapat mengenal suatu mineral, yang pertama

adalah dengan cara mengenal sifat fisiknya. Yang termasuk dalam sifat fisik

mineral adalah (1) bentuk kristalnya, (2) berat jenis, (3) bidang belah, (4)

warna, (5) kekerasan, (6) goresan, dan (7) kilap. Adapun cara yang kedua

adalah melalui analisa kimiawi atau analisa difraksi sinar X, cara ini pada

umumnya sangat mahal dan memakan waktu yang lama. Berikut ini adalah

sifat-sifat fisik mineral yang dapat dipakai untuk mengenal mineral secara

cepat, yaitu [5]:

1. Bentuk Kristal (crystal form)

Apabila suatu mineral mendapat kesempatan untuk berkembang

tanpa mendapat hambatan, maka ia akan mempunyai bentuk

kristalnya yang khas. Tetapi apabila dalam perkembangannya ia

mendapat hambatan, maka bentuk kristalnya juga akan terganggu.

Setiap mineral akan mempunyai sifat bentuk kristalnya yang khas,

yang merupakan perwujudan kenampakan luar, yang terjadi sebagai

akibat dari susunan kristalnya didalam. Untuk dapat memberikan

gambaran bagaimana suatu bahan padat yang terdiri dari mineral

dengan bentuk kristalnya yang khas dapat terjadi.

2. Berat Jenis (specific gravity)

21
Setiap mineral mempunyai berat jenis tertentu. Besarnya

ditentukan oleh unsur-unsur pembentuknya serta kepadatan dari ikatan

unsur-unsur tersebut dalam susunan kristalnya. Umumnya “mineral-

mineral pembentuk batuan”, mempunyai berat jenis sekitar 2.7,

meskipun berat jenis rata-rata unsur metal didalamnya berkisar antara

5. Emas murni umpamanya, mempunyai berat jenis 19.3.

3. Bidang Belah (fracture)

Mineral mempunyai kecenderungan untuk pecah melalui suatu

bidang yang mempunyai arah tertentu. Arah tersebut ditentukan oleh

susunan dalam dari atom-atomnya. Dapat dikatakan bahwa bidang

tersebut merupakan bidang “lemah” yang dimiliki oleh suatu mineral.

4. Warna (colour)

Warna mineral memang bukan merupakan penciri utama untuk

dapat membedakan antara mineral yang satu dengan lainnya. Namun

paling tidak ada warnawarna yang khas yang dapat digunakan untuk

mengenali adanya unsur tertentu didalamnya. Sebagai contoh warna

gelap dipunyai mineral, mengindikasikan terdapatnya unsur besi.

Disisi lain mineral dengan warna terang, diindikasikan banyak

mengandung aluminium.

5. Kekerasan (hardness)

Salah satu kegunaan dalam mendiagnosa sifat mineral adalah

dengan mengetahui kekerasan mineral. Kekerasan adalah sifat

resistensi dari suatu mineral terhadap kemudahan mengalami abrasi

22
(abrasive) atau mudah tergores (scratching). Kekerasan suatu mineral

bersifat relatif, artinya apabila dua mineral saling digoreskan satu

dengan lainnya, maka mineral yang tergores adalah mineral yang

relatif lebih lunak dibandingkan dengan mineral lawannya.

6. Goresan pada bidang (streak)

Beberapa jenis mineral mempunyai goresan pada bidangnya,

seperti pada mineral kuarsa dan pyrit, yang sangat jelas dan khas.

7. Kilap (luster)

Kilap adalah kenampakan atau kualitas pantulan cahaya dari

permukaan suatu mineral. Kilap pada mineral ada 2 (dua) jenis, yaitu

Kilap Logam dan Kilap NonLogam. Kilap Non-logam antara lain,

yaitu: kilap mutiara, kilap gelas, kilap sutera, kelap resin, dan kilap

tanah.

2.3.2 Sifat Kimiawi Mineral

Berdasarkan senyawa kimiawinya, mineral dapat dikelompokkan

menjadi mineral Silikat dan mineral Non-silikat. Terdapat 8 (delapan)

kelompok mineral Non-silikat, yaitu kelompok oksida, sulfida, sulfat, native

element, halida, karbonat, hidroksida, dan phospat. Adapun mineral silikat

(mengandung unsur SiO) yang umum dijumpai dalam batuan adalah seperti

terlihat pada Tabel 2.1 [5]

23
1. Mineral Silikat

Hampir 90% mineral pembentuk batuan adalah dari kelompok

ini, yang merupakan persenyawaan antara silikon dan oksigen dengan

beberapa unsur metal. Karena jumlahnya yang besar, maka hampir

90% dari berat kerak bumi terdiri dari mineral silikat, dan hampir

100% dari mantel bumi (sampai kedalaman 2900 km dari kerak

bumi). Silikat merupakan bagian utama yang membentuk batuan baik

itu sedimen, batuan beku maupun batuan malihan [5].

Tabel 1 Hasil Permodelan 3D Seluruh Lintasan


MINERAL RUMUS KIMIA

Olivine (Mg, Fe)2SiO4

Pyroxene (Mg, Fe)SiO3

Amphibole (Ca2Mg5)Si8O22(OH)2

Muscovite KAl3Si3O10(OH)2
Mica
Biotite K(Mg,Fe)3Si3O10(OH)2

Orthoclase K Al Si3 O8
Fieldspar
Plagioclase (Ca,Na)AlSi3O8

Quartz SiO2

24
Gambar 7 Kelompok Mineral Silikat [5]

2. Mineral Non-Silikat

Kelompok mineral, yang disebut non-silicates, yang ditemukan

hanya 8% dari kerak bumi. Mineral non-silikat termasuk sumberdaya

yang sangat berharga bagi manusia, seperti emas logam mulia, perak,

dan platinum, logam yang berguna seperti besi, aluminium dan timah,

dan permata berlian dan rubi [5].

25
Tabel 2 Kelompok Mineral Non-Silikat [5]
KELOMPOK ANGGOTA SENYAWA

KIMIA

Hematite Fe2O3

Magnetite Fe3O4

Oxides Corrundum Al2O3

Chromite FeCr2O4

Ilmenite FeTiO3

Galena PbS

Sphalerite ZnS

Pyrite FeS2
SulfidesGypsum
Chalcopyrite CuFeS2

Bornite Cu5FeS4

Cinnabar HgS

Gypsum CaSO4,2H2O

Sulfates Anhydrite CaSO4

Barite BaSO4

Gold Au

Cooper Cu

Diamond C
Native Elements
Sulfur S

Graphite C

Silver Ag

26
Platinum Pt

Halite NaCl

Flourite CaF2
Halides
Sylvite KCl

Calcite CaCO3

Dolomite CaMg(CO3)2
Carbonates
Malachite Cu2(OH)2CO3

Azurite Cu3(OH)2(CO3)2

Limonite FeO(OH),nH2O
Hydroxides
Bauxite Al(OH)3,nH2O

Apatite Ca5(F,C,OH)PO4
Phosphates
Turquoise CuAl6(PO4)4(OH)8

27
Gambar 8 Kelompok Mineral Non-Silikat [5]

2.4 Nikel

2.4.1 Teori Dasar Nikel

Nikel adalah logam putih seperti perak yang bersifat keras dan anti

karat. Logam ini membantu dalam proses pengubahan beberapa logam olahan

dalam bentuk larutan yang menghasilkan energi panas. Selain itu Ni juga

berperan penting dalam beberapa proses pengendapan logam keras dalam

bentuk paduan logam (alloy) seperti Stainlestel. Nikel umumnya berwarna

hijau dan biru [12]. Nikel diperoleh dari endapan yang terbentuk akibat

proses oksidasi dan pelapukan batuan ultramafik yang mengandung nikel 0,2

– 0,4 % [13].

28
Gambar 9 Contoh Logam Nikel [12]

Nikel bersifat liat dapat ditempa dan sangat kukuh. Logam ini melebur

pada 14550C. Selain itu, nikel mempunyai sifat tahan karat. Dalam keadaan

murni, nikel bersifat lembek, tetapi jika dipadukan dengan besi, krom dan

logam lainnya, dapat membentuk baja tahan karat yang keras, mudah

ditempa, sedikit ferromagnetis, dan merupakan konduktor yang agak baik

terhadap panas dan listrik. Nikel tergolong dalam grup logam besi-kobal,

yang dapat menghasilkan alloy yang sangat berharga [12]

Bijih nikel dibagi menjadi dua berdasarkan proses pembentukannya

yaitu nikel sulfide dan nikel laterit. Endapan bijih nikel yang terdapat di

Pomalaa termasuk dalam jenis nikel laterit. Endapan nikel laterit

menyumbang ±40% produksi tahunan nikel dunia. Endapan laterit merupakan

hasil dari proses lanjut dari batuan ultramafic pembawa Ni-Silikat.

Laterit adalah nama umum mineral yang berupa tanah merah sebagai

akibat dari pelapukan batuan asal (induk) di daerah tropis atau sub tropis.

Laterit kaya akan kaonilit, goethite, dan kwarsa, sehingga komposisi dari

laterit sangat kompleks. Secara kimia, laterit dicirikan oleh adanya besi, nikel,

dan silika sebagai sisa-sisa proses pelapukan batuan induk [12].

29
Laterit terutama terdapat di wilayah beriklim tropis dan subtropis yang

memiliki suhu tinggi dan curah hujan yang cukup. Akibatnya laterit banyak 9

ditemukan di Brasil, Filipina, India, Afrika Selatan, Amerika Serikat dan

Indonesia (daerah Sulawesi Tenggara). Mineral yang dimaksud kebanyakan

berada dalam kerak bumi yang keras dan memiliki ketebalan mulai 6 meter

hingga 20 meter dari permukaan tanah. Laterit jenis tersebut memungkinkan

untuk digunakan sebagai sumber besi dan nikel. Dengan komposisi nikel

sebesar 25 % dan kandungan besi dibawah 10 % [12].

Gambar 10 Contoh Mineral Laterit [12]

2.4.2 Proses Terbentuknya Endapan Nikel Laterit

Secara umum endapan nikel laterit terbentuk akibat proses pelapukan

batuan ultramafik seperti peridotit yang disebabkan oleh pengaruh perubahan

cuaca (iklim). Cuaca merubah komposisi batuan dan melarutkan unsur-unsur

yang mudah larut seperti Ni, Co, dan Fe. Air hujan yang mengandung CO2

dari udara meresap ke bawah sampai ke permukaan air tanah sambil melindih

mineral primer yang tidak stabil seperti serpentin dan piroksin. Air tanah

meresap secara perlahan dari atas ke bawah sampai batas antara zona limonit

30
dan zona saprolit kemudian mengalir secara lateral dan selanjutnya lebih

didominasi oleh transportasi larutan secara horizontal. Unsur-unsur yang

terbawa bersama larutan seperti magnesium dan silikon akan mengalami

pengendapan yang memungkinkan terbentuknya mineral baru

Larutan yang mengandung nikel yang merupakan hasil dari

pengendapan unsur-unsur yang mudah larut akan masuk ke zona saprolit.

Pada zona ini batuan asal ultramafik akan berakumulasi dengan unsur-unsur

yang mengandung nikel dan akan mengendap kembali pada rekahan-rekahan

melalui transportasi oleh air tanah yang memasuki rekahan-rekahan tersebut

sehingga zona saprolit ini akan menjadi jenuh dengan unsur nikel. Unsur-

unsur yang tertinggal pada zona limonit seperti besi, mangan, kobalt dan juga

nikel akan mengalami pelapukan lebih lambat akibat kurangnya konsentrasi

air tanah pada zona ini sehingga kandungan nikel pada zona limonit akan

lebih sedikit dibandingkan kandungan nikel pada zona saprolit.

2.4.3 Faktor Pembentukan Endapan Nikel Laterit

Faktor- faktor yang mempengaruhi pembentukan endapan nikel laterit

adalah sebagai berikut:

1. Batuan Asal

Komposisi dan stuktur dari batuan asal akan mempengaruhi

kandungan yang terendapkan serta tingkat pelapukan yang terjadi

pada batuan. Batuan asal dalam pembentukan endapan nikel laterit

adalah batuan ultrabasa. Batuan ini memiliki elemen Ni paling banyak

dibandingkan dengan batuan lainnya, mineral-mineralnya mudah

31
lapuk (tidak stabil), dan komponen-komponennya mudah larut yang

memungkinkan terbentuknya endapan nikel.

2. Iklim dan Curah Hujan

Iklim yang sesuai dalam pembentukan endapan laterit adalah

iklim tropis dan sub tropis, terkait curah hujan dan sinar matahari

memegang peranan penting dalam proses pelapukan dan pelarutan

unsur-unsur yang terdapat pada batuan asal. Curah hujan akan

mempengaruhi jumlah air yang melewati tanah, yang mempengaruhi

intensitas pelarutan dan perpindahan komponen yang dapat dilarutkan.

3. Reagen-reagen kimia dan Vegetasi

Yang dimaksud dengan reagen-reagen kimia adalah unsur-unsur

dan senyawa-senyawa yang membantu mempercepat proses

pelapukan CO2 yang terlarut Bersama dengan air memgang peranan

penting dalam proses pelapukan kimia. Asam-asam humus dapat

menyebabkan dekomposisi batuan dan merubah PH larutan. Asam-

asam humus ini erat hubungannya dengan vegetasi, dimana vegetasi

akan mengakibatkan penetrasi air dapat lebih dalam dan lebih mudah

dengan mengikuti akar-akar pepohonan, akumulasi air hujan akan

lebih banyak, humus akan lebih tebal. Keadaan ini merupakan suatu

petunjuk dimana pada hutan yang lebat akan terdapat endapan bijih

nikel yang lebih tebal dan kadar yang lebih tinggi [14].

32
4. Stuktur Geologi

Adanya kontrol struktur dalam pembentukan nikel laterit

menyebabkan deformasi pada batuan yang paling dominan yaitu pada

struktur rekahan dibandingkan dengan struktur patahan. Batuan

ultrabasa memiliki permeabilitas dan porositas yang kecil sehingga

penetrasi air menjadi sulit. Akan tetapi dengan adanya rekahan-

rekahan tersebut akan lebih memudahkan air masuk dan berarti proses

pelakukan akan lebih intensif.

5. Topografi

Kondisi relief dan lereng sangat mempengaruhi sirkulasi air

serrta reagen-reagen lain. Untuk daerah landai, air akan bergerak

perlahan-perlahan sehingga mempunyai kesempatan untuk

mengadakan penetrasi yang lebih dalam melalui rekahan-rekahan atau

pori-pori batuan. Akumulasi endapan biasanya terdapat pada daerah

landai sampai kemiringan sedang. Hal ini menggambarkan bahwa

ketebalan pelapukan mengikuti bentuk topografi. Pada daerah yang

curam jumlah air yang meluncur lebih banyak daripada air yang

meresap, ini dapat menyebabkan pelapukan kurang intensif.

6. Waktu

Pelapukan yang berlangsung dalam waktu lama pada umumnya

akan menghasilkan endapan yang relatif lebih tebal, sedangkan

pelapukan yang berlangsung dalam waktu singkat akan membentuk

endapan yang tipis.

33
2.5 Penampang Laterit

Secara umum penampang endapan nikel laterit dari bawah ke atas

secara berturut-turut sebagai berikut [14]:

1. Zona Tanah Penutup

Pada zona ini umumnya didominasi oleh humus yang bersifat

gembur dan kadang-kadang terdapat lempeng silika. Kadar Fe pada

zona ini sangat tinggi dan sering dijumpai konkresi-konkresi besi,

sedangkan kadar nikel relative rendah.

2. Zona Limonit

Pada zona limonit hampir semua unsur yang mudah larut hilang

terlindi. Kadar Fe2O3 dan Al2O3 akan naik, sedangkan kadar SiO2 dan

MgO akan turun. Zona ini didominasi oleh mineral geothit disamping

juga terdapat hematit, magnetit, dan kuarsa sekunder.

3. Zona Saprolit

Batuan asal ultramafik pada zona ini akan beubah menjadi

saprolite akibat pengaruh air tanah. Mineral-mineral utamanya adalah

serpentin, kuarsa sekunder, dan garnierite. Mineral garnierite tidak

dijumpai sebagai mineral murni tetapi bercampur dengan serpentin

kadar rendah lainnya sehingga kadar nikel dalam bijih menjadi

menurun. Pada zona ini penggantian magnesium oleh nikel

mengakibatkan kadar nikel dalam serpentin akan bertambah.

34
4. Batuan Dasar (Bedrock)

Batuan dasar umumnya didominasi oleh batuan ultramafic

seperti peridotit, piroksenit, dan sepentinit yang masih segar dan

belum mengalami pelapukan serta tekstur asli batuan masih terlihat

dengan jelas.

Gambar 11 Profil Endapan Nikel Laterit [6]

2.6 Studi Terdahulu

Terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan proses

pembentukan endapan nikel laterit di daerah Pomalaa yang telah dilakukan

diantaranya sebagai berikut:

35
1. Citra Geolistrik Resistivitas 2-Dimensi Untuk Identifikasi Zona

Laterit Dan Zona Bedrock Profil Nikel Laterit oleh Ifanali Iha, Puji

Hartoyo.

Dari hasil yang diperoleh, dapat disimpulkan Zona top soil

(overburden) memiliki resistivitas 120-750 ohm.m, zona laterit 0-120

ohm.m , dan zona bedrock memiliki resistivitas lebih dari 200 ohm.m.

Zona overburden berada di kedalaman 0-30m, laterit berada di

kedalaman 10-60m, zona bedrock berada dikedalaman lebih dari 50m.

Dengan perkiraan luas daerah sebesar 99.000m2 dengan ketebalan

zona laterit 30 m di bawah permukaan diperoleh volume zona nikel

laterit sebesar 2.970.000m3 [15].

Gambar 12 Hasil Permodelan 2D Pada 4 Lintasan [15]

2. Eksplorasi Bijih Nikel dan Kobalt Untuk Bahan Baku Baterei

Penyimpan Energi Listrik Pada Endapan Nikel Laterit Di Daerah

36
Pomalaa Menggunakan Metoda Resistivitas 2D oleh Yanto

Sudiyanto.

Hasil pengolahan data resistivitas pada 6 lintasan geololistrik

menunjukkan distribusi nilai resistivitas di daerah penelitian berkisar 5

– 1200 Ω.m, dengan kontras nilai resistivitas relatif rendah dibanding

sekitarnya, antara 5 - 144 Ω.m. Hasil korelasi data log bor dengan

distribusi nilai resistivitas diperoleh kisaran nilai resistivitas 5 -144

Ω.m mewakili zona saprolit, kisaran nilai resistivitas 144 - 604 Ω.m

mewakili zona limonit dan kisaran nilai resistivitas 144 -1200 Ω.m

mewakili batuan dasar (batuan ultramafik) [16].

Gambar 13 Model 3D Penampang dengan Arah Slice Barat-Timur [16]

3. Pemodelan Nikel Laterit Berdasarkan Data Resistivitas Di

Daerah Kabaena Selatan Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi

Tenggara oleh Budy Santoso, Subagio.

37
Model endapan nikel laterit di daerah penelitian secara vertikal

dari atas ke bawah terdiri atas: lateritic soil yang memiliki nilai

resistivitas rendah dan bedrock yang memiliki nilai resistivitas tinggi.

Lateritic soil terdiri atas zona limonit yang memiliki nilai resistivitas :

(40 – 200) Ohm.m dengan ketebalan antara : (9 – 43) m, zona saprolit

yang memiliki nilai resistivitas : (201 – 444) Ohm.m dengan ketebalan

antara : (3 – 20) m dan saprock dengan nilai resistivitas : (246 – 645)

Ohm.m, sedangkan bedrock berupa batuan peridotit memiliki nilai

resistivitas tinggi : (645 – 3300) Ohm.m dan kedalaman : (15 – 47) m.

Pada topografi yang relatif landai akan diperoleh zona saprolit dan

zona limonit yang lebih tebal dibandingkan lokasi yang terjal atau

berada disekitar kemiringan lereng.

Zona pelindian yang terletak pada zona transisi antara zona

limonit dan zona saprolit memiliki nilai resistivitas sekitar : (200 –

220) Ohm.m. Pada zona pelindian ini terjadi penambahan dan

pengurangan larutan pembawa Ni, Mg, dan Si secara kontinu yang

akan mengakibatkan terurainya silikat yang mengandung nikel dan

larutnya unsur-unsur seperti Ni, Mg, dan Si.

Struktur rekahan (joint) dengan nilai resistivitas: (60 – 123)

Ohm.m banyak ditemukan di dekat permukaan. Rekahan batuan

membantu terjadinya proses pelapukan karena dapat berfungsi sebagai

jalan masuknya air hujan (mengandung CO), selain itu 2 berfungsi

38
untuk mengendapkan nikel yang terdapat pada silikat dan rekahan

tersebut dikenal pula dengan urat – urat garnierite [13].

Gambar 14 Hasil Permodelan 2D Untuk Setiap Lintasan [13]

4. Kajian Nikel Laterit Dengan metode Electrical Resistivity

Tomography di Daerah Batu Putih, Kolaka Utara, Sulawesi

Tenggara oleh Budy Santoso, Bambang Wijatmoko, Eddy Supriyana.

Berdasarkan penampang resistivitas, maka diperoleh endapan

nikel laterit dari bawah ke atas, yaitu bedrock mempunyai nilai

resistivitas > 1720 Ohm.m, saprock dengan nilai resistivitas 640 –

1720 Ohm.m, zona saprolit dengan nilai resistivitas (400 – 640)

Ohm.m dan zona limonit dengan nilai resistivitas < 400 Ohm.m.

Bedrock memiliki nilai resistivitas sangat tinggi > 1720 Ohm.m

karena batuan tersebut sangat kompak dengan jenis batuannya yaitu

peridotit. Pada zona limonit yang memiliki resistivitas sangat rendah <

39
30 Ohm.m diduga terdapat saturasi air. Zona limonit dan saprolit pada

penampang ERT lintasan 3 lebih tebal dibandingkan lintasan 1 dan 2

karena dipengaruhi oleh morfologi, yang merupakan salah satu faktor

yang berperan dalam proses pelapukan dan pelindian [17].

Gambar 15 Hasil Permodelan 2D Untuk Tiap Lintasan [17]

5. Electrical imaging of peridotite weathering mantles as a

complementary tool for nickel ore exploration in New Caledonia

oleh Savin, et.al

Pada area tersebut telah dilakukan pemboran pada Sebagian

besar garis ERT. Kemudian dilakukan perbandingan antara hasil

distribusi nilai resistivitas dan log inti. Kesesuaian yang sangat baik

dapat diamati antara lapisan listrik dan empat cakrawala utama yang

40
membentuk profil pelapukan lengkap, maka dari bawah ke atas dapat

diidentifikasi sebagai berikut: Batuan dasar resistivitasnya berkisar

antara 100 hingga 3000 Ω.m, selanjutnya saprolit dengan resistivitas

mulai dari 10 hingga 300 Ω.m, limonit sendiri berkisar dari 100

hingga 300 Ω.m [18].

Gambar 16 Lima lintasan ERT, pada Massif ultramafik Tiebaghi [18].

2.7 Eksplorasi Geofisika

2.7.1 Definisi Eksplorasi Geofisika

Geofisika terbagi atas geokosmofisika, meteorologi, oseanografi,

hidrologi, dan fisika bumi padat. Fisika bumi padat ini dibagi atas seismologi,

vulkanologi, geomagnetisma, geolistrik, tektonofisika. Gravimetric,

geokosmologi, geotermi dan geokronologi [19].

Menurut para ahli, Geofisika adalah bagian dari ilmu bumi yang

mempelajari bumi menggunakan kaidah atau prinsip-prinsip fisika. Di

dalamnya termasuk juga meteorologi, elektrisitas atmosferis dan fisika

41
ionosfer. Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan

bumi melibatkan pengukuran di atas permukaan bumi dari parameter-

parameter fisika yang dimiliki oleh batuan di dalam bumi. Dari pengukuran

ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi di bawah permukaan

bumi baik itu secara vertikal maupun horisontal.

Sedangkan pengertian Eksplorasi disebut juga penjelajahan atau

pencarian menurut para ahli dan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),

adalah tindakan mencari atau melakukan penjelajahan dengan tujuan

menemukan sesuatu; misalnya daerah tak dikenal termasuk antariksa

(penjelajahan angkasa), minyak bumi, gas alam, batubara, mineral, gua, air

ataupun informasi.

Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

Eksplorasi Geofisika merupakan cabang terapan geofisika, yang

menggunakan metode fisik (seperti seismik, gravitasi, magnet, listrik dan

elektromagnetik) di permukaan bumi untuk mengukur sifat fisik di bawah

permukaan bumi, bersama dengan hal-hal yang berkaitan [20].

2.7.2 Konsep Eksplorasi Geofisika

Tujuan utama dari kegiatan eksplorasi geofisika adalah untuk

membuat model permukaan bumi dengan mengandalkan data lapangan yang

diukur bisa pada permukaan atau didalam bumi dengan ketinggian dan

kedalaman tertentu. Eksplorasi geofisika juga digunakan untuk memetakan

struktur bawah permukaan dari suatu daerah, untuk menjelaskan struktur

yang mendasari, distribusi spasial satuan batuan, menentukan letak air tanah

42
dan untuk mendeteksi struktur lipatan dan batuan intrusi. Untuk mencapai

tujuan ini, idealnya kegiatan survei atau pengukuran harus dilakukan secara

terus menerus, berkelanjutan dan terintegrasi menggunakan sejumlah ragam

metode geofisika.

Keuntungan dari survei geofisika adalah memungkinkan untuk

memperoleh informasi dimana volume tanah besar yang tidak bisa diselidiki

dengan metode langsung karena biaya. Aplikasi dari geofisika dalam

karakterisasi lahan yang terkontaminasi, misalnya distribusi dan migrasi

polutan di tanah dan air tanah yang masih berkembang, tetapi dengan potensi

besar. Hal tersebut masih belum cukup atau tidak digunakan dalam rekayasa

dan kemampuan yang lebih baru.

2.7.3 Metode Eksplorasi Geofisika

Berdasarkan pengambilan data maka pada prinsipnya di dalam metode

geofisika ada 2 (dua) macam cara yaitu metode geofisika dinamis dan metode

geofisika statis. Pada metode geofisika dinamis dilakukan “gangguan”

terhadap bumi kemudian respon yang diberikan akibat gangguan tersebut di

catat di permukaan. Dari respon yang diberikan ini kemudian dibuat

interpretasi kondisi bawah permukaan bumi. Gangguan ini dapat berupa

getaran seismik maupun injeksi arus listrik. Contoh metode ini adalah

seismik, geolistrik, dan georadar. Sedangkan pada metode yang kedua yakni

metode statis, fenomena fisika di bawah permukaan bumi dicatat tanpa

melakukan gangguan ke bumi. Contoh metode ini adalah metode gravitasi

dan magnetik [21].

43
Beberapa metode survei geofisika dapat digunakan di air maupun di

udara. Semakin besar modal dan biaya pengoperasian yang berhubungan

dengan pekerjaan marine atau airborne dapat mengimbangi oleh

meningkatnya kecepatan eksploitasi dan menguntungkan untuk melakukan

survei area dimana akses jalan yang sulit atau mustahil. Jangkauan yang luas

dari metode-metode penelitian geofisika yang ada, untuk masing-masing

disini memiliki sifat fisika yang khas yang berbeda [22]. Metode-metode

tersebut dicantumkan dalam Tabel 2.4.

Tabel 3 Metode-metode Geofisika [22]


Metode Parameter Terukur Sifat Fisika yang
Digunakan
Seismik Waktu tempuh Densitas dan modulus
gelombang seismik elastisitas yang mana
refleksi/refraksi menentukan
perambatan kecepatan
gelombang seismik
Gravitasi Variasi spasial kekuatan Densitas
medan gravitasi bumi
Magnetik Variasi spasial Suseptibilitas magnetik
kekuataan medan dan remanen
magnet bumi
Resistivitas Resistivitas Bumi Konduktivitas litrik
Polarisasi Tegangan polarisasi Kapasitansi listrik
Terinduksi atau resistansi tanah
yang tergantung
frekuensi
Potensial Diri Potensial listrik Konduktivitas listrik
Elektromagnet Respon terhadap radiasi Konduktivitas listrik
elektromagnet dan induktansi
Radar Waktu perjalanan pulsa- Konstanta dielektrik
pulsa radar yang di
refleksikan

44
2.8 Metode Resistivity

Ada beberapa metode geolistrik, yaitu resistivitas, Induced

Polarization (IP), Self-Potential (SP), magnetotellurik dan lain-lain. Prinsip

kerja metode geolistrik, arus listrik diinjeksikan ke dalam bumi melalui dua

elektroda arus, beda potensial yang terjadi diukur melalui dua elektroda

potensial. Berdasarkan hasil pengukuran arus dan beda potensial untuk setiap

jarak elektroda yang berbeda kemudian dapat diturunkan variasi nilai

hambatan jenis masing-masing lapisan di bawah titik ukur. Metode geolistrik

digunakan untuk eksplorasi mineral, reservoar air, geotermal, gas biogenik,

kedalaman batuan dasar dan lain-lain [23].

Dasar metode resistivitas adalah hukum Ohm yaitu dengan cara

mengalirkan arus kedalam bumi melalui elektroda arus dan mengukur

potensialnya di permukaan bumi dengan menggunakan elektroda potensial

[24]. Arus yang mengalir dalam konduktor sebanding dengan tegangannya

yang dinyatakan dalam hukum Ohm.

𝑉 = 𝐼𝑅 (2.1)

dengan masing-masing konstanta yaitu R merupakan resistansi dan diukur

dalam satuan Ω ketika arus (I) dalam ampere dan tegangan (V) dalam volt

[25].

Dalam menginterpretasikan pengukuran pada metoda geolistrik bumi

dianggap homogen isotropis, yaitu setiap lapisan memiliki resistivitas yang

sama. Prinsip dasarnya dari metoda geolistrik adalah mengukur respon berupa

potensial pada suatu elektroda potensial akibat arus listrik yang diinjeksikan

45
ke dalam bumi melalui elektroda arus, oleh karena itu perumusan teoritis

metoda geolistrik didasarkan pada prinsip perhitungan potensial listrik pada

suatu medium tertentu akibat suatu sumber arus listrik di permukaan bumi.

Jika arus (I) diinjeksikan ke dalam bumi yang homogen dan isotropis melalui

sebuah elektroda tunggal, maka arus listrik tersebut akan menyebar ke segala

arah dalam permukaan-permukaan ekuipotensial pada bumi berupa permukaan

setengah bola seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 2.10 [26].

Gambar 17 Aliran Arus Listrik dan Bidang Ekuipotensial [26]

Metoda resistivitas merupakan metoda yang bersifat aktif dengan

mengalirkan arus listrik ke dalam lapisan bumi melalui dua elektroda arus,

sedangkan potensialnya diukur melalui dua buah elektroda potensial atau

lebih. Dua buah elektroda arus C (C1 dan C1) untuk menginjeksikan arus

listrik permukaan. Besarnya potensial atau tegangan diukur oleh elektroda P1

dan P2 akan dipengaruhi oleh kedua elektroda tersebut [27].

46
Gambar 18 Konsep Resistivitas 2D [28]

2.9 Resistivitas Semu (Apparent Resistivity)

Pengukuran geolistrik resistivitas dapat dilakukan dengan

menggunakan keempat elektroda yang disusun sebaris, salah satu dari dua

buah elektroda yang berbeda muatan digunakan untuk mengalirkan arus listrik

dan dua elektroda lainnya digunakan untuk mengukur potensial yang

ditimbulkan oleh aliran arus listrik tersebut [29]. Proses penginjeksian

digambarkan seperti pada Gambar 2.6.

Gambar 19 Susunan Elektroda pada Pengukuran Geolistrik [30]

Dalam pengukuran geolistrik biasanya dilakukan dengan

menginjeksikan arus listrik (I) ke dalam bumi melalui dua elektroda arus, C1

dan C2, kemudian beda potensial (V) yang terjadi diukur melalui dua

elektroda potensial, P1 dan P2 seperti terlihat pada Gambar 2.11. Dari

47
pengukuran diperoleh nilai arus (I, satuan mA) dan beda potensial listrik (V,

satuan mV), sehingga nilai resistivitas (𝜌𝑎, satuan Ω𝑚) dapat dihitung melalui

persamaan [30].

𝜌𝑎 = 𝐾 𝑉 𝐼 (2.2)

dimana K merupakan faktor geometri yang tergantung kepada

susunan empat elektrodanya.

Beberapa resistivitas yang tidak homogen dalam bawah permukaan

akan mengubah medan listrik dan menyebabkan perbedaan potensial yang

diukur menjadi berbeda dari kesesuaian kehomogenan bawah permukaan

tanah. Dalam kasus ini resistivitas dinamakan resistivitas semu (𝜌𝑎) bawah

permukaan tanah, karena diasumsikan bahwa ukuran yang dibuat di bawah

permukaan tanah yang secara elektrik itu homogen [31].

Meskipun resistivitas semu tidak mencerminkan secara langsung

resistivitas medium, namun distribusi nilai resistivitas semu hasil pengukuran

mengandung informasi distribusi resistivitas medium [32] Untuk merubah

data resistivitas semu menjadi distribusi resistivitas sebenarnya merupakan

tantangan pokok untuk teknik interpretasi [31].

Beberapa hal yang mempengaruhi nilai resistivitas semu adalah

sebagai berikut [33] :

1. Ukuran butir penyusum batuan, semakin kecil besar butir maka

kelolosan arus akan semakin baik, sehingga mereduksi nilai tahanan

jenis.

48
2. Komposisi mineral dari batuan, semakin meningkat kandungan

mineral clay akan mengakibatkan menurunnya nilai resistivitas.

3. Kandungan air, air tanah atau air permukaan merupakan media yang

mereduksi nilai tahanan jenis.

4. Kelarutan garam dalam air di dalam batuan akan mengakibatkan

meningkatnya kandungan ion dalam air sehingga berfungsi sebagai

konduktor.

5. Kepadatan, semakin padat batuan akan meningkatkan nilai resistivitas.

2.10 Konfigurasi Elektroda

Dalam eksplorasi metode geolistrik terdapat berbagai jenis konfigurasi

elektroda, seperti konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi

Wenner - Schlumberger, konfigurasi Dipole - dipole, konfigurasi Pole - dipole,

konfigurasi Pole – pole dan konfigurasi Square. Dari berbagai jenis konfigurasi

ini menentukan faktor geometri (k) dan dari konfigurasi inilah yang menentukan

hasil untuk interpretasi penentuan nilai resistivitas bawah permukaan.

Gambar 20 Konfigurasi Elektroda dengan Faktor Geometrinya [23]

49
Dari beberapa konfigurasi yang ada, konfigurasi yang digunakan pada

penelitian berikut ini adalah konfigurasi Wenner-Schlumberger. Konfigurasi

Wenner-Schlumberger merupakan metode gabungan antara konfigurasi

Wenner dan Schlumberger. Konfigurasi Wenner-Schlumberger, adalah

konfigurasi dengan sistem aturan spasi yang konstan dengan catatan faktor

“n” untuk konfigurasi ini adalah perbandingan jarak antara elektroda C1-P1

(atau C2-P2) dengan spasi antara P1-P2. Jika jarak antar elektroda potensial

(P1 dan P2) adalah a maka jarak antar elektroda arus (C1 dan C2) adalah 2na

+ a [34]. Proses penentuan resistivitas menggunakan 4 buah elektroda yang

diletakkan dalam sebuah garis lurus [35]. Metode geolistrik konfigurasi

Wenner-Schlumberger dapat memberikan gambaran kondisi bawah

permukaan dengan lebih akurat [36]. Konfigurasi elektroda untuk Wenner-

Schlumberger dapat dilihat pada gambar 2.9.

Gambar 21 Konfigurasi Wenner-Schlumberger [23]

50
Berdasarkan gambar 2.9 maka faktor geometri untuk konfigurasi

Wenner-Schlumberger adalah
2𝜋
𝐾= 1 1 1 1 = Faktor Geometri (2.3)
{( − )−( − )}
𝑟1 𝑟2 𝑟3 𝑟4

2𝜋
𝐾= 1 1 1 1 (2.4)
{( −(𝑛+1)𝑎)−((𝑛+1)𝑎− )}
𝑛𝑎 𝑛𝑎

𝐾 = 𝜋𝑛 (𝑛 + 1)𝑎 (2.5)

Dengan n menyatakan faktor pembanding dari elektroda potensial dan

elektroda arus dan a menyatakan spasi elektroda terkecil.

Keuntungan dan keterbatasan konfigurasi Wenner-Schlumberger

adalah:

1. Sensitif terhadap adanya ketidakhomogenan lokal seperti lensa-lensa

dan gawir-gawir dan cocok untuk memetakan batuan bawah

permukaan dengan cakupan yang dalam.

2. Referensi dan kurva-kurva lebih banyak, dan studi yang dilakukan

cukup banyak.

3. Konfigurasi ini tidak terlalu sensitif terhadap adanya perubahan

horizontal (lateral setempat), sehingga metode ini cocok digunakan

untuk survei bidang gelincir, geoteknik, dan survei kedalaman

lainnya.

4. Keterbatasannya yaitu AB/MN harus berada pada rasio 2,5 < AB/MN

< 50. Diluar faktor tersebut, geometri sudah berdeviasi.

51
2.11 Sifat Kelistrikan Batuan dan Mineral

Resistivitas adalah karakteristik batuan yang menunjukkan

kemampuan batuan tersebut untuk menghantarkan arus listrik. Aliran arus

listrik dalam batuan dan mineral dapat digolongkan menjadi 3 macam, yaitu

konduksi secara elektroniki, konduksi secara elektrolitik, dan konduksi secara

dielektrik [33].

Sifat konduktivitas listrik tanah dan batuan pada permukaan bumi

sangat dipengaruhi oleh jumlah air, kadar garam/salinitas air serta bagaimana

cara air didistribusikan dalam tanah dan batuan tersebut. Konduktivitas listrik

batuan yang mengandung air sangat ditentukan terutama oleh sifat air, yakni

elektrolit (larutan garam yang terkandung dalam air yang terdiri dari anion dan

kation yang bergerak bebas dalam air). Adanya medan listrik eksternal

menyebabkan kation dalam larutan elektrolit dipercepat menuju kutub negatif

sedangkan anion menuju kutub postif. Tentu saja, batuan berpori atau pun

tanah yang terisi air, nilai resistivitas (𝜌) listriknya berkurang dengan

bertambahnya kandungan air. Begitu pula sebaliknya, nilai resistivitas

listriknya akan bertambah dengan berkurangnya kandungan air [32].

Gambar 22 Kandungan Garam Elektrolit dalam Air/batuan [32]

52
2.11.1 Konduksi secara Elektronik

Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral mempunyai banyak

electron bebas sehingga arus listrik dialirkan dalam batuan atau mineral oleh

elektron-elektron bebas berikut. Aliran listrik ini juga dipengaruhi oleh sifat

atau karakteristik masing-masing batuan yang dilewatinya. Salah satu sifat

atau karakteristik bauan tersebut adalah resistivitas (tahanan jenis) yang

menunjukkan kemampuan bahan untuk menghantarkan arus listrik. Semakin

besar nilai resistivitas suatu bahan maka semakin sulit bahan tersebut

menghantarkan arus listrik, begitu pula sebaliknya. Resistivitas mempunyai

pengertian yang berbeda dengan resistansi (hambatan), dimana resistansi

tidak hanya tergantung pada bahan tetapi juga bergantung pada factor

geometri atau bentuk bahan tersebut. Sedangkan resistivitas tidak bergantung

pada factor geometri [37].

2.11.2 Konduksi secara Elektrolitik

Sebagian besar batuan merupakan konduktor yang buruk dan

memiliki resistivitas yang sangat tinggi. Namun pada kenyataannya batuan

biasanya bersifat porus dan memiliki pori-pori yang terisi oleh fluida,

terutama air. Akibatnya batuan-batuan tersebut menjadi konduktor

elektrolitik, dimana konduksi arus listrik dibawa oleh ion-ion elektrolitik

dalam air. Konduktivitas dan resistivitas batuan porus bergantung pada

volume dan susunan pori-porinya. Konduktivitas akan semkain besar jika

kandungan air dalam batuan bertambah banyak, dan sebaliknya resistivitas

akan semakin besar jika kandungan air dalam batuan berkurang [37].

53
2.11.3 Konduksi secara Dielektrik

Konduksi ini terjadi jika batuan atau mineral bersifat dielektrik

terhadap aliran arus listrik, artinya batuan atau mineral tersebut mempunyai

electron bebas sedikit, bahkan tidak ada sama sekali. Elektron dalam batuan

berpindah dan berkumpul terpisah dalam inti karena adanya pengaruh medan

listrik di luar, sehingga terjadi polarisasi [37].

2.12 Hubungan Resistivity dengan Parameter Geologi

Parameter yang digunakan dalam menentukan jenis batuan dan mineral

dalam metode electrical resistivity adalah nilai resistivitas. Nilai resistivitas

didapatkan apabila kemampuan batuan dan mineral dapat menghambat arus

listrik yang melewatinya dengan nilai satuannya adalah Ωm (ohm meter).

Aliran arus listrik di dalam batuan dipengaruhi oleh banyaknya elektron

bebas. Faktor yang mempengaruhi nilai resistivitas batuan: kandungan air,

tekstur batuan, jenis batuan, porositas dan permeabilitas, mineral lempung,

salinitas air dalam batuan.

Batuan sedimen biasanya lebih porous dan kandungan air tinggi,

mempunyai resistivitas rendah. Resistivitas batuan sangat dipengaruhi oleh

adanya rongga dalam batuan (porositas, Ф) dan karakteristik fluida (saturasi,

S) pengisi rongga tersebut yang bertindak sebagai elektrolit [37] Jika rongga

batuan bersisi udara, gas atau uap air yang tidak dapat menghantarkan listrik

maka resistivitas batuan tersebut akan sangat tinggi. Resistivitas formasi

batuan (𝜌𝑓 ) sebagai fungsi porositas (Ф) dan 33 resisitivitas air formasi (𝜌𝑤)

dinyatakan oleh Hukum Archie secara empiris melalui persamaan [37] :

54
𝜌𝑓 = 𝑎𝜌𝑤Φ−𝑚𝑆 −𝑛 (2.6)

Dengan definisi Ф dan S adalah pecahan antara 0 dan 1, 𝜌𝑤 adalah

resistivitas air formasi, dan parameter a, m, dan n adalah konstanta empiris

yang telah ditentukan untuk beberapa kasus. Biasanya, 0,5 ≤ a ≤ 2,5, 1,3 ≤ m ≤

2,5, dan n ≈ 2. Pada persamaan tersebut diasumsikan seluruh poripori batuan

batuan terisi oleh air formasi atau formasi batuan dikatakan dalam keadaan

jenuh.

Gambar 23 Nilai Resistivitas Batuan dan Mineral [23]

55
2.13 Teknik Pengukuran Metode Geeolistrik 2D

Survei resistivity dilakukan dengan teknik pengukuran 2 dimensi

(profiling) menggunakan konfigurasi Wenner Schlumberger. Ditunjukkan

contoh ilustrasi dari proses pengambilan data menggunakan konfigurasi

Wenner Schlumberger (Gambar 2.18.).

Gambar 24 Susunan elektroda dan urutan pengukuran resistivitas 2D [23]

Metode ini disebut juga dengan metoda mapping, digunakan untuk

menentukan distribusi resistivitas semu secara vertikal per kedalaman.

Pengukurannya dilakukan dengan cara memasang elektroda arus dan potensial

pada satu garis lurus dengan spasi tetap, kemudian semua elektroda

dipindahkan atau digeser sepanjang permukaan sesuai dengan arah yang telah

ditentukan sebelumnya. Untuk setiap posisi elektroda akan didapatkan harga

tahanan jenis semu. Dengan membuat peta kontur tahanan jenis semu akan

diperoleh pola kontur yang menggambarkan adanya tahanan jenis [23].

2.14 Pemodelan Geofisika

56
Dalam geofisika, model dan parameter model digunakan untuk

mengkarakterisasi suatu kondisi geologi bawah permukaan. Pemodelan

merupakan proses estimasi model dan parameter model berdasarkan data yang

diamati di permukaan bumi. Dalam beberapa referensi istilah model tidak

hanya menyatakan representasi kondisi geologi oleh besaran fisis tetapi

mencakup pula hubungan matematik atau teoritik anatara parameter model

dengan respons model.

2.14.1 Pemodelan ke Depan

Pemodelan ke depan (forward modeling) menyatakan proses

perhitungan “data” yang secara teoritis akan teramati di permukaan bumi jika

diketahui harga parameter model bawah permukaan tertentu (Gambar 2.25a).

Perhitungan data teoritis tersebut menggunakan persamaan matematik yang

diturunkan dari konsep fisika yang mendasari fenomena yang ditinjau.

Untuk memperoleh kesesuaian antara data teoritis (respons model)

dengan data lapangan dapat dilakukan proses coba-coba (trial and error)

dengan mengubah-ubah harga parameter model. Seringkali istilah pemodelan

ke depan atau forward modeling digunakan untuk menyatakan pemodelan

data geofisika dengan cara coba-coba tersebut. Dengan kata lain, istilah

pemodelan ke depan tidak hanya mencakup perhitungan respons model tetapi

juga proses coba-coba secara manual untuk memperoleh model yang

memberikan respons yang cocok dengan data.

Secara umum metoda pemodelan ke depan membutuhkan waktu

cukup lama karena sifatnya yang tidak otomatis sebagaimana pemodelan

57
inversi (yang akan dijelaskan kemudian). Namun pada kasus-kasus tertentu

metode pemodelan ke depan cukup efektif.

2.14.2 Pemodelan Inversi

Pemodelan inversi (inverse modeling) sering dikatakan sebagai

“kebalikan” dari pemodelan ke depan karena dalam pemodelan inversi

parameter model diperoleh secara langsung dari data. Menke (1984)

mendefinisikan teori inversi sebagai suatu kesatuan teknik atau metode

matematika dan statistika untuk memperoleh informasi yang berguna

mengenai suatu sistem fisika berdasarkan observasi terhadap sistem tersebut.

Sistem fisika yang dimaksud adaah fenomena yang kita tinjau, hasil observasi

terhadap sistem adalah data sedangkan informasi yang ingi diperoleh dari

data adalah model atau parameter model.

Pemodelan inversi pada dasarnya adalah proses sebagaimana

digambarkan pada Gambar 2.25b namun mekanisme modifikasi model agar

diperoleh kecocokan data perhitungan dan data pengamatan yang lebih baik

dilakukan secara otomatis. Pemodelan inversi sering pula disebut sebagai data

fitting karena dalam prosesnya dicari parameter model yang menghasilkan

respons yang fit dengan data pengamatan.

58
Gambar 25 Proses forward modeling

59
BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 7 bulan pada bulan Juni 2020 sampai

dengan bulan Januari 2021 yang bertempat di Pusat Teknologi Pengembangan

Sumberdaya Mineral (PTPSM) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

(BPPT), kawasan PUSPITEK, Serpong. Adapun data resistivitas yang

digunakan dalam penelitian merupakan data sekunder, hasil survei geofisika

resistivitas 2D PTPSM-BPPT yang berlokasi di Daerah Pomalaa, Kabupaten

Kolaka, Sulawesi Tenggara, dengan luas area 108 hektar.

Gambar 26 Peta Lokasi Penelitian

60
Pada survei akuisisi geolistrik yang dilakukan terdapat 3 lintasan

pengukuran yang membentang dari arah timur laut – barat daya. Jenis

konfigurasi yang digunakan dalam akuisisi data Geolistrik Resistivitas ini

yaitu menggunakan Konfigurasi Wenner – Schlumberger. Pada Gambar 3.2.

menunjukkan desain tiga lintasan survei pengukuran yaitu GL-01, GL-02, dan

GL-03 yang masing-masing panjang lintasannya adalah 470 m dengan spasi

antar elektroda sebesar 10 m. Batas koordinat area survei dan lintasan daerah

penelitian dalam format Universal Transverse Mercator (UTM) sebagai

berikut

Tabel 4 Koordinat Lintasan Survei Geolistrik Resistivitas

Nama Lintasan X Y X Y

GL-01 352015 9530017 352308 9530352

GL-02 352412 9529991 352713 9530337

GL-03 352916 9529983 353226 9530321

Tabel 5 Koordinat Batas Area Survei Geolistrik Resistivitas


No. X Y

1 351793 9530471

2 353341 9530471

3 353341 9529777

4 351793 9529777

61
Gambar 27 Desain Lintasan dan Batas Area Suvei di Pomalaa

3.2 Alat dan Bahan

Dalam penelitian ini ada beberapa instrumen yang digunakan yaitu,

perangkat keras dan perangkat lunak.

3.2.1 Perangkat Keras

Perangkat keras yang digunakan oleh tim survei PTPSM-BPPT, yaitu:

a. Ares Resistivity Meter G5

b. Garmin Global Positioning System (GPS) digunakan untuk

menentukan posisi elevasi dan koordinat lokasi pada setiap titik

penelitian

c. Kompas yang digunakan untuk menunjukkan arah pengukuran dan

menentukan kelurusan lintasan

d. Aki digunakan sebagai sumber arus

e. Elektroda besi untuk menginjeksikan arus ke bawah permukaan

62
f. Kabel multicore 48 channels untuk menghubungkan elektroda

potensial dengan elektroda arus

g. Palu yang digunakan untuk menancapkan elektroda ke dalam tanah

h. Meteran digunakan untuk mengukur jarak bentangan dan jarak antar

elektroda

i. Terpal yang digunakan untuk menutupi Ares Resistivity Meter agar

tidak terkena panas matahari

j. Buku pengamatan dan alat tulis

k. Laptop

l. Peta geologi lembar Kolaka, Sulawesi Tenggara

Gambar 28 Peralatan Survei Resistivitas

3.2.2 Perangkat Lunak

Perangkat lunak atau software yang digunakan adalah:

a. Google Earth, digunakan untuk menampilkan kondisi lokasi

penelitian yang sebenarnya.

b. Notepad, digunakan untuk mengolah data yang dimasukkan kedalam

Res2Dinv.

63
c. Microsoft Excel 2016, digunakan untuk mengubahan nilai

resisitivitas semu menjadi resistivitas sejati.

d. Microsoft Word 2016, digunakan untuk menyusun tugas akhir

skripsi.

e. Res2DinV, digunakan untuk membuat pemodelan 2D.

f. ArcGIS, digunakan untuk membuat desain lintasan dan batas area

survei

g. Autocad, digunakan untuk menginput titik koordinat yang akan

digunakan untuk membuat permodelan 3D

h. Sketchup, digunakan untuk membuat permodelan 3D

64
3.3 Diagram Alur Penelitian

Gambar 29 Diagram Alir Penelitian.

3.4 Prosedur Pengambilan Data

Dalam melakukan pengambilan data, dilakukan dengan prosedur

sebagai berikut:

1. Melakukan survei awal untuk mengukur panjang lintasan dan

menentukan spasi yang akan digunakan

2. Mengukur dan menentukan titik pengambilan data sesuai dengan

spasi yang digunakan

65
3. Menancapkan elektroda menggunakan palu geologi

4. Bentangkan kabel dan masukkan kabel ke dalam rongga elektroda

5. Mengukur koordinat menggunakan GPS tepat di atas elektroda

6. Menentukan arah lintasan menggunakan kompas

7. Mengoperasikan Ares resistivity meter v.5.6

3.5 Prosedur Pengolahan Data dan Permodelan 2D


Adapun prosedur pengolahan data dan pemodelan 2D adalah sebagai
berikut:
1. Pengolahan data yang akan dilakukan yaitu menggunakan software
RES2DINV. Agar dapat diolah, data perlu dimasukkan sesuai
format dari software. Adapun beberapa data yang kita perlukan
adalah data topografi, spasi elektroda dan data rho apparent. Lalu
buat file di notepad dengan ekstansi *.dat.

66
Gambar 30 Tampilan data resistivitas dengan format .dat

2. Setelah itu untuk membuat penampang batuan dibawah permukaan

berdasarkan sifat kelistrikan yaitu diawali dengan input data berupa

format .dat.

Klik File Read data file

67
Gambar 31 Tampilan RES2DINV saat berhasil membaca data

3. Kemudian dilakukan proses inversi dengan menggunakan metode

Least Square Inversion dimana data diiterasi berkali-kali hingga

mendapatkan nilai error yang terkecil agar didapatkan penampang

bawah permukaan yang paling mendekati aslinya.

Klik Inversion Least Square Inversion

Gambar 32 Tampilan Hasil Inversi

68
4. Jika hasil permodelan masih dirasa kurang maka dilakukan editing

data/filtering data, yaitu mengeliminasi data yang buruk agar hasil

yang diberikan semakin maksimal.

Klik File Exterminate bad datum points

Gambar 33 Tampilan menu Exterminated Bad Datum Points

5. Setelah itu dari data yang dihasilkan oleh inversi, data tersebut

belum memiliki data evalasi, maka masukkan informasi tersebut.

Display Show Inversion Result


Display Sections Include Topography in Model Section

Gambar 34 Tampilan Hasil Include Topography.

69
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada gambar 4.1 dijelaskan bahwa batuan pada daerah penelitian

termasuk kedalam Komplek batuan Ultramafik. Batuan Ultramafik tersebut

didominasi oleh harzburgit, dunit, werlit, lherzolit, websterit, serpentinit dan

piroksenit menurut Simandjuntak, dkk (1993). Batuan ultramafik merupakan

sumber yang baik untuk pembentukan laterit sebagaimana yang dijumpai di

Pomalaa.

Menurut kamaruddin, H (2018) batuan ultramafik di daerah Pomalaa

didominasi oleh peridotit yang umumnya berupa harzburgit dan dunit yang

sebagian telah mengalami serpentinisasi. Komposisi mineral penyusun batuan

peridotit didominasi oleh olivin, klinopiroksen, orthopiroksen, kadang-kadang

disertai oleh kromit. Kandungan olivin pada harzburgit yang terserpentinisasi

tersebut merupakan sumber yang baik untuk terbentuknya endapan laterit nikel.

Gambar 35 Peta geologi Regional Sulawesi Tenggara

70
Endapan laterit nikel Pomalaa secara keseluruhan memiliki lima zonasi

perlapisan. Dari atas ke bawah zonasi tersebut terbagi menjadi: pedolit/tanah

tutupan (top soil), limonit, transisi, saprolit dan batuan dasar. Namun zona transisi

hanya berkembang di bagian utara Pomalaa berupa yellow limonite yang terdapat

diantara zona limonit (red limonite) dan zona saprolit.

a. Zona Top Soil (Tanah Penutup) adalah zona paling atas dari zona nikel

laterit, disusun oleh material lepas berukuran pasir-lempung yang

umumnya berwarna coklat-hitam, humus (kandungan organik tinggi),

gembur dan kadar oksida besi tinggi berupa nodul-nodul Fe. Ketebalan

tanah penutup berkisar 25 cm-2 m dan umumnya tidak mengandung

nikel. Material penyusun pada zona ini gembur , berongga dan bersifat

sarang (porous), pada kondisi kering, rongga antar butirannya terisi

udara, sebaliknya pada kondisi basah rongga antar butiran terisi fluida

sehingga mempengaruhi karakter resistivitas materialnya. Menurut

Suryawan (2019) pada zona ini memiliki kisaran nilai resistivitas

rendah – tinggi.

b. Zona Limonit merupakan zona yang mengandung oksida besi yang

cukup tinggi. Umumnya berwarna coklat - kemerahan . Material

penyususnnya lunak berupa tanah halus dan didominasi oleh mineral

lempung, kadang terdapat fragmen/pecahan batuan ultramafik dan

silika berukuran kerikil-bongkah . Bagian atas umumnya berwarna

kehitaman dan mengandung hematit. Pada zona ini memiliki kadar

nikel pada kisaran 0,4-1,2 % Ni dengan ketebalan rata-rata 3-7 meter,

71
di beberapa tempat ketebalannnya mencapai 25 meter. Umumnya

material penyusun zona ini memiliki permeabilitas rendah – medium,

Menurut Savin, C (2003), zona limonit memiliki nilai resistivitas

berkisar 100 - 1500 Ωm.

Gambar 36 Zona Limonit endapan laterit di Pomalaa

c. Zona Saprolit umumnya terdapat di bawah zona limonit, berwarna

kekuningan hingga coklat kehijauan dengan tekstur halus hingga kasar.

Disusun oleh butiran halus-kasar, masih terdapat batuan asal (batuan

ultramafic) dan silika berukuran kerakal-bongkah, umumnya memiliki

porositas dan permeabilitas (kelulusan air) tinggi. Ketebalan berkisar

2-7 meter dan di beberapa tempat memiliki ketebalan lebih dari 10

meter dengan kadar nikel umumnya berkisar 1,8 - 2,2 % Ni. Menurut

Savin, C. et.al., (2003), zona ini memiliki resistivitas mulai dari 10

hingga 300 Ω.m. Bongkah batuan ultramafik pada zona ini masih

memiliki sifat fisis dari batuan asalnya sehingga memiliki nilai

resistivitas yang lebih tinggi.

72
Gambar 37 Zona Saprolit (A), bongkahan bedrock (B) di Pomalaa

d. Zona Bedrock merupakan batuan dasar, lapisan paling bawah berupa

batuan ultramafik yang terdiri dari jenis batuan peridotite yang

berwarna abu-abu – kecoklatan, tekstur batuan kasar, padat dan keras.

Kadar nikelnya rendah, dibawah 0,5 %. Umumnya memiliki porositas

dan permeabilitas (kelulusan air) rendah-sangat rendah. Tingkat

kepadatan dan kekerasan material akan mempengaruhi sifat

resistivitasnya, dimana semakin padat dan keras, semakin tinggi

resistivitasnya atau semakin sulit material tersebut untuk

menghantarkan listrik. Umumnya batuan dasar (batuan ultramafik)

memiliki nilai resistivitas tinggi - sangat tinggi, berkisar 171 Ω.m -

3000 Ω.m, sependapat dengan hasil penelitian Savin, C. et.al. (2003)

bahwa pada zona ini memiliki resistivitas tinggi berkisar antara 100

hingga 3000 Ω.m.

73
Gambar 38 Batuan dasar pada yang sudah mengalami pelapukan

Gambar 39 Batuan dasar yang belum mengalami pelapukan

Data resistivitas 2D yang diperoleh dari PTPSM-BPPT sebanyak 3

lintasan (Tabel 1). Panjang untuk ketiga lintasan sama yaitu sepanjang 470 m.

Tabel 6 Daftar Lintasan Resistivitas


No. Lintasan Arah Lintasan Panjang lintasan

1. N-1 Timur Laut – Barat Daya 470 m

2. N-2 Timur Laut – Barat Daya 470 m

3. N-3 Timur Laut – Barat Daya 470 m

Pada data resistivitas tersebut dilakukan permodelan inversi

menggunakan Res2Dinv untuk menghasilkan penampang 2D. Dalam melakukan

analisis dan interpretasi berdasarkan pada karakteristik nilai resistivitasnya yang

74
dikorelasikan dengan faktor permeabilitas, porositas dan material penyusunnya

dari setiap zona laterit nikel serta didukung oleh peneliti sebelumnya.

Hasil pemodelan inversi data resistivitas pada 3 lintasan geolistrik

menggunakan software Res2Dinv diperoleh distribusi nilai resistivitas endapan

laterit di bawah permukaan berkisar 2,85 – 1.676,63 Ω.m, seperti terlihat pada

Gambar 5 – 7. Pada ketiga gambar tersebut menunjukkan distribusi nilai

resistivitas dengan karakter resistivitas sebagai berikut:

1. Zona dengan kisaran nilai resistivitas 200,17 Ω.m – 1096,05 Ω.m (warna

coklat - merah tua) yang terdistribusi di dekat permukaan,

diinterpretasikan sebagai zona limonit dengan ketebalan mulai 5 m – 25

m. Namun masih terdapat zona nilai resistivitas tinggi (716,52 Ω.m –

1096,05 Ω.m) pada zona ini umumnya dekat permukaan, kemungkinan

karena terdapat material penyusun batuan ultramafik dan silika

berukuran kerikil-bongkah yang bersifat resistif.

2. Zona dengan kisaran nilai resistivitas 2,51 Ω.m – 200,17 Ω.m (warna

biru tua – kuning) yang terdistribusi di dekat permukaan hinggga bawah

permukaan, diinterpretasi sebagai zona saprolit dengan ketebalan

mencapai 60 m. Dalam zona ini terdapat sebaran anomali nilai resistivitas

(200,17 Ω.m – 1676,63 Ω.m) yang diinterpretasi sebagai bongkahan

batuan dasar (batuan ultramafik) dan atau pecahan silika yang bersifat

resistif.

3. Zona dengan kisaran nilai resistivitas 200,17 Ω.m – 1676,63 Ω.m,

diinterpretasi sebagai zona batuan dasar, dimana nilai resistivitasnya

75
semakin dalam semakin tinggi yang mengindikasikan semakin dalam

semakin keras dan padat serta permeabilitas nya sangat rendah.

Hasil pemodelan inversi pada setiap lintasan menunjukan seluruh datum

point pada layer pertama terletak pada kedalaman 6 m dalam akusisi data

resistivitas dengan spasi elektroda 10 m, sehingga tidak ada data resistivitas antara

permukaan tanah sampai kedalaman 6 m.

Menurut Kamaruddin. H, dkk. (2018), zona Top Soil (Tanah Penutup) yang

terdapat di daerah Pomalaa mempunyai ketebalan 1-2 m dari permukaan tanah ,

sehingga tidak terekam atau tidak ada data nilai resistivitas dari material

penyusun zona tanah penutup.

A. Hasil Permodelan Inversi 2D dan Interpretasinya

Berdasarkan hasil permodelan inversi diperoleh model penampang

2D 3 Lintasan (N-1, N-2, N-3), lalu dikorelasikan dengan data geologi

daerah penelitian, maka dapat dilakukan interpretasi untuk mengetahui

keberadaan nikel dibawah permukaan berdasarkan 3 lintasan berikut:

Gambar 40 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-1

76
Gambar 41 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-2

Gambar 42 Model Penampang Resistivitas 2D pada Lintasan N-3

Berikut hasil interpretasi pada ketiga lintasan dirangkum dalam tabel

Interpretasi korelasi nilai resistivitas dengan zona laterit (Tabel 4. 2).

Tabel 7 Interpretasi korelasi kisaran nilai resistivitas dengan zona laterit


Nama Kisaran Interpretasi Interpretasi Karakteristik
Lintasan resistivitas Zona Laterit Resistivitas dan Material
(Ω.m) Penyusunnya
Lintasan 200,17- Zona Limonit Zona resistivitas medium , nilai
N-1 s/d 1096,05 resistivitas berkisar 200,17 Ω.m
N- 3 – 1096,05 Ω.m (berwarna coklat-
merah tua), terdistribusi di dekat
permukaan diinterpretasikan
sebagai zona limonit (zona di

77
bawah tanah penutup) dengan
ketebalan mulai 5 m – 25 m.
Namun masih terdapat nilai
resistivitas tinggi (200,17 Ω.m –
1676,63 Ω.m) pada zona ini,
kemungkinan karena terdapat
material penyusun batuan
ultramafik dan silika berukuran
kerikil-bongkah yang
menyebabkan tingginya
resistivitas.
2.51 – Zona Saprolit Zona resistivitas rendah (bersifat
200.17 konduktif) dengan kisaran nilai
resistivitas 2.51 Ω.m – 200,17
Ω.m (warna biru tua – kuning)
yang terdistribusi di dekat
permukaan hinggga bawah
permukaan, memiliki
permeablitas dan porositas
tinggi; ,diinterpretasi sebagai
zona saprolit dengan ketebalan
mencapai 60 m. Dalam zona ini
terdapat sebaran anomali nilai
resistivitas (200.17 Ω.m –
1676,63 Ω.m) yang diinterpretasi
sebagai bongkahan batuan dasar
(batuan ultramafik) dan atau
pecahan silika yang bersifat
resistif.
200,17 – Batuan Zona resistivitas medium-sangat

78
1676,63 Dasar/Bedrock tinggi dengan kisaran nilai
resistivitas 200,17 Ω.m –
1676.63 Ω.m, diinterpretasi
sebagai zona batuan dasar
(batuan Ultramafik), dimana nilai
resistivitasnya semakin dalam
semakin tinggi yang
mengindikasikan semakin dalam
semakin keras dan padat serta
permeabilitas nya sangat rendah.

Untuk menyederhanakan warna pada penampang 2D hasil interpretasi,

maka dilakukan konversi warna dari 17 warna (pada penampang resistivitas 2D

hasil pemodelan inversi) menjadi 3 warna yang mewakili setiap zona laterit (Tabel

4.3).

Tabel 8 Referensi Untuk Interpretasi Nilai Resistivitas


Referensi Ifanali Yanto Budy Bambang Savin,
Interpretasi Iha, Sudiyanto, Santoso, Wijatmoko, 2003
2018 2020 2018 2017
Zona 0 - 120 144 - 604 40 - 200 <30 100 - 1500
Limonit
Zona - 5 - 144 201 - 444 400 - 640 10 - 300
Saprolit
Zona >200 144 - 1200 645 - 3300 >1720 100 - 3000
Bedrock

79
Tabel 9 Interpretasi Korelasi Kisaran Nilai Resistivitas dengan Zona Laterit
Kisaran Resistivitas Interpretasi
(Ω.m)
200,17 – 1096,05 Zona Limonit
2,51 – 200,17 Zona Saprolit
200,17 – 1676,63 Bedrock dan bongkah
batuan ultramafik / pecahan
silika

Gambar 43 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-1

Gambar 44 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-2

80
Gambar 45 Penampang 2D Hasil Intepretasi pada Lintasan N-3

Dapat dilihat pada ketiga penampang masing-masing lintasan, pemodelan

terbagi menjadi 3 zona, yaitu zona limonit, zona saprolit, dan zona bedrock.

Kemudian berikut ini akan dijelaskan masing-masing zona secara detail dilihat

dari nilai resistivitas dan juga parameter sifat resistivitas.

 Pada zona limonit memiliki nilai resistivitas medium - tinggi

(200,17 Ω.m – 1096,05 Ω.m), didapatkan nilai resistivitas dengan

harga itu karena dilihat material penyusun dari zona ini bersifat

lunak berupa tanah halus, kadang terdapat pecahan batuan

ultramafik dan silika berukuran kerikil-bongkah. Umumnya

material penyusun zona ini memiliki permeabilitas rendah-

medium. Berdasarkan hubungan antara Hukum Ohm dan Hukum

Darcy, maka disimpulkan bahwa konduktivitas hidroulik

berbanding lurus dengan konduktivitas dan berbanding terbalik

dengan resistivitas. Untuk kadar nikel pada zona ini rendah jika

dibandingkan zona limonit, dikarenakan proses pelapukan yang

belum sempurna.

81
 Pada zona saprolit disusun oleh butiran halus-kasar, masih terdapat

batuan asal (batuan ultramafik) dan silika berukuran kerakal-

bongkah, umumnya memiliki porositas dan permeabilitas

(kelulusan air) tinggi yang mengakibatkan pada zona ini memiliki

resistivitas rendah-medium (2,51 Ω.m – 200,17 Ω.m ). Kadar nikel

pada zona limonit sangat baik yaitu sekitar 1,5-3% karena sudah

melalui proses pelapukan yang cukup sempurna.

 Pada zona bedrock, dilihat dari material penyusun pada zona ini

yang terdiri atas batuan asal (ultramafik) yang sangat kompak dan

rapat, maka untuk karakter permeabilitas nya sendiri rendah. Maka

dari itu pada zona ini memiliki nilai resistivitas yang tinggi yaitu

200,17 Ω.m – 1676,63 Ω.m. Untuk kadar nikel pada zona bedrock

sangat rendah (0,3%) karena belum melalui proses pelapukan.

B. Zona Kemenerusan Endapan Nikel

Berdasarkan hasil pemodelan inversi penampang 2 dimensi

Resistivity seluruh lintasan, kemudian dibuat model 3 lintasan dengan

menggunakan software Autocad untuk menginput titik koordinat dan juga

software Sketchup untuk melihat keberadaan zona kemenerusan bijih besi

di daerah penelitian.

82
Gambar 46 Hasil Permodelan 3D Seluruh Lintasan

Berdasarkan nilai Resistivity dalam bentuk model 3D (Gambar

4.11) terlihat bahwa pada setiap lintasan ditemukan 3 zona yaitu zona

limonit, zona saprolit, dan zona bedrock yang masing-masing ditandai

dengan warna yang berbeda.

83
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:

1. Hasil pengolahan data resistivitas pada 3 lintasan geolistrik

menunjukksn distribusi nilai resistivitas berkisar antara 2,51 Ω.m –

1676, 63 Ω.m.

2. Berdasarkan hasil korelasi distribusi nilai resistivitas dengan

permeabilitas batuan pada geologi regional maka endapan nikel

laterit daerah penelitian dibagi menjadi 3 zona yaitu nilai

resistivitas rendah sekitar 2,51 Ω.m – 200,17 Ω.m mewakili zona

saprolit, kadar nikel pada zona limonit sangat baik yaitu sekitar

1,5-3% karena sudah melalui proses pelapukan yang cukup

sempurna. Nilai resistivitas 200,17 Ω.m – 1096,05 Ω.m mewakili

zona limonit, untuk kadar nikel pada zona limonit rendah jika

dibandingkan zona limonit, dikarenakan proses pelapukan yang

belum sempurna. Dan nilai resistivitas tinggi sebesar 200,17 Ω.m –

1676,63 Ω.m mewakili batuan dasar, untuk kadar nikel pada zona

bedrock sangat rendah (0,3%) karena belum melalui proses

pelapukan.

84
5.2 Saran

Dari penelitian yang dilakukan, penulis memberikan beberapa saran untuk

penelitian selanjutnya yang perlu dilakukan yaitu:

1. Perlu dilakukan pemboran untuk mengkonfirmasi kedalaman dan

ketebalan setiap zonasi laterit pada daerah penelitian.

2. Melakukan pengambilan sampel batuan untuk peninjauan lebih

detail terhadap informasi geologi pada daerah penelitian.

85
DAFTAR PUSTAKA

[1] D. Affandi, “Pengkajian geologi, hidrogeologi, geoteknik pada rencana sanitary

landfill tpa pomalaa,” no. 18, pp. 222–231, 2015.

[2] H. Kamaruddin, R. A. Indrakususma, M. F. Rosana, N. Sulaksana, and E. T.

Yuningsih, “Profil Endapan Laterit Nikel Di Pomalaa, Kabupaten Kolaka,

Provinsi Sulawesi Tenggara,” Bul. Sumber Daya Geol., vol. 13, no. 2, pp. 84–105,

2018, doi: 10.47599/bsdg.v13i2.221.

[3] S. FAJRIASA’ADAH, “KARAKTERISTIK FISIK DAN KIMIA NIKEL

LATERIT DI DINDING TIMUR PIT ‘MELWOOD’ DAERAH POMALAA,

SULAWESI TENGGARA,” J. Chem. Inf. Model., vol. 53, no. 9, pp. 1689–1699,

2019.

[4] W. P. Sari et al., “Analisis Struktur Batuan Berdasarkan Data Geolistrik Tahanan

Jenis Konfigurasi Schlumberger Dan Konfigurasi Dipole-Dipole Di Kecamatan

Malalak Kabupaten Agam,” vol. 11, no. 2, pp. 25–32, 2018.

[5] D. Noor, “Pengantar Geologi Edisi Kedua,” 2012.

[6] A. Kurniadi et al., “KARAKTERISTIK BATUAN ASAL PEMBENTUKAN

ENDAPAN NIKEL LATERIT DI DAERAH MADANG DAN SERAKAMAN

TENGAH,” pp. 149–163.

[7] J. Hutabarat, “Tinjauan Keterdapatan Batuan Ultramafik Dalam Komplek Ofiolit

Ciletuh di Daerah Ciletuh, Jawa Barat,” Bull. Sci. Contrib., pp. 213–220, 2015.

[8] H. dkk Rahmi, “PENYELIDIKAN JENIS MINERAL DI JORONG KOTO

BARU NAGARI AIE DINGIN KABUPATEN SOLOK DENGAN METODE

GEOLISTRIK INDUCED POLARIZATION (IP),” vol. 6, pp. 25–32, 2015.

[9] K. Abidin and A. Palili, “Studi Penentuan Mineral Bawah Permukaan Dengan

Metode Geolistrik Di Desa Tarere Kec. Larompong Kab Luwu,” J. Din., vol. 02,

86
no. 2, pp. 62–63, 2011, [Online]. Available:

https://journal.uncp.ac.id/index.php/dinamika/article/view/13.

[10] N. Wilks, Earth science, vol. 24, no. 2. 2011.

[11] D. Kindersley, Pocket Nature Rocks and Minerals. London, 2005.

[12] J. Kimia, F. Matematika, D. A. N. Ilmu, and P. Alam, “PENENTUAN KADAR

NIKEL DALAM MINERAL LATERIT DENGAN METODE KOPRESIPITASI

MENGGUNAKAN Cu-PIROLIDIN DITIOKARBAMAT,” Indones. J. Chem.

Sci., vol. 2, no. 3, 2013.

[13] B. Santoso and S. Subagio, “Pemodelan Nikel Laterit Berdasarkan Data

Resistivitas Di Daerah Kabaena Selatan Kabupaten Bombana, Provinsi Sulawesi

Tenggara,” J. Geol. dan Sumberd. Miner., vol. 19, no. 3, pp. 148–161, 2018,

[Online]. Available:

http://jgsm.geologi.esdm.go.id/index.php/JGSM/article/view/408/358.

[14] K. H. Sianturi, “Deteksi Keberadaan Endapan Nikel Laterit Dengan Pemanfaatan

Gelombang Radar,” 2008.

[15] I. Iha and P. Hartoyo, “Citra Geolistrik Resistivitas 2-Dimensi Untuk Identifikasi

Zona Laterit Dan Zona Bedrock Profil Nikel Laterit,” J. Ilm. Giga, vol. 21, no. 2,

p. 50, 2019, doi: 10.47313/jig.v21i2.602.

[16] Y. Sudiyanto, “EKSPLORASI BIJIH NIKEL DAN KOBALT UNTUK BAHAN

BAKU BATEREI PENYIMPAN ENERGI LISTRIK PADA ENDAPAN NIKEL

LATERIT DI DAERAH POMALAA MENGGUNAKAN METODA

RESISTIVITAS 2D,” pp. 1–27, 2015.

[17] E. S. BUDY SANTOSO, BAMBANG WIJATMOKO, “KAJIAN NIKEL

LATERIT DENGAN METODE ELECTRICAL RESISTIVITY TOMOGRAPHY

DI DAERAH BATU PUTIH, KOLAKA UTARA, SULAWESI TENGGARA,”

87
vol. 07, no. 01, pp. 250–250, 2012, doi: 10.4133/1.4721764.

[18] C. Savin, B. Robineau, G. Monteil, A. Beauvais, J. C. Parisot, and M. Ritz,

“Electrical imaging of peridotite weathering mantles as a complementary tool for

nickel ore exploration in New Caledonia,” ASEG Ext. Abstr., vol. 2003, no. 2, pp.

1–5, 2003, doi: 10.1071/aseg2003ab148.

[19] Sismanto, “Geofisika Bagian Dari Geosains Dalam Eksplorasi Sumber Daya

Alam,” Pros. Pertem. Ilm. XXV HFI Jateng DIY, pp. 114–117, 2013.

[20] Kementerian PUPR, “Modul 4: Eksplorasi Geofisika untuk Airtanah,” 2019,

[Online]. Available:

https://simantu.pu.go.id/epel/edok/e94f7_4._Modul_Eksplorasi_Geofisika_untuk_

Airtanah.pdf.

[21] A. Kuswanto, W. Garinas, and S. Zikri, “Proses Pengambilan Data Dan

Pemanfaatan Geolistrik Metoda 4-D Untuk Pemetaan Geologi Bawah Permukaan

Data Collecting Process and Use of 4-D Geoelectric Method,” M.I.P.I, vol. 12, no.

1, pp. 47–56, 2018.

[22] Philip Kearey, An Introduction to Geophysical Exploration 3rd. 2002.

[23] M. H. Loke, “Tutorial: 2-D and 3-D Electrical Imaging Surveys, 2004 Revised

Edition,” Tutor. 2-D 3-D Electr. imaging Surv., no. July, p. 136, 2004.

[24] B. Septyanto, M. Nafian, and N. I. Dwiningsih, “Identifikasi Lapisan Batuan Di

Daerah Bojongsari, Depok Menggunakan Metode Geolistrik Resistivitas,” Al-

Fiziya J. Mater. Sci. Geophys. Instrum. Theor. Phys., vol. 1, no. 2, pp. 7–14, 2019,

doi: 10.15408/fiziya.v1i2.9503.

[25] J. Milsom, Field Geophysics, 3rd ed. 2003.

[26] I Nengah Simpen, “Modul Praktikum Metoda Geolistrik,” Jur. Tek. Sipil, Fak.

Tek. Univ. Udayana, pp. 1–25, 2015.

88
[27] M. Fauzan and M. S. Purwanto, “Situs Maelang Bayuwangi Jawa Timur,” vol. 6,

no. 2, 2017.

[28] P. S. GEOFISIKA, F. M. D. I. P. ALAM, and U. TANJUNGPURA, “MODUL

PRAKTIKUM METODE GEOLISTRIK DAN ELEKTROMAGNETIK,”

Interciencia, vol. 489, no. 20, pp. 313–335, 2018.

[29] W. Sunarya, “Identifikasi Bijih Besi (Fe) Menggunakan Metode Geolistrik

Resistivitas Konfigurasi Wenner-Schlumberger di Kabupaten Luwu (Jurnal

Geocelebes Vol. 1, No. 2,” J. Geocelebes, 2017.

[30] Y. Sudiyanto, “PEMODELAN 3 DIMENSI ENDAPAN BIJIH BESI

MENGGUNAKAN METODA RESISTIVITY DAN INDUCED

POLARIZATION ( IP ) TESIS Yanto Sudiyanto UNIVERSITAS INDONESIA

PEMODELAN 3 DIMENSI ENDAPAN BIJIH BESI MENGGUNAKAN

METODA RESISTIVITY DAN INDUCED POLAR,” Thesis Univ. Indones.,

2010.

[31] M. Dentith and S. Mudge, Geophysics for the mineral exploration geoscientist, no.

6. 2014.

[32] TelfordW.M, “Applied geophysics(2nd Edition).pdf.” 1990.

[33] N. Hurun, “ANALISIS DATA GEOLISTRIK RESISTIVITAS UNTUK SKRIPSI

Oleh : NURISYADZATUL HURUN,” p. 109, 2016.

[34] I. C. Priambodo, H. Purnomo, and N. Rukmana, “APLIKASI METODA

GEOLISTRIK KONFIGURASI WENNER-SCHLUMBERGER PADA SURVEY

GERAKAN TANAH DI BAJAWA, NTT Imam Catur Priambodo, Heri Purnomo,

Nana Rukmana, Juanda,” vol. 6, pp. 1–10, 2011.

[35] B. Kanata and T. Zubaidah, “APLIKASI METODE GEOLISTRIK TAHANAN

JENIS KONFIGURASI WENNERSCHLUMBERGER UNTUK SURVEY PIPA

89
BAWAH PERMUKAAN,” vol. 7, no. 2, pp. 84–91, 2008.

[36] J. Utiya and S. H. Tongkukut, “METODE GEOLISTRIK RESTIVITAS

KONFIGURASI So DAN KONFIGURASI DIPOLE-DIPOLE UNTUK

IDENTIFIKASI PATAHAN MANADO DI KECAMATAN PAALDUA KOTA

MANADO.”

[37] W. Lowrie, Fundamentals of Geophysics, second edition. 2007.

90
LAMPIRAN

1. Lampiran 1 : Rujukan Skala Umur Geologi Untuk Menentukan Umur Batuan


Pada daerah Penelitian

91
2. Lampiran 2 : Data Resistivitas pada lintasan 1

3. Lampiran 3 : Data Resistivitas pada lintasan 2

92
4. Lampiran 4 : Data Resistivitas pada lintasan 3

93

Anda mungkin juga menyukai