Anda di halaman 1dari 70

SEMINAR GEOLOGI TIPE 1

JUDUL

INDIKASI KETERDAPATAN ENDAPAN MINERAL DI DAERAH


GAYAMHARJO DAN SEKITARNYA, KECAMATAN PRAMBANAN,
KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Oleh:
ANDARIAS BINEY
NIM : 410017077

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
INSTITUT TEKNOLOGI NASIONAL YOGYAKARTA
2021
HALAMAN PENGESAHAN
SEMINAR GEOLOGI

1. Judul Seminar : Indikasi keterdapatan Endapan Mineral


Didaearah Gayamharjo dan Sekitarnya,
Kecamatn Prambanan, Kabupaten
Sleman, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta
2. Tipe Seminar : Seminar Geologi Tipe 1A
3. Identitas Mahasiswa :

a. Nam Lengkap : Andarias Biney


b. Nomor Induk Mahasiswa : 41001077
c. Perguruan Tinggi : Institut Teknologi Nasional Yogyakarta
d. Fakultas : Fakultas Teknologi Mineral
e. Program Studi : Teknik Geologi
f. Dosen Pembimbing : Oky Sugarbo ST, M.Eng.
4. Lokasi Penelitian : Gayamharjo dan Sekitarnya, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta

5. Jangka Waktu Seminar : 3 Bulan


6. Biaya Seminar : Rp 1.150.000
Yogyakarta, 13 Januari 2021

Dosen Pembimbing, Penyusun,

Oky Sugarbo ST, M.Eng Andarias Biney


NIK: 1973 0339 NIM: 410017077
Mengetahui, Menyetujui,
Dekan Fakultas Teknlogi Mineral Ketua Prodi Teknik Geologi

Dr. Ir. Setyo Pambudi, M.T. Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si.
NIK : 1973 0058 NIK: 1973 0251

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 ii


RINGKASAN
Daerah penelitian berada di Desa Gayamharjo dan Sekitarnya, Kecamatan
Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang berada
disebelah Utara Gunung Nglanggeran. Penelitian ini dimaksudkan untuk
mengetahui karakteristik batuan, penyebaran Zona Alterasi dan jenis Tipe Endapan
yang terdapat pada daerah penelitian. Metode penelitian yang digunakan berupa
pemetaan permukaan dan analisa petrografi. Dari hasil pemetaan didapatkan tiga
belas lokasi pengamtaan (LP) yang terdiri dari beberapa litologi dan kemudian
dibuat menjadi tiga satuan yaitu satuan andesit basaltik yang terdiri dari batuan
andesit basaltik (diinterpretasikan sebagai host-rock) dan breksi autoklastik, satuan
lapilli tuf (terdiri dari batuan tuf halus dan lapilli tuf) dan satuan batuan alterasi
(dalam bentuk bongkah atau boulder). Dari tiga belas lokasi pengamatan diambil
dua lokasi pengamatan (sampel 1 (LP1) dan sampel 2 (LP9)) pada satuan batuan
alterasi untuk dilakukan analisa laboratorium (petrografi). Pada sampel 1
didapatkan mineral illite-smectite, serisit dan polimorf silika (kuarsa, kristobalit dan
kalsedon) yang dominan (berkisar 20-50%) dan mineral-mineral lain seperti
adularia, kaolin, klorit, opaq yang kahidarannya berkisar 2-15%. Sedangkan pada
sampel 2 di dapatkan mineral yang dominan yaitu kaolin-dickite dan illite-smectite
(yang berkisar 20-25%) juga di dapati mineral-mineral lain yaitu klorite, serisit,
biotit sekunder dan silika berkisar 2-14%. Berdasarkan perbandingan dan
pemplotingan pada klasifikasi beberapa ahli, berdasarkan kehadiran mineral penciri
maka sampel 1 masuk kedalam zona alterasi filik dan sampel 2 masuk dalam zona
alterasi argilik. Berdasarkan suhu dan pH pembentukan mineral penciri yaitu
±100o-300oC juga berdasarkan litologi dearah penelitian diinterpretasikan adanya
hubungan proses vulkanik dengan batuan teralterasi. Pada kedua lokasi
pengamatan tersebut juga didapati stuktur dan tekstur batuan yaitu stockworck
structure dan crustiform-colloform banded texture yang biasanya terbentuk pada
sistem endapan epitermal sulfidasi rendah. Berdasakan data litologi, kumpulan
mineral penciri dan keterdapatan struktur-tekstur, jika dibandingkan dengan
klasifikasi tipe endapan epitermal Sillitoe dan Hedenquist (2003), maka daerah
penelitian masuk kedalam jenis tipe endapan epitermal sulfidasi rendah.

Kata kunci : Bongkah/Boulder, Petrografi, Endapan Epitermal Low Sulfidation

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 iii


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala kasih dan perlindungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Seminar
Geologi Tipe 1A yang berjudul Indikasi Keterdapatan Endapan Mineral di
daerah Gayamharjo Dan Sekitarnya, Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Seminar ini disusun sebagai bentuk pertanggungjawaban serta syarat


penulis atas mata kuliah Seminar Geologi pada Program Studi Teknik Geologi,
Fakultas Teknologi Mineral, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih dan


penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr.Ir. H. Ircham, MT. Selaku Rektor Institut Teknologi Nasional


Yogyakarta.
2. Dr. Ir. Setyo Pambudi. M.T, selaku Dekan Fakultas Teknologi Mineral
3. Ignatius Adi Prabowo, ST., M.Si. selaku Ketua Program Studi Teknik
Geologi Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.
4. Oky Sugarbo ST, M.Eng.selaku Dosen Pembimbing Seminar Geologi.
5. Kedua orang tua yang selalu mendoakan dan mendukung saya sampai
saat ini, secara materil maupun non materil
6. Masagus Febriansyah Dan Afdhal Abdillah Muhammad, selaku pemberi
bahan atau pemberi lokasi penelitan
7. Aurum team yang membantu dalam pengambilan data lapangan
8. Teman-teman kontrakan Canada yang selalu memberikan saran dan
membantu dalam pengerjaan laporan
9. Saudara-saudara geologi 17 “PACIFIC” serta rekan-rekan Jabiger lain,
atas segala saran dan bantuannya.
10. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat disebutkan satu
persatu, sehingga penyusunan laporan seminar ini dapat diselesaikan.
Mohon maaf bila ada kekurangan. Penulis akan sangat berterimakasih
apabila ada kritikan, masukan dan saran yang membangun, sehingga kedepanya
penulis dapat menyusun makalah geologi yang lebih baik dikemudian hari. Semoga

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 iv


makalah usulan seminar geologi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri ataupun
bagi pihak manapun yang memerlukan data serta intrepetasi yang ada didalam
makalah usulan seminar geologi ini.

Yogyakarta, 13 Januari 2021

Andarias Biney
NIM. 410017077

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 v


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
RINGKASAN ..................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................ iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah .................................................................................... 3
1.3 Batasan Masalah ......................................................................................... 3
I.4 Lokasi Penelitian ......................................................................................... 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 5
2.1 Geologi Regional ........................................................................................ 5
2.2 Alterasi Hidrothermal ............................................................................... 12
BAB III MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT .............................................. 23
3.1 Maksud..................................................................................................... 23
3.2 Tujuan ...................................................................................................... 23
3.3 Manfaat .................................................................................................... 23
BAB IV METODE PENELITIAN ..................................................................... 24
4.1 Pendahuluan ............................................................................................. 24
4.2 Kegiatan Lapangan ................................................................................... 25
4.3 Analisa laboratorium (petrografi) ............................................................. 28
4.4 Penyusunan Laporan Penelitian ................................................................ 28
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN.............................................................. 29
5.1 HASIL PENELITIAN ............................................................................. 29
5.2 PEMBAHASAN ...................................................................................... 46
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 56
6.I Kesimpulan ............................................................................................... 56
6.2 Saran ........................................................................................................ 56

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 vi


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 57

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 vii


DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Perkembangan Zona Subduksi dan Busur Magmatik Pulau Jawa
(Katili, 1975 dalam Sujanto et al., 1977) ............................................................2

Gambar 1.2. Kesampaian Lokasi. Diambil dari Google Earth (diakses pada
tanggal 07/12/2020) ...........................................................................................4

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010). .....................................................6

Gambar 2.2 Sebagian Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo,dkk., 1995)


dan Surakarta-Gritrinto (Surono, dkk., 1992). Lokasi Penelitin kotak merah ......9
Gambar 2.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992)
dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu. ....................................10

Gambar 2.4. Klasifikasi Mineralogi Alterasi Hidrotermal (Corbett & Leach


1998). ................................................................................................................17

Gambar 2.5 Penampang Ideal Alterasi Hidrotermal (Sillitoe,1995) ...................17

Gambar 2.6 Skema Tipe Endapan (Hadenquist & Lowenstern, 1994) ...............18

Gambar 2.7 Model skema system endapan HS (Arribas, dkk., 1995). ..............20
Gambar 2.8. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)
..........................................................................................................................22
Gambar 4.1 Diagram Alir Metode Penelitian ....................................................24

Gambar 4.2 Peta Topografi Daerah Penelitian .................................................26

Gambar 4.3. Modifikasi Peta Geologi daerah penelitian (Gabungan antara Peta
Geologi Lembar Surakarta-Giritontro dan Peta Geologi Lembar Yogyakarta) ....26

Gambar 5.1 Peta dem dengan arah orientasi perbukitan ....................................29

Gambar 5.2. Peta Lokasi Pengamatan ...............................................................30

Gambar 5.3 Batuan Andesit-basaltik.................................................................31

Gambar 5.4 Satuan Breksi autoklastik ..............................................................31

Gambar 5.5 Batuan Tuf halus ...........................................................................32

Gambar 5.6 Batuan Lipili-Tuf ..........................................................................33

Gambar 5.7 Stuktur dan Tektur batuan teralterasi .............................................34

Gambar 5.8 Peta Lokasi Pengamatan dan Pengambilan sampel ........................35

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 viii


Gambar 5.9 Penentuan kelimpahan mineral ......................................................35

Gambar 5.10 Sampel 1 (bongkah).....................................................................36

Gambar 5.11 Tekstur laminated chalcedonic-quartz vein (garis titik merah) .....37

Gambar 5.12 Stockwork Structure (garis titik merah) ........................................37

Gambar 5.13 Komposisi Batuan alterasi lokasi pengamatan (sampel 1) ...........37

Gambar 5.14 Sayatan Petrografi Sampel 1 ........................................................39

Gambar 5.15 Sampel 2 (lokasi pengamatan 9) ..................................................40

Gambar 5.16 Sayatan petrografi Sampel 2 ........................................................42

Gambar 5.17 Peta Geologi daerah penelitian ....................................................43

Gambar 5.18 Satuan Batuan Andesit-basaltik, a) breksi autoklastik. b) andesit


basaltik ..............................................................................................................44

Gambar 5.19 Satuan Batuan Bongkah di beberap lokasi pengamatan ................44

Gambar 5.20 Satuan Batuan Lapili-tuf, a) Lapili-tuf. b) Tuf-halus ....................45

Gambar 5.21 Pemodelan Zona alterasi ..............................................................46

Gambar 5.22 Peta penyebaran zona Alterasi daerah penelitian ..........................48

Gambar 5.23. Mineralogi Daerah Penelitian Dalam Klasifikasi Mineralogi


Alterasi Hidrotermal (Corbett & Leach 1998). ...................................................49

Gambar 5.24. Stabilitas suhu dari mineral alterasi hidrothermal pada endapan
epithermal (Henley dkk., 1983; dalam White dkk., 1995 ....................................50

Gambar 5.25 Interpretasi dua kelompok tubuh gunung api purba di Pegunungan
Selatan bagian barat berdasarkan data geomorfologi (Winarti & Hartono, 2015)
..........................................................................................................................51

Gambar 5.26 Peta Sebaran Litologi dan Interpetasi Penampang ........................52

Gambar 5.27 Pemodelan endapan epitermal sulfidasi rendah menurut


Hedenquist, 2000. Kotak kuning daerah penelitian. ............................................54

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 ix


DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral ..............................16

Tabel 4.1 Peralatan dan Bahan ..........................................................................27

Tabel 5.1 Perbandingan jenis alterasi berdasarkan klasifikasi Meyer dan Hemley,
1967...................................................................................................................48

Tabel 5.2 Klasifikasi intensitas ubahan berdasarkan kehadiran presentase


masadasar dan fenokris (Browne, 1989) ............................................................50

Tabel 5.3 Perbandingan karakteristik alterasi pada daerah penelitian dengan


karakteristik endapan epitermal menurut Sillitoe dan Hedenquist (2003) ............55

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 x


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan bagian dari jalur magmatisme Bumi yang dikenal

sebagai Ring Of Fire bagian Barat Daya. Hal tersebut akibat interaksi lempeng

berupa subduksi antara Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan Lempeng

Pasifik. Interaksi dari ketiga lempeng tersebut membuat Indonesia kaya akan

sumber daya alam, khususnya sumber daya mineral.

Jalur magmatisme di Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi 2, yaitu jalur

magmatisme Kapur, dan jalur magmatisme Tersier. Jalur magmatisme yang terjadi

pada zaman Kapur terjadi daerah utara Laut Jawa dan menyambung ke bagian

selatan dari Pulau Sumatera, hal ini diakibatkan jalur subduksi yang terjadi pada

Zaman Kapur berarah NE-SW pada sebelah utara pulau Jawa. Kejadian terjadi

akibat tumbukan mikrokontinen Jawa Timur yang diakibatkan adanya zona

subduksi yang berarah Meratus yang kemudian menghasilkan zona magmatisme

pada daerah sepanjang utara Jawa hingga Pulau Sumatera bagian Selatan.

Jalur magmatisme Tersier dapat dibedakan menjadi dua periode yaitu Eosen

Akhir - Miosen Awal yang menghasilkan produk kegiatan magmatik di Selatan

Pulau Jawa yang dikenal dengan Old Andesite Formation (van Bemmelen, 1949).

Jalur pegunungan paling selatan Pulau Jawa yang membentang di sepanjang selatan

Pulau Jawa memiliki umur Eosen Akhir - Miosen Awal. Jalur magmatis ini

dipengaruhi oleh zona subduksi yang lebih dekat dengan pulau Jawa dibandingkan

dengan posisi zona subduksi yang terjadi pada zaman Kuarter. Berdekatannya

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 1


posisi zona subduksi dengan posisi pegunungan magmatik lebih disebabkan oleh

sudut penunjaman lebih tajam pada kala itu. Jalur magmatisme Tersier yang kedua

adalah pada kala Miosen Akhir – Pliosen, terjadi pergerakan mundur dari zona

subduksi daerah selatan Pulau Jawa (Rollback) yang diikuti dengan melandainya

sudut penunjaman antara Lempeng Indo–Australia dengan lempeng Eurasia,

sehingga menyebabkan bergeraknya zona magmatis lebih ke utara Pulau Jawa,

tepatnya berada di daerah tengah dari Pulau Jawa. Pada masa Kuarter, zona

magmatik masih berada pada daerah tengah Pulau Jawa, tidak jauh berbeda dengan

posisi pada masa Miosen Akhir–Pliosen. Sudut penunjaman juga tidak jauh berbeda

dengan masa Miosen Akhir–Pliosen (Gambar 1.1).

Gambar 1.1. Perkembangan Zona Subduksi dan Busur Magmatik Pulau


Jawa (Katili, 1975 dalam Sujanto et al., 1977)

Keterdapatan jalur subduksi ini memunculkan kegiatan vulkanisme seperti

pembentukan gunung api. Produk dari kegiatan vulkanisme ini dapat berupa batuan

beku ekstrusi maupun intrusi dan batuan piroklastik. Magmatisme yang masih aktif

dapat menyebabkan alterasi atau ubahan terhadap mineral - mineral penyusun

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 2


batuan tersebut. Alterasi ini disebabkan oleh kontak magmatisme terhadap

lingkungan dari batuan tersebut untuk mencapai titik keseimbangan mineral

terhadap lingkungan yang baru.

Pada daerah Gayamharjo dan sekitarnya, Kecamatan Prambanan, Kabupaten

Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat beberapa boulder yang sudah

mengalami proses alterasi hidrotermal. Peneliti terdahulu melakukan penelitian

tentang boulder tersebut dengan metode makro atau pendeskripsian secara mata

telanjang (Naked eye). Hal tersebut menarik untuk dibahas atau dikaji lebih detil

dengan metode Analisa laboratorium (dalam bentuk Analisa petrografi), hal ini

menjadi latar belakang dilakukannya penelitian pada daerah tersebut.

1.2 Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang dapat dibuat dalam penelitian ini dapat disusun

sebagai berikut :

a. Bagaimana karakteristik batuan dan mineral yang telah mengalami alterasi

hidrotermal?

b. Bagaimana pola sebaran atau zona alterasi pada daerah penelitian ?

c. Tipe endapan apa yang ditemukan pada daerah penelitian?

1.3 Batasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu dalam pengambilan data

dilakukan pemetaan geologi permukaan (geological surface mapping) dengan

mengumpulkan data bongkah (boulder) yang dijumpai di lapangan berupa

pengamatan, penafsiran, pengGambaran, dokumentasi dan pengambilan data

sampel. Selain itu, peneliti mencoba memberikan Gambaran secara umum tentang

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 3


pola sebaran atau zona alterasi di daerah penelitian berdasarkan data sekunder yang

sudah ada dan dibatasi pada ciri deskriptif interpretatif litologi secara megaskopis

di lapangan dan mikroskopis di laboratorium dengan menggunakan analisis

petrografi

I.4 Lokasi Penelitian

Daerah penelitian secara administratif terletak di Daerah Gayamharjo dan

sekitarnya, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta. Secara koordinat UTM (Universal Tranverse Mecator) termasuk

kedalam zona 49S 46149.00 - 449301.00 ; 9137867.00-9135185.00 Dapat

ditempuh dengan kendaraan bermotor roda 2 kurang lebih 37 menit ke arah timur

dari kampus ITNY dengan jarak kurang lebih 37 km, ditunjukan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Kesampaian Lokasi. Diambil dari Google Earth (diakses pada
tanggal 07/12/2020)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 4


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

A. Fisiografi

Menurut Pannekoek (1949) fisiografi Pulau Jawa dapat dibedakan menjadi

tiga zona yang membujur dari barat sampai timur yaitu:

1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah

selatan menuju Samudra Indonesia dan umumnya di bagian utara dipotong

oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi,

untuk kemudian berganti menjadi dataran aluvial.

2. Zona Tengah/Zona Depresi Vulkanik, merupakan daerah depresi yang

disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah

tersebut banyak tumbuh Gunung Api Kuarter.

3. Zona Utara/Zona Lipatan, yang terdiri dari rangkaian pegunungan lipatan

yang diselingi oleh beberapa gunungapi dan sering berbatasan dengan

aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu :

Perbukitan Kendeng dan Perbukitan Rembang. Kedua perbukitan ini

dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur, yang

oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona Randublatung.

Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa menjadi

7 zona fisiografi (Gambar 2.1.). Dalam pembagian zona fisiografi ini, daerah

penelitian berada pada zona Pegunungan Selatan. Zona Pegunungan Selatan

dibatasi oleh Dataran Yogyakarta - Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan

di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 5


Lautan India. Di sebelah barat, antara Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta

dibatasi oleh aliran Kali Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung.

Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat - timur sepanjang 55 km

dan ke arah utara - selatan mempunyai lebar 40 km.

Dalam skala yang lebih lokal, Harsolumekso, dkk, 1997 (dalam Bronto dan

Hartono, 2001) menyatakan bahwa Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi

tiga subzone, daerah penelitian sendiri berada pada subzona Baturagung. Subzona

Baturagung terutama terletak di bagian utara, namun membentang dari barat

(tinggian G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri - Patuk), utara (G. Baturagung, ±

828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini,

Subzona Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706

m) dan G. Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief

paling kasar dengan sudut lereng antara 10ᴼ 30ᴼ dan beda tinggi 200 - 700 meter

serta hampir seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunung api.

Daerah
Penelitian

Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010).

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 6


B. Stratigrafi Regional

Dalam penelitian Surono dkk (2008) menyimpulkan bahwa stratigrafi

Pegunungan Selatan dibagi menjadi tiga periode. Periode pravulkanisme, satuan

batuan yang terbentuk adalah batuan malihan, ditindih tak selaras oleh kelompok

Jiwo. Kemudian periode vulkanisme, periode ini membentuk kelompok Kebo

Butak yang secara beruntun ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi

Nglanggran. Formasi Semilir disusun oleh tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir

tufan dan serpih. Formasi Nglanggran tersusun atas breksi gunung api, aglomerat

dan lava andesit. Pada periode pasca vulkanisme, satuan yang terendapkan adalah

Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung dan Formasi

Kepek.

Stratigrafi regional yang membangun Zona Pegunungan Selatan terdiri atas

13 formasi batuan yang tercantum dalam peta geologi lembar Yogyakarta

(Rahardjo, dkk, 1995) dan Surakarta-Gritrinto (Surono, dkk., 1992). Urutan

stratigrafi Pegunungan Selatan (Gambar 2.3) menurut Surono dkk (1992) dari tua

ke muda yaitu batuan malihan (Kapur Atas), Formasi Gamping-Wungkal (Eosen),

Formasi Kebo Butak (Oligosen-Miosen), Formasi Mandalika (Oligosen-Miosen),

Formasi Semilir (Miosen), Formasi Jaten (Miosen), Formasi Nglanggran (Miosen),

Formasi Wuni (Miosen), Formasi Sambipitu (Miosen), Formasi Nampol (Miosen),

Formasi Oyo (Miosen), Formasi Wonosari-Punung (Miosen Tengah-Pliosen),

Formasi Kepek (Miosen-Pliosen), Diorit Pendul (Miosen), Formasi Baturetno

(Plistosen), Aluvium Tua (Kuarter), Batuan Gunung Api Lawu (Kuarter), Batuan

Gunung Api Merapi (Kuarter), Aluvium (Kuarter).Menurut Bothe (1929) dan van

Bemmelen (1949).

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 7


Daerah penelitian sendiri masuk dalam formasi kebo-butak dan formasi

semilir (Gambar 2.2)

1. Formasi Kebo – Butak

Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan

batulempung yang menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid

maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah yang oleh

Bothe disebut sebagai Kebo beds, tersusun atas perselang – selingan antara

batupasir, batulanau dan batulempung yang khas menunjukkan struktur

turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang mengandung

klastika lempung. Di bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.

Di bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak,

tersusun oleh perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi

lempung atau lanau, ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan

batuan yang membentuk Kebo Butak ini ditafsirkan terbentuk pada

lingkungan lower submarine fan dengan beberapa interupsi pengendapan

tipe mid fan (Raharjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3)

(Sumarso & Ismoyowati, van Gorsel et al.,1987).

2. Formasi Semilir

Secara umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang

bersifat ringan, tufan, kadang – kadang dijumpai selaan breksi vulkanik.

Fragmen yang membentuk breksi maupun batupasir pada umumnya berupa

fragmen batuapung yang bersifat asam. Di lapangan pada umumnya

menunjukkan perlapisan yang baik, struktur – struktur yang mencerminkan

turbidit banyak dijumpai. Langkanya kandungan fosil pada formasi ini

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 8


menunjukkan bahwa pengendapannya berlangsung secara cepat atau

pengendapan tersebut terjadi pada lingkungan yang sangat dalam, berada di

bawah ambang kompensasi karbonat (CCD), sehingga fosil gampingan

sudah mengalami korosi sebelum dapat mencapai dasar pengendapan.

Umur dari formasi ini diduga adalah awal dari Meiosen berdasar atas

terdapatnya Globigerinoides primordius pada bagian yang bersifat

lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, Formasi Kebo –

Butak. Tersingkap secara baik di wilayah tipenya yaitu di tebing gawir

Baturagung di bawah puncak Semilir.

Gambar 2.2 Sebagian Peta Geologi Lembar Yogyakarta (Rahardjo,dkk., 1995)


dan Surakarta-Gritrinto (Surono, dkk., 1992). Lokasi Penelitin kotak merah

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 9


Gambar 2.3. Stratigrafi Pegunungan Selatan, Jawa Tengah (Surono, et al. 1992)
dan penarikan umur absolut menurut peneliti terdahulu.

C. Struktur Geologi Regional

Struktur geologi di daerah Pegunungan Selatan berupa perlapisan homoklin,

sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Sub Zona

Pegunungan Baturagung mulai dari Formasi Kebo-butak di sebelah utara hingga

Formasi Sambipitu dan Formasi Oyo di sebelah selatan. Perlapisan tersebut

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 10


mempunyai jurus lebih kurang berarah barat - timur dan miring ke selatan.

Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah utara (20 0 - 350)

menjadi 50-150 di sebelah selatan. Bahkan pada Sub Zona Cekungan Wonosari,

perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai

kemiringan sangat kecil (<50) atau bahkan datar sama sekali. Tidak kalah

menariknya pada Formasi Semilir di sebelah barat, antara Prambanan - Patuk,

perlapsan batuan secara umum miring ke arah baratdaya. Sementara itu, di sebelah

timur, pada tanjakan Sambeng dan dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke timur.

Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ni mungkin disebabkan oleh sesar blok

(anthithetic fault blocks; van Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya updoming

yang berpusat di Perbukitan Jiwo, atau merupaan kemiringan asli (original dip) dari

bentang alam gunungapi dan lingkungan sedimentasi pada zaman Tersier.

Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola "anthithetic

fault blocks" (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan

setempat-setempat berarah timurlaut-baratdaya. Di kaki selatan (Sambipitu) dan

kaki Timur (Sambeng) Pegunungan Baturagung dijumpai sesar geser mengiri.

Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan yang berarah

timurlaut-baratdaya. Bronto dkk. (2008) menginterpretasikan tanda-tanda sesar di

sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta sebelah timur (dusun Jentir,

tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar (mega slumping) batuan

gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah barat, K. Opak diduga dikontrol oleh

sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut - baratdaya dimana blok barat relatif

turun terhadap blok timur.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 11


Struktur lipatan banyak terdapat di sebelah utara G. Panggung, berupa

sinklin dan antiklin. Tinggian batuan gunungapi ini dengan tinggi G.

Gajahmungkur di sebelah timurlautnya di antarai oleh sinklin yang berarah

tenggara - baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan yaitu pada

Formasi Kepek dengan arah timurlaut - baratdaya.

2.2 Alterasi Hidrothermal

Alterasi hidrotermal adalah pergantian mineralogi dan komposisi kimia

yang terjadi pada batuan ketika berinteraksi dengan fluida hidrotermal (White,

1995). Fluida hidrotermal membawa berbagai unsur yang dapat mengalami

pengendapan, diantaranya unsur Na, K, Ca, Cl sebagai komponen utama serta

unsur-unsur minor seperti Mg, B, S, Sr, CO2, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Ag,

Au, dan lain sebagainya (Guilbert dan Park, 1986). Sedangkan, alterasi dapat terjadi

sebagai proses kesetimbangan antara mineral-mineral dalam batuan yang

berinteraksi dengan fluida hidrotermal.

White (2006) mendeskripsikan faktor-faktor yang berpengaruh dalam

alterasi hidrotermal menjadi tiga faktor utama antara lain bagaimana batuan

berinteraksi dengan fluida hidrotermal, rasio perbandingan antara fluida dan batuan,

dan komposisi fluida hidrotermal.

Sedangkan menurut Browne (1978) dalam Corbett dan Leach (1998), suatu

proses alterasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti :

a. Temperatur (termasuk temperatur fluida, kedalaman, dan tekanan)

b. Kimia fluida (pH)

c. Konsentrasi fluida dan komposisi fluida

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 12


d. Komposisi batuan induk

e. Kinetika dari reaksi yang terjadi

f. Lamanya proses interaksi

g. Permeabilitas batuan

White (1995) menjelaskan bahwa pengaruh alterasi hidrotermal terhadap

batuan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Pengaruh yang bekerja pada individual mineral secara selektif

Hal ini terjadi pada dua kondisi, yang pertama adalah dimana batuan

berinteraksi dengan fluida yang bersifat tidak reaktif sehingga hanya

mineral tertentu yang dapat berinteraksi dengan fluida hidrotermal. Kondisi

kedua adalah jumlah fluida hidrotermal yang mengalir berjumlah sedikit

(rasio fluida berbanding batuan rendah). Proses ini umumnya terjadi pada

zona alterasi propilitik.

b. Pengaruh sebatas pada urat dan sekitarnya

Proses ini hanya terlihat sebatas urat dan sekitarnya. Hal ini

dimungkinkan karena batuan yang bersifat tidak permeabel, atau jumlah

fluida yang sedikit.

c. Pengaruh pada keseluruhan batuan secara pervasive

Pengaruh ini terjadi disebabkan oleh banyaknya jalur rekahan atau

batuan memiliki permeabilitas tinggi, sehingga memungkinkan fluida untuk

mengubah seluruh komposisi batuan.

A. Klasifikasi Zona Alterasi Hidrothermal

Suatu zona yang memperlihatkan adanya penyebaran himpunan mineral-

mineral tertentu yang terbentuk dari hasil proses alterasi disebut sebagai zona

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 13


alterasi. Umumnya pengelompokkan alterasi didasarkan pada keberadaan

himpunan mineral-mineral tertentu yang dijumpai pada suatu endapan. Adapun

macam-macam alterasi yang umum dijumpai pada endapan hidrotermal, antara

lain:

1. Potasik

Jenis alterasi ini dicirikan oleh kehadiran mineral ubahan berupa

biotit sekunder, k-feldspar, kuarsa, serisit, dan magnetit. Selain itu, tipe

alterasi ini dicirikan oleh melimpahnya himpunan muskovit-biotit-alkali

feldspar magnetit. Anhidrit sering hadir sebagai asesoris, serta jumlah kecil

albit dan titanit (sphene) atau rutil.

Alterasi potasik terbentuk pada daerah yang dekat dengan batuan

beku intrusif porfiri, dengan fluida yang panas (>300oC), salinitas tinggi,

dan dengan karakter magmatik yang kuat. Mineralisasi yang umumnya

dijumpai pada zona ubahan potasik ini terbentuk menyebar, tempat mineral

tersebut merupakan mineral-mineral sulfida yang terdiri atas pirit maupun

kalkopirit dengan rasio yang relatif sama.

2. Filik

Tipe alterasi ini biasanya terletak di bagian luar dari zona potasik

terutama pada endapan tembaga porfiri. Batas zona alterasi ini berbentuk

circular yang mengelilingi zona potasik yang berkembang pada intrusi pada

endapan tembaga porfiri. Zona ini dicirikan dengan kumpulan mineral

serisit (mika halus) dan kuarsa sebagai mineral utama dengan mineral pirit

yang melimpah serta jumlah anhidrit. Mineral bijih yang dijumpai berupa

kalkopirit, tembaga dan native gold (emas). Zona ini tersusun oleh

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 14


himpunan mineral kuarsaserisit-pirit, dengan kehadiran pirit yang sangat

melimpah yang umumnya tidak mengandung mineral-mineral lempung atau

alkali fledspar. Zona ini terbentuk akibat influx air yang memiliki suhu yang

lebih rendah dan fluida asam-netral, salinitas beragam, pada zona

permeabel, dan pada batas urat.

3. Argilik

Zona ini terdiri atas mineral lempung argilik seperti kaolinit dan

montmorilonit. Kehadiran zona ini menandakan semakin intensnya

kehadiran influx air meteorik yang memiliki suhu dan nilai pH yang lebih

rendah. Himpunan mineral pada tipe argilik terbentuk pada temperatur 100o

– 300oC (Pirajno, 1992), fluida asam-netral, dan salinitas rendah.

4. Argilik Lanjut (Advanced Argilic)

Pada sistem epitermal sulfidasi tinggi (fluida kaya asam sulfat),

ditambahkan istilah advanced argilic yang dicirikan oleh kehadiran

himpunan mineral pirofilit-diaspor-andalusit-kuarsa-turmalin-enargit-

luzonit (untuk suhu tinggi, 250 o-350oC), atau himpunan mineral kaolinit-

alunit-kalsedonkuarsa-pirit (untuk suhu rendah <180oC).

5. Propilitik

Dicirikan oleh kehadiran klorit disertai dengan beberapa mineral

epidot, ilit/serisit, kalsit, albit, dan anhidrit. Terbentuk pada temperatur

200o-300oC pada pH mendekati netral, dengan salinitas beragam, umumnya

pada daerah yang mempunyai permeabilitas rendah.

6. Propilitik Dalam (Inner Propylitic)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 15


Tipe alterasi ini dijumpai pada sistem epitermal sulfidasi rendah

(fluida kaya klorida, pH mendekati netral, umumnya menunjukkan zona

aterasi seperti pada sistem porfiri, tetapi menambahkan istilah inner

propylitic pada zona yang bersuhu tinggi (>300 oC) yang dicirikan oleh

kehadiran epidot, aktinolit, klorit, dan ilit.

Beberapa ahli membuat klasifikasi zona alterasi berdasarkan himpunan mineral

penciri, suhu, dan pH. Guilbert & Park (1986) dan Corbett & Leach (1998)

memperlihatkan zona alterasi yang ditunjukkan oleh himpunan mineral tertentu dan

tipe mineralisasinya berdasarkan hubungan antar suhu dan pH larutan (ditunjukan

pada tabel 2.1 dan Gambar 2.4). Sedangkan Sillitoe (1995) membuat penampang

ideal alterasi hidrotemal dan endapan epitermal (Gambar 2.5)

Tabel 2.1. Tipe-tipe alterasi berdasarkan himpunan mineral, modifikasi Guilbert


& Park (1986)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 16


Gambar 2.4. Klasifikasi Mineralogi Alterasi Hidrotermal (Corbett & Leach
1998).

Gambar 2.5 Penampang Ideal Alterasi Hidrotermal Porfiri (Sillitoe,1995)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 17


B. Tipe Endapan Epitermal

Pada umumnya larutan hidrotermal menghasilkan beberapa tipe endapan

hidrotermal yang dibagi berdasarkan model endapanya, salah satunya yaitu

endapan epitermal.

Istilah epitermal pertama kali digunakan oleh Lindgren pada tahun 1913

untuk menjelaskan suatu endapan hidrotermal yang dekat dengan permukaan

(berkisar antara 50-1500 meter dari atas permukaan bumi). Tipe endapan

epitermal terbentuk berkaitan erat dengan aktivitas vulkanisme pada suatu daerah.

Biasanya system epitermal ditandai dengan munculnya manifestasi aktivitas

vulkanisme dangkal diatas permukaan bumi dalam bentuk mata air panas (hot

spring) dan fumarole.

Endapan epitermal terbentuk dari larutan yang dilute (yang mengandung

NaCl < dari 5 wt%) yang mengalami proses boiling (mendidih) pada suhu antara

200-3000C. Skema tipe endapan mineral jenis ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Gambar 2.6 Skema Tipe Endapan (Hadenquist & Lowenstern, 1994)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 18


Secara umum, endapan epitermal terbagi atas dua tipe berdasarkan tingkat

sulfidasinya atau tingkat oksidasi sulfur didalam fluida bijinya, yaitu :

1. Endapan Sulfidasi Tinggi (High Sulfidation ; HS)

Endapan High Sulfidation Sytem dibentuk oleh adanya reaksi antara

larutan panas yang berasal dari magma dengan air meteorik yang kemudian

membentuk larutan sangat asam dan dalam kondisi oksidasi. Pada proses

tersebut unsur S hadir dalam bentuk SO2, HCl, H2S. SO2 dan H2S teroksidasi

dan bereaksi dengan H2O membentuk asam sulfur (H2SO4).

Asam sulfur ini merupakan larutan yang sangat aktif dan akan

menyebabkan terjadinya leaching (pencucian) pada batuan samping dan

menghasilkan alterasi argilik lanjut. Suhu dari larutan berkisar antara 200-

3000C dengan pH 0-2 dan salinitas 2-5 wt% setara NaCl.

Kelompok mineral yang umum dijumpai yaitu silika dengan tektur

vuggy, silika-alunit, phyrophyllite-diaspore, dan dickite-kaoline. Endapan

emas HS di daerah Barat-daya Pasifik biasanya berasosiasi dengan mineral

enargite-pyrite-barite-alunite (Corbett, 2012).

Endapan ini dapat dijumpai pada batuan beku maupun pada

basement yang mengindikasikan adanya proses uplift atau pengangkatan

yang diakibatkan oleh kompresi. Endapannya sendiri terletak pada zona

alterasi argilik lanjut dengan volume yang besar terbentuk oleh

percampuran uap magma asam dan air tanah diatas zona intrusi porfiri yang

termineralisasi (Hedenquist, dkk., 1998; Hedenquist, dkk., 2000). Biasanya

zona alterasi argilik lanjut tersebut memperlihatkan kenampakan adanya

zoning dari bagian proksimal vuggy silica sampai dengan kumpulan mineral

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 19


penciri argilik lanjut seperti alunite, phyrophyllite, dickite dan kaolinite

sampai bagian distal tempat dijumpai alterasi argilik.

Kehadiran mineral alunite yang merupakan hasil alterasi mineral

felspar dan merupakan salah satu penciri khas dari endapan epitermal HS

disamping vuggy silica menunjukan larutan yang sangat asam. Bagian

tengah dari zona alterasi silikaan (siliceous zone) merupakan daerah utama

yang mengandung bijih pada endapan HS. Skema endapan HS dapat dilihat

pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7 Model skema system endapan HS (Arribas, dkk., 1995). (a) proses awal
ketika uap magma yang dominan mengakibatkan proses leaching pada
batuan samping dan membentuk alterasi argilik lanjut. (b1) Tahap
pengendapan bijih ketika emas diangkut dalam bentuk klorida
kompleks. (b2) tahap penegndapan bijih ketika emas tertransportasi
dalam bentuk bisulfide kompleks.

2. Endapan Sulfidasi Rendah (Low Sulfidation ; LS)

Endapan sulfidasi rendah atau low sulfidation system dicirkan oleh

larutan yang bersifat netral dalam kondisi reduksi yang mengandung unsur

S dan H2S dan memperlihatkan adanya interaksi antara komponen air

meteorik dan air magmatik. Pada tipe sulfidasi rendah, pengendapan

mineral bijih, terutama emas dikontrol oleh adanya proses boiling yang

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 20


disebabkan oleh adanya penurunan tekanan dari larutan yang mencapai

permukaan. Proses boiling biasanya diindikasikan dengan adanya kristal

silika yang berbentuk pipih yang menggantikan mineral kalsit.

Ketika mencapai permukaan fluida akan keluar dan mengkristal,

mengakibatkan sillika terendapkan dan membentuk undak-undak silika

(silica sinter terrace). Urat-urat yang dibentuk oleh endapan LS biasanya

memperlihatkan perlapisan yang bagus, sering dijumpai perulangan silika

dan karbonat serta memperlihatkan tekstur pengisian rekahan (open-space

fliling).

Pola alterasi yang ditunjukan oleh endapan ini tidak seintensif

seperti endapan HS, kecuali batuan samping yang relative permeabel.

Alterasi batuan samping membentuk zonasi yang pada bagian dalam

didominasi oleh mineral lempung jenis illite-smectite dan dibeberpa tempat

ditutupi oleh zona alterasi sulfat asam dengan ciri adanya kristobalit, kaolin,

dan sedikit alunit (Gambar 2.8).

Pada skala kecil, endapan LS biasanya dijumpai didalam batuan

vulkanik, tetapi bias juga dijumpai pada batuan basement-nya. Pola alterasin

pada endapan LS memperlihatkan zonasi secara lateral dari proksimal yang

dicirikan oleh kuarsa-kalsedon-adularia pada urat-urat yang termineralisasi

yang pada umumnya akan memperlihatkan crustiform-colloform bading

dan platy, kuarsa dengan lattice-texture yang mengindikasikan proses

boiling, sampai dengan kumpulan illite-pyrite dan pada bagian distal berupa

kumpulan alterasi propilitik. Kehadiran illite mengindikasikan pH larutan

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 21


yang cenderung normal. Ciri lain yang sang khas pada sistem endapan LS

banyaknya dijumpai stockwork, yaitu urat-urat yang memotong host-rock.

Gambar 2.8. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 22


BAB III

MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT

3.1 Maksud

Maksud dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tentang karakteristik

batuan-batuan alterasi hidrotermal dengan metode petrografi untuk mengetahui tipe

endapan pada daerah penelitian.

3.2 Tujuan

a. Mengetahui karakteristik batuan dan mineral yang telah mengalami alterasi

hidrotermal.

b. Dapat mengetahui pola sebaran atau zona alterasi dearah penelitian.

c. Mengungkap tipe endapan yang terdapat pada daerah penelitian.

3.3 Manfaat

Hasil dari penelitian ini diaharapkan dapat bermanfaat, antara lain :

a. Bidang ilmu dan teknologi, perkembangan ilmu khususnya vulkanologi dan

endapan mineral.

b. Mengungkap suatu pemahaman baru terhadap daerah penelitian untuk

kepentingan keilmuan khususnya geologi.

c. Bidang pembangunan, penelitian ini memberikan informasi terhadap

sumber daya mineral dan sumber daya geologi yang sangat mendukung dan

dibutuhkan dalam kesinambungan pembangunan.

d. Bidang pengembangan kelembagaan, daerah penelitian yang lokasinya

dekat dengan kampus ITNY dapat dijadikan salah satu laboratorium alam

guna pendidikan geologi di lapangan.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 23


BAB IV

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam suatu penelitian akan sangat menentukan

hasil penelitian yang akan diperoleh, sehingga dalam suatu penelitian diperlukan

metode penelitian dengan tahapan yang tersusun baik agar pelaksanaan penelitian

dapat berlangsung dengan baik pula .Pada penelitian ini terdapat beberapa tahapan

atau metode yang dilalui. Tahapan-tahapannya yaitu Pendahuluan, kegiatan

lapangan, Analisa, dan pembuatan laporan penelitian (Gambar 4.1)

Gambar 4.1 Diagram Alir Metode Penelitian

4.1 Pendahuluan

Pada tahap ini dilakukan persiapan berupa kelengkapan administrasi, studi

pustaka. Tahap ini dilakukan di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi

Mineral, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 24


a. Studi Pustaka

Pada tahapan ini penulis melakukan studi pustaka terhadap

penelitian penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, Tahap ini

merupakan tahap mempelajari literatur yang relevan dengan kondisi geologi

daerah yang akan diteliti, baik berupa buku-buku pedoman, peta regional,

jurnal, laporan penelitian maupun publikasi jenis lain. Literatur ini akan

dikaji satu-persatu sehingga dapat memperoleh suatu pendekatan yang

dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam penyelesaian masalah.

Studi pustaka diperlukan agar penelitian yang dilakukan oleh penulis

menjadi terarah dan sesuai dengan teori yang ada, sedangkan studi

penelitian terdahulu diperlukan agar penulis memiliki Gambaran awal

mengenai keadaan geologi yang ada di daerah penelitian.

b. Penyusunan Proposal dan Syarat Administrasi

Proses pembuatan perizinan dilakukan sebagai syarat legalitas

penelitian. Hal ini sangat penting mengingat bahwa sebaik-baik data geologi

yang diperoleh dalam suatu penelitian, tanpa surat izin yang sah maka

penelitian itu sama dengan ilegal dan tidak dapat diakui keabsahannya.

4.2 Kegiatan Lapangan

Tahap ini merupakan tahapan yang pelaksanannya dilakukan di lokasi

penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bgaimana kondisi geologi didaerah

penelitian. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap kegitan lapangan yaitu

Recconaise, pengamatan dan deskripsi litologi, serta pengambilan sample.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 25


a. Recconaise

Tahapan yang pertama dalam kegiatan lapangan yaitu recoqnize.

Pada tahap ini dilakukan pengkajian peta topografi (Gambar 4.1) dan peta

geologi (Gambar 4.2) daerah penelitian. Hal ini dilakukan guna untuk

mengetahui jalur lintasan yang akan di lewati dan sebagai tahapan awal

untuk penentuan pengambilan sampel yang layak.

Gambar 4.2 Peta Topografi Daerah Penelitian

Gambar 4.3. Modifikasi Peta Geologi daerah penelitian (Gabungan antara Peta
Geologi Lembar Surakarta-Giritontro dan Peta Geologi Lembar Yogyakarta)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 26


b. Deskripsi dan Pengambilan Sampel

Tahapan selanjutnya merupakan kegiatan lapangan yaitu

pengambilan data permukaan dan pengambilan sampel batuan di lapangan.

Kegiatan pengambilan data meliputi pengambilan titik koordinat,

pengamatan dan pengambilan sampel, deskripsi secara megaskopis, lalu

dokumentasi foto singkapan. Akan tetapi karena pembahasan penelitian ini

lebih ditekankan pada analisis petrografi maka observasi kondisi geologi

lain tidak akan terlalu dibahas terlalu dalam. Pengambilan sampel untuk

analisis petrografi dilakukan di 5 titik yang tersebar disekitar daerah

penelitian. Peralatan dan bahan yang dipergunakan dalam penelitian ini

adalah :

Tabel 4.1 Peralatan dan Bahan

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 27


4.3 Analisa laboratorium (petrografi)

Analisa laboratorium dilakukan untuk mengetahui secara lebih spesifik

akan kandungan mineral, kondisi fisiknya dalam batuan, serta komposisi unsurnya.

Penelitian laboratorium ini mencakup analisis petrografi melalui sayatan tipis

batuan dengan menggunakan mikroskop polarisasi Olympus CX31-P. Analisis

petrografi ini dilakukan dengan cara mengambil Sampel batuan dari lapangan

kemudian dipreparasi dalam bentuk sayatan tipis dan kemudian diamati secara

petrografi di Laboratorium Petrologi-Mineralogi Program Studi Teknik Geologi,

FTM, ITNY. Teknik pengamatannya sendiri berdasarkan teknik visual atau teknik

kuantitatif dengan cara menyamakan secara visual sabaran dan bentuk dari mineral.

Analisa ini juga dilakukan dengan menghubungkan data-data sekunder baik dari

peneliti terdahulu maupun dasar teori tentang petrografi batuan alterasi. Hasil dari

Analisa ini kemudian akan diploting dan dibandingkan dengan klasifikasi dari

beberapa ahli, untuk mengetahui jenis alterasi dan tipe endapanya.

4.4 Penyusunan Laporan Penelitian

Tahapan selanjutnya yaitu dilakukannya pengkajian data yang sudah di

analisa dalam bentuk Gambar dan tulisan sehingga dapat digunakan sebagai bahan

pemaparan seminar. Data-data hasil dari studi pustaka, pengolahan data lapangan,

anlisa laboratorum dan interpretasi atau kesimpulan dari data-data tersebut

kemudian disusun menadi laporan seminar atau karya ilmiah dibawa bimbingan

dosen pembimbing

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 28


BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 HASIL PENELITIAN

Berdasarkan pengamatan di lapangan dan analisa laboratorium didapatkan

beberapa hasil penelitian yaitu morfologi daerah penelitian, litologi daerah

penelitian, dan stratigrafi daerah peneltian. Penjelasannya sebagai berikut :

A. Morfologi Daerah Penelitian

Daerah penelitian terletak disebalah utara gunung api purba Ngalnggeran.

Secara umum morflogi dearah penelitian didominasi oleh perbukitan dan lembah

yang memiliki orientasi arah morfologi (Gambar 5.1), baratlaut-tenggara, barat-

timur dan timurlaut-baratdaya.

Gambar 5.1 Peta dem dengan arah orientasi perbukitan

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 29


B. Litologi daerah penelitian

Berdasarkan kegiatan lapangan yang dilakukan terdapat 13 lokasi

pengamatan (Gambar 5.2). Dari 13 lokasi pengamatan tersebut dijumpai litologi

yang bervariasi yaitu andesit-basaltik, breksi autoklastik, tuff halus, lapilli tuff

dan batuan teralterasi dalam bentuk bongkah. Penjelasannya sebagai berikut :

Gambar 5.2. Peta Lokasi Pengamatan

1. Andesit-Basaltik

Batuan andesit-basaltik merupakan batuan yang relatif penyebarannya

sedikit pada daerah penelitian. Batuan ini terdapat pada lokasi pengamatan 2.

Keterdapatannya dalam bentuk singkapan dengan dimensi singkapan berkisar

tinggi 2 meter dan lebar 4 meter. Secara megaskopis batuan ini mempunyai

warna lapuk kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu gelap dengan tektur

holokristalin dan bentuk mineralnya relatif sub-hedral sampai euhedral.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 30


Struktur batuan masif (dalam bentuk intrusi(?)) dan terdiri atas mineral mafik

dan felsik (Gambar 5.3).

Gambar 5.3 Batuan Andesit-basaltik

2. Breksi Autoklastik

Satuan batuan ini terdapat di beberapa lokasi pengamatan yaitu lokasi

pengamatan 6 dan 8. Batuan ini mempunyai dimensi berkisar tinggi 4 meter

dan lebar 8 meter dengan deskripsi megaskopis warna abu-abu kecoklatan

dengan tekstur fragmental (Gambar 5.4) yang dimana fragmen dan matriksnya

terdiri dari batuan beku andesit basaltik.

Gambar 5.4 Satuan Breksi autoklastik

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 31


3. Batuan tuf halus

Batuan tuf halus merupakan salah batuan yang penyebarannya paling

luas didaerah penelitian. Keterdapatannya dalam bentuk singkapan dengan

dimensi singkapan berkisar tinggi 2 meter dan lebar 8 meter. Deskripsi batuan

ini, warna segar putih keabuan, warna segar abu-abu kekuningan, kemas

tertutup, sortasi buruk, dengan ukuran butir yang tidak dapat diamati karena

material penyusun sangat kecil dan terdiri atas ash/abu (Gambar 5.5).

Gambar 5.5 Batuan Tuf halus

4. Batuan Tuf- lapilli

Selanjutnya terdapat batuan tuf-lapili yang dimana keterdapatannya

berasosiasi atau kontak dengan batuan tuf halus(Gambar 5.6). Keterdapatan

batuan ini dalam bentuk singkapan dengan dimensi berkisar tinggi 1-5 meter

den lebar 8-10 meter. Penyebarannya pada daerah penelitian cukup luas

(terdapat pada lokasi pengamatan 10, 11,12 dan 13), yang dimana batuan ini

juga dijadikan material tambang oleh masyarakat sekitar. Deskripsi batuan ini,

warna putih keabuan, kemas terbuka, sortasi buruk, kebundaran subangular-

angular dengan ukuran butir yang bervariasi dari yang berukuran 1mm – 5mm.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 32


Gambar 5.6 Batuan Lipili-Tuf

5. Batuan Alterasi (Bongkah)

Batuan alterasi merupakan batuan yang telah berinteraksi atau kontak

dengan fluida hidrotermal sehingga mengalami perubahan atau telah

mengalami proses alterasi. Hal ini menyebabkan tekstur dari batuan asalnya

susah untuk dikenali ataupun dideskripsi. Batuan ini ditemukan dalam bentuk

boulder, karena singkapan dari boulder ini belum ditemukan. Penyebarannya

sendiri cukup luas dan terdapat di beberapa lokasi penelitian (lokasi

pengamatan 1,3,4,5,7 dan 9). Batuan ini mempunyai ukuran bervariasi, dari

bongkah yang berukuran kurang lebih tinggi 0,3 meter dan lebar 1 meter

sampai tinggi 2 meter da lebar 3-4 meter. Kenampakan megaskopis batuan ini

yaitu mempunyai warna yang bervariasi mulai dari putih kekuningan, coklat

kemerahan sampai abu-abu kehijauan. Terdapat juga beberapa struktur dan

tekstur pada batuan ini yaitu stockwork, colloform-crustiform (Gambar 5.7) dan

ada beberapa yang fragmental dengan material penyusun terdiri dari mineral-

mineral yang telah mengalami ubahan atau telah mengalami proses alterasi dan

juga terdapat mineral-mineral silika (kuarsa, kristobalit dan kalsedon).

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 33


Gambar 5.7 Stuktur dan Tektur batuan teralterasi

C. Hasil data lapangan dan laboratorium (Petrografi)

Pengambilan data lapangan digunakan sebagai data pendukung dalam

pembuatan peta lokasi pengamatan dan pengecekan, serta digunakam untuk

mengakurasi data dari peneliti terdahulu. Pada lokasi daerah penelitian, diambil

13 titik lokasi pengamatan, yang dimana 2 diantaranya digunakan sebagai lokasi

pengambilan sampel petrografi dan 11 lainnya digunakan sebagai data

pendukung (Gambar 5.8). Lokasi pengamatan yang dilakukan pengambilan

sampel yaitu lokasi pengamatan 1 (sampel 1) dan lokasi pengamatan 9 (sampel

2). Pemilihan pengambilan titik sampel petrografi didasari oleh kondisi

megaskopis dari batuan, yang dimana batuan tersebut mempunyai warna, tekstur

dan komponen atau material penyusun yang sangat beragam. Dari ke 13 titik

lokasi pengamatan, lokasi pengamatan 1 dan lokasi pengamatan 9 merupakan

lokasi pengamatan yang paling ideal untuk dilakukannya pengambilan sampel

petrografi. Litologi dari dua sampel yang diambil merupakan batuan yang sudah

mengalami proses alterasi yang ditemukan dalam bentuk bongkahan batuan.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 34


Untuk Analisa petrografi sendiri menggunakan metode pengamatan visual

(kualitatif). Metode atau Teknik ini digunakan dengan cara menyamakan secara

visual sebaran dan bentuk dari mineral yang ada disayatan tipis dengan standar

yang telah dibuat oleh Terry dan Cillingar, dalam Best, 2006 (Gambar 5.9).

Gambar 5.8 Peta Lokasi Pengamatan dan Pengambilan sampel

Gambar 5.9 Penentuan kelimpahan mineral (Terry dan Cillingar, dalam Best,
2006)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 35


1. Sampel 1 (Lokasi Pengamatan 1)

a. Deskripsi Megaskopis

Pada lokasi ini terdapat batuan (dalam bentuk bongkah) yang telah

mengalami proses alterasi (Gambar 5.10) dengan dimensi berkisar tinggi 2

meter dan lebar 3 meter. Keterdapatan batuan ini tersebar pada daerah-daerah

sekitaran sungai, dipinggir jalan dan daerah-daerah yang mempunyai

morfologi bergelombang lemah. Batuan ini mempunyai deskripsi umum

dengan warna putih keabuan-kehijauan, dan memiliki tekstur laminated

chalcedonic-quartz vein (Gambar 5.11), terdapat juga vein kuarsa yang

membentuk struktur stockwork (Gambar 5.12). Batuan ini juga mengalami

proses oksidasi menghasilkan mineral-mineral limonite seperti hematit dan

jerosit. Komposisi batuan terdiri dari mineral-mineral yang sudah mengalami

alterasi yaitu illite-smectite, Zeolite(?), chlorite (?), ditunjukan pada Gambar

5.13.

Gambar 5.10 Sampel 1 (bongkah)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 36


Gambar 5.11 Tekstur laminated chalcedonic-quartz vein (garis titik merah)

Gambar 5.12 Stockwork Structure (garis titik merah)

Gambar 5.13 Komposisi Batuan alterasi lokasi pengamatan (sampel 1)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 37


b. Deskripsi Mikroskopis

Pada lokasi penelitian dilakukan analisa mikroskopis untuk

mengindetifikasi variasi mineral ubahan berdasarkan sifat optisnya, intensitas

ubahan, tekstur khusus mineral, dan keberadaan mineral bijih. Menurut Brown

(1989) tingkatan intensitas ubahan yang terjadi pada suatu batuan dipengaruhi

oleh presentase kehadiran masadasar maupun fenokris mineralisasi ubahan

yang teramati dari intensitas lemah hingga sangat kuat.

Berdasarkan hasil pengamatan mikroskopis dengan perbesaran lensa

objek 4x dan okuler 10x. Pada sampel 1, didapatkan beberapa mineral yaitu:

• Kuarsa (Qz)

Mineral kuarsa hadir sebagai pengisi rekahan atau vein kuarsa

dengan presentase kehadiran berkisar 25%, mempunyai warna putih

kekuningan(colorless), relif rendah dan bentuk kristal yang angular atau

irregular.

• Serisit (Sr)

Mineral ini berwarna abu-abu kecoklatan pada kondisi PPL dan abu-

abu kecoklatan-kehitaman pada kondisi XPL dengan relief sedang-kuat

dengan kelimpahan berkisar 50-55%.

• Klorit (Chl)

Dalam pengamatan PPL mineral ini memiliki warna coklat

kehijauan, pada XPL berwarna hitam kehijauan, relief sedang-tinggi,

pleokroisme sedang – lemah, dengan ukuran 0,25mm dan kelimpahan

mineral ini berkisar 6-8%.

• Kaolin (K)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 38


Mineral ini berwarna abu-abu kehitaman, dengan relief sedang-

tinggi dengan bentuk kristal yang irregular atau tidak dapat di deskripsi.

Kelimpahan mineral ini cukup banyak dengan presentase berkisar 15-20%.

• Ortoklas-adularia (Adl)

Mineral ini mempunyai warna putih kekuningan (colorless) pada

kondisi PPL dan abu-abu kehitaman pada kondisi XPL dengan relief

rendah, keterdapatan mineral ini pada vein kuarsa dengan presentase

kehadiran 10-15%

• Illite-Smektit (I-Sm)

Pada kondisi PPL mineral ini berwarna putih kekuningan (colorless)

dan kecoklatan pada kondisi XPL , relief dengan penyebaran berkisar 10-

15%

• Opak (Oq)

Mineral ini berwarna hitam dan penyebarannya berkisar 5-10%.

Diduga mineral opak ini adalah mineral biji (deskripsi megaskopis pirit).

Gambar 5.14 Sayatan Petrografi Sampel 1

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 39


2. Sampel 2 (lokasi pengamatan 9)

a. Deskripsi Megaskopis

Pada lokasi ini terdapat terdapat dua batuan (dalam bentuk bongkah)

yang mempunyai karakteristik yang berbeda (Gambar 5.15). Batuan yang

pertama berwarna abu-abu kehijauan, dengan tektur breccia dan terdapat

mineral-mineral ubahan atau mineral alterasi yang terdapat pada batuan yaitu

mineral zeolite, chlorite, illite-smectite, dan silika. Batuan ini ditemukan

dibibir atau tepi sungai. Sedangkan batuan yang kedua berwarna putih

keabuan-kemarahan, dengan tekstur yang dimilikinya yaitu colloform-

crustiform banded. Komposisi mineral penyusun batuan ini terdiri dari

mineral-mineral polimorf silika seperti kuarsa, kristobali dan kalsedon.

Keterdapatan bataun ini sendiri hanya berjarak 10 meter di bagian utara dari

batuan pertama.

Gambar 5.15 Sampel 2 (lokasi pengamatan 9), a) bongkah dengan pembanding palu
geologi. b) bongkah dengan pembanding manusia. c) foto
handspacimen dan memperlihatkan tekstur breccia, garis titik
memperlihatkan fragmen.d) memperlihatkan tekstur colloform-
crustiform banded dengan mineral silica.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 40


b. Deskripsi Mikroskopis

Pada lokasi ini analisa petrografi menggunakan perbesaran lensa

objek 4x dan okuler 10x. Pada sampel 2 ditemukan beberapa mineral yaitu

sebagai berikut.

• Illite-Smektit(I-Sm)

Kenampakan mineral ini pada kondisi PPL berwarna putih kecoklatan

dan pada XPL berwarna coklat kehitaman dengan relief rendah-sedang dan

kehadiran mineral ini berkisar 20-25%.

• Serisit (Sr)

Mineral ini berwarna abu-abu kecoklatan pada kondisi PPL dan abu-

abu kecoklatan-kehitaman pada kondisi XPL dengan relief sedang-kuat

dengan kelimpahan berkisar 14%.

• Kaolin-dickite(K-Dc)

Kehadiran mineral ini cukup dominan dengan presentase berkisar

20-25%, berwarna abu-abu kehitaman-kecoklatan relief sedang-tinggi

dengan bentuk irregular.

• Kuarsa (Qz)

Mineral ini berwarna puti kekuningan (colorless) pada kondisi PPL

dan kuning keabuan pada kondisi XPL, relief rendah dan keterdapatannya

berkisar 5-7% dengan bentuk ukuran 0,55mm.

• Klorit (Chl)

Mineral ini mempunyai warna putih kecoklatan-kehiauan pada

kondisi PPL dan hitam kehiauan pada kondisi XPL, relief rendah-sedang

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 41


dengan bentuk ukuran 0,7 mm dan keterdapan mineral ini sangat sedikit

yang penyebarannya berkisar 3-5% dalam satu sayatan sampel.

• Biotite Sekunder (Bt)

Pada kondisi PPL berwarna coklat terang dan pada kondisi XPL

berwarna coklat kemerahan-kehitaman dengan relief rendah. Penyebaran

mineral ini hampir sama dengan mineral klorit yang dimana

keterdapatannya hanya berkisar 2-4% dengan ukuran mineral 0,4 mm.

Gambar 5.16 Sayatan petrografi Sampel 2

D. Stratigrafi Daerah Penelitian

Stratigrafi daerah penelitian berdasarkan (Surono, dkk., 1992) termasuk

kedalam dua formasi, dari tua kemuda yaitu formasi Kebo-butak dan formasi

semilir. Proses pengelompokan dan penamaan satuan batuan tersebut mengacu

pada Sandi Stratigrafi Indonesia (Martodjojo dan Djuhaeni, 1996), yaitu

litostratigrafi tak resmi, sehingga daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga

satuan batuan berdasarkan data pemetaan semi detail dan deskripsi secara

megaskopik. Penarikan batas satuan batuan didasarkan atas persebaran yang ada

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 42


pada peta lokasi penelitian yang ada (Gambar 5.17). Satuan batuan

diinterpretasikan dari tua ke muda yaitu satuan batuan andesit basaltik, sataun

batuan teralterasi dan satuan batuan lapilli tuf.

Gambar 5.17 Peta Geologi daerah penelitian

1. Satuan batuan andesit basaltik

Satuan ini merupakan satuan batuan tertua yang ada pada daerah

penelitan. Satuan batuan ini terdiri dari beberapa litologi penyusun yaitu batuan

andesit basaltik dan breksi autoklastik (Gambar 5.18). Berdasarkan

karakteresrik dari litologi yang ada pada satuan ini, diperkirakan satuan ini

merupakan bagian dari satuan bataun Watuadeg, yang terdapat pada dusun

Watuadeg (Bronto, dkk 2008). Satuan batuan ini dominan tersebar pada

daerah-daerah sungai dan daerah dengan morfologi yang bergelombang lemah.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 43


Gambar 5.18 Satuan Batuan Andesit-basaltik, a) breksi autoklastik. b) andesit
basaltik
2. Satuan batuan Alterasi

Satuan batuan ini merupakan satuan batuan yang ditemukan dalam

bentuk bongkah (Gambar 19), yang tersebar di lokasi penelitian. Diduga

bongkah-bongkah ini merupakan produk dari batuan yang ada dibawahnya

yaitu satuan andesit basaltik yang telah mengalami proses alterasi hidrotermal.

Hal ini ditandai dengan tekstur dari beberapa bongkah ini masih meninggalkan

tektur sisa yaitu tekstur batuan beku yang dimana pada daerah penelitian

sendiri hanya terdapat satuan andesit basaltik yang merupakan batuan beku.

Jika dikorelasikan maka dapat di simpulkan bahwa bongkah ini merupakan sisa

dari satuan andesit basltik yang telah mengalami proses alterasi hidrotermal.

Gambar 5.19 Satuan Batuan Bongkah di beberap lokasi pengamatan

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 44


3. Satuan batuan lapili-tuf

Satuan batuan ini merupakan satuan termuda pada daerah penelitian,

yang diduga sebagai bagian dari formasi semilir. Satuan batuan yang

penyebarannya paling luas pada daerah penelitian. Satuan batuan ini sendiri

terdiri dari batuan piroklastika dengan litologi yaitu batuan tuf halus dan batuan

lipili-tuf (Gambar 5.20). Satuan batuan ini dapat dijumpai pada daerah tinggian

yang dimana satuan ini merupakan satuan yang paling muda. Hal ini dibuktikan

dengan keterdapatannya yang berada diatas dan menutupi satuan batuan

andesit-basaltik. Kehadiran satuan batuan lapilli tuf ini merupakan salah satu

petunjuk diamana singkapan batuan pada daerah penelitian susah

untukditemukan, hal ini dikarenakan data-data lapagan atau singkapan dari

batuan alterasi ini ditutupi oleh satuan lapilli tuf yang sangat tebal dibagian

atasnya.

Gambar 5.20 Satuan Batuan Lapili-tuf, a) Lapili-tuf. b) Tuf-halus

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 45


5.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil data lapangan dan laboratorium didapatkan beberapa

data yaitu data satuan batuan yang terdiri dari satuan batuan andesit-basaltik, Breksi

autoklasitik (vulkanik), lapilli tuf dan beberapa batuan yang telah mengalami

alterasi. Terdapat juga data Analisa laboratorium yaitu pengamatan petrografi yang

dimana didapatkan beberapa mineral ubahan yang mengindikasikan zona alterasi.

A. Zona Alterasi

Zona alterasi merupakan suatu zonasi yang pembagiannya berdasarkan ciri

dan karaktersitik dari mineral-mineral pencirinya masing-masing. Secara umum

zona alterasi dibagi menjadi beberapa yaitu alterasi potasik, filik, argilik, argilik

lanjut (advent argillic) dan proplitik (Gambar 5.21). Pada daerah penelitian

sendiri, berdasakan data Analisa petrografi didapati beberapa mineral yang

mencirikan zona alterasi filik/serisitisasi dan zona alterasi argilik.

Gambar 5.21 Pemodelan Zona alterasi pada endapan epitermal (Buchanan,


1981), kotak merah zona alterasi daerah penelitian.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 46


1. Zona alterasi filik/serisitisasi

Alterasi ini menyebabkan mineral feldspar dan mika berubah menjadi

serisit. Mineral penciri dalam alterasi ini adalah serisit dan kuarsa. Pirit juga

seringkali hadir sebagai sulfida yang berasosiasi dengan alterasi ini. Kuarsa

sekunder (kristobalit-kalsedon) hadir sebagai hasil alterasi, sedangkan kuarsa

primer tidak terubah. Zona alterasi ini berada di bawah zona arglilik.

Pada daerah penelitian sendiri terdapat mineral serisit yang cukup

dominan dan mineral-mineral lain yaitu illite-smectite, smectite, klorit, adularia,

kaolin dan juga terdapat vein kuarsa yang mempunyai suhu pembentukan ±100o-

300oC dan pH transisi dari asam sampai basa. Mineral-mineral ini merupakan

mineral penciri zona alterasi filik/serisitisasi. Penyebaran zona alterasi filik

(dalam bentuk bongkah) ditunjukan pada Gambar 5.22.

2. Zona Alterasi Argilik

Mineral penciri alterasi ini adalah kaolin dan montmorilonit sebagai hasil

alterasi dari plagioklas. Kedua mineral tersebut dapat ditemani dengan lempung

yang amorf. Zona alterasi argilik dibagi menjadi zona yang dominan

mengandung montmorilonit yaitu di bagian pinggir dan yang dominan

mengandung kaolin yaitu di dekat zona alterasi serisitisasi. Sedangkan diluar

zona alterasi ini berupa zona alterasi propilitik sampai menuju yang paling luar

adalah batuan fresh. Alterasi ini terjadi pada kondisi asam (pH 4-6).

Pada daerah penelitan (sampel 2) terdapat mineral-mineral kunci atau

mineral penciri dari zona argilik yaitu smectite, kaolin dan beberapa mineral lain

seperti illite, serisit, klorit, biotit sekunder dan mineral-mineral silika. Mineral-

mineral ini terbentuk pada suhu ±100 o-300oC dan pH dari asam sampai basa

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 47


(Gambar 24). Penyebaran zona alterasi argilik (dalam bentuk bongkah)

ditunjukan pada Gambar 5.22.

Gambar 5.22 Peta penyebaran zona Alterasi daerah penelitian

Berdasarkan data diatas dapat dibandingkan dengan klasifikasi jenis alterasi

berdasarkan asosiasi mineral pada batuan (menurut Meyer dan Hemley, 1967),

dapat di lihat pada Tabel 5.1. Data ini juga dapat dihubungkan dengan klasifikasi

Corbett and Leach (1998), berdasarkan keterdapatan dari himpunan mineral-

mineral penciri (Gambar 5.23).

Berdasarkan data satuan batuan dapat digolokan batuan pada daerah

penelitian termasuk kedalam batuan yang mengalami alterasi kuat-sangat kuat

(tabel 5.2), hal ini ditandai dengan komponen batuan yang didominasi oleh

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 48


mineral-mineral ubahan (fenokris dan masa dasar) atau mineral yang sudah

mengalami proses alterasi hidrotermal (Browne ,1989).

Gambar 5.23. Mineralogi Daerah Penelitian Dalam Klasifikasi Mineralogi


Alterasi Hidrotermal (Corbett & Leach 1998).

Tabel 5.1 Perbandingan jenis alterasi berdasarkan klasifikasi Meyer dan Hemley,
1967

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 49


Tabel 5.2 Klasifikasi intensitas ubahan berdasarkan kehadiran presentase
masadasar dan fenokris (Browne, 1989)

Gambar 5.24. Stabilitas suhu dari mineral alterasi hidrothermal pada endapan
epithermal (Henley dkk., 1983; dalam White dkk., 1995), kotak
biru menunjukan mineral pada daerah penelitian

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 50


B. Interpretasi Genesa Bongkah Teralterasi

Berdasarkan data lapangan pada daerah penelitian, ditemukan beberapa

litologi yang mengidikasikan adanya hubungan dengan kegiatan vulkanisme.

Satuan andesit basaltik pada daerah penilitian merupakan salah satu contoh satuan

batuan yang litologinya disusun oleh breksi autoklastik dan andesit basaltik yang

merupakan produk dari hasil aktivitas gunung api. Berdasarkan peta lembar

Surakarta-Gritrinto (Surono, dkk., 1992) daerah penelitian terdiri dari formasi

semilir yang dominan dan formasi kebo butak yang terdapat dibagian utara daerah

penelitian. Menurut Winarti dan Hartono 2015, terdapat gunung api purba candisari

(Gambar 5.25) yang belum diketahui umurnya.

Gambar 5.25 Interpretasi dua kelompok tubuh gunung api purba di


Pegunungan Selatan bagian barat berdasarkan data
geomorfologi (Winarti & Hartono, 2015), Daerah penelitian
ditunjukanpada kotak kuning.

Berdasarkan data diatas diduga keterdapatan batuan alterasi berhubungan

dengan pembentukan ataupun aktivitas dari gunung api purba candisari. Di

interpretasikan satuan batuan andesit basaltik lebih tua dari pada satuan batuan

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 51


lapilli tuf (berdasarkan hukum superposisi), dilihat dari keterdapatan dilapangan

yang dimana satuan adesit basaltik berada di bawah satuan lapilli tuf. Jika

diproyeksikan satuan batuan lapilli tuf menutupi batuan andesit basaltik (Gambar

5.26) yang diduga sebagai hostrock dari batuan alterasi. Hal ini juga

mengakibatkan pengambilan data lapangan sulit, dikarenakan data-data dari

batuan alterasi tersebut kemungkinan tertutupi oleh satuan batuan lapilli tuf.

Kemunculan bongkah-bongkah batuan alterasi diperkirakan akibat dari proses

erosi yang mengakibat satuan lapilli tuf terkelupas dan membuat tubuh batuan

alterasi mengalami pelapukan dan menyebar. Kemudian terjadi fase erupsi lagi

yang membuat tubuh dari batuan alterasi tersebut tertutupi oleh produk dari

semilir salah satunya yaitu satuan lapilli tuf.

Gambar 5.26 Peta Sebaran Litologi dan Interpetasi Penampang

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 52


C. Tipe Endapan

Endapan ephitermal merupakan endapan hidrothermal yang terbentuk pada

kedalaman yang dangkal dekat dengan permukaan didasarkan atas temperatur,

tekanan, dan komponen mineral tertentu yang mengindikasikan kondisi geologi

tertentu.endapan epitermal sendiri mempunyai karakteristik yang dapat dilihat

dari zona alterasi berdasarkan dari mineral penciri masing-masing, tekstur,

struktur dan litologi (hostrock).

Berdasarkan data lapangan dan data laboratorium, daerah penelitian

termasuk dalam zona alterasi filik dan argilik. Hal ini ditandai dengan terdapatnya

mineral-mineral penciri dimasing-masing zona alterasi. Jika ditarik dalam

pemodelan (menurut Hedenquit, 2000) daerah penelitian masuk kedalam lapisan

illite ±adularia, smectite, clay layer ±chlorite dan crustified quartz/chalcedony-

carbonate (Gambar 5.27). Hal ini dapat dibuktikan dengan keterdapatan mineral

pada zona argilik yaitu illite-smectite, kaoline-dickite, biotit sekunder, klorit,

kuarsa dan serisit, juga pada zona alterasi filik yaitu smectite, serisit, kuarsa,

adularia, illite-smectite, kaoline, biotit sekunder dan klorit. Sedangkan pada

lapisan crustified quartz/chalcedony-carbonate ditandai dengan adanya tekstur

crustiform-colloform banded yang disusun oleh mineral-mineral polimorf silika

(kristobalit, kuarsa dan kalsedon). Mineral-mineral ini terbentuk pada suhu ±100o-

300oC dengan pH asam, netral sampai basa. Berdasarkan suhu pembentukannya,

mineral-mineral ini biasanya terbentuk pada tipe endapan epitermal. Hal ini juga

dapat dikaitkan dengan genesa pembentukannya, yang dimana terdapat lava

andesit basaltik dan breksi autoklastik yang biasa terdapat pada fasies central

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 53


sampai proksimal. Hal ini menunjukan bahwa pada daerah penelitian terdapat

proses vulkanisme yang berkaitan dengan tipe endapan epitermal.

Terdapat juga beberapa data pendukung lain yaitu litologi daerah penelitian

yang berupa andesit basaltik yang diinterpretasikan sebagai hostrock, tekstur

crustiform-colloform banded dan struktur stockwork. Data-data pendukung ini

dibandingkan dengan karakteristik tipe endapan epitermal menurut Sillitoe dan

Hedenquist (2003). Dari hasil perbandingan tersebut berdasarkan yang mengacu

litologi, tekstur, struktur, keterdapan mineral penciri dan juga mineral logam,

maka daerah penelitian termasuk kedalam endapan epitermal sulfidasi rendah

(low sulfidation). Ditunjukan pada Tabel 5.3.

Gambar 5.27 Pemodelan endapan epitermal sulfidasi rendah menurut


Hedenquist, 2000. Kotak kuning daerah penelitian.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 54


Tabel 5.3 Perbandingan karakteristik alterasi pada daerah penelitian dengan
karakteristik endapan epitermal menurut Sillitoe dan Hedenquist (2003)

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 55


BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.I Kesimpulan

Berdasarkan hasil analsis data dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :

1. Berdasarkan data pemetaan permukaan, daerah peneltian terdiri dari beberapa

litologi yang kemudian di kelompokan menjadi beberapa satuan batuan yaitu

satuan batuan andesit-basaltik, lapilli tuf dan batuan alterasi (bongkah).

Keterdpatan batuan alterasi sendiri cukup banyak yang penyebarannya terdapat

pada daerah-daerah dengan morfologi bergelombang lemah.

2. Berdasarkan Analisa petrografi didapatkan dua zona alterasi yaitu zona alterasi

argilik dengan mineral penciri illite-smectite, kaolin dan zona alterasi filik

dengan mineral penciri serisit,dan kuarsa.

3. Berdasarkan data lapangan dan data laboratorium yang kemudian

dibandingkan dengan klasifikasi Hedenquist (2000) dan Sillitoe (2003), yaitu

kehadiran mineral penciri seperti illite-smectitite, adularia, serisit, kaolin dan

struktur-tekstur penciri yaitu stockwork dan crustiform-colloform banded.

Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat endpan epitermal sulfidasi rendah

pada daerah penelitian.

6.2 Saran

Dapat dilakukan pengkajian ulang tentang daerah penelitian dengan metode

yang lebih rinci, semisal menggukan metode XRD, XRF, maupun metode-motede

anlisa lainnya. Dan dapat mengeksplor daerah penelitian sehingga dapat

menenmukan sumber (singkapan) dari bongkah batuan teralterasi tersebut.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 56


DAFTAR PUSTAKA

Arribas, A. Jr., 1995, Characteristics of high-sulfidation epithermal deposits, and

their relation to magmatic fluid, in Thompson, J.F.H., ed., Magmas, fluids

and ore deposits: Mineralogical Association of Canada Short Course

Handbook, v. 23, p. 419-454.

Best, M. G. (2013). Igneous and metamorphic petrology. John Wiley & Sons.

Bothe, A.Ch.D., 1929, Jiwo Hill and Southern Range, Excursion Fourth Guide.

Pacific Science Congress, Bandung.

Bronto, S., & Hartono, H. (2001). Volcanic debris avalanches in

Indonesia. Proceedings, The 3rd Asian Syimposium on Engineeering

Geology and the Environment (ASEGE), Yogyakarta, 449-462.

Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2008, Gunung api purba

Watuadeg: Sumber erupsi dan stratigrafi, Jurnal Geologi Indonesia, Vol 3,

No 3, hal 117 - 128.

Browne, P. R. L. (1978). Hydrothermal alteration in active geothermal

fields. Annual review of earth and planetary sciences, 6, 229-250.

Browne, P.R.L. (1989). Hydrothermal Alteration and Geothermal System. Lecture

Handout, The University of Auckland, 1-74.

Corbett, G.J., dan Leach, T.M., 1997, Southwest Pasific Rim Gold-Copper

Systems: Structure, Alteration, and Mineralization. Ladolam gold deposit,

Lihir Island, Papua New Guinea

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 57


Guilbert, J. M., & Park, C. F. (1986). The Geology of Ore Deposits. W. H.

Hartono, G., 2010a. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api. Unpad Press,

Bandung.

Hartono, G., 2010b. “Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan Produk Batuan Gunung

Api Tersier Di Gunung Gajahmungkur, Wonogiri, Jawa Tengah” Program

Pascasarjana, Universitas Padjadjaran Bandung. (Tidak dipublikasikan)

Hedenquist, J.W., and Lowenstern, J.B., 1994, The role of magmas in the formation

of hydrothermal ore deposits: Nature, v. 370, p. 519-526.

Hedenquist, J. W., Arribas, A., & Reynolds, T. J. (1998). Evolution of an intrusion-

centered hydrothermal system; Far Southeast-Lepanto porphyry and

epithermal Cu-Au deposits, Philippines. Economic Geology, 93(4), 373-

404.

Hedenquist, J. W., Arribas, A. N. T. O. N. I. O., & Gonzalez-Urien, E. (2000).

Exploration for epithermal gold deposits. Reviews in Economic

Geology, 13(2), 45-77.

Maulana, A. 2017. Endapan Mineral, Yogyakarta

Meyer, C., and Hemley, J.J., 1967, Wall rock alteration, in Barnes, H.L., ed.,

Geochemistry of hydrothermal ore deposits: New York, Holt, Rinehart, and

Winston, p. 166-235.

Pannekoek, A. J, 1949, Outline of the Geomorphology of Java, Tijdschrift Van Het

Koninklijk Netherland Aa Rdijkskunding Geotshap. E. J. Brill. Leiden.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 58


Pirajno, F., & Smithies, R. H. (1992). The FeO/(FeO+ MgO) ratio of tourmaline: a

useful indicator of spatial variations in granite-related hydrothermal mineral

deposits. Journal of Geochemical Exploration, 42(2-3), 371-381.

Pufahl, D. E., Fredlund, D. G., & Rahardjo, H. (1983). Lateral earth pressures in

expansive clay soils. Canadian Geotechnical Journal, 20(2), 228-241.

Rahardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H. D., 1995, Peta Geologi Lembar

Yogyakarta, Jawa, skala 1:100.000, Bandung: Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi.

Sillitoe, R.H., 1993, Epithermal models: genetic types, geometrical controls and

shallow features. Geological Association Canada Special Paper 40, 403–

417.

Silitoe, R.H., 2010, Porphyry Copper System, London N6 6ND, England

Sillitoe, R. H., & Hedenquist, J. W. (2003). Linkages between volcanotectonic

settings, ore-fluid compositions, and epithermal precious metal

deposits. Special Publication-Society of Economic Geologists, 10, 315-343.

Sujanto, F. X., & Sumantri, Y. R. (1977). Preliminary study on the Tertiary

depositional patterns of Java.

Sumarso, T. I. (1975). Contribution to the Stratigraphy of the Jiwo Hills and Their

Southern Surroundings (Central Java).

Surono, B dan Sudarno, I, 1992. Peta Geologi Lembar Surakarta-Giritontro skala

1:100.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 59


Surono, B., 2008. Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak

di Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan. Jurnal Geologi

Indonesia, Vol. 3, No. 4 hal 183-193

van Bemmelen, R. W. (1949). General Geology of Indonesia and adjacent

archipelagoes. The geology of Indonesia.

van Gorsel, J. T. (1987). Late Cretaceous orbitoidal foraminifera. Iii: RH Hedley &

CO Adams.

Verdiansyah, O., 2017, Buku Panduan Praktikum Petrografi Sekolah Tinggi

Teknologi Nasional Yogyakarta, 53 h. (Tidak dipublikasi).

White, N.C., and Hedenquist, J.W., 1995, Epithermal Gold Deposits:

Styles,Characteristics And Exp.

White, F. M., & Corfield, I. (2006). Viscous fluid flow (Vol. 3, pp. 433-434). New

York: McGraw-Hill.

Winarti, W., & Hartono, H. G. (2015). Identifikasi Batuan Gunung Api Purba di

Pegunungan Selatan Yogyakarta Bagian Barat Berdasarkan Pengukuran

Geolistrik. EKSPLORIUM, 36(1), 57-70.

Seminar Geologi Tipe 1 : Andarias Biney_410017077 60

Anda mungkin juga menyukai