Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
JUDUL
Oleh:
ANDARIAS BINEY
NIM : 410017077
Dr. Ir. Setyo Pambudi, M.T. Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si.
NIK : 1973 0058 NIK: 1973 0251
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
segala kasih dan perlindungannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Seminar
Geologi Tipe 1A yang berjudul Indikasi Keterdapatan Endapan Mineral di
daerah Gayamharjo Dan Sekitarnya, Kecamatan Prambanan, Kabupaten
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Andarias Biney
NIM. 410017077
Gambar 1.1. Perkembangan Zona Subduksi dan Busur Magmatik Pulau Jawa
(Katili, 1975 dalam Sujanto et al., 1977) ............................................................2
Gambar 1.2. Kesampaian Lokasi. Diambil dari Google Earth (diakses pada
tanggal 07/12/2020) ...........................................................................................4
Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010). .....................................................6
Gambar 2.6 Skema Tipe Endapan (Hadenquist & Lowenstern, 1994) ...............18
Gambar 2.7 Model skema system endapan HS (Arribas, dkk., 1995). ..............20
Gambar 2.8. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)
..........................................................................................................................22
Gambar 4.1 Diagram Alir Metode Penelitian ....................................................24
Gambar 4.3. Modifikasi Peta Geologi daerah penelitian (Gabungan antara Peta
Geologi Lembar Surakarta-Giritontro dan Peta Geologi Lembar Yogyakarta) ....26
Gambar 5.11 Tekstur laminated chalcedonic-quartz vein (garis titik merah) .....37
Gambar 5.24. Stabilitas suhu dari mineral alterasi hidrothermal pada endapan
epithermal (Henley dkk., 1983; dalam White dkk., 1995 ....................................50
Gambar 5.25 Interpretasi dua kelompok tubuh gunung api purba di Pegunungan
Selatan bagian barat berdasarkan data geomorfologi (Winarti & Hartono, 2015)
..........................................................................................................................51
Tabel 5.1 Perbandingan jenis alterasi berdasarkan klasifikasi Meyer dan Hemley,
1967...................................................................................................................48
PENDAHULUAN
sebagai Ring Of Fire bagian Barat Daya. Hal tersebut akibat interaksi lempeng
Pasifik. Interaksi dari ketiga lempeng tersebut membuat Indonesia kaya akan
magmatisme Kapur, dan jalur magmatisme Tersier. Jalur magmatisme yang terjadi
pada zaman Kapur terjadi daerah utara Laut Jawa dan menyambung ke bagian
selatan dari Pulau Sumatera, hal ini diakibatkan jalur subduksi yang terjadi pada
Zaman Kapur berarah NE-SW pada sebelah utara pulau Jawa. Kejadian terjadi
pada daerah sepanjang utara Jawa hingga Pulau Sumatera bagian Selatan.
Jalur magmatisme Tersier dapat dibedakan menjadi dua periode yaitu Eosen
Pulau Jawa yang dikenal dengan Old Andesite Formation (van Bemmelen, 1949).
Jalur pegunungan paling selatan Pulau Jawa yang membentang di sepanjang selatan
Pulau Jawa memiliki umur Eosen Akhir - Miosen Awal. Jalur magmatis ini
dipengaruhi oleh zona subduksi yang lebih dekat dengan pulau Jawa dibandingkan
dengan posisi zona subduksi yang terjadi pada zaman Kuarter. Berdekatannya
sudut penunjaman lebih tajam pada kala itu. Jalur magmatisme Tersier yang kedua
adalah pada kala Miosen Akhir – Pliosen, terjadi pergerakan mundur dari zona
subduksi daerah selatan Pulau Jawa (Rollback) yang diikuti dengan melandainya
tepatnya berada di daerah tengah dari Pulau Jawa. Pada masa Kuarter, zona
magmatik masih berada pada daerah tengah Pulau Jawa, tidak jauh berbeda dengan
posisi pada masa Miosen Akhir–Pliosen. Sudut penunjaman juga tidak jauh berbeda
pembentukan gunung api. Produk dari kegiatan vulkanisme ini dapat berupa batuan
beku ekstrusi maupun intrusi dan batuan piroklastik. Magmatisme yang masih aktif
tentang boulder tersebut dengan metode makro atau pendeskripsian secara mata
telanjang (Naked eye). Hal tersebut menarik untuk dibahas atau dikaji lebih detil
dengan metode Analisa laboratorium (dalam bentuk Analisa petrografi), hal ini
Rumusan masalah yang dapat dibuat dalam penelitian ini dapat disusun
sebagai berikut :
hidrotermal?
sampel. Selain itu, peneliti mencoba memberikan Gambaran secara umum tentang
sudah ada dan dibatasi pada ciri deskriptif interpretatif litologi secara megaskopis
petrografi
ditempuh dengan kendaraan bermotor roda 2 kurang lebih 37 menit ke arah timur
dari kampus ITNY dengan jarak kurang lebih 37 km, ditunjukan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2. Kesampaian Lokasi. Diambil dari Google Earth (diakses pada
tanggal 07/12/2020)
TINJAUAN PUSTAKA
A. Fisiografi
1. Zona Selatan/ Zona Plato, terdiri dari beberapa plato dengan kemiringan kearah
oleh gawir. Di beberapa tempat gawir tersebut hampir tidak terlihat lagi,
disusun oleh endapan vulkanik muda, hal ini disebabkan karena pada daerah
aluvial. Zona utara ini dibagi lagi menjadi dua sub - zona, yaitu :
dipisahkan oleh depresi yang memanjang dengan arah barat - timur, yang
oleh van Bemmelen (1949) depresi ini disebut sebagai Zona Randublatung.
Dipihak lain, van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa menjadi
7 zona fisiografi (Gambar 2.1.). Dalam pembagian zona fisiografi ini, daerah
dibatasi oleh Dataran Yogyakarta - Surakarta di sebelah barat dan utara, sedangkan
di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungkur, Wonogiri dan di sebelah selatan oleh
dibatasi oleh aliran Kali Opak, sedangkan di bagian utara berupa gawir Baturagung.
Dalam skala yang lebih lokal, Harsolumekso, dkk, 1997 (dalam Bronto dan
Hartono, 2001) menyatakan bahwa Zona Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi
tiga subzone, daerah penelitian sendiri berada pada subzona Baturagung. Subzona
828 m), hingga ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini,
paling kasar dengan sudut lereng antara 10ᴼ 30ᴼ dan beda tinggi 200 - 700 meter
Daerah
Penelitian
Gambar 2.1. Peta Fisiografi Daerah Jawa Tengah - Jawa Timur (modifikasi dari
van Bemmelen, 1949 dalam Hartono, 2010).
batuan yang terbentuk adalah batuan malihan, ditindih tak selaras oleh kelompok
Butak yang secara beruntun ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi
Nglanggran. Formasi Semilir disusun oleh tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir
tufan dan serpih. Formasi Nglanggran tersusun atas breksi gunung api, aglomerat
dan lava andesit. Pada periode pasca vulkanisme, satuan yang terendapkan adalah
Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung dan Formasi
Kepek.
stratigrafi Pegunungan Selatan (Gambar 2.3) menurut Surono dkk (1992) dari tua
(Plistosen), Aluvium Tua (Kuarter), Batuan Gunung Api Lawu (Kuarter), Batuan
Gunung Api Merapi (Kuarter), Aluvium (Kuarter).Menurut Bothe (1929) dan van
Bemmelen (1949).
maupun pengendapan gaya berat yang lain. Di bagian bawah yang oleh
Bothe disebut sebagai Kebo beds, tersusun atas perselang – selingan antara
klastika lempung. Di bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.
lempung atau lanau, ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan
tipe mid fan (Raharjo, 1983), yang terbentuk pada akhir Oligosen (N2-N3)
2. Formasi Semilir
Secara umum batu ini tersusun atas batupasir dan batulanau yang
Umur dari formasi ini diduga adalah awal dari Meiosen berdasar atas
lempungan dari formasi ini di dekat Piyungan (van Gorsel, Formasi Kebo –
sesar, kekar dan lipatan. Perlapisan homoklin terdapat pada bentang alam Sub Zona
Kemiringan perlapisan menurun secara berangsur dari sebelah utara (20 0 - 350)
menjadi 50-150 di sebelah selatan. Bahkan pada Sub Zona Cekungan Wonosari,
perlapisan batuan yang termasuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari mempunyai
kemiringan sangat kecil (<50) atau bahkan datar sama sekali. Tidak kalah
perlapsan batuan secara umum miring ke arah baratdaya. Sementara itu, di sebelah
timur, pada tanjakan Sambeng dan dusun Jentir, perlapisan batuan miring ke timur.
Perbedaan jurus dan kemiringan batuan ni mungkin disebabkan oleh sesar blok
(anthithetic fault blocks; van Bemmelen, 1949) atau sebab lain, misalnya updoming
yang berpusat di Perbukitan Jiwo, atau merupaan kemiringan asli (original dip) dari
Struktur sesar pada umumnya berupa sesar turun dengan pola "anthithetic
fault blocks" (van Bemmelen, 1949). Sesar utama berarah baratlaut-tenggara dan
Sesar ini berarah hampir utara-selatan dan memotong lipatan yang berarah
sebelah selatan (K. Ngalang dan K. Putat) serta sebelah timur (dusun Jentir,
tanjakan Sambeng) sebagai bagian dari longsoran besar (mega slumping) batuan
gunungapi tipe Mt. St. Helens. Di sebelah barat, K. Opak diduga dikontrol oleh
sesar bawah permukaan yang berarah timurlaut - baratdaya dimana blok barat relatif
tenggara - baratlaut. Struktur sinklin juga dijumpai di sebelah selatan yaitu pada
yang terjadi pada batuan ketika berinteraksi dengan fluida hidrotermal (White,
unsur-unsur minor seperti Mg, B, S, Sr, CO2, H2S, NH4, Cu, Pb, Zn, Sn, Mo, Ag,
Au, dan lain sebagainya (Guilbert dan Park, 1986). Sedangkan, alterasi dapat terjadi
alterasi hidrotermal menjadi tiga faktor utama antara lain bagaimana batuan
berinteraksi dengan fluida hidrotermal, rasio perbandingan antara fluida dan batuan,
Sedangkan menurut Browne (1978) dalam Corbett dan Leach (1998), suatu
g. Permeabilitas batuan
Hal ini terjadi pada dua kondisi, yang pertama adalah dimana batuan
(rasio fluida berbanding batuan rendah). Proses ini umumnya terjadi pada
Proses ini hanya terlihat sebatas urat dan sekitarnya. Hal ini
mineral tertentu yang terbentuk dari hasil proses alterasi disebut sebagai zona
lain:
1. Potasik
biotit sekunder, k-feldspar, kuarsa, serisit, dan magnetit. Selain itu, tipe
feldspar magnetit. Anhidrit sering hadir sebagai asesoris, serta jumlah kecil
beku intrusif porfiri, dengan fluida yang panas (>300oC), salinitas tinggi,
dijumpai pada zona ubahan potasik ini terbentuk menyebar, tempat mineral
2. Filik
Tipe alterasi ini biasanya terletak di bagian luar dari zona potasik
terutama pada endapan tembaga porfiri. Batas zona alterasi ini berbentuk
circular yang mengelilingi zona potasik yang berkembang pada intrusi pada
serisit (mika halus) dan kuarsa sebagai mineral utama dengan mineral pirit
yang melimpah serta jumlah anhidrit. Mineral bijih yang dijumpai berupa
kalkopirit, tembaga dan native gold (emas). Zona ini tersusun oleh
alkali fledspar. Zona ini terbentuk akibat influx air yang memiliki suhu yang
3. Argilik
Zona ini terdiri atas mineral lempung argilik seperti kaolinit dan
kehadiran influx air meteorik yang memiliki suhu dan nilai pH yang lebih
rendah. Himpunan mineral pada tipe argilik terbentuk pada temperatur 100o
luzonit (untuk suhu tinggi, 250 o-350oC), atau himpunan mineral kaolinit-
5. Propilitik
propylitic pada zona yang bersuhu tinggi (>300 oC) yang dicirikan oleh
penciri, suhu, dan pH. Guilbert & Park (1986) dan Corbett & Leach (1998)
memperlihatkan zona alterasi yang ditunjukkan oleh himpunan mineral tertentu dan
pada tabel 2.1 dan Gambar 2.4). Sedangkan Sillitoe (1995) membuat penampang
endapan epitermal.
Istilah epitermal pertama kali digunakan oleh Lindgren pada tahun 1913
(berkisar antara 50-1500 meter dari atas permukaan bumi). Tipe endapan
epitermal terbentuk berkaitan erat dengan aktivitas vulkanisme pada suatu daerah.
vulkanisme dangkal diatas permukaan bumi dalam bentuk mata air panas (hot
NaCl < dari 5 wt%) yang mengalami proses boiling (mendidih) pada suhu antara
200-3000C. Skema tipe endapan mineral jenis ini dapat dilihat pada Gambar 2.6.
larutan panas yang berasal dari magma dengan air meteorik yang kemudian
membentuk larutan sangat asam dan dalam kondisi oksidasi. Pada proses
tersebut unsur S hadir dalam bentuk SO2, HCl, H2S. SO2 dan H2S teroksidasi
Asam sulfur ini merupakan larutan yang sangat aktif dan akan
menghasilkan alterasi argilik lanjut. Suhu dari larutan berkisar antara 200-
percampuran uap magma asam dan air tanah diatas zona intrusi porfiri yang
zoning dari bagian proksimal vuggy silica sampai dengan kumpulan mineral
felspar dan merupakan salah satu penciri khas dari endapan epitermal HS
tengah dari zona alterasi silikaan (siliceous zone) merupakan daerah utama
yang mengandung bijih pada endapan HS. Skema endapan HS dapat dilihat
Gambar 2.7 Model skema system endapan HS (Arribas, dkk., 1995). (a) proses awal
ketika uap magma yang dominan mengakibatkan proses leaching pada
batuan samping dan membentuk alterasi argilik lanjut. (b1) Tahap
pengendapan bijih ketika emas diangkut dalam bentuk klorida
kompleks. (b2) tahap penegndapan bijih ketika emas tertransportasi
dalam bentuk bisulfide kompleks.
larutan yang bersifat netral dalam kondisi reduksi yang mengandung unsur
mineral bijih, terutama emas dikontrol oleh adanya proses boiling yang
fliling).
ditutupi oleh zona alterasi sulfat asam dengan ciri adanya kristobalit, kaolin,
vulkanik, tetapi bias juga dijumpai pada batuan basement-nya. Pola alterasin
boiling, sampai dengan kumpulan illite-pyrite dan pada bagian distal berupa
Gambar 2.8. Model endapan epitermal sulfidasi rendah (Hedenquist dkk, 2000)
3.1 Maksud
3.2 Tujuan
hidrotermal.
3.3 Manfaat
endapan mineral.
sumber daya mineral dan sumber daya geologi yang sangat mendukung dan
dekat dengan kampus ITNY dapat dijadikan salah satu laboratorium alam
METODE PENELITIAN
hasil penelitian yang akan diperoleh, sehingga dalam suatu penelitian diperlukan
metode penelitian dengan tahapan yang tersusun baik agar pelaksanaan penelitian
dapat berlangsung dengan baik pula .Pada penelitian ini terdapat beberapa tahapan
4.1 Pendahuluan
pustaka. Tahap ini dilakukan di Program Studi Teknik Geologi, Fakultas Teknologi
penelitian penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, Tahap ini
daerah yang akan diteliti, baik berupa buku-buku pedoman, peta regional,
jurnal, laporan penelitian maupun publikasi jenis lain. Literatur ini akan
menjadi terarah dan sesuai dengan teori yang ada, sedangkan studi
penelitian. Hal ini sangat penting mengingat bahwa sebaik-baik data geologi
yang diperoleh dalam suatu penelitian, tanpa surat izin yang sah maka
penelitian itu sama dengan ilegal dan tidak dapat diakui keabsahannya.
penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bgaimana kondisi geologi didaerah
penelitian. Adapun kegiatan yang dilakukan pada tahap kegitan lapangan yaitu
Pada tahap ini dilakukan pengkajian peta topografi (Gambar 4.1) dan peta
geologi (Gambar 4.2) daerah penelitian. Hal ini dilakukan guna untuk
mengetahui jalur lintasan yang akan di lewati dan sebagai tahapan awal
Gambar 4.3. Modifikasi Peta Geologi daerah penelitian (Gabungan antara Peta
Geologi Lembar Surakarta-Giritontro dan Peta Geologi Lembar Yogyakarta)
lain tidak akan terlalu dibahas terlalu dalam. Pengambilan sampel untuk
adalah :
akan kandungan mineral, kondisi fisiknya dalam batuan, serta komposisi unsurnya.
petrografi ini dilakukan dengan cara mengambil Sampel batuan dari lapangan
kemudian dipreparasi dalam bentuk sayatan tipis dan kemudian diamati secara
FTM, ITNY. Teknik pengamatannya sendiri berdasarkan teknik visual atau teknik
kuantitatif dengan cara menyamakan secara visual sabaran dan bentuk dari mineral.
Analisa ini juga dilakukan dengan menghubungkan data-data sekunder baik dari
peneliti terdahulu maupun dasar teori tentang petrografi batuan alterasi. Hasil dari
Analisa ini kemudian akan diploting dan dibandingkan dengan klasifikasi dari
analisa dalam bentuk Gambar dan tulisan sehingga dapat digunakan sebagai bahan
pemaparan seminar. Data-data hasil dari studi pustaka, pengolahan data lapangan,
kemudian disusun menadi laporan seminar atau karya ilmiah dibawa bimbingan
dosen pembimbing
Secara umum morflogi dearah penelitian didominasi oleh perbukitan dan lembah
yang bervariasi yaitu andesit-basaltik, breksi autoklastik, tuff halus, lapilli tuff
1. Andesit-Basaltik
sedikit pada daerah penelitian. Batuan ini terdapat pada lokasi pengamatan 2.
tinggi 2 meter dan lebar 4 meter. Secara megaskopis batuan ini mempunyai
warna lapuk kuning kecoklatan dan warna segar abu-abu gelap dengan tektur
2. Breksi Autoklastik
dengan tekstur fragmental (Gambar 5.4) yang dimana fragmen dan matriksnya
dimensi singkapan berkisar tinggi 2 meter dan lebar 8 meter. Deskripsi batuan
ini, warna segar putih keabuan, warna segar abu-abu kekuningan, kemas
tertutup, sortasi buruk, dengan ukuran butir yang tidak dapat diamati karena
material penyusun sangat kecil dan terdiri atas ash/abu (Gambar 5.5).
batuan ini dalam bentuk singkapan dengan dimensi berkisar tinggi 1-5 meter
den lebar 8-10 meter. Penyebarannya pada daerah penelitian cukup luas
(terdapat pada lokasi pengamatan 10, 11,12 dan 13), yang dimana batuan ini
juga dijadikan material tambang oleh masyarakat sekitar. Deskripsi batuan ini,
angular dengan ukuran butir yang bervariasi dari yang berukuran 1mm – 5mm.
mengalami proses alterasi. Hal ini menyebabkan tekstur dari batuan asalnya
susah untuk dikenali ataupun dideskripsi. Batuan ini ditemukan dalam bentuk
pengamatan 1,3,4,5,7 dan 9). Batuan ini mempunyai ukuran bervariasi, dari
bongkah yang berukuran kurang lebih tinggi 0,3 meter dan lebar 1 meter
sampai tinggi 2 meter da lebar 3-4 meter. Kenampakan megaskopis batuan ini
yaitu mempunyai warna yang bervariasi mulai dari putih kekuningan, coklat
tekstur pada batuan ini yaitu stockwork, colloform-crustiform (Gambar 5.7) dan
ada beberapa yang fragmental dengan material penyusun terdiri dari mineral-
mineral yang telah mengalami ubahan atau telah mengalami proses alterasi dan
mengakurasi data dari peneliti terdahulu. Pada lokasi daerah penelitian, diambil
megaskopis dari batuan, yang dimana batuan tersebut mempunyai warna, tekstur
dan komponen atau material penyusun yang sangat beragam. Dari ke 13 titik
petrografi. Litologi dari dua sampel yang diambil merupakan batuan yang sudah
(kualitatif). Metode atau Teknik ini digunakan dengan cara menyamakan secara
visual sebaran dan bentuk dari mineral yang ada disayatan tipis dengan standar
yang telah dibuat oleh Terry dan Cillingar, dalam Best, 2006 (Gambar 5.9).
Gambar 5.9 Penentuan kelimpahan mineral (Terry dan Cillingar, dalam Best,
2006)
a. Deskripsi Megaskopis
Pada lokasi ini terdapat batuan (dalam bentuk bongkah) yang telah
meter dan lebar 3 meter. Keterdapatan batuan ini tersebar pada daerah-daerah
5.13.
ubahan, tekstur khusus mineral, dan keberadaan mineral bijih. Menurut Brown
(1989) tingkatan intensitas ubahan yang terjadi pada suatu batuan dipengaruhi
objek 4x dan okuler 10x. Pada sampel 1, didapatkan beberapa mineral yaitu:
• Kuarsa (Qz)
irregular.
• Serisit (Sr)
Mineral ini berwarna abu-abu kecoklatan pada kondisi PPL dan abu-
• Klorit (Chl)
• Kaolin (K)
tinggi dengan bentuk kristal yang irregular atau tidak dapat di deskripsi.
• Ortoklas-adularia (Adl)
kondisi PPL dan abu-abu kehitaman pada kondisi XPL dengan relief
kehadiran 10-15%
• Illite-Smektit (I-Sm)
dan kecoklatan pada kondisi XPL , relief dengan penyebaran berkisar 10-
15%
• Opak (Oq)
Diduga mineral opak ini adalah mineral biji (deskripsi megaskopis pirit).
a. Deskripsi Megaskopis
Pada lokasi ini terdapat terdapat dua batuan (dalam bentuk bongkah)
mineral-mineral ubahan atau mineral alterasi yang terdapat pada batuan yaitu
dibibir atau tepi sungai. Sedangkan batuan yang kedua berwarna putih
Keterdapatan bataun ini sendiri hanya berjarak 10 meter di bagian utara dari
batuan pertama.
Gambar 5.15 Sampel 2 (lokasi pengamatan 9), a) bongkah dengan pembanding palu
geologi. b) bongkah dengan pembanding manusia. c) foto
handspacimen dan memperlihatkan tekstur breccia, garis titik
memperlihatkan fragmen.d) memperlihatkan tekstur colloform-
crustiform banded dengan mineral silica.
objek 4x dan okuler 10x. Pada sampel 2 ditemukan beberapa mineral yaitu
sebagai berikut.
• Illite-Smektit(I-Sm)
dan pada XPL berwarna coklat kehitaman dengan relief rendah-sedang dan
• Serisit (Sr)
Mineral ini berwarna abu-abu kecoklatan pada kondisi PPL dan abu-
• Kaolin-dickite(K-Dc)
• Kuarsa (Qz)
dan kuning keabuan pada kondisi XPL, relief rendah dan keterdapatannya
• Klorit (Chl)
kondisi PPL dan hitam kehiauan pada kondisi XPL, relief rendah-sedang
Pada kondisi PPL berwarna coklat terang dan pada kondisi XPL
kedalam dua formasi, dari tua kemuda yaitu formasi Kebo-butak dan formasi
litostratigrafi tak resmi, sehingga daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga
satuan batuan berdasarkan data pemetaan semi detail dan deskripsi secara
megaskopik. Penarikan batas satuan batuan didasarkan atas persebaran yang ada
diinterpretasikan dari tua ke muda yaitu satuan batuan andesit basaltik, sataun
Satuan ini merupakan satuan batuan tertua yang ada pada daerah
penelitan. Satuan batuan ini terdiri dari beberapa litologi penyusun yaitu batuan
karakteresrik dari litologi yang ada pada satuan ini, diperkirakan satuan ini
merupakan bagian dari satuan bataun Watuadeg, yang terdapat pada dusun
Watuadeg (Bronto, dkk 2008). Satuan batuan ini dominan tersebar pada
yaitu satuan andesit basaltik yang telah mengalami proses alterasi hidrotermal.
Hal ini ditandai dengan tekstur dari beberapa bongkah ini masih meninggalkan
tektur sisa yaitu tekstur batuan beku yang dimana pada daerah penelitian
sendiri hanya terdapat satuan andesit basaltik yang merupakan batuan beku.
Jika dikorelasikan maka dapat di simpulkan bahwa bongkah ini merupakan sisa
dari satuan andesit basltik yang telah mengalami proses alterasi hidrotermal.
yang diduga sebagai bagian dari formasi semilir. Satuan batuan yang
penyebarannya paling luas pada daerah penelitian. Satuan batuan ini sendiri
terdiri dari batuan piroklastika dengan litologi yaitu batuan tuf halus dan batuan
lipili-tuf (Gambar 5.20). Satuan batuan ini dapat dijumpai pada daerah tinggian
yang dimana satuan ini merupakan satuan yang paling muda. Hal ini dibuktikan
andesit-basaltik. Kehadiran satuan batuan lapilli tuf ini merupakan salah satu
batuan alterasi ini ditutupi oleh satuan lapilli tuf yang sangat tebal dibagian
atasnya.
data yaitu data satuan batuan yang terdiri dari satuan batuan andesit-basaltik, Breksi
autoklasitik (vulkanik), lapilli tuf dan beberapa batuan yang telah mengalami
alterasi. Terdapat juga data Analisa laboratorium yaitu pengamatan petrografi yang
A. Zona Alterasi
zona alterasi dibagi menjadi beberapa yaitu alterasi potasik, filik, argilik, argilik
lanjut (advent argillic) dan proplitik (Gambar 5.21). Pada daerah penelitian
serisit. Mineral penciri dalam alterasi ini adalah serisit dan kuarsa. Pirit juga
seringkali hadir sebagai sulfida yang berasosiasi dengan alterasi ini. Kuarsa
primer tidak terubah. Zona alterasi ini berada di bawah zona arglilik.
kaolin dan juga terdapat vein kuarsa yang mempunyai suhu pembentukan ±100o-
300oC dan pH transisi dari asam sampai basa. Mineral-mineral ini merupakan
Mineral penciri alterasi ini adalah kaolin dan montmorilonit sebagai hasil
alterasi dari plagioklas. Kedua mineral tersebut dapat ditemani dengan lempung
yang amorf. Zona alterasi argilik dibagi menjadi zona yang dominan
zona alterasi ini berupa zona alterasi propilitik sampai menuju yang paling luar
adalah batuan fresh. Alterasi ini terjadi pada kondisi asam (pH 4-6).
mineral penciri dari zona argilik yaitu smectite, kaolin dan beberapa mineral lain
seperti illite, serisit, klorit, biotit sekunder dan mineral-mineral silika. Mineral-
mineral ini terbentuk pada suhu ±100 o-300oC dan pH dari asam sampai basa
berdasarkan asosiasi mineral pada batuan (menurut Meyer dan Hemley, 1967),
dapat di lihat pada Tabel 5.1. Data ini juga dapat dihubungkan dengan klasifikasi
(tabel 5.2), hal ini ditandai dengan komponen batuan yang didominasi oleh
Tabel 5.1 Perbandingan jenis alterasi berdasarkan klasifikasi Meyer dan Hemley,
1967
Gambar 5.24. Stabilitas suhu dari mineral alterasi hidrothermal pada endapan
epithermal (Henley dkk., 1983; dalam White dkk., 1995), kotak
biru menunjukan mineral pada daerah penelitian
Satuan andesit basaltik pada daerah penilitian merupakan salah satu contoh satuan
batuan yang litologinya disusun oleh breksi autoklastik dan andesit basaltik yang
merupakan produk dari hasil aktivitas gunung api. Berdasarkan peta lembar
semilir yang dominan dan formasi kebo butak yang terdapat dibagian utara daerah
penelitian. Menurut Winarti dan Hartono 2015, terdapat gunung api purba candisari
interpretasikan satuan batuan andesit basaltik lebih tua dari pada satuan batuan
yang dimana satuan adesit basaltik berada di bawah satuan lapilli tuf. Jika
diproyeksikan satuan batuan lapilli tuf menutupi batuan andesit basaltik (Gambar
5.26) yang diduga sebagai hostrock dari batuan alterasi. Hal ini juga
batuan alterasi tersebut kemungkinan tertutupi oleh satuan batuan lapilli tuf.
erosi yang mengakibat satuan lapilli tuf terkelupas dan membuat tubuh batuan
alterasi mengalami pelapukan dan menyebar. Kemudian terjadi fase erupsi lagi
yang membuat tubuh dari batuan alterasi tersebut tertutupi oleh produk dari
termasuk dalam zona alterasi filik dan argilik. Hal ini ditandai dengan terdapatnya
carbonate (Gambar 5.27). Hal ini dapat dibuktikan dengan keterdapatan mineral
kuarsa dan serisit, juga pada zona alterasi filik yaitu smectite, serisit, kuarsa,
(kristobalit, kuarsa dan kalsedon). Mineral-mineral ini terbentuk pada suhu ±100o-
mineral-mineral ini biasanya terbentuk pada tipe endapan epitermal. Hal ini juga
andesit basaltik dan breksi autoklastik yang biasa terdapat pada fasies central
Terdapat juga beberapa data pendukung lain yaitu litologi daerah penelitian
litologi, tekstur, struktur, keterdapan mineral penciri dan juga mineral logam,
6.I Kesimpulan
2. Berdasarkan Analisa petrografi didapatkan dua zona alterasi yaitu zona alterasi
argilik dengan mineral penciri illite-smectite, kaolin dan zona alterasi filik
6.2 Saran
yang lebih rinci, semisal menggukan metode XRD, XRF, maupun metode-motede
Best, M. G. (2013). Igneous and metamorphic petrology. John Wiley & Sons.
Bothe, A.Ch.D., 1929, Jiwo Hill and Southern Range, Excursion Fourth Guide.
Bronto, S., Mulyaningsih, S., Hartono, G. dan Astuti, B., 2008, Gunung api purba
Corbett, G.J., dan Leach, T.M., 1997, Southwest Pasific Rim Gold-Copper
Hartono, G., 2010a. Petrologi Batuan Beku dan Gunung Api. Unpad Press,
Bandung.
Hartono, G., 2010b. “Peran Paleovolkanisme Dalam Tataan Produk Batuan Gunung
Hedenquist, J.W., and Lowenstern, J.B., 1994, The role of magmas in the formation
404.
Meyer, C., and Hemley, J.J., 1967, Wall rock alteration, in Barnes, H.L., ed.,
Winston, p. 166-235.
Pufahl, D. E., Fredlund, D. G., & Rahardjo, H. (1983). Lateral earth pressures in
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, & Rosidi, H. D., 1995, Peta Geologi Lembar
Pengembangan Geologi.
Sillitoe, R.H., 1993, Epithermal models: genetic types, geometrical controls and
417.
Sumarso, T. I. (1975). Contribution to the Stratigraphy of the Jiwo Hills and Their
van Gorsel, J. T. (1987). Late Cretaceous orbitoidal foraminifera. Iii: RH Hedley &
CO Adams.
White, F. M., & Corfield, I. (2006). Viscous fluid flow (Vol. 3, pp. 433-434). New
York: McGraw-Hill.
Winarti, W., & Hartono, H. G. (2015). Identifikasi Batuan Gunung Api Purba di