Anda di halaman 1dari 53

SEMINAR GEOLOGI

TIPE II

HUBUNGAN KELOMPOK MASERAL LIPTINIT DAN


VITRINIT DENGAN TIPE KEROGEN BATUAN SUMBER
HIDROKARBON PADA SERPIH FORMASI KELESA BAGIAN
ATAS, KUBURAN PANJANG, RIAU

J. G. S. M. Vol. 18 No. 1 Februari 2017 hal. 13-23


oleh:
Moh. Heri Hermiyanto Zajuli, Hermes Panggabean, Hendarmawan dan Ildrem
Syafri

Diseminarkan oleh:
Ringgit Aji Pamungkas 410015129

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi kurikulum semester VII dan
untuk mendapatkan nilai mata kuliah seminar geologi, di Jurusan Teknik Geologi,
Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL
YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN
SEMINAR GEOLOGI

1. a. Judul Seminar : Hubungan Kelompok Maseral Liptinit dan Vitrinit


dengan Batuan Sumber Hidrokarbon Pada Serpih
Formasi Kelesa Bagian Atas, Kuburan Panjang,
Riau
b. Nama Pengarang : Moh. Heri Hermiyanto Zajuli, Hermes Panggabean,
Hendarmawan dan Ildrem Syafri
2. Tipe Seminar : Tipe II
3. Identitas Mahasiswa :
a. Nama Lengkap : Ringgit Aji Pamungkas
b. NIM : 410015129
c. Perguruan Tinggi : Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta
d. Program Studi : Teknik Geologi
4. Dosen Pembimbing : Obrin Trianda, S.T., M.T.
5. Lokasi : Daerah Kuburan Panjang, Kecamatan Rengat,
Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau
6. Jangka Waktu Seminar : 2 Bulan
7. Biaya Seminar : Rp 900.000,00

Yogyakarta, 17 Desember 2018


Penulis

Ringgit Aji Pamungkas


NIM. 410015129

Mengetahui, Menyetujui,
Ketua Jurusan Teknik Geologi Dosen Pembimbing

Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si. Obrin Trianda, S.T., M.T.


NIP. 19730251 NIP. 19730284

ii
RINGKASAN

Penelitian ini difokuskan pada batuan serpih yang berumur Eosen-Oligosen


di Subcekungan Sumai, Cekungan Sumatra Tengah, Riau. Secara administratif
pemerintahan, kawasan penelitian termasuk ke dalam Kecamatan Rengat, Provinsi
Riau. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kelimpahan
kelompok maseral liptinit dan vitrinit terhadap jenis tipe kerogen batuan sumber
hidrokarbon. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rock-Eval
Pyrolisis (REP) dan analisis petrografi organik dengan menggunakan mikroskop.
Komposisi material organik terdiri atas kelompok maseral vitrinit yang
berkisar antara 0,2-5 % dan liptinit masing-masing berkisar 0,6-4,7%. Sementara
jenis mineralnya berupa pirit 0,2-16%, karbonat 0,2-24,2% serta mineral lempung
merupakan komponen yang paling dominan yaitu berkisar antara 71,6-98%. Hasil
analisis pirolisis Rock-Eval serpih Formasi Kelesa menunjukkan bahwa nilai TOC
berkisar dari 1,18% sampai 9,63%, Tmaks dari 4290C sampai 444°C, Potential
Yield (PY) antara 1,28 sampai 70,92, Hidrogen Indeks (HI) antara 65 dan 1522 mg
HC/g batuan. Dari hasil analisis TOC, PY dan HI, terlihat bahwa kekayaan material
organik serpih Formasi Kelesa mempunyai kecenderungan baik sampai sangat baik
sekali. Tipe kerogen serpih daerah penelitian cenderung termasuk ke dalam tipe
kerogen I, II, dan III. Hubungan antara TOC dengan liptinit dan vitrinit, yang
menunjukkan liptinit mempunyai kandungan lebih dominan dari pada vitrinit.
Lebih lanjut, hubungan antara kandungan material organik dengan sifat geokimia
terutama indeks hidrogennya hampir mempunyai pola yang sama dengan
kandungan liptinit. Sementara itu kehadiran vitrinit tidak begitu memperlihatkan
hubungan yang signifikan. Sehingga nilai indeks hidrogen dalam percontoh serpih
Formasi Kelesa mempunyai hubungan yang signifikan dengan kandungan liptinit.
Kehadiran kelompok maseral vitrinit dan liptinit pada lapisan serpih tidak
mutlak mempengaruhi tipe kerogen serpih, tetapi bersama dengan kandungan
hidrogen menjadi faktor yang mempunyai hubungan terhadap tipe kerogen.

Kata kunci: Formasi Kelesa, Eosen-Oligosen, vitrinit, liptinit, Cekungan Sumatra


Tengah

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
hanya dengan rahmat dan bimbingan-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah
seminar geologi ini dengan baik, yang merupakan salah satu bagian dari mata kuliah
seminar geologi di Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
tahun ajaran 2018/2019.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Ignatius Adi Prabowo, S.T., M.Si. selaku Ketua Jurusan Teknik
Geologi, Sekolah Tinggi Teknologi Nasional
2. Bapak Obrin Trianda, S.T., M.T. selaku Dosen Pembimbing yang telah
memberikan petunjuk dalam pembuatan makalah seminar geologi ini
3. Rekan-rekan mahasiswa Jurusan Teknik Geologi, Sekolah Tinggi
Teknologi Nasional angkatan 2015 yang telah banyak memberikan
bantuan
4. Semua pihak yang turut membantu memberi wawasan dan dukungan,
sehingga penulis mampu menyelesaikan makalah seminar geologi ini
Akhir kata, penulis juga memohon dukungan, kritik dan saran dari pembaca,
demi terlaksananya seminar geologi penulis sesuai dengan harapan penulis.

Yogyakarta, 17 Desember 2018

Ringgit Aji Pamungkas

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ ii

RINGKASAN .................................................................................................... iii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv

DAFTAR ISI ...................................................................................................... v

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ vii

DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix

DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Perumusan Masalah ................................................................................... 1

1.3. Lokasi ....................................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 4

2.1. Petrologi Organik ...................................................................................... 4

2.2. Batuan Induk ............................................................................................. 6

2.2.1. Kualitas Material Organik ................................................................... 7

2.2.2. Tipe Material Organik ......................................................................... 9

2.2.3. Kematangan Material Organik........................................................... 12

2.3. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah ........................................ 13

v
2.3.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah .............. 13

2.3.2. Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Tengah ................................. 16

BAB III MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT ........................................... 21

3.1. Maksud.................................................................................................... 21

3.2. Tujuan ..................................................................................................... 21

3.3. Manfaat ................................................................................................... 21

BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................. 22

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 24

5.1. Stratigrafi Daerah Penelitian .................................................................... 24

5.2. Jenis Material Organik ............................................................................. 27

5.3. Tipe Kerogen Serpih ................................................................................ 30

5.4. Korelasi Antara Material Organik dengan Tipe Kerogen .......................... 33

BAB VI KESIMPULAN .................................................................................. 37

6.1. Kesimpulan ............................................................................................. 37

6.2. Saran ....................................................................................................... 37

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 38

LAMPIRAN .................................................................................................... 41

vi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Lokasi penelitian Sub-cekungan Sumai, Cekungan Sumatra Tengah


....................................................................................................... 2

Gambar 1.2. Peta geologi daerah penelitian (Suwarna drr., 1994; Simandjuntak
drr., 1994; Silitonga dan Kastowo,1995)......................................... 3

Gambar 2.1. Diagram skematik rock eval (Waples, 1985)................................... 8

Gambar 2.2. Diagram van Krevelen (Tissot dan Welte, 1984 dalam Law, 1999)
..................................................................................................... 10

Gambar 2.3. Peta Cekungan Sumatera Tengah. Daerah yang diarsir merupakan
cekungan yang ada di Sumatera dan Jawa bagian barat. Cekungan
Sumatera Tengah ditunjukkan oleh daerah yang berarsir dan
bergaris merah, beserta batas-batas cekungannya (diadaptasi dari
Yarmanto dan Aulia, 1988) .......................................................... 14

Gambar 2.4. Kolom tektonostratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah.


Objek penelitian terdapat pada Formasi Kelesa di dalam Kelompok
Pematang (Heidrick dan Aulia, 1993) ........................................... 20

Gambar 4.1. Diagram alir penelitian ................................................................. 23

Gambar 5.1. Lokasi pengamatan daerah penelitian ........................................... 24

Gambar 5.2. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Hermiyanto drr., 2015) ......... 25

Gambar 5.3. Peta geologi rinci daerah Kuburan Panjang (Patra, 2014) ............. 27

Gambar 5.4. Fotomikrografi bahan organik percontoh serpih MH 02 D yang


memperlihatkan kandungan (a) alginit dan bituminit, serta (b)
mineral lempung dan pirit............................................................. 28

Gambar 5.5. Hubungan komponen maseral pada kelompok maseral liptinit ...... 29

vii
Gambar 5.6. Diagram Hidrogen Indeks (HI) terhadap Tmaks, menunjukkan tipe
kerogen dan kematangan batuan di daerah penelitian .................... 31

Gambar 5.7. Diagram TOC terhadap Pyrolysis Yields (PY) yang menunjukkan
potensi hidrokarbon di daerah penelitian ...................................... 32

Gambar 5.8. Kandungan maseral vitrinit, liptinit dan TOC pada lapisan serpih di
lokasi penelitian ........................................................................... 34

Gambar 5.9. Profil variasi nilai Hidrogen Indeks (HI, mg HC/g C) dengan
Oksigen Indeks (OI, mg CO2 /g C) pada serpih di daerah Kuburan
Panjang ........................................................................................ 35

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Klasifikasi maseral (Sykorova drr., 2005) ........................................... 5

Tabel 2.2. Kategori batuan induk menurut (Waples, 1985) .................................. 6

Tabel 2.3. Metode untuk menentukan potensi batuan induk (Law, 1999) ............. 7

Tabel 2.4. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985) ......... 8

Tabel 2.5. Empat tipe dasar kerogen (Law, 1999) ................................................ 9

Tabel 2.6. Komposisi kerogen (Waples, 1985) .................................................. 11

Tabel 2.7. Indikasi kematangan hidrokarbon berdasarkan Tmaks pirolisis Rock-


Eval (Tissot et al., 1987 dalam Law, 1999) ....................................... 12

Tabel 2.8. Korelasi antara tiga parameter kematangan (Waples, 1985) .............. 13

Tabel 5.1. Hasil analisis petrografi organik di daerah Kuburan Panjang, Rengat,
Cekungan Sumatra Tengah (Hermiyanto drr., 2015) ......................... 28

Tabel 5.2. Hasil Analisis Rock-Eval Pyrolysis (REP) dan Total Organic Carbon
(TOC) serpih di daerah penelitian (Hermiyanto drr., 2015 dan Susanto
drr., 2004)......................................................................................... 30

ix
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Peta geologi lembar Rengat (Suwarna drr., 1994) ......................... 42

Lampiran 2. Foto singkapan pada Formasi Kelesa ............................................ 42

Lampiran 3. Struktur lembaran serpih di Sungai Puti Kayu .............................. 43

Lampiran 4. Singkapan serpih di Sungai Puti Kayu, Kuburan Panjang, Riau .... 43

Lampiran 5. Singkapan serpih di bagian atas di Sungai Puti Kayu .................... 43

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Hidrokarbon adalah sumberdaya energi yang cukup penting perannya dalam
mendukung perekonomian negara Indonesia. Di Indonesia terdapat 60 cekungan
sedimen baik yang ada di lepas pantai maupun di darat, 16 diantaranya telah
berproduksi (Priyono, 2007). Dalam delapan tahun terakhir ini produksi minyak
Indonesia menurun secara konstan, hal ini disebabkan oleh kondisi lapangan
minyak di Indonesia sebagian besar telah tua dan rendahnya pemboran ekplorasi.
Sebagai pembanding adalah sebagian negara yang tergabung dalam OPEC (Angola,
Brasil, Rusia, Azerbaijan, Kazakstan, Sudan dan Guinea) telah meningkatkan
pemboran eksplorasi dan menemukan cadangan baru yang sebagian besar di laut
dalam (Kurtubi, 2007).
Source rock atau batuan induk didefinisikan sebagai endapan berbutir halus
yang dalam kedudukannya di alam telah, sedang, serta akan menghasilkan dan juga
melepaskan hidrokarbonnya sehingga terakumulasi dalam reservoir berbentuk gas
atau minyak bumi (Brookes, et al, 1987, op. cit. Einsele, 2000).
Dalam petroleum sistem, selain reservoir unsur yang juga penting adalah
batuan sumber hidrokarbon atau batuan induk. Dalam eksplorasi konvensional ada
kecenderungan kegiatan eksplorasi lebih banyak dilakukan untuk menentukan jenis
perangkap hidrokarbon, dan sedikit dilakukan studi detail mengenai batuan induk
asal hidrokarbon tersebut.

1.2. Perumusan Masalah


Sebelum melakukan penelitian pada daerah Kuburan Panjang, Riau, peneliti
berusaha membuat suatu ruang lingkup penelitian yang diwujudkan dalam rumusan
masalah sebagai batasan dari penelitian yang akan dilakukan. Adapun masalah yang
akan dibahas adalah sebagai berikut:
1. Apa saja jenis material organik yang terdapat pada lapisan serpih Formasi
Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau?

1
2. Berapa jumlah komposisi tiap-tiap material organik pada lapisan serpih
Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau?
3. Berapa jumlah komposisi Total Organic Carbon (TOC), S1, S2, S3,
Potential Yield (PY), Hidrogen Indeks (HI) dan Oksigen Indeks (OI) pada
lapisan serpih Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau?
4. Apa tipe materal organik pada lapisan serpih Formasi Kelesa, di daerah
Kuburan Panjang, Riau?
5. Apa pengaruh kelimpahan kelompok maseral liptinit dan vitrinit terhadap
jenis tipe kerogen batuan sumber hidrokarbon pada lapisan serpih Formasi
Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau?

1.3. Lokasi
Secara administratif pemerintahan, kawasan penelitian termasuk ke dalam
Kabupaten Rengat, Provinsi Riau, Sumatera pada koordinat 101°55’-102°10’ BT
dan 0°46’-0°57’LS (Gambar 1.1). Formasi ini terletak pada peta geologi skala 1 :
250.000, Lembar Rengat (Suwarna drr., 1994).

Gambar 1.1. Lokasi penelitian Sub-cekungan Sumai, Cekungan Sumatra Tengah

Secara fisiografis, daerah penelitian ini menempati bagian selatan dari


Cekungan Sumatra Tengah, yang diduga merupakan sebuah cekungan

2
intramontane berarah barat barat laut-timur menenggara, terletak di lereng timur
Bukit Barisan dan Antiklin Bukit Barisan (Clarke, 1982).

Gambar 1.2. Peta geologi daerah penelitian (Suwarna drr., 1994; Simandjuntak
drr., 1994; Silitonga dan Kastowo,1995)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Petrologi Organik


Bahan organik (maseral dan dom) di dalam batuan sedimen kaya bahan
organik, seperti serpih hitam, serpih karbonan, dan batubara, biasanya berasosiasi
dengan bahan anorganik. Bahan anorganik atau lebih dikenal mineral matter dalam
batubara dapat terbentuk dalam batuan sedimen tersebut melalui berbagai
mekanisme, seperti proses biogenik, singenetik, diagenetik, dan epigenetik
(Mackowsky, 1982; Harvey dan Ruch, 1986; Ward, 1986, 2002, 2016).
Bahan organik dalam batuan sedimen dapat berupa partikel halus yang tersebar
dan tertanam dalam matriks batuan atau dapat juga berupa bahan yang
terkonsentrasi dan masif. Jenis yang pertama biasa disebut sebagai dispersed
organic matter (dom), biasanya terdapat pada serpih hitam dan serpih karbonan.
Jenis kedua dikenal dengan nama maseral terutama terdapat dalam batubara. Secara
umum, dom diklasifikan menjadi dua, yaitu:
1. Bahan organik yang amorf (amorphous organic matter), biasanya berasosiasi
bersifat dengan butiran halus mineral seperti lempung dalam batuan sedimen
2. Bahan organik berupa bitumen padat (solid bitumen), umumnya mengisi pori
makro dan rekahan batuan sedimen, seperti cleats, fractures atau veins
Jenis maseral dibagi menjadi 3 kelompok maseral (Taylor drr., 1998), yaitu:
1. Vitrinit yaitu hasil proses pembatubaraan bahan humik yang berasal dari lignin
dan selulosa sel kulit tumbuhan. Vitrinit mempunyai karakter tinggi akan fraksi
aromatik dan oksigen. Maseral yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
telinit, kolinit, dan vitrodetrinit
2. Liptinit/eksinit yaitu berasal dari sisa tumbuhan yang kaya akan hidrogen
bukan dari material-material humik, sebagai contoh adalah sporopollenin,
resin, lilin, dan lemak. Liptinit mempunyai karakter tinggi akan fraksi parafin
dan fraksi hidrogen. Sebagai contoh maseral dari kelompok ini adalah sporinit,
kutinit, resinit, alginit, liptodetrinit
3. Inertinit, yang mempunyai karakter tinggi kandungan karbonnya tetapi rendah
fraksi hidrogen dan bertambah level aromatiknya. Sebagian besar maseral

4
inertinit diturunkan dari tumbuhan-tumbuhan yang sama dengan pada vitrinit
dan liptinit, tetapi berbeda dalam transformasinya. Misalnya sel dinding kayu
dapat ditranformasikan menjadi telinit dengan proses humifikasi dan gelifikasi.
Maseral yang tergolong ke dalam kelompok inertinit adalah mikrinit, makrinit,
semifusinit, fusinit, sklerotinit (funginit), dan inertodetrinit

Tabel 2.1. Klasifikasi maseral (Sykorova drr., 2005)


Grup Sub Grup Maseral
Vitrinit Detrovitrinit Vitrodetrinit
Kolodetrinit
Telovitrinit Telinit
Kolotelinit
Gelovitrinit Korpogelinit
Gelotelinit
Huminit Telohuminit Tekstinit
Ulminit
Detrohuminit Atrinit
Densinit
Inertinit Fusinit
Funginit
Mikrinit
Inertodetrinit
Liptinit Kutinit
Resinit
Alginit
Suberinit
Bituminit
Sporitinit
Eksudatinit

Sementara itu, berdasarkan jenis dan asal tumbuhan penyusunnya maseral


secara umum dibagi menjadi tiga kelompok utama yaitu liptinit, inertinit, dan

5
huminit (batubara peringkat rendah) atau vitirnit (batubara peringkat menengah
sampai tinggi). Ketiga kelompok tersebut dapat dibagi lagi menjadi sub-kelompok
dan maseral (Tabel 2.1).
Variasi dan distribusi bahan organik (maseral dan dispersed organic matter
atau “dom”) dalam batuan sedimen kaya akan bahan organik tersebut sangat
dipengaruhi oleh dinamika lingkungan pengendapan tertentu (Tissot dan Welte,
1984; Demaison, 1984).

2.2. Batuan Induk


Batuan induk merupakan batuan sedimen berbutir halus yang mampu
menghasilkan hidrokarbon. Batuan induk dapat dibagi menjadi tiga kategori
(Waples, 1985), di antaranya yaitu batuan induk efektif (effective source rock),
mungkin batuan induk (possible source rock), dan batuan induk potensial (potential
source rock). Kategori tersebut dan definisinya dapat ditunjukkan pada tabel 2.2.

Tabel 2.2. Kategori batuan induk menurut (Waples, 1985)


Tipe Definisi
Batuan induk efektif Setiap batuan induk yang telah membentuk d
mengeluarkan hidrokarbon. a
(effective source rock)
n
Mungkin batuan induk Setiap batuan induk yang belum pernah dievaluasi
(possible source rock) potensinya, tetapi mempunyai kemungkinan
membentuk dan mengeluarkan hidrokarbon.
Batuan induk potensial Setiap batuan induk belum matang yang
(potential source rock) mempunyai kemampuan membentuk dan
mengeluarkan hidrokarbon jika kematangannya
bertambah tinggi.

Suatu batuan dapat dikatakan sebagai batuan induk apabila mempunyai


kuantitas material organik, kualitas untuk menghasilkan hidrokarbon, dan
kematangan termal. Kuantitas material organik dan kualitas material organik
merupakan produk hasil pengendapan, sedangkan kematangan termal merupakan

6
fungsi dari sejarah struktur maupun tektonik pada suatu wilayah. Kuantitas material
organik umumnya dinilai dengan melakukan pengukuran terhadap karbon organik
total (Total Organic Carbon, TOC) yang terkandung dalam batuan. Kualitas
ditentukan dengan mengetahui tipe kerogen yang terkandung dalam material
organik. Kematangan termal umumnya diperkirakan dengan menggunakan
pengukuran reflektansi vitrinit dan data dari analisis pirolisis. Tabel 2.3
menunjukan metode yang paling umum digunakan untuk menentukan potensi dari
batuan induk.

Tabel 2.3. Metode untuk menentukan potensi batuan induk (Law, 1999)
Penentuan Pengukuran
Kuantitas batuan induk TOC yang terdapat pada batuan induk.
Kualitas batuan induk  Proporsi kerogen

 Keberadaan hidrokarbon rantai


panjang
Kematangan termal batuan induk  Reflektansi vitrinit

 Pirolisis Tmaks

2.2.1. Kualitas Material Organik


Kekayaan batuan induk ditentukan dengan mengukur TOC yang hadir pada
suatu batuan. TOC digunakan karena hidrokarbon mengandung 75-95% karbon
berat molekul dengan rata-rata 83%. Jumlah karbon organik yang terdapat pada
batuan merupakan faktor yang dapat menentukan kemampuan batuan untuk
menghasilkan hidrokarbon. Teknik yang paling umum untuk menganalisis
kandungan TOC pada batuan adalah pirolisis Rock-Eval dengan metode TOC dan
LECO.
Lingkungan pengendapan mengontrol jumlah karbon organik yang
terkandung dalam batuan. Batuan induk umumnya berasosiasi dengan wilayah
produktivitas organik tinggi dikombinasikan dengan pengendapan dalam
lingkungan anoksik, upwelling, dan sedimentasi yang cepat. Proses-proses ini dapat
mengendapkan material organik. Tabel 2.4 berikut ini menunjukkan implikasi

7
batuan induk berdasarkan persen berat TOC menurut Waples (1985).

Tabel 2.4. Indikasi potensi batuan induk berdasarkan TOC (Waples, 1985)
Implikasi Batuan Induk TOC (% berat)
Potensinya rendah <0,5
Kemungkinan sedikit berpotensi 0,5–1,0
Kemungkinan cukup berpotensi 1,0–2,0
Kemungkinan berpotensi baik >2,0
sampai sangat baik

Pirolisis merupakan dekomposisi material organik dengan pemanasan dan


dalam kondisi absennya oksigen, yang digunakan untuk mengukur kekayaan dan
kematangan dari batuan induk potensial. Pada analisis ini, kandungan organik
dipirolisis lalu dibakar. Jumlah hidrokarbon dan karbon dioksida yang dilepaskan
kemudian diukur. Teknik pirolisis yang paling umum digunakan adalah Rock-Eval.
Pada pirolisis Rock-Eval dikenal empat jenis puncak, yaitu S1, S2, dan S3 dalam
satuan miligram hidrokarbon/gram batuan. Menurut Law (1999), S1 menyatakan
hidrokarbon bebas dalam sampel, S2 merupakan volume hidrokarbon yang
terbentuk selama pirolisis termal dari sampel, dan S 3 merupakan CO2 yang
dihasilkan selama pemecahan termal kerogen, yang ditunjukkan pada Gambar 2.1
berikut.

Gambar 2.1. Diagram skematik rock eval (Waples, 1985)

8
2.2.2. Tipe Material Organik
Lingkungan pengendapan merupakan faktor dominan dalam menentukan
tipe material organik yang terdapat dalam batuan. Temperatur dan tekanan
mengubah material organik menjadi suatu substansi yang disebut dengan humin
yang kemudian mengalami transformasi menjadi kerogen. Waktu dan temperatur
mengubah kerogen menjadi petroleum.
Kerogen merupakan fraksi yang berasal dari unsur sedimen organik dalam
batuan sedimen yang tidak mudah larut dalam pelarut organik biasa (Tissot dan
Welte, 1984 dalam Law, 1999). Kerogen tersusun atas beragam material organik,
mencakup ganggang, polen, kayuan, vitrinit, dan material yang tidak terstruktur.
Tipe kerogen yang berada pada batuan besar pengaruhnya dalam mengontrol tipe
hidrokarbon yang dihasilkan pada batuan tersebut. Beragam tipe kerogen
mengandung jumlah hidrogen yang berbeda relatif terhadap karbon dan oksigen.
Kandungan hidrogen dalam kerogen merupakan faktor pengontrol untuk minyak
dan gas yang dihasilkan dari reaksi pembentuk hidrokarbon primer.
Tipe kerogen menentukan kualitas batuan induk. Semakin besar kerogen
menghasilkan minyak, maka semakin besar pula kualitasnya. Empat tipe dasar
kerogen ditemukan dalam batuan sedimen. Suatu batuan induk dapat mengandung
satu atau campuran beberapa tipe kerogen. Tabel 2.5 berikut ini mendefinisikan
empat tipe kerogen menurut Law (1999) dengan komposisi kerogen pada Tabel 2.6
menurut Waples (1985).

Tabel 2.5. Empat tipe dasar kerogen (Law, 1999)

Tipe Potensi Hidrokarbon Utama Tipe Lingkungan


Kerogen Pengendapan
I Penghasil minyak Danau
II Penghasil minyak dan gas Marin
III Penghasil gas Darat
IV Tidak menghasilkan apapun Darat
(umumnya tersusun atas
vitrinit atau material inert)

9
Tipe kerogen yang hadir dalam batuan menentukan kualitas batuan induk.
Tipe I kerogen mempunyai kualitas tertinggi, tipe III terendah. Tipe I mempunyai
kandungan hidrogen tertinggi, tipe III terendah. Penentuan tipe kerogen pada
batuan induk dapat dilakukan dengan mengeplot Hidrogen Indeks dan Oksigen
Indeks (HI dan OI) pada diagram van Krevelen (Gambar 2.2).

Gambar 2.2. Diagram van Krevelen (Tissot dan Welte, 1984 dalam Law, 1999)

Indeks Hidrogen (HI) dengan satuan miligram hidrokarbon/gram TOC


mewakili jumlah hidrogen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada
suatu sampel. Kurva S2 dalam analisis Rock-Eval dapat membantu menentukan
jumlah total hidrogen dalam miligram hidrogen terhadap gram sampel berdasarkan
rumus berikut.
HI = S2 (mg/g)/%TOC x 100
Indeks oksigen (OI) dengan satuan miligram hidrokarbon/gram TOC
mewakili jumlah oksigen relatif terhadap jumlah karbon organik yang berada pada
suatu sampel. Kurva S3 pada analisis Rock-Eval dapat membantu menentukan
jumlah total oksigen yang hadir dalam sampel berdasarkan rumus berikut.
OI = S3 (mg/g)/%TOC × 100

10
Penggunaan teknik HI/OI hanya untuk menentukan kualitas batuan induk
(tipe kerogen) pada batuan yang belum matang. HI dan OI berubah seiring dengan
kematangan batuan induk, oleh karena itu pada batuan matang HI dan OI tidak
indikatif terhadap kualitas kerogen asal.
Menurut Waples (1985), kerogen tipe I terutama berasal dari alga lakustrin
dan mempunyai kapasitas yang tinggi untuk menghasilkan minyak (oil). Kerogen
tipe I umumnya tersusun atas maseral liptinit terutama alginit. Kebanyakan kerogen
tipe II ditemukan di endapan sedimen laut di bawah kondisi reduksi
(backmangrove). Tipe ini mempunyai kapasitas untuk membentuk minyak (oil) dan
sedikit gas. Kerogen tipe II terdiri atas resinit, kutinit, dan sporinit, sedangkan
kerogen tipe III tersusun oleh material organik darat yang kekurangan unsur lemak
dan lilin, dan hanya umumnya menghasilkan gas. Sementara itu menurut Conford
(1977; dalam Tissot dan Welte, 1984) kerogen tipe I tersusun atas liptinit (alginit),
sedangkan kerogen tipe II dan tipe III tersusun atas vitrinit, dan tipe residual
merupakan inertinit. Vitrinit merupakan maseral yang dominan sebagai penyusun
kerogen tipe III. Kerogen tipe IV merupakan kerogen yang berasal dari material
rombakan berbagai sumber dan di bawah kondisi oksidasi yang tinggi. Kerogen tipe
ini tidak akan menghasilkan hidrokarbon. Maseral inertinit adalah penyusun
kerogen tipe IV ini.

Tabel 2.6. Komposisi kerogen (Waples, 1985)

11
2.2.3. Kematangan Material Organik
Sifat kimia material organik yang terkandung dalam batuan sedimen berubah
seiring dengan waktu, merefleksikan temperatur dan sejarah pembebanan.
Kematangan dapat diukur dan dapat dikombinasikan dengan data kualitas dan
kekayaan untuk memperkirakan jumlah hidrokarbon yang dihasilkan oleh material
organik. Tingkat kematangan merupakan produk dari sejumlah faktor, seperti
tatanan tektonik, sejarah pembebanan, dan sejarah termal.
Kematangan dapat diketahui dengan menggunakan beberapa metode, di
antaranya yaitu reflektansi vitrinit, indeks alterasi termal (Thermal Alteration Index,
TAI), dan Tmaks pirolisis. Metode penentuan kematangan dengan reflektansi
vitrinit didasarkan pada fakta bahwa dengan kenaikan termal. Reflektansi vitrinit
merupakan pengukuran terhadap presentase sinar yang dipantulkan dari permukaan
partikel dalam batuan sedimen. Tmaks merupakan temperatur pada saat laju
maksimum pirolisis tercapai (puncak S2) yang dapat digunakan sebagai indikator
kematangan. Seiring dengan bertambahnya kematangan, maka bertambah pula
Tmaks. Tmaks diperoleh secara otomatis bersama dengan data pirolisis lain pada
waktu analisis Rock-Eval. Indikasi kematangan yang dapat ditentukan dengan nilai
Tmaks ditunjukkan pada Tabel 2.7.

Tabel 2.7. Indikasi kematangan hidrokarbon berdasarkan Tmaks pirolisis Rock-


Eval (Tissot et al., 1987 dalam Law, 1999)
Indikasi Kematangan Hidrokarbon Tmaks Pirolisis Rock-Eval (0C)
Belum matang < 435
Minyak (dari kerogen tipe II) 435–455
Minyak (dari kerogen tipe III) 435–465
Gas (dari kerogen tipe II) > 455
Gas (dari kerogen tipe III) > 465

Indeks Alterasi Termal (TAI) merupakan indikator kematangan yang


dilakukan dengan melakukan analisis perubahan warna palinomorf. Pertambahan
gelap partikel kerogen dengan bertambahnya kematangan termal dapat digunakan
sebagai indikator kematangan. Kuantifikasi dengan metode ini ditunjukkan pada

12
Tabel 2.8 yang dikaitkan dengan kuantifikasi dengan menggunakan metode lain.

Tabel 2.8. Korelasi antara tiga parameter kematangan (Waples, 1985)


Reflektansi Vitrinit Indeks Alterasi Tmaks Indikasi Kematangan
(% Ro) Termal (TAI) Pirolisis Hidrokarbon
(0C)
0,40 2,0 420 Belum matang
0,50 2,3 430 Belum matang
0,60 2,6 440 Minyak
0,80 2,8 450 Minyak
1,00 3,0 460 Minyak
1,20 3,2 465 Minyak dan gas kering
1,35 3,4 470 Gas kering
1,50 3,5 480 Gas kering
2,00 3,8 500 Metana
3,00 4,0 500+ Metana

2.3. Geologi Regional Cekungan Sumatera Tengah


Daerah penelitian secara regional berada pada sebuah cekungan regional yang
disebut sebagai Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera Tengah yang
merupakan sebuah cekungan busur belakang (back arc basin) yang berkembang di
sepanjang Paparan Sunda, yang terbentuk mulai dari Tersier Awal (Eosen-
Oligosen). Cekungan Sumatera Tengah memiliki luas sekitar 103.500 km2 yang
sebagian besar terdiri dari area berupa daratan. Secara geografis cekungan ini
terletak antara 900 - 1030 BT dan 10 LS - 40 LU. Pada bagian utara, Cekungan
Sumatera Tengah dipisahkan dari Cekungan Sumatera Utara oleh Tinggian Asahan,
sedangkan di bagian selatannya dipisahkan dari Cekungan Sumatera Selatan oleh
Pegunungan Tigapuluh.

2.3.1. Struktur Geologi dan Tektonik Cekungan Sumatera Tengah


Daerah penelitian secara regional berada pada sebuah cekungan regional
yang disebut sebagai Cekungan Sumatera Tengah. Cekungan Sumatera Tengah

13
yang merupakan sebuah cekungan busur belakang (back arc basin) yang
berkembang di sepanjang Paparan Sunda, yang terbentuk mulai dari Tersier Awal
(Eosen-Oligosen) dan merupakan seri dari beberapa struktur separuh-graben. Pada
beberapa bagian, struktur separuh-graben ini terisi oleh sedimen klastik non marin
dan sedimen danau (Eubank dan Makki, 1981).
Cekungan ini terbentuk sebagai akibat penunjaman lempeng Samudra Hindia
yang bergerak ke arah utara dengan sudut N 6o E terhadap lempeng Benua Eurasia
selama umur Miosen. Geometri cekungan ini berbentuk asimetri dengan bagian
dalamnya berada pada arah barat daya dan semakin dangkal ke arah timur laut
(Mertosono dan Nayoan, 1974). Produk lain yang dihasilkan oleh interaksi dua
lempeng tektonik ini adalah unit fisiografi sejajar yang berarah barat laut, berupa
busur kepulauan di sepanjang pantai barat Sumatera, cekungan muka busur Nias,
busur barisan pegunungan vulkanik sepanjang Bukit Barisan, dan zona sesar
Sumatera (great Sumatera fault zone) atau yang lebih dikenal dengan nama sesar
besar Semangko.

Gambar 2.3. Peta Cekungan Sumatera Tengah. Daerah yang diarsir merupakan
cekungan yang ada di Sumatera dan Jawa bagian barat. Cekungan
Sumatera Tengah ditunjukkan oleh daerah yang berarsir dan bergaris
merah, beserta batas-batas cekungannya (diadaptasi dari Yarmanto
dan Aulia, 1988)

14
Cekungan Sumatera Tengah dibatasi di sebelah barat daya oleh
pengangkatan Bukit Barisan, di sebelah tenggara oleh Tinggian Tigapuluh, di
sebelah utara oleh busur Asahan, dan di sebelah timur laut oleh Paparan Sunda
(Gambar 2.3). Gejala-gejala struktur pada Zaman Tersier secara umum dapat
dibedakan ke dalam dua sistem, yaitu sistem Neogen dan sistem Paleogen.
Pola struktur Cekungan Sumatera Tengah merupakan hasil dari tektonik
ekstensional yang mengalami overprinting secara kuat oleh komponen patahan
mendatar menganan (dextral wrench fault) yang terjadi kemudian. Rezim kompresi
tampaknya kurang mempunyai pengaruh yang kuat. Hampir semua gejala kompresi
yang diamati pada penampang Tersier, dapat dinetralkan oleh adanya pensesaran
mendatar (wrench tectonics) tersebut (Eubank & Makki, 1981).
Perkembangan tektonik Kenozoikum di Cekungan Sumatera Tengah secara
geometri dan kinematik melibatkan adanya empat episode pensesaran dan
perlipatan, yang dinotasikan sebagai F0, F1, F2, dan F3 (Heidrick & Aulia, 1993),
yaitu:
1. Periode pembentukan batuan dasar (F0) yang terdiri dari pecahan-pecahan
lempeng benua dan lempeng samudera, dan terjadi pada masa Paleozoikum
Akhir sampai Mesozoikum. Lempeng-lempeng minor yang membentuk
batuan dasar di Cekungan Sumatera Tengah antara lain terdiri dari lempeng
Mergui yang tersusun oleh graywacke, lempeng Malaka yang tersusun atas
kuarsit dan filit, serta lempeng Mutus yang tersusun atas ofiolit dan
metasedimen. Selain itu juga tersusun atas argilit, sekis dan tufaan yang
merupakan bagian dari Kelompok Tapanuli
2. Periode pemekaran/rifting (F1) pada Eosen-Oligosen. Tarikan/ekstensi pada
batuan dasar berumur tua dengan arah utara-utara timur laut (N-NNE) dan
reaktivasi rangkaian batuan dasar regional berarah barat barat laut (WNW)
3. Periode thermal subsidence atau crustal sagging (F2) pada Miosen Awal,
terjadi pensesaran mendatar menganan secara regional, reaktivasi struktur-
struktur bararah utara-selatan, dan berkembangnya pola rekahan (fracture)
transtensional berarah N 0O E sampai N 20O E
4. Periode kompresi (F3) mulai dari Miosen Tengah sampai Resen, sebagai
akibat terjadinya subduksi lempeng Indo-Australia terhadap Asia,

15
mengakibatkan terjadinya thrusting dan pensesaran naik bararah barat barat
daya (WSW) di sepanjang patahan mendatar berarah utara barat laut (NNW)
dan pemekaran transtensional sepanjang elemen struktur berarah utara-utara
timur laut (N-NNE). Proses tektonik ini mengontrol terjadinya reaktivasi
pola-pola struktur yang telah ada sebelumnya
Pola patahan dan lipatan di Cekungan Sumatera Tengah terdiri atas dua arah
utama yang dapat dibedakan secara jelas di seluruh cekungan, yaitu arah utara-
selatan (N-S) dan arah barat laut-tenggara (NW-SE). Beberapa peneliti menyatakan
bahwa arah utara-selatan berumur lebih tua, terbentuk pada Zaman Paleogen,
sedangkan arah barat laut-tenggara berumur Neogen. Data-data baru yang
ditemukan menunjukkan bahwa kedua arah tersebut mengalami periode aktif
selama Zaman Tersier (Eubank & Makki, 1981).

2.3.2. Tektonostratigrafi Cekungan Sumatera Tengah


Sejarah stratigrafi di Cekungan Sumatera Tengah sangat dipengaruhi oleh
sejarah pembentukan tektonik. Oleh karena itu pembahasan mengenai stratigrafi di
Cekungan Sumatera Tengah tidak dapat dilepaskan dari kerangka pembentukan
tektoniknya atau biasa disebut dengan tektonostratigrafi. Proses tektonik
merupakan faktor pengontrol utama pengendapan sedimen dan proses
perkembangan stratigrafi di Cekungan Sumatera Tengah, dibandingkan faktor
lainnya (Kemp dkk., 1977). Selanjutnya pembahasan mengenai stratigrafi regional
Cekungan Sumatera Tengah akan diuraikan dalam kerangka tektonostratigrafi atau
fase-fase pembentukan cekungan.
a. Fase pembentukan batuan dasar (fase tektonik F0)
Batuan dasar di Cekungan Sumatera Tengah terdiri dari empat satuan litologi
berumur antara Paleozoikum sampai Mesozoikum. Satuan litologi tersebut
adalah:
1. Kelompok Mutus yang terdiri dari ofiolit, metasedimen, dan sedimen-
sedimen berumur Trias
2. Kelompok Malaka yang terdiri atas kuarsit, filit, dan intrusi granodiorit
3. Kelompok Mergui yang terdiri atas graywacke yang berumur Kapur kuarsit
dan batulempung kerikilan

16
4. Kelompok Tapanuli yang terdiri dari batusabak, metasedimen dan filit yang
diendapkan di atas batugamping yang berumur Devon-Karbon
b. Fase intra-cratonic rifting dan rift infill (fase tektonik F1)
Tumbukan antara lempeng Samudera Hindia dan lempeng Benua Eurasia
menghasilkan gaya trans-extensional (translasi dan ekstensi). Akibat dari adanya
gaya trans-extensional tersebut, maka terbentuk sistem pemekaran kerak benua
yang berupa pembentukan rangkaian struktur separuh-graben yang saling
berhubungan. Pembentukan struktur separuh-graben yang besar diawali dengan
pembentukan sesar listrik pada salah satu sisi dan pembentukan ramp yang
landai pada sisi lainnya. Struktur tersebut mempunyai pola kelurusan utara-
selatan. Struktur separuh-graben atau graben penuh yang berumur Eosen-
Oligosen tersebut diisi oleh sedimen-sedimen fluviatil dan lakustrin yang
diendapkan dalam Kelompok Pematang. Berdasakan ciri litologinya, Kelompok
Pematang dibagi menjadi tiga formasi, yaitu: Formasi Lower Red Bed, Formasi
Brown Shale dan Formasi Upper Red Bed.
c. Fase interior sag basin (fase tektonik F2)
Diatas Kelompok Pematang diendapkan suatu seri sedimen yang diendapkan
pada saat aktivitas tektonik mulai berkurang dan terjadi selama masa Oligosen
Akhir sampai Miosen Tengah. Kompresi bersifat lokal (setempat) yang ditandai
dengan pembentukan sesar dan lipatan, yang bersamaan dengan penurunan muka
air laut global pada 28 juta tahun yang lalu. Proses geologi yang terjadi saat itu
adalah pembentukan morfologi peneplain yang terjadi pada Kelompok
Pematang dan batuan dasar yang tersingkap. Periode ini diikuti oleh terjadinya
penurunan permukaan cekungan (subsidence) dan transgresi ke dalam cekungan.
Kelompok Sihapas diendapkan secara tidak selaras di atas Kelompok Pematang,
terdiri dari Formasi Menggala, Bangko, Bekasap, Duri, dan Telisa.
Formasi Menggala diperkirakan berumur Miosen Awal (N4) diendapkan
secara tidak selaras di atas Kelompok Pematang. Litologinya tersusun atas
batupasir yang bersifat konglomeratan. Lingkungan pengendapannya
diperkirakan berada pada sistem sungai teranyam-non marin (braided river–non
marine), yang ketebalannya mencapai 1800 kaki (Dawson dkk., 1997).

17
Formasi Bangko diperkirakan berumur Miosen Awal (N5) yang diendapkan
selaras di atas Formasi Menggala. Formasi Bangko mempunyai ciri-ciri litologi
yang berupa serpih abu-abu yang bersifat gampingan diselingi dengan batupasir
halus sampai sedang. Formasi ini diperkirakan diendapkan pada lingkungan
estuarin dengan ketebalan mencapai 300 kaki (Dawson dkk., 1997).
Formasi Bekasap diperkirakan diendapkan pada masa Miosen Awal (N6)
dan diendapkan selaras di atas Formasi Bangko. Formasi Bekasap mempunyai
ciri-ciri litologi berupa batupasir dengan kandungan glaukonit di bagian atasnya
serta sisipan serpih, batugamping tipis serta batubara. Diperkirakan formasi ini
diendapkan pada lingkungan estuarin, inter-tidal, dan neritik dalam-luar dengan
ketebalan mencapai 1300 kaki (Dawson dkk., 1997).
Formasi Duri diperkirakan berumur Miosen Awal (N7-N8) dan diendapkan
secara selaras diatas Formasi Bekasap. Ciri-ciri litologi dari Formasi Duri berupa
batupasir yang berselingan dengan serpih dan sedikit batugamping. Lingkungan
pengendapan formasi ini diperkirakan adalah barrier bar complex dan delta front
dengan ketebalan formasi mencapai 900 kaki (Dawson dkk., 1997).
Formasi yang paling atas yang dihasilkan dari fase interior sag basin yaitu
Formasi Telisa yang sebagian besar tersusun atas batulempung dan sisipan minor
batulanau. Bagian bawah sampai tengah dari Formasi Telisa yang berumur
Miosen didominasi oleh batulempung dengan beberapa lapisan batugamping dan
batupasir halus glaukonitan. Kontak atas ditunjukkan dengan suatu beda umur
litologi (distinct lithologic) dan jeda faunal (faunal break) sebagai akibat dari
proses regresi Miosen pada siklus Neogen. Hiatus ini biasa disebut dengan Duri
event (Heidrick dan Aulia, 1993).
Pada Miosen Awal, terjadi proses transgresi dari arah barat laut dan barat
daya yang mengakibatkan diendapkannya dua fasies yang berbeda secara
signifikan pada cekungan selama proses pengendapan terjadi. Fasies laut dalam
tempat proses transgresi terjadi sangat cepat ke arah barat dan secara lateral
bersifat menjari (interfingering) dengan fasies paparan (shelf) yang lebih
dangkal ke arah timur. Secara regional, Kelompok Sihapas merupakan endapan
laut dangkal yang mempunyai kesamaan waktu dengan batu lempung Formasi

18
Telisa yang terbentuk pada kondisi laut yang lebih dalam (Mertosono dan
Nayoan, 1974).
d. Fase kompresi (fase tektonik F3)
Pada bagian atas Kelompok Sihapas ditandai adanya ketidakselarasan
regional dan memiliki penyebaran cukup luas pada hampir seluruh Cekungan
Sumatera Tengah. Ketidakselarasan ini menunjukkan adanya perubahan fase
tektonik ekstensi menjadi tektonik kompresi yang dimulai pada masa Miosen
Akhir sampai sekarang. Fase tektonik kompresi ini bersamaan dengan proses
pemekaran Laut China Selatan dan Laut Andaman, dan bersamaan pula dengan
proses pergeseran sepanjang sesar besar Sumatera yang diikuti dengan
pembentukan busur vulkanik di sebelah baratnya (Kemp dkk., 1997).
Bagian atas Formasi Telisa cukup sulit ditentukan secara pasti dari data
seismik. Hal ini disebabkan proses kompresi dan struktur lainnya yang
berhubungan dengan tumbukan antara lempeng Australian dan lempeng Eurasia
yang telah mengganggu batas Formasi Telisa tersebut. Pada fase kompresi ini
terbentuk Formasi Petani dan Formasi Minas. Formasi Petani terbentuk pada
fase regresi dari siklus pengendapan Tersier. Sedimen pada formasi ini
menunjukkan perubahan ke arah atas, berubah dari lingkungan air laut menjadi
lingkungan air payau (brackish) dan menjadi lingkungan non-marin. Formasi
Petani tersusun atas batulempung kehijauan dan batupasir. Foraminifera
melimpah di bagian bawah, namun berkurang ke arah atas. Sedimen ini
merupakan hasil rombakan dari dua batuan sumber utama, yaitu hasil erosi Bukit
Barisan dan hasil erosi Semenanjung Malaya (Mertosono dan Nayoan, 1974).
Formasi Minas merupakan endapan Kuarter yang diendapkan secara tidak
selaras di atas Formasi Petani. Ciri-ciri litologi dari Formasi Minas yaitu terdiri
dari lapisan-lapisan tipis konglomeratan, pasir kuarsa, pasir lepas, kerikil, dan
lempung yang merupakan bagian dari endapan fluvial-aluvial dari zaman
Pleistosen hingga saat ini (Mertosono dan Nayoan, 1974).
Secara umum, tektonostratigrafi regional dari Cekungan Sumatera Tengah
dapat dilihat pada Gambar 2.4 di bawah ini:

19
Gambar 2.4. Kolom tektonostratigrafi regional Cekungan Sumatera Tengah.
Objek penelitian terdapat pada Formasi Kelesa di dalam Kelompok
Pematang (Heidrick dan Aulia, 1993)

20
BAB III
MAKSUD, TUJUAN DAN MANFAAT

3.1. Maksud
Kegiatan penelitian dilakukan dengan maksud untuk mengetahui pengaruh
kelimpahan kelompok maseral liptinit dan vitrinit terhadap jenis tipe kerogen
batuan sumber hidrokarbon pada lapisan serpih Formasi Kelesa di daerah Kuburan
Panjang, Rengat, Indragiri Hulu, Riau, Sumatera.

3.2. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui material organik apa saja yang terdapat pada lapisan serpih
Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau
2. Mengetahui komposisi tiap-tiap material organik pada lapisan serpih
Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau
3. Mengetahui jumlah komposisi Total Organic Carbon (TOC), S1, S2, S3.
Potensial Yield (PY), Hidrogen Indeks (HI) dan Oksigen Indeks (OI) pada
lapisan serpih Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau
4. Mengetahui tipe materal organik pada lapisan serpih Formasi Kelesa, di
daerah Kuburan Panjang, Riau
5. Mengetahui pengaruh kelimpahan kelompok maseral liptinit dan vitrinit
terhadap jenis tipe kerogen batuan sumber hidrokarbon pada lapisan serpih
Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Riau

3.3. Manfaat
Adapun manfaat dilakukannya penelitian adalah memberikan gambaran
tentang peran kelompok maseral liptinit dan vitrinit terhadap kualitas lapisan serpih
Formasi Kelesa di daerah Kuburan Panjang, Rengat, Indragiri Hulu, Riau,
Sumatera.

21
BAB IV
METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan studi pustaka dari
beberapa penelitian terdahulu. Terdapat beberapa penilitian terdahulu yang sudah
dilakukan di daerah telitian. Penelitian tersebut mencakup tentang dinamika
kehadiran material organik, brittleness index, karakteristik lapisan serpih Formasi
Kelesa di daerah Kuburan Panjang. Dari beberapa penilitian tersebut maka
dirumuskan menjadi suatu pembahasan tentang hubungan kelompok maseral
liptinit dan vitrinit dengan tipe kerogen batuan sumber hidrokarbon pada serpih
Formasi Kelesa.
Ada beberapa pendekatan yang dapat digunakan, antara lain:
A. Metode pemerolehan data lapangan
Penelitian lapangan menerapkan metodologi standar yang lazim digunakan
dalam studi sedimentolologi, khususnya analisis litofasies yang mencakup
pengamatan perubahan litologi.
B. Metode pemerolehan data laboratorium
Setelah kegiatan lapangan maka dilakukan analisis laboratorium terhadap
beberapa percontoh terpilih antara lain meliputi:
1. Analisis petrografi organik
Analisis petrografi organik dilakukan dengan menggunakan mikroskop
atas dasar metode optik sinar pantul dengan dan tanpa sinar fluorescence.
Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeskripsi perbedaan tipe bahan organik
atau dan jenis maseral, mengukur kematangan termal (maturity) atau tingkat
kematangan berdasarkan pengukuran indeks reflektansi maseral vitrinit dalam
bentuk dom (dispersed organic matter), untuk mendukung penentuan
lingkungan pengendapan dan kematangan batuan.
2. Analisis Total Organic Carbon (TOC) dan Rock- Eval Pyrolysis (REP)
Kekayaan material organik di dalam batuan sedimen dinyatakan sebagai
Total Organic Carbon (TOC) dengan satuan persen dari batuan dalam
keadaan kering. Analisis TOC akan memberikan gambaran awal di dalam

22
suatu studi batuan induk apakah batuan sedimen dapat berperan sebagai
batuan induk atau tidak.

Tinjauan Pustaka

Peneliti Terdahulu Geologi Regional

Geologi Daerah
Penelitian

Stratigrafi Struktur Geologi

Analisis
Laboratorium

Analisis Total
Analisis Petrografi
Organic Carbon
Organik
(TOC)

Analisis Rock-Eval
Pyrolysis (REP)

Hubungan Maseral
Liptinit dan Vitrinit
dengan Tipe Kerogen

Gambar 4.1. Diagram alir penelitian

23
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Stratigrafi Daerah Penelitian


Objek penelitian terdapat di dalam Formasi Kelesa bagian atas berumur Eosen-
Oligosen. Diambil 23 percontoh batuan pada lapisan serpih Formasi Kelesa,
Kuburan Panjang, Riau (Gambar 5.1). Batuan penyusun Formasi Kelesa (Gambar
5.2) di daerah penelitian tersusun atas batuan kolongmerat, batupasir, batulumpur,
dan serpih. Tebal total runtutan batuan Formasi Kelesa di daerah penelitian adalah
sekitar 86,8 m. Serpih yang menjadi subjek penelitian mempunyai ketebalan sekitar
15 m (Gambar 5.2). Runtutan batuan dari bawah ke atas menunjukkan perulangan
antara lapisan serpih, batupasir dan batulumpur yang dibatasi oleh konglomerat
pada bagian atas dan bawahnya.

Gambar 5.1. Lokasi pengamatan daerah penelitian

Lapisan yang paling dominan adalah serpih yang mempunyai ketebalan


sekitar 15 meter. Serpih, coklat gelap, sampai keabuan, lunak, plastis, laminasi
berselingan dengan batulumpur, flaggy, abu-abu, kompak, berlapis baik 1-1,5 cm.
Batupasir, kecoklatan sampai abu, lapuk, terkonsolidasi, ukuran butir halus,
komposisi fragmen didominasi kuarsa dan felspar. Konglomerat, polimik, kompak,

24
sortasi jelek, menyudut tanggung-membulat tanggung, matrik pasiran, fragmen
didominasi oleh basal, kuarsit dan andesit. Perselingan batulumpur dan batupasir
sangat halus batupasir coklat dengan sisipan berwarna abu terang, platy-flaggy,
lunak-keras, berlapis baik, perlapisan sejajar.

Gambar 5.2. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Hermiyanto drr., 2015)

25
Secara stratigrafi terlihat adanya suatu siklus perulangan antara perselingan
batupasir dan serpih serta batulumpur. Di mulai dari bawah terlihat adanya
perselingan batupasir dengan batulempung yang didominasi oleh batupasir,
semakin ke atas dijumpai konglomerat yang merupakan batas suatu fasies menuju
fasies serpih yang mempunyai ketebalan sekitar 9 meter. Dibagian tengah
penampang merupakan perselingan antara batupasir dengan batulumpur dan serpih.
Perselingan tersebut menunjukkan adanya suatu perubahan arus yang menyebabkan
terendapkannya material halus dan berbutir secara berulang. Pada bagian atas
penampang (Gambar 5.2.) terlihat suatu fasies pengendapan dari seri serpih yang
cukup tebal yaitu sekitar 12 meter. Pengendapan serpih yang cukup tebal ini
mengisaratkan suatau sistem pengendapan dengan arus yang tenang yang
berlangsung cukup lama.
Secara garis besar sistem pengendapan dari bawah ke atas merupakan suatu
siklus dari pengendapan fluviatil ke lakustrin. Suatu perubahan fasies pada sistem
sungai yang berubah secara gradual menuju lakustrin. Lakustrin bisa terbentuk
ketika ada limpahan air yang cukup besar sehingga daerah yang semula merupakan
sungai berubah menjadi suatu danau. Khusus untuk lingkungan fluviatil pada
bagian tengah penampang terlihat adanya perulangan tipis antara batupasir dan
batuan halus (serpih dan batulumpur) yang merupakan produk suatu perubahan arus
yang sangat cepat. Hal ini bisa terjadi pada bagian kelok sungai atau meandering
river.
Patra (2014), menyatakan bahwa di daerah penelitian yaitu di wilayah
Kuburan Panjang secara litologi dapat dipisahkan menjadi beberapa satuan batuan
yaitu dari yang tertua ke yang muda adalah Satuan Batupasir X yang tersusun oleh
batupasir dan konglomerat. Satuan Konglomerat terdiri atas konglomerat, batupasir
konglomeratan dan batupasir, Satuan Serpih (serpih dan batupasir), Satuan
batupasir Y, terdiri dari batupasir, konglomerat, dan batupasir konglomeratan,
Satuan Batulempung yang tersusun atas batulempung dan batupasir dan Satuan
Aluvial yang terdiri dari endapan yang belum terkompakkan seperti lumpur
fragmen-fragmen batuan dari batupasir, kuarsa, dan kuarsit (Gambar 5.3). Daerah
penelitian termasuk ke dalam Satuan Serpih (Hermiyanto drr., 2015).

26
Gambar 5.3. Peta geologi rinci daerah Kuburan Panjang (Patra, 2014)

5.2. Jenis Material Organik


Berdasarkan hasil analisis petrografi organik dari 23 percontoh batuan pada
lapisan serpih Formasi Kelesa, Kuburan Panjang, Riau (Tabel 5.1) terlihat bahwa
kandungan maseral dari serpih tersusun oleh vitrinit, liptinit dan mineral lempung,
sedangkan bahan mineral terdiri atas mineral karbonat dan pirit. Kandungan
maseral vitrinit berkisar antara 0,2-5% dan liptinit masing-masing berkisar antara
0,6-4,7%, sedangkan mineral pirit 0,2-16%, karbonat 0,2-24,2% dan mineral
lempung merupakan komponen yang paling dominan yaitu berkisar antara 71,6-
98%.

27
Tabel 5.1. Hasil analisis petrografi organik di daerah Kuburan Panjang, Rengat,
Cekungan Sumatra Tengah (Hermiyanto drr., 2015)

Gambar 5.4 memperlihatkan hasil dari foto petrografi organik pada percontoh
MH 02 D yang menunjukkan kandungan alginit, bituminit dan mineral lempung
pada serpih. Alginit merupakan maseral yang termasuk ke dalam kelompok maseral
liptinit yang mempunyai peran penting di dalam pembentukan minyak pada tipe
kerogen I.

Gambar 5.4. Fotomikrografi bahan organik percontoh serpih MH 02 D yang


memperlihatkan kandungan (a) alginit dan bituminit, serta (b)
mineral lempung dan pirit

28
Selanjutnya pada Gambar 5.5 terlihat komponen yang ada pada kelompok
maseral liptinit terdiri atas alginit, resinit, dan bituminit. Dari ketiga maseral
tersebut bituminit dan alginit memberikan pola distribusi yang mirip dengan pola
distribusi liptinit. Hal tersebut memperlihatkan bahwa liptinit di dominasi oleh
kehadiran bituminit dan alginit. Kehadiran alginit dan bituminit menunjukkan pola
yang fluktuatif. Fluktuasi yang lebih cepat terlihat di bagian bawah dari lapisan
serpih sementara itu dibagian atas fluktuasi terjadi tidak secepat di bagian bawah
lapisan serpih. Sementara resinit terlihat kehadirannya tidak merata pada setiap
lapisan serpih di daerah penelitian. Hubungan antara alginit dan bituminit
memberikan gambaran bahwa maseral bituminit mempunyai kelimpahan yang
lebih dibandingkan dengan kandungan alginit pada serpih di Kuburan Panjang.
Liptinit merupakan salah satu kelompok maseral yang berasal dari tumbuhan-
tumbuhan yang kaya akan hidrogen, sehingga dalam perkembangan prosesnya
batuan dengan kelimpahan liptinit yang tinggi akan cenderung memberikan
kandungan minyak yang lebih banyak.

Gambar 5.5. Hubungan komponen maseral pada kelompok maseral liptinit

29
5.3. Tipe Kerogen Serpih
Tipe material organik di daerah penelitian diinterpretasikan berdasarkan pada
nilai Hidrogen Indeks (HI) dan Oksigen Indeks (OI) yang dihasilkan dari analisis
Rock-Eval Pyrolisis (Tabel 5.2). Tipe material organik merupakan cerminan dari
maseral-maseral penyusun batuan sedimen tersebut. Maseral penyusun batuan
sedimen akan mempengaruhi tipe material organik sesuai dengan kehadiran dari
beberapa macam maseral kunci.
Berdasarkan hasil analisis pirolisis Rock-Eval dari 23 percontoh batuan pada
lapisan serpih Formasi Kelesa, Kuburan Panjang, Riau menunjukkan bahwa nilai
TOC berkisar dari 1,18% sampai 9,63%, Tmaks dari 429 0C sampai 444°C,
Potential Yield (PY) antara 1,28 sampai 70,92, Hidrogen Indeks (HI) antara 65 dan
1522 mg HC/g batuan. Dari hasil analisis TOC, PY dan HI, terlihat bahwa kekayaan
material organik serpih Formasi Kelesa mempunyai kecenderungan baik sampai
sangat baik sekali (Waples, 1985). Kategori baik sekali terlihat pada percontoh
serpih bagian bawah dan tengah satuan (MH 02 H-02 Q, NS 29 K-MH 02 G).

Tabel 5.2. Hasil Analisis Rock-Eval Pyrolysis (REP) dan Total Organic Carbon
(TOC) serpih di daerah penelitian (Hermiyanto drr., 2015 dan Susanto
drr., 2004)

30
Diagram indeks hidrogen terhadap Tmaks digunakan untuk memberikan
gambaran tipe kerogen dan kecenderungan hidrokarbon yang dihasilkan.
Berdasarkan diagram indeks hidrogen terhadap Tmaks (Gambar 5.6) dari serpih
Formasi Kelesa diketahui bahwa serpih Formasi Kelesa memiliki kecenderungan
untuk menghasilkan minyak dan gas yang berasal dari tipe kerogen I, II, dan III.
Tipe kerogen I lebih cenderung mengahasilkan minyak, sedangkan tipe kerogen III
hanya menghasilkan gas dan sedikit sekali menghasilkan minyak. Banyak
sedikitnya minyak atau gas ditentukan oleh nilai Hidrogen Indeks (HI). Semakin
tinggi nilai HI maka semakin banyak juga minyak yang dihasilkan.

Gambar 5.6. Diagram Hidrogen Indeks (HI) terhadap Tmaks, menunjukkan tipe
kerogen dan kematangan batuan di daerah penelitian

Selanjutnya Gambar 5.7 memperlihatkan bahwa percontoh serpih bagian atas


(MH 02 P-MH 02 S) dan percontoh serpih bagian bawah (NS 29 K-MH 02 G)
termasuk ke dalam oil prone dan gas prone dengan kategori baik sampai sempurna.

31
Sementara itu percontoh serpih bagian tengah (MH 02 H-MH 02 Q) termasuk ke
dalam level oil prone dan gas prone dengan kategori kurang baik sampai sempurna.

Gambar 5.7. Diagram TOC terhadap Pyrolysis Yields (PY) yang menunjukkan
potensi hidrokarbon di daerah penelitian

Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa serpih bagian bawah dan
atas dari Formasi Kelesa bagian atas menunjukkan potensi serpih yang baik sampai
sempurna. Kandungan material organik sangat erat hubungannya dengan tipe
kerogennya yaitu pada percontoh serpih bagian atas dan bawah memperlihatkan
tipe kerogen I dan II yang didominasi oleh kelompok maseral liptinit dan vitrinit
yang merupakan faktor dominan pada serpih di daerah penelitian. Sementara itu
pada bagian tengah lapisan serpih memperlihatkan adanya kandungan liptinit yang
lebih banyak daripada vitrinit yang kurang berkembang di bagian bawahnya.
Kandungan vitrinit berasal dari tumbuhan tinggi dan bukan tumbuhan tinggi yang
berasal dari darat, sehingga dapat dijelaskan bahwa pada saat proses pengendapan
serpih bagian tengah terjadi suplai vitrinit yang sangat minim atau material asal
darat sangat sedikit dan hampir didominasi oleh maseral liptinit yang merupakan
produk dari material organik dari dalam cekungan itu sendiri seperti alga seperti
jenis Botryococcus braunii yang berkembang di lingkungan lakustrin.

32
5.4. Korelasi Antara Material Organik dengan Tipe Kerogen
Tipe kerogen dari percontoh serpih bagian atas dan bagian bawah pada lapisan
serpih Formasi Kelesa bagian atas termasuk ke dalam tipe kerogen I dan II,
sedangkan percontoh serpih bagian tengah memperlihatkan bahwa serpih termasuk
ke dalam tipe kerogen I dan III (Gambar 5.6). Namun hanya dua percontoh (MH 02
J dan MH 02 H) yang termasuk ke dalam tipe kerogen III.
Berdasarkan tipe material organiknya terlihat serpih bagian atas dan bawah
lebih didominasi oleh kelompok maseral liptinit meskipun pada kedua bagian
tersebut liptinit dan vitrinit hadir. Sementara itu, pada bagian tengah kehadiran
kelompok maseral vitrinit sangat minim juga jika dibandingkan dengan liptinit.
Berdasarkan hal tersebut dapat dijelaskan bahwa percontoh serpih dari Formasi
Kelesa bagian atas lebih cenderung termasuk ke dalam tipe kerogen I dan II. Tipe
kerogen I dan II mempunyai kecenderungan menghasilkan minyak lebih banyak
dari pada gas, sehingga serpih tersebut cenderung akan menghasilkan minyak dari
pada gas.
Gambar 5.8 memperlihatkan distribusi maseral vitrinit dan liptinit yang
mempunyai kecenderungan adanya perbedaan yang cukup signifikan. Secara
vertikal distribusi vitrinit terlihat tidak merata sementara itu kandungan maseral
liptinit lebih terlihat lebih merata. Kandungan liptinit terlihat lebih banyak
dibandingkan dengan vitrinit pada setiap percontohnya kecuali pada beberapa
percontoh yang berada pada bagian bawah profil. Percontoh NS 29 Q1, NS 29 M
dan NS 29 L menunjukkan kondisi yang berbeda yaitu ketiga percontoh tersebut
mempunyai kandungan vitrinit yang lebih besar kelimpahannya dibandingkan
dengan kandungan liptinit tetapi mempunyai tipe kerogen tipe I. Kandungan
hidrokarbon tidak hanya ditentukan unsur organik dalam hal ini liptinit dan vitrinit
saja tetapi kandungan hidrogen yang ada pada batuan sedimen tersebut. Kandungan
S2 ketiga percontoh tersebut cenderung menunjukkan jumlah yang tinggi (Tabel
5.2), sehingga mempengaruhi nilai Hidrogen Indeks (HI) yang ada. Nilai HI
tersebut cenderung memberikan implikasi terhadap tipe kerogen, karena nilai yang
semakin tinggi cenderung termasuk ke dalam kerogen tipe I atau II. Kandungan
hidrokarbon tidak hanya ditentukan oleh material organik saja tetapi oleh
kandungan hidrogen yang ada, sehingga kelompok maseral yang merupakan

33
material organik tidak merupakan faktor penentu utama dalam menentukan
kandungan hidrokarbon. Hidrokarbon tersusun oleh kandungan unsur C dan H,
unsur C diwakili oleh material organik dan unsur H merupakan kandungan hidrogen
yang bisa diwakili oleh nilai indeks hidrogen dalam batuan sehingga ada dua hal
utama yang menentukan kandungan hidrokarbon yaitu unsur C dan H.

Gambar 5.8. Kandungan maseral vitrinit, liptinit dan TOC pada lapisan serpih di
lokasi penelitian

Berdasarkan hasil analisis petrografi organik ternyata bahwa serpih Formasi


Kelesa bagian atas tersusun oleh material organik berupa maseral liptinit dan
vitrinit. Hasil analisis TOC dan Rock-Eval Pyrolisis (REP) memperlihatkan secara
vertikal kandungan karbon terlihat sangat fluktuatif kadang menunjukkan
kehadiran yang melimpah kadang sedikit. Perbandingan antara nilai TOC dan

34
Indeks Hidrogen terlihat adanya suatu kesamaan pola secara vertikal pada
penampang stratigrafi. Ketika nilai TOC besar terlihat juga nilai indeks
hidrogennya besar juga. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan karbon sangat
mempengaruhi nilai indeks hidrogen.
Perbandingan pola kelimpahan secara vertikal antara maseral liptinit dengan
TOC terlihat adanya kemiripan yang signifikan. Pola yang agak mirip ini bisa
mencerminkan bahwa karbon organik total dari serpih Formasi Kelesa bagian atas
tersebut didominasi oleh kelimpahan liptinit. Kehadiran maseral vitrinit sangat erat
hubungannya dengan kerogen tipe III.

Gambar 5.9. Profil variasi nilai Hidrogen Indeks (HI, mg HC/g C) dengan
Oksigen Indeks (OI, mg CO2 /g C) pada serpih di daerah Kuburan
Panjang

35
Hubungan antara TOC dengan liptinit dan vitrinit, yang menunjukkan liptinit
mempunyai kandungan lebih dominan daripada vitrinit tersaji dalam Gambar 5.8.
Lebih lanjut, hubungan antara kandungan material organik dengan sifat geokimia
terutama indeks hidrogennya terlihat pada Gambar 5.9. Dalam gambar tersebut
kandungan HI hampir mempunyai pola yang sama dengan kandungan liptinit yaitu
pada percontoh MH 02 Q, MH 02 O, MH 02 I, MH 02 G, MH 02 E dan MH 02 D.
Sementara itu kehadiran vitrinit tidak begitu memperlihatkan hubungan yang
signifikan. Sehingga nilai indeks hidrogen dalam percontoh serpih Formasi Kelesa
mempunyai hubungan yang signifikan dengan kandungan liptinit.
Berdasarkan hasil analisis petrografi organiknya (Tabel 5.1 dan Gambar 5.8)
bisa dijelaskan bahwa nilai TOC yang terkandung dalam serpih Formasi Kelesa
bagian atas dipengaruhi oleh kehadiran liptinit dan vitrinit. Liptinit memperlihatkan
kondisi lebih mendominasi dari kandungan material organik dalam serpih. Secara
umum bisa dijelaskan bahwa hubungan antara jenis material organik dengan tipe
kerogen terlihat dari kandungan liptinit yang sangat berkaitan dengan terbentuknya
kerogen tipe I dan II, sementara itu kerogen tipe III sangat berhubungan dengan
kandungan vitrinit. Hidrogen merupakan unsur yang bisa mempengaruhi tipe
kerogen ketika disatukan dengan jenis material organiknya.

36
BAB VI
KESIMPULAN

6.1. Kesimpulan
Kehadiran kelompok maseral vitrinit dan liptinit pada lapisan serpih tidak
mutlak mempengaruhi tipe kerogen serpih, tetapi bersama dengan kandungan
hidrogen menjadi faktor yang mempunyai hubungan terhadap tipe kerogen.
Terdapat pola yang fluktuatif, dan memiliki perbedaan kelimpahan antara
kelompok maseral tersebut yang tersusun oleh kelompok maseral vitrinit dan
liptinit. Tipe kerogen pada lapisan serpih Formasi Kelesa bagian atas terbagi
menjadi tipe kerogen I, II, dan III. Kelimpahan kelompok maseral liptinit dan
vitrinit mempunyai hubungan terhadap tipe kerogen, karena kelimpahan liptinit
cenderung berhubungan dengan tipe kerogen I dan II, sedangkan vitrinit
mempunyai hubungan dengan tipe kerogen III.

6.2. Saran
Jurnal ini telah memberikan gambaran tentang peran kelompok maseral liptinit
dan vitrinit terhadap kualitas lapisan serpih Formasi Kelesa bagian atas di daerah
Kuburan Panjang, Riau. Untuk meningkatkan akurasi dalam interpretasi, analisis,
dan pemodelan. Dapat menambahkan beberapa metode yang digunakan untuk
melengkapi data hasil analisis petrologi organik meliputi:
1. Metode Scanning Electron Microscope (SEM) untuk memberikan gambaran
lebih jelas visualisasi dari asosiasi komponen bahan organik dan anorganik,
terutama untuk bahan sangat kecil dan tidak dapat dilihat dengan mikroskop
cahaya sinar pantul
2. Gas Chromatography-Mass Spectrometry untuk mengetahui biomarker dan
asal bahan organik
3. X-ray Fluorescence untuk mengetahui komposisi geokimia unsur jejak bahan
anorganik dalam batuan

37
DAFTAR PUSTAKA

Bordenave, M.J., (Ed.) 1993, Applied Petroleum Geochemistry, Éditions Technip,


Paris, 352 pp.

Clarke, M.C.G., 1982, Notes on a Geological traverse from Padang to Medan,


Sumatra, Unpublish Report, NSFP Rep. Ser. Vol. 4, No. 4/83, Directorate
of Mineral Resources, Bandung, Indonesia, 11/10/83.

Dawson, W.C., Yarmanto, Sukanta, U., Kadar, D., dan Sangree, J.B., 1997,
Regional Sequence Stratigraphy Correlation Central Sumatra, PT.
Chevron Pasific Indonesia, tidak dipublikasikan.

Demaison, G., 1984, The generative basin concept, in G. Demaison dan R.J. Murris,
eds., Petroleum Geochemistry and Basin Evaluation: AAPG Memoir 35, h.
1-14.

Eubank, R.T., Makki, A.C., 1981, Structural Geology of the Central Sumatera
Back-arc Basin, Indonesian Pet. Assoc., 10th Annual Convention
Proceeding.

Harvey, R.D., and Ruch, R.R., 1986, Mineral matter in Illinois and other US coals,
In Vores, K.S. (Ed.), Mineral matter and ash in coal, American Chemical
Society Symposium, pp. 343-349.

Heidrick, T. L., and Aulia, K., 1993, A Structural and Tectonic Model of The
Coastal Plains Block, Central Sumatra Basin, Indonesia, 22nd Annual
Convention, V. 1, IPA Proceedings, Jakarta.

Hermiyanto, H., Panggabean, H., Herdamawan dan Syafri, I., 2015, Dinamika
Kehadiran Material Organik Pada Lapisan Serpih Formasi Kelesa di
Daerah Kuburan Panjang, Cekungan Sumatra Tengah, Riau, Jurnal
Geologi dan Sumberdaya Mineral, V. 16, no. 4, 171 - 181.

Heryanto, R., dan Hermiyanto, M.H., 2006, Potensi Batuan Sumber (Source
Rock) Hidrokarbon di Pegunungan Tigapuluh, Sumatra Tengah, Jurnal
Geologi Indonesia, v. 1, no. 1, 37-48.

ICCP (International Committee for Coal Petrology), 1998, The new vitrinite
classification (ICCP System 1994), Fuel 77, 349–358.

ICCP (International Committee for Coal Petrology), 2001, The new inertinite
classification (ICCP System 1994), Fuel 80, 459–471.

38
Iqbal M., Suwarna N., Syafri I., and Winantris., 2014, Eo-Oligocene Oil Shales
of the Talawi, Lubuktaruk, and Kiliranjao Areas, West Sumatra: Are they
potential source rocks?, Indonesian Journal on Geoscience v. 1, no. 3,
135-149.

Ju, Y.W., Wang, G., Bu, H., Li, Q., Yan, Z., 2014, China Organic Rich Shale
Geologic Features and Special Shale Gas Production Issues, Journal of
Rock Mechanics and Geotechnical Engineering, v. 6, 196-207.

Killops, S., dan Killops, V., 2005, Introduction to Organic Geochemistry,


Second Edition, Blackwell Science Ltd, a Blackwell Publishing
company.

Kurtubi, 2007, ”Kebangkitan kembali Industri Migas Nasional?”, Kumpulan


Makalah Seminar Geologi, Industri Migas Saat Ini, Masa Depan dan
Problematikanya, Aula Barat ITB, Bandung.
Law, C., 1999, Evaluating Source Rocks, AAPG Treatise of Petroleum, Geology
Handbook of Petroleum Geology, Bab 6, Beaumont.

Mackowsky, M.T., 1982, Minerals and trace elements occurring in coal, in Stach's
textbook of coal petrology, third revised and enlarged edition: Berlin,
Gebruder Borntraeger, p. 153-171.

McCarthy, K., Rojas, K., Niemann, M., Palmowski, D., Peters, K., dan
Stankiewicz., 2011, Basic Petroleum Geochemistry for Source Rock
Evaluation, Oilfield Review Summer, 23 no. 2, Schlumberger,
Cambridge, Massachusetts, USA.

Mertosono, S., Nayoan, G.A.S., 1974, The Tertiary Basin Area of Central Sumatra,
Indonesian Pet. Assoc., 3th Annual Convention Proceeding, hal. 63-76.

Patra, E., 2014, Geologi daerah Kuburanpajang dan Sekitarnya, Kabupaten


Indragiri Hulu, Riau, Skripsi pada Institut Teknologi Bandung, (tidak
dipublikasikan).

Peters dan Cassa, 1994, Applied Source Rock Geochemistry, Magoon, L.B., and
Dow W.G., eds, 1994, The Petroleum system-from source to trip AAPG
memoir 60, 93-119.

Priyono, R., 2007, Industri Migas Nasional, Kumpulan Makalah Seminar Geologi,
Industri Migas Saat Ini, Masa Depan dan Problematikanya, Aula Barat ITB,
Bandung.

Silitonga, P.H., dan Kastowo, 1995, Geologi Lembar Solok, Sumatra, skala
1:250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Simandjuntak, T.O., Buditrisna, T., Surono, Gafoer, S., and Amin, T.C., 1994, Peta
Geologi Lembar Muarabungo, Sumatera, skala 1:250.000, Pusat Penelitian
Pengembangan Geologi, Bandung.

39
Susanto, E., Suwarna, N., dan Hermiyanto, H., 2004, Penelitian Fosil Fuel dan
Paleontolog, Kajian Oil Shale, di Sumatra Bagian Tengah, Laporan
Internal, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

Suwarna, N., Budhtrisna, T., Santosa, S., dan Andi Mangga, S., 1994,
Geological Map of the Rengat Quadrangle, Sumatra, scale 1:250.000.
Geological Research and Development Centre, Bandung.

Sykorova, I., Pickel, W., Christanis, K., Wolf, M., Taylor, G.H., and Flores, D.,
2005, Classification of Huminite-ICCP System, International Journal of
Coal Geology, pp. 85-106.

Taylor, G.H., Teichmuller, M., Davis, A., Diessel, C.F.K., Littke, R., and
Robert, P., 1998, Organic Petrology, p 178. D.C Glick, Berlin; Stuttgart:
Borntraeger.

Tissot B., Welte D., 1984, Petroleum formation and occurrence. Springer-Verlag,
Berlin, 699 pp. [A text on mechanisms of organic matter transformation at
depth and on accumulation processes].

Waples, D.W., 1985, Geochemistry in Petroleum Exploration, Brown and Ruth


Labotaries, Inc. Denver, Colorado.

Ward, C.R., 2016, Analysis, Origin and Significance Mineral Matter in Coal:
An Update Review, International Journal of Coal Geology 165, 1 – 27.

Widayat, A. H., 2011, Paleoenvironmental and Paleoecological Change during


Deposition of the Late Eocene Kiliran Oil Shale, Central Sumatra Basin,
Indonesia, Dissertation, The Faculty of Geosciences/Geography of the
Johann Wolfgang Goethe University in Frankfurt am Main.

Yarmanto, Dardji Noeradi, Hendar, 2010, Telisa Deposition Model In The Central
Sumatera Basin, Indonesian Petroleum Association, Proceedings of the 34th
Annual Convention, Jakarta, 2010.

Yarmanto, Heidrick, T.L., Indrawardana, & Strong, B.L., 1995, Tertiary


Tectonostratigraphic Development of the Balam Depocenter, Central
Sumatera Basin, Indonesia, Indonesian Pet. Assoc., 24th Annual Convention
Proceeding.

Zhang, D.W., Li Y.X., Zhang J.C., Qiao D.W., Jiang W.L., dan Zhang J.F., 2012,
National Survey and Assesment of Shale Gas Resources Potential in
China, Beijing: Geologic Publishing House in Chinese.

40
LAMPIRAN

41
Lampiran 1. Peta geologi lembar Rengat (Suwarna drr., 1994)

Lampiran 2. Foto singkapan pada Formasi Kelesa

42
Lampiran 3. Struktur lembaran serpih di Sungai Puti Kayu

Lampiran 4. Singkapan serpih di Sungai Puti Kayu, Kuburan Panjang, Riau

Lampiran 5. Singkapan serpih di bagian atas di Sungai Puti Kayu

43

Anda mungkin juga menyukai