Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Attention Deficit / Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah gangguan

neurodevelopmental yang paling umum didiagnosis di antara anak-anak usia

sekolah. Gangguan ini ditandai oleh kesulitan memusatkan perhatian disertai

hiperaktivitas dan impulsivitas, yang muncul sebelum usia 12 tahun, minimal

dalam 2 setting tempat yang berbeda, misalnya di rumah dan di sekolah (Andrés

Martin et al., 2018).

Prevalensi ADHD di dunia berkisar antara 2% hingga 7%, dan rata-rata

sekitar 5% diantara anak-anak (Sayal et al., 2018), dan 60% diantaranya bisa

berlanjut hingga dewasa. Tinjauan literatur serta studi longitudinal individu

dengan ADHD mengungkapkan gejala ADHD dapat bertahan hingga dewasa.

Penelitian telah menunjukkan bahwa orang dewasa sering mengalami ADHD

mengeluh kesulitan psikologis dan psikososial yang dapat mengganggu fungsi,

kesejahteraan, dan kualitas hidup yang berhubungan dengan kesehatan di masa

dewasa Dibandingkan dengan orang dewasa tanpa ADHD, orang dewasa dengan

ADHD memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan depresi, kecemasan,

penyalahgunaan zat, perilaku anti-sosial, menurunkan status sosial ekonomi

karena terkait pekerjaan stress (Watters et al, 2017).

1
Diagnosis ADHD lebih merupakan diagnosis fenomenologis daripada

etiologis, sebab banyak faktor yang terlibat dan diduga menjadi etiologi, namun

bermanifestasi sebagai gejala yang sama. Predisposisi genetik tentu saja

merupakan kausa utama, namun beberapa faktor lingkungan dicurigai sebagai

faktor risiko ADHD (Andrés Martin et al., 2018).

Faktor lingkungan ikut memberikan kontribusi terhadap ADHD, termasuk

diantaranya adalah zat aditif pada makanan, kontaminasi zat kimia (Perera et al.,

2018) paparan rokok dan alkohol, serta kebiasaan merokok pada ibu selama

kehamilan, komplikasi persalinan dan berat badan lahir rendah. Banyak

penelitian baru-baru ini secara khusus menguji hubungan antara ADHD dan

faktor-faktor tersebut (Gould et al., 2018).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

ADHD merupakan singkatan dari Attention Deficit Hyperactivity

Disorder (Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hyperactivity =

hiperaktif, dan Disorder = gangguan). Atau dalam bahasa Indonesia, ADHD

berarti Gangguan Pemusatan Perhatian disertai Hiperaktif. (Wahidah, 2018)

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah kondisi

neurobiologikal yang dicirikan dengan gejala dari kurangnya perhatian,

hiperaktivitas, dan tindakan yang impulsif merupakan gangguan kejiwaan

yang paling umum di antara anak- anak dan dewasa. Beberapa literatur juga

menyebutkan bahwa gejala ADHD pada anak dapat bertahan sampai dewasa.

Umumnya penderita dewasa dengan ADHD mengalami komorbiditas yang

tinggi. 3 diantara 4 pasien setidaknya memiliki 1 atau lebih co-morbid

psychiatric disorder. (Hoeffding et all, 2018)

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah suatu

kondisi kesehatan yang kompleks dengan karakteristik ketidakmampuan

untuk mengumpulkan dan mempertahankan perhatian, memodulasi tingkat

aktivitas, dan tindakan impulsif moderat. ADHD merupakan sindrom kronik

yang secara negatif dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari, termasuk

3
kegiatan di rumah, hubungan interpersonal, dan pembelajaran di sekolah

(Aprilia dan Oktaria, 2017).

Penderita ADHD memiliki kesulitan dalam memusatkan perhatian,

berkonsentrasi, menangani aktivitas berlebih (contoh: mengantri) dan

bertindak tanpa berpikir (impulsif). Pada dewasa ADHD secara signifikan

berdampak pada interaksi sosial, pendidikan dan pekerjaan. (Lopez PL et al,

2018)

Dewasa dengan ADHD seringkali mengeluhkan kesulitan dalam

psikologikal dan psikososial yang dapat mengganggu keaktifan, kesejahteraan

atau ketenangan dan kesehatan. Dibandingkan dengan dewasa tanpa ADHD,

dewasa dengan ADHD memiliki risiko tinggi untuk mengalami depresi,

kecemasan, penyalahgunaan obat-obatan, perilaku anti sosial, status sosial

ekonomi yang rendah yang disebabkan oleh stress akibat pekerjaan,

berkurangnya kemampuan dalam bekerja yang disebabkan karena kesulitan

berkonsentrasi, meningkatnya kemarahan dan meningkatkan risiko kecelakaan

lalu lintas. (Fiona Mcnicholas et al, 2017)

B. Epidemiologi

Prevalensi ADHD di dunia berkisar antara 2% hingga 7%, dan rata-

rata sekitar 5% diantara anak-anak dan 60% diantaranya bisa berlanjut hingga

dewasa. (Sayal et al., 2018)

4
Menurut American Psychiatric Association, terdapat sekitar 3-7% dari

populasi anak usia sekolah yang menderita ADHD dan 2- 4% dari populasi

orang dewasa. (Aprilia dan Oktaria, 2017).

Di Indonesia belum ada data pasti mengenai jumlah penderita ADHD.

Beberapa penelitian yang dilakukan di beberapa kota di Indonesia

menunjukkan bahwa prevalensi ADHD di Padang, Semarang dan Manado

secara berturut-turut adalah 8%, 19,6% dan 11,5% (Novita dkk, 2019)

Prevalensi rata rata di seluruh dunia dari attention deficit hyperactivity

disorder (ADHD) pada orang dewasa (usia 18-44 tahun) dari berbagai negara

di Asia, Eropa, Amerika dan Timur Tengah dilaporkan 2,8 % secara

keseluruhan prevalensi terendah dilaporkan di Irak (0,6 %), Romania (0,6 %)

dan tertinggi dilaporkan di Prancis Irak (7,3 %). ADHD lebih sering

didiagnosis pada pria dewasa dibandingkan dengan wanita dewasa. (Fayyad J

et al. 2017)

Setelah dianggap sebagai gangguan masa kanak – kanak, ADHD

sekarang diakui bertahan hingga dewasa di 50 – 65 % individu. Gejala yang

bertahan hingga dewasa dari waktu ke waktu mungkin termasuk keparahan

gejala, kesulitan psikososial dan komorbiditas psikiatrik. Tingkat ADHD yang

dilaporkan dapat bervariasi karena karakteristik populasi, perbedaan

metodologi, lingkungan dan budaya dan variabilitas dalam identifikasi dan

alat pedoman diagnostic yang digunakan dalam penelitian (ADHD Institute,

2017)

5
C. Etiologi

Etiologi dari ADHD masih belum jelas sampai saat ini. Diperkirakan

terdapat hubungan antara genetik dan faktor neurologikal yang memainkan

peran penting dalam terjadinya ADHD. Faktor lain yang dikatakan memiliki

kontribusi dalam menyebabkan ADHD adalah sebagai berikut:

1. Faktor Biologi

Diet, kontaminasi rokok dan alkohol, merokok saat hamil dan berat bayi lahir

rendah (BBLR) dipercaya dapat mengarahkan kepada gejala ADHD. Namun

bukan termasuk penyebab utama dari ADHD. Kehamilan dan komplikasi saat

melahirkan merupakan predisposisi terhadap ADHD.

2. Faktor Psikologis

Konflik kronis dalam keluarga, kohesi keluarga yang menurun, dan paparan

terhadap psikopatologi orang tua (terutama ibu) banyak ditemukan pada

keluarga ADHD dibandingkan pada keluarga normal. Saat ini masih belum

jelas apakah paparan kekerasan saat masa kecil merupakan faktor risiko dari

ADHD

3. Faktor genetik

Genetik sangat dipercaya memainkan peran penting terhadap terjadinya

ADHD. Berdasarkan dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, rata-rata

faktor genetik mempengaruhi terjadinya ADHD adalah sebesar 77%.

Beberapa regio kromosom yang sering terlibat dalam manifestasi klinis

6
ADHD antara lain kromosom 5p12, 10q26, 16p13, 15q15, 7p13, 9q33, 8q12,

11q23, 4q13, 17p11, 12q23, dan 8p23. (Andres Martin et al, 2018)

Neurotransmiter merupakan suatu kimiawi yang digunakan untuk

mengantarkan pesan antara sel-sel otak. 2 neurotransmiter itu dikenal sebagai

noradrenaline dan dopamine. Dalam keadaan normal, 2 neurotransmiter ini

menghubungkan korteks prefrontal dan basal ganglia. Pada ADHD, level

neurotransmitter ini berubah sehingga mengacaukan koneksi pada otak. Hal

ini menyebabkan penderita ADHD sulit berkonsentrasi atau memusatkan

perhatian.

D. Neurobiologi ADHD

Kajian sejumlah publikasi ilmiah menemukan bahwa individu dengan

ADHD mengalami disregulasi proses neurogenesis, mulai proses proliferasi,

migrasi, hingga synaptogenesis. Disregulasi ini melibatkan sejumlah

abnormalitas gen yang mengkode substrat moleculer yang diperlukan selama

proses neurogenesis. (Dark et al, 2018)

Gejala ADHD dikaitkan dengan gangguan fungsi di beberapa area

otak. Masalah dengan perhatian selektif pada ADHD diyakini terkait dengan

pemrosesan informasi yang tidak efisien dalam korteks singulata dorsal

anterior (dACC), sementara masalah dengan perhatian berkelanjutan terkait

dengan pemrosesan informasi yang tidak efisien di dorsolateral prefrontal

7
cortex (DLPFC). Gejala hiperaktif pada ADHD dimodulasi oleh korteks

motoric prefrontal, sedangkan gejala impulsivitas dimodulasi oleh korteks

motoric prefrontal, sedangkan gejala impulsivitas dimodulasi oleh

orbitofrontal cortex (OFC). (Dark et al, 2018)

Manifestasi klinis ADHD ditengarai merupakan gangguan dari

inefisiensi “tuning” neurotransmitter dopamine dan norepinefrin di cortex

prefrontal. Gangguan neurokimiawi pada ADHD tidak sesederhana hipotesa

bahwa telah terjadi kekurangan neurotransmitter dopamin (DA) dan

norepinefrin (NE) di celah sinaps. Faktanya, pemberian obat agonis dopamin

tidak meredakan gejala ADHD. Hiperaktivitas dan hipoaktivitas dari system

katekolamin diduga menyebabkan munculnya serangkaian gejala pada

ADHD. Pada kondisi hipoaktif, rilis DA dan NE yang berkurang

menyebabkan insufisiensi aktivasi pada reseptor pasca sinaps. Hal ini

menyebabkan munculnya simtom impueelsive dan perhatian yang mudah

terdistraksi. (Martin et al, 2018)

Pada kondisi yang stressful, terjadi penurunan tonic pool, sehingga

mekanisme inhibisi potensial aksi pada neuron pre sinaps menjadi terhambat.

Hal ini menyebabkan DA/NE dirilis dalam jumlah yang eksesif, dan

memunculkan hiperaktivitas dan disorganisasi perilaku pada individu dengan

ADHD. Beberapa studi mengindikasikan individu dengan ADHD memiliki

polimorfisme reseptor dan transporter dopamin yang menyebabkan rendahnya

8
sensitivitas reseptor dopamin pasca sinaps dan peningkatan kecepatan

reuptake dopamin. (Ghosh et al, 2017)

E. Dampak ADHD pada Dewasa

1. Kurangnya perhatian dan kesulitan berkonsentrasi

Kesulitan dalam memusatkan perhatian dan lemahnya daya konsentrasi

dapat dilihat dari sulitnya penderita ADHD dalam melakukan tugas sehari-

hari seperti membaca, menonton televise, menulis, mudah melupakan

sesuatu dan multitasking atau melakukan beberapa tugas secara

bersamaan. Seringnya pada dewasa, tuntutan dalam kehidupan menjadi

lebih kompleks dan yang diharapkan memiliki tanggung jawab dan

kemandirian, menjadi lebih sulit karena dewasa dengan ADHD memiliki

kesulitan dalam memusatkan perhatian dan konsentrasi yang dibutuhkan

dalam pekerjaan. Beberapa penderita dewasa dengan ADHD juga

mengatakan bahwa mereka sering membandingkan tingkat konsentrasi

mereka dengan orang lain dan menyadari dampak yang mereka rasakan.

Beberapa kalimat yang sering diucapkan diantaranya “saya sudah

mencoba menonton televisi dan mempelajari sesuatu yang baru, namun

saya tidak dapat berkonsentrasi seperti orang lain”, tingkat konsentrasi

saya membuat saya menunda pekerjaan, sehingga pekerjaan saya tidak

selesai tepat waktu dibandingkan kebanyakan orang”, “saya tidak bisa

memusatkan pikiran saya selama orang-orang pada umumnya, sehingga

saya tertinggal saat berada di universitas”.

9
2. Hiperaktivitas dan Impulsif

Penderita melaporkan kesulitan yang berkaitan dengan hiperaktivitas dan

impulsifitas dan kecenderungan untuk melakukan sesuatu tanpa didahului

proses berpikir sehingga menjadi tidak terkontrol, tidak dapat

menyelesaikan tugas, serta konsekuensi masa depan yang buruk.

Sebagai contoh kalimat yang menggambarkan penderita ADHD, “banyak

sekali pekerjaan yang hanya saya kerjakan sebanyak 80% dan

meninggalkan 20% sisanya, saya menghindari pekerjaan itu dan

melakukan hal lain”, “saya merasa tidak memiliki filter terhadap apa yang

saya katakan, saya hanya duduk dan mencoba tidak mengatakan semua

yang ada dikepala saya”.

3. Limited possibilities

Penderita menjelaskan bagaimana gejala dan kesulitan yang mereka

rasakan menimbulkan rasa kehilangan potensi “itu akan menghentikan

saya melakukan suatu pekerjaan dimana saya harus menyimpan suatu

informasi karena saya merasa gugup, juga karena saya tahu itu tidak akan

bertahan”, “saya selalu kehilangan fokus dalam mengerjakan pekerjaan

atau saya tidak suka melakukan pekerjaan yang sama berulang kali dan

saya merasa itu membosankan”.

10
Partisipan menjelaskan bagaimana mereka merasa gagal dalam memenuhi

potensi yang mereka miliki, bahkan disaat mereka tahu mereka dapat

melakukannya dengan baik, “saya tidak melakukan pekerjaan saya dengan

baik seperti yang seharusnya saya lakukan karena saya tahu saya dapat

mengerjakannya dengan lebih baik. Jika tidak, secara otomatis saya akan

terlihat memiliki performa yang buruk sehingga saya akan menempatkan

diri saya dibawah tekanan.

Partisipan merefleksikan atau merenungkan masa kecil mereka dan

bagaimana gejala yang tidak terdiagnosis dapat membatasi kesempatan

edukasional sejak usia dini, “saya seharusnya sungguh-sungguh belajar

sesuatu tapi kemudian hal itu pergi. Dan hal itu membuat saya kesal dan

saya tidak mengerti”.

F. Kriteria Diagnostik

Diagnostic & Statistical of Mental Disorder 5th Edition dari American

Psychiatric Association, menyebutkan ciri penting dari ADHD adalah pola

persisten dari kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas serta impulsivitas

yang mengganggu fungsi atau perkembangan. Diagnosis ADHD didasarkan

pada riwayat klinis yang bisa didapatkan dari wawancara dengan pasien dan

orangtua.

Dalam mendiagnosis ADHD, kita mengenal yang namanya Diagnostic

and Statustical Manual of Mental Disorders (DSM). Terdapat perkembangan

11
pemahaman mengenai ADHD dari tahun ke tahun, hingga sampai ke DSM-IV

yang sekarang umum digunakan. DSM-IV membagi ADHD kedalam 3 tipe,

yaitu lalai (inattentive), hiperaktif-impulsif, dan gabungan keduanya. Kriteria

dari tiap tipe DSM-IV membutuhkan 6 - 9 gejala di setiap kategorinya. Tipe

gabungan adalah yang paling sering yaitu sekitar 50%-70% dari seluruh

jumlah penderita ADHD, diikuti tipe lalai 20%-30%, dan tipe hiperaktif-

impulsif <15%.

Individu dengan ADHD di tingkat perguruan tinggi mengakui

mengalami kesulitan dalam akademik dan fungsi sosial di lingkungan

perguruan tinggi. Fungsi psikologis, atensi, dan fungsi kognitif mempengaruhi

sedikit banyaknya prestasi akademik individu dengan ADHD. Gejala ADHD

dan fungsi kognitif yang buruk secara tidak langsung memprediksi kinerja

sekolah dan prestasi akademik yang buruk.

Continuous Performance Test (CPT) adalah salah satu tes yang paling

sering digunakan untuk menilai atensi dan kewaspadaan dan relevan dalam

mengidentifikasi ADHD. CPT yang abnormal ditemukan pada orang dewasa

dan anak-anak yang menderita ADHD.

Orang dewasa dengan tipe ADHD gabungan memiliki tingkat

perkembangan ke gangguan perilaku, gangguan bipolar, dan psikosis yang

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang memiliki tipe lalai dan

hiperaktif-impulsif. Individu dengan ADHD tipe gabungan juga memiliki

12
lebih banyak gangguan kejiwaan dan penyalahgunaan obat-obatan dan hal ini

merupakan gangguan yang paling umum terjadi.

Masalah atensi juga berhubungan dengan prestasi akademik dari

individu dengan ADHD. Terdapat berbagai faktor lain yang dapat

mempengaruhi atensi, yaitu:

1. Jenis kelamin

Lelaki cenderung memiliki masalah antensi lebih banyak

dibandingkan perempuan, begitu juga dengan defisit membaca, dan

masalah kelancaran bicara.

2. IQ

Beberapa penelitian mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara

kinerja IQ dengan masalah atensi dan ADHD.

3. Tingkat ekonomi

Anak-anak dari keluarga yang berpenghasilan rendah seringkali masuk

sekolah dengan keterampilan akademis yang rendah dan kesenjangan

ini dapat meningkat selama masa kanak-kanak.

Diagnosis ADHD tipe gangguan pemusatan perhatian (menurut DSM

IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala gangguan pemusatan perhatian

untuk waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala hiperaktivitas

serta dimulai sebelum usia 7 tahun.

13
1. Seringkali gagal dalam memperhatikan dalam suatu detail dan membuat

kesalahan dalam pekerjaan serta kegiatan-kegiatan lain.

2. Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian dalam

berfikir.

3. Seringkali tidak mendengarkan jika diajak berbicara secara langsung.

4. Seringkali tidak mengikuti dengan baik instruksi dan gagal dalam

menyelesaikan pekerjaan atau tugas ditempat kerja.

5. Seingkali mengalami kesulitan dalam menjalankan tugas dan kegiatan

6. Sering kehilangan barang atau benda penting

7. Seringkali menghindar, tidak menyukai atau enggan melaksanakan dan

menyelesaikan pekerjaan

8. Sering terganggu oleh rangsangan dari luar

9. Sering lupa dalam melakukan kegiatan sehari-hari

Diagnosis ADHD tipe hiperaktivitas dan impulsivitas (menurut DSM

IV) ditegakkan bila minimal ada 6 gejala hiperaktivitas dan impulsivitas untuk

waktu minimal 6 bulan dan didapat kurang dari 6 gejala gangguan pemusatan

perhatian dan dimulai sebelum usia 7 tahun.

1. Hiperaktivitas

a. Menggeliat saat duduk atau gelisah dengan tangan dan kaki

b. Tidak mampu untuk duduk saat berada di ruangan

c. Terlalu banyak bicara

14
d. Tidak mampu melaksakan aktivitas dengan tenang

e. Sering bergerak berlebihan seolah dikendalikan oleh motor

f. Gelisah dan sulit dikendalikan

2. Impulsivitas

a. Sering memberi jawaban sebelum pertanyaan selesai

b. Mengalami kesulitan dalam menunggu guliran

c. Menyela atau mengganggu percakapan dan aktivitas orang lain

d. Gejala hiperaktivitas, impulsivitas muncul sebelum usia 12 tahun

e. Terdapat suatu gangguan di dua atau lebih situasi

f. Harus ada gangguan yang secara klinis, didalam fungsi social,

akademik atau pekerjaan

g. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya skizofrenia atau

gangguan psikotik maupun gangguan mental lainnya.

Diagnosis ADHD tipe campuran (menurut DSM IV) ditegakkan bila

didapatkan 6 atau lebih gejala gangguan pemusatan perhatian dan

hiperaktivitasimpulsivitas yang terjadi 6 bulan terakhir, dimulai sebelum usia

7 tahun.

Diagnosis ADHD menurut DSM-5, sesuai dengan kriteria dibawah ini:

15
1. Setidaknya ditemukan 6 dari 9 gejala dan atau 6 dari 9 gejala

hiperaktivitas dan impulsivitas. Untuk usia 17 tahun atau lebih

cukup ditemukan 5 dari masing-masing gejala.

2. Beberapa gejala inatensi dan hiperaktif-impulsif muncul sebelum

usia 12 tahun

3. Gejala tersebut muncul pada minimal dua setting tempat yang

berbeda (missal di rumah dan di tempat kerja).

4. Didapatkan bukti bahwa pada gejala tersebut berpengaruh

menurunkan kualitas fungsi sosial, akademis dan pekerjaan.

5. Gejala tersebut bukan merupakan gejala dari gangguan jiwa yang

lain.

Manifestasi klinis gejala-gejala tersebut dapat merupakan predominan

inatensif, predominan hiperaktif-impulsif, atau kombinasi dari keduanya.

Berdasarkan fungsi sosial individu dengan ADHD, dapat dikelompokkan

menjadi ringan, sedang dan berat. (Frida Ayu, 2018)

G. Tatalaksana

a. Medikamentosa

Pengobatan merupakan lini pertama ADHD pada orang dewasa yang

diberikan pada gangguan sedang hingga berat.

16
Perawatan obat dapat diklasifikasikan menjadi stimulan (methylphenidate,

dexamfetamine) dan non-stimulan (atomoxetine, clonidine, bupropion, dll.).

Stimulan bekerja segera dan dapat dititrasi lebih cepat. Mekanisme kerja

pengobatan ADHD melibatkan peningkatan ketersediaan dopamin dan atau

noradrenalin pada tingkat sinaptik, dengan non-stimulan memiliki onset aksi

yang tertunda mirip dengan antidepresan. (Boilson, Marie., et al. 2017)

1. Methylphenidate

Merupakan lini pertama pengobatan ADHD pada orang dewasa. Terutama

penghambat reuptake dopamin, dengan beberapa aksi noradrenalin dan

katekolamin lainnya.

Digunakan dengan cara di titrasi, menggunakan dosis yang terkecil hingga

respon yang memadai tercapai

Dosis awal 5 mg sekali atau dua kali sehari, meningkat menjadi tiga kali

sehari setelah seminggu. Dosis meningkat sekitar 10–15 mg per minggu

tergantung pada tolerabilitas.

Kontrol berat badan, tekanan darah, denyut nadi. (Boilson, Marie., et al.

2017)

2. Dexamfetamine

a. Alternatif jika Methylphenidate kurang optimal

b. Prinsip titrasi sama seperti methylphenidate (Boilson, Marie., et al.

2017)

3. Atomoxetine

17
a. Merupakan obat non stimulan yang diberikan pada orang dewasa yang

memiliki efek samping dari pengobatan stimulant

b. Penghambat reuptake noradrenalin

c. Efek samping biasanya dihindari dengan titrasi dosis bertahap, untuk

Misalnya dimulai dari 40 mg dan meningkat 20 mg per minggu.

d. Dosis di atas 80 mg belum menunjukkan manfaat tambahan. Beberapa

individu tidak bisa memetabolisme atomoxetine dan sensitif untuk

efek samping pada dosis rendah. Gagal hati akut dan bunuh diri efek

samping potensial yang jarang tetapi signifikan. Semua pasien harus

begitu diedukasi tentang gejala efek samping ini.

e. Pantau berat badan, tekanan darah dan denyut nadi pada awal,

setelahnya setiap perubahan dosis dan jangka panjang setiap 3 bulan,

dengan berat badan setiap 6 bulan. (Boilson, Marie., et al. 2017)

18
19
Table: Pengobatan ADHD pada orang dewasa

Pengobatan lainnya:

A. bupropion (Zyban) – dopamine and noradrenaline reuptake inhibitor

B. modafinil (Provigil) – dopamine reuptake inhibitor

C. clonidine – alpha agonist

D. nortriptyline or desipramine – potent inhibitors of noradrenaline reuptake.

Monitoring selama pengobatan

1. Berat badan

2. tekanan darah

3. detak jantung

4. pemantauan efek samping

Pengobatan secara psikososial

Pedoman klinis NICE CG72 merekomendasikan perawatan obat untuk ADHD

harus menjadi bagian dari program pengobatan yang komprehensif menangani

psikologis, perilaku, pekerjaan dan pendidikan kebutuhan.

20
Namun demikian, pendekatan menggunakan terapi perilaku-kognitif dan

strategi pembinaan dapat berguna dalam praktik sebagai tambahan pengobatan dan

dalam kasus di mana pengobatan merupakan kontraindikasi atau tidak ditoleransi.

Juga dipertimbangkan bahwa banyak pasien ADHD berpotensi mendapatkan

keuntungan dari dukungan praktis dan emosional yang ditawarkan kepada orang lain

pasien oleh tim kesehatan mental multidisiplin. Secara khusus, file masukan dari

terapis okupasi bisa sangat berguna dalam hal membantu pasien untuk menyusun

waktu mereka dan meningkatkan keterampilan organisasi, dan dalam membantu

akses ke pendidikan lebih lanjut atau pekerjaan. (Boilson, Marie., et al. 2017)

21
BAB III

PENUTUP

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) adalah kondisi

neurobiologikal yang dicirikan dengan gejala dari kurangnya perhatian,

hiperaktivitas, dan tindakan yang impulsif adalah gangguan kejiwaan yang paling

umum di antara anak- anak dan dewasa. Prevalensi ADHD di dunia berkisar antara

2% hingga 7%, dan rata-rata sekitar 5% diantara anak-anak dan 60% diantaranya bisa

berlanjut hingga dewasa.

Etiologi dari ADHD masih belum jelas sampai saat ini. Diperkirakan terdapat

hubungan antara genetik dan faktor neurologikal yang memainkan peran penting

dalam terjadinya ADHD. Ciri penting dari ADHD adalah pola persisten dari

kurangnya perhatian dan atau hiperaktivitas serta impulsivitas yang mengganggu

fungsi atau perkembangan. Diagnosis ADHD didasarkan pada riwayat klinis yang

bisa didapatkan dari wawancara dengan pasien dan orangtua.

Perawatan obat dapat diklasifikasikan menjadi stimulan (methylphenidate,

dexamfetamine) dan non-stimulan (atomoxetine, clonidine, bupropion, dll.). selain

obat-obatan dilakukan pendekatan menggunakan terapi perilaku-kognitif dan strategi

22
pembinaan dapat berguna dalam praktik sebagai tambahan pengobatan dan dalam

kasus di mana pengobatan merupakan kontraindikasi atau tidak ditoleransi.

DAFTAR PUSTAKA

ADHD institute, 2017. Epidemiology. ADHD affect people all ages, and prevalence

rate and symptom presentation varies between children, adolocents and

adults.

Aprilia, E. dan Oktaria, 2017. Kemampuan Akademik Penderita Attention Deficit

Hyperactivity Disorder (ADHD) pada Tingkat Perguruan Tinggi. Jurnal

Majority. Volume 7 Nomor 1

Fayyad J et al. Atten Defic Hyperact Disord 2017; 9: 47-65.

Hoeffding, L. K., 2018. Symptoms of ADHD are highly common in undiagnosed

adults – A cross-sectional study in a large population of Danes. Journal of

Psychiatry and Behavioral Sciences.

Novita, D. dkk, 2019. Hubungan Penggunaan Gadget (Smartphone) Dengan Suspek

Gangguan Pemusatan Perhatian Dan Hiperaktivitas Di SD Al Kautsar

Bandar Lampung. Majority. Volume 8. Nomor 1

23
Sayal, K. et al. (2018) ‘ADHD in children and young people: prevalence, care

pathways, and service provision’, The Lancet Psychiatry. Elsevier Ltd, 5(2),

pp. 175–186.

Wahidah, E. Y., 2018. Identifikasi dan Psikoterapi terhadap ADHD (Attention Deficit

Hyperactivity Disorder) Perspektif Psikologi Pendidikan Islam

Kontemporer. Millah: Jurnal studi Agama Volume 17. Nomor 2

Andrés Martin, E. et al. (2018) Lewis’s Child And Adolescent Psychiatry

AComprehensive Textbook Fifth Edition.

Gould, K. L. et al. (2018) ‘Gene-Environment Interactions in ADHD: The Roles of

SES and Chaos’, Journal of Abnormal Child Psychology. Journal of

Abnormal Child Psychology, 46(2), pp. 251–263.

Perera, F. P. et al. (2018) ‘Combined effects of prenatal exposure to polycyclic

aromatic hydrocarbons and material hardship on child ADHD behavior

problems’, Environmental Research. Elsevier Inc., 160(September), pp. 506–

513. doi: 10.1016/j.envres.2017.09.002.

Sayal, K. et al. (2018) ‘ADHD in children and young people: prevalence, care

pathways, and service provision’, The Lancet Psychiatry. Elsevier Ltd, 5(2),

pp. 175–186.

24
Watters. C , D. Adamis,, F. McNicholas and B. Gavin. 2017. The impact of attention

deficit hyperactivity disorder (ADHD) in adulthood: a qualitative study. Irish

Journal of Psychological Medicine. Page 1

Boilson, Marie., et al. 2017. ADHD in adults: good practice guidelines. Royal

College of Psychiatrists in Scotland.

DSM IV. Attention Deficit/Hyperactivity Disorder. Diagnostic and Statistical

Manual of Mental Disorders. 4th edition. American Psychiatric Association,

Washington DC. 1994. p. 78-85.

Lopez PL, Torrente FM, Ciapponi A et al. 2018. Cognitive-behavioral interventions

for attention deficit hyperactivity disorder (ADHD) in adults (Review).

Cochrane Library.

Ayu Frida, Yunias Setiawati. 2019. Interaksi factor genetik dan lingkungan pada

Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Departemen Ilmu

Kedokteran Jiwa FK Universitas Airlangga RSU Dr. Soetomo Surabaya.

25
26

Anda mungkin juga menyukai