ADHI JAWATA
Yaitu Atma yang berhasil lulus mati moksa didalam penitisan sebanyak
dua kali dan selanjutnya didalam hidupnya dapat menjalankan Subha
Karma. Karena pada masa penitisan yang pertama belum berhasil, baru
pada penitisan yang kedua dia berhasil menjalankan kesempurnaan dalam
nilai keluhuran budi pekerti. Maka pada penitisan yang kedua kali
itulah dia akan terlahir kembali sebagai manusia yang mempunyai
kemampuan spiritual setingkat Pinandita, yaitu satu tingkat dibawah
Resi.
ADHI BRAHMANA
Yaitu atma yang berhasil lulus mencapai mati Moksa didalam penitisan
tiga kali, nantinya akan terlahir kembali sebagai manusia tokoh
spiritual yang disebut Pandhita, yaitu setingkat dibawah Pinandhita.
ADHI KSATRIA
Adalah atma yang lulus berhasil mati moksa pada penitisan yang
keempat. Kelak akan terlahir menempati jasad manusia yang bakal
menjadi ponggawa negara atau negarawan. Mulai pada penitisan ini dan
seterusnya belum bisa moksa didalam kematianya. Sedangkan pada
penitisan yang pertama, kedua, ketiga dan keempat, atmanya sudah dapat
disebut Adhiatma.
ADHI WAISYA
Adalah Adhi Ksatria yang mati, oleh karena didalam hidupnya kurang
menjalani keluhuran budi pekerti, maka menitis dan memasuki jasad
manusia yang bernasib hanya menjadi pedagang, petani, pengrajin,
seniman dan sebagainya. Namun apabila Adhi Waisya berbuat keluhuran
budi pekerti, kelak apabila mati penitisanya akan menjelma menjadi
manusia dalam kelompok Adhi Ksatria.
ADHI SUDRA
Adalah Adhi Waisya yang mati, oleh sebab keluhuran budi pekertinya
kurang, maka pada waktu menitis akan menjadi Adhi Sudra, yaitu orang
yang rendah derajatnya karena miskin lagi bodoh. Namun apabila Adhi
Sudra didalam hidupnya luhur budi pekertinya, dapat menitis menjadi
Adhi Waisya.
ADHI BHUTA
Yaitu atma yang hanya lulus pada penitisan yang ketujuh. Sebenarnya
pada penitisan yang ketujuh ini, seseorang sudah mendapat peringatan
yang terakhir. Dalam arti tidak boleh tidak harus menjalankan nilai
keluhuran budi pekerti, agar kelak apabila mati, atmanya akan menitis
pada manusia pada kelompok yang setingkat lebih tinggi dari pada Adhi
Bhuta, yakni Adi Sudra. Orang-orang yang termasuk dalam kelompok Adhi
Bhuta adalah manusia celaka, pembunuh, terbunuh ataupun pemerkosa.
Maka apabila kebetulan dalam hidup kita sekarang hanya menjadi Adhi
Bhuta, sebaiknya segeralah bertobat, dan perbanyaklah perbuatan yang
bernilai keluhuran budi pekerti terhadap Tuhan, sesama manusia dan
pelestarian alam, agar apabila mati kelak dapat menitis menjadi Adhi
Sudra. Dan sebagai Adhi Sudra apabila didalam hidupnya berbuat baik,
kelak bila mati akan menitis menjadi Adhi Ksatria dan seterusnya.
Sebaliknya apabila didalam hidup kita sekarang berhasil menjadi Adhi
Ksatria, Adhi Brahmana, Adhi Jawata dan Adhi Bathara, dapat selalu
mengamalkan keluhuran budi pekerti didalam keutamaan hidup dengan
mengutamakan kepentingan Ketuhanan, Kemanusiaan dan Keselarasan hidup,
maka kelak akan menitis menjadi Adhi Bathara saja untuk peningkatan
penitisan paling tinggi.
Karena manusia biasa tidak bisa menitis menjadi Adhi Daiwa, sekalipun
dalam hidupnya dia berstatus sebagai Adhi Bathara. Dan sebagai Adhi
Bathara didalam menjalankan nilai keluhuran budi pekerti untuk
mempertahankan agar dirinya tidak anjlog didalam penitisan berikutnya.
Oleh karena Adhi Daiwa, seperti dikatakan terdahulu, diciptakan
langsung begitu saja untuk diturunkan kebumi sebagai utusan Tuhan.
Dari sedikit uraian tentang menitis atau reinkarnasi, maka timbul
aliran kepercayaan yang menamakan dirinya Aliran Menitis. Dan mohon
maaf, dari uraian tentang hal ini, terkesan penulis seperti memakai
istilah ajaran agama tertentu, yakni Hindu. Penulis sendiri beragama
Islam. Dan maksud dari tulisan ini sebagai salah satu bukti bahwasanya
penyerapan khasanah budaya spiritual ataupun kebatinan kadang berakar
dari agama dimasa lalu. Namun demikian mestinya tidak perlu berkembang
menjadi agama baru. Dan sudah barang tentu tidak perlu pula bersikap
seakan-akan menjadi pemeluk agama yang menjadi akar budaya
spiritualnya itu, apabila kebetulan bukan agama yang dianutnya.
Dalam kenyataan kehidupan sehari-hari, hasil karya fisik maupun non
fisik dari kegiatan keagamaan dimasa lalu, yang menjadi peninggalan
sejarah, banyak yang diakui sebagai milik Bangsa Indonesia dan bukan
hanya sekedar milik umat beragama tersebut, yang juga seharuisnya
dilestarikan, seperti contohnya; candi-candi, makam-makam kuno,
mesjid, keraton-keraton, kitab-kitab kuno, rontal dan sebagainya.
Dari uraian pada tulisan ini penulis bermaksud untuk untuk sekedar
mewariskan salah satu contoh Percikan Khasanah Budaya Spiritual Jawa,
walaupun tidak menjadi dan bukan suatu bukti sejarah, namun penulis
menganggap sebagian yang masih relevan dengan tuntutan jaman, kiranya
masih perlu diwariskan, khususnya pada ahli waris penulis sendiri,
itupun bagi yang mau saja.
Dan sekali lagi kenyataanya, khasanah budaya yang tidak termasuk
sebagai bukti sejarah, tetapi masih diwarisi secara turun temurun dan
berurat akar cukup kuat, juga masih sering dilaksanakan, misalnya
nama-nama instansi sipil dan militer memberi nama kesatuan-kesatuanya
dengan mengambil kata atau kalimat yang berasal dari Kitab-kitab Kuno
dari agama tertentu.
Dari hal itu kita semua sudah tahu adanya istilah-istilah tersebut
seperti: Dewan, Menteri, Adhi Pura, Dwija, Kalpataru, Panca Ubaya
Paksi, Bhineka Tunggal Eka, Panitera, Adhiyaksa Dharma Karini, Bina
Graha, Tamtama, Binatara, Perwira dan sebagainya. Dan kesemuanya itu
tanpa disertai sikap meneliti, dari agama apa istilah-istilah itu
diambil.
NYUWUN WICAKSANA, Artinya memohon dapat berbuat bijaksana. Dan
bijaksana ini menjadi pangkal tolak menuju keluhuran budi pekerti. Dan
untuk menjadi orany bijaksana haruslah pandai membaca suasana rasa dan
perasaan orang, seorang atau sekelompok, di suatu tempat pada waktu
tertentu.
Jangan sampai mudah menyakiti hati orang, walaupun kemauanya tidak
sesuai dengan kemauan diri kita, dan kemauanya belum tentu sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Dengan demikian salah satu laku
bijaksana adalah juga harus bermodalkan Psikologi Sosial atau Ilmu
Jiwa Kemasyarakatan disertai selalu mengingat azaz individu sehingga
akan dapat membaca suasana jiwa seseorang.
Bila bijaksana sudah dijiwai, maka apabila akan berbicara dengan
seseorang selalu disertai keramahan dengan tawa kecil atau senyum yang
benar-benar menembus sampai ke lubuk hati. Dari hal seperti ini
kecuali orang yang ditemui merasa senang, juga diri kita mendapat
keuntungan jiwa, karena salah satu upaya awet muda adalah murah
senyum. Jangan tunjukkan pada orang lain bahwa kita sedang dilanda
konflik misalnya. Jangan sampai sedang marah dengan salah satu anggota
keluarga, lalu pada orang lain masih terbawa sikap cemberut dengan
muka kecut.
Orang yang sudah terbiasa bijak dalam pergaulan, akan terbiasa pula
mudah berkomunikasi karena sikapnya yang selalu dapat bertenggang rasa
dengan orang lain. Dari mudah berkomunikasi banyak orang yang kenal
dan suka kepadanya, yang pada giliranya akan timbul welas asih
diantara mereka. Jangan pula didalam pembicaraan denga orang lain
selalu membicarakan keadaanya sendiri, apalagi terkesan pamer pada apa
yang telah dimiliki dan menjadi keberhasilanya. Karena sebenarnya
semua itu sipat menuju kearah kesombongan. Padahal kenyataanya orang
yang sombong, belum tentu benar-benar memiliki apa yang
disombongkanya.
Dan sebenarnyalah sifat sombong menunjukkan sifat kekanak-kanakan yang
haus pujian. Sifat bijak yang baik ini sudah barang tentu masih harus
dapat mempertahankan prinsip kebenaran, akan tetapi jangan tunjukkan
secara semata-mata bahwa kita sedang mempertahankan prinsip itu.
Ambilah celah pembicaraan dan kemukakan secara prinsip dengan disertai
dasar-dasar norma permasalahannya. Dengan demikian mereka yang kita
ajak bicara akan beranggapan bahwa kita didalam berbicara enak di
dengar akan tetapi sulit dibantah.
Mulailah berbicara dengan diawali kepentingan si lawan bicara,
sesekali pujilah dia dengan tidak terlalu menyolok. Tanyakan kepadanya
apakah anak isteri dan keluarganya sehat-sehat selalu, setelah dia
berbicara dengan keakuanya sendiri, pada saat itulah waktu yang tepat
untuk melakukan pujian kepadanya. Sesudah itu baru kita kemukakan
maksud kepadanya.
NYUWUN PANGUWASA,artinya memohon kemampuan di dalam berkarya untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu ngudi sampurnaning urip lan ngudi
sampurnaning pati. Yang artinya mencari jalan menuju kesempurnaan
hidup dan kesempurnaan bila mati kelak. Bekal untuk menuju
kesempurnaan hidup adalah temen yang artinya bersungguh-sunguh dan
bekal untuk menuju agar selamat diakhirat adalah kesucian didalam
pikiran dan perbuatan, berlandaskan kehalusan perasaan yang selalu
berupaya untuk menyatukan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa dengan
menjalani semua perintah dan menjauhi semua larangannya.
Jangan sampai dengan berkedok agama digunakan untuk menipu dan
mendustai orang lain. Maka dari itu upayakan berkah sebanyak mungkin,
dan keselamatan didunia dan akhirat jangan pula dilupakan. Berkah yang
banyak berupa harta benda yang berasal dari rejeki suci dan halal agar
tercukupi hidup sebagai sarana untuk beramal didalam menjalankan
keluhuran budi pekerti.
KANGGE TUMINDAKE SATRIYA SEJATI/ WANITA SEJATI, yang artinya untuk
dapat berperilaku sebagai satriya atau wanita sejati. Karena pada
dasarnya satriya sejati dan wanita sejati adalah Putra Romo. Kata
Putra adalah akronim dari Bahasa Jawa Puput Ing Rasa yang artinya
sempurna didalam berolah rasa perasaan. Sedangkan Romo berasal dari
akronim Roh Mono, yang artinya Roh Tunggal yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Satu.
Dan apabila Putra Romo disebut sebagai Wayah Kaki, maksudnya akronim
dari kalimat Wani Angayahi Kawula Anggayuh Kagem Ing Pangreh(Gaib),
yang artinya berani menjalankan sebagai hamba ingin mencapai sesuatu
agar dapat selalu berkomunikasi dengan gaibNya Tuhan Yang Maha Gaib.
Pada pokoknya, seperti telah disinggung didepan, pada dasarnya wanita
sejati dan satriya sejati adalah calon-calon yang kelak akan menitis
sebagai Adhi Atma, manakala mampu anggelar lan anggulung isine Kunci.
KULA NYUWUN KANGGE HANYIRNAAKE TUMINDAK INGKANG LUPUT, Artinya saya
bermohon agar dapat menghilangkan perbuatan yang jelek. Sebagai
penutup kunci kalimat ini menandaskan, bahwa semua yang diderita
sekarang adalah berasal dari perbuatan atau sebab akibat dari perilaku
hidupnya di masa lalu. Ini semua dengan tujuan agar penitisan pada
kehidupan nanti dapat lebih baik.
Maka pada kehidupan yang sekarang kita seharusnya selalu memohon agar
dapat selalu berbuat baik dengan menyingkirkan perilaku yang jelek dan
bahkan memusnahkanya, dengan maksud agar penitisan berikutnya dapat
meningkat, sesuai dengan prinsip hukum sebab akibat yang juga disebut
Karma Pahala atau yang secara umum disebut sebagai Hukum Karma yang
selalu pas antara yang diperbuat dengan akibatnya.
Demikian sedikit penjelasan tentang isi Kunci. Dikatakan sedikit
karena apabila isi Kunci dijabarkan secara lebih mendalam, akan berupa
uraian ilmu Sangkan Paraning Dumadi yang artinya Asal Muasal Semua
Kejadian, yang didalamnya termuat juga Ilmu Sangkan Paraning Urip atau
Asal Muasalnya Sanmg Hidup.
PAWELING
Yang artinya dalam Bahasa Jawa; ngelingake utawa angosikake, didalam
Bahasa Indonesia artinya; mengingatkan atau mengisyaratkan, agar dalam
diri ini:
Tumata dayaning raga, yang artinya teratur kekuatan raganya. Dalam
arti tidak terlalu membuang sumber tenaga untuk hal-hal yang tidak
berguna akan tetapi dengan sumber tenaga yang secukupnya, dapat
berhasil dan berdaya guna sebaik-baiknya.
Tumata dayaning cipta, yang artinya teratur daya ciptanya. Tidak
menghamburkan daya ciptanya dengan cara yang tidak tepat dan dalam
bentuk daya cipta yang kurang baik. Maka tidaklah benar apabila daya
cipta dipergunakan untuk merencanakan kejahatan dan ketidakbergunaan
dengan menjiplak daya cipta orang lain dan tidak menghargai.
Tumata dayaning rasa, yang artinya teratur dan terarah rasa
perasaanya. Rasa sedih misalnya, kita Abdikan kepada Tuhan Yang Maha
Suci, sebagai bagian Tapa Brata. Rasa gembira kita abdikan kepadaNya
sebagai pengakuan atas anugerahNya yang wajib disukuri selalu. Serta
jangan selalu menghambur-hamburkan rasa perasaan yang tidak enak, oleh
sebab itu janganlah berhenti didalam keadaan ketakutan, kesedihan,
kebingungan dan sebagainya.
Apabila merasa sedih, bingung dan takut segeralah berserah diri kepada
Tuhan Yang Maha Esa, disertai upaya mencari jalan mengatasinya.
Apabila tidak bisa diatasi sendiri, mintalah bantuan orang lain dan
tidak lupa selalu berdoa.
Dengan demikian kita selalu mengakui bahwa manusia bersifat lali,
luput lan apes yang artinya lupa, salah dan malang. Apabila lupa kita
mohon untuk diingatkan. Apabila salah mohon pengampunanya dan agar
tidak selalu malang kita mohon perlindunganya. Lewat utusanNya yang
bersifat langgeng, yang biasa disebut Roh Mono, Roh Suci, Roh Ismoyo
atau sang Guru Sejati.
Didalam pengertian Utusan Yang Bersifat Langgeng ini, ada sebutan yang
berbeda-beda. Namun demikian yang dimaksud Utusan Tuhan Yang Bersifat
Langgeng itu bukanlah makhluk apapun, akan tetapi merupakan percikan
cahaya sifat-sifat Ketuhanan atau boleh disebut percikan Cahaya
Illahiyah yang dalam Bahasa Sanskerta biasa disebut Dewa berasal dari
kata Div yang artinya cahaya.
Maka kedudukan Utusan Tuhan Yang Bersifat Langgeng, apabila dilihat
dari tingkat-tingkat penitisan, kedudukanya adalah diatas Adhi Daiwa.
Dam menurut kepercayaan Budaya Spiritual Jawa, yang berkedudukan
diatas Adhi Daiwa adalah Roh Ismoyo, yang dicipta langsung oleh Tuhan
untuk menjalankan tugas sebagai pamomong gaib para satriya. Roh Ismoyo
yang biasa disebut sebagai Romo, kedudukanya diatas Utusan Yang
Bersifat Langgeng selain Dia. Begitulah diceritakan didalam
pewayangan, dimana wayang adalah sebagai gambaran dari diri manusia.
Namun kadangkala ada kesalahtafsiran didalam menarik pengertian dari
Romo, disimpulkan persamaanya dengan Bapak atau Ayah. Karena Romo
dalam Bahasa Jawa artinya Bapak. Maka berangkat dari kesalah tafsiran
inilah maka sering timbul pengkultusan atau mendewakan atas tokoh
Budaya Spiritual Jawa yang dipanggil dengan Romo, yang artinya Bapak,
lalu dipersamakan dengan Romo yang artinya Roh Ismoyo ataupun dianggap
ketitisan Ismoyo atau juga kesinungan. Padahal didepan dikatakan,
bahwasanya Ismoyo tidak pernah lahir dan menitis sebagai manusia.
Menurut paham salah satu Budaya Spiritual Jawa, Roh Ismoyo yang
didalam Pewayangan disebut Semar, bukanlah tokoh yang digambarkan
secara fisik dalam ceritera wayang itu. Kalaupun Roh Ismoyo ditugasi
turun kebumi, bukan berarti menitis kepada jabang bayi atau manusia.
Apabila benar bahwa Roh Ismoyo ditugaskan kedunia, bersifat hanya
Hanyinungi atau silih raga untuk tujuan melindungi, dengan cara
memasukkan sebagian kuasa spiritualnya kepada orang yang dipilih dan
digunakan untuk itu. Namun demikian tidak sembarang orang benar-benar
kesinungan Ismoyo. Dan orang yang kesinungan selanjutnya disebut
sebagai Sipat Semar.
Tetapi sekali lagi bukanlah semar yang digambarkan dalam wayang secara
wantah. Seharusnyalah terlebih dahulu ditarik makna harfiah dan
falsafah bagaimana dan siapakan Semar itu.
SEMAR DALAM PENGERTIAN SECARA HARFIAH
Semar, didalam Bahasa Jawa asal kata samar artinya tidak jelas benar,
penuh rahasia, antara kenyataan dan gaib dan sebagainya. Nyata dalam
arti sifat Semar dapat dimiliki oleh seseorang dalam kehidupan sehari-
hari. Sedangkan gaib dalam pengertian tidak ada bentuk fisik dari
Semar itu sendiri. Seperti dikemukakan didepan, bahwa semar adalah
Pamomong (gaib) dari para Satria yang dengan tekun dan seksama mau
menghayati keberadaan GaibNya Tuhan.
Maka apabila seseorang memiliki, menghayati dan dapat mengamalkan
kawruh gaib yang juga disebut Kasuksman dengan benar dan baik ,
disertai sikap sehari-hari yang mencerminkan laku satria dan wanita
sejati yang bersifat ngemot dan ngemong, laku tersebut merupakan lahan
bagi turunya kuasa gaib Roh Ismoyo dengan cara kasinungan.
Pengertian ilmu gaib disini bersifat Gaib yang Hakiki, yaitu gaib
mengenai keberadaan Tuhan beserta Para Utusanya Yang Bersifat
Langgeng. Bukan sekedar Gaib Idhofi atau gaib relatif yang dimiliki
manusia dan apalagi gaib mungkar yang dimiliki jin, setan, peri dan
Perayangan.
Maka seseorang dapat dianggap kesinungan Roh Ismoyo sehingga dapat
bersifat Semar, dipandang dari cirri-ciri kecil yang paling sederhana,
dalam penertian Semar secara harfiah, adalah seseorang yang menguasai
pengertian satria, menguasai Ilmu Gaib diatas, dan bersifat ngemong
siapa saja dan dapat ngemot segala permasalahanya. Dan salah satu
sifat Semar yang lebih utama adalah mampu ngemot dan ngemong apa dan
siapa yang berasal dari orang atau kelompokyang memusuhinya. Jadi
singkat kat seseorang yang bersifat Semar selalu merasa bahwa dirinya
tidak mempunyai musuh yang berujud manusia.
Dan digambarkan didalam pewayangan, pada setiap lakon baku maupun
carangan Semar yang kadang kena fitnah dan ancaman, tidak pernah
menyelesaikan masalah dengan pertempuran. Yang ditempuh selalu jalan
damai dengan kepala dingin disertai kearifan sehingga dapat menengahi
pihak-pihak yang berseteru.
Maka secara tidak langsung, seseorang yang bersifat semar, selalu
dituntut oleh misinya yang harus dapat menerapkan dengan apik Ilmu
Ketuhanan, Kerasulan, Kebangsaan, Kemanusiaan, Kefilsafatan, Ilmu
Jiwa, Ilmu udaya Dasar dan sebagainya, disamping syarat yang
disebutkan terdahulu. Dari semua itu dapat ditarik kesimpulan makna
Ssemar secara harfiah, sifat Semar universal adanya, dalam arti
kapanpun dan dimanapun Sifat Semar bisa ada, sepanjang sepanjang
dijaman dan di tempat itu masih ada orang yang memiliki sifat terpuji.
Maka didalam wayang selalu diceritakan, semua generasi satriya sejati
selalu diemong oleh Semar sebagai Panakawan, sebagai Batur dan sebagai
Dewa. Semar sebagai Panakawan yang artinya teman yang bisa memahami
benar permasalahan dan fungsi teman yang baik. Batur yang berarti
embat-embating catur artinya selalu dapat diajak bermusyawarah dan
sebagai Dewa diharapkan dapat menyampaikan pesan-pesan keagamaan
kepada yang diemongnya. Dari fungsi Semar sebagai Panakawan dan Batur
itulah maka, semua generasi, dari ayah, anak, cucu, buyut dan
seterusnya, apabila memanggil Semar selalu dengan sebutan Kakang.
Disamping itu, sewaktu semar masih berkedudukan sebagai Dewa, Dia
bergelar Bathara Ismaya, sebagai ayah dari Bathara Wisnu Sang
Pemelihara alam. Maka dengan perkataan lain, para Dewapun memerlukan
Semar sebagai Panakawan dan Batur. Maka dapatlah disimpulkan, bahwa
Semar itu adalah biangnya Sang Pemelihara Alam.