Anda di halaman 1dari 3

Jenis karya : Lukisan

Judul karya : Dia Bilang, “Bentuk Tak Berakhir Yang Terindah”

Ukuran : 50 × 70 cm

Media/teknik : Kanvas/ wet-in-wet, gesture, impasto, double-loaded brush, layers,


splatter

Tahun pembuatan : 2023

Pencipta : 14. Fiola Moza Murtia (penggagas ide),

19. Lintang Nirmalasari G. M. (pengggagas ide),

30. Riflah Yasmine K. (pelukis, penggagas ide)

Deskripsi karya :

Lukisan berjudul Dia Bilang, “Bentuk Tak Berakhir Yang Terindah” ini berdimensi
50 × 70 cm. Menggunakan berbagai teknik melukis aliran ekspresionisme, lukisan ini
memang tidak mengedepankan keindahan namun sebaliknya. Warna warna yang
digunakan memberikan kesan rusak dan gerah. Makhluk hidup yang digambarkan di
dalamnya terlihat sakit, sedih dan menangis. Dilukis dengan tema kematian, kehidupan, dan
kepunahan dalam pikiran, lukisan ini berusaha menyampaikan pesan bahwa inilah yang
mungkin akan terjadi jika manusia tidak segera sadar diri dan menghentikan seluruh
tindakan yang menghancurkan satu satunya planet berkehidupan yang diketahui ini.

Latar langitnya berwarna kuning, oranye, dan merah menggunakan kedua teknik
wet-in-wet dan gesture memberikan kesan api lembut yang berkobar. Tanah dilukis dengan
teknik impasto dan double-loaded brush berwarna coklat, kuning, merah, dan hitam. ini
melambangkan tanah yang penuh polutan, seharusnya tidak ada tanaman yang dapat
tumbuh. Namun kehadiran rumput dua warna, ungu dan hijau, serta pohon mati berkayu
merah, coklat, putih, kuning, dan hitam itu mengatakan sebaliknya. Ada kehidupan yang
bisa tumbuh di atas tanah rusak dan berdarah.

Penyebab kematian pohon itu tidak perlu dijelaskan. Setiap penikmat karya
dapat menginterpretasikan sendiri alasan yang cocok untuk menjelaskan mengapa pohon
hebat yang dapat tumbuh di tanah beracun itu bisa mati. Dari rongga lapuk pohon keluar
banyak sekali serangga serupa kupu-kupu atau ngengat bertebaran. Tampak juga telur dan
larva juga kepompong serangga jika dilihat lebih detail lagi. Di sekitar akar pohon mati itu
juga ditumbuhi rumput berwarna aneh hijau tebal dan ungu. Rumput itu memang beracun–
satu di antara penyebab mengapa kedua hewan sakit itu tidak terlihat memakannya.

Kedua hewan itu berwarna dasar oranye. Si rusa memiliki corak bayangan ungu
gelap, nyaris abu-abu. Sedangkan hewan serupa-kucing memiliki warna hijau gelap dan
terang. Keduanya memiliki mata berupa lubang hitam dengan titik putih sebagai pupilnya.
Terlihat ada cairan merah seperti darah atau air mata keluar darinya.
Si Rusa tampak mengunyah tulang lengan kerangka manusia. Entah sudah
berapa lama hewan ini tidak makan sampai tulang rusuknya terlihat. Rusa ini sepertinya
sudah menghabiskan kaki, lengan bawah dan lengan atas, serta tulang tulang bagian betis
dan paha kerangka manusia. Atau bagian bagian itu memang sudah hilang sejak awal.
Sekali lagi, penikmat karya bisa menginterpretasikan sendiri.

Hewan-kucing itu tidak makan. Dia hanya menjilati tengkorak kerangka manusia
di cengkeramannya. Salah satu penggagas ide menganggap bahwa Si Hewan-kucing tidak
makan karena pemilik kerangka itu mungkin dulunya adalah pelatih atau majikannya. Dia
juga menganggap karena itulah juga Si Hewan-kucing menatapi Si Rusa. Sama seperti
hewan sebelumnya, hewan ini juga kurus dan menangis darah. Entah mengapa mereka
menangis tidak akan pernah dijelaskan.

Kerangka manusia di tengah tengah lukisan itu tidak lengkap. Separuh tulang
pinggulnya hilang atau sebenarnya hanya terbenam. Rahang bawahnya juga tidak ada.
Tulang rusuk yang merupakan bagan dari dada juga banyak yang hilang. Ruas ruas terakhir
tulang belakang beserta tulang ekor tidak tampak di dalam lukisan. Tidak sampai disitu,
kerangka manusia ini semakin aneh jika dilihat warnanya yang putih cemerlang. Jangankan
segaris retakan, gradasi warna pun tidak ada. Tapi kalau dipikir lagi, lukisan ini sejak awal
sepertinya mengabaikan semua hukum fisika dan dasar dasar melukis biasanya.

Pemilihan warna itu bukan tanpa sebab. Seperti yang sudah dituliskan di
paragraf pertama, warna yang ditampilkan memang berusaha memberi kesan “jelek,” sangat
memuakkan dilihat. Emphasis warna yang diharapkan dalam lukisan ini adalah putih, hijau,
oranye, dan ungu. Dulu, pigmen putih didapatkan dengan menghaluskan blok blok timah.
Sekarang diketahui bahwa paparan timah setiap hari dapat mengakibatkan kelumpuhan,
masalah mental, pelebaran retina, bahkan kebutaan. Serangga dan kerangka putih di sini
mengingatkan pelukis hari ini betapa banyak mahakarya yang menggunakan timbal, betapa
sakitnya hari hari terakhir para pelukis itu.

Namun bahaya warna putih itu tidak seberapa dibanding warna selanjutnya:
hijau. Dibuat dari senyawa cupric hydrogen arsenic, kadarnya yang tinggi telah dikaitkan
langsung dengan kanker dan penyakit jantung. Pigmen beracun ini dulunya merupakan
pilihan populer untuk cat, pewarna untuk tekstil, kertas dinding, sabun, mainan, dekorasi
kue. Bayangkan berapa banyak yang jatuh sakit akibat paparan racun ini.

Kabar baiknya, pigmen hijau itu tidak bersifat radioaktif seperti pigmen oranye.
Uranium oksida menghasilkan warna warna merah dan oranye cemerlang yang dipakai
untuk mewarnai alat makan sebelum akhirnya digunakan dalam pembuatan bom pada
perang dunia kedua. Hingga hari ini, keramik keramik itu tetap memancarkan radiasi
berbahaya yang dapat merusak DNA materi genetik makhluk hidup. Namun dalam lukisan
ini, warna itu justru digunakan untuk melukis kedua hewan hidup... atau mati. Tentu saja,
lukisan ini tidak mengandung timbal, arsenik, ataupun uranium.

Kemudian ada warna ungu. Ungu di sini menggambarkan racun secara umum.
Racun dan berbagai sifat negatif digambarkan berwarna ungu dalam banyak media kartun
ataupun permainan video. Di alam, warna ungu memang cukup jarang dan hanya para
bangsawan dan orang orang kaya saja yang dulu bisa membeli barang barang berwarna
ungu. Sehingga semakin banyak ungu yang terlihat di tempat tempat alami semakin jelas
pula “polusi” yang ditimbulkan akibat keserakahan manusia.
Terakhir, lukisan ini berjudul Dia Bilang, “Bentuk Tak Berakhir Yang Terindah.”
Kalimat ini diterjemahkan langsung dari kalimat penutup On the Origin of Species karya Charles
Darwin: "There is grandeur in this view of life, with its several powers, having been originally
breathed into a few forms or into one; and that, whilst this planet has gone cycling on according to
the fixed law of gravity, from so simple a beginning endless forms most beautiful and most wonderful
have been, and are being, evolved." Ada keagungan dalam pandangan hidup ini, dengan beberapa
kekuatannya, yang awalnya dihembuskan ke dalam beberapa bentuk atau menjadi satu; dan bahwa,
sementara planet ini berputar sesuai dengan hukum tetap gravitasi, dari awal yang begitu
sederhana, bentuk tak berujung yang paling indah dan menakjubkan telah, dan sedang, berevolusi.

Tidak bermaksud mengolok-olok mahakarya Bapak Teori Evolusi, judul karya ini
bermaksud untuk memberi harapan, bahwa meskipun dunia telah rusak sedemikian
parahnya, makhluk hidup akan terus menjalani kehidupannya masing masing, bahwa
kematian dan kepunahan diperlukan sebagai katalis untuk mengawali spesiasi, awal
kehidupan dari spesies spesies baru.

Anda mungkin juga menyukai